Modul 3 Dampak Sosial Korupsi PDF
Modul 3 Dampak Sosial Korupsi PDF
JAKARTA, 2016
MODUL INTEGRITAS BISNIS
PENGARAH
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
Deputi Bidang Pencegahan
PENANGGUNG JAWAB
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Sujanarko
SUPERVISI
Pauline Arifin
Roro Wide Sulistyowati
PENULIS
Rimawan Pradiptyo, M.Sc, Ph.D
PELAKSANA
PT. PPA Consultants
Diterbitkan oleh:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Gedung Dwiwarna KPK
Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12920
Buku ini boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya, diperbanyak untuk tujuan
pendidikan dan non-komersial lainnya dan tidak untuk diperjualbelikan.
Korupsi yang masih marak terjadi di Indonesia, selain melibatkan mereka yang bertugas
di instansi pemerintahan, ternyata juga melibatkan pengusaha atau orang-orang yang
bergerak di bisnis swasta. Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan
Korupsi menjadikan sektor swasta sebagai salah satu fokus area kerja.
Modul Wawancara Investigatif ini dibuat dengan tujuan agar peserta mampu memahami
dengan baik dan benar serta menerapkan wawancara investigatif bagi korporasi.
Sujanarko
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
DAFTAR INFORMASI VISUAL ..........................................................................................iv
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL.................................................................................v
RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN.............................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. LATAR BELAKANG....................................................................................... 1
B. DESKRIPSI UMUM...................................................................................... 2
C. TUJUAN PEMBELAJARAN........................................................................... 2
D. MATERI POKOK DAN SUBMATERI POKOK................................................... 2
BAB II KONSEP, TUJUAN DAN PRINSIP
WAWANCARA INVESTIGATIF......................................................................5
A. KONSEP WAWANCARA INVESTIGATIF........................................................ 5
B. TUJUAN WAWANCARA INVESTIGATIF........................................................ 9
C. PRINSIP WAWANCARA INVESTIGATIF....................................................... 10
D. LATIHAN................................................................................................... 10
E. RANGKUMAN........................................................................................... 11
F. EVALUASI MATERI..................................................................................... 11
G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT........................................................ 12
BAB III LANGKAH-LANGKAH WAWANCARA INVESTIGATIF
DENGAN METODE P.E.A.C.E...................................................................... 13
A. WAWANCARA INVESTIGATIF
DENGAN METODE P.E.A.C.E..................................................................... 13
B. LATIHAN................................................................................................... 19
C. RANGKUMAN........................................................................................... 21
D. EVALUASI MATERI.................................................................................... 20
E. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT......................................................... 21
BAB IV PENUTUP................................................................................................. 22
A. EVALUASI KEGIATAN BELAJAR.................................................................. 23
B. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT........................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 27
DAFTAR ISTILAH............................................................................................................ 29
Halaman
A. DAFTAR CONTOH
Contoh 1. Contoh Lembar Perencanaan dan
Persiapan Wawancara Investigatif.................................................... 16
B. DAFTAR LATIHAN
Latihan 1. Perencanaan dan Persiapan Wawancara......................................... 20
Latihan 2. Instruksi untuk Wawancara.............................................................. 21
A. LATAR BELAKANG
Selama ini korupsi terus terjadi dalam struktur kehidupan sosial manusia di
sepanjang periode waktu. Korupsi dianggap telah memberikan dampak negatif bagi
kehidupan manusia baik terhadap perekonomian masyarakat, maupun terhadap
norma dan budaya masyarakat. Korupsi telah menjadi masalah di dalam sebuah
negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Dikarenakan dampaknya
yang sangat luas terhadap kehidupan manusia, maka korupsi menjadi musuh
bersama yang harus diberantas. Untuk memberantas korupsi, berbagai Negara
– termasuk Indonesia – telah membentuk lembaga pemberantasan korupsi. Di
Indonesia, lembaga pemberantasan korupsi diberi nama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang didirikan tahun 2002 sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002.
Selama ini korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang cukup serius. Hal
ini ditunjukkan melalui peringkat korupsi Indonesia masing tergolong tinggi
dibandingkan negara lainnya. Kebocoran dan disalokasi anggaran di berbagai
sektor pemerintahan menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Oleh karena itu, dalam keberhasilan pemberantasan korupsi sangat
diperlukan kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pemberantasan korupsi
secara maksimal. Pemberantasan korupsi sangat diperlukan karena korupsi
memiliki dampak yang sangat buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
bahkan dalam kehidupan sosial masyarakat yang terkana dampaknya.
Beberapa penelitian (Mauro, 1995; Mo, 2001; Meon dan Sekkat, 2005; Fisman dan
Miguel, 2008; Yamamura, Andres dan Katsaiti, 2012) telah banyak menemukan
berbagai dampak korupsi terhadap bidang kehidupan masyarakat baik dalam
bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Pemahaman oleh masyarakat terhadap
berbagai macam dampak korupsi terhadap kehidupan manusia diharapkan
dapat menciptakan norma dan budaya anti korupsi dalam masyarakat Indonesia
khususnya.
