Iai Fix Sekali
Iai Fix Sekali
1
I. Pendahuluan
Dewasa ini, kerusakan lingkungan hidup telah menjadi topik yang banyak dibicarakan dalam
dunia industri, termasuk di Indonesia. Kecenderungan tanggung jawab perusahaan terhadap kerusakan
lingkungan dimanipulasi melalui corporate social responsbility (CSR) kian memunculkan kontradiksi
yang bertolak belakang dengan kondisi dan tuntutan kerusakan lingkungan saat ini. Permasalahan
kerusakan lingkungan tidak sebatas CSR, namun dalam level yang lebih luas lagi muncul berbagai
permasalahan yang terkait dengan emisi karbon sebagai hasil gas buang aktivitas industri (Pratiwi,
2017), dimana 61% dari total gas rumah kaca diproduksi akibat pertumbuhan ekonomi yang
menggunakan minyak bumi, batu bara dan gas bumi (Beritagar.id, 2017). Pernyataan World Bank
(2015) menyebutkan bahwa 133 juta ha2 hutan di Indonesia hilang karena disebabkan penurunan
kualitas lingkungan, peristiwa bencana alam, dan terancamnya flora dan fauna (Firda Usy, 2016).
Kondisi tersebut tentu merupakan kondisi yang tidak berkelanjutan dari segi lingkungan, sosial dan
Indonesia sebagai negara dengan 70% wilayah hutan belum mampu menyelaraskan
peranannya dalam mengurangi emisi gas dunia. Deforestasi dan degradasi emisi gas karbon 60%
berasal dari Indonesia. Di sisi lain, dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4)
dinyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional
bagi setiap warga negara Indonesia, sehingga sudah seharusnya permasalahan emisi gas karbon
sebagai hasil aktivitas industri menjadi tanggung jawab bersama. Dalam rangka melakukan
berbagai organisasi dan institusi yang bertujuan untuk melakukan reduksi emisi gas karbon dunia,
diantaranya perjanjian Protokol Kyoto dalam Conference of the Parties (1997), Bali International
Conferencee (2007) dan menghasilkan Road Map (Sukardi, 2012:28-30), serta ASEAN-Japan Senior
Transport Officials Meeting (STOM) Leaders Conference (2009), dimana partisipasi ASEAN
tersebut, termasuk Indonesia diharapkan dapat menurunkan emisi CO2 dan mengendalikan pemanasan
Kontribusi Indonesia dalam mengurangi emisi gas karbon, telah memunculkan berbagai trend
baru dalam dunia industri, salah satunya ialah perdagangan karbon (gas emission allowance carbon
2
trading) sebagai mekanisme pengurangan emisi gas karbon berdasarkan perjanjian protokol kyoto
(Shodiq, 2015), yang dikenal dengan konsep The Cap-And-Trade (Ratnatunga, 2008:7). Berbicara
tentang perdagangan karbon, melalui peranannya dalam mengungkap dan menyajikan informasi,
profesi akuntan tentu memiliki peran yang sangat krusial. Akuntansi memegang peranan penting
dalam entitas terkait dengan segala upaya dan keputusan karena akuntansi merupakan sebuah bahasa
bisnis (bussnines language). Akuntansi menghasilkan informasi yang menjelaskan kinerja keuangan
dan non keuangan entitas dalam suatu periode tertentu dan kondisi keuangan entitas pada tanggal
tertentu. Informasi akuntansi tersebut dapat digunakan oleh para pengguna agar dapat membantu
pembuatan prediksi kinerja di masa mendatang, tidak terkecuali kinerja entitas bisnis dalam hal
mengelola lingkungan hidup. Berdasarkan informasi yang tersedia berbagai pihak dapat mengambil
keputusan strategi terkait dengan tujuan seluruh pemangku kepentingan. Paradigma tersebut telah
mendorong munculnya sebuah konsep bernama akuntansi karbon di Indonesia (Pratiwi, 2017). Akan
tetapi, sebagai alat pertanggung jawaban, penerapan perdagangan karbon dalam ranah akuntansi
karbon menimbulkan banyak polemik dan belum menemukan titik kejelasan hingga saat ini. Di
Indonesia sendiri, penerapan akuntansi karbon masih sulit untuk dikembangkan karena adanya
keterbatasan standar pengukuruan yang bersifat baku (Hariyani dan Martini, 2012).
Sampai dengan saat ini, International Financial Reporting Standard (IFRS) sebagai adopsi
dasar pedoman standar pelaporan (PSAK) di Indonesia masih belum menetapkan aturan mandatory
disclosure atas laporan emisi gas (Shodiq, 2015), dimana implementasi pelaporan emisi gas kini
masih bersifat voluntry disclosure (Pratiwi, 2017). Fakta ini bertolak belakang dengan tuntutan
konsep sustainability terhadap kerusakan lingkungan di Indonesia yang terus mengalami peningkatan
akibat emisi gas rumah kaca (GRK)1 dan tuntutan dari para stakeholder2 yang juga membutuhkan
laporan pertanggung jawaban terkait aspek emisi gas karbon untuk menganalisis kinerja perusahaan
terhadap lingkungan (Andrea, et.al., 2015). Profesi akuntan sebagai pihak yang terbeban dengan isu
pelaporan aktivitas entitas bisnis terhadap lingkungan mulai dituntut untuk dapat mulai
bertransformasi sedari kini dengan tidak lagi berorientasi kepada profit semata, namun juga terhadap
lingkungan serta manusia yang menjadi bagian di dalamnya. Hal ini juga didukung melalui konsep
Triple Bottom Line (TBL atau 3BL) yang diperkenalkan oleh John Elkington pada tahun 1997,
3
dimana People, Planet, dan Profit merupakan tiga pilar penting yang dapat digunakan untuk
Oleh karena itu, dalam rangka menyelaraskan tujuan pemerintah Indonesia yang tertuang
dalam berbagai regulasi dan kontribusi pada organisasi pengurangan emisi gas karbon, maka
fenomena yang ada menjadi sebuah tantangan dan peluang bagi profesi akuntan untuk bertransformasi
serta turut berkontribusi positif melalui konstruksi standar pelaporan emisi gas pada laporan keuangan
entitas yang disesuaikan guna mendukung industri perekonomian Indonesia berbasis keberlanjutan
(Utama, 2016).
