Anda di halaman 1dari 40

ABSTRAK

1
I. Pendahuluan

Dewasa ini, kerusakan lingkungan hidup telah menjadi topik yang banyak dibicarakan dalam

dunia industri, termasuk di Indonesia. Kecenderungan tanggung jawab perusahaan terhadap kerusakan

lingkungan dimanipulasi melalui corporate social responsbility (CSR) kian memunculkan kontradiksi

yang bertolak belakang dengan kondisi dan tuntutan kerusakan lingkungan saat ini. Permasalahan

kerusakan lingkungan tidak sebatas CSR, namun dalam level yang lebih luas lagi muncul berbagai

permasalahan yang terkait dengan emisi karbon sebagai hasil gas buang aktivitas industri (Pratiwi,

2017), dimana 61% dari total gas rumah kaca diproduksi akibat pertumbuhan ekonomi yang

menggunakan minyak bumi, batu bara dan gas bumi (Beritagar.id, 2017). Pernyataan World Bank

(2015) menyebutkan bahwa 133 juta ha2 hutan di Indonesia hilang karena disebabkan penurunan

kualitas lingkungan, peristiwa bencana alam, dan terancamnya flora dan fauna (Firda Usy, 2016).

Kondisi tersebut tentu merupakan kondisi yang tidak berkelanjutan dari segi lingkungan, sosial dan

ekonomi (Coral Watch Indonesia, 2017).

Indonesia sebagai negara dengan 70% wilayah hutan belum mampu menyelaraskan

peranannya dalam mengurangi emisi gas dunia. Deforestasi dan degradasi emisi gas karbon 60%

berasal dari Indonesia. Di sisi lain, dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4)

dinyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional

bagi setiap warga negara Indonesia, sehingga sudah seharusnya permasalahan emisi gas karbon

sebagai hasil aktivitas industri menjadi tanggung jawab bersama. Dalam rangka melakukan

penanggulangan kerusakan lingkungan secara preventif, Indonesia telah berkerjasama dengan

berbagai organisasi dan institusi yang bertujuan untuk melakukan reduksi emisi gas karbon dunia,

diantaranya perjanjian Protokol Kyoto dalam Conference of the Parties (1997), Bali International

Conferencee (2007) dan menghasilkan Road Map (Sukardi, 2012:28-30), serta ASEAN-Japan Senior

Transport Officials Meeting (STOM) Leaders Conference (2009), dimana partisipasi ASEAN

tersebut, termasuk Indonesia diharapkan dapat menurunkan emisi CO2 dan mengendalikan pemanasan

global (Departemen Perhubungan-Dephub, 2009).

Kontribusi Indonesia dalam mengurangi emisi gas karbon, telah memunculkan berbagai trend

baru dalam dunia industri, salah satunya ialah perdagangan karbon (gas emission allowance carbon

2
trading) sebagai mekanisme pengurangan emisi gas karbon berdasarkan perjanjian protokol kyoto

(Shodiq, 2015), yang dikenal dengan konsep The Cap-And-Trade (Ratnatunga, 2008:7). Berbicara

tentang perdagangan karbon, melalui peranannya dalam mengungkap dan menyajikan informasi,

profesi akuntan tentu memiliki peran yang sangat krusial. Akuntansi memegang peranan penting

dalam entitas terkait dengan segala upaya dan keputusan karena akuntansi merupakan sebuah bahasa

bisnis (bussnines language). Akuntansi menghasilkan informasi yang menjelaskan kinerja keuangan

dan non keuangan entitas dalam suatu periode tertentu dan kondisi keuangan entitas pada tanggal

tertentu. Informasi akuntansi tersebut dapat digunakan oleh para pengguna agar dapat membantu

pembuatan prediksi kinerja di masa mendatang, tidak terkecuali kinerja entitas bisnis dalam hal

mengelola lingkungan hidup. Berdasarkan informasi yang tersedia berbagai pihak dapat mengambil

keputusan strategi terkait dengan tujuan seluruh pemangku kepentingan. Paradigma tersebut telah

mendorong munculnya sebuah konsep bernama akuntansi karbon di Indonesia (Pratiwi, 2017). Akan

tetapi, sebagai alat pertanggung jawaban, penerapan perdagangan karbon dalam ranah akuntansi

karbon menimbulkan banyak polemik dan belum menemukan titik kejelasan hingga saat ini. Di

Indonesia sendiri, penerapan akuntansi karbon masih sulit untuk dikembangkan karena adanya

keterbatasan standar pengukuruan yang bersifat baku (Hariyani dan Martini, 2012).

Sampai dengan saat ini, International Financial Reporting Standard (IFRS) sebagai adopsi

dasar pedoman standar pelaporan (PSAK) di Indonesia masih belum menetapkan aturan mandatory

disclosure atas laporan emisi gas (Shodiq, 2015), dimana implementasi pelaporan emisi gas kini

masih bersifat voluntry disclosure (Pratiwi, 2017). Fakta ini bertolak belakang dengan tuntutan

konsep sustainability terhadap kerusakan lingkungan di Indonesia yang terus mengalami peningkatan

akibat emisi gas rumah kaca (GRK)1 dan tuntutan dari para stakeholder2 yang juga membutuhkan

laporan pertanggung jawaban terkait aspek emisi gas karbon untuk menganalisis kinerja perusahaan

terhadap lingkungan (Andrea, et.al., 2015). Profesi akuntan sebagai pihak yang terbeban dengan isu

pelaporan aktivitas entitas bisnis terhadap lingkungan mulai dituntut untuk dapat mulai

bertransformasi sedari kini dengan tidak lagi berorientasi kepada profit semata, namun juga terhadap

lingkungan serta manusia yang menjadi bagian di dalamnya. Hal ini juga didukung melalui konsep

Triple Bottom Line (TBL atau 3BL) yang diperkenalkan oleh John Elkington pada tahun 1997,

3
dimana People, Planet, dan Profit merupakan tiga pilar penting yang dapat digunakan untuk

mengukur nilai kesuksesan suatu entitas.

Oleh karena itu, dalam rangka menyelaraskan tujuan pemerintah Indonesia yang tertuang

dalam berbagai regulasi dan kontribusi pada organisasi pengurangan emisi gas karbon, maka

fenomena yang ada menjadi sebuah tantangan dan peluang bagi profesi akuntan untuk bertransformasi

serta turut berkontribusi positif melalui konstruksi standar pelaporan emisi gas pada laporan keuangan

entitas yang disesuaikan guna mendukung industri perekonomian Indonesia berbasis keberlanjutan

(Utama, 2016).

II. Kajian Teori

2.1 Akuntansi Karbon

Akuntansi Karbon (Carbon Accounting) merupakan bagian dari konsep akuntansi lingkungan

(green accounting) yang sedang dikembangkan saat ini (Norhasimah, et.al, 2016). Konsep Carbon

Accounting muncul dalam perjanjian Protokol Kyoto yang merekomendasikan adanya sistem ambang

emisi dan perdagangan karbon (carbon allowance trading) dalam rangka mengurangi emisi gas buang

perusahaan (Purwanti, 2012). Keputusan PBB (United Nation) dalam perjanjian Protokol Kyoto

mendefinisikan Carbon Accounting sebagai suatu proses akuntansi yang bertujuan untuk mengukur

jumlah karbon dioksida setara yang akan diilepas ke atmosfer sebagai hasil dari proyek-proyek

mekanisme fleksibel di bawah protokol kyoto. Istilah Carbon Accounting juga mengacu pada

perlakuan akuntansi untuk hak emisi karbon atau metode akutansi untuk tujuan pelaporan keuangan

sebagaimana secara tidak langsung dimaksudkan untuk mengukur jumlah dari emisi gas rumah kaca

secara fisik (Alvarez et.al, 2016).

Akuntansi karbon didefinisikan sebagai proses pengukuran, pencatatan dan pelaporan karbon

yang dihasilkan oleh perusahaan (Nizham, 2016), dimana secara harfiah akuntansi karbon

(Accounting for Carbon) merupakan akuntansi yang memasukan aspek-aspek karbon kedalam laporan

keuangan perusahaan (Taurisianti, 2014). Dalam praktiknya, akuntansi karbon tidak dapat dilepaskan

dengan proses perhitungan banyaknya karbon yang berhasil dikeluarkan, menetapkan target untuk

mengurangi gas, pembentukan sistem dan program pengurangan emisi, serta membuat laporan emisi

4
gas buang (Louis et.al., 2010). Tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas yang dihasilkan oleh

perusahaan demi tercapainya going concern operating based on sustainability concept (Pratiwi,

2017). Dalam konsep serupa, paradigma akuntansi karbon menurut Warren (2008), yaitu:

“Carbon Accounting is assessing your organisation’s carbon emissions and setting

targets for reduction”

Secara sederhana, konsep yang sama dikemukakan bahwa akuntansi karbon akan sangat

berkaitan dengan proses pengukuran, pencatatan dan pelaporan karbon yang dihasilkan oleh

perusahaan (Dwijayanti, 2011). Sehingga dapat diartikan, Akuntansi Karbon (Accounting for Carbon)

adalah usaha perusahaan untuk mengidentifikasikan, mengalokasikan, mengukur, mengakui dan

melaporkan aspek-aspek emisi karbon yang dihasilkan perusahaan dalam laporan keuangan

perusahaan terkait dengan mengurangi emisi karbon untuk meningkatkan going concern for

sustainability business.