Wawancara Investigatif 1
Penolakan masyarakat terhadap korupsi yang terjadi dalam suatu negara
mampu meningkatkan tingkat deteksi terhadap korupsi. Sebaliknya, pembiaran
atau penerimaan masyarakat terhadap korupsi akan membuat korupsi semakin
merajalela dan menjadi pola-pola perilaku yang sangat merugikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penolakan masyarakat terhadap koruptor
dan perbuatan korupsi menyebabkan sanksi sosial terhadap korupsi menjadi tinggi,
sehingga mengurangi niat koruptor untuk melakukan korupsi. Maka dari itu modul
ini dibuat untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang korupsi,
faktor-faktor penyebab korupsi dan dampak korupsi yang sangat merugikan
terhadap masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. DESKRIPSI UMUM
Modul Dampak Sosial Korupsi membekali peserta pembelajaran tentang dampak
perbuatan korupsi terhadap kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Modul ini menyajikan konsep korupsi, faktor-faktor penyebab korupsi, dampak
korupsi, konsep dan perhitungan dampak korupsi melalui perhitungan biaya sosial
serta penerapannya di Indonesia.
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu menguraikan dampak
sosial akibat dari tindak pidana korupsi; konsep, perhitungan dan penerapannya
di Indonesia.
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta:
a) Mampu menjelaskan definisi korupsi.
b) Mampu menguraikan faktor-faktor penyebab korupsi.
c) Mampu menguraikan perkembangan korupsi di Indonesia.
d) Mampu menguraikan dampak sosial korupsi.
e) Mampu menguraikan penghitungan dampak sosial korupsi.
Dalam mempelajari materi pokok dan submateri pokok tersebut dapat diajukan
pertanyaan-pertanyaan kunci (key questions) sebagai berikut:
Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menjelaskan konsep mengenai korupsi.
A. DEFINISI KORUPSI
Aidt (2003) menyatakan bahwa korupsi merupakan fenomena yang sulit didefinisikan
secara tepat dan komprehensif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan penilaian/
persepsi korupsi yang ada pada setiap kelompok masyarakat. Pada faktanya,
korupsi juga berhubungan dengan sejarah dan sistem pemerintahan suatu negara.
Di Korea Utara, membawa surat kabar dan/atau buku yang bertentangan dengan
filosofi negara Korea Utara dapat dikategorikan sebagai korupsi (Bardhan, 1997).
Dengan demikian definisi korupsi juga dipengaruhi oleh norma dan budaya dari
tiap masyarakat.
Wawancara Investigatif 5
keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu menurut UU Anti Korupsi,
tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya
harus dilakukan secara luar biasa.
Dari sekian banyak definisi korupsi yang ada, definisi yang sering digunakan
sebagai acuan dalam studi korupsi lintas negara adalah definisi korupsi menurut
Transparency International. Menurut Transparency International, korupsi
merupakan penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan untuk kepentingan
pribadi (the abuse of entrusted power for private gain).
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dianggap sebagai salah satu bentuk pengukuran
kondisi korupsi pada suatu negara. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) disajikan dalam
bentuk nilai dalam rentang antara 0 (nol) sampai dengan 10 (sepuluh). Semakin
rendah IPK maka semakin tinggi tingkat korupsi di negara tersebut. Sebaliknya,
semakin tinggi nilai IPK yaitu mendekati 10 (sepuluh), maka semakin rendah tingkat
korupsi di negara tersebut.
C. LATIHAN
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab latihan berikut:
1. Jelaskan pengertian korupsi menurut pakar/ahli!
2. Jelaskan pengertian korupsi menurut Transparency International!
3. Jelaskan yang dimaksud tindak pidana korupsi menurut UU Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia!
4. Bagaimana mengukur tingkat korupsi suatu negara?
D. RANGKUMAN
Secara umum definisi korupsi menurut para ahli adalah penyalahgunaan sumber
daya dan jabatan publik untuk kepentingan pribadi.
E. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab soal-soal berikut:
1. Dari sekian banyak pengertian korupsi menurut para ahli, apa pengertian
korupsi yang dapat anda pahami?
2. Menurut anda, bagaimana identifikasi korupsi di Indonesia? apakah telah
tertuang dalam definisi korupsi menurut UU atau definisi menurut para ahli?
3. Bagaimana perbedaan cakupan korupsi menurut UU Anti Korupsi Indonesia
dengan UU Anti Korupsi Internasional?
Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan faktor-faktor penyebab korupsi.
Beberapa hal yang dapat menjadi motivasi untuk melakukan korupsi antara lain
adalah: adanya ketimpangan pendapatan atau gaji antara sektor publik dan swasta,
adanya ketimpangan pendapatan atau gaji antar sektor publik, gaya hidup atau pola
konsumsi yang berlebihan, standar pengeluaran pemerintah yang tidak mencukupi,
dan faktor sistemik atau struktural.
Wawancara Investigatif 9
memungkinkan korupsi untuk terjadi. Faktor sistemik berupa sebuah sistem
yang dapat menyebabkan terjadinya pembiaran korupsi sehingga korupsi terus
berlangsung/merajalela dalam sebuah sistem. Dengan adanya berbagai macam
motivasi untuk melakukan korupsi, beberapa penelitian berupaya mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi.
1) Faktor Sejarah
Sejarah yang berhubungan dengan penjajahan kolonial suatu negara merupakan
salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat korupsi. Kolonialisme dalam
sebuah negara memberikan efek pembentukan sistem kelembagaan di negara
tersebut. Sebagai contoh misalnya, negara yang pernah dijajah oleh kolonial
Inggris biasanya memiliki tingkat korupsi yang rendah dan ditandai dengan IPK
(Indeks Persepsi Korupsi) tinggi (Treisman, 2000).
