Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa balita merupakan masa yang paling penting dalam proses


pertumbuhan dan perkembangan anak dan sering dinyatakan sebagai masa
kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Tapi
pada kenyataannya, banyak terjadi masalah-masalah gizi seperti gizi kurang
dan gizi buruk yang sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah gizi
yang utama di Indonesia. Selain gizi kurang dan gizi buruk, masih banyak
masalah gizi lainnya yang perlu perhatian lebih, diantara nya yaitu Stunting.

Stunting (kondisi tubuh pendek) atau terhambatnya pertumbuhan tubuh


adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi badan
menurut umur diukur dengan standar deviasi dengan referensi WHO. Pendek
dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks Panjang
Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang
merupakan padanan istilah stunting (pendek) dan severely stunting (sangat
pendek). Seorang anak dikatagorikan sangat pendek jika panjang badan
menurut umur atau tinggi badan menurut umur < -3 SD, dan dikatakan pendek
jika berada antara -3 SD sampai dengan -2 SD. (Depkes, 2011).

Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang berdampak buruk


terhadap kualitas hidup balita dalam mencapai tumbuh kembang yang optimal
sesui potensi genetiknya serta menjadi salah satu indikator gizi yang
menentukan keberhasilan peningkatan kualitas sumber daya manusia
(Sudiman, 2008).

Pendek atau stunting pada anak balita menjadi indikator status gizi yang
dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara
keseluruhan di masa lampau (Sudiman,2008). Kejadian stunting dapat
mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, dapat
meningkatkan risiko kejadian diare dan infeksi saluran pernapasan akut atau
ISPA (Adair & Guilkey, 1997). Stunting yang terjadi pada masa anak
merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif
dan perkembangan motorik yang rendah dan fungsi tubuh yang tidak
seimbang (Allen & Gillespie, 2001).

Stunting terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu lama pada
masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak. Pendek atau
stunting pada anak balita merupakan salah satu indikator status gizi kronis
yang dapat menggambarkan gangguan keadaan social ekonomi secara
keseluruhan di masa lampau. Tidak hanya kemiskinan, masalah nutrisi itu
multifaktor, berkaitan juga dengan Karakteristik keluarga (tingkat pendidikan
orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga serta pendapatan per
bulan keluarga), Karakteristik Balita (Umur, jenis kelamin, Urutan anak ke-),
pelayanan kesehatan (Keaktifan posyandu tiap bulan dan imunisasi ) dan
status kesehatan ( frekuensi sakit, jenis penyakit dan jangka waktu menderita
sakit). Sungguh disayangkan, masyarakat kita masih belum menyadari
masalah ini karena memang anak pendek umum terlihat di masyarakat sebagai
anak-anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti anak kurang gizi.

Penelitian membuktikan bahwa kemampuan membaca anak yang pendek


lebih rendah dibandingkan anak normal, dan pada saat mereka dewasa
produktivitas anak yang pendek lebih rendah dibandingkan dengan anak yang
normal (Martorell, 2007). Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas
sumber daya manusia Indonesia masa mendatang akibat stunting tidak bisa
diremehkan karena balita merupakan generasi penerus bangsa yang siap
bersaing dengan kualitas yang baik.

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010, prevalensi anak balita pendek


(stunting) yaitu 35,6 % , artinya hampir separuh balita kita memiliki tinggi
badan lebih rendah dari standar tinggi badan balita seumurnya. Sedangkan
untuk provinsi sumatera selatan pada tahun 2010 prevalensi balita stunting
yaitu 14,18% dan untuk daerah Ogan Komering Ilir prevalensi nya sebesar
13.01% (Geonutritional Mapping Gizi Provinsi Sumsel, 2010).

Berdasarkan rekapitulasi pemantauan status gizi balita kabupaten Ogan


Komering Ilir tahun 2011 khusus nya di kecamatan Pedamaran, prevalensi
balita stunting yaitu 12.14% menempati urutan kedua dari 25 Kecamatan yang
ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

B. Perumusan Masalah

Mengingat dampak yang terjadi akibat stunting yang sangat merugikan


untuk masa mendatang , maka usaha-usaha pencegahan maupun perbaikan
perlu dilakukan. Didukung oleh data diatas maka penulis tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita (24-59 bulan).

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan


kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pedamaran Kecamtan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui jenis kelamin anak balita.
b. Mengetahui usia anak balita.
c. Mengetahui status kesehatan anak balita.
d. Mengetahui tingkat pemberian ASI Ekslusif anak balita.
e. Mengetahui tingkat pendidikan kepala keluarga anak balita.
f. Mengetahui tingkat pendidikan ibu anak balita.
g. Mengetahui pekerjaan kepala keluarga anak balita
h. Mengetahui pekerjaan ibu anak balita.
i. Mengetahui tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan ibu anak balita.
j. Mengetahui jumlah anggota keluarga anak balita.
k. Mengetahui tingkat keaktifan menghadiri posyandu anak balita.

D. Hipotesa
a. Adanya hubungan pendidikan orang tua dengan kejadian stunting.
b. Adanya hubungan pekerjaan orang tua dengan kejadian stunting.
c. Adanya hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian stunting.
d. Adanya hubungan jumlah anggota keluarga dengan kejadian stunting.
e. Adanya hubungan jenis kelamin balita dengan kejadian stunting.
f. Adanya hubungan keaktifan menghadiri posyandu dengan kejadian
stunting.
g. Mengetahui adanya hubungan status kesehatan dengan kejadian
stunting.
h. Adanya hubungan pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting.

1. Manfaat Penelitian
1. Bagi Mahasiswa

Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan mahasiswa tentang


faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting.