Dalam protokol Kyoto diperkenalkan suatu pendekatan dalam rangka mengurangi emisi gas

karbon yang disebut REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang

merupakan suatu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi negara

berkembang dalam pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan (Utama, 2014). Tentunya, Indonesia

berpeluang untuk memperoleh insentif ini, namun perlu adanya suatu bukti yang dapat diwujudkan

melalui pelaporan akuntansi karbon.

Akuntansi karbon merupakan fenomena yang sangat penting untuk merealisasi program

pelaporan keberlanjutan sebagai bagian dari akuntansi lingkungan(Puspita, 2015)mengingat pelaporan

keberlanjutan atau yang sering disebut dengan sustainability report, telah menjadi hal yang wajib

dilaporkan oleh perusahaan sejak tahun 2017 (Otoritas Jasa Keuangan, 2014)

2.2 Penelitian Terdahulu

No Author Konten

5
1 Pratiwi (2017) Pengaruh Implementasi Laporan Gas Emisi

Perusahaan yang melaporkan aspek-aspek emisi gas

dan karbon dalam laporan keuangan (bagian dari

laporan lingkungan) akan berpengaruh positif terhadap

nilai tambah dimata stakeholder. Penelitian ini

dilakukan pada perusahaan yang terdaftar pada Bursa

Efek Indonesia (BEI) pada periode 2013-2015 dengan

85 sample perusahaan.

2 Andrea (2015) dalam Basuki Perusahaan yang melaporkan aktivitas

(2016) lingkungannya akan meningkatkan legitimasi para

stakeholder dan masyarakatnya, bahwa laporan terkait

emisi gas juga diperlukan oleh pihak stakeholder dalam

menilai kinerja perusahaan.

3 Shodiq (2015) Standar Pelaporan Emisi Gas Dalam Akuntansi

Karbon

Standar akuntansi yang diadopsi Indonesia yakni

International Financial Reporting Standard (IFRS)

masih belum menetapkan aturan mandatory disclosure

atas laporan emisi gas. Penelitian ini menyatakan

bahwa standar terkait diperlukan

4 Utama (2016) Implementasi Akuntansi Karbon Pada Perusahaan

gas Negara (PGN) Indonesia

Akuntansi karbon (carbon accounting) merupakan

salah satu mekanisme yang digencarkan oleh

pemerintah Indonesia sebagai eskalasi projectperjanjian

protokol kyoto. Akuntansi karbon juga menjadi ranah

dari Perusahaan Gas Negara (PGN) di Indonesia.

6
5 Taurisianti (2014) Dampak Laporan Emisi Gas Terhadap Nilai

Kewajiban Perusahaan

Menyajikan laporan emisi gas sesuai dengan

standar akan berpengaruh terhadap nilai kewajiban

yang harus ditanggung perusahaan (Taurisianti, 2014).

Penelitian ini mempertimbangkan dampak terhadap

rasio perusahaan.

6 Penelitian Lanjutan (2018) Implementasi Standar Akuntansi Carbon

Accounting

Penelitian ini mempertimbangkan implementasi

penerapan standar akuntansi karbon yang disesuaikan

2.3 Kajian Teoritis

a. Teori Signal (Signaling Theory) dan Asymatric Information

Signalling Theory seringkali digunakan oleh para ahli dalam menjelaskan pengungkapan

sukarela (voluntary disclosure) dalam laporan sebuah perusahaan (Ross, 1977), walaupun diawal

kemunculannya signalling theory digunakan dalam mengklarifikasi asimetri informasi di pasar tenaga

kerja (Spence, 1973). Teori ini pernah digunakan dalam pengembangan voluntary disclosure pada

laporan keuangan dan non-keuangan sebuah entitas (Shehata, 2014).

Berdasarkan penelitian Wolk et al. (2000) dalam Sari & Zuhrotun (2006), signalling theory

akan mengungkapkan sinyal-sinyal atas segala informasi yang diungkapkan oleh perusahaan yang

nantinya akan mempengaruhi para pengguna dalam pengambilan keputusan. Informasi keuangan &

non-keuangan perusahaan yang dapat dipercaya akan memberikan dampak positif berupa intangible

benefit pada entitas sehingga dapat digunakan sebagai prediksi masa depan suatu entitas tersebut.

Sehingga, pengungkapan laporan emisi gas buang perusahaan yang disajikan akan memberikan

sinyal-sinyal positif bagi perusahaan yang telah melaporkannya.

b. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)

7
Perusahaan akan selalu berupaya untuk meningkatkan legitimasi dari masyarakat berkaitan

dengan kegiatan operasional perusahaan. Teori legitimasi berfokus pada hubungan perusahaan dan

masyarkat terkait legitimasi yang akan diberikan kepada pihak perusahaan melalui pengungkapan

yang dilaporkan sebagai jembatan (Gray et.al., 1996). Legitimasi akan diperoleh perusahaan apabila

telah menemukan adanya kesepahaman tujuan yang sama antara perusahaan dan masyrakat (Deegan

dan Unerman, 2006). Dalam beberapa penelitian, pengungkapan laporan emisi gas akan berpengaruh

terhadap legitimasi masyarakat terhadap perusahaan (Purwanti, 2012), (Jannah, 2014).

c. Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)

Stakeholder seringkali didefiniskan sebagai bagian (parties) yang membutuhkan dan

menggunakan informasi laporan aktivitas yang diungkapkan. Menurut Freeman (1984), stakeholder

adalah “kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan

perusahaan”. Stakeholder sendiri terdiri atas pemegang saham, kreditur, karyawan, pelanggan,

kelompok kepentingan publik dan badan-badan pemerintah. Menurut Clarksop (1995) berdasarkan

karakteristiknya membagi stakeholder kedalam 2 kategori, yakni stakeholder primer yang

mempengaruhi going concern perusahaan secara langsung dan stakeholder sekunder adalah bagian

yang mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan, namun mereka tidak berhubungan dengan transaksi

perusahaan dan tidak esensial kelangsungannya. Dalam hal ini, stakeholder sangat membutuhkan

laporan terkait emisi gas dan GRK sebagai alat analisis kinerja pada saat terjadi perubahan iklim

(Andrea et.al., 2015).

d. Teori Enterprise (Enterprise Theory)

Isu pertanggung jawaban sosial dan lingkungan, termasuk akuntansi karbon (carbon

accounting) bagi perusahaan saat ini menjadi sebuah tolok ukur keberhasilan kinerja perusahaan

melalui laporan aktivitas yang disajikan. Enterprise Theory mengembangkan konsep bahwa,

pertanggungjawaban tersebut terkait pertanggungjawaban perusahaan terhadap publik, yang artinya

tidak hanya dikembangan laporan untuk pemegang saham namun juga kepada seluruh masyarakat dan

penggunanya yang memberikan kontribusi langsung maupun tidak langsung. Terkait laporan emisi

gas sebagai laporan tambahan (tergabung dalam laporan lingkungan) dalam laporan keuangan bagi

perusahaan dinilai sebagai bentuk pengungkapan informasi yang lebih transparan atas aktivitas

8
perusahaan, tidak hanya kepada para pemegang saham, namun kepada seluruh masyarakat dan

penggunanya.

2.4 Transaksi Perdagangan (Cap-And-Trade or CAP) Akuntansi Karbon

Akuntansi Karbon mulai berkembang dengan munculnya ratifikasi dari The United Nations

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atas perjanjian internasional Protokol Kyoto

sejak tahun 1997 yang mengharuskan adanya pengukuran, pengakuan, pecatatan, pelaporan,

penyajian dan pengngkapan laporan emisi karbon (Basuki, 2016). Perjanjian internasional ini terdiri

atas 188 negara yang tergabung untuk menjalankan misi pengurangan gas rumah kaca (GRK), yaitu:

Clean Development Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI), dan Emission Trading (ET)

dimana diantara ketiga konsep tersebut, ketiganya menyatakan bahwa negara-negara maju yang

tergabung sebagai negara (Annex I) yang terdiri dari 43 negara, diwajibkan untuk mengurangi emisi

gas industrinya serta melaporkan kondisi emisi gas dalam annual report, sedangkan bagi negara

berkembang (Non-Annex I) tidak diwajibkan, namun tetap harus melaporkan status emisinya

(Pratiwi, 2017). Di negara berkembang, termasuk Indonesia berdasarkan National Council on

Climate Change of Indonesia (2012) konsep yang banyak digunakan untuk mengurangi emisi gas

industri adalah menggunakan The-Cap-Tarding atau dikenal perdagangan karbon.

