Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP

RSUD Dr. H. Marsidi Judono - Tanjung Pandan

Nama Peserta : dr. Febrina Winda Silalahi

Nama Wahana : IGD RSUD dr. H. Marsidi Judono

Topik : Peritonitis et causa Perforasi Gaster

Tanggal (kasus) : 27 May 2019 Presentator : dr. Febrina Winda Silalahi

Nama Pasien : Tn. C/66 tahun No. RM : 1.05.25.54

Tanggal Presentasi : 2019 Nama Pendamping :


1. dr. Widodo, Sp.B
2. dr. Bambang

Tempat Presentasi : RSUD dr. H. Marsidi Judono


Deskripsi :
Laki laki berusia 66 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri seluruh perut mendadak
o Tujuan :
o Penegakkan diagnosis peritonitis, mengetahui faktor resiko, tatalaksana dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
Nama Rumah Sakit : Telp : - Terdaftar sejak : -
RSUD Dr. H. Marsidi Judono
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
Pasien mengeluhkan nyeri seluruh perut mendadak yang dialami sejak 6 jam SMRS. Nyeri
dirasakan terus menerus. Nyeri semakin lama semakin memberat dan setelah timbul nyeri, os
juga mengeluhkan mual (+) muntah (+) 3x smrs. OS mengaku tidak dapat kentut dan sudah
tidak BAB selama 2 hari. Pasien tidak mengeluhkan gangguan dalam berkemih. Riwayat
trauma (-)
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
-
3. Riwayat Pengobatan :
Riwayat minum obat-obatan pereda nyeri dan riwayat mengkonsumsi jamu-jamuan 3 bulan
smrs untuk mengobati pegal-pegal badan.
4. Riwayat Kebiasaan :
-
5. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Baik

1
Kesadaran : Compos mentis

Tanda-Tanda Vital
TD : 158/85 mmHg
HR : 110 x/menit
RR : 25 x/menit
Suhu : 36,3oC
SaO2 : 100 %

Status Generalisata
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek pupil +/+ isokor
Mulut : Faring hiperemis -/-, tonsil T1/T1, mukosa sangat kering
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 ± 2 cmH2O, distensi vena leher (-)

Paru
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, fremitus taktil kanan=kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Kesan kardiomegali (-)
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-), ekstra sistol (-)

Abdomen
Inspeksi : Distensi, simetris, tidak nampak hematom, warna kulit sama dengan sekitar,
darm contour dan darm steifung tidak nampak.
Auskultasi : peristaltik (+) menurun
Perkusi : Hipertimpani, shifting dullness (+) , undulasi (+), nyeri ketok CVA (-)
Palpasi : Defans muscular (+), tidak teraba massa, hepar dan lien tidak teraba, ballotemen
ginjal tidak teraba, turgor kembali lambat.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema kedua kaki (-)
6. Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium (tanggal 19/05/2019)

2
Pemeriksaan Hasil Satuan
Darah rutin
- Leukosit 4,21 x10^3/ul
- Eritrosit 5,25 x10^6/ul
- Hemoglobin 16,3 g/dl
- Hematokrit 48 %
- Trombosit 238 x10^3/ul
- Neutrofil 77,7 %
- Limfosit 11,2 %
- Monosit 6,4 %
- Eosinofil 4,5 %
- Basofil 0,2 %
- MCV 91,3 fL
- MCH 31 pg
- MCHC 34 g/dL
Glukosa sewaktu 150 mg/dL
Kimia darah
- Ureum 46 mg/dL
- Creatinin 1,1 mg/dL
Paket Elektrolit
- Natrium 133,3 mEq/L
- Kalium 4,55 mEq/L
- Klorida 103,9 mEq/liter
Hematologi
- Waktu pembekuan 7 menit
- Waktu pterdarahan 3 menit

RO Abdomen 3 posisi Abdomen (tanggal 27/05/2019)

3
Kesimpulan: pneumoperitonium

Ro Thorax posisi tegak

4
Kesan: Pneumoperitonium

7. Diagnosis Kerja:
Peritonitis difusa ec perforasi hollow viskus ec susp perforasi gaster
8. Terapi
Rencana laparotomi eksplorasi cito
Puasa
Pasang NGT dan DC
Rehidrasi dengan loading RL 1000 c dalam 1 jam >> 2000 cc/ 8 jam >> 2000 cc/ 16 jam
Observasi tanda tanda vital
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
Inj. Omeprazole 1 vial/24 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam

9. Laporan Operasi
a. Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic
b. Dilakukan insisi midline supraumbilical
c. Eksplorasi tampak PO
Dilakukan wedge eksisi + biopsi + suture primer + omental plug
d. Perdarahan dirawat
e. Cuci luka hingga bersih
f. Luka dijahit secara mass closure dengan meninggalkan 1 buah drain ke pelvis

5
g. Operasi Selesai
Ditemukan:
a. Ditemukan pneumoperitonium
b. Ditemukn cairan peritoneum kuningkehijauan kurang lebih 1500 cc
c. Ditemukan fibrin-fibrin yang sebagian dapat dilepaskan
d. Ditemukan perforasi I cm pre pyloric
e. Organ solid, hollow viscus lairs intake

10. Diagnosa Kerja


Peritonitis Et causa Perforasi Gaster
11. Prognosis :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakkan diagnosis peritonitis akibat perforasi gaster
2. Tatalaksana peritonitis akibat perforasi gaster
3. Komplikasi yang mungkin terjadi

PEMBAHASAN KASUS

1. Subjektif
Pasien mengeluhkan nyeri seluruh perut mendadak yang dialami sejak 6
jam SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus seperti tertusuk-tusuk . Nyeri
semakin lama semakin meluas dan memberat. mual (+) muntah (+) 3x
smrs. pasien malas minum (+). OS mengaku tidak dapat kentut dan sudah
tidak BAB selama 2 hari. Pasien tidak mengeluhkan gangguan dalam
berkemih. Riwayat minum obat-obatan pereda nyeri dan riwayat
mengkonsumsi jamu-jamuan 3 bulan smrs untuk mengobati pegal-pegal
badan. Riwayat trauma (-),

2. Objektif
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan :

6
● Pemeriksaan fisik berupa mata cekung, mukosa bibir dan lidah kering, turgor
kulit kembali lambat. distended pada abdomen, peristaltik menurun,
hipertimpani, defans muscular (+)
● Ro abdomen 3 posisi kesan pneumoperitoneum, dan ro thorax kesan
pneumoperitonium .