2. Bagi Perpustakaan Jurusan Gizi


Sebagai bahan masukan dalam melengkapi literatur tentang kejadian
stunting serta sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan bagi ibu-ibu balita tentang
faktor resiko kejadian stunting dalam upaya memperbaiki dan
meningkatkan status gizi balita serta peran masyarakat dalam kegiatan
pelayanan kesehatan.
4. Bagi Pemerintah & Puskesmas Setempat
Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam
menentukan kebijakan yang berhubungan dengan penanggulangan
masalah stunting pada balita serta memberikan informasi kepada
puskesmas dalam perencanaan penerapan program gizi masyarakat di
daerah tersebut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan yang ditentukan oleh nutrient


yang diterima dan dimanfaatkan oleh tubuh (Andry Hartono, 2006). Status
gizi merupakan cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi dan secara
parsial dapat diukur dengan antropometri (pengukuran bagian tertentu dari
tubuh) atau biokimia atau secara klinis ( Sandjaja, dkk, 2009)

Di masyarakat cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan


adalah dengan menggunakan antropometri, dewasa ini dalam program gizi
masyarakat, pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode
antropometri.

Antropometri (ukuran tubuh) merupakan salah satu cara untuk menilai


status gizi secara langsung yang telah lama dikenal. Antropometri merupakan
indicator status gizi yang berkaitan dengan masalah Kurang Energi Protein
(KEP) (FKM UI, 2007)..

Antropometri sebagai indicator status gizi dapat dilakukan dengan


mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak bawah kulit.
Pengertian indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter.
Indeks antropometri bias merupakan rasio dari satu pengkuran terhadap satu
atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur (Gizi dan
Kesehatan Masyarakat, 2007).

Untuk melihat status gizi anak balita digunakan beberapa indicator


antropometri antara lain :
a. Indeks berat badan menurut umur (BB/U)
b. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
c. Indeks berat badan menutur tinggi badan (BB/TB)

Diantara bermacam-macam indeks antropometri, BB/U merupakan


indicator yang paling umum digunakan sejak 1972 dan dianjurkan juga
menggunakan indeks TB/U dan BB/TB untuk membedakan apakah
kekurangan gizi terjadi secara kronis atau akut. Keadaan gizi kronis atau
akut mengandung arti terjadi keadaan gizi yang dihubungkan dengan masa
lalu dan waktu sekarang. Pada keadaan kurang gizi kronis, BB/U dan
TB/U rendah. Tetapi BB/TB normal maka kondisi ini disebut dengan
stunting.

a. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan


pertambahan umur, tinggi badan kurang sensitive terhadap masalah
kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama, maka
indeks ini lebih menggambarkan status gizi dimasa lampau.

1. Kelebihan Indeks TB/U


a. Merupakan indicator yang baik untuk mengetahui kekurangan
gizi pada waktu lampau.
b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah
dibawa.
2. Kelemahan Indeks TB/U
a. Dalam menilai intervensi harus disertai dengan indicator lain,
seperti BB/U karena perubahan TB tidak banyak terjadi dalam
waktu singkat.
b. Membutuhkan beberapa tehknik pengukuran, seperti alat ukur
panjang badan (PB) untuk anak umur <2 tahun dan alat ukur
tingggi badan untuk umur >2 tahun.
c. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan mungkin turun.
d. Pengukuran relative sulit dilakukan karena anak harus berdiri
tegak dan memerlukan dua orang untuk mengukur anak.
e. Ketepatan umur sulit didapat. (Supariasa, 2001).

Tinggi badan memberikan gambaran keadaan pertumbuhan. Dalam


keadaan normal, TB tumbuh bersamaan dengan bertambah usia.
Perkembangan TB disbanding pertambahan BB, agak kurang peka
terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh
kekurangan gizi terhadap TB akan tampak pada kekurangan yang sangat
lama. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka indeks TB/U dapat
menggambarkan masalah gizi masa lalu. Keadaan TB usia sekolah
menggambarkan status gizi pada masa balita.

Untuk kegiatan pemantauan status gizi dalam jangka waktu yang


lama (2 tahun atau lebih) pilihan utama adalah TB/U. Indeks ini cukup
peka untuk mengukur perubahan status gizi jangka panjang, stabil dan
tidak terpengaruh oleh perubahan status gizi yang sifatnya musiman.

Pengukuran panjang badan (PB) biasanya dilakukan bagi anak


yang belum dapat berdiri dengan tegak dan dilakukan dengan posisi
berbaring. Pengukuran biasanya menggunakan papan ukur yang terbuat
dari kayu atau disebut Infantometer. Dalam pengukuran PB biasanya
dibutuhkan dua orang untuk melakukan pengukuran, anak yang diukur
dalam posisi yang tepat untuk memastikan PB secara tepat dan dapat
dipercaya. Sedangkan untuk pengukuran TB , alat yang digunakan adalah
microtoise (baca mikrotoa)

Banyak para peneliti menemukan masalah kurang energy-protein


di daerah dimana pangan sumber protein tersedia cukup banyak, tetapi
karena kebiasaan, kepercayaan dan ketidaktahuan terhadap gizi maka
banyak jenis-jenis bahan makanan yang tidak dimanfaatkan untuk
konsumsi anak-anak (Suhardjo, 1996).
TABEL I

Klasifikasi KEP Menurut Waterlow

Gangguan derajat Stunting ( tinggi menurut umur)


0 >95 %
1 90 – 95 %
2 85 – 89 %
3 < 85 %

Waterlow (1973) membedakan antara penyakit KEP yang terjadi


akut dan menahun. Beliau berpendapat bahwa defisit tinggi menurut umur
merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama. Akibat yang
disebut belakangan ini mengganggu melajunya tinggi badan, hingga anak
menjadi pendek (stunting) untuk umurnya.