9
Gambar 1. Transaksi Perdagangan Karbon (Carbon Trading)

Berdasarkan Protokol Kyoto

Menjual
Defisit

Surplus CAP (Batas Limit yang


Membeli Diperbolehkan)

Emisi gas Emisi gas


Entitas A Entitas B

Sumber: National Council on Climate Change of Indonesia (2012)

Dalam sebuah peneilitian yang dilakukan M. J. Shodiq (2015), pada level antar negara carbon

trading sangat gencar dicanangkan dengan berbagai tujuan, seperti antara Indonesia dan Australia,

dimana negara yang melebihi limits emisi karbon tertentu dapat membeli sisa limits karbon negara

lain yang dialokasikan (Ratnatunga, 2008:7). Konsep inilah yang dikenal dengan Cap-And-Trade

(berdasarkan CAP) dalam Protokol Kyoto. Model perdagangan karbon (Gas Emission Allowance

Trading) sebagai salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto digambarkan sebagai:

1. Perusahaan antar negara melakukan kesepakatan (agreement) yang disesuaikan dengan

regulasi setiap negara berkaitan dengan jumlah CO2 yang dihasilkan

2. Perusahaan yang memiliki emisi CO2 kurang dari batas maksimal akan memiliki nilai kredit

yang dialokasikan

3. Perusahaan yang memiliki emisi CO2 lebih dari batas maksimal dapat membeli kredit dari

perusahaan yang memiliki batas ambang bawah emisi gas CO2

Paradigma tersebut telah mengembangkan konsep perdangan karbon (carbon trading)

dengan mekanisme jual-beli, artinya akan ada dua pihak yang berkaitan yakni pihak yang

menghasilkan karbon akan membayar sejumlah dana kompensasi kepada pihak yang berpotensi

menyerap karbon, sedangkan pihak yang memiliki potensi penyerapan karbon akan melakukan offset

atas kemampuan serap karbon yang dimiliki dengan potensi karbon yang dihasilkan.

10
Apabila hasil offset perusahaan memiliki surplus potensi serap karbon, maka perusahaan

dapat menjual surplus potensi serap karbon tersebut ke perusahaan yang mengalami defisit potensi

serap karbon. Sebaliknya, apabila hasil offset perusahaan mengalami defisit serap karbon, maka

perusahaan akan membayar jasa lingkungan serap karbon kepada perusahaan yang memiliki surplus

potensi serap karbon (UNFCCC, 2007).

Konsep serupa dikemukakan dalam Protokol Kyoto dimana Indonesia telah meratifikasinya

untuk turut serta berdasarkan UU No.17 tahun 2004 untuk mengurangi dampak emisi gas (Nizham,

2016) yang telah ditandatangani oleh beberapa negara, termasuk Indonesia untuk melakukan

perdagangan emisi gas (Pratiwi, 2017). Menurut KPMG (2008) konsep inilah yang melatarbelakangi

munculnya pengukuran, pengakuan, pencatatan dan penyajian aspek-aspek karbon dalam perusahaan

yang kemudian dikenal dengan Accounting For Carbon (Taurisianti, 2014). Menurut penelitian

KPMG UK (2008) untuk menerapkan Accounting For Carbon disetiap negara masih mengalami

banyak kekacauan, karena belum adanya standar yang memenuhi untuk permasalahan tersebut

termasuk IFRS (International Financial Reporting Standart) yang belum memiliki standar pelaporan

terkait akuntansi karbon.

Di Indonesia sendiri, penerapan akuntansi karbon sulit untuk dikembangkan karena adanya

keterbatasan standar pengukuruan yang baku (Hariyani dan Martini, 2012). Dalam Laporan

Lingkungan ICAEW (2015) The European Emissions Ttrading Scheme (EU ETS) yang telah

beroperasi sejak 1 Januari 2005, dimana IFRIC 3 yang aktif bulan Juni 2005 sebagai “guidance of

CO2 gas emission trading” dinilai sudah tidak konsisten lagi sebagai pedoman perdagangan karbon

(Alvarez.et.al, 2016).

2.5Pengungkapan Laporan Akuntansi Karbon (Carbon Accounting Report)

Di Indonesia penerapan laporan akuntansi karbon masih sangat rendah, karena masyarakatnya

(local wisdom) sendiri belum memiliki tanggung jawab terkait gas emisi buang dan standar pelaporan

yang bersifat voluntry disclosure (Basuki, 2016). Pandangan yang sama dikemukakan dalam laporan

Research ReportThe Association of Chartered Certified Accountant (ACCA) berkerjasama dengan

International Emission Trading Association (IETA) pada tahun 2010. Kecenderungan perusahaan

11
menyajikan laporan emisi karbon perusahaan secara sukarela (voluntry disclosure) untuk membantu

pengambilan keputusan internal dan eksternal (Andrew dan Costese, 2011).

Pengungkapan akuntansi karbon merupakan jenis pengungkapan laporan bagian dari

pengungkapan lingkungan (Najah, 2012), Buniamin (dalam Norhasimah, et.al, 2016), dimana

pengungkapannya merupakan bagian dari pengungkapan tambahan sesuai dengan PSAK 1 (Revisi

2009). Pengungkapan ini berkaitan dengan intensitas emisi gas GHG, penggunaan energi, corporate

governance, dan strategi yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim menurut Najah, (2012)

dalam Nizham (2016). Pengungkapannya emisi karbon perusahaan sebagai pelaku usaha dapat

diketahui melalui Gas Emission Disclosure (Jannah, 2014).

Menurut Buniamin, berdasarkan FRS (Financial Reporting Standard) 101 Paragraf 10 yang

menyatakan bahwa laporan lingkungan disajikan sebagai laporan tambahan pada laporan keuangan

bagi entitas (dalam Norhasimah, et.al, 2016). Hal ini ditujukan bahwa akan ada dampak positif

terhadap kinerja keuangan perusahaan yang berdampak pada minat para investor dan kelompok

stakeholder untuk berkontribusi pada perusahaan yang memiliki keperdulian terhadap lingkungan,

dimana konsep tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Haslinda and Glen (2006)

berkaitan dengan bisnis keberlanjutan (Business Sustainability). Menurut Perry et al (2011) ada

dampak yang secara langsung diterima entitas terkait pengungkapan laporan emisi gas pada laporan

keuangan perusahaan, bahwa:

“...as disclosing the environmental information would obtain market benefit

as well as the ability to gain profit from investment in environmental

improvement”

Pelaporan aktivitas lingkungan akan berhubungan erat dengan profit margin entitas

(Norhasimah, et.al, 2016), dimana pengungkapan laporan emisi gas beserta pengeluaran biaya atas

reduksi emisi gas akan menyebabkan perusahaan tidak dapat memperoleh laba maksimum, namun

dapat memperoleh laba optimum dalam jangka panjnag. Sehingga pengungkapan laporan emisi gas

akan memberikan dampak berkepanjangan bagi entitas.

2.6Regulasi Di Indonesia dan Standar Pelaporan Akuntansi Karbon

a. Standar Pelaporan Akuntansi Karbon

12
Kemunculan isu perdagangan karbon pada level antar negara telah mendorong berbagai

institusi untuk ikut andil dalam mendorong program reduksi emisi gas buang aktivitas usaha

perusahaan. International Financial Reporting Interpretations Comittee (IFRIC) yang dipublikasikan

sebagai IFRIC-3 pada tahun 2004 merupakan standar pelaporan yang pernah digunakan atas

perdagangan karbon (Carbon Allowance Trading) sesuai dengan International Accounting Standards

(IAS). Namun fungsional dari standar IFRIC-3 dinilai tidak konsisten dan banyak kontroversi setelah

enam (6) bulan dipublikasikan (Alvarez.et.al, 2016), sehingga sebagai terobosan selanjutnya,

International Accounting Standards Board (IASB) memulai sebuah project standar untuk pelaporan

perdagangan karbon yang disesuaikan dengan Financial Accounting Standards Board (FASB) pada

Desember 2007.

Perkembangan selanjutnya, pada Desember 2012 pihak IASB secara resmi mengaktifkan

kembali project tersebut sebagai research project of IASB dan dibedakan kerjasama dengan FASB,

sebagai hasilnya IASB mengubah nama project tersebut dari Emission Trading Schemes menjadi

Pollutant Pricing Mechanisms. Namun, saat ini standar yang banyak digunakan sebagai pedoman

(guidelines) dari standar akuntansi untuk perdagangan karbon adalah The United Nation Framework

Convention on Climate Change (UNFCCC), yaitu National Carbon Accounting Standards (NCAB)

Dalam akuntansi karbon, ada beberapa teori terkait, yaitu:

“...Carbon Accounting is the process by which organization account for and

report on their greenhouse gas emissions (Prosser, 2013)”

Konsep tersebut hingga saat ini banyak menuai kontradiksi arah negatif, sehingga munculah

The Voluntary Carbon Standard (VCS), merupakan organisasi diluar UNFCCC yang bergerak dalam

usaha mengurangi emisi gas yang mulai berkumpul sejak tahun 2010 (Bird, et.al, 2010). Dari

berbagai paradigma yang muncul, konsep yang masih belum menemukan titik terang terkait sifat

pelaporan aktivitas emisi gas buang perusahaan yang masih bersifat voluntary disclosure. Di

Indonesia, permasalahan emisi gas (karbon) memiliki ruang lingkup tersendiri dimana akuntansi

karbon turut berkontribusi dan menjadi lingkup transformasi kegiatan Perusahaan Gas Negara (PGN)

hingga saat ini (Utama, 2016). Sehingga, perlu adanya standar baku terkait laporan emisi gas buang

13
industri yang berterima umum di Indonesia. Standar baku juga diperlukan untuk menghasilkan

laporan yang comparable.

b. Regulasi Di Indonesia

Berbagai Regulasi di Indonesia secara resmi dikeluarkan untuk menunjang adanya aktivitas

pertanggung jawaban perusahaan berbasis lingkungan yang berkelanjutan. UU nomor 6 Tahun 1994

tentang pengesahan (UNFCCC) The United Nations Framework Convention on Climate Change

merupakan komitmen internasional yang dilanjutkan dengan diselenggarakannya Conference of the

Parties (COP) III dan menghasilkan Protokol Kyoto yang mengatur para pihak negara industri secara

hukum untuk melaksnakan upaya penurunan emisi GRK.