Akuntansi Karbon (Carbon Accounting) merupakan bagian dari konsep akuntansi lingkungan
(green accounting) yang sedang dikembangkan saat ini (Norhasimah, et.al, 2016). Konsep Carbon
Accounting muncul dalam perjanjian Protokol Kyoto yang merekomendasikan adanya sistem ambang
emisi dan perdagangan karbon (carbon allowance trading) dalam rangka mengurangi emisi gas buang
perusahaan (Purwanti, 2012). Keputusan PBB (United Nation) dalam perjanjian Protokol Kyoto
mendefinisikan Carbon Accounting sebagai suatu proses akuntansi yang bertujuan untuk mengukur
jumlah karbon dioksida setara yang akan diilepas ke atmosfer sebagai hasil dari proyek-proyek
mekanisme fleksibel di bawah protokol kyoto. Istilah Carbon Accounting juga mengacu pada
perlakuan akuntansi untuk hak emisi karbon atau metode akutansi untuk tujuan pelaporan keuangan
sebagaimana secara tidak langsung dimaksudkan untuk mengukur jumlah dari emisi gas rumah kaca
Akuntansi karbon didefinisikan sebagai proses pengukuran, pencatatan dan pelaporan karbon
yang dihasilkan oleh perusahaan (Nizham, 2016), dimana secara harfiah akuntansi karbon
(Accounting for Carbon) merupakan akuntansi yang memasukan aspek-aspek karbon kedalam laporan
keuangan perusahaan (Taurisianti, 2014). Dalam praktiknya, akuntansi karbon tidak dapat dilepaskan
dengan proses perhitungan banyaknya karbon yang berhasil dikeluarkan, menetapkan target untuk
mengurangi gas, pembentukan sistem dan program pengurangan emisi, serta membuat laporan emisi
4
gas buang (Louis et.al., 2010). Tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas yang dihasilkan oleh
perusahaan demi tercapainya going concern operating based on sustainability concept (Pratiwi,
2017). Dalam konsep serupa, paradigma akuntansi karbon menurut Warren (2008), yaitu:
Secara sederhana, konsep yang sama dikemukakan bahwa akuntansi karbon akan sangat
berkaitan dengan proses pengukuran, pencatatan dan pelaporan karbon yang dihasilkan oleh
perusahaan (Dwijayanti, 2011). Sehingga dapat diartikan, Akuntansi Karbon (Accounting for Carbon)
melaporkan aspek-aspek emisi karbon yang dihasilkan perusahaan dalam laporan keuangan
perusahaan terkait dengan mengurangi emisi karbon untuk meningkatkan going concern for
sustainability business.
Dalam protokol Kyoto diperkenalkan suatu pendekatan dalam rangka mengurangi emisi gas
karbon yang disebut REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang
merupakan suatu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi negara
berkembang dalam pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan (Utama, 2014). Tentunya, Indonesia
berpeluang untuk memperoleh insentif ini, namun perlu adanya suatu bukti yang dapat diwujudkan
Akuntansi karbon merupakan fenomena yang sangat penting untuk merealisasi program
keberlanjutan atau yang sering disebut dengan sustainability report, telah menjadi hal yang wajib
dilaporkan oleh perusahaan sejak tahun 2017 (Otoritas Jasa Keuangan, 2014)
No Author Konten
5
1 Pratiwi (2017) Pengaruh Implementasi Laporan Gas Emisi
85 sample perusahaan.
Karbon
6
5 Taurisianti (2014) Dampak Laporan Emisi Gas Terhadap Nilai
Kewajiban Perusahaan
rasio perusahaan.
Accounting
Signalling Theory seringkali digunakan oleh para ahli dalam menjelaskan pengungkapan
sukarela (voluntary disclosure) dalam laporan sebuah perusahaan (Ross, 1977), walaupun diawal
kemunculannya signalling theory digunakan dalam mengklarifikasi asimetri informasi di pasar tenaga
kerja (Spence, 1973). Teori ini pernah digunakan dalam pengembangan voluntary disclosure pada
Berdasarkan penelitian Wolk et al. (2000) dalam Sari & Zuhrotun (2006), signalling theory
akan mengungkapkan sinyal-sinyal atas segala informasi yang diungkapkan oleh perusahaan yang
nantinya akan mempengaruhi para pengguna dalam pengambilan keputusan. Informasi keuangan &
non-keuangan perusahaan yang dapat dipercaya akan memberikan dampak positif berupa intangible
benefit pada entitas sehingga dapat digunakan sebagai prediksi masa depan suatu entitas tersebut.
Sehingga, pengungkapan laporan emisi gas buang perusahaan yang disajikan akan memberikan
7
Perusahaan akan selalu berupaya untuk meningkatkan legitimasi dari masyarakat berkaitan
dengan kegiatan operasional perusahaan. Teori legitimasi berfokus pada hubungan perusahaan dan
masyarkat terkait legitimasi yang akan diberikan kepada pihak perusahaan melalui pengungkapan
yang dilaporkan sebagai jembatan (Gray et.al., 1996). Legitimasi akan diperoleh perusahaan apabila
telah menemukan adanya kesepahaman tujuan yang sama antara perusahaan dan masyrakat (Deegan
dan Unerman, 2006). Dalam beberapa penelitian, pengungkapan laporan emisi gas akan berpengaruh
menggunakan informasi laporan aktivitas yang diungkapkan. Menurut Freeman (1984), stakeholder
adalah “kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan
perusahaan”. Stakeholder sendiri terdiri atas pemegang saham, kreditur, karyawan, pelanggan,
kelompok kepentingan publik dan badan-badan pemerintah. Menurut Clarksop (1995) berdasarkan
mempengaruhi going concern perusahaan secara langsung dan stakeholder sekunder adalah bagian
yang mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan, namun mereka tidak berhubungan dengan transaksi
perusahaan dan tidak esensial kelangsungannya. Dalam hal ini, stakeholder sangat membutuhkan
laporan terkait emisi gas dan GRK sebagai alat analisis kinerja pada saat terjadi perubahan iklim
Isu pertanggung jawaban sosial dan lingkungan, termasuk akuntansi karbon (carbon
accounting) bagi perusahaan saat ini menjadi sebuah tolok ukur keberhasilan kinerja perusahaan
melalui laporan aktivitas yang disajikan. Enterprise Theory mengembangkan konsep bahwa,
tidak hanya dikembangan laporan untuk pemegang saham namun juga kepada seluruh masyarakat dan
penggunanya yang memberikan kontribusi langsung maupun tidak langsung. Terkait laporan emisi
gas sebagai laporan tambahan (tergabung dalam laporan lingkungan) dalam laporan keuangan bagi
perusahaan dinilai sebagai bentuk pengungkapan informasi yang lebih transparan atas aktivitas
8
perusahaan, tidak hanya kepada para pemegang saham, namun kepada seluruh masyarakat dan
penggunanya.
