Anda di halaman 1dari 64

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

DAMPAK SOSIAL KORUPSI

DIREKTORAT PENDIDIKAN DAN PELAYANAN MASYARAKAT


KEDEPUTIAN BIDANG PENCEGAHAN

JAKARTA, 2016
MODUL INTEGRITAS BISNIS

PENGARAH
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
Deputi Bidang Pencegahan

PENANGGUNG JAWAB
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Sujanarko

SUPERVISI
Pauline Arifin
Roro Wide Sulistyowati

PENULIS
Rimawan Pradiptyo, M.Sc, Ph.D

PELAKSANA
PT. PPA Consultants

Diterbitkan oleh:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Gedung Dwiwarna KPK
Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12920

Cetakan 1: Jakarta, 2016


Cetakan 2: Jakarta, 2017

Buku ini boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya, diperbanyak untuk tujuan
pendidikan dan non-komersial lainnya dan tidak untuk diperjualbelikan.

ii Dampak Sosial Korupsi


KATA PENGANTAR

Korupsi yang masih marak terjadi di Indonesia, selain melibatkan mereka yang bertugas
di instansi pemerintahan, ternyata juga melibatkan pengusaha atau orang-orang yang
bergerak di bisnis swasta. Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan
Korupsi menjadikan sektor swasta sebagai salah satu fokus area kerja.

Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat berperan untuk mendorong: (1)


terbangunnya agen perubahan di sektor swasta, (2) terbentuk dan terimplementasinya
kebijakan serta regulasi yang dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi di
sektor swasta, (3) terwujudnya aksi kolaborasi (collaborative actions) pemberantasan
korupsi di sektor swasta.

Dalam mendukung upaya tersebut, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat


menyiapkan modul-modul pembelajaran integritas bisnis (business integrity) yang
akan diajarkan dan disebarluaskan untuk pihak swasta. Dengan adanya modul ini,
diharapkan pemahaman dan kesadaran pihak swasta terkait dengan korupsi serta
gerakan antikorupsi dan membangun bisnis berintegritas bisa berjalan lebih efektif,
seiring dengan mendorong penurunan korupsi di Indonesia secara umum dan
lingkungan swasta pada khususnya.

Modul Wawancara Investigatif ini dibuat dengan tujuan agar peserta mampu memahami
dengan baik dan benar serta menerapkan wawancara investigatif bagi korporasi.

Atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi, kami mengucapkan penghargaan yang


setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan modul
ini. Semoga modul ini bermanfaat bagi pembelajaran antikorupsi guna meningkatkan
integritas bisnis di kalangan swasta (business integrity).

Jakarta, Desember 2016


Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

Sujanarko

Dampak Sosial Korupsi iii


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
DAFTAR INFORMASI VISUAL ..........................................................................................iv
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL.................................................................................v
RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN.............................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. LATAR BELAKANG....................................................................................... 1
B. DESKRIPSI UMUM...................................................................................... 2
C. TUJUAN PEMBELAJARAN........................................................................... 2
D. MATERI POKOK DAN SUBMATERI POKOK................................................... 2
BAB II KONSEP, TUJUAN DAN PRINSIP
WAWANCARA INVESTIGATIF......................................................................5
A. KONSEP WAWANCARA INVESTIGATIF........................................................ 5
B. TUJUAN WAWANCARA INVESTIGATIF........................................................ 9
C. PRINSIP WAWANCARA INVESTIGATIF....................................................... 10
D. LATIHAN................................................................................................... 10
E. RANGKUMAN........................................................................................... 11
F. EVALUASI MATERI..................................................................................... 11
G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT........................................................ 12
BAB III LANGKAH-LANGKAH WAWANCARA INVESTIGATIF
DENGAN METODE P.E.A.C.E...................................................................... 13
A. WAWANCARA INVESTIGATIF
DENGAN METODE P.E.A.C.E..................................................................... 13
B. LATIHAN................................................................................................... 19
C. RANGKUMAN........................................................................................... 21
D. EVALUASI MATERI.................................................................................... 20
E. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT......................................................... 21
BAB IV PENUTUP................................................................................................. 22
A. EVALUASI KEGIATAN BELAJAR.................................................................. 23
B. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT........................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 27
DAFTAR ISTILAH............................................................................................................ 29

iv Dampak Sosial Korupsi


DAFTAR INFORMASI VISUAL

Halaman
A. DAFTAR CONTOH
Contoh 1. Contoh Lembar Perencanaan dan
Persiapan Wawancara Investigatif.................................................... 16

B. DAFTAR LATIHAN
Latihan 1. Perencanaan dan Persiapan Wawancara......................................... 20
Latihan 2. Instruksi untuk Wawancara.............................................................. 21

Dampak Sosial Korupsi v


PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

Agar proses pembelajaran berlangsung dengan lancar dan tujuan pembelajaran
tercapai dengan baik, dianjurkan untuk melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:

Gunakan rancang bangun pembelajaran untuk menuntun proses


1
pembelajaran modul ini.
Bacalah secara cermat semua materi yang disajikan dalam modul ini
2
dan pahami dengan baik tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Dalami secara intensif materi pokok dan submateri pokok pada setiap bab
3 dengan memperhatikan indikator keberhasilan yang telah dinyatakan di
setiap awal bab.
Dalam membaca dan mendalami materi pokok dan submateri pokok pada
setiap bab, apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas, dapat dilakukan
4
tanya jawab dengan pengajar/fasilitator dalam kegiatan pembelajaran di
kelas.
Cobalah untuk mengerjakan latihan yang terdapat pada setiap akhir
5
bab dalam modul ini.
Bentuklah kelompok diskusi untuk membahas materi tertentu, bermain
game atau role playing, melakukan simulasi dan/atau studi kasus
6
yang diberikan untuk memperdalam pengetahuan, pemahaman dan
penerapan materi.
Untuk memperluas wawasan, disarankan untuk mempelajari bahan-
7 bahan dari sumber lain seperti yang tertera pada daftar pustaka di akhir
modul ini.

8 Kaitkan materi yang diperoleh dengan kondisi lingkungan kerja dan


coba rencanakan implementasinya bila diperlukan.

vi Dampak Sosial Korupsi


RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN
1. Nama Diklat : Integritas Bisnis (Business Integrity).
2. Mata Diklat : Wawancara Investigatif.
Pengajar yang mempunyai kualifikasi:
a. Berpengalaman dan paham tentang kajian dan
3. Pengajar : permasalahan korupsi
b. Pengalaman melakukan wawancara investigatif minimal
selama 1 tahun.
a. Pelaku bisnis: BUMN dan swasta (5 lima sektor bisnis
prioritas, yaitu: kesehatan, infrastruktur, pangan, migas, dan
kehutanan).
4. Peserta :
b. Diutamakan posisi Auditor Internal atau pihak internal
korporasi yang diberi kewenangan melakukan investigasi.
c. Total peserta maksimal 20 orang.
Materi dalam Mata Diklat ini disampaikan di sesi terakhir
pelatihan setelah Peserta mengikuti Mata Diklat: (1) Dasar
Hukum Tentang Korupsi Terkait Sektor Bisnis. (2) Praktik Korupsi
Dilihat Dari Sisi Kelembagaan. (3) Dampak Sosial Korupsi. (4)
5. Prasyarat : Cara Mencegah Korupsi Pada Korporasi: Strategi Dan Praktik.
(5) Insentif Dan Sanksi Pada Korporasi. (6) Elemen Program
Antikorupsi Bagi Korporasi. (7) Pengelolaan Konflik Kepentingan.
(8) Managing Gift. (9) Best Practice Compliance/ Integrity
Development.
6. Alokasi Waktu : 4 Jam Pelajaran @45 menit = 180 Menit.
7. Tempat : Ruang kelas ditata dalam bentuk setengah lingkaran.
Mata Diklat ini mencakup dasar-dasar wawancara investigatif
bagi compliance/integrity officer korporasi, yang meliputi
8. Deskripsi Umum : konsep, tujuan, prinsip, dan langkah-langkah wawancara
investigatif. Mata Diklat ini juga memberikan contoh dan
referensi internasional dalam melakukan wawancara investigatif.
Terbentuknya korporasi berintegritas (antikorupsi, tidak
9. Outcome :
memberi suap/gratifikasi, transparan, dan akuntabel).
10. Tujuan Pembelajaran

Peserta mampu menerapkan konsep, tujuan, prinsip dan


a. Kompetensi Dasar : langkah-langkah wawancara investigatif dengan metode
P.E.A.C.E. bagi korporasi.

a. Mampu menjelaskan konsep, tujuan dan prinsip wawancara


investigatif.
b. Indikator Keberhasilan :
b. Mampu menguraikan dan menerapkan langkah-langkah
wawancara investigatif dengan metode P.E.A.C.E.

Dampak Sosial Korupsi vii


KRITERIA BOBOT
INDIKATOR MATERI SUBMATERI ALAT BANTU/ ALOKASI
NO METODE PENILAIAN NILAI REFERENSI
KEBERHASILAN POKOK POKOK MEDIA WAKTU
(INDIKATOR) (%)
1. Mampu Konsep 1. Definisi Korupsi 1. Ceramah 1. LCD Projector 20 menit Kemampuan 10 Sesuai Daftar
menjelaskan Korupsi 2. Pemahaman interaktif 2. Laptop Pengetahuan Pustaka
konsep korupsi tentang Indeks 2. Tanya jawab 3. Bahan tayang pada Modul
Persepsi materi Dampak
Korupsi 4. Modul Sosial
5. Buku referensi
6. Whiteboard +
spidol
7. Flipchart
2. Mampu Faktor-faktor 1. Faktor 1. Ceramah 1. LCD Projector 1 Jam Kemampuan 30 Sesuai Daftar
menguraikan Penyebab Penyebab interaktif 2. Laptop Pelajaran Analisis Pustaka
faktor-faktor Korupsi Korupsi 2. Tanya jawab 3. Bahan tayang (45 menit) pada Modul
penyebab materi Dampak
korupsi 4. Modul Sosial
5. Buku referensi
6. Whiteboard +
spidol
7. Flipchart
3. Mampu Perkembangan 1. Perkembangan 1. Ceramah 1. LCD Projector 25 menit Kemampuan 10 Sesuai Daftar
menguraikan Korupsi di Tingkat Korupsi interaktif 2. Laptop Analisis Pustaka
perkembangan Indonesia di Indonesia 2. Tanya jawab 3. Bahan tayang pada Modul
korupsi di 2. Identifikasi materi Dampak
Indonesia Empiris Korupsi 4. Modul Sosial
di Indonesia 5. Buku referensi
6. Whiteboard +
spidol
7. Flipchart
4. Mampu Dampak Sosial 1. Dampak 1. Ceramah 1. LCD Projector 1 Jam Kemampuan 30 Sesuai Daftar
menguraikan Korupsi Korupsi interaktif 2. Laptop Pelajaran Analisis Pustaka
dampak sosial terhadap 2. Tanya jawab 3. Bahan tayang (45 menit) pada Modul
korupsi Perekonomian 3. Small group materi Dampak
2. Dampak discussion 4. Modul Sosial
Korupsi membahas 5. Buku referensi
terhadap kasus 6. Whiteboard +
Budaya spidol
3. Dampak Lain 7. Flipchart
Korupsi
4. Dampak
Korupsi di
Sektor Privat
5. Dampak Sosial
Korupsi di
Indonesia
5. Mampu Penghitungan 1. Kerugian 1. Ceramah 1. LCD Projector 1 Jam Kemampuan 20 Sesuai Daftar
menguraikan Dampak Sosial Negara Akibat interaktif 2. Laptop Pelajaran Analisis Pustaka
penghitungan Korupsi Korupsi di 2. Tanya jawab 3. Bahan tayang (45 menit) pada Modul
dampak sosial Indonesia 3. Small group materi Dampak
korupsi 2. Konsep discussion 4. Modul Sosial
Perhitungan membahas 5. Buku referensi
Dampak Sosial kasus 6. Whiteboard +
Korupsi spidol
7. Flipchart

viii Dampak Sosial Korupsi


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Selama ini korupsi terus terjadi dalam struktur kehidupan sosial manusia di
sepanjang periode waktu. Korupsi dianggap telah memberikan dampak negatif bagi
kehidupan manusia baik terhadap perekonomian masyarakat, maupun terhadap
norma dan budaya masyarakat. Korupsi telah menjadi masalah di dalam sebuah
negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Dikarenakan dampaknya
yang sangat luas terhadap kehidupan manusia, maka korupsi menjadi musuh
bersama yang harus diberantas. Untuk memberantas korupsi, berbagai Negara
– termasuk Indonesia – telah membentuk lembaga pemberantasan korupsi. Di
Indonesia, lembaga pemberantasan korupsi diberi nama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang didirikan tahun 2002 sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002.

Selama ini korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang cukup serius. Hal
ini ditunjukkan melalui peringkat korupsi Indonesia masing tergolong tinggi
dibandingkan negara lainnya. Kebocoran dan disalokasi anggaran di berbagai
sektor pemerintahan menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Oleh karena itu, dalam keberhasilan pemberantasan korupsi sangat
diperlukan kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pemberantasan korupsi
secara maksimal. Pemberantasan korupsi sangat diperlukan karena korupsi
memiliki dampak yang sangat buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
bahkan dalam kehidupan sosial masyarakat yang terkana dampaknya.

Beberapa penelitian (Mauro, 1995; Mo, 2001; Meon dan Sekkat, 2005; Fisman dan
Miguel, 2008; Yamamura, Andres dan Katsaiti, 2012) telah banyak menemukan
berbagai dampak korupsi terhadap bidang kehidupan masyarakat baik dalam
bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Pemahaman oleh masyarakat terhadap
berbagai macam dampak korupsi terhadap kehidupan manusia diharapkan
dapat menciptakan norma dan budaya anti korupsi dalam masyarakat Indonesia
khususnya.