TABLE II

Klasifikasi KEP Menurut Depkes 2000 (Indeks TB/U)

Simpangan Baku Status Gizi


-2SD - +2SD Normal
<-2 SD Pendek (Stunting)

1. Malnutrisi dan Dampak Kejadian Malnutrisi

Malnutrisi merupakan keadaan gizi kurang atau gizi lebih karena


asupan zat gizi di bawah atau di atas kisaran asupan yang dianjurkan
dalam waktu yang lama (Sandjaja, 2009). Malnutrisi dapat terjadi bila
tubuh tidak memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien,
sehingga tidak memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi
mungkin (Almatsier, 2003).
Dampak dari malnutrisi (gizi kurang) dapat bermanifestasi dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, dan mungkin memiliki efek antar
generasi. Gizi kurang bias menyebabkan gangguan pertumbuhan,
perkembangan kognitif, peningkatan resiko mengalami penyakit kronis
dikemudian hari (Barasi, 2009). Gizi kurang juga mengakibatkan
berkurangnya fungsi imunitas tubuh sehingga bermanifestasi pada
tingginya angka kematian, kejadian kurang gizi pada usia 2 tahun dapat
berpengaruh pada perkembangan mental dan terganggunya fungsi otak
secara permanent ( Almatsier, 2003).

Selain factor pemberian air susu ibu, factor lain yang biasanya
memegang peranan penting dalam menyebabkan timbulnya gizi kurang
adalah diare dan penyakit infeksi. Keadaan ini menjadikan anak tidak mau
makan sehingga kebutuhan zat gizinya tidak terpenuhi. (Suhardjo, 1996).

Gizi lebih disebabkan karena tidak terjadi keseimbangan antara


energi yang masuk dan energi yang keluar, maka energi yang tersimpan
tersebut akan menjadi lemak di dalam tubuh, sehingga terjadilah
kegemukan. Kegemukan merupakan biang segala macam penyakit
degenerative, seperti hipertensi atau tekanan darah tinggi, penyakit
diabetes, jantung koroner, stroke, hati dan kantong empedu.

Secara nyata malnutrisi merupakan penyakit gizi yang secara


kontinyu berpengaruh terhadap pertumbuhan. Jika malnutrisi sudah
bersifat akut dan apabila tidak segera diperbaiki dengan cepat,
kehidupannya tidak akan menjadi lebih panjang bahkan kehidupan
seseorang tersebut akan terancam. Demikian sebaliknya, bila sifatnya
manutrisi tetap dan tidak disembuhkan, maka malnutrisi akan mejadi
kronis. Bila situasi ini berjalan dalam waktu yang lama dan berta, maka
akan menimbulkan kematian.

2. Stunting
Stunting merupakan gambaran keadaan masa lalu (kronis) karena
hambatan atau gangguan pertumbuhan tinggi badan atau pertumbuhan
linier dalam waktu yang lama baik dalam hitungan bulan bahkan tahun.
Jika di suatu masyarakat banyak anak dengan tinggi badan menurut umur
lebih rendah dari baku rujukan, maka dapat memberikan indikasi bahwa di
masyarakat yang bersangkutan terdapat masalah pembangunan secara
umum seperti : kemiskinan, rendahnya pendidikan dan kurang
memadainya pelayanan dan kesehatan lingkungan (Irianton, 2011).

Stunting (tubuh yang pendek) menggambarkan keadaan gizi


kurang yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk
berkembang serta pulih kembali (Gizi Kesehatan Masyarakat, 2009)

Menurut Depkes (2011), pendek dan sangat pendek adalah status


gizi yang didasarkan pada Indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U)
atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
stunting (pendek) dan severely stunting (sangat pendek). Seorang anak
dikatagorikan sangat pendek jika panjang badan menurut umur atau tinggi
badan menurut umur < -3 SD, dan dikatakan pendek jika berada antara -3
SD sampai dengan < -2 SD.

Ketika berada di rumah sakit,anak-anak yang mengalami


malnutrisi tidak begitu menunjukkan distres yang aktif dibandingkan
dengan anak-anak yang gizinya baik dan mempunyai tangisan yang
abnormal serta bernada rendah. Mereka juga memperlihatkan penurunan
respons orientasi terhadap rangsangan pada pendengaran. Sebagian besar
perilaku tersebut akan kembali normal secara cepat dengan pemulihan
kembali kecuali dalam hal kualitas eksplorasi. Sebaliknya, anak-anak
dengan malnutrisi tersebut memiliki tingkat perkembangan yang buruk.
Anak-anak yang bertubuh pendek juga memperlihatkan perilaku yang
berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi kerewelan serta
frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktivitas yang lebih rendah,
jumlah dan antusiasme untuk bermain dan mengeksplorasi lingkungan
yang lebih kecil, berkomunikasi lebih jarrang, afek(ekspresi) yang tidak
begitu gembira, serta cenderung untuk berada dekat dengan ibunya serta
menjadi lebih apatis.

Stunting didiagnosis melalui pemeriksaan antropometri berat badan


dan tinggi badan anak yang dinyatakan dalam skor standar nilai tengah
(median of reference), yang diterima secara internasional sebagai acuan
menurut usia dan jenis kelamin mereka. Stunting sedang menurut usia
kurang dari -2 SD (dibawah nilai tengah/median) dari NCHS (national
center for health statistic), nilai -3SD menunjukkan keadaan yang parah.
Keadaan ini diinterpretasikan sebagai keadaan malnutrisi kronis
(Henningham & McGregor, 2009).

Perawakan pendek seringkali dikaitkan dengan hambatan


pertumbuhan (growth retardation), bahkan digunakan sebagai petunjuk
terhadap adanya gangguan kesehatan seseorang. Perawakan pendek adalah
apabila tinggi badan seseorang terletak dibawah persentil -3 pada grafik
pertumbuhan (Rukman, 1986).

Stunting menggambarkan keadaaan gizi kurang yang sudah


berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak-anak untuk berkembang
serta puih kembali. Anak anak yang bertubuh pendek pada usia dini terus
menunujukkan kemampuan yang lebih buruk dalam fungsi kognitif yang
beragam dan prestasi sekolah yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-
anak yang bertubuh normal. Beberapa penelitian telah menemukan
keterkaitan anatara pertumbuhan tinggi badan dan perubahan
perkembangan dalam usia 3 tahun pertama.