Akuntansi Karbon mulai berkembang dengan munculnya ratifikasi dari The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atas perjanjian internasional Protokol Kyoto
sejak tahun 1997 yang mengharuskan adanya pengukuran, pengakuan, pecatatan, pelaporan,
penyajian dan pengngkapan laporan emisi karbon (Basuki, 2016). Perjanjian internasional ini terdiri
atas 188 negara yang tergabung untuk menjalankan misi pengurangan gas rumah kaca (GRK), yaitu:
Clean Development Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI), dan Emission Trading (ET)
dimana diantara ketiga konsep tersebut, ketiganya menyatakan bahwa negara-negara maju yang
tergabung sebagai negara (Annex I) yang terdiri dari 43 negara, diwajibkan untuk mengurangi emisi
gas industrinya serta melaporkan kondisi emisi gas dalam annual report, sedangkan bagi negara
berkembang (Non-Annex I) tidak diwajibkan, namun tetap harus melaporkan status emisinya
Climate Change of Indonesia (2012) konsep yang banyak digunakan untuk mengurangi emisi gas
9
Gambar 1. Transaksi Perdagangan Karbon (Carbon Trading)
Menjual
Defisit
Dalam sebuah peneilitian yang dilakukan M. J. Shodiq (2015), pada level antar negara carbon
trading sangat gencar dicanangkan dengan berbagai tujuan, seperti antara Indonesia dan Australia,
dimana negara yang melebihi limits emisi karbon tertentu dapat membeli sisa limits karbon negara
lain yang dialokasikan (Ratnatunga, 2008:7). Konsep inilah yang dikenal dengan Cap-And-Trade
(berdasarkan CAP) dalam Protokol Kyoto. Model perdagangan karbon (Gas Emission Allowance
Trading) sebagai salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto digambarkan sebagai:
2. Perusahaan yang memiliki emisi CO2 kurang dari batas maksimal akan memiliki nilai kredit
yang dialokasikan
3. Perusahaan yang memiliki emisi CO2 lebih dari batas maksimal dapat membeli kredit dari
dengan mekanisme jual-beli, artinya akan ada dua pihak yang berkaitan yakni pihak yang
menghasilkan karbon akan membayar sejumlah dana kompensasi kepada pihak yang berpotensi
menyerap karbon, sedangkan pihak yang memiliki potensi penyerapan karbon akan melakukan offset
atas kemampuan serap karbon yang dimiliki dengan potensi karbon yang dihasilkan.
10
Apabila hasil offset perusahaan memiliki surplus potensi serap karbon, maka perusahaan
dapat menjual surplus potensi serap karbon tersebut ke perusahaan yang mengalami defisit potensi
serap karbon. Sebaliknya, apabila hasil offset perusahaan mengalami defisit serap karbon, maka
perusahaan akan membayar jasa lingkungan serap karbon kepada perusahaan yang memiliki surplus
Konsep serupa dikemukakan dalam Protokol Kyoto dimana Indonesia telah meratifikasinya
untuk turut serta berdasarkan UU No.17 tahun 2004 untuk mengurangi dampak emisi gas (Nizham,
2016) yang telah ditandatangani oleh beberapa negara, termasuk Indonesia untuk melakukan
perdagangan emisi gas (Pratiwi, 2017). Menurut KPMG (2008) konsep inilah yang melatarbelakangi
munculnya pengukuran, pengakuan, pencatatan dan penyajian aspek-aspek karbon dalam perusahaan
yang kemudian dikenal dengan Accounting For Carbon (Taurisianti, 2014). Menurut penelitian
KPMG UK (2008) untuk menerapkan Accounting For Carbon disetiap negara masih mengalami
banyak kekacauan, karena belum adanya standar yang memenuhi untuk permasalahan tersebut
termasuk IFRS (International Financial Reporting Standart) yang belum memiliki standar pelaporan
Di Indonesia sendiri, penerapan akuntansi karbon sulit untuk dikembangkan karena adanya
keterbatasan standar pengukuruan yang baku (Hariyani dan Martini, 2012). Dalam Laporan
Lingkungan ICAEW (2015) The European Emissions Ttrading Scheme (EU ETS) yang telah
beroperasi sejak 1 Januari 2005, dimana IFRIC 3 yang aktif bulan Juni 2005 sebagai “guidance of
CO2 gas emission trading” dinilai sudah tidak konsisten lagi sebagai pedoman perdagangan karbon
(Alvarez.et.al, 2016).
Di Indonesia penerapan laporan akuntansi karbon masih sangat rendah, karena masyarakatnya
(local wisdom) sendiri belum memiliki tanggung jawab terkait gas emisi buang dan standar pelaporan
yang bersifat voluntry disclosure (Basuki, 2016). Pandangan yang sama dikemukakan dalam laporan
International Emission Trading Association (IETA) pada tahun 2010. Kecenderungan perusahaan
11
menyajikan laporan emisi karbon perusahaan secara sukarela (voluntry disclosure) untuk membantu
pengungkapan lingkungan (Najah, 2012), Buniamin (dalam Norhasimah, et.al, 2016), dimana
pengungkapannya merupakan bagian dari pengungkapan tambahan sesuai dengan PSAK 1 (Revisi
2009). Pengungkapan ini berkaitan dengan intensitas emisi gas GHG, penggunaan energi, corporate
governance, dan strategi yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim menurut Najah, (2012)
dalam Nizham (2016). Pengungkapannya emisi karbon perusahaan sebagai pelaku usaha dapat
Menurut Buniamin, berdasarkan FRS (Financial Reporting Standard) 101 Paragraf 10 yang
menyatakan bahwa laporan lingkungan disajikan sebagai laporan tambahan pada laporan keuangan
bagi entitas (dalam Norhasimah, et.al, 2016). Hal ini ditujukan bahwa akan ada dampak positif
terhadap kinerja keuangan perusahaan yang berdampak pada minat para investor dan kelompok
stakeholder untuk berkontribusi pada perusahaan yang memiliki keperdulian terhadap lingkungan,
dimana konsep tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Haslinda and Glen (2006)
berkaitan dengan bisnis keberlanjutan (Business Sustainability). Menurut Perry et al (2011) ada
dampak yang secara langsung diterima entitas terkait pengungkapan laporan emisi gas pada laporan
improvement”
Pelaporan aktivitas lingkungan akan berhubungan erat dengan profit margin entitas
(Norhasimah, et.al, 2016), dimana pengungkapan laporan emisi gas beserta pengeluaran biaya atas
reduksi emisi gas akan menyebabkan perusahaan tidak dapat memperoleh laba maksimum, namun
dapat memperoleh laba optimum dalam jangka panjnag. Sehingga pengungkapan laporan emisi gas
12
Kemunculan isu perdagangan karbon pada level antar negara telah mendorong berbagai
institusi untuk ikut andil dalam mendorong program reduksi emisi gas buang aktivitas usaha
sebagai IFRIC-3 pada tahun 2004 merupakan standar pelaporan yang pernah digunakan atas
perdagangan karbon (Carbon Allowance Trading) sesuai dengan International Accounting Standards
(IAS). Namun fungsional dari standar IFRIC-3 dinilai tidak konsisten dan banyak kontroversi setelah
enam (6) bulan dipublikasikan (Alvarez.et.al, 2016), sehingga sebagai terobosan selanjutnya,
International Accounting Standards Board (IASB) memulai sebuah project standar untuk pelaporan
perdagangan karbon yang disesuaikan dengan Financial Accounting Standards Board (FASB) pada
Desember 2007.
