Anda di halaman 1dari 16

KISI-KISI KOMPREHENSIF TAFSIR HADITS

Pertanyaan Jawaban
1.Jelaskan pengertian Tafsir Secara etimologi tafsir bisa berarti: ‫اﻻﯾﻀﺎح‬
secara etimologis dan ‫(واﻟﺒﯿﺎن‬penjelasan), ‫(اﻟﻜﺸﻒ‬pengungkapan) dan
terminologis ‫(ﻛﺸﻒ اﻟﻤﺮاد ﻋﻦ اﻟﻠﻔﻆ اﻟﻤﺸﻜﻞ‬menjabarkan kata
yang samar ). Adapun secara terminologi tafsir
adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau
menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan
pemahamannya.
2. Jelaskan dengan singkat Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
kondisi Tafsir pada zaman nabi
dan sahabat Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti
makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga
banyak diantara mereka yang masuk Islam
setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan
mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak
semua sahabat mengetahui makna yang
terkandung dalam al-Qur’an, antara satu
dengan yang lainnya sangat variatif dalam
memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Juga
hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan
Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-
Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan
kepadaku (nanti) di surga.

Tafsir Pada Zaman Shohabat. Adapun


metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an
adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa,
adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab
(Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan
telah bagus keislamannya.Diantara tokoh
mufassir pada masa ini adalah:
Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang
paling banyak menafsirkan dari mereka adalah
Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan
Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a
dari Rasulullah. Penafsiran shahabat yang
didapatkan dari Rasulullah kedudukannya
sama dengan hadist marfu’. Atau paling
kurang adalah Mauquf.

Jelaskan Tafsir pada masa Tafsir Pada Masa Pembukuan


pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima
periode yaitu; Periode Pertama, pada zaman
Bani Muawiyyah dan permulaan zaman
Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam
sub bagian dari hadits yang telah dibukukan
sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir
dari hadits dan dibukukan secara terpisah
menjadi satu buku tersendiri. Dengan
meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah
ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu
Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury,
Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya,
dengan mencantumkan sanad masing-masing
penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan
para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan
tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil
pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan
orangnya. Periode Keempat, pembukuan tafsir
banyak diwarnai dengan buku – buku
tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode
penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih
dominan dibandingkan dengan metode bin
naqly ( dengan periwayatan). Periode Kelima,
tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir
menurut suatu pembahasan tertentu sesuai
disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis
oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi
Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas
dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi
Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan
Ahkamul Qur’annya
Jelaskanmaksud Tafsir bil Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-
ma’tsur dan bil ra’yi! Riwayah. Metode penafsirannya terfokus pada
shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan
menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-
Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah,
penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para
sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan
perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti
dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat
yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang
sangat ideal yang patut dikembangkan.
Beberapa contoh kitab tafsir yang
menggunakan metode ini adalah :

1. Tafsir At-Tobary (( ‫ﺟﺎﻣﻊ اﻟﺒﯿﺎن ﻓﻲ ﺗﺄوﯾﻞ أى‬


‫اﻟﻘﺮان‬terbit 12 jilid
2. Tafsir Ibnu Katsir ( ‫)ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻘﺮان اﻟﻌﻈﯿﻢ‬
dengan 4 jilid
3. Tafsir Al-Baghowy ( ‫)ﻣﻌﺎﻟﻢ اﻟﺘﻨﺰﯾﻞ‬
4. Tafsir Imam As-Suyuty ( ‫اﻟﺪر اﻟﻤﻨﺜﻮر ﻓﻲ‬
‫ )اﻟﺘﻔﺴﯿﺮ ﺑﺎﻟﻤﺄﺛﻮر‬terbit 6 jilid.

Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).

Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan


akal yang diperbolehkan) dengan beberapa
syarat diantaranya:

1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari


nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah

2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan


penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus
menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
tafsir beserta perangkat-perangkatnya.

Jelaskan kriteria mufasir yang Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang


mu’tabar (kompatibel)! harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:

1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat


pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.

2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena


dengan hawa nafsu seseorang akan
memenangkan pendapatnya sendiri tanpa
melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang
mengalihkan suatu ayat hanya untuk
memenangkan pendapat atau madzhabnya.

3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan


al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an,
kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat
dan perkataan para tabi’in.