Anak anak yang bertubuh pendek (stunting) pada usia kanak-kanak


dini terus menunjukkan kemampuan yang lebih buruk dalam fungsi
kognitif yang beragam dan prestasi sekolah yang lebih buruk jika
dibandingkan dengan anak-anak yang bertubuh normal hingga usia 12
tahun. Mereka juga mengalami permasalahan perilaku, lebih terhambat,
dan kurrang perhatianserta lebih menunjukkan gangguan tingkah
laku(conduct disorder).

Beberapa penelitian telah menemukan keterkaitan antara


pertumbuhan tinggi badan dan perubahan perkembangan dalam usia 3
tahun pertama. Di Guatemala, perubahan tinggi badan pada usia 6 hingga
24 bulan disertai dengan perubahan pada perkembangan. Di Jamaika,
anak-anak yang bertubuh pendek dicatat dalam usia antara 6 dan 24 bulan ,
dan perubahan tinggi badan selama 24 bulan berikutnya. Penelitian ini
disertai dengan perubahan pada kemampuan intelektual. Lebih lanjut,
perubahan tinggi badan pada tahun pertama dapat meramalkan perubahan
intelektual pada tahun kedua, kendati sudah dilakukan control terhadap
perubahan tinggi badan dalam tahun kedua (Gizi Kesehatan Masyarkat,
2009).

Penelitian intervensi yang melibatkan stimulasi psikososial


(dengan atau tanpa suplementasi) pada anak-anak yang bergizi kurang
telah dilakukan dengan hasil yang baik dan kebanyakan diantaranya
memberikan manfaat jangka panjang dan sama bagi anak-anak. Sebuah
penelitian di Jamaika terhadap anak-anak yang bertubuh pendek
memperlihatkan bahwa makanan maupun stimulasi memberikan manfaat
yang independen (tidak saling bergantung) terhadap perkembangan anak
dan efek yang ditimbulkannya bersifat melengkapi (aditif). Hanya
kelompok yang mendapat kedua program (makanan dan stimulasi)
tersebut yang dapat mencapai perkembangan yang sama seperti kelompok
anak tidak pendek yang dijadikan perbandingan. Kenyataan ini
memperlihatkan perlunya program intervensi yang terintegrasi jika anak-
anak yang bergizi kurang tersebut diharapkan dapa kembali normal.

3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting


a. Usia
Semakin bertambah usia bayi, semakin banyak makanan
pendamping yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Anak
yang sehat dengan bertambahnya umur berat badannya juga akan
bertambah, sehingga umur mempertahankan indicator yang penting
terhadap penentuan status gizi. Status gizi seseorang dapat dihitung
dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U, BB/TB, dimana BB/U lebih
merupakan gambaran status gizi sekarang sedangkan TB/U
menggambarkan status gizi di masa lalu.

b. Jenis Kelamin

Kebutuhan zat gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan


dan biasanya lebih tinggi karena anak laki-laki memiliki aktivitas fisik
yang lebih tinggi.. Khumaidi (1989) menyebutkan bahwa anak laki-laki
biasanya mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dalam hal makanan
dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa
kekurangan gizi lebih banyak terdapat pada anak perempuan daripada anak
laki-laki (FKM UI, 2007).

c. Pemberian ASI Ekslusif

Pemberian ASI Ekslusif diartikan sebagai tindakan untuk tidak


memberikan makanan atau minuman lain (bahkan air sekalipun) kecuali
Air Susu Ibu (Gizi Kesehatan Masyarakat, 2009). WHO dan UNICEF
merekomendasikan pemberian ASI Ekslusif selama sedikitnya 4 bulan
sesudah bayi dilahirkan dan jika mungkin, selama 6 bulan. Pemberian ASI
yang dianjurkan adalah ASI eksklusif selama 6 bulan yang diartikan
bahwa bayi hanya mendapatkan ASI saja tanpa makanan atau minuman
lain termasuk air putih (Matondang, dkk, 2008).
ASI merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi karena
mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan
bayi yang dibuat oleh manusia atau pun susu yang berasal dari hewan
seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing. Tidak satupun susu
buatan manusia (susu formula) dapat menggantikan perlindungan
kekebalan tubuh seorang bayi, seperti yang diperoleh dari susu kolostrum
(Krisnatuti dan Yenrina, 2001).
ASI cocok sekali sekali untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam
segala hal : karbohidrat dalam ASI berupa laktosa, lemaknya banyak
mengandung polyunsaturated fatty acid (asam lemak tak jenuh ganda),
protein utamanya lactoalbumin yang mudah dicerna, kandungan vitamin
dan mineral banyak, rasio kalsium-fosfat sebesar 2:1 yang merupakan
kondisi yang ideal bagi penyerapan kalsium. Selain itu juga ASI
mengandung zat anti infeksi (Arisman, 2002).
Kolostrum ialah ASI yang keluar pertama kali, berwarna jernih
kekuningan, dan kaya akan zat antibody seperti : a).factor bifidus,b) SIgA,
IgM,IgG, c). factor antistafilokokus, d)laktoferin, e).laktoperoksidase,
f).komplemen:C3,C4, g).interferon, h).lisozom, i)protein pengikat B12,
j).lomfosit, k).makrofag, l). factor lipid, asam lemak dan monogliserida.
Jumlah kolostrum yang tersekresi bervariasi antara 10-100 cc (rata-rata 30
cc) sehari. Sekresi ASI meningkat bertahap dan mencapai komposisi
matang pada 30-40 jam seusai melahirkan.
Secretory IgA yang terkandung dalam kolostrum berkemampuan
mengikat allergen potensial, sekaligus mencegah penyerapannya. Itulah
sebabnya mengapa bayi peminum ASI jarang mengalami alergi.
Pemberaian ASI secara ekslusif selama beberapa minggu setelah lahir
akan menurunkan resiko menderita eksim atopic ditahun pertama
kehidupan.
Air susu ibu selain sebagai sumber nutrisi dapat member
perlindungan kepada bayi melalui berbagai zat kekebalan yang
dikandungnya. Walaupun ibu dalam kondisi kekurangan gizi sekalipun,
ASI tetap mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan mampu
mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit dan immunoglobulin
(Munasir dan Kurniati, 2008). Sedangkan menurut Roesli (2005) ASI akan
merangsang pembentukan daya tahan tubuh bayi sehingga ASI berfungsi
pula sebagai imunisasi aktif.
Pemberian ASI dapat meningkatkan imunitas bayi terhadap
penyakit sebagaimana diperlihatkan dalam sejumlah penelitian ketika
pemberian ASI disertai dengan penurunan frekuensi dieare, konstipasi
kronis, penyakit gastrointestinal, dan infeksi traktus respiratorius, serta
infeksi telinga.