Perkembangan selanjutnya, pada Desember 2012 pihak IASB secara resmi mengaktifkan
kembali project tersebut sebagai research project of IASB dan dibedakan kerjasama dengan FASB,
sebagai hasilnya IASB mengubah nama project tersebut dari Emission Trading Schemes menjadi
Pollutant Pricing Mechanisms. Namun, saat ini standar yang banyak digunakan sebagai pedoman
(guidelines) dari standar akuntansi untuk perdagangan karbon adalah The United Nation Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), yaitu National Carbon Accounting Standards (NCAB)
Konsep tersebut hingga saat ini banyak menuai kontradiksi arah negatif, sehingga munculah
The Voluntary Carbon Standard (VCS), merupakan organisasi diluar UNFCCC yang bergerak dalam
usaha mengurangi emisi gas yang mulai berkumpul sejak tahun 2010 (Bird, et.al, 2010). Dari
berbagai paradigma yang muncul, konsep yang masih belum menemukan titik terang terkait sifat
pelaporan aktivitas emisi gas buang perusahaan yang masih bersifat voluntary disclosure. Di
Indonesia, permasalahan emisi gas (karbon) memiliki ruang lingkup tersendiri dimana akuntansi
karbon turut berkontribusi dan menjadi lingkup transformasi kegiatan Perusahaan Gas Negara (PGN)
hingga saat ini (Utama, 2016). Sehingga, perlu adanya standar baku terkait laporan emisi gas buang
13
industri yang berterima umum di Indonesia. Standar baku juga diperlukan untuk menghasilkan
b. Regulasi Di Indonesia
Berbagai Regulasi di Indonesia secara resmi dikeluarkan untuk menunjang adanya aktivitas
pertanggung jawaban perusahaan berbasis lingkungan yang berkelanjutan. UU nomor 6 Tahun 1994
tentang pengesahan (UNFCCC) The United Nations Framework Convention on Climate Change
Parties (COP) III dan menghasilkan Protokol Kyoto yang mengatur para pihak negara industri secara
UU Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations
Framework Convention on Climate Change ditandangani oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 22
April 2016 di New York, Amerika Serikat ini bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua
negara masing-masing, dan memberikan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan
berdasarkan kemampuan dan memberikan tanggung jawab kepada negara-negara maju untuk
menyediakan dana, peningkatan kapasitas, dan alih teknologi kepada negara berkembang. Regulasi
lain (terlampir) turut memberikan kontribusi sebagai langkah eskalasi reduksi emisi gas karbon.
Desain Penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah grounded theory, yaitu
dengan menggunakan data dari hasil studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif yang
bertujuan untuk menghasilkan suatu pengetahuan dan teknologi yang baru yang dapat
dipergunakan dalam praktik akuntansi khususnya terkait dengan pelaporan emisi gas karbon
Penulisan ini memperoleh seluruh informasi dan data yang relevan melalui metode
dokumentasi kajian literatur dengan memanfaatkan berbagai sumber tertulis yaitu jurnal-
14
jurnal terdahulu, buku-buku literatur, disertai dengan fenomena-fenomena relevan yang
Penulisan ini terbagi menjadi 5 (lima) bagian dengan sistematika sebagai berikut:
pembahasan
informasi yang telah dikaji dari rumusan masalah dan pemberian solusi yang
relevan
IV. Pembahasan
Dorongan
2. Munculnya berbagai peraturan terkait dengan pengurangan gas emisi, sebagaimana terdapat
pada UU 32 tahun 2009, UU 61 tahun 2011, dan UU 71 tahun 2011 yang mengharuskan
perusahaan untuk berbagian dalam tindakan mitigasi tersebut. Kepatuhan terhadap peraturan
15
yang berlaku merupakan salah satu cara dalam menjamin keberlangsungan usaha dalam
jangka panjang dikarenakan adanya sanksi pencabutan izin usaha perusahaan yang
melanggar.
3. Roadmap Keuangan Keberlanjutan (2014) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
4. Terdapat berbagai program penilaian yang disertai dengan pemberian penghargaan bagi
Lingkungan Hidup (PROPER) sebagai bagian dari kemeterian lingkungan hidup yang
mendorong perusahaan adar taat peraitran dan mencapai keunggulan lingkungan melalui
5. Akuntansi karbon sebagai suatu strategi mitigasi yang multifungsi karena dengan mengurangi
penggunaan emisi gas rumah kaca, suatu entitas dapat menghasilkan tambahan penghasilan
dari penjualan kelebihan potensi penyerapan gas emisi, yang kemudian dapat diklasifikasikan
sebagai pendapatan lain-lain dan dilaporkan dalam laporan laba rugi entitas.
gas rumah kaca, pelaporan, dan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim yang semakin
mendorong pengelolaanaksi-aksi pengurangan gas emisi rumah kaca, salah satunya melalui
7. Krisis lingkungan yang sedang terjadinya telah meningkatkan kesadaran publik terhadap
lingkungan yang secara tidak langsung juga telah meningkatkanpengawasan publik terhadap
praktik-praktik usaha yang mencemari lingkungan. Hal ini tentunya menjadi pertimbangan
jangka panjang dan reputasi (brand image) perusahaan, baik secara nasional maupun
internasional.