UU Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations

Framework Convention on Climate Change ditandangani oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 22

April 2016 di New York, Amerika Serikat ini bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua

negara masing-masing, dan memberikan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan

berdasarkan kemampuan dan memberikan tanggung jawab kepada negara-negara maju untuk

menyediakan dana, peningkatan kapasitas, dan alih teknologi kepada negara berkembang. Regulasi

lain (terlampir) turut memberikan kontribusi sebagai langkah eskalasi reduksi emisi gas karbon.

III. Metode Penelitian

3.1 Desain Penulisan

Desain Penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah grounded theory, yaitu

dengan menggunakan data dari hasil studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif yang

bertujuan untuk menghasilkan suatu pengetahuan dan teknologi yang baru yang dapat

dipergunakan dalam praktik akuntansi khususnya terkait dengan pelaporan emisi gas karbon

di Indonesia. Penulisan juga disertai dengan rekomendasi-rekomendasi yang relevan dan

berguna dalam menjawab fenomena-fenomena yang ada.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penulisan ini memperoleh seluruh informasi dan data yang relevan melalui metode

dokumentasi kajian literatur dengan memanfaatkan berbagai sumber tertulis yaitu jurnal-

14
jurnal terdahulu, buku-buku literatur, disertai dengan fenomena-fenomena relevan yang

terjadi bersumber dari media massa.

3.3 Sistematika Penulisan

Penulisan ini terbagi menjadi 5 (lima) bagian dengan sistematika sebagai berikut:

I. Pendahuluan : Berisi penjelasan mengenai latar belakang yang

menjadi dasar pemikiran penulisan

II. Kajian Teori : Berisi serangkaian definisi, pengertian, dan teori

atas setiap variabel tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan

pembahasan

III. Metode Penulisan : Berisi penjelasan mengenai desain penulisan,

metode pengumpulan data, analisis data, dan sistematika penulisan

IV. Pembahasan : Berisi penjelasan mengenai pembahasan atas setiap

informasi yang telah dikaji dari rumusan masalah dan pemberian solusi yang

relevan

V. Penutup : Berisi kesimpulan hasil analisis dan pembahasan,

saran-saran yang dapat menjadi pertimbangan bagi penulisan selanjutnya, dan

disertai dengan pernyataan terkait keterbatasan penulisan makalah.

3.4 Kerangka Berpikir(fahmi)

IV. Pembahasan

4.1 Dorongan dan Hambatan

Dorongan

1. Berlakunya UU nomor 6 tahun 2011 mengukuhkan adanya kemudahan untuk mengakses

sumber pendanaan, teknologi transfer, peningkatan kapasitas yang diberikan bagi

implementasi mitigasi dan adaptasi terhadap emisi gas rumah kaca.

2. Munculnya berbagai peraturan terkait dengan pengurangan gas emisi, sebagaimana terdapat

pada UU 32 tahun 2009, UU 61 tahun 2011, dan UU 71 tahun 2011 yang mengharuskan

perusahaan untuk berbagian dalam tindakan mitigasi tersebut. Kepatuhan terhadap peraturan

15
yang berlaku merupakan salah satu cara dalam menjamin keberlangsungan usaha dalam

jangka panjang dikarenakan adanya sanksi pencabutan izin usaha perusahaan yang

melanggar.

3. Roadmap Keuangan Keberlanjutan (2014) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan

menetapkan bahwa adanya kewajiban bagi perusahaan untuk melaporan Laporan

Keberlanjutan, dimana akuntansi karbon merupakan bagian dari Laporan Keberlanjutan.

4. Terdapat berbagai program penilaian yang disertai dengan pemberian penghargaan bagi

perusahaan-perusahaan yang menjalankan usahanya dengan mengedepankan konsep

keberlanjutan, seperti Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam PEngelolaan

Lingkungan Hidup (PROPER) sebagai bagian dari kemeterian lingkungan hidup yang

mendorong perusahaan adar taat peraitran dan mencapai keunggulan lingkungan melalui

integrase prinsip pembangunan berkelanjutan.

5. Akuntansi karbon sebagai suatu strategi mitigasi yang multifungsi karena dengan mengurangi

penggunaan emisi gas rumah kaca, suatu entitas dapat menghasilkan tambahan penghasilan

dari penjualan kelebihan potensi penyerapan gas emisi, yang kemudian dapat diklasifikasikan

sebagai pendapatan lain-lain dan dilaporkan dalam laporan laba rugi entitas.

6. Lahirnya Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) di Indonesia yang

menangani perubahan iklim, khususnya dalam penyelenggaran mitigasi, adaptasi, penurunan

gas rumah kaca, pelaporan, dan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim yang semakin

mendorong pengelolaanaksi-aksi pengurangan gas emisi rumah kaca, salah satunya melalui

pelaporan akuntansi karbon oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia.

7. Krisis lingkungan yang sedang terjadinya telah meningkatkan kesadaran publik terhadap

lingkungan yang secara tidak langsung juga telah meningkatkanpengawasan publik terhadap

praktik-praktik usaha yang mencemari lingkungan. Hal ini tentunya menjadi pertimbangan

perusahaan dalam menjalankan praktik usahanya karena dapat mengancam profitabilitas

jangka panjang dan reputasi (brand image) perusahaan, baik secara nasional maupun

internasional.

Hambatan

16
1. Bagi perusahaan yang memiliki emisi gas rumah kaca melampaui ambang batas yang

diperbolehkan, perusahaan tersebut harus berupaya untuk mengurangi emisi yang

dihasilkannya. Namun, dalam praktiknya terdapat kecenderungan perusahaan memilih untuk

membeli potensi penyerapan emisi yang dialokasikan daripada menurunkan sendiri. Hal ini

berkaitan dengan tingginya tingkat kerumitan dan biaya yang ditimbulkan jika perusahaan

ingin mengurangi sendiri emisinya, mulai dari memperbaharui teknologi, merekrut sumber

daya manusia yang memadai, dan biaya-biaya terkait lainnya.

2. Penerapan akuntansi karbon di Indonesia masih sangat rendah, karenalocal wisdom dari

masyarakatnya sendiri belum memiliki kesadaran dan tanggung jawab terkait dengan usaha

mitigasi gas emisi rumah kaca. Sukenti (2008) mengkaji bahwa kemajuan masyarakat industri

telah mendesak masyarakat untuk mengabaikan aspek lingkungan dengan melakukan

eksploitasi sumber daya alam secara tak terkendali sehingga menimbulkan kerugian yang

besar.Perspektif masyarakat Indonesia yang cenderung beriorientasi kepada profit telah

menghambat terciptanya pelaporan akuntansi karbon di Indonesia.

3. Regulasi pemerintah terkait dengan pelaporan emisi gas rumah kaca di Indonesia belum rigid.

Regulasi yang berlaku di Indonesia saat ini hanyalah sebatas membahas lingkungan secara

luas, namun tidak terdapat regulasi yang secara terperinci membahas terkait gas emisi rumah

kaca. Ketidaksediaan regulasi yang rigid ditambah dengan local wisdom masyarakat yang

belum memiliki kesadaran akan bahayanya gas emisi rumah kaca telah menghambat

pelaporan akuntansi karbon di Indonesia.

4. Pelaporan akuntansi tentunya memerlukan suatu standar guna memenuhi karakteristik

kualitatifnya. Namun, untuk akuntansi karbon sendiri belum terdapat standar akuntansi yang

mengatur sehingga tidak memenuhi karakteristik kualitatif keterbandingan (IASB, 2010) dan

tidak terdapat pedoman dalam menyusun pelaporan terkait akuntansi karbon. Alhasil,

pengungkapan akuntansi karbon sebaliknya malah menimbulkan persepsi yang berbeda-beda

bagi setiap pembaca dan tidak menutup kemungkinan menuntun pengguna informasi kepada

pengambilan keputusan yang yang salah.

17
5. Penurunan emisi gas memerlukan modal yang cukup besar di awal, dengan demikian tidak

jarang keterbatasan dana menghambat suatu perusahaan untuk berbagian dalam aksi mitigasi

gas emisi rumah kaca. Namun, penundaan penurunan emisi saat ini akan menimbulkan biaya

dan dampak lingkungan yang semakin besar di kemudian hari.

6. Rendahnya sumber daya manusia yang tersedia di Indonesia tidak mendukung terealisasinya

akuntansi karbon dengan cepat karena lamanya waktu dan tingginya biaya pembelajaran dan

sosialisasi terkait dengan perdangangan dan akuntansi karbon

7. Saat ini belum terdapat mekanisme pengendalian dan pengawasan terkait upaya pelaporan

aspek emisi karbon yang rigid sehingga banyak perusahaan yang mengabaikan hal

perntingnya pelaporan akuntansi karbon.

8. Perdangangan kerbon saat ini belum memiliki mekanisme penetapan harga karbon yang jelas,

sehingga dalam melakukan perdagangan, permasalahan terkait dengan harga seringkali

menjadi hambatan.

9. Usaha mitigasi emisi gas rumah kaca memerlukan teknologi yang ramah lingkungan dan

mampu menyerap limbah gas rumah kaca. Namun, sebagai negara yang berkembang

Indonesia masih tertinggal dalam segi teknologi sehingga menghambat usaha mitigasi itu

sendiri.