3. Assessment
Peritonitis difusa ec perforasi hollow viskus ec perforasi gaster

4. Planning
- Rencana laparotomi eksplorasi cito
- Puasa
- Rehidrasi dengan loading RL 1000 c dalam 1 jam >> 2000 cc/ 8 jam >> 2000
cc/ 16 jam
- Pasang NGT dan DC
- Observasi tanda tanda vital
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 1 vial/24 jam
- Drip fentanyl 1 amp/kolf
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Nyeri perut adalah salah satu masalah umum yang dihadapi oleh dokter, baik
dalam perawatan kesehatan primer atau sekunder (spesialis). Ini mungkin ringan,
tetapi mungkin juga merupakan tanda yang mengancam jiwa. Diperkirakan bahwa
hampir 50% orang dewasa telah mengalami sakit perut dan itu menyumbang 5-10%
dari semua kunjungan darurat. Perawatan hati-hati harus diambil ketika berhadapan
dengan pasien usia lanjut (> 65 tahun) yang menderita sakit perut karena mereka
berada pada risiko 6-8 kali lebih besar untuk kematian, terutama jika diagnosis akhir
tidak dapat ditegakkan di Departemen Darurat.1
Secara umum, nyeri` perut dikategorikan berdasarkan onset sebagai nyeri akut
atau kronis. Tiba-tiba timbulnya sakit perut yang berlangsung kurang dari 24 jam
dianggap sebagai sakit perut akut.1

7
Perforasi saluran gastrointestinal adalah salah satu penyebab abdomen akut
yang mengancam jiwa yang timbul dengan nyeri perut akut dan tekanan parah pada
pasien. Pada sepertiga pasien, presentasi kurang jelas, mengakibatkan keterlambatan
signifikan dalam diagnosis peritonitis. Peritonitis akibat perforasi saluran GI adalah
keadaan darurat bedah umum di seluruh dunia, yang terjadi pada sekitar 2% hingga
14% pasien dengan penyakit maag aktif. Perawatan bedah perforasi peritonitis sangat
dianjurkan dan termasuk kombinasi teknik bedah yang ditingkatkan, terapi anti-
mikroba dan dukungan perawatan intensif telah meningkatkan hasil dari kasus-kasus
tersebut.2
Dalam satu dekade terakhir dilaporkan adanya peningkatan insiden perforasi
ulkus peptikum yang disebabkan oleh meningkatnya penggunaan obat golongan non
steroid anti inflammatory drugs (NSAIDs) dan jamu. Obat golongan ini menyebabkan
kerusakan barier mukosa gaster serta duodenum sampai akhirnya menimbulkan
komplikasi perforasi.Komplikasi perforasi pada ulkus peptikum terjadi sama dengan
komplikasi perdarahan saluran cerna. Lokasi perforasi paling banyak terjadi pada sisi
anterior (60%), dapat pula terjadi pada bagian anthrum (20%) dan pada bagian
kurvatora minor (20%).3
Penyakit ulkus peptikum terdiri dari ulkus gaster dan duodenum, dimana
merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada populasi dengan angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi pada dua dekade terakhir.Perkembangan ilmu pengetahuan
tentang etiopathogenesis dari penyakit yang berhubungan dengan asam lambung telah
bergeser kearah penyakit infeksi dan telah menjadi perbincangan pada bermacam
penelitian untuk menemukan management yang terbaik untuk penyakit tersebut. 4
Penatalaksanaan penyakit ulkus peptikum bervariasi mulai dari penggunaan
H2 reseptor antagonist, proton pump inhibitors (PPI), beberapa regimen untuk H.
Pylori sampai dengan penatalaksanaan pembedahan berupa vagotomi selektif dan
supra selektif dapat dengan tehnik laparaskopi ataupun open. Hal serupa juga pada
penatalaksanaan perforasi ulkus peptikum bervariasi dari terapi konservatif non
operative sampai penatalaksanaan pembedahan.4

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Akut Abdomen
2.1.1 Definisi
Akut abdomen adalah suatu kondisi abdomen yang terjadi secara tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 24 jam, biasanya menimbulkan gejala nyeri yang dapat
terjadi karena masalah bedah dan non bedah. Nyeri perut akut atau lebih
dikenal sebagai akut abdomen didefinisikan sebagai nyeri hebat luar
biasa (yang memiliki skor maksimal ketika digambarkan melalui VAS
yang timbul di daerah perut dan membutuhkan perawatan segera.
Ini adalah situasi darurat perut yang mungkin disebabkan oleh
masalah bedah atau non-bedah. 1

2.1.2 Etiologi
Nyeri perut akut dapat disebabkan oleh berbagai etiologi

9
seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.1
Tabel 1. Perbandingan penyebab umum nyeri abdomen

2.1.3 Manifestasi klinis


2.1.3.1 Nyeri Perut5
Akut abdomen terjadi karena nyeri abdomen yang timbul tiba-tiba atau sudah
berlangsung lama. Nyeri abdomen ini dapat berupa nyeri visceral, nyeri somatic
maupun nyeri alih.

1. Jenis dan Letak Nyeri Perut


a. Nyeri Viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam
rongga perut, misalnya karena cedera atau radang. Peritoneum viserale yang
menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap
rabaan, atau pemotongan. Akan tetapi, bila dilakukan tarikan atau regangan organ,
atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia akan
timbul nyeri.
Pasien yang merasakan nyeri viseral biasanya tak dapat menunjukkan secara
tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk
menunjuk daerah yang yang nyeri. Nyeri viseral kadang disebut nyeri sentral.
Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional organ

10
yang terlibat. Karena tidak disertai rangsang peritoneum, nyeri ini tidak dipengaruhi
oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif bergerak.

Gambar 4. Lokasi Nyeri Viseral


b. Nyeri Somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh
saraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding
perut. Rangsang yang menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang
kimiawi, atau proses radang.
Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal akan menghasilkan sensasi
yang tajam dan terlokalisir di area stimulus. Ketika peradangan pada viseral
mengiritasi pada peritoneum parietal maka akan timbul nyeri yang terlokalisir. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk atau disayat. Peradangannya sendiri maupun gesekan antara
kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah
yang menjelaskan nyeri kontralateral pada apendisitis akut. Setiap gerakan penderita
akan menambah rasa nyeri, baik berupa gerak tubuh maupun gerak napas yang dalam.
Tabel 2. Perbedaan Nyeri Visceral dan Nyeri Somatik

11
2. Sifat Nyeri5
a. Nyeri Alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu
daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah
pada masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau
peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri
dirasakan pada daerah ujung belikat.

b. Nyeri Proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris
akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah nyeri phantom
setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat herpes zooster.
c. Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan
pada rongga di bawahnya. Pada akut abdomen, tanda ini sering ditemukan pada
peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis dirasakan
tepat pada tempat terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk
dengan tepat lokasi nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan, nyeri gerak,

12
nyeri batuk serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan defans muskuler yang sering
disertai hipersetesi kulit setempat.
d. Nyeri Kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus
menerus, misalnya pada reaksi radang. Otot dinding perut menunjukkan defans
muskuler secara refleks untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat.
e. Nyeri Kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus, batu
ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul karena
hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka
kolik dirasakan hilang timbul. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan
nyeri perut yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak paksa.
f. Nyeri Iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan
tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis. Lebih
lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan umum yang
jelek dan syok karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis.5
g. Nyeri Pindah
Nyeri berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya pada tahap
awal apendisitis. Sebelum radang mencapai permukaan peritoneum, nyeri viseral
dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual karena apendiks termasuk usus tengah.
Setelah radang terjadi di seluruh dinding termasuk peritoneum viserale, terjadi nyeri
akibat rangsangan peritoneum yang merupakan nyeri somatik. Pada saat ini, nyeri
dirasakan tepat pada letak peritoneum yang meradang, yaitu di perut kanan bawah.
Jika apendiks kemudian mengalami nekrosis dan gangren (apendisitis gangrenosa)
nyeri berubah lagi menjadi nyeri iskemik yang hebat, menetap dan tidak menyurut,
kemudian penderita dapat jatuh dalam keadaan toksis.
3.Onset dan Progresivitas Nyeri5
Onset timbulnya nyeri dapat menunjukkan keparahan proses yang terjadi.
Onset dapat digambarkan dalam bahasa mendadak (dalam detik), cepat (dalam jam),
dan perlahan (dalam beberapa jam). Nyeri hebat yang terjadi mendadak pada seluruh
abdomen merupakan suatu keadaan bahaya yang terjadi intra abdomen seperti
13
perforasi viscus atau ruptur aneurisma, kehamilan ektopik, atau abses. Dengan adanya
gejala sistemik (takikardi, berkeringat, takipneu dan syok) menunjukkan
dibutuhkannya resusitasi dan laparotomi segera.
4. Karakteristik Nyeri5
Sifat, derajat, dan lamanya nyeri sangat membantu dalam mencari penyebab
utama akut abdomen. Nyeri superfisial, tajam dan menetap biasanya terjadi pada
iritasi peritoneal akibat perforasi ulkus atau ruptur appendiks, ovarian abses atau
kehamilan ektopik. Nyeri kolik terjadi akibat adanya kontraksi intermiten otot polos,
seperti kolik ureter, dengan ciri khas adanya interval bebas nyeri. Nyeri kolik
biasanya dapat reda dengan analgetik biasa. Sedangkan nyeri strangulata akibat nyeri
iskemia pada strangulasi usus atau trombosis vena mesenterika biasanya hanya sedikit
mereda meskipun dengan analgetik narkotik. Faktor-faktor yang memicu atau
meredakan nyeri penting untuk diketahui.