2) Faktor Ekonomi
Menurut Svensson (2005), negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki
karakteristik sebagai negara berkembang dan negara transisi, negara dengan
tingkat pendapatan yang rendah, dan negara yang memiliki sistem perekonomian
tertutup. Sistem perekonomian tertutup menyebabkan tingkat entry pasar yang
semakin rendah sehingga kompetisi sangat sulit terjadi. Akibatnya muncul
penyuapan dan pungli untuk dapat masuk dalam sebuah pasar. Oleh karena itu
perekonomian tertutup cenderung untuk memiliki tingkat korupsi yang tinggi.
Negara maju biasanya memiliki sistem pengaturan entry pasar yang baik dan
stabil sehingga tingkat korupsinya juga rendah.
3) Faktor Budaya
Perspektif budaya maskulin suatu negara dapat mempengaruhi tingkat korupsi
suatu negara (Swamy, Knack dan O. Azfar, 2001).
4) Faktor Kelembagaan
Negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tinggi cenderung memiliki tingkat
korupsi yang rendah (Svensson, 2005). Sebaliknya, negara yang memiliki tingkat
kebebasan pers rendah cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Hal ini
dikarenakan free press dapat memberikan informasi lebih banyak tentang orang
atau oknum pemerintah yang melakukan korupsi. Akibatnya, expected benefit
lebih rendah dibandingkan expected cost untuk melakukan korupsi. Selain itu
dengan adanya kebebasan pers, tingkat deteksi menjadi lebih tinggi sehingga
tingat korupsi menjadi lebih rendah.
Hidden action perlu diperkecil atau ditiadakan, karena hidden action merupakan
penyebab inefisiensi dalam perekonomian serta memicu terjadinya korupsi
dalam suatu kelembagaan. Adanya informasi asimetri merupakan indikasi
bahwa suatu sistem kelembagaan adalah lemah. Selain itu diperlukan kondisi
adanya kompetisi dalam ekonomi dan lembaga politik. Kompetisi ekonomi dan
politik dapat mengurangi tingkat korupsi dan efeknya yang merugikan (Shleifer
dan Vishny, 1993). Hal ini dikarenakan kompetisi politik membuat pemerintahan
lebih transparan.
Jadi, terdapat beberapa aktivitas korupsi yang masih belum diatur di UU Anti
Korupsi Indonesia, sedangkan pada UU Anti Korupsi di negara lain, hal-hal
tersebut telah diatur.
B. LATIHAN
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal latihan berikut:
1. Hal apa saja yang dapat memotivasi seseorang untuk melakukan korupsi?
2. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya korupsi!
C. RANGKUMAN
Hal-hal yang dapat menjadi motivasi untuk melakukan korupsi antara lain adalah:
adanya ketimpangan pendapatan atau gaji antara sektor publik dan swasta, adanya
ketimpangan pendapatan atau gaji antar sektor publik, gaya hidup atau pola
Faktor-faktor penyebab korupsi antara lain adalah faktor sejarah, ekonomi, budaya,
dan kelembagaan:
1) Faktor Sejarah: Sejarah yang berhubungan dengan penjajahan kolonial suatu
negara merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat korupsi.
Kolonialisme dalam sebuah negara memberikan efek pembentukan sistem
kelembagaan di negara tersebut.
2) Faktor Ekonomi: Negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki karakteristik
sebagai negara berkembang dan negara transisi, negara dengan tingkat
pendapatan yang rendah, dan negara yang memiliki sistem perekonomian
tertutup.
3) Budaya: Perspektif budaya maskulin suatu negara dapat mempengaruhi tingkat
korupsi suatu negara (Swamy, Knack dan Azfar, 2001).
4) Faktor Kelembagaan: Negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tinggi dan
baiknya sistem kelembagaan cenderung memiliki tingkat korupsi yang rendah.
D. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal evaluasi berikut:
1) Setelah anda mempelajari faktor-faktor penyebab korupsi, menurut anda
faktor-faktor apa saja penyebab korupsi di Indonesia?
2) Faktor apa yang paling penting atau mendominasi terjadinya korupsi di
Indonesia?
Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan perkembangan korupsi di Indonesia.
9.2 9.3 9.4 9.3 9.4 9.4 9.3 9.2 9.2 9.3 9.2 8.7
8.6 8.4 8.5
5 4.9 5.2 5.0 5.1 5.0 5.1 5.1 4.5 4.9 5.0 5.2 5.0
4.4 4.3 3.7
3.2 3.2 3.3 3.6 3.8 3.6 3.3 3.5 3.4 3.5 3.4 3.5 3.8 3.8
2.9 2.6 2.5 2.6 2.5 2.5 2.5 2.6 2.8 2.8 2.6 3.2 3.2 3.4 3.8
1.9 1.9 1.9 2.0 2.2 2.4 2.3 2.3 2.4 2.4
01 02 03 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015
20 20 20 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Sumber: Transparency International (Diolah)
Wawancara Investigatif 15
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2015, negara Indonesia lebih korup
dibandingkan Negara Thailand, Malaysia dan Singapura. Tingkat korupsi negara
Indonesia selama tahun terakhir menyamai kondisi korupsi di Negara Philipina.