10. Praktik perdagangan karbon lebih dapat dilakukan pada kondisi ekonomi yang stabil, yaitu

suatu kondisi masyarakat yang secara umum telah memiliki tingkat kesejahteraan yang

memadai sehingga mereka memiliki cukup modal, baik untuk melakukan aksi mitigasi

ataupun untuk membeli potensi penyerapan gas emisi rumah kaca

4.2 Rekomendasi

1. Diperlukan Standar Baku Terkait Pelaporan Akuntansi Karbon/Carbon Accounting

Seperti yang telah kita ketahui, penerapan akuntansi konvensional yang berorientasi

pada profit telah menyebabkan perusahaan mengesampingkan tanggung jawabnya terhadap

lingkungan, sehingga kualitas lingkungan di Indonesia mengalami penurunan yang cukup

signifikan, termasuk dalam hal pencemaran emisi karbon melalui aktivitas industri

perusahaan. Data emisi 2017 menunjukkan jelas bahwa diperlukan pengurangan emisi yang

18
mendesak dan sangat serius untuk menghentikan pemanasan global di bawah dua derajat

celcius, seperti yang disepakati dengan aklamasi di Paris, kata Stefan Rahmstorf, ilmuwan

iklim di Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim di Jerman (Putra, Lutfy Mairizal,

2017). Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya perusahaan yang

bersifat pervasif/berpengaruh luas harus mulai bertransisi dari sistem pelaporan akuntansi

konvensional menuju pelaporan berbasis lingkungan, diantaranya ialah akuntansi karbonatau

carbon accountingdimana pelaksanaannya masih terkesan minim di Indonesia.

Permasalahan yang menghambat penerapan carbonaccounting salah satunya ialah

karena tidak terdapat sebuah pedoman yang menjelaskan secara rinci metode pengakuan,

pengukuran, dan perhitungan biaya-biaya yang terkait dengan upaya mitigasi gas emisi

karbon, serta bagaimana menyajikannya sehingga apa yang dilaporkan oleh perusahaan

hanyalah sebatas pelaporan aktivitas lingkungan, dimana hal tersebut tidaklah cukup

menggambarkan aktivitas yang sebenarnya dilakukan oleh perusahaan bersangkutan. Dewasa

ini, banyak perusahaan yang telah terjebak pada sebuah pencitraan, sehingga aktivitas yang

disampaikan dalam laporan tahunan sebenarnya tidak menunjukkan sebagai sebuah aktivitas

yang berkelanjutan. Oleh karena itu, langkah pertama yang perlu diambil adalah dengan

menciptakan suatu pedoman berupa sebuah standar akuntansi yang dapat meningkatkan

kualitas laporan keuangan perusahaan melalui adanya metode pengakuan, perhitungan, dan

pelaporan serta pengungkapan biaya yang memadai sehingga laporan keuangan tidak lagi

sebatas pelaporan aktivitas-aktivitas lingkungan tetapi lebih kepada integrasi antara

operasional perusahaan dan aspek lingkungan yang mempengaruhi. Dalam membuat standar

pelaporan, dibutuhkan partisipasi dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi

profesi untuk menyusun suatu standar pelaporan baku yang dapat diterapkan di Indonesia

dimana tidak hanya mengatur hal-hal yang bersifat kualitatif tetapi juga kuantitatif terkait

biaya-biaya mitigasi emisi karbon dan perhitungannya sebagai akibat siklus operasi

perusahaan. Namun, melihat keberadaan carbon accounting di Indonesia yang

belumberkembang, standar yang baru harus dibuat dengan sesederhana dan semudah mungkin

sehingga dapat mengakselerasi perkembangan carbon accounting bagi perusahaan-

19
perusahaan dalam bidang industri di Indonesia. IAI dapat mempermudah standar pelaporan

kuantitatif tersebut dengan memberikan suatu formulir yang berisikan aspek-aspek yang harus

diakui dan dilaporkan beserta bagaimana metode implementasi yang tepat. IAI dapat

mengadopsi dan menyederhanakan dari pelaporan carbon accounting yang telah diterapkan

oleh negara-negara maju berbasis International Financial Reporting Standards (IFRS) yang

mengingat pada akhirnya dalam menghadapi persaingan global, laporan keuangan

perusahaan-perusahaan di Indonesia harus mampu menyediakan informasi yang dapat

dibandingkan dengan laporan keuangan perusahaan lain secara global. Selanjutnya penulis

akan memberikan sebuah rekomendasi terkait dengan pos-pos yang dapat diakui, diukur, dan

dilaporkan serta disajikan terkait dengan carbon accounting sebagai upaya mitigasi emisi

karbon di Indonesia.

2. Pengakuan dan Pencatatan:

a. Carbon Allowances

PSAK 19 memberikan definisi aset tak berwujud sebagai aset non-moneter

teridentifikasi tanpa wujud fisik, dengan karakteristik utama sebuah aset tak berwujud yakni

dapat diidentifikasi, memiliki manfaat ekonomik masa depan,diperoleh dengan biaya

perolehan yang dapat diukur secara andal, dan tentunya tidak memiliki wujud fisik. Sesuai

dengan definisi tersebut, maka dalam kondisi surplus emisi gas karbon, yaitu keadaan dimana

emisi yang dihasilkan suatu entitas dibawah ambang batas emisi gas karbon dan memiliki

potensi penyerapan karbon atau carbon allowances, maka potensi penyerapan karbonyang

dimiliki oleh entitas tersebut dapat diakui sebagai aset tak berwujud. Namun, pengakuan

potensi ini tidak memilikiumur manfaat yang terdefinisi dengan jelas, sehingga harus

dikategorikan sebagai indefinitive intangible asset.Hal ini sejalan dengan perlakuan akuntansi

di negara-negara yang lain, seperti Australia dan negara-negara di Eropa yang mengakui

carbonallowance ini sebagai aset tak berwujud.

Namun, bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh ACCA bersama dengan IETA

dalam Accounting for Carbon menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan memiliki

perlakuan akuntansi yang sedemikian. Terdapat juga perusahaan yang mengakuinya sebagai

20
persediaan (hal ini berkaitan dengan adanya tranksaksi perdagangan emisi karbon) sehingga

potensi penyerapan karbon tersebut dapat diklasifikasikan sebagai persediaan. Hal ini sejalan

dengan PSAK 14 yang mendefinisikan persediaan sebagai suatu aktiva yang: (1) tersedia

untuk dijual dalam kegiatan usaha normal(2) dalam proses produksi untuk penjualan tersebut,

(3) dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau

pemberian jasa. Dengan demikian, surplus emisi karbon yang dapat dijual oleh suatu entitas

dapat diakui sebagai persediaan oleh entitas bersangkutan.

Selanjutnya, ketika surplus emisi karbon yang dimiliki oleh suatu entitas dijual, maka

entitas terkait pun dapat mengakui pendapatan atas transaksi penjualan penjualan tersebut

yang kemudian diklasifikan menjadi pendapatan dari luar usaha, karena perndapatan tersebut

bukan merupakan hasil dari operasi utama dari perusahaan tersebut (PSAK 1, 2010).

Bedasarkan 5-steps-model revenue recognition dalam IFRS 15 yang kemudian diadopsi oleh

Indonesia dalam ED PSAK 72, pengakuan atas pendapatan atas penjualan tersebut dapat

dilakukan hanya ketika kewajiban sebagai penjual potensi penyerapan emisi telah terpenuhi

(asset-liability approach).

Bertentangan dengan kondisi tersebut, ketika suatu entitas mengalami defisit, yaitu

kondisi emisi yang dihasilkan melampaui ambang batas penggunaan emisi yang

diperbolehkan, maka muncul kewajiban bagi entitas terkait, baik kewajiban berupa

pembayaran denda, kewajiban untuk mengurangi emisi gas karbon, maupun kewajiban untuk

membeli potensi penyerapan emisi karbon dari entitas lain melalui mekanisme perdagangan

emisi gas karbon. Bedasarkan konsep akuntansi konservatisme, maka entitas terkait wajib

mengakui dan mengungkapkan kewajiban tersebut. Kewajiban terkait dengan lingkungan

diakui sebagai kewajiban kontijensi dan didasarkan oleh tingkat kemungkinan terjadinya

kewajiban tersebut. Entitas wajib mengungkapkan kewajiban terkait dengan denda atau

kewajiban terkait usaha pengurangan emisi hingga ambang batas yang diperbolehkandalam

Catatan atas Laporan Keuangan jika tingkat kemungkinan terjadinya sebesar 5-50% dan

mengakui kewajiban tersebut dalam laporan keuangan entitas jika kemungkinan terjadinya

lebih dari 50% (PSAK 57, 2009).

21
Jika entitas memilih membeli jatah penyerapan emisi karbon dari entitas lain, maka

pengeluaran yang dilakukan untuk pembelian tersebut diklasifikasikan sebagai beban

operasional perusahaan ketika nilainya tidak material, namun jika nilainya material maka

harus diklasifikasikan secara terpisah (PSAK 1, 2009).

b. Mesin Pengurang Emisi

Mesin pengurang emisi merupakan teknologi yang sangat dibutuhkan dalam usaha

meminimalisasi gas emisi karbondalam proses operasionalnya, baik oleh perusahaan yang

melampaui ambang batas konsumsi gas emisi karbon maupun oleh perusahaan yang masih

berada di bawah batas dengan tujuan agar emisi yang dihasilkannya tetap terkendali. Terkait

dengan hal tersebut, banyak perusahaan yang memutuskan untuk membeli ataupun merakit

teknologi-teknologi tersebut demi menekan emisi gas karbon mereka untuk jangka panjang.