2.1.4. Anamnesa
Selain sakit perut, adanya keluhan lain juga harus diperhatikan. Pasien
mungkin memiliki masalah lain termasuk mual, muntah, anoreksia, kembung, tinja
berair atau sembelit. Anoreksia terjadi pada hampir semua penyebab perut akut,
terutama apendisitis akut dan kolesistitis akut; Namun, jarang ditemukan dalam kasus
urologi atau ginekologi.1
Muntah adalah keluhan awal umum dari nyeri perut akut. Diasumsikan bahwa
kondisi ini disebabkan oleh stimulasi refleks dari pusat muntah meduler. Refleks
muntah pada perut akut dini biasanya tidak progresif. Namun demikian, obstruksi
usus harus dipertimbangkan ketika ada muntah progresif dan terus menerus disertai
dengan sakit perut yang parah. Nyeri perut, yang disertai dengan distensi perut karena
gas yang berlebihan, harus dianggap sebagai tanda ileus atau obstruksi usus.1
Keluhan obstipasi lainnya akibat gangguan usus yang berhubungan dengan
tidak adanya flatus dan adanya distensi abdomen harus meningkatkan kesadaran kita
tentang kemungkinan ileus atau obstruksi usus. Sebaliknya, sakit perut yang disertai
sembelit tetapi tanpa distensi, yang sering terjadi pada orang tua, harus
dipertimbangkan sebagai kemungkinan divertikulitis. Jika sakit perut disertai dengan
tinja berair berdarah, maka kemungkinan IBD (penyakit radang usus) harus
dipertimbangkan bersama dengan diagnosis diferensial iskemia mesenterika atau
kemungkinan trombosis vena mesenterika.1

14
2.1.4 Pemeriksaan Fisik
Selain anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik abdomen adalah bantuan
utama dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai
penampilan umum pasien dan status ABC (Airway, Breathing, Circulation).
Kemampuan pasien untuk berkomunikasi, pola pernapasan, ramuan di tempat tidur
dan ekspresi wajah harus diperhatikan dengan cermat. Pasien obesitas harus ditanyai
tentang pembesaran perut yang tidak biasa.1
Penilaian bunyi usus (auskultasi) harus dilakukan sebelum melakukan
manuver pemeriksaan lainnya (palpasi atau perkusi). Lakukan auskultasi selama
setidaknya dua menit dan pada lebih dari satu daerah perut sebelum menyimpulkan
suara usus yang berkurang. 1
Beberapa tanda karakteristik sering digunakan untuk membantu
mempertimbangkan penyebab nyeri abdomen. Misalnya, murphy sign , yaitu nyeri
tekan kuadran kanan atas selama palpasi ketika pasien mengambil inspirasi yang
dalam. Ini adalah sensitif, tetapi bukan tanda spesifik untuk kolesistitis akut. Tanda
lain, mis. kehadiran nyeri tekan selama palpasi dan reaksi pasien setelah palpasi
disertai dengan kekakuan pada titik McBurney (1/3 dari jalan antara umbilikus dan
spina iliaca anterior superior) cukup sensitif untuk menunjukkan apendisitis akut.
Corvoisier sign (kantong empedu teraba) pada pasien dengan ikterus klinis cukup
sensitif untuk membawa kecurigaan terhadap kemungkinan tumor periampula
pankreas. Kehadiran cullen sign, yaitu ekimosis periumbilikalis mungkin berguna
untuk menunjukkan hemoperitoneum. Di daerah endemik tuberkulosis seperti
Indonesia, adanya chest-board phenomenon mungkin mengacu pada TB peritonitis. 1
Organ panggul dan genitalia eksternal juga harus diperiksa pada setiap pasien
dengan nyeri perut akut. Sentuhan rektal (pemeriksaan rektal digital) atau sentuhan
vagina kadang-kadang dapat memberikan informasi berharga tambahan. Evaluasi
kelainan ginekologis harus dilakukan pada semua pasien wanita dengan nyeri perut
akut. 1

15
Gambar 1. Etiologi nyeri berdasarkan lokasi
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang6
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pengujian diagnostik yang sesuai bervariasi berdasarkan situasi klinis. Hitung
darah lengkap tepat jika infeksi atau kehilangan darah diduga. satu penelitian terhadap
pasien yang berusia 15 hingga 83 tahun dengan dugaan apendisitis menemukan
bahwa jumlah sel darah putih lebih dari 10.000 per mm3 (10x109 per L) adalah 77
persen sensitif dan 63 persen spesifik untuk diagnosis. dengan demikian, hampir satu
dari empat pasien dengan radang usus buntu tidak memiliki jumlah sel darah putih
yang meningkat.
Pada pasien dengan nyeri epigastrik, pengukuran amilase dan lipase simultan
direkomendasikan karena kadar lipase yang meningkat dengan tingkat amilase normal
tidak mungkin disebabkan oleh pankreatitis. Kimia hati penting pada pasien dengan
nyeri kuadran kanan atas. Urinalisis harus diperiksa pada pasien dengan hematuria,
disuria, atau nyeri panggul.
Tes kehamilan urin harus dilakukan pada wanita usia subur yang memiliki sakit
perut untuk mempersempit diagnosis banding dan untuk menentukan apakah studi