4)- Faham bahasa arab dan perangkat-


perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan
bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh
seorangpun yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-
Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa
arab“.

5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar


bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna
atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan
nusus syari’ah,

6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada


hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu
nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau
perubahan dari suatu kata ke kata yang
lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu
qiroat (macam-macam bacaan dalam al-
Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh,
asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam,
mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits,
dan lainnya yang dibutuhkan dalam
menafsirkan.

Jelaskan adab-adab yang harus Adapun adab yang harus dimiliki seorang
dimiliki seorang mufasir mufassir adalah sebagai berikut :

1. Niatnya harus bagus, hanya untuk


mencari keridloan Allah semata.
Karena seluruh amalan tergantung dari
niatannya (lihat hadist Umar bin
Khottob tentang niat yang diriwayatkan
oleh bukhori dan muslim diawal
kitabnya dan dinukil oleh Imam
Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2. Berakhlak mulia, agar ilmunya
bermanfaat dan dapat dicontoh oleh
orang lain
3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan
merealisasikan apa yang dimilikinya
akan mendapatkan penerimaan yang
lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak
menulis atau berbicara kecuali setelah
menelitinya terlebih dahulu
kebenarannya.
5. Berani dalam menyuarakan kebenaran
dimana dan kapanpun dia berada.
6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap
sesuatu. Baik dalam penulisan maupun
dalam penyampaian. Dengan
menggunakan metode yang sistematis
dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai
dari asbabunnuzul, makna kalimat,
menerangkan susunan kata dengan
melihat dari sudut balagho, kemudian
menerangkan maksud ayat secara
global dan diakhiri dengan
mengistimbat hukum atau faedah yang
ada pada ayat tersebut.

Bagaimanakah proses turunnya Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus dari


al-Qur’an? Allah ke lauh al-mahfuzh , yaitu suatu tempat
yang merupakan catatan tentang segala
ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama
ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Buruj (85) ayat
21–22, “Bahkan yang didustakan mereka ialah
Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan)
dalam lauh al-mahfuzh”.
Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat al-
Waqi`ah (56) ayat 77—80, “Sesungguhnya Al
Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia,
pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh),
tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba
yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan
semesta alam.”

Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh


al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang
berada di langit dunia). Proses kedua ini
diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar [97]
ayat 1, “sungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Qur’an) pada malan
kemuliaan.”
Juga diisyaratkan dalam Q.S. Surat ad-Dukhan
[44] ayat 3, “Sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang
memberi peringatan.”
Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-
izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan
berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan.
Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan
kadang-kadang satu surat. Mengenai proses
turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam
Q.S. asy-Syu`ara’ [26] ayat 193–195,
“……Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-`amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang
yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab
yang jelas
Sebutkan hikmah Di samping hikmah yang telah diisyaratkan
diturunkannya al-Qur’an secara ayat di atas, masih banyak hikmah yang
berangsur-angsur! terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur’an
secara berangsur-angsur, antara lain adalah:
1. Memantapkan hati Nabi
Ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali
berhadapan dengan para penentang. Maka,
turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu
merupakan doroaikan dakwah. Hal ini
diisyaratkan oleh firman Allah, Berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an
itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya
secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-Furqan
[25]:32).