Tidak jarang pula praktik sewa atas mesin-mesin yang dapat menekan emisi perusahaan

dilakukan jika suatu perusahaan tidak memiliki cukup modal untuk membeli atau merakit

teknologi tersebut.

Bedasarkan hal tersebut, maka mesin pengurang emisi memenuhi kriteria sebagai aset

tetap yang tercantum dalam PSAK 16, yaitu: (1) merupakan aktiva berwujud (2)dimiliki

untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada

pihak lain, atau untuk tujuan administratif, dan (3) diharapkan untuk digunakan selama lebih

dari satu periode. Dengan demikian, pengakuan atas mesin tersebut dilakukan sebesar biaya

perolehannya, dimana biaya perolehan meliputi harga perolehan dan biaya-biaya yang dapat

didistribusikan secara langsung kepada mesin tersebut hinggamesin siap digunakan sesuai

dengan intensi manajemen, seperti biaya perakitan dan instalasi, biaya pengujian aset, dan

lain sebagainya.

c. Trustperformance

Meningkatnya trust performance perusahaan akibat pengungkapan informasi yang

semakin komprehensif mampu meningkatkan intangible benefitatau manfaat bagi perusahaan

dalam jangka panjang. Bedasarkan PSAK 19, meskipun trustperformancemendatangkan

manfaat jangka panjang, namun hal ini tidak dapat dilaporkan dalam laporan keuangan

22
sebagai suatu aset dikarenakan biaya perolehannya yang tidak dapat diukur secara andal

sehingga tidak memenuhi kriteris sebagai aset, baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud.

Namun, bedasarkan praktik yang ada di perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam

Public Listed Company (PLC) mengakui peningkatan trustperformance ini sebagai aset tak

berwujud, yang disebut Environmental on Heald. Praktik ini mendukung konsep Triple

Bottom Line yang tidak hanya berorientasi pada profit, tapi juga memperhatikan aspek planet

dan people. Praktik ini juga mendukung urgensi dunia terhadap pengungkapan aspek-aspek

yang terkait dengan lingkungan. Dengan demikian perusahaan di Indonesia pun sebaiknya

mengadopsi praktik tersebut mengingat trustperformance merupakan salah satu pertimbangan

yang signifikan bagi pengambilan keputusan jangka panjang.

3. Pengukuran:

a. Carbon allowances

Pengukuran awal carbon allowances bedasarkan biaya pemerolehannya. Jika

perusahaan mengalami surplus emisi gas karbon maka biaya pemerolehannya adalah nol (0).

Namun jika perusahaan mendapatkannya melalui pembelian maka pengukuran awal

dilakukan sebesar nilai yang dibayarkan. Selanjutnya, pengukuran setelah pengukuran awal

dilakukan dengan penyesuaian terhadap nilai wajar, agar nilai carbon allowance yang

dilaporkan entitas senantiasa menunjukkan nilai yang relevan dengan kondisi pasar

perdagangan emisi dan kondisi perubahan iklim dunia. Disamping itu, terkait dengan konversi

nilai carbon allowances ke dalam satuan nilai rupiah, dapat dilakukan kerjasama yang

memadai dengan Kementeriaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pihak

appraisal atau penilai terkait dengan fungsinya dalam pelaksanaan bimbingan teknis dan

supervisi atas pelaksanaan urusan penyelenggaraan pemantapan kawasan hutan dan penataan

lingkungan hidup secara berkelanjutan dan pengelolaan konservasi sumber daya alam dan

ekosistemnya untuk menciptakan nilai wajar bagi pengukuran pos carbon allowances bagi

perusahaan-perusahaan di Indonesia.

b. Mesin Pengurang Emisi

23
Mesin sebagai aset tetap harus diakui sebesar biaya perolehannya dan saat aset

tersebut diperoleh perusahaan. Berdasarkan PSAK 16, pengukuran awal biaya perolehan aset

tetap adalah setara dengan nilai tunai yang diakui pada saat terjadinya. Jika pembayaran suatu

aset ditangguhkan hingga melampaui jangka waktu kredit normal, maka perbedaan antara

nilai tunai dengan pembayaran total diakui sebagai beban bunga kecuali dikapitalisasi sesuai

dengan PSAK 26. Apabila perusahaan menerima bantuan hibah pemerintah, maka nilai

tercatat aset tetap harus dikurangi dengan hibah tersebut sesuai dengan PSAK 61. Dan apabila

perusahaan memilih untuk memperoleh mesin tersebut melalui sewa guna usaha, maka dicatat

bedasarkan kontrak dengan lessor (PSAK 30).

Selanjutnya, entitas memiliki kebebasan untuk memilih model pengukuran setelah

pengukuran awal yang terdiri dari model biaya dan model revaluasi, dimana setiap model

memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model biaya mengukur aset sesuai

dengan biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi

penurunan aset (impairment). Sedangkan model revaluasi mengharuskan adanya pengukuran

nilai wajar aset secara andal oleh seorang atau lebih appraisal atau penilai pada tanggal

revaluasi, kemudian dikurangi wajar untuk revaluasi ini harus dilakukan dengan keteraturan

yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material

dengan nilai wajar pada akhir periode pelaporan.

c. Trust Performance

(fahmi ini aku bingung pengukurannya, maaf pol.)

4. Penyajian dan Pengungkapan

Penyajian Pengungkapan

Carbon Allowances

- Aset Tak Berwujud Laporan posisi keuangan, pada Pengungkapan jenis aset tak

sisi debit bagian aset tidak berwujud, cara pengukuran dan

berwujud, dengan nominal pemerolehan dalam Catatan atas

24
sesuai dengan pengukuran Laporan Keuangan (CALK)

periode berjalan

- Persediaan Laporan posisi keuangan, pada Pengungkapan jenis persediaan

sisi debit, bagian aset lancar, bersangkutan, kuantitas yang

dengan nominal sesuai dengan tersedia, metode perhitungan nilai

pengukuran periode berjalan persediaan dalam CALK

- Kewajiban Jika tingat kemungkinan JIka tingkat kemungkinan

terjadinya melebihi 50% maka terjadinya 5-50% maka

disajikan dalam laporan posisi diungkapkan melalui CALK

keuangan, pada sisi kredit,

bagian kewajiban lancar

- Pendapatan Laporan laba rugi, pada bagian Pengungkapan jenis pendapatan

pendapatan non operasi atau secara terperinci dalam CALK

pendapatan lain-lain.

- Beban Disajikan dalam laporan laba Pengungkapan jenis beban secara

rugi, pada bagian beban terperinci dalam CALK

operasional (dapat disajikan

secara terpisah jika nilainya

material)

Mesin Pengurang Emisi

- Aset Tetap Laporan posisi keuangan, pada Pengungkapan jenis aset tetap,

sisi debit bagian aset tidak metode yang digunakan dalam

lancar, dengan nominal sesuai penyusutan, biaya pemerolehan

dengan pengukuran periode secara terperinci, asuransi yang

berjalan beserta akumulasi digunakan dalam CALK

penyusutannya

Trust Performance

25
- Aset Tak Berwujud Laporan posisi keuangan, pada Pengungkapan jenis aset tak

sisi debit bagian aset tidak berwujud, cara pengukuran dan

berwujud, dengan nominal pemerolehan dalam CALK

sesuai dengan pengukuran

periode berjalan

4.3 Keuntungan dan Kerugian Penerapaan Rekomendasi (Cost and Benefit)

a. Keuntungan dan Dampak yang Dihasilkan

1. Meningkatkan Trust Performance Perusahaan sebagai Intangible Benefit

a. Munculnya trust performance perusahaan yang ditimbulkan dari adanya pengungkapan

informasi segala aktivitas perusahaan yang diungkapkan melalui laporan perusahaan yang

akan menimbulkan sinyal-sinyal positif sebagai umpan balik dari para penggunanya

berupa kepercayaan, dimana dalam signaling theory pengungkapannya digunakan dalam

laporan keuangan mamupun non-keuangan (Shehata, 2014). Trust performance mampu

meningkatkan nilai intangible benefit sebagai kontradiksi dalam jangka panjang.

b. Perusahaan yang telah mengungkapkan adanya laporan perubahan iklim dan gas emisi

akan meningkatkan legitimasi masyarakat karena dinilai memiliki tanggung jawab yang

lebih besar (Jannah, 2014), konsep tersebut sejalan dengan legitimacy theory.

c. Dalam penelitian Pratiwi (2017) mengindikasikan bahwa laporan aspek gas emisi sangat

diperlukan karena akan sangat berpengaruh positif terhadap kepercayaan stakeholdernya.

Laporan terkait emisi gas mampu membangun image positif perusahaan, menambah nilai

dan membantu pembangunan yang berkelanjutan, maka hal tersebut telah sejalan dengan

stakeholder theory.