16
pencitraan tertentu sesuai. Tes untuk klamidia dan gonore direkomendasikan untuk
wanita yang berisiko infeksi menular seksual.
b. Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonografi direkomendasikan ketika pasien datang dengan nyeri kuadran
kanan atas. Pencitraan radionuklida sedikit lebih baik daripada ultrasonografi untuk
mendeteksi kolesistitis akut tetapi lebih mahal, membutuhkan waktu lebih lama, dan
tidak dapat menilai diagnosis di luar saluran empedu. Computed tomography (Ct)
dengan media kontras intravena direkomendasikan untuk mengevaluasi orang dewasa
dengan nyeri kuadran kanan bawah akut; Ct dengan media kontras oral dan intravena
direkomendasikan untuk pasien dengan nyeri kuadran kiri bawah. Sigmoid
diverticulitis adalah penyebab paling umum dari nyeri kuadran kiri bawah pada orang
dewasa, dan Ct dilaporkan memiliki sensitivitas 79 hingga 99 persen untuk
mendeteksi kondisi tersebut. Ct lebih baik daripada ultrasonografi untuk
mendiagnosis apendisitis dan dapat mendeteksi penyebab nyeri perut ekstrakolonik.3
Nyeri kuadran kiri atas disebabkan oleh berbagai kondisi klinis; Oleh karena
itu, rekomendasi pencitraan tidak jelas. jika riwayat pasien dan pemeriksaan fisik
menunjukkan patologi esofagus atau lambung, endoskopi (atau seri saluran cerna
atas) direkomendasikan. Pada pasien lain dengan nyeri kuadran kiri atas, Ct
bermanfaat karena memberikan pencitraan pankreas, limpa, ginjal, usus, dan
pembuluh darah.
Secara umum, Ct sangat efektif dalam mengidentifikasi pasien dengan nyeri
perut nonspesifik yang membutuhkan intervensi segera. Radiografi polos abdomen
seringkali lebih mudah didapat dan lebih murah daripada ultrasonografi atau Ct dan
dapat membantu dalam beberapa keadaan. Radiografi tegak thorax atau abdomen
dapat mendeteksi udara bebas di bawah diafragma, yang menunjukkan perforasi
saluran pencernaan. Kalsifikasi abnormal juga dapat dilihat pada foto polos; ini
termasuk 10 persen batu empedu, 90 persen batu ginjal, dan usus buntu pada 5 persen
pasien dengan radang usus buntu. Radiografi polos abdomen dapat membantu
mendiagnosis obstruksi usus dengan beberapa dilatasi loop usus dan kadar cairan
udara, meskipun temuan serupa dapat terjadi dengan ileus paralitik.3
Wanita usia subur menghadirkan tantangan khusus ketika membuat keputusan
tentang pencitraan diagnostik. Penyebab ginekologis dari nyeri perut lebih sering
terjadi pada wanita-wanita ini, dan paparan radiasi harus dihindari jika kehamilan
mungkin terjadi. oleh karena itu, ultrasonografi abdominal atau transvaginal
17
umumnya direkomendasikan untuk mengevaluasi nyeri kuadran kiri bawah pada
wanita usia subur dan pada pasien hamil dengan nyeri perut kuadran kanan bawah. 3
Jika kehamilan ektopik dicurigai, ultrasonografi transvaginal harus dilakukan.
Sensitivitas ultrasonografi transvaginal untuk mendeteksi kehamilan ektopik adalah
95 persen pada pasien dengan tes kehamilan positif (tingkat human chorionic
gonadotropin lebih besar dari 25 miu per mL [25 iu perL]) dan temuan ultrasonografi
abnormal. Ultrasonografi transvaginal juga membantu untuk mendiagnosis patologi
ginekologis lainnya, seperti fibroid, massa ovarium, torsi ovarium, dan abses tubo-
ovarium.
2.1.6 Penatalaksanaan7
Pada sebagian besar kasus nyeri perut akut, penatalaksanaan mungkin harus
mendahului ananmnesa. Dalam hal ini atasi nyeri, koreksi dehidrasi dll lebih penting
daripada anamnesa untuk menemukan penyebabnya, (kecuali rasa sakit telah hilang).
1. Amati tanda-tanda vital di unit perawatan primer atau yang serupa
2. Puasa
3. Akses IV / cairan, Pemberian darah (jika ada indikasi)
4. Analgesik - tergantung pada tingkat keparahannya
Non Steroid Anti inflamasi Drugs, opioid, morphin, paracetamol
5. Pemasangan NGT, jika curiga ileus obstruksi
6. Kateterisasi, jika retensi akut atau dehidrasi seperti syok.

Tabel 3. Evaluasi akibat Perforasi Viskus

18
2.2. Peritonitis
2.2.1 Anatomi Peritonium8,9,10,
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis,
yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub
kutan dan facies superfisial (facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m.
obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum
abdominis, dan akhirnya lapis preperitoneum dan peritoneum, yaitu fascia
transversalis, lemak preperitonial dan peritoneum. Otot di bagian depan tengah terdiri
dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan
oleh linea alba.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron
abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling
mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritoneum. Lapisan
peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:

19
a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa).
b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Gambar 2. Peritonium

Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan


kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura.
Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura.
Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut
dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium.
Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium
dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior
duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang
masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus
disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan
dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada
suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini
membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.

20
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok
dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270° dengan
aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada
dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus
menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati
peritoneum parietale. Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah oral (kranial)
jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan
keduanya mendekati peritoneum parietale.
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati
peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan.
Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat
penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritoneum sehingga disebut
retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di
dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak
intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei, dengan demikian:
a. Duodenum terletak retroperitoneal;
b. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium;
c. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
d. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung
disebut mesocolon transversum;
e. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung
mesosigmoideum;
f. cecum terletak intraperitoneal;
g. Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada
peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara
usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara
mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan
dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di
flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus
duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis
inferior.
21
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum
terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan
mesosigmoideum.
Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris.
Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga
terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. Dataran peritoneum yang
dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan
sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum
synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat
intra peritoneal satu terhadap yang lain.
Peritoneum viseral yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf
autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan
atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi
bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan
pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti
apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri viseral biasanya
tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan
seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul
karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri
dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan
tepat lokasi nyeri.
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten
dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak
kedua arah.

2.2.2 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus
organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau
difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik.
Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan
bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan

22
perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagorikan sebagai primary peritonitis.11

2.2.3 Epidemiologi
Menurut survei World Health Organization (WHO), kasus peritonitis di dunia
adalah 5,9 juta kasus. Di Republik Demokrasi Kongo, antara 1 Oktober dan 10
Desember 2004, telah terjadi 615 kasus peritonitis berat (dengan atau tanpa perforasi),
termasuk 134 kematian (tingkat fatalitas kasus, 21,8%), yang merupakan komplikasi
dari demam tifoid.
Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hamburg-Altona Jerman,
ditemukan 73% penyebab tersering peritonitis adalah perforasi dan 27% terjadi pasca
operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis dari 11.000 pasien yang ada. Angka kejadian
peritonitis di Inggris selama tahun 2002-2003 sebesar 0,0036% (4562 orang).

2.2.4 Etiologi12,17
1. Infeksi Bakteri
Diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Peritonitis primer adalah
infeksi bakteri difus tanpa kehilangan integritas saluran pencernaan. Ini jarang terjadi,
tetapi terjadi pada remaja wanita dan Streptococcus pneumoniae biasanya adalah
organisme penyebab.
Peritonitis sekunder adalah infeksi peritoneum akut akibat kehilangan
integritas saluran pencernaan atau pankreas yang terinfeksi nekrosis. Aerob dan
anaerob sering terlibat, paling banyak yang umum adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.
Bakteri dapat menyerang rongga peritoneum melalui jalur:
a. Invasi langsung dari lingkungan eksternal (mis. Menembus luka perut, infeksi
saat laparotomi)
b. Translokasi dari viscera intra-abdominal yang rusak (mis.perforasi viskus
(mis. ulkus duodenum berlubang), gangren dari viscus (mis. usus buntu),
trauma, iatrogenik (mis. kebocoran anastomosis)).
c. Melalui sirkulasi dan / atau translokasi usus: peritonitis primer
dapat terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (mis. peritonitis
streptokokus β-hemolitik primer pada anak-anak dan pasien

23
pasca-splenektomi, bakteri spontan peritonitis pada pasien
dengan gagal hati dan asites).
d. Melalui saluran genital wanita (mis. Perluasan langsung dari
lingkungan eksternal, peritonitis pneumokokus primer, akut)
2. Peritonitis kimia (aseptik)
Peritonitis kimia (aseptik) menyumbang sekitar 20% dari semua
kasus peritonitis di Inggris, dan biasanya sekunder akibat perforasi
duodenum atau ulkus gaster. Peritonitis steril akan berlanjut ke
peritonitis bakteri dalam beberapa jam setelah transmigrasi
mikroorganisme (mis. dari usus).
3. Peritonitis bilier
Adalah bentuk peritonitis steril yang relatif jarang dan dapat
timbul dari sejumlah sebab:
a. iatrogenik (mis. Selip ligatur duktus kistik setelah
kolesistektomi)
b. kolesistitis akut
c. trauma
d. idiopatik
4. Peritonitis Tuberkulosis
Disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Menyebar ke peritoneum
seccara langsung dari kelenjar getah bening mesenterika, wilayah ileocaecal atau
melalui infeksi yang ditularkan melalui darah yang berasal dari paru dengan
tuberkulosis.
5. Peritonitis klamidia
Sindrom Fitz-Hugh-Curtis dapat timbul diikuti dengan pelvic inflammatory
disease dan ditandai dengan nyeri hipokondria kanan, pireksia, dan hepatic rub.