d. Penyakit Infeksi

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergistik antara malnutrisi


dan infeksi. Infeksi adalah suatu keadaan dimana masuknya dan
berkembangnya agen penyakit menular dalam tubuh manusia (Nur Nasry,
2006). Sedangkan dalam kamus kedokteran infeksi mempunyai arti yaitu
masuknya bibit penyakit kedalam tubuh, khususnya oleh mikroorganisme
seperti virus dan bakteri. Adapun jenis jenis penyakit infeksi yaitu demam,
diare, campak, ISPA, difteri, tetanus, pneumonia, dan batuk rejan
(Liniyanti, 1997).

Telah lama diketahui bahwa antara penyakit infeksi dan status gizi
merupakan dua hal yang hubungannya sangat erat dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Penyakit infeksi akan mengakibatkan
terjadinya penghancuran jaringan tubuh, baik oleh bibit-bibit penyakit itu
sendiri maupun penghancuran untuk memperoleh protein yang diperlukan
untuk pertahanan tubuh sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap penyakit
infeksi akan memperburuk status gizi (Moehji, 1996).

Anak yang status gizinya memang kurang, pertahanan tubuhnya


memang lemah karena tidak terpenuhinya asupan zat gizi yang maksimal.
Kondisi seperti ini sangat memudahkan bibit penyakit untuk datang,
terutama pada anak yang mengalami KEP (Moehji, 1996).
Semakin menurunnya keadaan gizi anak karena penyakit infeksi,
merupakan akibat dari beberapa hal yaitu :

a. Turunnya nafsu makan anak akibat rasa tidak nyaman yang


dialaminya, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal saat
kondisi ini memerlukan zat gizi yang lebih banyak terutama
untuk menggantikan jaringan yang rusak akibat adanya bibit
penyakit.
b. Penyakit infeksi sering diiukuti oleh diare dan muntah yang
menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat
gizi. Adanya diare juga dapat menyebabkan penyerapan zat gizi
dari makanan juga terganggu.
c. Naiknya metabolism basal sebagai akibat demam menyebabkan
termobilisasinya cadangan energy dalam tubuh (Moehji, 2003)

Infeksi dan derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi.


Malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negative pada
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Dampak infeksi terhadap pertumbuhan
telah lama diketahui. Keadaan demikian disebabkan oleh hilangnya nafsu
makan penderita penyakit infeksi hingga masukan (intake) zat gizi dan
energy kurang daripada kebutuhannya. Lagipula pada infeksi kebutuhan
tersebut justru meningkat oleh katabolisme yang berlebihan dan suhu
badan yang meninggi..

e. Pendidikan Orang Tua

Dalam hal ini , pendidikan ibu yang banyak berperan karena


selama ini terutama bagi masyarakat Indonesia segala urusan yang
berkaitan dengan makanan masih menjadi tanggung jawab ibu mulai dari
tahap merencanakan menu hingga menyajikan dan membagikan makanan
kepada anggota keluarganya.
Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan,
akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan
kebutuhan gizi. Salah satu contoh, prinsip yang dimiliki seseorang dengan
pendidikan rendah biasanya adalah ‘yang penting mengenyangkan’,
sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lain. Sebaliknya,
kelompok orang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan
memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha
menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain.

f. Pengetahuan Orang Tua tentang Gizi dan Kesehatan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah


orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Soekidjo, 2007).

Sebagian besar kejadian gizi buruk dapat dihindari apabila kepala


keluarga terutama ibu mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang
mengenai gizi dan kesehatan. Orang tua yang mempunyai tingkat
pengethaun yang kurang mengenai gizi dan kesehatan cenderung tidak
memperhatikan kandungan zat gizi dalam makanan keluarganya terutama
untuk Balita, serta kebersihan makanan yang disantap sehingga akan
mempengaruhi status gizinya.

Indicator-indikator apa yang dapat digunakan untuk mengetahui


tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat
dikelompokkan menjadi :

a. Pengethaun tentang sakit dan penyakit yang meliputi ;


- Penyebab penyakit
- Gejala atau tanda-tanda penyakit
- Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari
pengobatan
- Bagaimana cara penularannya
- Bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi dan
sebagainya
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara
hidup sehat, meliputi :
- Jenis-jenis makanan yang bergizi
- Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatannya
- Pentingnya olahraga bagi kesehatan
- Penyakit-penyakit atau bahaya merokok, minum-
minuman keras, narkoba dan sebagainya.
- Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan
sebagainya bagi kesehatan.

c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan


- Manfaat air bersih
- Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk
pembuangan kotoran yang sehat dan sampah
- Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang
sehat akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi
kesehatan dan sebagainya.