2. Menentang dan melemahkan para penentang


al-Qur'an
Nabi kerapkali berhadapan dengan pertanyaan-
pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang
musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi.
Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur
itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan
menentang mereka untuk membuat sesuatu
yang serupa dengan al-Qur'an. Dan ketika
mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu,
hal itu sekaligus merupakan salah satu mu`jizat
al-Qur'an.
3. Memudahkan untuk dihapal dan difahami
Nabi Muhammad sangat merindukan turunnya
wahyu. Saking rindunya, suatu ketika
mengikuti bacaan wahyu yang disampaikan
Jibril sebelum wahyu itu selesai dibacakannya.
4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya
ayat-ayat al-Qur'an turun) dan melakukan
pentahapan dalam penetapan aqidah yang
benar, hukum-hukum syari`at, dan akhlak
mulia.
5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-Qur'an
turun dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Walaupun al-Qur'an turun secara berangsur-
angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari,
tetapi secara keseluruhan, terdapat keserasian
di antara satu bagian dengan bagian al-Qur'an
lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat
dilakukan Allah yang Maha Bijaksana.
Jelaskan beberapa penafsiran
modern I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der
Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan
ada lima kecenderungan dalam penafsiran
Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits
Nabi dan para Sahabatnya; (2) penafsiran
dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran
sektarian; (5) penafsiran modernis. Goldziher
dalam karyanya itu belum sempat membahas
tren yang berkembang pascaAbduh. J. Jomier
dalam beberapa karyanya juga belum dapat
membuat potret utuh tentang penafsiran
modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam
karyanya, Modern Muslim Koran
Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses
dalam mengungkap kecenderungan tafsir
modern dapat dilihat pada karya Iffat. M.
Syarkawi, Ittijâhât al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts.
Menurutnya tafsir modern yang disebutnya
sebagai tafsir praktis, memiliki tiga
kecenderungan utama; (1) sosial
kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir
saintifik (ittijâh ‘ilmi); (3) interpretasi filologik
dan sastra (ittijâh adabiy). Kategorisasi yang
sama juga dilakukan oleh J.J.G. Jansen dalam
karyanya, The Interpretation of The Koran in
Modern Egypt, dan DR. M. Ibrahim Syarif
dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-
Qur’ân al-Karim fî Mishr.

A.1. Tren Sosial Kemasyarakatan

Problem utama yang dihadapi umat islam di


awal abad ini, setelah mengalami kemunduran
dan terpecah belah, adalah mengatur siasat
untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai
sektor kehidupan; militer, ekonomi dan
budaya. Sudah barang tentu diperlukan cara
pandang baru dalam melihat kehidupan.
Apa yang dilakukan mufasir modern
sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-
karya mufasir klasik. Bedanya, mufasir klasik,
seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering
menggunakan pendekatan filosofis dalam
menghadapi tantangan zamannya. Sementara
mufasir modern lebih menekankan pada
gagasan-gagasan praktis yang langsung
menyentuh persoalan umat. Yang patut
dikagumi, para mufasir modern berhasil
mengkompromikan temuan-temuan mufasir
klasik dan mengemasnya dengan baik sehingga
tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah.
Tema-tema politik, persatuan, ekonomi, dan
masalah-masalah sosial lainnya kerap kali
ditemukan dalam karya-karya seperti Abduh,
Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan
lainnya.

A.2. Penafsiran Saintifik (ittijah ‘ilmy)

Kecenderungan menafsirkan Alquran dengan


teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah
lama dikenal. Benihnya bermula pada masa
Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M)
akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah.
Pro-kontra tentang tafsir ilmiah selalu terjadi di
kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern.
Selain al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan Al-
Suyuthi juga dikelompokkan sebagai
pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan
mereka, al-Syathibi menentang keras
penafsiran model seperti ini. Dalam barisan
tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini
seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi
Ahmad berseberangan dengan tokoh-tokoh
seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas
Aqqad.

A.3. Interpretasi filologik dan sastra (Ittijâh


Adaby)

Di awal abad modern, kecenderungan ini


sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren
sosial kemasyarakatan seperti, M. Abduh,
Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha
mereka baru sebatas mengungkap sekilas
retorika Alquran, belum dalam bentuk sebuah
metode ilmiah. Sebab menurut mereka tujuan
tafsir adalah mewjudkan hidayah Alquran.

Jelaskan apa yang disebut Secara etimologis, istilah madzahibut tafsir,


dengan madzahibu Tafsir. merupakan bentuk susunan idhafah dari kata
“madzahib” dan “at-Tafsir”. Kata madzahib
adalah bentuk jamak (plural) dari madzhab,
yang berarti : aliran pemikiran, pendapat, teori.
Sedangkan at-Tafsir secara garis besar adalah
hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur’an,
dengan menggunakan metode atau pendekatan
tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir.
Mengenai pemetaan terhadap kajian
madzahibut tafsir ini banyak terjadi perbedaan
sehingga beberapa diantara pemetaan dapat
dikelompokkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan periodesasi atau kronologi


waktu (klasik, pertengahan,
kontemporer)
2. Berdasarkan kecenderungan : (sunni,
mu’tazili dan syi’i)
3. Berdasarkan perspektif dan pendekatan
yang dipakai : tafsir sufi, tafsir falsafi,
tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmi, tafsir adabi
ijtima’i dll.
4. Berdasarkan perkembangan pemikiran
manusia (mitis, ideologis, ilmiah)