2.2.4 Klasifikasi9,11,13
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk
1. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien
dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.

24
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon
sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya
adalah:
a. Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi
appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,
kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk
b. Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
c. Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters
Tabel 4. Penyebab Peritonitis Sekunder

25
3. Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise.
Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase
negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negatif bacili, dan candida, mycobacteri dan
fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis.
Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan
dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan
berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium. Komplikasi yang dapat
terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi
peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.

2.2.5 Patofisiologi11
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antperlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.

26
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
27
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk
keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyer di ileum terminalis yang
mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang
disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai
di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata.
Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.
Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di
perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,
adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa pengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bacteria.5
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ
yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
28
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat
sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

2.2.6 Manifestasi klinis14,15,16


1. Gejala Klinis
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari
awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi
nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara
bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda
iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi
demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria,
disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.
a. Nyeri Abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus menerus, tidak ada
henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari
proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis.
b. Anorexia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38ºC sampai 40ºC.
c. Facies hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga

29
menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal.Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan
lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.
d. Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal.Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata. Yang utama dari
septikemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative dimana
dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari
fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari
endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejalagejala yang mirip
seperti gambaran yang terlihat pada manusia.
2. Tanda
a. Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi
yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolik dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang
lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
b. Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen.Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
30
c. Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya
suara borborigmi dan peristaltik yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada
suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen
akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi,
d. Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal
yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena ruptur dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan
pekak hepar yang menghilang.
e. Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang
terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri
tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada
daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting
adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen
secara involunter.
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi
di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya.
Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi.
Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat
menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya
terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.
31
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek
spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.
2.2..7 Pemeriksaan Penunjang15
1. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat
penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah
termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih
biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau
seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan
mekanisme pertahanannya. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien
imunokompromais dapat terjadi lekopenia.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi
oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah
leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi
hepar dan ginjal dapat dilakukan.
Pemeriksaan juga dapat dilakukan pada cairan peritoneal dengan
menggunakan Diagnostic Peritoneal Lavage. Pada peritonitis tuberkulosa cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau
secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

32
Gambar 3 . Diagnosis Peritoneal Lavage
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup
foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses
intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat
terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan
usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto
polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak
lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara
bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di
usus besar dan usus halus
Gambaran Radiologis yang ditemukan dapat berupa : Pemeriksaan radiologis
merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien
dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior ( AP ).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,

33
proyeksi AP.

Gambar 4. Gambaran radiologis umum peritonitis


Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan
pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intra peritoneal
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto
polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG. Sedangkan
gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto
polos abdomen 3 posisi.
Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu
atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:
a. Posisi tidur, didapatkan preperitoneal fat menghilang, psoas line menghilang,
dan kekaburan pada cavum abdomen
b. Posisi duduk atau berdiri, di dapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan
sabit ( semilunar shadow)

34
Gambar 5. Foto peritonitis
c. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan
dinding abdomen.

Gambar 6. Foto LLD


2.2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari peritonitis adalah :
a. Apendisitis
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing, banyak
kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi
Bila tidak tera#at, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis

35
dan syok ketika terjadi perforasi.
b. Pankreatitis
Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim
pankreas diaktifasi secara premature, mengakibatkan autodigestive dari pancreas yang
ditandai dengan nyeri yang hebat di perut atas bagian tengah dibawah tulang dada dan
sternum.
c. Kolesistitis
Gejala paling umum dari kolestitis akut adalah nyeri perut bagian atas. Tanda-
tanda iritasi peritoneal mungkin dapat ditemukan, dan pada beberapa pasien, nyeri
dapat menyebar ke bahu kanan atau tulang belikat. Seringkali rasa sakit dimulai dari
darerah epigastrium dan kemudian terlokalisasi di kuadran kanan atas. Mual dan
muntah umumnya ditemukan.
d. Kehamilan ektopik terganggu
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu.
Jika ada rupture tuba atau abortus kehamilan diluar Rahim dengan perdarahan, akan
timbul nyeri yang mendadak difus didaerah pelvis dan mungkin terjadi syok
hipovolemik.
e. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut, suhu
biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis akut dan nyeri bawah perut lebih difus.

2.2.9 Tatalaksana18
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
2.2.9.1 Penanganan Preoperatif
1. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial .
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik
tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan
transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid atau
koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
36
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan
ginjal telah adekuat dan urin telah diproduksi.
2. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian
antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang
menginfeksi peritoneum
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur
dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat
tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan
demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan
dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:
(a) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (b) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (c) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi
lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam
dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomisin juga
memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari
peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan
regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin,
tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole atau clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
37
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang
kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus
diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran
klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas
obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan
demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.
3. Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh
akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat
diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga
ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau
lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg,
(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.
4. Intubasi, pemasangan kateter urin dan monitoring hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)
dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum
elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.
2.2.9.2 Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan
exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan
selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum
seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk
mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen
1. Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan
mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline
merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi
38
dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.
Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ
dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan
mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu),
perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur
cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan
setelah memasuki kavum peritoneum.
2. Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).
Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada
cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.
Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja
dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal
dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri
3. Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak
efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase
profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan
dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan
massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi
2.2.9.3 Penanganan postoperative
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis.
39
Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan
demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat
kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan
kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi
sekunder 8

2.2.10 Komplikasi18
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
1. Komplikasi dini
a. Septikemia dan syok septik
b. Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multi sistem
d. Abses residual intraperitoneal
2. Komplikasi lanjut
a. Adhesi (perlengketan)
b. Obstruksi intestinal rekuren

2.2.11 Prognosis18
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit
primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,
serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada
pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan
sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.
Prognosis juga dipengaruhi oleh :
1. Lamanya peritonitis :
a. < 24 jam : > 90%
b. 24-48 jam : 60%
c. > 48 jam : 20%
2. Usia
3. Komplikasi

40
2.3 Anatomi dan Fisiologi Gaster
2.3.1 Anatomi Gaster19,20
Gaster merupakan bagian dari traktus gastrointestinal pertama yang berada di
intra abdominal, terletak di antara esophagus dan duodenum.9 Terletak pada daerah
epigastrium dan meluas ke hipokhondrium kiri, berbentuk melengkung seperti huruf
“J” dengan mempunyai paries anterior (superior) dan paries posterior (inferior).
Seluruh organ lambung terdapat di dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh
omentum.