Hambatan
16
1. Bagi perusahaan yang memiliki emisi gas rumah kaca melampaui ambang batas yang
membeli potensi penyerapan emisi yang dialokasikan daripada menurunkan sendiri. Hal ini
berkaitan dengan tingginya tingkat kerumitan dan biaya yang ditimbulkan jika perusahaan
ingin mengurangi sendiri emisinya, mulai dari memperbaharui teknologi, merekrut sumber
2. Penerapan akuntansi karbon di Indonesia masih sangat rendah, karenalocal wisdom dari
masyarakatnya sendiri belum memiliki kesadaran dan tanggung jawab terkait dengan usaha
mitigasi gas emisi rumah kaca. Sukenti (2008) mengkaji bahwa kemajuan masyarakat industri
eksploitasi sumber daya alam secara tak terkendali sehingga menimbulkan kerugian yang
3. Regulasi pemerintah terkait dengan pelaporan emisi gas rumah kaca di Indonesia belum rigid.
Regulasi yang berlaku di Indonesia saat ini hanyalah sebatas membahas lingkungan secara
luas, namun tidak terdapat regulasi yang secara terperinci membahas terkait gas emisi rumah
kaca. Ketidaksediaan regulasi yang rigid ditambah dengan local wisdom masyarakat yang
belum memiliki kesadaran akan bahayanya gas emisi rumah kaca telah menghambat
kualitatifnya. Namun, untuk akuntansi karbon sendiri belum terdapat standar akuntansi yang
mengatur sehingga tidak memenuhi karakteristik kualitatif keterbandingan (IASB, 2010) dan
tidak terdapat pedoman dalam menyusun pelaporan terkait akuntansi karbon. Alhasil,
bagi setiap pembaca dan tidak menutup kemungkinan menuntun pengguna informasi kepada
17
5. Penurunan emisi gas memerlukan modal yang cukup besar di awal, dengan demikian tidak
jarang keterbatasan dana menghambat suatu perusahaan untuk berbagian dalam aksi mitigasi
gas emisi rumah kaca. Namun, penundaan penurunan emisi saat ini akan menimbulkan biaya
6. Rendahnya sumber daya manusia yang tersedia di Indonesia tidak mendukung terealisasinya
akuntansi karbon dengan cepat karena lamanya waktu dan tingginya biaya pembelajaran dan
7. Saat ini belum terdapat mekanisme pengendalian dan pengawasan terkait upaya pelaporan
aspek emisi karbon yang rigid sehingga banyak perusahaan yang mengabaikan hal
8. Perdangangan kerbon saat ini belum memiliki mekanisme penetapan harga karbon yang jelas,
menjadi hambatan.
9. Usaha mitigasi emisi gas rumah kaca memerlukan teknologi yang ramah lingkungan dan
mampu menyerap limbah gas rumah kaca. Namun, sebagai negara yang berkembang
Indonesia masih tertinggal dalam segi teknologi sehingga menghambat usaha mitigasi itu
sendiri.
10. Praktik perdagangan karbon lebih dapat dilakukan pada kondisi ekonomi yang stabil, yaitu
suatu kondisi masyarakat yang secara umum telah memiliki tingkat kesejahteraan yang
memadai sehingga mereka memiliki cukup modal, baik untuk melakukan aksi mitigasi
4.2 Rekomendasi
Seperti yang telah kita ketahui, penerapan akuntansi konvensional yang berorientasi
signifikan, termasuk dalam hal pencemaran emisi karbon melalui aktivitas industri
perusahaan. Data emisi 2017 menunjukkan jelas bahwa diperlukan pengurangan emisi yang
18
mendesak dan sangat serius untuk menghentikan pemanasan global di bawah dua derajat
celcius, seperti yang disepakati dengan aklamasi di Paris, kata Stefan Rahmstorf, ilmuwan
iklim di Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim di Jerman (Putra, Lutfy Mairizal,
bersifat pervasif/berpengaruh luas harus mulai bertransisi dari sistem pelaporan akuntansi
karena tidak terdapat sebuah pedoman yang menjelaskan secara rinci metode pengakuan,
pengukuran, dan perhitungan biaya-biaya yang terkait dengan upaya mitigasi gas emisi
karbon, serta bagaimana menyajikannya sehingga apa yang dilaporkan oleh perusahaan
hanyalah sebatas pelaporan aktivitas lingkungan, dimana hal tersebut tidaklah cukup
ini, banyak perusahaan yang telah terjebak pada sebuah pencitraan, sehingga aktivitas yang
disampaikan dalam laporan tahunan sebenarnya tidak menunjukkan sebagai sebuah aktivitas
yang berkelanjutan. Oleh karena itu, langkah pertama yang perlu diambil adalah dengan
menciptakan suatu pedoman berupa sebuah standar akuntansi yang dapat meningkatkan
kualitas laporan keuangan perusahaan melalui adanya metode pengakuan, perhitungan, dan
pelaporan serta pengungkapan biaya yang memadai sehingga laporan keuangan tidak lagi
operasional perusahaan dan aspek lingkungan yang mempengaruhi. Dalam membuat standar
pelaporan, dibutuhkan partisipasi dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi
profesi untuk menyusun suatu standar pelaporan baku yang dapat diterapkan di Indonesia
dimana tidak hanya mengatur hal-hal yang bersifat kualitatif tetapi juga kuantitatif terkait
biaya-biaya mitigasi emisi karbon dan perhitungannya sebagai akibat siklus operasi
belumberkembang, standar yang baru harus dibuat dengan sesederhana dan semudah mungkin
19
perusahaan dalam bidang industri di Indonesia. IAI dapat mempermudah standar pelaporan
kuantitatif tersebut dengan memberikan suatu formulir yang berisikan aspek-aspek yang harus
diakui dan dilaporkan beserta bagaimana metode implementasi yang tepat. IAI dapat
mengadopsi dan menyederhanakan dari pelaporan carbon accounting yang telah diterapkan
oleh negara-negara maju berbasis International Financial Reporting Standards (IFRS) yang
dibandingkan dengan laporan keuangan perusahaan lain secara global. Selanjutnya penulis
akan memberikan sebuah rekomendasi terkait dengan pos-pos yang dapat diakui, diukur, dan
dilaporkan serta disajikan terkait dengan carbon accounting sebagai upaya mitigasi emisi
karbon di Indonesia.
a. Carbon Allowances
teridentifikasi tanpa wujud fisik, dengan karakteristik utama sebuah aset tak berwujud yakni
perolehan yang dapat diukur secara andal, dan tentunya tidak memiliki wujud fisik. Sesuai
dengan definisi tersebut, maka dalam kondisi surplus emisi gas karbon, yaitu keadaan dimana
emisi yang dihasilkan suatu entitas dibawah ambang batas emisi gas karbon dan memiliki
potensi penyerapan karbon atau carbon allowances, maka potensi penyerapan karbonyang
dimiliki oleh entitas tersebut dapat diakui sebagai aset tak berwujud. Namun, pengakuan
potensi ini tidak memilikiumur manfaat yang terdefinisi dengan jelas, sehingga harus
dikategorikan sebagai indefinitive intangible asset.Hal ini sejalan dengan perlakuan akuntansi
di negara-negara yang lain, seperti Australia dan negara-negara di Eropa yang mengakui
Namun, bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh ACCA bersama dengan IETA
dalam Accounting for Carbon menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan memiliki
perlakuan akuntansi yang sedemikian. Terdapat juga perusahaan yang mengakuinya sebagai
20
persediaan (hal ini berkaitan dengan adanya tranksaksi perdagangan emisi karbon) sehingga
potensi penyerapan karbon tersebut dapat diklasifikasikan sebagai persediaan. Hal ini sejalan
dengan PSAK 14 yang mendefinisikan persediaan sebagai suatu aktiva yang: (1) tersedia
untuk dijual dalam kegiatan usaha normal(2) dalam proses produksi untuk penjualan tersebut,
(3) dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau
pemberian jasa. Dengan demikian, surplus emisi karbon yang dapat dijual oleh suatu entitas
Selanjutnya, ketika surplus emisi karbon yang dimiliki oleh suatu entitas dijual, maka
entitas terkait pun dapat mengakui pendapatan atas transaksi penjualan penjualan tersebut
yang kemudian diklasifikan menjadi pendapatan dari luar usaha, karena perndapatan tersebut
bukan merupakan hasil dari operasi utama dari perusahaan tersebut (PSAK 1, 2010).