Wawancara Investigatif 1
Penolakan masyarakat terhadap korupsi yang terjadi dalam suatu negara
mampu meningkatkan tingkat deteksi terhadap korupsi. Sebaliknya, pembiaran
atau penerimaan masyarakat terhadap korupsi akan membuat korupsi semakin
merajalela dan menjadi pola-pola perilaku yang sangat merugikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penolakan masyarakat terhadap koruptor
dan perbuatan korupsi menyebabkan sanksi sosial terhadap korupsi menjadi tinggi,
sehingga mengurangi niat koruptor untuk melakukan korupsi. Maka dari itu modul
ini dibuat untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang korupsi,
faktor-faktor penyebab korupsi dan dampak korupsi yang sangat merugikan
terhadap masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B. DESKRIPSI UMUM
Modul Dampak Sosial Korupsi membekali peserta pembelajaran tentang dampak
perbuatan korupsi terhadap kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Modul ini menyajikan konsep korupsi, faktor-faktor penyebab korupsi, dampak
korupsi, konsep dan perhitungan dampak korupsi melalui perhitungan biaya sosial
serta penerapannya di Indonesia.

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu menguraikan dampak
sosial akibat dari tindak pidana korupsi; konsep, perhitungan dan penerapannya
di Indonesia.
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta:
a) Mampu menjelaskan definisi korupsi.
b) Mampu menguraikan faktor-faktor penyebab korupsi.
c) Mampu menguraikan perkembangan korupsi di Indonesia.
d) Mampu menguraikan dampak sosial korupsi.
e) Mampu menguraikan penghitungan dampak sosial korupsi.

D. MATERI POKOK DAN SUBMATERI POKOK


Dengan mengacu pada tujuan pembelajaran di atas, materi pokok dan submateri
pokok dalam Modul Dampak Sosial Korupsi ini adalah:

2 Dampak Sosial Korupsi


Konsep Mengenai Korupsi:
1. a) Definisi Korupsi
b) Pemahaman tentang Indeks Persepsi Korupsi

Faktor-faktor Penyebab Korupsi:


2.
a) Faktor Penyebab Korupsi

Perkembangan Korupsi di Indonesia:


3. a) Perkembangan Tingkat Korupsi di Indonesia
b) Identifikasi Empiris Korupsi di Indonesia

Dampak Sosial Korupsi:


4. a) Dampak Korupsi terhadap Perekonomian
b) Dampak Korupsi terhadap Budaya
c) Dampak Lain Korupsi
d) Dampak Korupsi di Sektor Privat
e) Dampak Sosial Korupsi di Indonesia

Penghitungan Dampak Sosial Korupsi:


5. a) Kerugian Negara Akibat Korupsi di Indonesia
b) Konsep Perhitungan Dampak Sosial Korupsi

Dalam mempelajari materi pokok dan submateri pokok tersebut dapat diajukan
pertanyaan-pertanyaan kunci (key questions) sebagai berikut:

Apakah korupsi itu?



Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi?

Bagaimana perkembangan korupsi di Indonesia?

Apa saja dampak korupsi yang muncul?

Bagaimana menghitung dampak sosial korupsi yang muncul?

Dampak Sosial Korupsi 3


4 Dampak Sosial Korupsi
BAB II
KONSEP MENGENAI KORUPSI

Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menjelaskan konsep mengenai korupsi.

A. DEFINISI KORUPSI
Aidt (2003) menyatakan bahwa korupsi merupakan fenomena yang sulit didefinisikan
secara tepat dan komprehensif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan penilaian/
persepsi korupsi yang ada pada setiap kelompok masyarakat. Pada faktanya,
korupsi juga berhubungan dengan sejarah dan sistem pemerintahan suatu negara.
Di Korea Utara, membawa surat kabar dan/atau buku yang bertentangan dengan
filosofi negara Korea Utara dapat dikategorikan sebagai korupsi (Bardhan, 1997).
Dengan demikian definisi korupsi juga dipengaruhi oleh norma dan budaya dari
tiap masyarakat.

Treisman (2000) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan sumber daya


publik untuk kepentingan pribadi. Jain (2001) menganggap korupsi sebagai tindakan
menggunakan kekuatan jabatan publik untuk keuntungan pribadi melalui cara
yang bertentangan dengan rules of the game. Jadi secara umum definisi korupsi
menurut para ahli adalah penyalahgunaan sumber daya dan jabatan publik untuk
kepentingan pribadi.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud tindak pidana korupsi
adalah segala tindakan yang dapat merugikan keuangan negara dan menghambat
pembangunan nasional. Namun karena korupsi yang terjadi telah meluas
dampaknya, maka menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan

Wawancara Investigatif 5
keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu menurut UU Anti Korupsi,
tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya
harus dilakukan secara luar biasa.

Dari sekian banyak definisi korupsi yang ada, definisi yang sering digunakan
sebagai acuan dalam studi korupsi lintas negara adalah definisi korupsi menurut
Transparency International. Menurut Transparency International, korupsi
merupakan penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan untuk kepentingan
pribadi (the abuse of entrusted power for private gain).

B. PEMAHAMAN TENTANG INDEKS PERSEPSI KORUPSI


Transparency International merupakan salah satu lembaga survey yang melakukan
survey kepada para pengusaha, masyarakat, dan para ahli tentang persepsi korupsi
di suatu negara. Persepsi korupsi dari masyarakat, pengusaha, dan para ahli ini
selanjutnya disajikan dalam bentuk indeks yang disebut sebagai Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI).

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dianggap sebagai salah satu bentuk pengukuran
kondisi korupsi pada suatu negara. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) disajikan dalam
bentuk nilai dalam rentang antara 0 (nol) sampai dengan 10 (sepuluh). Semakin
rendah IPK maka semakin tinggi tingkat korupsi di negara tersebut. Sebaliknya,
semakin tinggi nilai IPK yaitu mendekati 10 (sepuluh), maka semakin rendah tingkat
korupsi di negara tersebut.

C. LATIHAN
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab latihan berikut:
1. Jelaskan pengertian korupsi menurut pakar/ahli!
2. Jelaskan pengertian korupsi menurut Transparency International!
3. Jelaskan yang dimaksud tindak pidana korupsi menurut UU Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia!
4. Bagaimana mengukur tingkat korupsi suatu negara?

D. RANGKUMAN
Secara umum definisi korupsi menurut para ahli adalah penyalahgunaan sumber
daya dan jabatan publik untuk kepentingan pribadi.

6 Dampak Sosial Korupsi


Definisi yang sering digunakan sebagai acuan dalam studi korupsi lintas negara
adalah definisi korupsi menurut Transparency International. Menurut Transparency
International, korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan
untuk kepentingan pribadi (the abuse of entrusted power for private gain).

Menurut UU Anti Korupsi di Indonesia, yang dimaksud tindak pidana korupsi


adalah segala tindakan yang dapat merugikan keuangan negara, menghambat
pembangunan nasional dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas.

E. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab soal-soal berikut:
1. Dari sekian banyak pengertian korupsi menurut para ahli, apa pengertian
korupsi yang dapat anda pahami?
2. Menurut anda, bagaimana identifikasi korupsi di Indonesia? apakah telah
tertuang dalam definisi korupsi menurut UU atau definisi menurut para ahli?
3. Bagaimana perbedaan cakupan korupsi menurut UU Anti Korupsi Indonesia
dengan UU Anti Korupsi Internasional?

F. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT


Sejauhmana anda dapat menyelesaikan Latihan dan Evaluasi Materi yang ada
pada Bab ini? Apabila anda telah mampu menjawab Latihan dan Evaluasi Materi
pada Bab ini, berarti anda telah menguasai materi ini dengan baik dan benar. Akan
tetapi, jika anda masih merasa ragu dengan pemahaman anda mengenai materi
yang terdapat pada Bab ini serta adanya keraguan dan kesalahan dalam menjawab
Latihan dan Evaluasi Materi, maka anda disarankan mempelajari kembali secara
lebih intensif dengan membaca ulang materi dalam modul ini, membaca bahan
referensi yang dipergunakan, berdiskusi dengan pengajar/fasilitator dan juga
dengan sesama peserta Diklat lainnya.

Dampak Sosial Korupsi 7


8 Dampak Sosial Korupsi
BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
KORUPSI

Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan faktor-faktor penyebab korupsi.

A. FAKTOR PENYEBAB KORUPSI


Pelaku korupsi terbagi menjadi dua jenis yaitu korupsi yang dilakukan oleh koruptor
yang menduduki posisi jabatan tinggi atau dikenal sebagai white collar. Koruptor
yang menduduki tingkatan atau kedudukan yang rendah dikenal sebagai istilah
blue collar. Korupsi biasanya dilakukan secara bersama-sama antara pegawai publik
yang satu dengan pegawai lainnya. Hal ini dikarenakan mereka bekerjasama dalam
upaya memanipulasi sistem dan/atau untuk menyembunyikan perilaku dan hasil
korupsinya. Kelemahan sebuah sistem dan rendahnya transparansi menimbulkan
kesempatan yang luas untuk melakukan korupsi. Dalam analisis biaya-manfaat,
kesempatan yang luas melakukan korupsi menyebabkan biaya melakukan korupsi
menjadi lebih rendah sehingga korupsi layak dilakukan.

Beberapa hal yang dapat menjadi motivasi untuk melakukan korupsi antara lain
adalah: adanya ketimpangan pendapatan atau gaji antara sektor publik dan swasta,
adanya ketimpangan pendapatan atau gaji antar sektor publik, gaya hidup atau pola
konsumsi yang berlebihan, standar pengeluaran pemerintah yang tidak mencukupi,
dan faktor sistemik atau struktural.

Standar pengeluaran pemerintah yang tidak mencukupi dapat memotivasi pegawai


pemerintah untuk melakukan korupsi demi memenuhi standar pengeluaran
pemerintah yang ingin dicapai. Pada modul ini, yang dimaksud faktor struktural
adalah ketika struktur dan sistem dalam pemerintahan masih belum ideal dan

Wawancara Investigatif 9
memungkinkan korupsi untuk terjadi. Faktor sistemik berupa sebuah sistem
yang dapat menyebabkan terjadinya pembiaran korupsi sehingga korupsi terus
berlangsung/merajalela dalam sebuah sistem. Dengan adanya berbagai macam
motivasi untuk melakukan korupsi, beberapa penelitian berupaya mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi.

Svensson (2005) berpendapat bahwa korupsi merupakan sebuah outcome, sebagai


refleksi dari hukum/undang-undang suatu negara, perekonomian, lembaga
kebudayaan dan politik. Maka, faktor-faktor penyebab korupsi antara lain adalah:
faktor sejarah, ekonomi, budaya, dan kelembagaan.

1) Faktor Sejarah
Sejarah yang berhubungan dengan penjajahan kolonial suatu negara merupakan
salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat korupsi. Kolonialisme dalam
sebuah negara memberikan efek pembentukan sistem kelembagaan di negara
tersebut. Sebagai contoh misalnya, negara yang pernah dijajah oleh kolonial
Inggris biasanya memiliki tingkat korupsi yang rendah dan ditandai dengan IPK
(Indeks Persepsi Korupsi) tinggi (Treisman, 2000).

Svensson (2005) juga menganggap bahwa kelembagaan dipengaruhi oleh


sejarah yang berhubungan dengan sistem kolonial. Pendapat ini didasari
oleh literatur sebelumnya (Acemoglu, Johnson dan Robinson, 2001) yang
menyatakan bahwa suatu kelembagaan pada masa kolonial seringkali dibentuk
untuk kepentingan penjajah. Dalam upaya memuluskan kekuasaannya sistem
kolonial membuat sebuah sistem kelembagaan yang menjaga dan melindungi
kepentingan kolonial.

2) Faktor Ekonomi
Menurut Svensson (2005), negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki
karakteristik sebagai negara berkembang dan negara transisi, negara dengan
tingkat pendapatan yang rendah, dan negara yang memiliki sistem perekonomian
tertutup. Sistem perekonomian tertutup menyebabkan tingkat entry pasar yang
semakin rendah sehingga kompetisi sangat sulit terjadi. Akibatnya muncul
penyuapan dan pungli untuk dapat masuk dalam sebuah pasar. Oleh karena itu
perekonomian tertutup cenderung untuk memiliki tingkat korupsi yang tinggi.
Negara maju biasanya memiliki sistem pengaturan entry pasar yang baik dan
stabil sehingga tingkat korupsinya juga rendah.

10 Dampak Sosial Korupsi


Tingkat pendapatan dapat mempengaruhi masyarakat dalam melakukan
korupsi. Dalam sebuah sistem pemerintahan, banyaknya proporsi birokrat
korup dan gaji pegawai pemerintah yang rendah dapat meningkatkan tingkat
korupsi suatu pemerintahan atau negara. Menurut Andvig dan Moene (1990),
suap yang ditawarkan menjadi semakin tinggi ketika gaji pegawai publik rendah.
Namun, selanjutnya pendapat ini menjadi tidak relevan karena terdapat pula
pegawai pemerintah dengan gaji tinggi juga masih melakukan korupsi. Maka
faktor yang muncul bukan hanya pendapatan yang rendah tetapi juga sifat
tamak (greedy).

3) Faktor Budaya
Perspektif budaya maskulin suatu negara dapat mempengaruhi tingkat korupsi
suatu negara (Swamy, Knack dan O. Azfar, 2001).

4) Faktor Kelembagaan
Negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tinggi cenderung memiliki tingkat
korupsi yang rendah (Svensson, 2005). Sebaliknya, negara yang memiliki tingkat
kebebasan pers rendah cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Hal ini
dikarenakan free press dapat memberikan informasi lebih banyak tentang orang
atau oknum pemerintah yang melakukan korupsi. Akibatnya, expected benefit
lebih rendah dibandingkan expected cost untuk melakukan korupsi. Selain itu
dengan adanya kebebasan pers, tingkat deteksi menjadi lebih tinggi sehingga
tingat korupsi menjadi lebih rendah.

Inefisiensi kelembagaan dapat memicu timbulnya korupsi. Menurut Aidt


(2003), suatu kondisi yang dapat menyebabkan korupsi antara lain adalah
adanya kekuasaan dan kewenangan strategis oleh pejabat publik dan adanya
sistem kelembagaan yang lemah. Dalam upaya mengurangi korupsi, Aidt (2003)
mengungkapkan bahwa cara yang paling efektif untuk mengurangi korupsi adalah
dengan meningkatkan hukuman bagi koruptor dan kontrol kelembagaan. Namun
kenyataannya di Indonesia, hukuman bagi koruptor hanya mampu menutupi
7% dari biaya sosial eksplisit yang ditimbulkan oleh korupsi (Pradiptyo, 2009).
Dengan demikian, tidak ada efek jera dari upaya hukum terhadap koruptor.
Sedangkan desain kontrol dan sistem pengawasan yang efektif sulit dilakukan
dan membutuhkan banyak biaya (Aidt, 2003). Biaya tersebut sebenarnya akan
menjadi lebih efisien bagi pemerintah apabila mengandalkan pada laporan
dalam memutuskan investigasi daripada pemeriksaan random (Mookerjee dan
Png, 1992).