Gambar di atas juga menunjukkan bahwa dari tahun 2001 sampai dengan tahun
2015 terjadi penurunan tingkat korupsi di Indonesia yang ditandai dengan
peningkatan indeks persepsi korupsi. Apabila dilihat secara umum, dampak
pendirian KPK pada tahun 2002 baru terlihat signifikan pada tahun 2005.
Sejak tahun 2005 terdapat peningkatan indeks persepsi korupsi di Indonesia, yang
mana sebelum tahun 2005 yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 indeks
persepsi korupsi Indonesia terlihat tidak mengalami perubahan dari nilai indeks
19. Pada tahun 2005 indeks persepsi korupsi naik menjadi 20 dan terus mengalami
peningkatan sampai dengan tahun 2015 indeks persepsi korupsi Indonesia sampai
pada titik 36. Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa pendirian KPK memberikan
dampak yang positif terhadap upaya pengurangan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Meskipun demikian partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan
korupsi ini tetap diperlukan. Budaya non-korup di masyarakat dapat menjamin
keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia khususnya. Sebaliknya,
ketika korupsi dibiarkan dan diterima oleh masyarakat maka tingkat deteksi korupsi
akan semakin rendah dan korupsi semakin merajalela.
Berdasarkan data putusan MA, kasus korupsi diklasifikasikan menjadi 5 (lima) jenis
berdasarkan jumlah yang dikorupsi dari nilai terendah ke nilai tertinggi yaitu:
1) korupsi gurem
Korupsi gurem merupakan korupsi yang bernilai kurang dari 10 juta rupiah (<
Rp. 10 juta).
2) korupsi kecil
Korupsi kecil merupakan korupsi yang bernilai di antara 10 juta sampai dengan
100 juta rupiah (Rp. 10 juta ≤ X < Rp. 100 juta).
3) korupsi sedang
Korupsi sedang merupakan korupsi yang bernilai di antara 100 juta rupiah
sampai dengan 1 milyar rupiah (Rp. 100 juta ≤ X < Rp. 1 M).
4) korupsi besar
Korupsi besar merupakan korupsi yang bernilai di antara 1 milyar rupiah sampai
dengan 25 milyar rupiah (Rp. 1 M ≤ X < Rp. 25 M).
5) korupsi kakap
Sedangkan korupsi kakap merupakan korupsi yang bernilai lebih dari 25 milyar
rupiah (>Rp.25 M).
Wilayah Terpidana
SULAWESI 360
KALIMANTAN 225
SUMATERA 578
JABODETABEK 424
Dari Gambar 4.3 dapat diketahui terpidana korupsi terbanyak adalah di Pulau
Jawa (selain Jabodetabek) yaitu 735 terpidana atau sebesar 28,61%, Sumatera
(22,50%), Jabodetabek (16,50%), Sulawesi (14,01%), Kalimantan (8,76%), Bali dan
Nusa Tenggara (5,29%), serta Maluku dan Papua (4,32%). Dari jumlah terpidana
korupsi di wilayah Jabodetabek dan Sumatera yang sangat besar, nilai korupsinya
sebesar 94,08% dari total korupsi di Indonesia yaitu senilai 195,14 triliun rupiah di
tahun 2015 (nilai riil). Maka, dapat dipastikan bahwa secara umum korupsi yang
terjadi di kedua wilayah tersebut termasuk dalam jenis korupsi kakap dan korupsi
besar.
1115
670
559
149
62
PNS BUMN/D LEMBAGA POLITISI SWASTA/LAIN-
INDEPENDENT LAIN
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa terpidana korupsi yang paling banyak jumlahnya
memiliki pekerjaan sebagai PNS yaitu sebanyak 1.115 orang atau 43,64%,
Swasta dan lainnya (26,22%), politisi (21,88%), BUMN/D (5,83%), serta Lembaga
independen (2,43%). Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
salah satu penyebab korupsi adalah sistem kelembagaan yang lemah (Aidt, 2003;
Guerrero dan Oreggia, 2008; Kolstad dan Wiig, 2008). Hal ini mengindikasikan
bahwa sistem kelembagaan di sektor publik adalah paling buruk dibandingkan
sistem kelembagaan lainnya seperti BUMN/D dan lembaga independen. Koruptor
dari jenis pekerjaan politisi juga menunjukkan angka yang cukup besar yaitu
21,88%.
C. LATIHAN
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal latihan berikut:
1. Bagaimana perkembangan korupsi di Indonesia sejak tahun 2000 sampai
dengan saat ini?
2. Bagaimana karakteristik korupsi di Indonesia apabila didasarkan pada data
wilayah dan pekerjaan terpidana korupsi?
D. RANGKUMAN
Sejak tahun 2004, indeks persepsi korupsi di Indonesia mengalami peningkatan
yang menunjukkan adanya penurunan tingkat korupsi di Indonesia. Korupsi di
Indonesia terjadi hampir di seluruh sektor, baik sektor publik maupun pada sistem
penegakan hukum.
Keberadaan terpidana korupsi terbanyak berada di Pulau Jawa dan Sumatera, yang
mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pusat pemerintahan
dan aktivitas ekonomi dengan jumlah terpidana korupsi. Secara umum terpidana
korupsi memiliki pekerjaan sebagai PNS, politisi dan karyawan swasta.
E. EVALUASI MATERI
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal evaluasi berikut:
1. Bagaimana pendapat Anda tentang mayoritas pekerjaan terpidana korupsi?
2. Apakah ada hubungan antara pekerjaan terpidana korupsi dengan sistem
kelembagaan tempat terpidana korupsi bekerja? Jelaskan!
F. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT
Sejauhmana anda dapat menyelesaikan Latihan dan Evaluasi Materi yang ada
pada Bab ini? Apabila anda telah mampu menjawab Latihan dan Evaluasi Materi
pada Bab ini, berarti anda telah menguasai materi ini dengan baik dan benar. Akan
tetapi, jika anda masih merasa ragu dengan pemahaman anda mengenai materi
yang terdapat pada Bab ini, serta adanya keraguan dan kesalahan dalam menjawab
Latihan dan Evaluasi Materi, maka disarankan anda mempelajari kembali secara
lebih intensif dengan membaca ulang materi dalam modul ini, membaca bahan
referensi yang dipergunakan, berdiskusi dengan pengajar/fasilitator dan juga
dengan sesama peserta Diklat lainnya.
Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan dampak sosial korupsi.
Wawancara Investigatif 23
kemudian memunculkan pendapat bahwa korupsi dapat berdampak positif
terhadap perekonomian. Dreher dan Gassebner (2013) menunjukkan bahwa
korupsi dapat memfasilitasi masuknya perusahaan terhadap pasar dalam
tingkat regulasi yang tinggi.
Dari pertentangan GWH dan SWH, ekonom lebih sepakat terhadap SWH
yaitu korupsi berdampak buruk bagi perekonomian. Hal ini terbukti dengan
banyaknya propaganda dan pendirian lembaga anti korupsi di berbagai negara
termasuk di Indonesia. Selain itu penganut GWH hanya menganalogikan efek
positif korupsi terhadap perekonomian ketika sistem kelembagaan tidak baik
yaitu sistem birokrasi yang lama dan berbelit-belit. Namun, dalam sistem
kelembagaan yang baik GWH tetap berpendapat bahwa dampak korupsi adalah
negatif terhadap perekonomian. Henderson dan Kuncoro (2006) dan Rivayani
(2008) menemukan bahwa GWH tidak terbukti di Indonesia berdasarkan data
empiris. Dengan demikian, dampak korupsi khususnya di Indonesia adalah
menghambat pertumbuhan ekonomi dan merugikan perekonomian nasional.
Semakin tinggi biaya transaksi semakin tidak efisien sistem kelembagaan yang
didesain (Yustika, 2008). Suatu kelembagaan akan semakin efektif jika biaya
transaksi yang diperlukan semakin rendah. Analisis atas biaya transaksi berfokus
pada efisiensi. Rendahnya biaya transaksi merupakan suatu ciri kelembagaan
yang baik (Williamson, 1981). Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia
terdapat suap dan pungli dalam upaya mendapatkan pelayanan publik seperti
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon pernah mengungkapkan bahwa korupsi merupakan
‘oli’ bagi pembangunan. Dengan kata lain Fadli Zon menyetujui Grease the
Wheel Hypothesis (GWH). Meskipun ia tidak menyetujui adanya korupsi namun
pendapat ini sangat keliru dan seharusnya tidak diungkapkan ke ranah publik
mengingat Fadli Zon adalah Wakil Ketua DPR (Detiknews, 30 Mei 2015).
Henderson dan Kuncoro (2006), Kuncoro (2012) dan Rivayani (2008), telah
meneliti untuk kasus Indonesia menggunakan data empiris. Dari 1.808
perusahaan yang telah disurvey oleh Kuncoro (2012) mengungkapkan bahwa
1.333 perusahaan mengaku pernah membayar suap di tahun 2001 dalam upaya
menurunkan pajak dan biaya lainnya atas pendirian perusahaan dan kelancaran
usaha.
Secara rata-rata mereka membayar suap sebesar 10,8% dari biaya produksi
tahunan perusahaan. Tingkat rata-rata suap yang dibayarkan adalah berkisar
antara 10% sampai dengan 15%. Bahkan, ada perusahaan yang membayar suap
lebih tinggi dari angka tersebut. Kenyataannya di Indonesia pembayaran suap
yang ditujukan untuk memperlancar justru malah memperlambat kelancaran
usaha. Negosiasi yang dilakukan malah semakin lama dan memperbesar
tingkat suap yang diminta oleh oknum pegawai publik. Maka jelas bahwa GWH
tidak terimplementasi di Indonesia. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk
menyimpulkan bahwa pembayaran suap di Indonesia dapat mempercepat
proses dan kelancaran pendirian dan pelaksanaan usaha.
Beberapa dampak korupsi terhadap budaya pernah diteliti oleh Fisman dan
Miguel (2008), Barr dan Serra (2010). Hasil dari penelitian Fisman dan Miguel
(2008) mengungkapkan bahwa diplomat di New York yang berasal dari negara
dengan tingkat korupsi tinggi cenderung lebih banyak melakukan pelanggaran
parkir dibanding diplomat yang berasal dari negara dengan tingkat korupsi
rendah. Perilaku ini dianggap sebagai indikasi budaya. Sementara hasil penelitian
dari Barr dan Serra (2010) menunjukkan bahwa data di Inggris memberikan hasil
serupa yaitu adanya hubungan positif antara tingkat korupsi di negara asal dengan
kecenderungan para imigran melakukan penyogokan.