Jelaskan bagaimana sejarah Kemunculan Madzahibut Tafsir


munculnya madzhab al-Tafsir
Sebagaimana yang telah disampaikan
sebelumnya, bahwa secara garis besar
Madzahibut Tafsir lahir dari adanya
keberagaman diversity yang ditemukan dalam
produk-produk penafsiran maka kemudian para
ulama’ mengelompokkan corak-corak dan
kecenderungan penafsiran tersebut dalam
madzhab-madzhab seperti yang terjadi pada
kajian fiqih.

Istilah Madzahibut Tafsir pertama kali


digunakan oleh Ignaz Goldziher dalam
bukunya, Die Richtungen der Islamischen
Koranauslegung yang diterjemahkan oleh oleh
Ali Hasan Abd al-Qadir, menjadi Madzahibu
al-Tafsir al-Islami (1955), kemudian diedit
oleh Abdul Halim al-Najjar. Sejak saat itu,
muncul banyak karya dalam bidang
madzahibut tafsir atau sejarah tafsir oleh
sarjana-sarajana muslim sendiri, seperti
Muhammad Husain al-Dzahabi dengan
karyanya al-Tafsir wal Mufassirun
(1961), Abu Yaqzan ‘Atiyya al-Jaburi dengan
kitabnya Dirasah fi al-Tafsir wa Rijalih (1971)
dan Abdul ‘Azhim Ahmad al-Gubasyi dengan
karyanya Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-
Mufassirin (1977) dan lain sebagainya.

Selanjutnya secara lebih rinci dapat dijelaskan


bahwa paling tidak ada dua faktor yang melatar
belakangi lahirnya madzhahibut tafsir yaitu :

Faktor internal (al-’awamil ad-dakhiliyyah)

1. Kondisi objektif teks yang


memungkinkan untuk dibaca secara
beragam
2. Kondisi objektif dari kata-kata
“kalimat” dalam al-Qur’an yang
memungkinkan ditafsirkan beragam
3. Adanya ambiguitas makna dalam al-
Qur’an, yang disebabkan adanya kata-
kata musytarak (bermakna ganda).

Faktor eksternal (al-’awamil al-kharijiyyah)

1. Kondisi subjektif mufassir “sosio-


kultural-politik”, “perspektif-keahlian-
keilmuan”
2. Persinggungan dengan peradaban dunia
luar “Yunani-Persia-Romawi”
3. Politik & Teologis “relasi kekuasaan”

Jelaskan bagaimana metode Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi


sahabat dalam menjaga sunnah SAW.
nbai
1. Kehati-hatian dalam meriwayatkan
hadis. Seperti :

2. Kecermatan (selektif) sahabat


dalam menerima riwayat.

3. Jaminan akan kesahihan riwayat dan


kapasitas pembawanya.

4. Mencari hadis dari perawi lain.

5. Meminta kesaksian selain


periwayat.

Jelaskan hadits hasan a. Secara bahasa (etimologi)


Kata Hasan (‫ )ﺣﺴﻦ‬merupakan Shifah
Musyabbahah dari kata al-Husn ( ُ‫ ا) ْﻟ ُﺤﺴْﻦ‬yang
bermakna al-Jamâl (‫)اﻟﺠﻤﺎل‬: kecantikan,
keindahan.

b. Secara Istilah (teriminologi)


Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ulama hadits
mengingat pretensinya berada di tengah-tengah
antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan
sebagian mereka ada yang hanya
mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya
saja.

Berikut beberapa definisi para ulama hadits


dan definisi terpilih:

1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits


yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para
periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan
hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama
dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-
Sunan:I/11)

2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits


yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada
periwayat yang tertuduh sebagai pendusta,
hadits tersebut
tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan
riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari
satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami
dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-
Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-
Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)