Dampak Sosial Korupsi 11


Beberapa penelitian tentang korupsi mengungkapkan bahwa tingkat formalitas
suatu institusi dapat mengurangi perilaku korupsi (Guerrero dan Oreggia, 2008).
Tingkat formalitas institusi ditandai dengan adanya transparansi. Transparansi
dapat mengurangi praktek korupsi di suatu negara (Kolstad dan Wiig, 2008).
Dengan demikian sistem kelembagaan yang baik memiliki kemungkinan besar
untuk mampu mengurangi korupsi. Sistem kelembagaan yang baik juga dapat
memperkecil adanya hidden action (Eisenhauer, 2006).

Hidden action perlu diperkecil atau ditiadakan, karena hidden action merupakan
penyebab inefisiensi dalam perekonomian serta memicu terjadinya korupsi
dalam suatu kelembagaan. Adanya informasi asimetri merupakan indikasi
bahwa suatu sistem kelembagaan adalah lemah. Selain itu diperlukan kondisi
adanya kompetisi dalam ekonomi dan lembaga politik. Kompetisi ekonomi dan
politik dapat mengurangi tingkat korupsi dan efeknya yang merugikan (Shleifer
dan Vishny, 1993). Hal ini dikarenakan kompetisi politik membuat pemerintahan
lebih transparan.

Identifikasi terhadap faktor-faktor penyebab korupsi pun tidak banyak


membantu upaya pemberantasan korupsi. Menurut Svensson (2005), masih
banyak negara yang belum berhasil menumpas korupsi karena menurutnya
kejujuran bukanlah hal yang mudah. Maka dari itu penanaman nilai-nilai moral
yang baik di masyarakat sangat diperlukan sejak dari usia dini.

12 Dampak Sosial Korupsi


Studi Kasus 3.1

Bagaimana menurut anda tentang UU Anti Korupsi di Indonesia dibandingkan


dengan UU Anti Korupsi negara lain?

Salah satu sistem kelembagaan adalah pengaturan Undang-undang dan hukum.


Dari perbandingan kedua UU terkait korupsi berikut dapat diketahui bahwa
sistem kelembagaan Indonesia lebih lemah dibandingkan UU korupsi oleh PBB
(UNCAC)

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Indonesia mengatur tentang:


1) Penyogokan kepada PNS dan staff pengadilan;
2) Penggelapan sektor publik;
3) Tindakan memperjualbelikan pengaruh/kekuasaan;
4) Penyalahgunaan kekuasaan; dan
5) Ellicit of enrichment.

The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengatur tentang


tindak korupsi terkait:
1) Penyogokan kepada PNS, pegawai negeri asing dan sektor swasta;
2) Penggelapan di sektor publik dan swasta;
3) Tindakan memperjualbelikan pengaruh/kekuasaan;
4) Penyalahgunaan kekuasaan;
5) Ellicit of enrichment;
6) Pencucian hasil korupsi;
7) Penyembunyian hasil korupsi;
8) Mempengaruhi proses pengadilan.

Jadi, terdapat beberapa aktivitas korupsi yang masih belum diatur di UU Anti
Korupsi Indonesia, sedangkan pada UU Anti Korupsi di negara lain, hal-hal
tersebut telah diatur.

B. LATIHAN
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal latihan berikut:
1. Hal apa saja yang dapat memotivasi seseorang untuk melakukan korupsi?
2. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya korupsi!

C. RANGKUMAN
Hal-hal yang dapat menjadi motivasi untuk melakukan korupsi antara lain adalah:
adanya ketimpangan pendapatan atau gaji antara sektor publik dan swasta, adanya
ketimpangan pendapatan atau gaji antar sektor publik, gaya hidup atau pola

Dampak Sosial Korupsi 13


konsumsi yang berlebihan, standar pengeluaran pemerintah yang tidak mencukupi,
dan faktor sistemik atau struktural.

Faktor-faktor penyebab korupsi antara lain adalah faktor sejarah, ekonomi, budaya,
dan kelembagaan:
1) Faktor Sejarah: Sejarah yang berhubungan dengan penjajahan kolonial suatu
negara merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat korupsi.
Kolonialisme dalam sebuah negara memberikan efek pembentukan sistem
kelembagaan di negara tersebut.
2) Faktor Ekonomi: Negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki karakteristik
sebagai negara berkembang dan negara transisi, negara dengan tingkat
pendapatan yang rendah, dan negara yang memiliki sistem perekonomian
tertutup.
3) Budaya: Perspektif budaya maskulin suatu negara dapat mempengaruhi tingkat
korupsi suatu negara (Swamy, Knack dan Azfar, 2001).
4) Faktor Kelembagaan: Negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tinggi dan
baiknya sistem kelembagaan cenderung memiliki tingkat korupsi yang rendah.

D. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal evaluasi berikut:
1) Setelah anda mempelajari faktor-faktor penyebab korupsi, menurut anda
faktor-faktor apa saja penyebab korupsi di Indonesia?
2) Faktor apa yang paling penting atau mendominasi terjadinya korupsi di
Indonesia?

E. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT


Sejauhmana anda dapat menyelesaikan Latihan dan Evaluasi Materi yang ada pada
Bab ini? Apabila anda telah mampu menjawab Latihan dan Evaluasi Materi pada Bab
ini, berarti anda telah menguasai materi ini dengan baik dan benar. Akan tetapi, jika
anda masih merasa ragu dengan pemahaman anda mengenai materi yang terdapat
pada Bab ini, serta adanya keraguan dan kesalahan dalam menjawab Latihan dan
Evaluasi Materi, maka disarankan anda mempelajari kembali secara lebih intensif
dengan membaca ulang materi dalam modul ini, membaca bahan referensi yang
dipergunakan, berdiskusi dengan pengajar/fasilitator dan juga dengan sesama
peserta Diklat lainnya.

14 Dampak Sosial Korupsi


BAB IV
KORUPSI
DI INDONESIA

Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan perkembangan korupsi di Indonesia.

A. PERKEMBANGAN TINGKAT KORUPSI DI INDONESIA


Tingkat korupsi di Indonesia dapat dikategorikan masih tinggi. Hal ini dapat diketahui
dari indeks persepsi korupsi di Indonesia yang sangat rendah dibandingkan negara
lainnya di dunia. Pada tahun 2015, indeks persepsi korupsi Indonesia menurut
Transparency International adalah 36 dan masih berada di peringkat 88 dari 168
negara di dunia. Pada kawasan Asia Tenggara, indeks persepsi korupsi Indonesia
di tahun 2015 masih berada di bawah negara Singapura (85), Malaysia (50), dan
Thailand (38). Survei-survei lainnya yang dilakukan oleh lembaga internasional juga
menunjukkan bahwa tingkat korupsi Indonesia tergolong masih tinggi. Adapun
perkembangan indeks korupsi di Indonesia dapat ditampilkan pada Gambar 4.1.

Indonesia Malaysia Philipina


Thailand Singapore

9.2 9.3 9.4 9.3 9.4 9.4 9.3 9.2 9.2 9.3 9.2 8.7
8.6 8.4 8.5

5 4.9 5.2 5.0 5.1 5.0 5.1 5.1 4.5 4.9 5.0 5.2 5.0
4.4 4.3 3.7
3.2 3.2 3.3 3.6 3.8 3.6 3.3 3.5 3.4 3.5 3.4 3.5 3.8 3.8
2.9 2.6 2.5 2.6 2.5 2.5 2.5 2.6 2.8 2.8 2.6 3.2 3.2 3.4 3.8
1.9 1.9 1.9 2.0 2.2 2.4 2.3 2.3 2.4 2.4

01 02 03 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015
20 20 20 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Sumber: Transparency International (Diolah)

Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Indeks Persepsi Korupsi


Negara-negara di Kawasan Asia Tenggara

Wawancara Investigatif 15
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2015, negara Indonesia lebih korup
dibandingkan Negara Thailand, Malaysia dan Singapura. Tingkat korupsi negara
Indonesia selama tahun terakhir menyamai kondisi korupsi di Negara Philipina.
Gambar di atas juga menunjukkan bahwa dari tahun 2001 sampai dengan tahun
2015 terjadi penurunan tingkat korupsi di Indonesia yang ditandai dengan
peningkatan indeks persepsi korupsi. Apabila dilihat secara umum, dampak
pendirian KPK pada tahun 2002 baru terlihat signifikan pada tahun 2005.

Sejak tahun 2005 terdapat peningkatan indeks persepsi korupsi di Indonesia, yang
mana sebelum tahun 2005 yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 indeks
persepsi korupsi Indonesia terlihat tidak mengalami perubahan dari nilai indeks
19. Pada tahun 2005 indeks persepsi korupsi naik menjadi 20 dan terus mengalami
peningkatan sampai dengan tahun 2015 indeks persepsi korupsi Indonesia sampai
pada titik 36. Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa pendirian KPK memberikan
dampak yang positif terhadap upaya pengurangan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Meskipun demikian partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan
korupsi ini tetap diperlukan. Budaya non-korup di masyarakat dapat menjamin
keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia khususnya. Sebaliknya,
ketika korupsi dibiarkan dan diterima oleh masyarakat maka tingkat deteksi korupsi
akan semakin rendah dan korupsi semakin merajalela.

B. DATA KASUS KORUPSI DI INDONESIA


Pola perilaku korupsi sepertinya telah merajalela di Indonesia. Tidak heran jika
dalam kehidupan birokrasi, masyarakat seringkali dihadapkan oleh suap dan pungli
dalam pelayanan publik yang telah menjadi rahasia umum di masyarakat. Hampir
setiap hari penyajian berita pada media massa juga berkaitan dengan gratifikasi,
penggelapan anggaran belanja pemerintah, penyidikan, dan pengenaan hukuman
bagi para koruptor. Laboratorium Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis
membangun database putusan Mahkamah Agung (MA) atas koruptor di Indonesia,
yaitu sejak putusan oleh MA tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Adapun
perkembangan database putusan MA terhadap koruptor di Indonesia ditunjukkan
pada Gambar 4.2.

16 Dampak Sosial Korupsi


V2 2001 - 2012 V4 2001 - 2015
• 549 Kasus • 1518 Kasus
• 831 • 1289 Kasus • 2142 • 2321
Terdakwa • 831 Terdakwa • 3109
Terdakwa Terdakwa
V12001 - 2009 V3 2001 - 2013

Sumber: Putusan MA (Diolah)

Gambar 4.2. Perkembangan Kasus Korupsi di Indonesia

Gambar 4.2 di atas menunjukkan adanya peningkatan penyelesaian kasus korupsi


di Indonesia. Dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2015 terdapat 2.321 kasus
korupsi, dengan 3.109 terdakwa yang telah diputus oleh MA. Secara rata-rata
terdapat 166 kasus korupsi dengan 223 terdakwa setiap tahunnya. Angka ini
masih merepresentasikan kasus korupsi yang dapat diketahui/tercatat (recorded
corruption), meskipun unrecorded corruption jauh lebih besar dari angka tersebut.

Berdasarkan data putusan MA, kasus korupsi diklasifikasikan menjadi 5 (lima) jenis
berdasarkan jumlah yang dikorupsi dari nilai terendah ke nilai tertinggi yaitu:
1) korupsi gurem
Korupsi gurem merupakan korupsi yang bernilai kurang dari 10 juta rupiah (<
Rp. 10 juta).
2) korupsi kecil
Korupsi kecil merupakan korupsi yang bernilai di antara 10 juta sampai dengan
100 juta rupiah (Rp. 10 juta ≤ X < Rp. 100 juta).
3) korupsi sedang
Korupsi sedang merupakan korupsi yang bernilai di antara 100 juta rupiah
sampai dengan 1 milyar rupiah (Rp. 100 juta ≤ X < Rp. 1 M).
4) korupsi besar
Korupsi besar merupakan korupsi yang bernilai di antara 1 milyar rupiah sampai
dengan 25 milyar rupiah (Rp. 1 M ≤ X < Rp. 25 M).
5) korupsi kakap
Sedangkan korupsi kakap merupakan korupsi yang bernilai lebih dari 25 milyar
rupiah (>Rp.25 M).

Dampak Sosial Korupsi 17


Berdasarkan data, dari 3.109 terdakwa terdapat 2.569 terpidana. Keberadaan
terpidana korupsi terbanyak di Pulau Jawa dan Sumatera. Sebagaimana diketahui
bahwa aktivitas perekonomian di kedua pulau tersebut masih lebih tinggi
dibandingkan pulau lainnya di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara pusat pemerintahan dan aktivitas ekonomi dengan
jumlah terpidana korupsi. Distribusi terpidana korupsi berdasarkan wilayah dapat
dilihat pada Gambar 4.3.

Wilayah Terpidana

MALUKU DAN PAPUA 111

BALI & NT 136

SULAWESI 360

KALIMANTAN 225

SUMATERA 578

JAWA LAIN 735

JABODETABEK 424

0 100 200 300 400 500 600 700 800


Sumber: Data Putusan MA (Diolah)

Gambar 4.3. Data Terpidana Korupsi Berdasarkan Wilayah

Dari Gambar 4.3 dapat diketahui terpidana korupsi terbanyak adalah di Pulau
Jawa (selain Jabodetabek) yaitu 735 terpidana atau sebesar 28,61%, Sumatera
(22,50%), Jabodetabek (16,50%), Sulawesi (14,01%), Kalimantan (8,76%), Bali dan
Nusa Tenggara (5,29%), serta Maluku dan Papua (4,32%). Dari jumlah terpidana
korupsi di wilayah Jabodetabek dan Sumatera yang sangat besar, nilai korupsinya
sebesar 94,08% dari total korupsi di Indonesia yaitu senilai 195,14 triliun rupiah di
tahun 2015 (nilai riil). Maka, dapat dipastikan bahwa secara umum korupsi yang
terjadi di kedua wilayah tersebut termasuk dalam jenis korupsi kakap dan korupsi
besar.