Gambar 7. Pembagian daerah anatomi gaster


Gaster terbagi atas 5 daerah secara anatomik, yaitu : pars cardiaca, bagian
gaster yang berhubungan dengan esofagus dimana didalamnya terdapat ostium
cardiacum. Fundus gaster, bagian yang berbentuk seperti kubah yang berlokasi pada
bagian kiri dari kardia dan meluas ke superior melebihi tinggi pada bagian
gastroesofageal junction. Korpus gaster, merupakan 2/3 bagian dari lambung dan
berada di bawah fundus sampai ke bagian paling bawah yang melengkung ke kanan
membentuk huruf “J‟. Pars pilori, terdiri dari dua bangunan yaitu anthrum
pyloricum dan pylorus. Didalam antrum pyloricum terdapat canalis pyloricus dan
didalam pylorus terdapat ostium pyloricum yang dikelilingi M. sphincter pyloricus.
Dari luar M. sphincter pylorus ini ditandai adanya V. prepylorica.
Otot dinding lambung dikatakan terdiri dari tiga lapis otot yaitu obliq, sirkuler,
longitudinal, namun lapis-lapis ini saling menyatu pada bidang temunya dan tidak
jelas batas-batasnya.

41
Gambar 8 . Gaster dan lapisan ototnya
Lambung dan duodenum merupakan organ yang divaskularisasi sangat baik,
yang penyediaan darahnya berasal dari jalinan interkoneksi anastomosis yang kaya.
Arteria mesenterica superior dan truncus coeliacus terlibat. Setelah muncul dari para
superioraorta abdominalis, truncus coeliacus segera bercabang menjadi arteria
gastrica,hepatica dan splenica.
Arteria gastrica sinistra melayani curvatura minor dan oesophagus bawah. Ia
beranastomosis dengan arteria gastrica dextra, yang merupakan salah satu cabang
arteria hepatica. Curvatura major menerima pelayanan darahnya dari arteri gastro-
epiploica dextra, suatu cabang arteri gastroduodenalis, dari arteria gastroepiploica
sisnistra serta dari arteria gastrica breves, keduanya berasal dari arteria splenica.
Arteria gastroduodenalis juga melayani duodenum. Dekatnya ia dengan
dinding posterior duodenum tepat distal terhadap pylorus membuat ia rentan terhadap
pencernaan peptik asam dengan akibat perdarahan gastrointestinalis atas yang masif.
Cabang terminal arteri gastroduodenalis adalah arteria pancreaticoduodenalis superior
yang beranastomosis dengan arteria pancreaticoduodenalis inferior (cabang pertama
arteria mesenterica superior). (Mercer, Robinson, 2004)

42
Gambar 9. Supplai perdarahan dari gaster. Arteri Coeliacus (CA), arteri gastrica
sinistra (LGA), arteri gastrica dextra (RGA), arteri gastroduodenale (GDA), arteri
hepatica communis (CHA), arteri gastroepiploica dextra (RGE), arteri gastroepiploica
sinistra (LGE), arteri spleenica (SPA)
Persarafan parasimpatis ke lambung dan duodenum juga mempunyai sejumlah
kepentingan. Nervus vagus melewati cavitas thoracica sebagai dua cabang dekat
esophagus. Setelah membentuk suatu plexus dalam daerah hiatus esophagus, maka
nervus vagus anterior dan posterior (juga dikenal sebagai nervus Latarjet) muncul.
Truncus anterior kiri mensarafi tidak hanya lambung, tetapi juga duodenum, pancreas,
hepar, vesica felea dan ductus bilier melalui rami hepaticinya. Truncus posterior
kanan melayani lambung dan melalui rami coelicanya bergabung dengan untuk
mensarafi usus halus dan colon lainnya sampai tingkat flexura coli sinistra. Dari
kepentingan klinik, nervus vagus kedua mengirimkan cabang melalui otot esophagus
yang memberikan persarafan parasimpatis tambahan ke bagian lambung pensekresi
peptik asam proksimal. Pada gilirannya antrum dipersarafi oleh cabang kedua saraf
ini, tempat distribusinya menyerupai keriput sisi luar mata.
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum visceralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang
sampai hepar, membentuk omentum minor. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu
organ menuju organ yang lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum minus
(disebut juga ligamentum hepatogastricus atau hepatoduodenalis) menyokong
lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hepar. Pada kurvatura mayor,
peritoneum terus ke bawah membentuk omentum mayor, yang menutupi usus halus

43
dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang
sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit
pankreatitis akut.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar yang menghubungkan lapisan
mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan
peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran
limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal
disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut
bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium
kardia dan mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan
pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe utama sel.
Selsel zimogenik (chief cell) mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi
pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal menyekresikan asam hidroklorida (HCl)
dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 didalam
usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia
pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan
menyekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada
daerah pylorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan
asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung
adalah enzym dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium,kalium dan klorida.
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui
saraf vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan
seliaka.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus mayor dan ganglia seliaka.
Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, kontaksi otot, serta peradangan dan dirasakan di daerah epigastrium
abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi
lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner)
membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas
motorik dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan lien)
44
terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan
cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor.Dua cabang arteri yang
penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria
pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior
duodenum.

2.3.2 Fisiologi gaster 21,22,23


Gaster memiliki fungsi motorik serta fungsi pencernaan dan sekresi. Fungsi
motorik meliputi fungsi menampung dan mencampur makanan serta pengosongan
lambung sedangkan fungsi pencernaan dan sekresi meliputi pencernaan protein,
sintesis dan pelepasan gastrin, sekresi faktor intrinsik, sekresi mukus serta sekresi
bikarbonat.
Fungsi penyimpanan gaster yaitu ketika makanan masuk ke dalam gaster,
makanan membentuk lingkaran konsentris makanan dibagian oral gaster, makanan
yang paling baru terletak paling dekat dengan dinding luar gaster. Normalnya, bila
makanan meregangkan gaster, “reflex vasocagal” dari gaster ke batang otak dan
kemudian kembali ke lambung akan mengurangi tonus di dalam dinding otot korpus
gaster sehingga dinding menonjol keluar secara progresif, menampung jumlah
makanan yang makin lama makin banyak sampai suatu batas saat gaster berelaksasi
sempurna, yaitu 0,8 sampai 1,5 liter. Tekanan dalam gaster akan tetap rendah sampai
batas ini dicapai.
Sekresi gaster dikendalikan oleh mekanisme neural dan humoral. Komponen
saraf adalah refleks otonom lokal yang melibatkan neuron-neuron kolinergik dan
impuls-impuls dari susunan saraf pusat melalui saraf vagus.
Aktivitas sekresi gaster sangat ditingkatkan pada awal makan saat kemo dan
mekanoreseptor dalam rongga mulut dirangsang oleh pengunyahan dan pengecapan
makanan. Impuls aferen dan reseptor ini menuju ke otak dan diteruskan ke serat
eferen dalam saraf vagus yang bekerja langsung pada sel-sel oksintik untuk
meningkatkan sekresi asam. Bersamaan waktu neuron dalam pleksus saraf intrinsik
terangsang oleh eferen vagus, membangkitkan impuls yang menginduksi sel-G untuk
membebaskan gastrin, yang memiliki efek stimulasi kuat pada sel-sel oksintik. Ada
bukti bahwa pembebasan gastrin dapat distimulasi oleh peptida dan produk asam
amino dari pencernaan oleh kafein, dan oleh konsentrasi rendah alkohol yang masuk
bersama makanan.