Bedasarkan 5-steps-model revenue recognition dalam IFRS 15 yang kemudian diadopsi oleh
Indonesia dalam ED PSAK 72, pengakuan atas pendapatan atas penjualan tersebut dapat
dilakukan hanya ketika kewajiban sebagai penjual potensi penyerapan emisi telah terpenuhi
(asset-liability approach).
Bertentangan dengan kondisi tersebut, ketika suatu entitas mengalami defisit, yaitu
kondisi emisi yang dihasilkan melampaui ambang batas penggunaan emisi yang
diperbolehkan, maka muncul kewajiban bagi entitas terkait, baik kewajiban berupa
pembayaran denda, kewajiban untuk mengurangi emisi gas karbon, maupun kewajiban untuk
membeli potensi penyerapan emisi karbon dari entitas lain melalui mekanisme perdagangan
emisi gas karbon. Bedasarkan konsep akuntansi konservatisme, maka entitas terkait wajib
diakui sebagai kewajiban kontijensi dan didasarkan oleh tingkat kemungkinan terjadinya
kewajiban tersebut. Entitas wajib mengungkapkan kewajiban terkait dengan denda atau
kewajiban terkait usaha pengurangan emisi hingga ambang batas yang diperbolehkandalam
Catatan atas Laporan Keuangan jika tingkat kemungkinan terjadinya sebesar 5-50% dan
mengakui kewajiban tersebut dalam laporan keuangan entitas jika kemungkinan terjadinya
21
Jika entitas memilih membeli jatah penyerapan emisi karbon dari entitas lain, maka
operasional perusahaan ketika nilainya tidak material, namun jika nilainya material maka
Mesin pengurang emisi merupakan teknologi yang sangat dibutuhkan dalam usaha
meminimalisasi gas emisi karbondalam proses operasionalnya, baik oleh perusahaan yang
melampaui ambang batas konsumsi gas emisi karbon maupun oleh perusahaan yang masih
berada di bawah batas dengan tujuan agar emisi yang dihasilkannya tetap terkendali. Terkait
dengan hal tersebut, banyak perusahaan yang memutuskan untuk membeli ataupun merakit
teknologi-teknologi tersebut demi menekan emisi gas karbon mereka untuk jangka panjang.
Tidak jarang pula praktik sewa atas mesin-mesin yang dapat menekan emisi perusahaan
dilakukan jika suatu perusahaan tidak memiliki cukup modal untuk membeli atau merakit
teknologi tersebut.
Bedasarkan hal tersebut, maka mesin pengurang emisi memenuhi kriteria sebagai aset
tetap yang tercantum dalam PSAK 16, yaitu: (1) merupakan aktiva berwujud (2)dimiliki
untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada
pihak lain, atau untuk tujuan administratif, dan (3) diharapkan untuk digunakan selama lebih
dari satu periode. Dengan demikian, pengakuan atas mesin tersebut dilakukan sebesar biaya
perolehannya, dimana biaya perolehan meliputi harga perolehan dan biaya-biaya yang dapat
didistribusikan secara langsung kepada mesin tersebut hinggamesin siap digunakan sesuai
dengan intensi manajemen, seperti biaya perakitan dan instalasi, biaya pengujian aset, dan
lain sebagainya.
c. Trustperformance
manfaat jangka panjang, namun hal ini tidak dapat dilaporkan dalam laporan keuangan
22
sebagai suatu aset dikarenakan biaya perolehannya yang tidak dapat diukur secara andal
sehingga tidak memenuhi kriteris sebagai aset, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud.
Public Listed Company (PLC) mengakui peningkatan trustperformance ini sebagai aset tak
berwujud, yang disebut Environmental on Heald. Praktik ini mendukung konsep Triple
Bottom Line yang tidak hanya berorientasi pada profit, tapi juga memperhatikan aspek planet
dan people. Praktik ini juga mendukung urgensi dunia terhadap pengungkapan aspek-aspek
yang terkait dengan lingkungan. Dengan demikian perusahaan di Indonesia pun sebaiknya
3. Pengukuran:
a. Carbon allowances
perusahaan mengalami surplus emisi gas karbon maka biaya pemerolehannya adalah nol (0).
dilakukan sebesar nilai yang dibayarkan. Selanjutnya, pengukuran setelah pengukuran awal
dilakukan dengan penyesuaian terhadap nilai wajar, agar nilai carbon allowance yang
dilaporkan entitas senantiasa menunjukkan nilai yang relevan dengan kondisi pasar
perdagangan emisi dan kondisi perubahan iklim dunia. Disamping itu, terkait dengan konversi
nilai carbon allowances ke dalam satuan nilai rupiah, dapat dilakukan kerjasama yang
memadai dengan Kementeriaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pihak
appraisal atau penilai terkait dengan fungsinya dalam pelaksanaan bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan urusan penyelenggaraan pemantapan kawasan hutan dan penataan
lingkungan hidup secara berkelanjutan dan pengelolaan konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya untuk menciptakan nilai wajar bagi pengukuran pos carbon allowances bagi
perusahaan-perusahaan di Indonesia.