18 Dampak Sosial Korupsi


Jenis korupsi yang dilakukan oleh koruptor dapat dipengaruhi oleh jenis
pekerjaannya. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu karakteristik korupsi
adalah dilakukan secara bersama-sama (joint corruption). Tidak semua jenis
pekerjaan memberikan kesempatan yang luas untuk melakukan korupsi. Maka dari
itu, dari data dilakukan identifikasi terhadap terpidana korupsi berdasarkan jenis
pekerjaannya. Jenis pekerjaan terpidana korupsi dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu
Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D),
pegawai lembaga independen, politisi, dan pegawai swasta serta lainnnya. Adapun
distribusi koruptor berdasarkan pekerjaannya ditunjukkan pada Gambar 4.4.

1115

670

559

149
62
PNS BUMN/D LEMBAGA POLITISI SWASTA/LAIN-
INDEPENDENT LAIN

Sumber: Data Putusan MA (Diolah)

Gambar 4.4. Data Terpidana Korupsi Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa terpidana korupsi yang paling banyak jumlahnya
memiliki pekerjaan sebagai PNS yaitu sebanyak 1.115 orang atau 43,64%,
Swasta dan lainnya (26,22%), politisi (21,88%), BUMN/D (5,83%), serta Lembaga
independen (2,43%). Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
salah satu penyebab korupsi adalah sistem kelembagaan yang lemah (Aidt, 2003;
Guerrero dan Oreggia, 2008; Kolstad dan Wiig, 2008). Hal ini mengindikasikan
bahwa sistem kelembagaan di sektor publik adalah paling buruk dibandingkan
sistem kelembagaan lainnya seperti BUMN/D dan lembaga independen. Koruptor
dari jenis pekerjaan politisi juga menunjukkan angka yang cukup besar yaitu
21,88%.

Dampak Sosial Korupsi 19


Tingginya jumlah terpidana korupsi dari pekerjaan sebagai politisi juga
mengindikasikan bahwa sistem politik di Indonesia masih memiliki banyak
kelemahan, dan celah hukum yang sangat memungkinkan politisi untuk
melakukan korupsi. Apabila jumlah terpidana korupsi oleh politisi dan swasta/lain-
lain dijumlahkan, maka jumlah terpidana korupsi kedua jenis pekerjaan tersebut
mencapai 1.229 terpidana korupsi. Jumlah ini melampaui jumlah terpidana korupsi
oleh PNS yang berjumlah 1.115 orang. Dengan demikian sistem kelembagaan
di Indonesia yang masih belum baik, sehingga memungkinkan untuk terjadinya
korupsi, yang terdapat pada sektor publik (pemerintahan), swasta, dan politik.

C. LATIHAN
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal latihan berikut:
1. Bagaimana perkembangan korupsi di Indonesia sejak tahun 2000 sampai
dengan saat ini?
2. Bagaimana karakteristik korupsi di Indonesia apabila didasarkan pada data
wilayah dan pekerjaan terpidana korupsi?

D. RANGKUMAN
Sejak tahun 2004, indeks persepsi korupsi di Indonesia mengalami peningkatan
yang menunjukkan adanya penurunan tingkat korupsi di Indonesia. Korupsi di
Indonesia terjadi hampir di seluruh sektor, baik sektor publik maupun pada sistem
penegakan hukum.

Keberadaan terpidana korupsi terbanyak berada di Pulau Jawa dan Sumatera, yang
mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pusat pemerintahan
dan aktivitas ekonomi dengan jumlah terpidana korupsi. Secara umum terpidana
korupsi memiliki pekerjaan sebagai PNS, politisi dan karyawan swasta.

E. EVALUASI MATERI
Setelah Anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal evaluasi berikut:
1. Bagaimana pendapat Anda tentang mayoritas pekerjaan terpidana korupsi?
2. Apakah ada hubungan antara pekerjaan terpidana korupsi dengan sistem
kelembagaan tempat terpidana korupsi bekerja? Jelaskan!
F. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT
Sejauhmana anda dapat menyelesaikan Latihan dan Evaluasi Materi yang ada
pada Bab ini? Apabila anda telah mampu menjawab Latihan dan Evaluasi Materi
pada Bab ini, berarti anda telah menguasai materi ini dengan baik dan benar. Akan
tetapi, jika anda masih merasa ragu dengan pemahaman anda mengenai materi
yang terdapat pada Bab ini, serta adanya keraguan dan kesalahan dalam menjawab
Latihan dan Evaluasi Materi, maka disarankan anda mempelajari kembali secara
lebih intensif dengan membaca ulang materi dalam modul ini, membaca bahan
referensi yang dipergunakan, berdiskusi dengan pengajar/fasilitator dan juga
dengan sesama peserta Diklat lainnya.

Dampak Sosial Korupsi 21


22 Dampak Sosial Korupsi
BAB V
DAMPAK SOSIAL KORUPSI

Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan dampak sosial korupsi.

A. DAMPAK KORUPSI TERHADAP PEREKONOMIAN


Dalam Bab V dalam modul ini, dampak sosial korupsi difokuskan untuk mengkaji
kaitannya dengan masalah perekonomian makro. Di mana, korupsi berdampak
negatif terhadap perekonomian bangsa dan Negara. Adapun dampak-dampak
tersebut adalah sebagai berikut:

1) Korupsi Berdampak Negatif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Selain identifikasi terhadap faktor-faktor penyebab korupsi, penelitian
tentang dampak korupsi juga telah banyak dilakukan. Beberapa ahli berupaya
mengidentifikasi dampak korupsi terhadap perekonomian. Dalam penelitian
terkait dampak korupsi terhadap perekonomian terdapat dua pihak yang saling
berseberangan yaitu pihak yang mendukung grease the wheel hypothesis
(GWH) dan pihak yang mendukung sand the wheel hypothesis (SWH). Grease
the wheel hypothesis (GWH) menyatakan bahwa korupsi dapat berfungsi
sebagai pelumas (oli) bagi perekonomian, dengan kata lain korupsi dapat
berdampak positif terhadap perekonomian.

Pendapat GWH dianalogikan dalam upaya mendapatkan suatu izin pendirian


perusahaan. Leff (1964) dan Lui (1985) mengungkapkan bahwa pada kondisi
sistem kelembagaan yang tidak baik, pengurusan dan pemberian izin
pendirian perusahaan akan membutuhkan waktu lama dan berbelit-belit.
Untuk mengurangi waktu menunggu dalam mendapatkan izin perusahaan,
maka individu memberikan suap kepada pegawai publik agar mendapatkan
kemudahan dalam mendapatkan pemberian izin tersebut. Analogi ini

Wawancara Investigatif 23
kemudian memunculkan pendapat bahwa korupsi dapat berdampak positif
terhadap perekonomian. Dreher dan Gassebner (2013) menunjukkan bahwa
korupsi dapat memfasilitasi masuknya perusahaan terhadap pasar dalam
tingkat regulasi yang tinggi.

Sand the wheel hypothesis (SWH) berpendapat bahwa korupsi berdampak


negatif terhadap perekonomian. Pendukung SWH antara lain adalah Rose-
Ackerman (1978), Shleifer dan Vishny (1993), Jain (2001), Mo (2001), Mauro
(1995; 1998), Meon dan Sekkat (2005), Henderson dan Kuncoro (2006),
Rivayani (2008). Beberapa penelitian lintas negara menunjukkan bahwa
korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian yang diproksi sebagai
pertumbuhan ekonomi (Mo, 2001; Mauro, 1995; Meon dan Sekkat, 2005).

Dari pertentangan GWH dan SWH, ekonom lebih sepakat terhadap SWH
yaitu korupsi berdampak buruk bagi perekonomian. Hal ini terbukti dengan
banyaknya propaganda dan pendirian lembaga anti korupsi di berbagai negara
termasuk di Indonesia. Selain itu penganut GWH hanya menganalogikan efek
positif korupsi terhadap perekonomian ketika sistem kelembagaan tidak baik
yaitu sistem birokrasi yang lama dan berbelit-belit. Namun, dalam sistem
kelembagaan yang baik GWH tetap berpendapat bahwa dampak korupsi adalah
negatif terhadap perekonomian. Henderson dan Kuncoro (2006) dan Rivayani
(2008) menemukan bahwa GWH tidak terbukti di Indonesia berdasarkan data
empiris. Dengan demikian, dampak korupsi khususnya di Indonesia adalah
menghambat pertumbuhan ekonomi dan merugikan perekonomian nasional.

2) Korupsi Menurunkan Tingkat Investasi


Mauro (1995; 1998) menemukan fakta bahwa korupsi mampu menurunkan
tingkat investasi suatu negara. Investasi yang rendah akan memberikan
multiplier effect investasi terhadap pertumbuhan ekonomi juga rendah.
Investasi merupakan variabel yang robust (sehat dan kuat) dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu rendahnya investasi akibat korupsi
mampu menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dari titik
optimalnya.

Cuervo-Cazurra (2006) menemukan bahwa investor dari negara yang memiliki


tingkat korupsi rendah (non-korup) cenderung berinvestasi di negara non-
korup. Sebaliknya investor dari negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi
(korup) juga cenderung berinvestasi di negara korup. Hal ini dikarenakan

24 Dampak Sosial Korupsi


bahwa investor dari negara non-korup mengganggap bahwa berinvestasi di
negara korup akan menyebabkan biaya transaksi tinggi dengan adanya pungli
dan suap untuk memperoleh perizinan, sehingga biaya investasi menjadi lebih
tinggi di negara korup. Sehingga, investor dari negara non-korup berpendapat
bahwa berinvestasi di negara korup justru tidak memberikan keuntungan yang
maksimal.

Penelitian Cuervo-Cazurra (2006) menunjukkan bahwa korupsi dapat


menciptakan adverse selection masuknya investasi (Foreign Direct Investment/
FDI) di suatu negara. Ketika masyarakat di suatu negara menciptakan dan
mempertahankan budaya korup di negerinya maka secara tidak langsung
masyarakat di negara tersebut mengundang investor asing yang juga korup,
yaitu terbiasa melakukan suap untuk mendapatkan perizinan usaha. Selain itu
budaya korup juga dapat mengundang investor asing yang tidak berkualitas.
Meskipun tidak berkualitas, investor asing tersebut dapat memperoleh izin
usaha di negara korup dengan cara suap. Budaya korup mengundang investor
asing yang tidak berkualitas dan terbiasa melakukan praktik korupsi seperti
suap, gratifikasi dan penggelapan. Masuknya investor tidak berkualitas
memperburuk perekonomian dalam negeri.

3) Korupsi Menambah Beban dalam Transaksi Ekonomi dan Menciptakan


Sistem Kelembagaan yang Buruk
Adanya suap, pungli dalam sebuah perekonomian menyebabkan biaya transaksi
ekonomi menjadi semakin tinggi. Tingginya biaya transaksi menyebabkan
inefisiensi dalam perekonomian. Dalam modul ini, yang dimaksud biaya
transaksi adalah biaya yang diperlukan dalam penggunaan sumber daya
untuk penciptaan, pemeliharaan, penggunaan, perubahan dan sebagainya
pada suatu institusi dan organisasi (Furubotn dan Richter, 1998). Lebih lanjut,
Furubotn dan Richter (1998) memandang biaya transaksi sebagai biaya yang
muncul dalam pengelolaan suatu institusi atau kelembagaan dalam mencapai
tujuannya.

Semakin tinggi biaya transaksi semakin tidak efisien sistem kelembagaan yang
didesain (Yustika, 2008). Suatu kelembagaan akan semakin efektif jika biaya
transaksi yang diperlukan semakin rendah. Analisis atas biaya transaksi berfokus
pada efisiensi. Rendahnya biaya transaksi merupakan suatu ciri kelembagaan
yang baik (Williamson, 1981). Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia
terdapat suap dan pungli dalam upaya mendapatkan pelayanan publik seperti

Dampak Sosial Korupsi 25


pembuatan akta kelahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan lainnya. Kondisi
ini menyebabkan tingginya biaya transaksi ekonomi dan sistem kelembagaan
yang buruk.

4) Korupsi Menyebabkan Sarana dan Prasarana Berkualitas Rendah


Shleifer dan Vishny (1993), Mauro (1998) menyatakan bahwa korupsi
menciptakan mis-alokasi sumber daya. Korupsi berupa penggelapan, suap,
dan pungli dapat menyebabkan sarana-prasarana di negara korup berkualitas
rendah. Suap dan pungli dalam implementasi anggaran pembangunan
infrastruktur menyebabkan pengurangan anggaran pembangunan sarana
dan prasarana. Demikian pula penggelapan atas anggaran pembangunan
infrastruktur, menyebabkan anggaran pembangunan infrastruktur berkurang,
mengakibatkan infrastruktur yang dibangun berkualitas rendah. Rendahnya
kualitas infrastruktur dapat mengganggu akses masyarakat kepada pusat
perekonomian dan pusat pertumbuhan. Maka, kualitas infrastruktur yang
rendah dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah. Bahkan Mauro (1998) menyatakan bahwa korupsi mampu mengurangi
pembelanjaan pemerintah di sektor pendidikan.

5) Korupsi Menciptakan Ketimpangan Pendapatan


You dan Khagram (2005) menyatakan bahwa tingkat pendapatan masyarakat
berpengaruh pada perilaku korupsi. Orang kaya lebih memiliki kekuasaan dan
kesempatan untuk melakukan suap dibandingkan orang miskin. Secara umum,
aktivitas korupsi terdiri dari tiga jenis yaitu suap, pungli dan penggelapan
(Bowles, 2000). Tindakan korupsi tersebut mampu memindahkan sumber daya
publik ke tangan para koruptor. Korupsi menyebabkan uang pembelanjaan
pemerintah korup menjadi lebih sedikit. Akibatnya ketimpangan pendapatan
akan terjadi antara elit koruptor dengan publik karena berpindahnya sumber
daya publik kepada koruptor.