45
Hormon-hormon dasar atau neurotransmitter yang secara langsung
merangsang sekresi kelenjar gaster adalah histamin, asetilkolin, dan gastrin. Sekresi
asam lambung dirangsang oleh histamin melalui reseptor H2, asetilkolin melalui
reseptor muskarinik M1 dan oleh gastrin melalui reseptor gastrin di membran sel
parietal. Reseptor H2 meningkatkan AMP siklik intrasel sedangkan reseptor
muskarinik dan reseptor gastrin menimbulkan efek melalui peningkatan kadar Ca2+
bebas intrasel. Proses-proses intrasel saling berinteraksi sehingga pengaktifan salah
satu jenis resesptor akan memperkuat respon reseptor lain terhadap rangsangan.
2.3.3 Pertahanan mukosa gaster 24,25
Mukus lambung penting dalam pertahanan mukosa dan dalam mencegah
ulserasi peptik. Mukus lambung disekresi oleh sel mukosa pada epitel mukosa gaster
dan kelenjar gaster. Sekresi mukus dirangsang oleh iritasi mekanis atau kimiawi dan
oleh rangsang kolinergik. Mukus lambung terdapat dalam dua fase, yaitu cairan
lambung pada fase terlarut dan sebagai lapisan jeli mukus yang tidak larut, dengan
tebal sekitar 0,2 mm yang melapisi permukaan mukosa lambung. Normalnya gel
mukus disekresi secara terus menerus oleh sel epitel mukosa lambung dan secara
kontinyu dilarutkan oleh pepsin yang disekresi ke dalam lumen lambung. Ketebalan
jeli meningkat dengan adanya prostaglandin dan berkurang dengan adanya obat anti-
inflamasi nonsteroid (OAINS).
Permukaan lumen dan sambungan interseluler yang ketat dari sel epitel gaster
memberikan barier mukosa lambung yang hampir secara keseluruhan impermeable
terhadap difusi baik ion-ion hidrogen dari lumen pada keadaan normalnya. Barier ini
tampaknya menjadi komponen penting dari resistensi mukosa terhadap jejas asam
peptic. Barier ini dapat terputus oleh asam empedu, salisilat, etanol, zat kimia dan
asam-asam lemah organik, sehingga memungkinkan terjadinya difusi balik ion-ion
hidrogen dari lumen ke dalam jaringan gaster. Hal ini dapat menyebabkan jejas sel,
pelepasan histamin dari sel mast, rangsangan sekresi asam yang lebih lanjut,
kerusakan pembuluh darah kecil, perdarahan mukosa, dan erosi atau ulserasi.
Penurunan aliran darah mukosa lambung, yang disertai oleh difusi balik ion hidrogen
dari lumen, penting dalam menimbulkan kerusakan lambung.
Prostaglandin terdapat dalam jumlah besar di dalam mukosa lambung.
Prostaglandin dibentuk dari asam arakhidonat yang berasal dari fosfolipid membran
Bermacam-macam prostaglandin terlihat menghambat jejas mukosa lambung yang
disebabkan oleh berbagai macam agen. Prostaglandin endogen merupakan elemen
46
penting yang membangun pertahanan mukosa. Prostaglandin ini merangsang sekresi
mukus lambung dan bikarbonat mukosa lambung. Prostaglandin berperan dalam
mempertahankan aliran darah mukosa lambung dan dalam integritas barier mukosa
lambung serta mempermudah pembaruan sel epitel dalam responnya terhadap jejas
mukosa.
Seseorang yang mendapat terapi kortikosteroid, maka pertahanan alami yang
mencegah erosi akan melemah sehingga mengakibatkan tukak peptik. Mekanisme
lain, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan menurunkan
prostaglandin. Prostaglandin yang banyak ditemukan pada mukosa lambung memiliki
peran utama dalam pertahanan sel epitel lambung dan dalam menghasilkan mukus
bikarbonat yang berfungsi dalam pertahanan mukosa dalam mencegah tukak
lambung.

2.4 Perforasi Gaster


Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari
dinding lambung, usus halus, usus besar berakibat bocornya isi dari usus ke dalam
rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan
suatu kasus kegawatan bedah.26
2.4.1 Etiologi12,26
Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh: trauma
tertusuk pisau)· Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering
ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Obat aspirin, NSAID, steroid.
Sering ditemukan pada orang dewasa· Kondisi yang mempredisposisi : ulkus
peptikum, appendicitis akuta, divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang
terinflamasi.
1. Penyakit Ulkus Peptikum (PUD)
PUD adalah penyebab perforasi lambung yang paling umum. Karena
kemajuan manajemen medis; kejadian perforasi lambung terjadi pada kurang dari
10% pasien dengan penyakit tukak lambung. Ini terjadi paling umum pada pasien usia
lanjut yang menggunakan NSAID dan pada pasien yang mengonsumsi alkohol
berlebih. Perforasi ulkus lambung atau ulkus duodenum ke dalam rongga peritoneum
pada awalnya menyebabkan peritonitis kimia yang berlawanan dengan peritonitis
bakteri.

47
2. Perforasi Lambung Spontan
Perforasi lambung spontan adalah peristiwa yang tidak biasa, terutama terlihat
pada periode neonatal, beberapa hari pertama kehidupan, sebagai penyebab
pneumoperitoneum. Di luar periode neonatal, perforasi jarang terjadi dan biasanya
sekunder akibat trauma, pembedahan, atau tukak lambung.
3. Trauma
Perforasi traumatis lebih sering terjadi akibat cedera penetrasi lambung,
walaupun perforasi dan ruptur organ dapat terjadi dengan trauma abdomen tumpul
yang parah. Cedera lambung dapat terjadi terkait dengan trauma tembus pada perut,
seperti luka tembak dan tusukan. Dengan luka tembus, baik dinding lambung anterior
dan posterior mungkin terluka, dan dinding posterior organ harus selalu
divisualisasikan saat operasi.
4. Perforasi Lambung terkait Keganasan
Neoplasma dapat mengalami perforasi dengan penetrasi langsung dan
nekrosis, atau dengan menghasilkan obstruksi. Perforasi yang berkaitan dengan tumor
juga dapat terjadi secara spontan, setelah kemoterapi atau sebagai akibat dari
perawatan radiasi.
5. Iatrogenik
Endoskopi bagian atas adalah penyebab utama perforasi iatrogenik. Insiden
perforasi yang berhubungan dengan endoskopi meningkat dengan kompleksitas
prosedural, dan perforasi jarang dengan diagnostik dibandingkan dengan prosedur
terapeutik. Gaster proksimal berada pada risiko terbesar karena dindingnya paling
tipis. Tingkat perforasi keseluruhan adalah 0,11% untuk endoskopi kaku dibandingkan
dengan 0,03% untuk endoskopi fleksibel. Perforasi iatrogenik lebih sering terjadi pada
pasien dengan patologi lambung yang sudah ada. Ruptur gaster akibat insuflasi
lambung yang berlebihan dapat terjadi dalam proses endoskopi.