Kasus korupsi yang seringkali dilakukan oleh pihak privat kepada sektor publik
adalah membayar atau berjanji akan membayar uang (suap) kepada pihak publik
untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari sebuah kerugian perusahaan.
Rivayani (2008) dan Kuncoro (2012) telah mengidentifikasi korupsi yang dilakukan
oleh pihak perusahaan dalam mendapatkan izin pendirian usaha dan melakukan
usaha di Indonesia. Adanya korupsi di sektor ini tentu saja menyebabkan kompetisi
menjadi tidak sempurna. Karena korupsi (hanya dengan membayar suap),
perusahaan yang berkualitas kurang baik dapat beroperasi dan menjalankan usaha
di suatu wilayah.
Suap yang dibayarkan oleh perusahaan ini menyebabkan tingginya biaya transaksi
perusahaan. Sehingga untuk menutupi biaya suap (biaya transaksi) yang cukup
besar ini, perusahaan cenderung untuk memproduksi barang/jasa kurang
berkualitas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dalam rangka
menutupi biaya transaksi yang sudah cukup besar.
Korupsi yang juga seringkali dilakukan oleh perusahaan adalah bekerjasama dengan
pegawai publik dalam melakukan penghindaran dan/atau penggelapan pajak (Jain,
1987; McKerchar, 2007). Dampak korupsi di bidang perpajakan ini dampaknya
sangat jelas bagi perekonomian negara, yaitu berkurangnya jumlah penerimaan
negara dari sektor pajak. Sebagaimana diketahui bahwa pajak digunakan oleh
pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintahan demi kesejahteraan
masyarakat. Sehingga channeling dampaknya adalah dapat menurunkan tingkat
kesejahteraan masyarakat, melambatnya pertumbuhan ekonomi, terciptanya
infrastruktur berkualitas rendah, dan meningkatkan ketimpangan pendapatan
dengan pengurangan anggaran transfer bagi masyarakat miskin.
Biaya politik dan biaya kegiatan partai politik (parpol) di Indonesia selama ini
adalah sangat besar; sedangkan pendapatan politisi dari jabatan nantinya tidak
begitu besar untuk dapat menutupi biaya politik. Sehingga, politisi berupaya
mencari pembiayaan kampanye politik dan kegiatan parpol kepada perusahaan.
Munculnya kepentingan perusahaan dalam kampanye politik akan menyebabkan
adanya money politic dan biaya politik menjadi semakin besar.
Catatan:
***: signifikan pada alpha= 1%
** : signifikan pada alpha= 5%
* : signifikan pada alpha= 10%
Sumber: Tranparency International dan World Bank (Diolah)
Pada Tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa korupsi berkorelasi negatif signifikan
1% dengan pertumbuhan ekonomi, artinya semakin tinggi korupsi, maka semakin
rendah tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada derajat kesalahan (alpha)
sebesar 1%. Temuan ini didukung oleh riset sebelumnya (Rose-Ackerman, 1978;
Shleifer dan Vishny, 1993; Bardhan, 1997; Mauro, 1995, 1998; Bowles, 2000; Jain,
2001; Mo, 2001; Meon dan Sekkat, 2005; Cuervo-Cazzura, 2006; Dzhumashev,
2014) yang menyatakan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Demikian halnya dengan korelasi antara korupsi dan tingkat investasi
(Foreign Direct Investment/FDI) di Indonesia juga negatif dengan tingkat signifikansi
1%. Hal ini sesuai dengan studi Mauro (1995; 1998) dan Cuervo-Cazzura (2006).
Pada Tabel 5.1 juga menunjukkan adanya korelasi negatif signifikan 1% antara
korupsi dan pendapatan per kapita serta pembelanjaaan kesehatan publik. Artinya,
semakin tinggi tingkat korupsi di Indonesia, maka pendapatan per kapita menjadi
semakin rendah dan pembelanjaan kesehatan publik juga semakin rendah.
Korelasi korupsi dengan kemiskinan dan kesenjangan (gap) kemiskinan adalah
positif signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi korupsi di Indonesia,
maka semakin tinggi tingkat kemiskinan dan kesenjangan kemiskinan di Indonesia.
Temuan ini sesuai dengan penelitian Gupta dan Alonso-Terme. (2002). Sedangkan,
tingkat korupsi dan tingkat pengangguran di Indonesia tidak menunjukkan korelasi
yang signifikan.
Temuan penelitian di atas, dipertegas oleh Lind, Marchal & Wathen (2012),
bahwa korelasi antara tingkat korupsi di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi
bersifat negatif moderate. Korelasi tingkat korupsi di Indonesia dengan investasi,
pendapatan per kapita dan belanja kesehatan publik bersifat negatif sangat kuat.
Korelasi tingkat korupsi di Indonesia dengan kemiskinan, kesenjangan kemiskinan
(poverty gap) menunjukkan korelasi positif yang sangat kuat yaitu berkisar antara
70% sampai dengan 90%. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa korupsi di
1 Karena data kurang dari 30, terdapat kemungkinan data tidak menyebar normal. Maka digunakan analisis korelasi Spearman Rank
sebagai analisis korelasi non-parametrik.
F. LATIHAN
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal latihan di bawah ini:
1. Jelaskan dampak korupsi terhadap kehidupan manusia!
2. Jelaskan dampak korupsi di Indonesia!
Bentuklah kelompok, kemudian diskusikan!
G. RANGKUMAN
Korupsi berdampak negatif terhadap bidang kehidupan masyarakat baik pada
bidang ekonomi, sosial dan budaya.
H. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab soal-soal berikut:
1. Menurut anda, bagaimana korupsi mampu mempengaruhi kehidupan
masyarakat?
2. Bagaimana keterkaitan dampak korupsi terhadap suatu sektor mampu
mempengaruhi sektor lainnya?
Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan penghitungan dampak sosial korupsi.
Wawancara Investigatif 37
Tabel 6.1. Kerugian Negara Menurut Pekerjaan Terpidana Korupsi
Efek jera yang optimum bagi pelaku kejahatan (koruptor), adalah dengan
memperbesar expected cost dari koruptor. Karena nilai hukuman finansial yang
jauh lebih rendah dari nilai yang dikorupsi menyebabkan uang yang dikorupsi
tidak kembali sepenuhnya kepada negara. Ini menunjukkan bahwa rakyat telah
mensubsidi koruptor, artinya sebagian besar uang rakyat yang dikorupsi tetap
dinikmati koruptor meskipun koruptor telah dijatuhi hukuman. Idealnya, hukuman
finansial yang diberikan kepada koruptor memperhitungkan biaya sosial korupsi
dengan mempertimbangkan dampak sosial korupsi.
TERHADAP EKONOMI
BIAYA
DAMPAK
TERHADAP BUDAYA SOSIAL
KORUPSI
KORUPSI
DAMPAK LAINYA
Menurut Brand dan Price (2000), biaya sosial kejahatan dihitung dari tiga hal
yaitu biaya antisipasi kejahatan, biaya akibat kejahatan dan biaya reaksi terhadap
kejahatan. Maka, nilai kerugian keuangan negara merupakan biaya sosial eksplisit
dalam hal ini adalah biaya akibat korupsi. Mengacu pada pendapat Manning
(2005), maka biaya sosial akibat korupsi antara lain adalah biaya penegakan hukum,
pencegahan korupsi, biaya penahanan dan biaya penjara, biaya pengadilan,
serta biaya jaksa. Di Indonesia, biaya pencegahan korupsi yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah di antaranya adalah biaya pembentukan institusi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan demikian, intensitas hukuman yang tinggi
akan memberikan biaya sosial yang tinggi bagi pemerintah antara lain adalah biaya
persidangan dan biaya penjara. Biaya sosial korupsi yang ditanggung pemerintah
dapat diminimalkan apabila koruptor dikenakan hukuman finansial yang tinggi.
Berikut merupakan skema biaya sosial korupsi.
Biaya Eksplisit
Korupsi
Pencucian uang hasil korupsi ke luar negeri menyebabkan biaya sosial korupsi
semakin tinggi dibandingkan apabila uang hasil korupsi dicuci di dalam negeri.
Hal ini dikarenakan uang hasil korupsi yang dicuci di dalam negeri masih dapat
memberikan multiplier effect ke dalam negeri.
Dalam perhitungan biaya sosial korupsi, apa yang membedakan antara biaya
akuntansi, biaya ekonomi dan biaya sosial? Diskusikan!
Perbedaan antara ketiga biaya tersebut dapat dijelaskan dalam gambar berikut:
Biaya
Sosial
Biaya
Ekonomi
Kerugian
Negara
(Biaya
Akuntansi)
Buatlah contoh perhitungan biaya akuntansi (biaya eksplisit) dan biaya ekonomi
(biaya implisit)!
Realokasi ini memiliki efek pengali dalam perekonomian misalnya berapa pajak
yang dapat dibayarkan kepada negara oleh 182 ribu karyawan Indonesia lulusan
magister luar negeri atau berapa investasi dan peningkatan pendapatan yang
dapat dihasilkan oleh lulusan magister luar negeri tersebut. Nilai rupiah efek
pengali ini disebut sebagai biaya implisit (biaya ekonomi) yang tentunya jauh
lebih besar dibandingkan biaya eksplisit (biaya akuntansi).
Maka dari itu, hukuman finansial bagi koruptor hendaknya memperhitungkan
biaya sosial korupsi.
Contoh ini masih belum menghitung biaya sosial seluruhnya yaitu biaya
antisipasi korupsi dan biaya reaksi korupsi masih belum dihitung.
Berikut merupakan salah satu kasus korupsi di sektor kehutanan yang melibatkan
anggota DPR RI (Al Amien Nasution).
Al Amien Nasution, Sarjan Tahir, dan Azwar Chesputra selaku anggota Komisi IV
DPR RI, pada bulan Oktober 2006 mengadakan pertemuan dengan Sofyan Rebuin
dan Chandra Antonio Tan selaku investor. Chandra Antonio Tan memberikan
Mandiri Travel Cheque (MTC) yang mana selanjutnya dibagi-bagikan kepada
anggota Komisi IV DPR RI antara lain Al Amien Nasution sebanyak 3 (tiga)
lembar MTC masing- masing senilai Rp 25 Juta. Pada akhirnya usulan pelepasan
Kawasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air Telang disetujui oleh Komisi IV DPR
RI.
Pada Contoh Kasus 3 telah dibahas cara menghitung biaya eksplisit dan biaya
implisit dari kasus korupsi di Indonesia. Dengan menggunakan Contoh Kasus 4
ini, bagaimana perhitungan biaya reaksi korupsi tersebut?