Beberapa negara berupaya menurunkan korupsi dengan harapan juga dapat


mengurangi ketimpangan pendapatan. Gyimah-Brempong (2002), Gupta
dan Alonso-Terme. (2002), Batabyal dan Chowdhury (2015) telah dapat
membuktikan secara empiris bahwa korupsi dapat meningkatkan ketimpangan
pendapatan; dan adanya kebijakan pengurangan korupsi memiliki dampak
positif dalam penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Dalam perspektif
yang lain You dan Khagram (2005) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan
dapat memicu korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan

26 Dampak Sosial Korupsi


timbal balik antara ketimpangan pendapatan dan korupsi. Uslaner (2011)
juga menyatakan bahwa dampak korupsi terhadap ketimpangan pendapatan
bersifat timbal balik, yaitu korupsi menyebabkan ketimpangan pendapatan
dan ketimpangan pendapatan juga menyebabkan korupsi.

6) Korupsi Meningkatkan Kemiskinan


Badan Pusat Statistik mengklasifikasikan kemiskinan menjadi empat kategori
yaitu:
a. Kemiskinan absolut
Merupakan kondisi seseorang yang memiliki pendapatan di bawah
garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, papan, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan
untuk dapat hidup dan bekerja dengan layak. Standar kemiskinan
absolut merupakan standar kehidupan minimum yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, baik kebutuhan makanan
dan non-makanan.
b. Kemiskinan relatif
Merupakan kemiskinan yang dikarenakan pengaruh kebijakan yang dapat
menyebabkan ketimpangan pendapatan. Standar kemiskinan relatif
ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat.
c. Kemiskinan kultural
Merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor adat atau budaya
yang membelenggu sehingga tetap berada dalam kondisi miskin.
d. Kemiskinan struktural
Merupakan kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan seseorang
atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem yang tidak adil
sehingga mereka tetap terjebak dalam kemiskinan.

Kebijakan penurunan tingkat korupsi mampu menurunkan ketimpangan


pendapatan dan kemiskinan (Gupta dan Alonso-Terme, 2002). Selain
memberikan efek langsung korupsi juga memberikan efek tidak langsung
terhadap kemiskinan. Channeling-nya berasal dari dampak korupsi adalah
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Shleiver dan Vishny, 1993; Mauro,
1995, 1998; Bardhan, 1997; Mo, 2001; Meon dan Sekkat, 2005; Dzhumashev,
2014), yang mana pertumbuhan ekonomi yang rendah dapat meningkatkan
tingkat kemiskinan (Deaton dan Dreze, 2002). Channeling korupsi terhadap
kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi lebih fokus pada kemiskinan absolut.
Sedangkan channeling korupsi terhadap kemiskinan melalui ketimpangan

Dampak Sosial Korupsi 27


pendapatan lebih fokus pada kemiskinan relatif. Dari dampak korupsi terhadap
budaya, maka akan didapat channeling korupsi terhadap kemiskinan melalui
budaya yang mana lebih fokus pada kemiskinan kultural dan kemiskinan
struktural. Dengan mengetahui dampak negatif korupsi terhadap kemiskinan
maka korupsi harus diberantas sampai dengan akar-akarnya.

Contoh Kasus 5.1.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon pernah mengungkapkan bahwa korupsi merupakan
‘oli’ bagi pembangunan. Dengan kata lain Fadli Zon menyetujui Grease the
Wheel Hypothesis (GWH). Meskipun ia tidak menyetujui adanya korupsi namun
pendapat ini sangat keliru dan seharusnya tidak diungkapkan ke ranah publik
mengingat Fadli Zon adalah Wakil Ketua DPR (Detiknews, 30 Mei 2015).

Henderson dan Kuncoro (2006), Kuncoro (2012) dan Rivayani (2008), telah
meneliti untuk kasus Indonesia menggunakan data empiris. Dari 1.808
perusahaan yang telah disurvey oleh Kuncoro (2012) mengungkapkan bahwa
1.333 perusahaan mengaku pernah membayar suap di tahun 2001 dalam upaya
menurunkan pajak dan biaya lainnya atas pendirian perusahaan dan kelancaran
usaha.

Secara rata-rata mereka membayar suap sebesar 10,8% dari biaya produksi
tahunan perusahaan. Tingkat rata-rata suap yang dibayarkan adalah berkisar
antara 10% sampai dengan 15%. Bahkan, ada perusahaan yang membayar suap
lebih tinggi dari angka tersebut. Kenyataannya di Indonesia pembayaran suap
yang ditujukan untuk memperlancar justru malah memperlambat kelancaran
usaha. Negosiasi yang dilakukan malah semakin lama dan memperbesar
tingkat suap yang diminta oleh oknum pegawai publik. Maka jelas bahwa GWH
tidak terimplementasi di Indonesia. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk
menyimpulkan bahwa pembayaran suap di Indonesia dapat mempercepat
proses dan kelancaran pendirian dan pelaksanaan usaha.

28 Dampak Sosial Korupsi


B. DAMPAK KORUPSI TERHADAP BUDAYA
Korupsi memiliki dampak negatif terhadap budaya dan norma yang berlaku di
masyarakat. Ketika korupsi sudah sering terjadi di dalam masyarakat dan masyarakat
menganggap korupsi sebagai hal yang biasa, maka korupsi akan mengakar dalam
masyarakat sehingga menjadi norma dan budaya. Adapun pengertian norma
sosial merupakan sebuah nilai kehidupan yang berlaku dan disepakati bersama.
Norma sosial merupakan kesepakatan pemahaman atas perilaku yang dipandang
harus dilakukan, boleh dilakukan, atau tidak boleh dilakukan dalam suatu lingkup
masyarakat (Ostrom, 2000).

Beberapa dampak korupsi terhadap budaya pernah diteliti oleh Fisman dan
Miguel (2008), Barr dan Serra (2010). Hasil dari penelitian Fisman dan Miguel
(2008) mengungkapkan bahwa diplomat di New York yang berasal dari negara
dengan tingkat korupsi tinggi cenderung lebih banyak melakukan pelanggaran
parkir dibanding diplomat yang berasal dari negara dengan tingkat korupsi
rendah. Perilaku ini dianggap sebagai indikasi budaya. Sementara hasil penelitian
dari Barr dan Serra (2010) menunjukkan bahwa data di Inggris memberikan hasil
serupa yaitu adanya hubungan positif antara tingkat korupsi di negara asal dengan
kecenderungan para imigran melakukan penyogokan.

Ketika masyarakat permisif terhadap korupsi, maka semakin banyak individu


yang melanggar norma anti-korupsi atau melakukan korupsi dan semakin rendah
rasa bersalah (guilt disutility). Kondisi ini dapat menciptakan jebakan korupsi
(corruption trap). Masyarakat Indonesia cenderung masih permisif dengan korupsi
dan bahkan tidak memberikan sanksi sosial kepada para koruptor. Oleh karena
itu korupsi masih dianggap sebagai kejahatan tidak berbahaya dan dinilai sebagai
hal yang biasa dalam masyarakat, dengan cara pandang ini menyebabkan tingkat
korupsi di Indonesia tergolong masih tinggi.

C. DAMPAK LAIN KORUPSI


Dampak korupsi seringkali dilihat melalui perspektif pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya. Penelitian lain (Yamamura, Andres dan Katsaiti, 2012)
mengidentifikasi dampak korupsi terhadap tingkat bunuh diri masyarakat suatu
negara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa korupsi dapat meningkatkan
tingkat bunuh diri. Transmisi dampak korupsi terhadap tingkat bunuh diri adalah
pengurangan pembelanjaan publik terutama untuk sektor kesehatan mental dan
psikis berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat sehingga
meningkatkan jumlah bunuh diri. Maka, korupsi dapat meningkatkan tingkat
bunuh diri pada suatu masyarakat.

Dampak Sosial Korupsi 29


Selain dampak korupsi terhadap tingkat bunuh diri, Arvin dan Lew (2014)
menemukan bahwa korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan
masyarakat. Channeling-nya adalah bahwa dampak negatif korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan menyebabkan
masyarakat tidak bahagia.

D. DAMPAK KORUPSI DI SEKTOR PRIVAT


Korupsi yang dilakukan oleh perusahaan dapat terbagi menjadi dua jenis, yaitu
korupsi privat-publik dan korupsi privat-privat. Korupsi privat-publik merupakan
korupsi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap sektor publik. Korupsi privat-
privat merupakan korupsi yang dilakukan antarperusahaan. Korupsi oleh sektor
privat baik korupsi privat-publik maupun korupsi privat-privat telah banyak terjadi
di Indonesia. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa berdasarkan putusan MA, korupsi
yang dilakukan oleh pekerja swasta dan lainnya mencapai 26,22%, menduduki
posisi kedua setelah korupsi yang dilakukan oleh PNS (43,64%).

Kasus korupsi yang seringkali dilakukan oleh pihak privat kepada sektor publik
adalah membayar atau berjanji akan membayar uang (suap) kepada pihak publik
untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari sebuah kerugian perusahaan.
Rivayani (2008) dan Kuncoro (2012) telah mengidentifikasi korupsi yang dilakukan
oleh pihak perusahaan dalam mendapatkan izin pendirian usaha dan melakukan
usaha di Indonesia. Adanya korupsi di sektor ini tentu saja menyebabkan kompetisi
menjadi tidak sempurna. Karena korupsi (hanya dengan membayar suap),
perusahaan yang berkualitas kurang baik dapat beroperasi dan menjalankan usaha
di suatu wilayah.

Suap yang dibayarkan oleh perusahaan ini menyebabkan tingginya biaya transaksi
perusahaan. Sehingga untuk menutupi biaya suap (biaya transaksi) yang cukup
besar ini, perusahaan cenderung untuk memproduksi barang/jasa kurang
berkualitas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dalam rangka
menutupi biaya transaksi yang sudah cukup besar.

Cuervo-Cazurra (2006) menjelaskan bahwa korupsi oleh sektor privat


menyebabkan adanya adverse selection, yaitu munculnya pengusaha-pengusaha
yang tidak berkualitas yaitu perusahaan yang tidak mengutamakan kualitas output
perusahaan. Hal ini dikarenakan beroperasinya perusahaan hanya ditentukan
oleh suap yang dibayarkan ke sektor publik bukan ditentukan oleh kualitas output
perusahaan. Akibatnya banyak tercipta pasar lemon karena banyaknya pengusaha

30 Dampak Sosial Korupsi


korup di Indonesia. Sebagai contoh adalah pasar beras. Masyarakat tidak dapat
membedakan beras berkualitas tinggi dari perspektif harga, bahkan masyarakat
juga tidak dapat memprediksi dan menyimpulkan kualitas output beras suatu
perusahaan. Kualitas output beras suatu perusahaan cenderung berubah-ubah.
Tentu saja, hal ini menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat. Harga
beras yang muncul di pasar menjadi lebih tinggi daripada yang seharusnya jika
tanpa adanya budaya korup di lingkungan pengusaha.

Korupsi yang juga seringkali dilakukan oleh perusahaan adalah bekerjasama dengan
pegawai publik dalam melakukan penghindaran dan/atau penggelapan pajak (Jain,
1987; McKerchar, 2007). Dampak korupsi di bidang perpajakan ini dampaknya
sangat jelas bagi perekonomian negara, yaitu berkurangnya jumlah penerimaan
negara dari sektor pajak. Sebagaimana diketahui bahwa pajak digunakan oleh
pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintahan demi kesejahteraan
masyarakat. Sehingga channeling dampaknya adalah dapat menurunkan tingkat
kesejahteraan masyarakat, melambatnya pertumbuhan ekonomi, terciptanya
infrastruktur berkualitas rendah, dan meningkatkan ketimpangan pendapatan
dengan pengurangan anggaran transfer bagi masyarakat miskin.

Biaya politik dan biaya kegiatan partai politik (parpol) di Indonesia selama ini
adalah sangat besar; sedangkan pendapatan politisi dari jabatan nantinya tidak
begitu besar untuk dapat menutupi biaya politik. Sehingga, politisi berupaya
mencari pembiayaan kampanye politik dan kegiatan parpol kepada perusahaan.
Munculnya kepentingan perusahaan dalam kampanye politik akan menyebabkan
adanya money politic dan biaya politik menjadi semakin besar.

Perusahaan memberikan sumbangan dana terhadap kegiatan parpol tertentu


dengan tujuan bahwa nantinya jika parpol tersebut berkuasa, maka perusahaan
dapat mengambil keuntungan atau menghindari kerugian melalui pemanfaatan
implementasi kebijakan oleh politisi terpilih dari parpol yang dibiayai oleh
perusahaan tersebut (Argandona, 2003). Maka, jelas di sini bahwa dampak
korupsi yang paling besar disebabkan oleh korupsi yang dilakukan perusahaan
adalah terciptanya state captures corruption. Di mana state captures corruption
merupakan korupsi yang disebabkan oleh penyalahgunaan kewenangan
pemerintah dalam membuat kebijakan dan undang-undang yang memberikan
keuntungan bagi korporasi dan kebijakan tersebut inefisien bagi masyarakat.

Dampak Sosial Korupsi 31


Selain korupsi privat-publik, korupsi yang dilakukan oleh sektor privat adalah
korupsi privat-privat. Menurut Argandona (2003), korupsi privat-privat merupakan
korupsi yang terjadi ketika manager atau pekerja menggunakan wewenangnya
untuk mempengaruhi performa, fungsi, tugas perusahaan atau organisasi privat
baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mengganggu organisasi.
Secara umum aktivitas korupsi privat-privat antara lain adalah suap, pemerasan
dan penggelapan. Selanjutnya, Argandona (2003) berhasil mengidentifikasi
terjadinya korupsi privat-privat, antara lain:
a. Pemberian hadiah untuk memudahkan hubungan bisnis.
b. Menyuap manajer, importir, distributor dan lain-lain agar mendapatkan izin
distribusi, franchise, dan sebagainya.
c. Menyuap manajer institusi finance agar mendapat pinjaman, dan lain-lain.
d. Penyuapan untuk mengetahui rahasia transaksi perusahaan lain.
e. Penyuapan untuk mengetahui rahasia informasi teknik dan perdagangan
(desain, harga, customer, dan lainnya).
f. Penyuapan kepada manajer distributor retail agar mendapat space usaha
(produk) yang strategis.
g. Penyuapan pada direktur untuk promosi jabatan, dan lain-lain.
h. Pembayaran pada profesional independen (akuntan, auditor, konsultan, analis,
dll) agar bisa menyimpang dari yang ‘kewajibannya’.
i. Pembayaran ke jurnalis agar memberikan liputan yang baik tentang
perusahaannya.