g. Jumlah Anggota Keluarga

Dalam acara makan bersama sering kali anak-anak yang lebih kecil
akan mendapatkan jatah yang kurang mencukupi karena kalah dengan
kakaknya yang makannya lebih cepat dan porsi sekali suap yang lebih
besar.
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat
nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama
mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan
yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup
untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut
(Suhardjo, 1996).
Anak anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah
paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan
anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan
pangan. Sebagian memang demikian, sebab seandainya besar keluarga
bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang
tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan
pangan relative lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan
demikian anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan.

h. Keaktifan Ibu Balita Menghadiri Posyandu

Posyandu adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya


Masyarakat (UKBM) yang diselenggarakan dan dikelola dari, oleh, dan
untuk masyarakat guna memberikan kemudahan dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian
ibu dan bayi (Depkes, 2006). Pengertian diatas mencakup pemberdayaan
masyarakat yang berarti upaya fasilitasi yang bersifat non-instruktif, guna
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar mampu
mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki,
merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan
potensi wilayah setempat.
Tujuan umum dari penyelenggaraan Posyandu adalah percepatan
dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi melalui upaya
pemberdayaan masyarakat dengan tujuan khusus meningkatnya peran serta
masyarakat dan lintas sektor serta meningkatnya cakupan pelayanan
kesehatan dasar.
Pelayanan kesehatan dasar di Posyandu minimal terdiri dari lima
kegiatan utama, yaitu gizi, kesehatan ibu dan anak (KIA), Keluarga
Berencana (KB), Imunisasi, dan penanggulangan diare. Palayanan
kesehatan dasar tersebut ditujukan kepada seluruh masyarakat dan sebagai
sasaran utamanya adalah bayi, Balita, ibu hamil, ibu malahirkan, ibu nifas,
ibu menyusui, dan Pasangan Usia Subur (PUS). Sedangkan waktu dan
tempat pelaksanaan Posyandu ditentukan oleh masyarakat sendiri, namun
hendaknya tempat yang dipilih mudah dijangkau oleh masyarakat.

Kegiatan Gizi di Posyandu


Kegiatan gizi di Posyandu merupakan salah satu kegiatan utama
dan umumnya menjadi prioritas dalam pelaksanaan kegiatan Posyandu.
Kegiatan pelayanan gizi di Posyandu dilakukan oleh kader. Sasarannya
adalah bayi, Balita, ibu hamil dan WUS. Kegiatan yang dilakukan meliputi
penimbangan berat badan, pencatatan hasil penimbangan pada KMS (kartu
menuju sehat) untuk deteksi dini gangguan pertumbuhan, penyuluhan gizi,
pemberian PMT, pemberian vitamin A, dan pemberian tablet Fe. Khusus
untuk ibu hamil dan ibu nifas ditambah dengan pemberian tablet besi serta
kapsul yodium untuk yang bertempat tinggal di daerah gondok endemik.
Apabila setelah dua kali penimbangan tidak ada kenaikan berat badan,
segera dirujuk ke Puskesmas (Depkes RI, 2006).

KMS (Kartu Menuju Sehat)


Hasil penimbangan berat badan yang dilakukan akan dicatat pada
KMS (kartu menuju sehat) yang akan menilai status gizi balita dan
mendeteksi secara dini jika terjadi gangguan pertumbuhan. KMS adalah
kartu yang memuat data pertumbuhan serta beberapa informasi lain
mengenai perkembangan anak, yang dicatat setiap bulan dari sejak lahir
sampai anak berusia 5 tahun (Depkes RI, 2009).
Jenis informasi pada KMS berupa berat badan balita, pemberian
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif untuk bayi 0 – 6 bulan, imunisasi yang telah
diberikan, pemberian vitamin A, penyakit yang pernah diderita anak, dan
kemampuan yang harus dimiliki anak sesuai tingkat usianya seperti
kemampuan merangkak, duduk, dan sebagianya. Catatan atau informasi
pada KMS merupakan alat pemantau keadaan balita yang dapat dijadikan
acuan untuk memberikan penyuluhan kepada ibu/keluarga balita. Selain
itu dapat pula dijadikan acuan untuk memberikan rujukan baik ke
pelayanan kesehatan yang ada di Posyandu maupun ke Puskesmas.

Penyuluhan Gizi
Penyuluhan gizi di posyandu dilakukan oleh kader kepada
Ibu/keluarga balita. Topik penyuluhan yang biasanya diberikan berupa
cara memantau pertumbuhan balita, tanda anak gizi buruk dan
penanganannya, Keluarga Sadar Gizi (KADARZI), pemberian ASI
eksklusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI), manfaat vitamin A
dan zat besi serta akibat jika kekurangan, dan materi terkait gizi lainnya.
Dalam melakukan penyuluhan gizi biasanya digunakan alat bantu
berupa media lembar balik, poster, leaflet/brosur, lembar simulasi, lembar
kasus, alat peraga (food model) dan sebagianya.
Kegiatan gizi di Posyandu terbukti memberikan kontribusi yang
besar terhadap peningkatan status gizi masyarakat. Pernyataan ini
didukung dengan asumsi bahwa Posyandu merupakan salah satu
pendekatan yang tepat untuk meningkatkan status gizi Balita (Adisasmito,
2007). Ditambah lagi kenyataan bahwa Posyandu merupakan tempat yang
paling banyak dikunjungi untuk penimbangan Balita yaitu sebesar 78,3%
jika dibandingkan pelayanan kesehatan lainnya (Depkes RI, 2008).
B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dibawah ini merupakan hasil dari kerangka yang


dikemukakan, maka dibuat kerangka konsep penelitian sebagai
berikut:

Karakteristik Balita :

o Jenis Kelamin
o Usia
o Status Kesehatan
o Pemberian ASI Ekslusif

Karakteristik Keluarga :
STATUS
o Pendidikan Kepala
GIZI
Keluarga
o Pendidikan Ibu
BALITA
o Pekerjaan Kepala Keluarga (STUNTING)
o Pekerjaan Ibu
o Pengetahuan Gizi dan
Kesehatan Ibu
o Jumlah Anggota Keluarga
Pelayanan Kesehatan :

o Keaktifan Menghadiri
Posyandu

C. Definisi Operasional
1. Status Gizi Balita (24-59 Bulan)

Keadaan fisik anak usia 24-59 bulan yang diukur secara


antropometri dengan indeks TB/U, yang dibandingkan dengan standar
baku

Jenis KelaminWHO-NCHS.
Kategori : Normal : -2SD - +2SD
Pendek (Stunting) : < -2SD
Skala ukur : Ordinal.