2. Meningkatan Sumber Daya Modal dari Kredit dan Investasi

Hubungan antara pelaporan peruabahan iklim atas emisi gas akan berpengaruh positif

terhadap perolehan kredit dan investasi (D’Amico et.al., 2014), dimana apabila perusahaan

mengungkapkan laporan atas kondisi emisi gas akan mempengaruhi keputusan evaluasi

kinerja perusahaan untuk memberikan pinjaman dan berinvestasi (Basuki, 2016). Kegagalan

26
atas utang sering terjadi karena tidak adanya laporan perubahan iklim emisi gas (Freedman

dan jaggi, 2005)

3. Meningkatkan Laba Maksimum Jangka Panjang

Manfaat atas penerapan akuntansi karbon akan dirasakan oleh perusahaan daam

jangka panjang, karena perusahaan telah memiliki value added dan customer value sehingga

mempercepat perolehan laba maksimum dalam jangka paanjang.

4. Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas

Perkembangan ekonomi saat ini telah memberikan tantangan baru bagi akuntan setiap

perusahaan untuk lebih transparan dan akuntabel terhadap segala aktivitas yang dilakukan

melalui laporan pertanggung jawaban tahunan (annual report) (Pratiwi, 2017). Salah satunya

adalah pengungkapan laporan Green House Gas (GHG) yang meliputi corporate governance

dan strategi terkait perubahan emisi gas (Cotter et.al., 2011) yang menjadi isu kontradiksi saat

ini.

5. Menunjukan Kinerja Keuangan Perusahaan yang Baik

Laporan terkait kinerja emisi gas akan memberikan value added bagi para

stakeholdernya. Kinerja keuangan perusahaan dinilai baik tidak hanya ketika perusahaan

mampu memberikan keuntungan yang efektif, namun akan dinilai memiliki kinerja yang baik

jika memiliki nilai lebih dimata para stakeholdernya, yakni kepedulian dalam hal eksistensi

lingkungan di sekitar perusahaan berada.

6. Membantu Pengambilan Keputusan (Decision Making) bagi Para Stakeholder

Perusahaan yang melakukan pengurangan emisi gas dan membuat laporan aktivitas

atas nilai emisi gas buang perusahaan akan mengidentifikasi bahwa perusahaan telah

melakukan penekanan emisi karbon (Pratiwi, 2017). Laporan emisi gas akan mempermudah

pengambilan keputusan atas kinerja emisi gas perusahaan bagi pihak stakeholder, baik pihak

internal maupun eksternal (Andrew dan Cortese, 2011).

7. Meningkatkan Market Share

Gambar 1.3. Hubungan Positif Trust Quality terhadap Market Share

Market Share
27
Trust Quality

Kedua variabel tersebut memiliki hubungan positif sehingga memiliki kurva

berbanding lurus yang diartikan bahwa kenaikan kepercayaan masyarakat atas pengelolaan

gas emisi perusahaan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan market share

perusahaan.

8. Meningkatkan Customer Value

Dengan adanya laporan pertanggung jawaban aktivitas emisi gas akan memberikan

dampak secara langsung kepada masyarakat bahwa tidak ada dampak negatif terkait emisi gas

buang yang dihasilkan perusahaan, sehingga customer lebih memprioritaskan perusahaan

yang memperdulikan aspek lingkungan terkait gas emisi.

9. Meningkatkan Kualitas Manajemen Lingkungan

Laporan emisi gas seringkali digunakan sebagai tolok ukur manajemen produksi

berbasis ekologi, sehingga semakin jelas tolok ukurnya semakin jelas pula arah manajemen

lingkungan ke arah carbon accounting (Shodiq dan Lisa Kartikasari, 2012). Melalui laporan

emisi gas turut berkontribusi dalam pelaksanaan manajemen lingkungan sehingga mampu

mewujudkan era ekonomi baru (ekonomi lingkungan) yang dikenal Carbonomics

(Ratnatunga, 2007).

10. Membantu Pengambilan Keputusan saat Terjadi Perubahan Iklim bagi Para Stakeholder

Para Stakeholder memerlukan laporan terkait carbon accounting bertujuan untuk

menganalisis kinerja perusahaan saat terjadi perubahan iklim (Andrea et.al., 2015) yang

bertujuan untuk menentukan apakah perusahaan memiliki kontribusi terhadap kepedulian

iklim (Ennis et.al., 2012)

11. Meningkatkan Efesiensi Emisi Karbon pada Penggunaan Biaya

Laporan emisi gas akan mengungkapkan segala aspek-aspek terkait emisi gas dimana hal

tersebut akan mengurangi adanya biaya Bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead

28
pabrik dan lingkungan, serta manajemen resiko lingkungan (Ratnatunga, 2007) dalam

(Basuki, 2016)

12. Mengurangi Resiko Bisnis Berbasis Lingkungan

Laporan lingkungan terkait emisi gas akan sangat berpengaruh terhadap kinerja

perusahaan terhadap keberlanjutan lingkungan karena perusahaan yang peka terhadap sektor

lingkungan akan lebih termotivasi untuk mengurangi emisi gas karbon (Reid and Toffel,

2009), dimana pelaporannya digunakan untuk mengelola dan menilai resiko bisnis yang

berkaitan dengan lingkungan dan iklim (Pratiwi, 2017) (Lash dan Welington, 2007).

13. Mencegah Pencabutan Izin Usaha

Pemerintah memiliki wewenang untuk mencabut hak izin usaha perusahaan yang

terbukti merusak lingkungan apabila melanggar regulasi syarat izin usaha dan diperkuat

dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 berkaitan dengan usaha berkelanjutan. Sehingga, diantara

mekanisme tersebut pemerintah telah memaksa perusahaan untuk membuat laporan aktivitas

terkait lingkungan dan perubahan iklim (Reid dan Toffel’s, 2009).

14. Mengurangi Biaya Pembelian CAP Limit dan Denda

Dengan dikeluarkannya protokol kyoto, perusahaan yang merasa memiliki gas emisi

buang diatas batas limits, maka perusahaan akan menanggung kredit dengan mengeluarkan

biaya atas denda gas buang emisi tersebut dan membeli limits perusahaan yang dialokasikan

(Shodiq, 2015).

15. Meningkatkan Penerimaan Dari Alokasi CAP Limit

Berbanding terbalik dengan sebelumnya, sesuai dengan mekanisme protokol kyoto berkaitan

dengan Carbon Trading, perusahaan yang mampu mengurangi emisi gasnya dapat menjual

sisa CAP Limit, sehingga akan memperoleh penerimaan atas perdagangan carbon tersebut.

16. Memperoleh Subsidi Pemerintah

Sebagai umpan baliknya, perusahaan yang mampu mengurangi gas emisi buang dan

dibuktikan dengan laporan keuangan atas emisi gas maka akan memperoleh reward dari

pemerintah sebagai bagian dari usaha mengurangi emisi gas (sesuai dengan kebjakan setiap

29
negara). Di Indonesia, hal ini tercermin berdasarkan UU Nomor 61 tahun 2011 terkait

pemberian intensif atas penurunan emisi gas (GRK).

17. Going Concern Sustainability Business Concept/ Eco-Business Plant

Laporan emisi gas akan sangat membantu perusahaan untuk terhindar dari adanya

tuduhan dan ancaman dari masyarakat sekitar perusahaan berdiri, sehingga mamputeralihkan

dari adanya tuntutan untuk resiko jangka panjang berkaitan dengan lingkungan dari lapisan

masyarakat (Deegan et.al., 2002).

b. Kerugian dan Dampaknya

1. Pengeluaran Biaya Terkesan Besar di Awal

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 terkait pelestarian lingkungan, perusahaan

yang berusaha secara sadar untuk melakukan pengurangan emisi gas buang akan memerlukan

biaya yang tinggi diawal, karena harus mengeluarkan biaya atas pembelian alat berat

pengurang emisi gas karbon dalam aktivtas peduli lingkungannya. Namun, pos investasi ini

dalam jangka panjang akan segera memberikan sinyal positif, seiring dengan menurunnya

failure cost dan meningkatnya prevention cost dalam jangka panjang.

2. PerolehanLaba Optimum dalam Jangka Pendek, Bukan Maksimum

Penerapan akuntansi karbon dalam carbon trading akan berpengaruh terhadap

perolehan nilai laba perusahaan. Dalam jangka pendek ketika program dilaksanakan

perusahaan cenderung akan memperoleh laba optimum. Hal ini dikarenakan ada biaya

lingkungan yang tetap harus dialokasikan (AICPA, 2004 dan Volosin, 2008). Namun, dalam

jangka panjang perusahaan akan meningkatkan laba nya menjadi laba maksimum.

3. Biaya Sumber Daya Manusia Ahli yang Relatif Tinggi

Dalam melaksanakan akuntansi karbon diperlukan tenaga ahli (SDM) yang

berkompeten dalam bidangnya dengan biaya yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan

tidak melaksanakan akuntansi karbon. Namun, jika dikaji lebih jauh hal tersebut justru

menguntungkan bagi perusahaan dikarenakan dapat dikategorikan sebagai nilai tambah (value

added) perusahaan.