Korupsi privat-privat seperti di atas dapat menciptakan perusahaan berkualitas


rendah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Rendahnya kualitas perusahaan
dapat menurunkan tingkat investasi optimal (Cuervo-Cazurra, 2006). Maka dampak
korupsi yang dilakukan oleh sektor privat adalah:
a. Terciptanya/munculnya perusahaan berkualitas rendah.
b. Menurunnya tingkat investasi perusahaan.
c. Terciptanya kompetisi pasar tidak sempurna.
d. Munculnya adverse selection dalam pasar dan terciptanya pasar lemon.
e. Menurunnya penerimaan optimal dari sektor pajak.
f. Menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
g. Melambatnya pertumbuhan ekonomi.
h. Terciptanya infrastruktur berkualitas rendah.
i. Meningkatnya ketimpangan pendapatan.
j. Terciptanya state captures corruption.

32 Dampak Sosial Korupsi


E. DAMPAK SOSIAL KORUPSI DI INDONESIA
Analisis dampak korupsi terhadap beberapa variabel ekonomi, sosial dan budaya
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya masih belum banyak diteliti di Indonesia.
Henderson dan Kuncoro (2006), Rivayani (2008) menemukan bahwa korupsi
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia.
Temuan ini mendukung SWH, yaitu korupsi berdampak negatif terhadap
perekonomian khususnya di Indonesia. Pada Tabel 5.1 berikut menunjukkan
adanya hubungan atau korelasi antara variabel korupsi yang diukur melalui indeks
persepsi korupsi (Transparency International) dengan variabel tingkat pendapatan
per kapita (Produk Domestik Bruto/PDB per kapita), kesenjangan kemiskinan
(poverty gap), tingkat pengangguran dan investasi (Foreign Direct Investment/FDI).

Tabel 5.1. Hubungan Korupsi dan Perekonomian Indonesia

Indeks Persepsi Korupsi (1995-2015)


Variabel Korelasi
Hubungan N
Spearman
Pertumbuhan Ekonomi -0.5638*** Negatif signifikan 21
Investasi (FDI) -0.7930*** Negatif signifikan 21
Pendapatan Per kapita -0.9147*** Negatif signifikan 21
Belanja Kesehatan Publik -0.7059*** Negatif signifikan 20
Kemiskinan 0.7857** Positif signifikan 7
Kesenjangan kemiskinan 0.9033*** Positif signifikan 12
(poverty gap)
Pengangguran 0.0378 Positif tidak signifikan 21

Catatan:
***: signifikan pada alpha= 1%
** : signifikan pada alpha= 5%
* : signifikan pada alpha= 10%
Sumber: Tranparency International dan World Bank (Diolah)

Dampak Sosial Korupsi 33


Nilai Indeks Persepsi Korupsi (Tranparency International) terdapat pada kisaran
0 (nol) sampai dengan 10 (sepuluh), menunjukkan tingkat korupsi dari tinggi ke
rendah. Maka untuk memudahkan interpretasi indeks tersebut diskalakan kembali
(rescaled) menjadi nilai indeks korupsi dari 0 (nol) sampai dengan 10 (sepuluh)
yang menunjukkan tingkat korupsi dari rendah ke tinggi. Indeks korupsi yang
diskalakan kembali dianalisis menggunakan Korelasi Spearman dengan beberapa
variabel ekonomi dan disajikan dalam Tabel 5.11 .

Pada Tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa korupsi berkorelasi negatif signifikan
1% dengan pertumbuhan ekonomi, artinya semakin tinggi korupsi, maka semakin
rendah tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada derajat kesalahan (alpha)
sebesar 1%. Temuan ini didukung oleh riset sebelumnya (Rose-Ackerman, 1978;
Shleifer dan Vishny, 1993; Bardhan, 1997; Mauro, 1995, 1998; Bowles, 2000; Jain,
2001; Mo, 2001; Meon dan Sekkat, 2005; Cuervo-Cazzura, 2006; Dzhumashev,
2014) yang menyatakan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Demikian halnya dengan korelasi antara korupsi dan tingkat investasi
(Foreign Direct Investment/FDI) di Indonesia juga negatif dengan tingkat signifikansi
1%. Hal ini sesuai dengan studi Mauro (1995; 1998) dan Cuervo-Cazzura (2006).

Pada Tabel 5.1 juga menunjukkan adanya korelasi negatif signifikan 1% antara
korupsi dan pendapatan per kapita serta pembelanjaaan kesehatan publik. Artinya,
semakin tinggi tingkat korupsi di Indonesia, maka pendapatan per kapita menjadi
semakin rendah dan pembelanjaan kesehatan publik juga semakin rendah.
Korelasi korupsi dengan kemiskinan dan kesenjangan (gap) kemiskinan adalah
positif signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi korupsi di Indonesia,
maka semakin tinggi tingkat kemiskinan dan kesenjangan kemiskinan di Indonesia.
Temuan ini sesuai dengan penelitian Gupta dan Alonso-Terme. (2002). Sedangkan,
tingkat korupsi dan tingkat pengangguran di Indonesia tidak menunjukkan korelasi
yang signifikan.

Temuan penelitian di atas, dipertegas oleh Lind, Marchal & Wathen (2012),
bahwa korelasi antara tingkat korupsi di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi
bersifat negatif moderate. Korelasi tingkat korupsi di Indonesia dengan investasi,
pendapatan per kapita dan belanja kesehatan publik bersifat negatif sangat kuat.
Korelasi tingkat korupsi di Indonesia dengan kemiskinan, kesenjangan kemiskinan
(poverty gap) menunjukkan korelasi positif yang sangat kuat yaitu berkisar antara
70% sampai dengan 90%. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa korupsi di

1 Karena data kurang dari 30, terdapat kemungkinan data tidak menyebar normal. Maka digunakan analisis korelasi Spearman Rank
sebagai analisis korelasi non-parametrik.

34 Dampak Sosial Korupsi


Indonesia secara umum berdampak negatif terhadap perekonomian bangsa.

F. LATIHAN
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, jawablah soal-
soal latihan di bawah ini:
1. Jelaskan dampak korupsi terhadap kehidupan manusia!
2. Jelaskan dampak korupsi di Indonesia!
Bentuklah kelompok, kemudian diskusikan!

G. RANGKUMAN
Korupsi berdampak negatif terhadap bidang kehidupan masyarakat baik pada
bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Dampak korupsi di bidang ekonomi adalah: memperlambat tingkat pertumbuhan


ekonomi, menurunkan tingkat investasi, menambah beban dalam transaksi
ekonomi dan menciptakan sistem kelembagaan yang buruk, menyebabkan sarana
dan prasarana berkualitas rendah, meningkatkan ketimpangan pendapatan dan
kemiskinan. Dampak korupsi di bidang ekonomi tersebut juga berlaku di Indonesia.

Dampak korupsi terhadap budaya adalah memberikan pengaruh yang buruk


dalam berperilaku. Masyarakat negara korup cenderung tidak disiplin dan tidak
patuh terhadap peraturan yang berlaku. Penelitian lainnya membuktikan bahwa
korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat.

H. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab soal-soal berikut:
1. Menurut anda, bagaimana korupsi mampu mempengaruhi kehidupan
masyarakat?
2. Bagaimana keterkaitan dampak korupsi terhadap suatu sektor mampu
mempengaruhi sektor lainnya?

Dampak Sosial Korupsi 35


I. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT
Sejauhmana anda dapat menyelesaikan Latihan dan Evaluasi Materi yang ada
pada Bab ini? Apabila anda telah mampu menjawab Latihan dan Evaluasi Materi
pada Bab ini, berarti anda telah menguasai materi ini dengan baik dan benar. Akan
tetapi, jika anda masih merasa ragu dengan pemahaman anda mengenai materi
yang terdapat pada Bab ini, serta adanya keraguan dan kesalahan dalam menjawab
Latihan dan Evaluasi Materi, maka disarankan anda mempelajari kembali secara
lebih intensif dengan membaca ulang materi dalam modul ini, membaca bahan
referensi yang dipergunakan, berdiskusi dengan pengajar/fasilitator dan juga
dengan sesama peserta Diklat lainnya.

36 Dampak Sosial Korupsi


BAB VI
PENGHITUNGAN DAMPAK SOSIAL
KORUPSI

Indikator Keberhasilan:
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu
menguraikan penghitungan dampak sosial korupsi.

A. KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INDONESIA


Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Korupsi
mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara (Mo, 2001;
Mauro, 1995, 1998; Meon dan Sekkat, 2005), menurunnya investasi (Mauro,
1995, 1998; Cuervo-Cazurra, 2006), meningkatnya kemiskinan (Gupta dan Alonso-
Terme, 2002) serta meningkatnya ketimpangan pendapatan (Gyimah-Brempong,
2002; Gupta dan Alonso-Terme, 2002; Batabyal dan Chowdhury, 2015). Bahkan,
korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara
(Arvin dan Lew, 2014).

Di Indonesia, korupsi berkorelasi negatif signifikan dengan tingkat pertumbuhan


ekonomi, investasi, tingkat belanja kesehatan publik, dan pendapatan perkapita.
Korupsi di Indonesia juga berkorelasi positif signifikan terhadap kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan. Maka dari itu perlu mengidentifikasi kerugian negara
yang ditimbulkan akibat korupsi.

Wawancara Investigatif 37
Tabel 6.1. Kerugian Negara Menurut Pekerjaan Terpidana Korupsi

Terpidana Kerugian Negara (T) Persentase


Jenis Pekerjaan
Korupsi (harga konstan 2015) (%)
PNS 1115 26,9 13,22
BUMN/D 149 8,7 4,27
Lembaga 62 81,8 40,14
Independen
Legislatif 480 2,0 0,97
Kepala Daerah 75 1,8 0,88
Swasta/lainnya 670 82,6 40,53
Total 2551 203,9 100
Sumber: Data Putusan MA (Diolah)

Tabel 6.1 menunjukkan jumlah kerugian negara berdasarkan jenis pekerjaan


terpidana korupsi. Dari Tabel 6.1 diketahui bahwa jumlah terpidana korupsi dari
politisi dan swasta melebihi jumlah terpidana korupsi dari PNS. Total nilai yang
dikorupsi oleh politisi dan swasta mencapai 86,4 triliun rupiah (harga konstan
2015) atau sekitar 42,38% dari total kerugian negara akibat korupsi. Sedangkan
terpidana korupsi dari PNS hanya memberikan kerugian negara sebesar 26,9
triliun rupiah yaitu sebesar 13,22% dari total nilai yang dikorupsi. Kerugian negara
akibat korupsi di lembaga independen juga memberikan nilai yang cukup besar
yaitu sebesar 81,8 triliun rupiah atau sebesar 40,14%.

Dari data putusan MA diketahui bahwa terpidana korupsi memperoleh sanksi


berupa penjara dan sanksi berupa hukuman finansial, yaitu hukuman yang
diberikan kepada terpidana korupsi berupa uang yang harus dikembalikan ke
negara karena sebuah tindakan korupsi. Hukuman finansial adalah gabungan nilai
hukuman denda, hukuman pengganti, dan perampasan barang bukti (aset). Dalam
perhitungan jumlah hukuman finansial yang dikenakan, aset non-moneter tidak
dimasukkan dalam analisis karena tidak terdapat nilai taksiran dari aset tersebut
di putusan pengadilan. Pengenaan hukuman finansial akibat korupsi berdasarkan
distribusi pekerjaan terpidana korupsi ditampilkan dalam tabel sebagai berikut.

38 Dampak Sosial Korupsi


Tabel 6.2. Pengenaan Hukuman Finansial Menurut Pekerjaan Terpidana Korupsi

Kerugian Tuntutan Putusan


Persen- Persen-
Jenis Negara Jaksa Pengadilan
tase/ % Tase/ %
Pekerjaan (triliun) (triliun) (triliun)
(B/A) (C/A)
(A) (B) (C)
PNS 21,27 1,04 4,89% 0,84 3,95%
BUMN/D 4,46 2,44 54,71% 2,11 47,31%
Lembaga
52,37 17,05 32,56% 0,30 0,57%
Independen
Legislatif 1,63 0,54 33,13% 0,40 24,54%
Kepala
1,39 0,88 63,31% 0,77 55,40%
Daerah
Swasta/
47,11 7,79 16,54% 9,13 19,38%
lainnya
Total 128,23 29,74 23,19% 13,55 10,57%
Sumber: Data Putusan MA (Diolah)

Tabel 6.2 menunjukkan pengenaan hukuman finansial menurut pekerjaan


terpidana korupsi. Dalam perbandingan antara kerugian negara akibat korupsi
dengan tuntutan jakasa dan putusan pengadilan, analisis menggunakan harga
berlaku. Hal ini dikarenakan putusan pengadilan dan tuntutan jaksa masih belum
menggunakan nilai riil (harga konstan) tetapi masih menggunakan nilai nominal
(harga berlaku). Tabel 6.2 juga menunjukkan bahwa tuntutan jaksa masih jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kerugian negara akibat korupsi. Sayangnya, putusan
pengadilan yang diberikan kepada koruptor malah lebih rendah dibandingkan
dengan tuntutan jaksa. Sehingga, hukuman finansial yang diberikan dalam
putusan pengadilan semakin jauh lebih rendah dibandingkan dengan kerugian
negara yang ditimbulkan akibat korupsi. Dengan demikian, pemberian hukuman
finansial kepada terpidana korupsi masih belum dapat menutupi kerugian korupsi
yang ditimbulkan.