2. Jenis Kelamin

Alat kelamin yang membedakan antara laki-laki dan perempuan


yang diperoleh melalui wawancara dengan mengunakan alat bantu
kuisioner.

Kategori : - Laki-laki
- Perempuan
Skala ukur : Nominal

3. Usia

Selisih tanggal survey dengan tanggal lahir Balita yang dinyatakan


dalam genap bulan, didapat melalui wawancara dengan menggunakan
kuisioner.

Kategori : 24 – 59 bulan
Skala ukur : Interval.
4. Status Kesehatan Balita
Keadaan balita mengenai kesehatan yang dialaminya dalam
1 minggu – 1 bulan terakhir, diperoleh melalui wawancara dengan
mengunakan kuisioner.
Kategori : - Sehat : Bila tidak ada gangguan kesehatan
- Tidak sehat : bila ada gangguan kesehatan.

Skala ukur : Ordinal

5. Pemberian ASI Ekslusif

Pemberian ASI Ekslusif atau pemberian ASI saja tanpa makanan


tambahan lain nya dari umur 0-6 bulan pada balita (sampel) diperoleh
melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner.

Kategori :- Ya : Pemberian ASI Ekslusif


- Tidak : Pemberian ASI Non Ekslusif

Skala ukur : Ordinal

6. Pendidikan Kepala Keluarga

Jenjang pendidikan formal tertinggi yang diselesaikan oleh Kepala


Keluarga diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan
kuisioner.
Kategori: - Lulus SD/ pernah duduk di sekolah dasar atau
sederajat
` - Lulus SLTP/ pernah duduk di sekolah menengah
pertama atau sederajat
- Lulus SLTA/ pernah duduk di sekolah
menengah atas atau sederajat
- Lulus Perguruan Tinggi/ pernah tercatat sebagai
mahasiswa di suatu institusi.

Skala ukur : Ordinal

7. Pendidikan Ibu

Jenjang pendidikan formal tertinggi yang diselesaikan oleh Ibu


Balita diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner.

Kategori: - Lulus SD/ pernah duduk di sekolah dasar atau


sederajat
` - Lulus SLTP/ pernah duduk di sekolah menengah
pertama atau sederajat
- Lulus SLTA/ pernah duduk di sekolah
menengah atas atau sederajat
- Lulus Perguruan Tinggi/ pernah tercatat sebagai
mahasiswa di suatu institusi.

Skala ukur : Ordinal

8. Pengetahuan Gizi & Kesehatan Ibu

Pemahaman tentang gizi dan kesehatan secara umum yang dimiliki


oleh Ibu Balita berdasarkan kemampuan berfikir tentang makanan
sehat dan bahan makanan yang baik untuk kesehatan, didapat melalui
wawancara dengan menggunakan kuisioner.

Kategori : - Baik : bila hasilnya ≥ nilai rata-rata


- Kurang : bila hasilnya < nilai rata-rata

Skala ukur : Ordinal.

9. Pekerjaan Kepala Keluarga

Pekerjaan utama sehari-hari Kepala Keluarga dalam menunjang


penghasilan keluarga, didapat melalui wawancara dengan
menggunakan kuisioner.

Kategori: -Pegawai Pemerintah : anggota ABRI, PNS, Pensiunan.

- Wiraswasta : pedagang
- Petani
- Buruh : Sopir, bekerja di pabrik/usaha orang
lain.
- Tukang ojek atau sopir (mempunyai kendaraan
sendiri)

Skala ukur : Ordinal

10. Pekerjaan Ibu

Pekerjaan utama sehari-hari Kepala Keluarga dalam menunjang


penghasilan keluarga, didapat melalui wawancara dengan
menggunakan kuisioner.

Kategori : - Bekerja ; berusaha sendiri, berusaha dibantu anggota


keluarga, berusaha sebagai buruh, pegawai pemerintah maupun swasta.

- Tidak Bekerja : Ibu Rumah Tangga

Skala ukur : Ordinal.


11. Jumlah Anggota Keluarga

Banyaknya jiwa dalam rumah yang menjadi tanggungan Kepala


Keluarga dan tinggal dalam satu atap, didapat melalui wawamcara
dengan menggunakan kuisioner.

Kategori : - ≤ 4 orang
- > 4 orang

Skala ukur : Ordinal

12. Keaktifan Menghadiri Posyandu

Keaktifan Ibu Balita dalam menghadiri posyandu untuk


mengetahui pertumbuhan balita nya (menimbang balita nya setiap
bulan di posyandu) didapat melalui wawancara dengan menggunakan
kuisioner.

Kategori : - Aktif : 3 kali penimbangan balita di


posyandu dalam 3 bulan terakhir
- Tidak Aktif : < 3 kali penimbangan balita di
posyandu dalam 3 bulan terakhir.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

1. Lokasi Penelitian
Secara geografis penelitian ini akan dilakukan di Wilayah
Kerja Puskesmas Pedamaran Kecamatan Pedamaran Kabupaten
Ogan Komering Ilir.
Alasan penulis mengambil lokasi ini karena Kecamatan
Pedamaran merupakan Kecamatan yang mempunyai prevalensi
balita stunting cukup tinggi yaitu 12.14% dan menempati Urutan
Kedua dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Ogan Komering
Ilir pada Tahun 2011.