Biaya eksplisit kasus Al Amien Nasution berupa kerugian negara dihitung oleh
BPKB sebesar Rp. 2.950.600.000, namun angka ini tidak disetujui oleh hakim
sebagai nilai kerugian keuangan negara.
Biaya implisit dihitung apabila pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan maka
akan memberikan nilai ekonomis diperkirakan sebesar: Rp. 101.444.444.444.
Maka total biaya sosial korupsi kasus Al Amien Nasution yang terdiri atas nilai
kerugian negara, biaya implisit, biaya reaksi dan biaya antisipasi korupsi adalah
sejumlah: Rp. 105.423.070.735 (lebih dari 100 milyar rupiah).
D. RANGKUMAN
Pengenaan hukuman finansial yang diberikan dalam putusan pengadilan jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi
sehingga tingkat efek jera menjadi lebih rendah.
E. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab soal-soal berikut:
1. Apa yang dimaksud biaya sosial korupsi?
2. Bagaimana penerapan konsep biaya sosial korupsi di Indonesia khususnya?
Rentang Nilai
Kategori Keterangan
Jawaban yang Benar
90,1 - 100 A Sangat Baik
80,1 - 90 B Baik
< 80 C Cukup
Wawancara Investigatif 49
Dengan rumus penentuan nilai sebagai berikut:
Apabila memperoleh nilai A dan B, maka peserta Diklat dapat melanjutkan kegiatan
pembelajaran ke modul berikutnya.
Buku:
Acemoglu, Daron, Johnson, Simon & James A. Robinson. (2001). “The Colonial Origins
of Comparative Development: An Empirical Investigation.” American Economic
Review. December, 91: 1369-1401.
Aidt, T. S. (2003). “Review: Economic Analysis of Corruption: A Survey”. The Economic
Journal 113(491): F632-F652.
Andvig J. C. & K. W. Moene. (1990). “How Corruption May Corrupt”. Journal of Economic
Behavior and Organization 13: 63-76.
Argandona, A. (2003). “Private-to-Private Corruption”. Journal of Business Ethics 47(3):
253-267.
Arvin, M. & B. Lew. (2014). “Does Income Matter in the Happiness-Corruption
Relationship?”. Journal of Economic Studies 41(3): 469-490.
Bardhan, P. (1997).
“Corruption and Development: A Review of Issues”. Journal of
Economic Literature 35(3): 1320-1346.
Barr, Abigail & Serra, Daniel. (2010). “Corruption and Culture: An experimental analysis”.
Journal of Public Economics 94(11-12): 862-869.
Batabyal, S. & Chowdhury, A. (2015). “Curbing Corruption, Financial Development and
Income Inequalityy”. Progress in Development Studies 15(1): 49-72.
Becker, G.S. (1968). “Crime and Punishment: an Economic Approach”. Journal of Political
Economy 70:1-13.
Bowles, R. (2000). “Corruption”, Encyclopedia of Law and Economics Vol. 5. (B.
Boudewijn and G. De Greest, eds). Edward Elgar.
Brand, Sam & Price, Richard. (2000). The Economic and Social Costs of Crime. Economics
and Resource Analysis Research, Development and Statistics Directorate, Home
Office, London.
Cuervo-Cazurra, Alvaro. (2006). ”Who Cares about Corruption?”, Journal of International
Business Studies 37(6): 807-822.
Deaton, A & Dreze, J. (2002). “Poverty and Inequality in India: A Reexamination”.
Working Paper 107, Princeton University.
Dreher A. & Gassebner, M. (2013). “Greasing the Wheels? The Impact of Regulations
and Corruption on Firm Entry”. Public Choice 155(3/4): 413-432.
Dzhumashev, R. (2014). “Corruption and Growth: the Role of Governance, Public
Spending, and Economic Development”. Economic Modelling 37: 202-212.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Laman:
http://www.econ.brown.edu/faculty/Henderson/papers/corruption120704.pdf.
Dampak Sosial : Pengaruh korupsi yang membawa akibat negatif pada aspek-
Korupsi aspek kehidupan suatu masyarakat, bangsa dan negara, baik
aspek perekonomian, sosial maupun budaya.
Biaya Sosial : Biaya eksplisit korupsi ditambah dengan biaya antisipasi korupsi,
Korupsi biaya reaksi korupsi dan biaya implisit atau biaya oportunitas jika
tidak ada korupsi.
• Biaya Eksplisit korupsi merupakan nilai uang yang dikorupsi
atau nilai kerugian negara secara eksplisit.
• Biaya Implisit korupsi terdiri atas biaya oportunitas yang
ditimbulkan akibat korupsi, beban cicilan bunga di masa
datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu, perbedaan
jenjang kelipatan ekonomi antara kondisi dengan adanya
korupsi dibandingkan kondisi tanpa korupsi.
• Biaya Antisipasi Tindak Korupsi terdiri atas biaya sosialisasi
korupsi sebagai bahaya laten, reformasi birokrasi untuk
menurunkan motivasi korupsi yaitu dengan memisahkan
orang korupsi karena terpaksa (kondisi sistemik) dengan
koruptor yang tamak (greedy).
• Biaya Akibat Reaksi Terhadap Kejahatan, terdiri atas biaya
peradilan (jaksa, hakim, dan lain-lain), biaya penyidikan (KPK,
PPATK, dan lainnya), biaya kebijakan (biaya operasional KPK,
PPATK), biaya proses perampasan aset baik di dalam maupun
di luar negeri.