Hukuman finansial menurut putusan pengadilan dibandingkan dengan kerugian


negara dalam bentuk persentase. Dari tabel 6.2 dapat diketahui bahwa persentase
perbandingan hukuman finansial dengan kerugian negara yang paling rendah
adalah kepada terpidana korupsi yang bekerja di lembaga independen yaitu
sebesar 0,57 %, kedua adalah PNS (3,95%). Sedangkan persentase perbandingan
hukuman finansial dengan kerugian negara yang paling tinggi adalah kepada

Dampak Sosial Korupsi 39


terpidana korupsi yang bekerja sebagai kepala daerah (55,40%) dan BUMN/D
(47,31%). Namun, secara umum persentase perbandingan hukuman finansial
dengan kerugian negara hanya sebesar 10,57%. Hal ini menunjukkan bahwa
kerugian negara akibat korupsi hanya dikembalikan sebesar 10,57% dalam bentuk
hukuman finansial terhadap terpidana korupsi.

Hukuman finansial yang diberikan kepada terpidana korupsi sangat dimungkinkan


tidak akan memberikan efek jera terhadap koruptor karena hukuman yang
diberikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai uang yang dikorupsi.
Maka berdasarkan Decision Theory (Becker, 1968) bentuk hukuman ini tidak akan
memberikan efek jera kepada koruptor di Indonesia, terbukti bahwa kasus dan
masalah korupsi di Indonesia juga masih belum kunjung selesai.

Efek jera yang optimum bagi pelaku kejahatan (koruptor), adalah dengan
memperbesar expected cost dari koruptor. Karena nilai hukuman finansial yang
jauh lebih rendah dari nilai yang dikorupsi menyebabkan uang yang dikorupsi
tidak kembali sepenuhnya kepada negara. Ini menunjukkan bahwa rakyat telah
mensubsidi koruptor, artinya sebagian besar uang rakyat yang dikorupsi tetap
dinikmati koruptor meskipun koruptor telah dijatuhi hukuman. Idealnya, hukuman
finansial yang diberikan kepada koruptor memperhitungkan biaya sosial korupsi
dengan mempertimbangkan dampak sosial korupsi.

B. KONSEP PERHITUNGAN DAMPAK SOSIAL KORUPSI


Dampak korupsi merupakan mis-alokasi sumber daya sehingga perekonomian
tidak dapat berkembang optimum. Gambar berikut menjelaskan hubungan antara
dampak korupsi dan biaya sosial korupsi.

TERHADAP EKONOMI
BIAYA
DAMPAK
TERHADAP BUDAYA SOSIAL
KORUPSI
KORUPSI
DAMPAK LAINYA

Gambar 6.1. Hubungan Dampak Korupsi dan Biaya Sosial Korupsi

40 Dampak Sosial Korupsi


Gambar 6.1 menjelaskan bahwa dampak korupsi terhadap berbagai bidang
kehidupan masyarakat menimbulkan biaya yang disebut sebagai biaya sosial
korupsi. Biaya sosial korupsi berbeda dengan biaya eksplisit korupsi. Dalam modul
ini, yang dimaksud biaya sosial korupsi adalah biaya yang muncul karena dampak
sosial korupsi. Biaya sosial korupsi mencakup biaya eksplisit korupsi ditambah
dengan biaya implisit korupsi atau opportunity cost dan biaya lainnya. Biaya sosial
korupsi merupakan biaya yang dihitung dari hasil perbedaan output multiplier
ekonomi pada kondisi tanpa korupsi dengan kondisi terdapat korupsi.

Menurut Brand dan Price (2000), biaya sosial kejahatan dihitung dari tiga hal
yaitu biaya antisipasi kejahatan, biaya akibat kejahatan dan biaya reaksi terhadap
kejahatan. Maka, nilai kerugian keuangan negara merupakan biaya sosial eksplisit
dalam hal ini adalah biaya akibat korupsi. Mengacu pada pendapat Manning
(2005), maka biaya sosial akibat korupsi antara lain adalah biaya penegakan hukum,
pencegahan korupsi, biaya penahanan dan biaya penjara, biaya pengadilan,
serta biaya jaksa. Di Indonesia, biaya pencegahan korupsi yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah di antaranya adalah biaya pembentukan institusi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan demikian, intensitas hukuman yang tinggi
akan memberikan biaya sosial yang tinggi bagi pemerintah antara lain adalah biaya
persidangan dan biaya penjara. Biaya sosial korupsi yang ditanggung pemerintah
dapat diminimalkan apabila koruptor dikenakan hukuman finansial yang tinggi.
Berikut merupakan skema biaya sosial korupsi.

Biaya Eksplisit
Korupsi

Biaya Reaksi dari Korupsi

Biaya Oportunitas (Implisit)


Korupsi
Gambar 6.2. Skema Biaya Sosial Korupsi

Dampak Sosial Korupsi 41


Gambar 6.2 menunjukkan bahwa biaya sosial korupsi terdiri atas biaya eksplisit
korupsi ditambah dengan biaya antisipasi korupsi, biaya reaksi korupsi dan biaya
implisit atau biaya oportunitas jika tidak ada korupsi. Biaya eksplisit adalah nilai
uang yang dikorupsi, baik dinikmati sendiri maupun tidak dinikmati sendiri.
Dengan kata lain, biaya ekplisit adalah kerugian negara secara eksplisit. Biaya
implisit adalah biaya yang timbul akibat dampak korupsi.

Biaya sosial korupsi terdiri dari:


a) Biaya Eksplisit korupsi terdiri atas nilai uang yang dikorupsi
b) Biaya Implisit korupsi terdiri atas:
• biaya oportunitas yang ditimbulkan akibat korupsi.
• beban cicilan bunga di masa datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu.
• perbedaan jenjang kelipatan ekonomi antara kondisi dengan adanya korupsi
dibandingkan kondisi tanpa korupsi.
c) Biaya Antisipasi Tindak Korupsi, terdiri atas:
• biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten.
• Reformasi birokrasi untuk menurunkan motivasi korupsi yaitu dengan
memisahkan orang korupsi karena terpaksa (kondisi sistemik) dengan
koruptor yang tamak (greedy).
d) Biaya Akibat Reaksi Terhadap Korupsi, terdiri atas:
• biaya peradilan (jaksa, hakim, dan lain-lain).
• biaya penyidikan (KPK, PPATK, dan lainnya).
• biaya kebijakan (biaya operasional KPK, PPATK).
• biaya proses perampasan aset baik di dalam maupun di luar negeri.

Pencucian uang hasil korupsi ke luar negeri menyebabkan biaya sosial korupsi
semakin tinggi dibandingkan apabila uang hasil korupsi dicuci di dalam negeri.
Hal ini dikarenakan uang hasil korupsi yang dicuci di dalam negeri masih dapat
memberikan multiplier effect ke dalam negeri.

42 Dampak Sosial Korupsi


Diskusi

Dalam perhitungan biaya sosial korupsi, apa yang membedakan antara biaya
akuntansi, biaya ekonomi dan biaya sosial? Diskusikan!

Perbedaan antara ketiga biaya tersebut dapat dijelaskan dalam gambar berikut:

Biaya
Sosial

Biaya
Ekonomi

Kerugian
Negara
(Biaya
Akuntansi)

• Biaya Akuntansi = biaya eksplisit


• Biaya Ekonomi = biaya implisit
• Biaya Sosial = biaya eksplisit + biaya implisit + Biaya Antisipasi Tindak
Korupsi + Biaya Akibat Reaksi Terhadap Korupsi

Dampak Sosial Korupsi 43


Contoh Kasus 6.1.

Bagaimana menghitung biaya sosial korupsi di Indonesia yang terjadi selama


ini?

Buatlah contoh perhitungan biaya akuntansi (biaya eksplisit) dan biaya ekonomi
(biaya implisit)!

Berdasarkan data putusan MA 2001-2015, nilai kerugian negara (uang yang


dikorupsi) senilai 203,9 triliun rupiah. Hukuman finansial yang ditanggung
koruptor sejumlah 21,26 triliun rupiah. Maka:
• Biaya eksplisit = Rp. 203,9 T– Rp.21,26 T= Rp. 182,64 T (uang korupsi yang
tidak dikembalikan). Biaya ini ditanggung oleh rakyat melalui pajak-pajak
yang dibayarkan. Maka, biaya ini merupakan subsidi rakyat kepada koruptor.
• Biaya implisit = potensi realokasi dari uang yang dikorupsi.

Realokasi dari nilai tersebut dapat berupa:


• Di Bidang Pendidikan: meluluskan 182 ribu Magister Luar Negeri atau 45
ribu Doktor Luar Negeri.
• Di Bidang kesehatan: seluruh masyarakat Indonesia gratis biaya BPJS hingga
60 ribu rupiah per bulan.
• Dan lainnya.

Realokasi ini memiliki efek pengali dalam perekonomian misalnya berapa pajak
yang dapat dibayarkan kepada negara oleh 182 ribu karyawan Indonesia lulusan
magister luar negeri atau berapa investasi dan peningkatan pendapatan yang
dapat dihasilkan oleh lulusan magister luar negeri tersebut. Nilai rupiah efek
pengali ini disebut sebagai biaya implisit (biaya ekonomi) yang tentunya jauh
lebih besar dibandingkan biaya eksplisit (biaya akuntansi).
Maka dari itu, hukuman finansial bagi koruptor hendaknya memperhitungkan
biaya sosial korupsi.

Contoh ini masih belum menghitung biaya sosial seluruhnya yaitu biaya
antisipasi korupsi dan biaya reaksi korupsi masih belum dihitung.

44 Dampak Sosial Korupsi


Contoh Kasus 6.2.

Berikut merupakan salah satu kasus korupsi di sektor kehutanan yang melibatkan
anggota DPR RI (Al Amien Nasution).

Pada bulan September 2006, Al Amien Nasution melakukan kunjungan kerja


ke Propinsi Sumatera Selatan terkait usulan pelepasan Kawasan Hutan Lindung
Tanjung Pantai Air Telang, untuk pembangunan Samudera Tanjung Api-api
di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Direktur Utama Badan
Pengelola dan Pengembangan Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api (BPTAA)/
Mantan Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Sofyan Rebuin meminta
Sadan Tahir selaku anggota Komisi IV DPR RI agar Komisi IV DPR RI memproses
dan menyetujui usulan pelepasan Kawasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air
Telang dan menjanjikan akan memberikan dana.

Al Amien Nasution, Sarjan Tahir, dan Azwar Chesputra selaku anggota Komisi IV
DPR RI, pada bulan Oktober 2006 mengadakan pertemuan dengan Sofyan Rebuin
dan Chandra Antonio Tan selaku investor. Chandra Antonio Tan memberikan
Mandiri Travel Cheque (MTC) yang mana selanjutnya dibagi-bagikan kepada
anggota Komisi IV DPR RI antara lain Al Amien Nasution sebanyak 3 (tiga)
lembar MTC masing- masing senilai Rp 25 Juta. Pada akhirnya usulan pelepasan
Kawasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air Telang disetujui oleh Komisi IV DPR
RI.

Dalam kurun waktu bulan November sampai dengan Desember 2007, Al


Amien Nasution bersama Azirwan selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan,
beberapa kali mengadakan pertemuan. Di dalam setiap pertemuan tersebut,
Azirwan memberikan imbalan sejumlah uang kepada Al Amien Nasution
sebagai kesepakatan untuk meloloskan permohonan Azirwan terkait pelepasan
Kawasan Hutan Lindung Pulau Bintan, Kabupaten Bintan.

Pemberian sejumlah uang oleh Azirwan kepada Al Amien Nasution terus


berlangsung hingga April 2008. Aksi Al Amien Nasution terhenti saat petugas
KPK berhasil menangkapnya bersama dengan Azirwan di Pub Mistere Hotel Ritz
Carlton, Jakarta pada 8 April 2008. Dari tangan Al Amien, petugas menemukan
uang Rp 60 juta lebih. Sedangkan dari Azirwan, petugas menemukan foto kopi
hasil rapat Komisi IV DPR tanggal 8 April 2008, uang Rp 5 juta, dan SGD 30 ribu.

Pada Contoh Kasus 3 telah dibahas cara menghitung biaya eksplisit dan biaya
implisit dari kasus korupsi di Indonesia. Dengan menggunakan Contoh Kasus 4
ini, bagaimana perhitungan biaya reaksi korupsi tersebut?

Dampak Sosial Korupsi 45


Perhitungan Biaya:

Berdasarkan data KPK, diketahui bahwa biaya penanganan kasus korupsi


kehutanan oleh Al Amien Nasution meliputi biaya pra-penyelidikan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan eksekusi serta biaya dukungan lainnya. Hasil
perhitungan adalah sebagai berikut:

Biaya Jumlah (Rp.)


Pra-penyelidikan 70.986.004
Penyelidikan 89.199.240
Penyidikan 161.939.375
Penuntutan 261.275.154
Asset tracing 220.795.905
BPKP 5.182.752
PPATK -
Pengadilan 33.793.246
Pemasyarakatan 178.962.232
Total 1.022.133.908

Biaya eksplisit kasus Al Amien Nasution berupa kerugian negara dihitung oleh
BPKB sebesar Rp. 2.950.600.000, namun angka ini tidak disetujui oleh hakim
sebagai nilai kerugian keuangan negara.

Biaya antisipasi korupsi (menurut KPK): Rp. 5.892.383.

Biaya implisit dihitung apabila pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan maka
akan memberikan nilai ekonomis diperkirakan sebesar: Rp. 101.444.444.444.

Maka total biaya sosial korupsi kasus Al Amien Nasution yang terdiri atas nilai
kerugian negara, biaya implisit, biaya reaksi dan biaya antisipasi korupsi adalah
sejumlah: Rp. 105.423.070.735 (lebih dari 100 milyar rupiah).

Padahal pengadilan memutuskan hukuman berupa denda hanya sebesar Rp.


250.000.000 dan penjara selama 8 tahun.

46 Dampak Sosial Korupsi


C. LATIHAN
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab latihan berikut:
1. Bagaimana perbandingan kerugian negara dengan hukuman finansial yang
dikenakan oleh pengadilan?
2. Apakah hukuman kepada koruptor di Indonesia mampu memberikan efek
jera? Diskusikan bersama peserta Diklat lainnya!

D. RANGKUMAN
Pengenaan hukuman finansial yang diberikan dalam putusan pengadilan jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi
sehingga tingkat efek jera menjadi lebih rendah.