23
Mesin sebagai aset tetap harus diakui sebesar biaya perolehannya dan saat aset
tersebut diperoleh perusahaan. Berdasarkan PSAK 16, pengukuran awal biaya perolehan aset
tetap adalah setara dengan nilai tunai yang diakui pada saat terjadinya. Jika pembayaran suatu
aset ditangguhkan hingga melampaui jangka waktu kredit normal, maka perbedaan antara
nilai tunai dengan pembayaran total diakui sebagai beban bunga kecuali dikapitalisasi sesuai
dengan PSAK 26. Apabila perusahaan menerima bantuan hibah pemerintah, maka nilai
tercatat aset tetap harus dikurangi dengan hibah tersebut sesuai dengan PSAK 61. Dan apabila
perusahaan memilih untuk memperoleh mesin tersebut melalui sewa guna usaha, maka dicatat
pengukuran awal yang terdiri dari model biaya dan model revaluasi, dimana setiap model
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model biaya mengukur aset sesuai
dengan biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
nilai wajar aset secara andal oleh seorang atau lebih appraisal atau penilai pada tanggal
revaluasi, kemudian dikurangi wajar untuk revaluasi ini harus dilakukan dengan keteraturan
yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material
c. Trust Performance
Penyajian Pengungkapan
Carbon Allowances
- Aset Tak Berwujud Laporan posisi keuangan, pada Pengungkapan jenis aset tak
24
sesuai dengan pengukuran Laporan Keuangan (CALK)
periode berjalan
pendapatan lain-lain.
material)
- Aset Tetap Laporan posisi keuangan, pada Pengungkapan jenis aset tetap,
penyusutannya
Trust Performance
25
- Aset Tak Berwujud Laporan posisi keuangan, pada Pengungkapan jenis aset tak
periode berjalan
informasi segala aktivitas perusahaan yang diungkapkan melalui laporan perusahaan yang
akan menimbulkan sinyal-sinyal positif sebagai umpan balik dari para penggunanya
b. Perusahaan yang telah mengungkapkan adanya laporan perubahan iklim dan gas emisi
akan meningkatkan legitimasi masyarakat karena dinilai memiliki tanggung jawab yang
lebih besar (Jannah, 2014), konsep tersebut sejalan dengan legitimacy theory.
c. Dalam penelitian Pratiwi (2017) mengindikasikan bahwa laporan aspek gas emisi sangat
Laporan terkait emisi gas mampu membangun image positif perusahaan, menambah nilai
dan membantu pembangunan yang berkelanjutan, maka hal tersebut telah sejalan dengan
stakeholder theory.
Hubungan antara pelaporan peruabahan iklim atas emisi gas akan berpengaruh positif
terhadap perolehan kredit dan investasi (D’Amico et.al., 2014), dimana apabila perusahaan
mengungkapkan laporan atas kondisi emisi gas akan mempengaruhi keputusan evaluasi
kinerja perusahaan untuk memberikan pinjaman dan berinvestasi (Basuki, 2016). Kegagalan
26
atas utang sering terjadi karena tidak adanya laporan perubahan iklim emisi gas (Freedman
Manfaat atas penerapan akuntansi karbon akan dirasakan oleh perusahaan daam
jangka panjang, karena perusahaan telah memiliki value added dan customer value sehingga
Perkembangan ekonomi saat ini telah memberikan tantangan baru bagi akuntan setiap
perusahaan untuk lebih transparan dan akuntabel terhadap segala aktivitas yang dilakukan
melalui laporan pertanggung jawaban tahunan (annual report) (Pratiwi, 2017). Salah satunya
adalah pengungkapan laporan Green House Gas (GHG) yang meliputi corporate governance
dan strategi terkait perubahan emisi gas (Cotter et.al., 2011) yang menjadi isu kontradiksi saat
ini.
Laporan terkait kinerja emisi gas akan memberikan value added bagi para
stakeholdernya. Kinerja keuangan perusahaan dinilai baik tidak hanya ketika perusahaan
mampu memberikan keuntungan yang efektif, namun akan dinilai memiliki kinerja yang baik
jika memiliki nilai lebih dimata para stakeholdernya, yakni kepedulian dalam hal eksistensi
Perusahaan yang melakukan pengurangan emisi gas dan membuat laporan aktivitas
atas nilai emisi gas buang perusahaan akan mengidentifikasi bahwa perusahaan telah
melakukan penekanan emisi karbon (Pratiwi, 2017). Laporan emisi gas akan mempermudah
pengambilan keputusan atas kinerja emisi gas perusahaan bagi pihak stakeholder, baik pihak
Market Share
27
Trust Quality
berbanding lurus yang diartikan bahwa kenaikan kepercayaan masyarakat atas pengelolaan
gas emisi perusahaan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan market share
perusahaan.
Dengan adanya laporan pertanggung jawaban aktivitas emisi gas akan memberikan
dampak secara langsung kepada masyarakat bahwa tidak ada dampak negatif terkait emisi gas
Laporan emisi gas seringkali digunakan sebagai tolok ukur manajemen produksi
berbasis ekologi, sehingga semakin jelas tolok ukurnya semakin jelas pula arah manajemen
lingkungan ke arah carbon accounting (Shodiq dan Lisa Kartikasari, 2012). Melalui laporan
emisi gas turut berkontribusi dalam pelaksanaan manajemen lingkungan sehingga mampu
(Ratnatunga, 2007).
10. Membantu Pengambilan Keputusan saat Terjadi Perubahan Iklim bagi Para Stakeholder
menganalisis kinerja perusahaan saat terjadi perubahan iklim (Andrea et.al., 2015) yang
Laporan emisi gas akan mengungkapkan segala aspek-aspek terkait emisi gas dimana hal
tersebut akan mengurangi adanya biaya Bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead
28
pabrik dan lingkungan, serta manajemen resiko lingkungan (Ratnatunga, 2007) dalam
(Basuki, 2016)
Laporan lingkungan terkait emisi gas akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan terhadap keberlanjutan lingkungan karena perusahaan yang peka terhadap sektor
lingkungan akan lebih termotivasi untuk mengurangi emisi gas karbon (Reid and Toffel,
2009), dimana pelaporannya digunakan untuk mengelola dan menilai resiko bisnis yang
berkaitan dengan lingkungan dan iklim (Pratiwi, 2017) (Lash dan Welington, 2007).
Pemerintah memiliki wewenang untuk mencabut hak izin usaha perusahaan yang
terbukti merusak lingkungan apabila melanggar regulasi syarat izin usaha dan diperkuat
dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 berkaitan dengan usaha berkelanjutan. Sehingga, diantara
mekanisme tersebut pemerintah telah memaksa perusahaan untuk membuat laporan aktivitas
Dengan dikeluarkannya protokol kyoto, perusahaan yang merasa memiliki gas emisi
buang diatas batas limits, maka perusahaan akan menanggung kredit dengan mengeluarkan
biaya atas denda gas buang emisi tersebut dan membeli limits perusahaan yang dialokasikan
(Shodiq, 2015).
Berbanding terbalik dengan sebelumnya, sesuai dengan mekanisme protokol kyoto berkaitan
dengan Carbon Trading, perusahaan yang mampu mengurangi emisi gasnya dapat menjual
sisa CAP Limit, sehingga akan memperoleh penerimaan atas perdagangan carbon tersebut.