2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari tanggal …….. sampai dengan
…. Tahun ….
B. Jenis dan Rancangan Penelirtian
Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan
rancangan Cross-Sectional dimana penelitian ini mempelajari
dinamika korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang


melakukan pengukuran di wilayah kerja Puskesmas Pedamaran dan
dikatagorikan sebagai stunting.

2. Sampel

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah balita


usia 24-59 bulan yang telah diukur dan dikatagorikan sebagai
Stunting.

3. Cara Pengambilan Besar Sampel

Penarikan sampel menggunakan cara Systematic Random


Sampling, dengan tahapan sebagai berikut :

Tiap subyek nomor ke sekian dimasukkan dalam sampel.


Bila ingin mengambil 1/n dari populasi, maka setiap balita nomor n
dimasukkan ke dalam sampel. Atau melalui tahapan sebagai
berikut :

a. Melakukan pendaftaran (pengelompokan) pada keluarga yang


mempunyai Balita yang dikatagorikan sebagai stunting (24-59
bulan).
b. Beri nomor pada populasi secara merata.
c. Kemudian tentukan proporsi sampel yang diambil dan
selanjutnya dilakukan pemilihan pertama secara random satu
diantara nomor proporsi yang telah ditentukan untuk dijadikan
sampel, rumus yang digunakan :

K=N
n

Keterangan : N = Selang pengambilan sampel

K = Jumlah populasi

n = Jumlah sampel

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a. Data Primer

Data ini meliputi :Karakteristik keluarga (identitas


responden, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua,
pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan jumlah anggota keluarga),
Karakteristik Balita (Usia, jenis kelamin, Status kesehatan,
Pemberian ASI Ekslusif) dan pelayanan kesehatan (Keaktifan
menghadiri posyandu).

b. Data Sekunder
Data ini meliputi gambaran umum Kecamatan Pedamaran
Kabupaten Ogan Komering Ilir dan data (kepustakaan) serta
sumber lain yang menunjang dalam penelitian ini.

2. Cara Pengumpulan Data


a. Data primer
Dikumpulkan dengan cara wawancara langsung kepada
responden dengan menggunakan alat bantu kuisioner.
b. Data sekunder
Dikumpulkan dengan cara mempelajari laporan-laporan /
dokumen yang ada di :
 Kantor Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering
Ilir.
 Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan
 Dinas Kesehatan Kota Palembang
 Dinas Kesehatan Kabupaten OKI

E. Pengolahan dan Analisis Data


1. Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan


tahapan sebagai berikut ;
a. Editing Data
Untuk melihat apakah kuisioner telah terisi dengan lengkap.

b. Coding
Mengelompokkan jawaban (menurut macamnya) ke bentuk
yang ringkas dengan menggunakan kode-kode.

c. Entry Data (Memasukkan Data)

Setelah data selesai decoding, tahap berikutnya adalah


memasukkan data kedalam kartu tabulasi data.
d. Cleaning Data

Adalah memastikan data apakah benar-benar bebas dari


kesalahan dengan cara melakukan proses untuk menguji
kebenaran data.

2. Analisis Data
a. Analisa Univariat

Menggambarkan seluruh variabel penelitian dengan cara


membuat table distribusi frekuensi meliputi Karakteristik keluarga
(identitas responden, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang
tua, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan jumlah anggota
keluarga), Karakteristik Balita (Usia, jenis kelamin, Status
kesehatan, Pemberian ASI Ekslusif) dan pelayanan kesehatan
(Keaktifan menghadiri posyandu).

b. Analisa Bivariat
Analisa dengan membuat table silang antara masing-masing
variabel (variabel independent dan variabel dependen), dan
selanjutnya hubungan antara masing-masing variabel diuji dengan
uji chi square (X2) dengan menggunakan system komputerisasi
program SPSS, yaitu menguji kemaknaan hubungan atau
perbedaan dengan tingkat kepercayaan 95%.
Keputusan statistic diambil dengan melihat nilai p pada tingkat
kepercayaan 95% sebagai berikut (Kuzma, 1994) :
P > 0,05 (α) dinyatakan hasilnya tidak bermakna.
P < 0,05 (α) dinyatakan hasilnya bermakna.
DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Provinsi Sumsel.2011.Geonutritional Mapping Gizi


Sumsel.Palembang.
Rekapitulasi Pemantauan Status Gizi Balita Kabupaten OKI Tahun 2011.
(Adair & Guilkey.1997.Dalam.Wahdah,Siti.2012.Faktor Risiko Kejadian Stunting
pada Anak Umur 6-36 bulan.Jurnal Gizi dan Kesehatan FK Universitas Gadjah
Mada Yoygakarta.

Allen & Gillespie, 2001. Dalam.Wahdah,Siti.2012.Faktor Risiko Kejadian


Stunting pada Anak Umur 6-36 bulan.Jurnal Gizi dan Kesehatan FK Universitas
Gadjah Mada Yoygakarta.

Andry Hartono, 2006. Dalam Ardiyanti, Dian.2009. Faktor-faktor yang


berhubungan dengan status gizi balita.

FKM UI.2007.Gizi & Kesehatan Masyarakat.Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Gibney, J.M, dkk. 2005.Gizi Kesehatan Masyarakat.Jakarta:EGC.

Aritonang, Irianton.2011.Menilai Status Gizi untuk Mencapai Sehat


Optimal.Yogyakarta:Leutika.
Arisman.2004.Gizi Dalam Daur Kehidupan.Jakarta:EGC.
Supariasa, N.D.I, dkk.2001.Penilaian Status Gizi.Jakarta:EGC.
Pudjiadi, Solihin.1990.Ilmu Gizi Klinis Pada Anak.Jakarta:Gaya Baru.
Notoatmodjo, Soekidjo.2007.Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku.Jakarta:Rineka
Cipta.
PERSAGI.2009.Kamus Gizi.Jakarta:Kompas.

Anda mungkin juga menyukai