30
V. Penutup

31
LAMPIRAN

Data emisi GRK Sektoral (Juta Ton CO2)

sumber: Data Inventory GRK sektor Energi, Kementerian ESDM 2016

Tahun Industri Komersial Rumah Tangga Transportasi Lainnya Total

2010 355.41 33.12 310.55 255.57 28.74 983.40

2011 359.81 35.23 323.36 277.40 24.82 1,020.61

2012 376.16 35.20 349.08 308.24 25.06 1,093.74

2013 365.89 37.31 360.02 323.30 23.26 1,109.77

2014 257.38 38.11 369.89 334.20 20.16 1,019.74

2015 274.90 38.19 373.79 329.41 16.95 1,033.24

Data emisi GRK Komersial (Juta Ton CO2)

sumber: Data Inventory GRK sektor Energi, Kementerian ESDM 2016

Tahun ADO IDO Kerosin Gas LPG Total

2010 2.72 0.00 0.34 0.32 0.38 3.76

2011 2.29 0.00 0.24 0.42 0.41 3.37

2012 2.27 0.00 0.17 0.53 0.42 3.39

2013 2.10 0.00 0.15 0.47 0.47 3.19

2014 1.73 0.00 0.12 0.48 0.51 2.83

2015 1.38 0.00 0.09 0.47 0.53 2.48

Data emisi GRK Industri (Juta Ton CO2)

sumber: Data Inventory GRK sektor Energi, Kementerian ESDM 2016

Tahun Batubara ADO FO IDO Kerosin Gas LPG Total

2010 79.99 18.86 5.52 0.39 0.42 37.52 0.24 142.94

32
2011 84.53 15.93 3.58 0.28 0.29 39.34 0.23 144.18

2012 91.21 15.74 3.89 0.21 0.20 40.50 0.23 151.98

2013 85.65 14.59 2.24 0.18 0.18 40.71 0.26 143.81

2014 26.00 11.99 2.14 0.14 0.14 40.35 0.28 81.04

2015 41.08 9.60 1.87 0.12 0.11 40.14 0.29 93.22

33
Quantified Emission Limitation and Reduction Commitment Expressed
as percentage of base year and absolute emission levels
Source : UNFCCC (2012)
Average annual emissions in
QELRC
the commitment period
(percentage of base year or
associated with QELRCs (in
period)
Level of Mt CO2 eq.)
emissions QELRCs QELRCs For QELRCs For QELRCs
Party
in Base submitted by proposed by submitted by proposed by
Year # Parties. AOSIS Parties. AOSIS
Commitment Commitment Commitment Commitment
period (2013- period (2013- perios (2013- period (2013-
2020) 2017) 2020) 2017)
Australia 559.00 NA 93 NA 519.9
Belarus 139.18 92.0 65 128.0 90.5
Canada 589.29 NA NA NA NA
Croatia 27.97 80.0 81 22.4 22.7
European Union 5736.16 80.0 81 4588.9 4646.3
(EU-27)
Iceland 3.50 80.0 81 2.8 2.8
Japan 1256.34 NA NA NA NA
Kazakhstan 318.14 NA 73 NA 232.2
Liechtenstein 0.23 84.0-78.0 81 0.2-0.2 0.2
Monaco 0.11 NA 81 NA 0.1
New Zealand 59.80 NA 90 NA 53.8
Norway 49.80 84.0-81.0 81 41.8-40.3 40.3
Russian 3330.05 NA NA NA NA
Federation
Switzerland 53.06 84.2-77.7 81 44.7-41.2 43.0
Ukraine 929.58 NA 46 NA 427.6

Reduction of average annual emissions during the second Commitment Commitment

commitment period of the Kyoto Protocol since base year period (2013- period (2013-

2020) 2017)

Total average annual reduction since 1990 in accordance with QELRCs submitted with respect to

themselves (8 years) or provided by AOSIS (5 year)

i) Expressed in Mt CO2 eq. 1175.5-1180.4 1791.8

ii) Expressed in percent reduction from total emissions in 16.2-15 * 22.7

34
base year

Total average annual reduction since 1990 for Parties listed in the table above, excluding Canada,

Japan, and the Russian Federation, consistent with a linear path of emissions towards 2020 levels in

accordance with the IPCC objective (25-40%)

a) Assuming a linear path of emissions from 1990 levels to 2020 levels in accordance with IPCC

objective (25-40%)

i) Expressed in Mt CO2 eq 1740.2-2784.3 1641.7-2626.7

ii) Expressed in percent reduction from total emissions in 22.1-35.3 20.8-33.3

base year

b) Assuming a linear path of emissions from average annual emissions consistent with QELRCS

for the first commitment period of the Kyoto Protocol to 2020 levels in accordance with IPCC

objective (25-40%)

i) Expressed in Mt CO2 eq 1426.4-2194.7 1193.4-1784.4

ii) Expressed in percent reduction from total emissions in 18.1-27.9 15.1-22.6

base year

c) Assuming a linear path of emissions from current level of emissions (2010) to 2020 levels in

accordance with the IPCC objective (25-40%)

i) Expressed in Mt CO2 eq 1864.3-2632.6 1818.9-2409.9

ii) Expressed in percent reduction from total emissions in 23.7-33.4 23.1-30.6

base year

# including provisions in accordance with Article 3, paragraphs 7 and 8, and different base year than

1990

*Only parties that have submitted QELRCs for themselves are included in the total. The total average

annual emissions reduction may be not comparable to other totals in this table

NA = not applicable

QELRC = Quantifies emissions limitation and reduction commitment

35
IPCC = Intergovernmental Panel on Climate Change

36
Lampiran

Regulasi Terkait Pengenaan Denda atas Kerusakan Lingkungan

NO Regulasi Keterangan

1 UU 32 tahun 2009 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yamg melakukan

pasal 87 (1) perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau

lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan

tindakan tertentu

2 UU 32 tahun 2009 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang

pasal 98 (1) mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air,

baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah) dan paling banyak RP 10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah)

3 Undang Undang Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang

Nomor 32 Pasal 1 memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi Konsep

tersebut sejalan dengan konsep Triple Bottom Line (People, Planet and

Profit).

4 UU No 17 tahun posisi dan peran Indonesia sebagai negara berkembang

2004 berkenaan dengan usaha pengurangan emisi gas rumah kaca, yaitu

melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)

5 UU No 61 tahun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

2011 memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam pertemuan G-20 di

Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan

usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional

37
pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (business as

usual/BAU).

6 UU No 71 tahun Penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca nasional untuk

2011 memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan

kecenderungan perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai

sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink) termasuk simpanan

karbon (carbon stock) dilaporkan dalam bentuk Komunikasi Nasional

kepada perwakilan pemerintah yang ditugaskan sebagai National Focal

Point pada UNFCCC (di Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian

Perubahan Iklim (DJPPI) melalui Permen P.18/MENLHK-II/2015).

7 UU 32 tahun 2009 Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emoisi,

pasal 100 (1) atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama

3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 30.000.000.000,00 (tiga

miliar rupiah)

8 Undang-undang Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda,

Nomor 32 Tahun daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya,

2009 yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan

kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain

9 Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH

Nomor 4 Tahun 1982), yang kemudian dirumuskan kembali ke dalam Undang-undang

1982 Nomor 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

10 UU 3 tahun 2014 (1) Sumber daya alam diolah dan dimafaatkan secara efisien,

tentang ramah lingkungan, dan berkelanjutan

perindustrian (2) Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada

Pasal 30 ayat (1) wajib dilakukan oleh

38
a. Perusahaan industri pada tahap perancangan produk,

perancangan proses produksi, tahap produksi,

optimalisasi sisa prosuk, dan pengelolaan limbah; dan

b. Perusahaan kawasan industri pada tahap perancangan,

pembangunan, dan pengelolaan kawasan industri,

termasuk pengelolaan limbah

(3) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dikenai sanksi administratif berupa :

a. peringatan tertulis

b. denda administrative

c. penutupan sementara

d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha kawasan Industri;

dan/atau

e. pencabutan izin usaha industri atau izin usaha kawasan industri

Puspita, Dyah Aruning. 2015. Carbon Accounting: Apa, Mengapa dan Sudahkah Berimplikasi pada
Sustainability Reporting?. Malang: Jurnal JIBEKA

UNFCCC. 2008. Kyoto Protocol Reference Manual on Accounting of Emissions and Assigned
Amount.Bali: UNFCCC

Pratiwi, Desy Nur. 2017. Pengaruh Stakeholder terhadap Carbon Emission Disclossure. Karawang:
Jurnal Unsika.

OJK. 2014. Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta: OJK

Alvarez, Isabel Galego, et al. 2016. Accounting Treament for Carbon Emissions Rights. Salamanca:
MDPI

Oker, Figen and Humeyra Adiguzel. 2017. Reporting for Carbon Trading and Internasional Accounting
Standards. Turkey: INTECH

Supriadi, Agus et al. 2016. Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi2016. Jakarta: Pusat Data dan
Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral

39
Utama, Meria. 2016. Kebijakan Pasca Ratifikasi Protokol Kyoto Pengurangan Dampak Emisi Rumah
Kaca dalam Mengatasi Global Warming. Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Mudiyarso, Daniel. 2004. Implications of the Kyoto Protocol: Indonesia’s Perspective. Kanagawa: IGES

Republik Indonesia. 2016. Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang


Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change
(Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan
Iklim). Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention om Climate Change
(Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan
Iklim). Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengsahan United Nations
Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Perubahan Iklim). Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sekretariat Negara

UNFCCC. 2011. Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives Expressed as Percentage of
Base Year and Absolute Emission Levels. Durban: UNFCCC

40

Anda mungkin juga menyukai