Jelaskan hadits sahih Secara bahasa (etimologi), kata ‫( ﺢﯿﺤﺼﻟا‬sehat)


adalah antonim dari kata ‫( ﻢﯿﻘﺴﻟا‬sakit). Bila
diungkapkan terhadap badan, maka memiliki
makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila
diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-
pengertian lainnya, maka maknanya hanya
bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur
transmisi) nya melalui periwayatan seorang
periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat
semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur
transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz
(kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Apa maksud kata “Muttafaqun Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih”
alaih”
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati
oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan
Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas
keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam.
Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga
ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab
umat memang sudah bersepakat untuk
menerima hadits-hadits yang telah disepakati
oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)

Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim


Jelaskan hadits Marfu’ maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia
sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan
marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang
memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda,


atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau
sifat yang disandarkan kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang
bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut
marfu’ = marfu’ hukman), baik yang
menyandarkannya itu shahabat atau bukan,
baik sanadnya muttashil (bersambung) atau
munqathi’ (terputus).

Jelaskan konsep hadits Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari
mutawatir at-tawatur yang artinya berurutan.

Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah


“apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak
orang yang menurut kebiasaan mereka
terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal
hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada
setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak
mungkin para perawi tersebut sepakat untuk
berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka
bersandarkan dalam meriwayatkan pada
sesuatu yang dapat diketahui dengan indera
seperti pendengarannya dan semacamnya”.

Syarat-Syaratnya
Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits
mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan
empat syarat berikut ini :

 Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.


 Jumlah yang banyak ini berada pada
semua tingkatan (thabaqat) sanad.
 Menurut kebiasaan tidak mungkin
mereka bersekongkol / bersepakat
untuk dusta.
 Sandaran hadits mereka dengan
menggunakan indera seperti perkataan
mereka : kami telah mendengar, atau
kami telah melihat, atau kami telah
menyentuh, atau yang seperti itu.
Adapun jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat
dikatakan sebagai hadits mutawatir.

Jelaskan konsep hadits Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari
mutawatir at-tawatur yang artinya berurutan.Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah “apa yang
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang
menurut kebiasaan mereka terhindar dari
melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir
sanad”.

Syarat-Syaratnya
Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits
mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan
empat syarat berikut ini :

 Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.


 Jumlah yang banyak ini berada pada
semua tingkatan (thabaqat) sanad.
 Menurut kebiasaan tidak mungkin
mereka bersekongkol / bersepakat
untuk dusta.
 Sandaran hadits mereka dengan
menggunakan indera seperti perkataan
mereka : kami telah mendengar, atau
kami telah melihat, atau kami telah
menyentuh, atau yang seperti itu.
Adapun jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat
dikatakan sebagai hadits mutawatir.

Jelaskan apa yang dimaksud 1. Israiliyat


israiliyyat
Israiliyat adalah kata bentuk jamak dari kata
Israiliyah yang merupakan isim yang di-
nisbat-kan kepada “Israil”, berasal dari bahasa
Ibrani yang artinya “Hamba Tuhan”. Dan yang
dimaksud dengan Israil dalam konteks ini
adalah Nabi Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim As.
Ibn Katsir dan lainnya menyebutkan dalil
bahwa Ya’qub adalah Israil melalui hadits
riwayat Abu Dawud Al-Tayalisi dari Abdullah
ibn Abbas ra. yang menyatakan: “Sekelompok
orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu
beliau bertanya kepada mereka : “Tahukah
kalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah
Nabi Ya’qub As.?” Mereka menjawab:
“Benar”. Kemudian Nabi berkata: “Wahai
Tuhanku, saksikanlah pengakuan mereka ini!”.

Secara terminologis, Ibnu Qayyim


menjelaskan, bahwa israiliyah merupakan
sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan
hadits di mana periwayatannya berkaitan
dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik
menyangkut agama mereka atau tidak. Dan
kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan
pembauran dari berbagai agama dan
kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang
di bawa orang-orang Yahudi.
Para ahli tafsir dan hadits juga beberapa
cendikiawan muslim lainnya menggunakan
istilah tersebut dalam arti yang beragam

Jelaskan dua macam


periwayatan hadits
Cara Meriwayatkan Hadis

Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya


persis seperti yang diwurudkan Rasul.
Sahabat yang paling terkenal
meriwayatkan dengan lafzi adalah
Abdullah bin Umar.

Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis


yang matannya tidak persis sama dengan
yang dari Rasul akan tetapi isi/makna akan
tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada
perubahan sedikitpun.

Anda mungkin juga menyukai