Sebagai umpan baliknya, perusahaan yang mampu mengurangi gas emisi buang dan
dibuktikan dengan laporan keuangan atas emisi gas maka akan memperoleh reward dari
pemerintah sebagai bagian dari usaha mengurangi emisi gas (sesuai dengan kebjakan setiap
29
negara). Di Indonesia, hal ini tercermin berdasarkan UU Nomor 61 tahun 2011 terkait
Laporan emisi gas akan sangat membantu perusahaan untuk terhindar dari adanya
tuduhan dan ancaman dari masyarakat sekitar perusahaan berdiri, sehingga mamputeralihkan
dari adanya tuntutan untuk resiko jangka panjang berkaitan dengan lingkungan dari lapisan
yang berusaha secara sadar untuk melakukan pengurangan emisi gas buang akan memerlukan
biaya yang tinggi diawal, karena harus mengeluarkan biaya atas pembelian alat berat
pengurang emisi gas karbon dalam aktivtas peduli lingkungannya. Namun, pos investasi ini
dalam jangka panjang akan segera memberikan sinyal positif, seiring dengan menurunnya
perolehan nilai laba perusahaan. Dalam jangka pendek ketika program dilaksanakan
perusahaan cenderung akan memperoleh laba optimum. Hal ini dikarenakan ada biaya
lingkungan yang tetap harus dialokasikan (AICPA, 2004 dan Volosin, 2008). Namun, dalam
jangka panjang perusahaan akan meningkatkan laba nya menjadi laba maksimum.
berkompeten dalam bidangnya dengan biaya yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan
tidak melaksanakan akuntansi karbon. Namun, jika dikaji lebih jauh hal tersebut justru
menguntungkan bagi perusahaan dikarenakan dapat dikategorikan sebagai nilai tambah (value
added) perusahaan.
30
V. Penutup
31
LAMPIRAN
32
2011 84.53 15.93 3.58 0.28 0.29 39.34 0.23 144.18
33
Quantified Emission Limitation and Reduction Commitment Expressed
as percentage of base year and absolute emission levels
Source : UNFCCC (2012)
Average annual emissions in
QELRC
the commitment period
(percentage of base year or
associated with QELRCs (in
period)
Level of Mt CO2 eq.)
emissions QELRCs QELRCs For QELRCs For QELRCs
Party
in Base submitted by proposed by submitted by proposed by
Year # Parties. AOSIS Parties. AOSIS
Commitment Commitment Commitment Commitment
period (2013- period (2013- perios (2013- period (2013-
2020) 2017) 2020) 2017)
Australia 559.00 NA 93 NA 519.9
Belarus 139.18 92.0 65 128.0 90.5
Canada 589.29 NA NA NA NA
Croatia 27.97 80.0 81 22.4 22.7
European Union 5736.16 80.0 81 4588.9 4646.3
(EU-27)
Iceland 3.50 80.0 81 2.8 2.8
Japan 1256.34 NA NA NA NA
Kazakhstan 318.14 NA 73 NA 232.2
Liechtenstein 0.23 84.0-78.0 81 0.2-0.2 0.2
Monaco 0.11 NA 81 NA 0.1
New Zealand 59.80 NA 90 NA 53.8
Norway 49.80 84.0-81.0 81 41.8-40.3 40.3
Russian 3330.05 NA NA NA NA
Federation
Switzerland 53.06 84.2-77.7 81 44.7-41.2 43.0
Ukraine 929.58 NA 46 NA 427.6
commitment period of the Kyoto Protocol since base year period (2013- period (2013-
2020) 2017)
Total average annual reduction since 1990 in accordance with QELRCs submitted with respect to
34
base year
Total average annual reduction since 1990 for Parties listed in the table above, excluding Canada,
Japan, and the Russian Federation, consistent with a linear path of emissions towards 2020 levels in
a) Assuming a linear path of emissions from 1990 levels to 2020 levels in accordance with IPCC
objective (25-40%)
base year
b) Assuming a linear path of emissions from average annual emissions consistent with QELRCS
for the first commitment period of the Kyoto Protocol to 2020 levels in accordance with IPCC
objective (25-40%)
base year
c) Assuming a linear path of emissions from current level of emissions (2010) to 2020 levels in
base year
# including provisions in accordance with Article 3, paragraphs 7 and 8, and different base year than
1990
*Only parties that have submitted QELRCs for themselves are included in the total. The total average
annual emissions reduction may be not comparable to other totals in this table
NA = not applicable
35
IPCC = Intergovernmental Panel on Climate Change
36
Lampiran
NO Regulasi Keterangan
1 UU 32 tahun 2009 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yamg melakukan
tindakan tertentu
2 UU 32 tahun 2009 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
pasal 98 (1) mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
miliar rupiah)
3 Undang Undang Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
Nomor 32 Pasal 1 memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi Konsep
tersebut sejalan dengan konsep Triple Bottom Line (People, Planet and
Profit).
2004 berkenaan dengan usaha pengurangan emisi gas rumah kaca, yaitu
Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan
37
pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (business as
usual/BAU).
7 UU 32 tahun 2009 Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emoisi,
pasal 100 (1) atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama
miliar rupiah)
Nomor 32 Tahun daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya,
Lingkungan Hidup
10 UU 3 tahun 2014 (1) Sumber daya alam diolah dan dimafaatkan secara efisien,
38
a. Perusahaan industri pada tahap perancangan produk,
a. peringatan tertulis
b. denda administrative
c. penutupan sementara
dan/atau
Puspita, Dyah Aruning. 2015. Carbon Accounting: Apa, Mengapa dan Sudahkah Berimplikasi pada
Sustainability Reporting?. Malang: Jurnal JIBEKA
UNFCCC. 2008. Kyoto Protocol Reference Manual on Accounting of Emissions and Assigned
Amount.Bali: UNFCCC
Pratiwi, Desy Nur. 2017. Pengaruh Stakeholder terhadap Carbon Emission Disclossure. Karawang:
Jurnal Unsika.
Alvarez, Isabel Galego, et al. 2016. Accounting Treament for Carbon Emissions Rights. Salamanca:
MDPI
Oker, Figen and Humeyra Adiguzel. 2017. Reporting for Carbon Trading and Internasional Accounting
Standards. Turkey: INTECH
Supriadi, Agus et al. 2016. Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi2016. Jakarta: Pusat Data dan
Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral
39
Utama, Meria. 2016. Kebijakan Pasca Ratifikasi Protokol Kyoto Pengurangan Dampak Emisi Rumah
Kaca dalam Mengatasi Global Warming. Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Mudiyarso, Daniel. 2004. Implications of the Kyoto Protocol: Indonesia’s Perspective. Kanagawa: IGES
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention om Climate Change
(Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan
Iklim). Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengsahan United Nations
Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Perubahan Iklim). Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sekretariat Negara
UNFCCC. 2011. Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives Expressed as Percentage of
Base Year and Absolute Emission Levels. Durban: UNFCCC
40