Dampak korupsi terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat menimbulkan


biaya yang disebut sebagai biaya sosial korupsi. Biaya sosial korupsi terdiri atas
biaya eksplisit korupsi ditambah dengan biaya antisipasi korupsi, biaya reaksi
korupsi dan biaya implisit atau biaya oportunitas jika tidak ada korupsi:
1. Biaya Eksplisit korupsi merupakan nilai uang yang dikorupsi atau nilai kerugian
negara secara eksplisit.
2. Biaya Implisit korupsi terdiri atas biaya oportunitas yang ditimbulkan akibat
korupsi, beban cicilan bunga di masa datang yang timbul akibat korupsi di
masa lalu, perbedaan jenjang kelipatan ekonomi antara kondisi dengan adanya
korupsi dibandingkan kondisi tanpa korupsi.
3. Biaya Antisipasi Tindak Korupsi terdiri atas biaya sosialisasi korupsi sebagai
bahaya laten, reformasi birokrasi untuk menurunkan motivasi korupsi yaitu
dengan memisahkan orang korupsi karena terpaksa (kondisi sistemik) dengan
koruptor yang tamak (greedy).
4. Biaya Akibat Reaksi Terhadap Kejahatan, terdiri atas biaya peradilan (jaksa,
hakim, dan lain-lain), biaya penyidikan (KPK, PPATK, dan lainnya), biaya
kebijakan (biaya operasional KPK, PPATK), biaya proses perampasan aset baik
di dalam maupun di luar negeri.

E. EVALUASI MATERI
Setelah anda mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini, cobalah untuk
menjawab soal-soal berikut:
1. Apa yang dimaksud biaya sosial korupsi?
2. Bagaimana penerapan konsep biaya sosial korupsi di Indonesia khususnya?

Dampak Sosial Korupsi 47


F. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT
Sejauhmana anda dapat menyelesaikan Latihan dan Evaluasi Materi yang ada
pada Bab ini? Apabila anda telah mampu menjawab Latihan dan Evaluasi Materi
pada Bab ini, berarti anda telah menguasai materi ini dengan baik dan benar. Akan
tetapi, jika anda masih merasa ragu dengan pemahaman anda mengenai materi
yang terdapat pada Bab ini, serta adanya keraguan dan kesalahan dalam menjawab
Latihan dan Evaluasi Materi, maka disarankan anda mempelajari kembali secara
lebih intensif dengan membaca ulang materi dalam modul ini, membaca bahan
referensi yang dipergunakan, berdiskusi dengan pengajar/fasilitator dan juga
dengan sesama peserta Diklat lainnya.

48 Dampak Sosial Korupsi


BAB VII
PENUTUP

A. EVALUASI KEGIATAN BELAJAR


Dalam mengikuti kegiatan pembelajaran Modul Dampak Sosial Korupsi ini,
peserta Diklat diharapkan mengerjakan soal-soal evaluasi kegiatan belajar untuk
mengukur tercapainya tujuan pembelajaran.

Soal-soal evaluasi dapat diberikan kepada peserta Diklat sebelum (pre-test)


dan setelah (post-test) mempelajari materi yang disajikan dalam modul ini. Pre-
test dijadikan sebagai baseline, sedangkan post-test bertujuan untuk mengukur
peningkatan pembelajaran peserta, melalui hasil jawaban peserta terhadap soal-
soal berikut:
1. Bagaimana dampak korupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
2. Berikan gambaran tentang dampak korupsi di Indonesia?
3. Bagaimana menghitung dampak korupsi di Indonesia?
4. Apakah hukuman finansial yang diberikan kepada terpidana korupsi sesuai
dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi?
5. Apa yang dimaksud biaya sosial korupsi?
6. Apa saja komponen biaya sosial korupsi di Indonesia?

B. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT


Pemahaman peserta Diklat terhadap keseluruhan isi materi modul dinilai
berdasarkan jawaban-jawaban yang diberikan terhadap soal-soal evaluasi kegiatan
belajar dalam modul. Penilaian mengacu pada kategori sebagai berikut:

Rentang Nilai
Kategori Keterangan
Jawaban yang Benar
90,1 - 100 A Sangat Baik

80,1 - 90 B Baik

< 80 C Cukup

Wawancara Investigatif 49
Dengan rumus penentuan nilai sebagai berikut:

Jumlah Jawaban yang Benar


Nilai = x 100
Jumlah Soal

Apabila memperoleh nilai A dan B, maka peserta Diklat dapat melanjutkan kegiatan
pembelajaran ke modul berikutnya.

Sedangkan peserta Diklat yang mendapatkan nilai C disarankan untuk melakukan


hal-hal berikut:
1) Membaca ulang materi modul.
2) Memperkaya pemahaman dengan mempelajari referensi yang tertera pada
daftar pustaka dalam modul.
3) Mendiskusikan dengan instruktur/fasilitator dan juga dengan sesama peserta
Diklat lainnya.

50 Dampak Sosial Korupsi


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Acemoglu, Daron, Johnson, Simon & James A. Robinson. (2001). “The Colonial Origins
of Comparative Development: An Empirical Investigation.” American Economic
Review. December, 91: 1369-1401.
Aidt, T. S. (2003). “Review: Economic Analysis of Corruption: A Survey”. The Economic
Journal 113(491): F632-F652.
Andvig J. C. & K. W. Moene. (1990). “How Corruption May Corrupt”. Journal of Economic
Behavior and Organization 13: 63-76.
Argandona, A. (2003). “Private-to-Private Corruption”. Journal of Business Ethics 47(3):
253-267.
Arvin, M. & B. Lew. (2014). “Does Income Matter in the Happiness-Corruption
Relationship?”. Journal of Economic Studies 41(3): 469-490.
Bardhan, P. (1997).
“Corruption and Development: A Review of Issues”. Journal of
Economic Literature 35(3): 1320-1346.
Barr, Abigail & Serra, Daniel. (2010). “Corruption and Culture: An experimental analysis”.
Journal of Public Economics 94(11-12): 862-869.
Batabyal, S. & Chowdhury, A. (2015). “Curbing Corruption, Financial Development and
Income Inequalityy”. Progress in Development Studies 15(1): 49-72.
Becker, G.S. (1968). “Crime and Punishment: an Economic Approach”. Journal of Political
Economy 70:1-13.
Bowles, R. (2000). “Corruption”, Encyclopedia of Law and Economics Vol. 5. (B.
Boudewijn and G. De Greest, eds). Edward Elgar.
Brand, Sam & Price, Richard. (2000). The Economic and Social Costs of Crime. Economics
and Resource Analysis Research, Development and Statistics Directorate, Home
Office, London.
Cuervo-Cazurra, Alvaro. (2006). ”Who Cares about Corruption?”, Journal of International
Business Studies 37(6): 807-822.
Deaton, A & Dreze, J. (2002). “Poverty and Inequality in India: A Reexamination”.
Working Paper 107, Princeton University.
Dreher A. & Gassebner, M. (2013). “Greasing the Wheels? The Impact of Regulations
and Corruption on Firm Entry”. Public Choice 155(3/4): 413-432.
Dzhumashev, R. (2014). “Corruption and Growth: the Role of Governance, Public
Spending, and Economic Development”. Economic Modelling 37: 202-212.

Dampak Sosial Korupsi 51


Eisenhauer, Joseph G. (2006). “Severity of Illness and the Welfare Effects of Moral
Hazard”, International Journal of Health Care Finance and Economics, 6(4): 290-
299.
Fisman, Raymond & Miguel, Edward. (2008). Economic Gangsters: corruption, violence,
and the proverty of nations. Princeton University Press, New Jersey.
Furubotn, Eirik G. & Richter, Rudolf. (1998). Institution and Economic Theory: the
contribution of the new institutional economics. The University of Michigan
Press. USA.
Guerrero, M. A. & Oreggia, E. R. (2008). “On the Individual Decisions to Commit
Corruption: A Methodological Complement”. Journal of Economic Behavior and
Organization 65: 357-372.
Gupta, S., H. Davoodi, & Alonso-Terme, R. (2002). “Does Corruption Affect Inequality
and Poverty?”. Economics of Governance 2002(3): 23-45.
Gyimah-Brempong, K. (2002). “Corruption, Economic Growth, and Income Inequality in
Africa”. Economics of Governance 2002(3): 183-209.
Henderson, J.V., & Kuncoro, A. (2006). Corruption in Indonesia, mimeo. Brown University.
Jain, Anil Kumar. (1987). “Tax Avoidance and Tax Evasion: The Indian Case”, Modern
Asian Studies 21(2): 233-255.
Jain, Anil Kumar. (2001). “Corruption: A Review”, Journal of Economic Surveys 15(1):
71-121.
Kolstad, I. & Wiig, A. (2008). “Is Transparency the Key to Reducing Corruption in
Resource-Rich Countries?”, World Development.
Kuncoro, Ari. (2012). “Bribery in Indonesia: Some Evidence from Micro-level Data”.
Bulletin of Indonesian Economic Studies 40(3): 329-354.
Leff, N.H. (1964). “Economic Development Through Bureaucratic Corruption”, American
Behavioral Scientist 8(3): 8-14
Lind, D.A., Marchal, W.G., & S.A.Wathen. (2012). Statistical Techniques in Business and
Economics 15th. McGraw-Hill.
Lui, F.T. (1985). “An Equilibrium Queuing Model of Bribery”. Journal of Political Economy
93: 760-781
Manning, George A., (2005). Financial Investigation and Forensic Accounting. 2nd
edition. Taylor and Francis Group. United States of America.
Mauro, P. (1995). “Corruption and Growth”, The Quarterly Journal of Economics 110(3):
681-712.
Mauro, P. (1998). “Corruption and the Composistion of Government Expenditure”,
Journal of Public Economics 69(1998): 263-279.
McKerchar, Margaret. (2007). “Tax Complexity and its Impact on Tax Compliance and Tax
Administration in Australia”, IRS Research Conference. Georgetown University
School of Law, Washington DC: June 13-14, 2007.

52 Dampak Sosial Korupsi


Meon, P-G. & Sekkat, K. (2005). “Does Corruption Grease or Sand the Wheels of
Growth?”, Public Choice 122(1/2): 69-97.
Mo, P.H. (2001). “Corruption and Economic Growth”, Journal of Comparative Economics
29: 66-79
Mookherjee, B. & Png, I. P. L. (1992). “Monitoring vis-a-vis investigation in enforcement
of law”, American Economic Review, vol. 82(3), pp. 556-65.
Ostrom, Elinor. (2000). “Collective Action and the Evolution of Social Norms”, Journal of
Economic Perspective 14(3): 137-158.
Pradiptyo, Rimawan. (2009). “A Certain Uncertainty; An Assessment of Court Decisions
for Tackling Corruptions in Indonesia 2001-2008”, Working Paper 1480930,
http://ssrn.com/abstract=1480930.
Rivayani. (2008). “Corruption in Indonesia: Does Grease Hypothesis Hold?”, Discussion
Paper on International Conference on Applied Economics.

Rose-Ackerman, S. (1978). Corruption: A Study in Political Economy. Academic Press.
New York.
Shleifer, A. & Vishny, R. W. (1993). “Corruption”, The Quarterly Journal of Economics
108(3): 599-617.
Svensson, J. (2005). “Eight Questions about Corruption”, The Journal of Economic
Perspectives 19(3): 19-42.
Swamy, A., S. Knack, Y. Lee dan O. Azfar. (2001). “Gender and Corruption”, Journal of
Development Economics 64: 25-55.
Treisman, D. (2000). “The Causes of Corruption: a cross-national study”, Journal of
Public Economics 76: 399-457.
Uslaner, E. M. (2011). “Corruption and Inequality”, Forum. CESifo DICE Report 2/2011.
Williamson, Oliver E. (1981). “The Economics of Organization: The Transaction Cost
Approach”, The American Journal of Sociology 87(3): 548-577.
Yamamura, E., Andres. R & Katsaiti, M. S. (2012). “Does Corruption Affect Suicide?
Econometric Evidence from OECD Countries”, Atl Econ J 40: 133-145.
You, J-S. & Khagram, S. (2005). “A Comparative Study of Inequality and Corruption”,
American Sociological Review 70(1): 136-157.
Yustika, Ahmad Erani. (2008). Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi.
Bayumedia Publishing, Malang.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Dampak Sosial Korupsi 53


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU
Nomor 31 Tahun 1999.

Laman:
http://www.econ.brown.edu/faculty/Henderson/papers/corruption120704.pdf.

54 Dampak Sosial Korupsi


DAFTAR ISTILAH

Korupsi : : • Penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan untuk


kepentingan pribadi/the abuse of entrusted power for private
gain (Transparency International).
• Segala tindakan yang dapat merugikan keuangan negara,
menghambat pembangunan nasional dan merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas (UU Anti Korupsi di Indonesia).

Dampak Sosial : Pengaruh korupsi yang membawa akibat negatif pada aspek-
Korupsi aspek kehidupan suatu masyarakat, bangsa dan negara, baik
aspek perekonomian, sosial maupun budaya.
Biaya Sosial : Biaya eksplisit korupsi ditambah dengan biaya antisipasi korupsi,
Korupsi biaya reaksi korupsi dan biaya implisit atau biaya oportunitas jika
tidak ada korupsi.
• Biaya Eksplisit korupsi merupakan nilai uang yang dikorupsi
atau nilai kerugian negara secara eksplisit.
• Biaya Implisit korupsi terdiri atas biaya oportunitas yang
ditimbulkan akibat korupsi, beban cicilan bunga di masa
datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu, perbedaan
jenjang kelipatan ekonomi antara kondisi dengan adanya
korupsi dibandingkan kondisi tanpa korupsi.
• Biaya Antisipasi Tindak Korupsi terdiri atas biaya sosialisasi
korupsi sebagai bahaya laten, reformasi birokrasi untuk
menurunkan motivasi korupsi yaitu dengan memisahkan
orang korupsi karena terpaksa (kondisi sistemik) dengan
koruptor yang tamak (greedy).
• Biaya Akibat Reaksi Terhadap Kejahatan, terdiri atas biaya
peradilan (jaksa, hakim, dan lain-lain), biaya penyidikan (KPK,
PPATK, dan lainnya), biaya kebijakan (biaya operasional KPK,
PPATK), biaya proses perampasan aset baik di dalam maupun
di luar negeri.

Dampak Sosial Korupsi 55

Anda mungkin juga menyukai