2.4.2 Epidemiologi12,27
Pada anak-anak, sebagian besar perforasi lambung berhubungan dengan
trauma. Data mengungkapkan bahwa perforasi seperti itu sedang meningkat baik dari
trauma tumpul dan penetrasi. Pada orang dewasa, penyebab paling umum di masa lalu
adalah penyakit tukak lambung. Namun, sejak diperkenalkannya inhibitor pompa
proton, perforasi ini menjadi sangat langka saat ini. Secara keseluruhan, perforasi
duodenum lebih sering terjadi daripada perforasi lambung. Setidaknya 30% perforasi

48
lambung berhubungan dengan keganasan. Penyebab perforasi lambung yang sangat
umum di rumah sakit saat ini adalah terkait endoskopi. Jumlah pastinya tidak
diketahui karena diagnosis perforasi biasanya diubah dan dinyatakan sebagai penyakit
tukak lambung.
Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Solo ( RSDM ) selama kurun
waktu 1 tahun, mulai Januari – Desember 2007, didapatkan penderita peritonitis
karena perforasi gaster sebanyak 27 kasus, yang dirawat di RSDM. Dari 27 kasus ,
laki-laki sebanyak 18 (66%), dan wanita 9 (34 %). Usia termuda 28 tahun dan tertua
85 tahun, dengan frekuensi usia < 50 tahun 4 kasus (16%), 50-70 tahun 18 kasus
(66%) dan usia > 70 tahun 5 kasus (18%). Dari 27 kasus, 19 dilakukan operasi
laparotomi emergensi dan 8 kasus tidak dilakukan operasi. Alasan tidak dilakukan
operasi antara lain karena masalah biaya, usia yang sudah tua. Dari 19 kasus yang
dilakukan operasi, 12 (63 %) kasus sembuh dengan lama perawatan post op di
ruangan antara 7-10 hari, 7 (37% ) kasus meninggal paska operasi karena sepsis.
Mortalitas pada peritonitis generalisata karena perforasi gaster sangat tinggi,
dari 19 kasus, 7 penderita meninggal post op (37%). Sedangkan di Bandung
dilaporkan 57 % sembuh dan 22% meninggal. Mortalitas pasien akan semakin
meningkat bila disertai penyakit kronis (DM, jantung, hipertensi, dan lain-lain) atau
datang terlambat sehingga penderita sudah dalam kondisi multiple organ failure atau
bahkan sepsis.

2.4.3 Patofisiologi20,26
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme lainnya
karena keasaman yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal
memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri
yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun juga mereka yang memiliki maslah
gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster.
Kebocoran asam lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan
peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai
rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang
bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam
antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut. Mikrobiologi dari usus
kecil berubah dari proksimal sampai ke distalnya. Beberapa bakteri menempati
bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada bagian distal dari usus kecil (jejunum

49
dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob ( Bacteriodes fragilis
(lebih banyak)).
Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi
usus bagian distal. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel
inflamasi akut. Omentum dan organ-organ viceral cenderung melokalisir proses
peradangan, mengahasilkan phlegmon ( biasa terjadi pada perforasi kolon).
Hipoksia yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi tumbuhnya bakteri
anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari granulosit, yang mana mengarah
pada peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel, dan
pengentalan cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan pergeseran
cairan yang lebih banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran abscess pada
perut. Jika tidak ditangani terjadi bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan
shock.

Gambar 10 . Faktor dan Mekanisme Perforasi Gaster

2.4.4 Manifestasi Klinis12,20,26


Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan diertai
nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.

50
Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.
Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di
perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di epigastrium karena rangsang
peritoneum oleh asam lambung, empedu dan enzim pankreas. Cairan lambung dan
duodenum akan mengalir ke parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan
bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu meunjukkan
adanya rangsang peritoneum di permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum
berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk
sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Secara umum episode dari perforasi ulkus peptikum dibagi menjadi tiga fase :
a. Peritonitis kimia. Pada saat awal perforasi menimbulkan peritonitis kimia,
dengan atau tanpa kontaminasi mikroorganisme. Bocornya isi
gastroduodenum biasanya terjadi difuse tetapi dapat pula terlokalisir pada
abdomen bagian atas dengan adanya adhesi dari omentum.
b. Fase intermediate. Setelah 6 – 12 jam pasien dapat menunjukkan penurunan
gejala nyerinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh dilusi dari cairan
gastroduodenum dengan adanya eksudat peritoneal.
c. Fase infeksi abdomen. Jika pasien belum dilakukan operasi, setelah 12 – 24
jam akan terjadi infeksi intraabdomen.
2.4.5 Anamnesa12,20,26
Sebagian besar pasien yang mengalami perforasi berobat dalam keadaan
dramatis. Timbul nyeri mendadak pada abdomen bagian atas yang menyiksa. Dalam
beberapa menit timbul peritonitis kimia akibat keluarnya asam lambung, pepsin, dan
makanan yang menyebabkan nyeri hebat. Pasien takut untuk bergerak atau bernafas.
Anamnesis yang cermat, penting dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri
leher, dada, dan perut. Ini harus mencakup pertanyaan tentang serangan sakit perut
atau dada sebelumnya, instrumentasi sebelumnya (tabung nasogastrik, endoskopi),
trauma sebelumnya, operasi sebelumnya, keganasan, kemungkinan menelan benda
asing, kondisi medis (PUD) dan obat-obatan (NSAID,glukokortikoid).

2.4.6 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal seperti
luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan
51
perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada
perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan posisi flexi
pada lutut, dan abdomen seperti papan.
Pada auskultasi : .Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus. Bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu peritonitis
difusa. Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum
Palpasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila
ditemukan takikardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu
peritonitis. rasa kembung dan konsistens sperti adonan roti mengindikasikan
perdarahan intra abdominal.
Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat
membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang
ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.

2.4.7 Pemeriksaan Penunjang12,20,26,28


Pemeriksaan penunjang dari perforasi gastrointestinal yang cepat dan dapat
diandalkan sangat penting, karena seringkali dibutuhkan tindakan pembedahan yang
segera. Pendekatan diagnostik pada pasien dengan nyeri perut dimulai dengan film
polos. Sensitivitas film biasa untuk mendeteksi udara bebas luminal ekstra berkisar
dari 50% hingga 70%. Ultrasonografi juga telah dipelajari dan menunjukkan potensi
yang sangat baik untuk mengidentifikasi pneumoperitoneum. Modalitas pencitraan
yang paling berguna adalah CT scan yang sangat sensitif dan spesifik untuk udara
bebas.
Radiologist memainkan peranan penting dalam hal membantu ahli bedah
untuk memilih prosedur diagnosis dan memutuskan pasien dioperasi atau tidak.
Deteksi dari pneumoperitoneum yang minimal pada pasien akut abdomen yang
disebabkan oleh perforasi gastrointestinal merupakan tugas utama yang sangat
penting. Seorang radiologist yang berpengalaman dengan menggunakan tehnik
radiologis dapat mendeteksi udara bebas minimal 1 ml. Teknik yang paling sering
digunakan adalah foto rongent abdomen posisi tegak dan left lateral decubitus (LLD).
Meskipun pada saat ini penggunaan tehnik diagnostik yang modern
meningkat, pemeriksaan rongent masih merupakan pemeriksaan pertama yang
penting dan masih merupakan tantangan bagi radiologist. Rongent masih merupakan
pemeriksaan yang mudah, murah dan tersedia serta cepat dalam melihat adanya udara
bebas. Kualitas film dan posisi pasien sangat penting. Setiap pasien memerlukan
52
posisi yang adekuat sekitar 10 menit sebelum dilakukan rongent, sehingga udara dapat
mencapai posisi tertinggi dari abdomen.
Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup
oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan pneumoperitoneum
pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien menunjukkan kumpulan udara di
abdomen atas kanan, lainnya adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini
dapat terlihat gambaran oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil
juga dapat tampak di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam
bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada posisi
berdiri.

Gambar 11. Radiologi perforasi gaster (a) Pneumoperituneum terlihat dalam


radiogram polos. (B) Gambar CT menunjukkan defek fokal di dinding posterior
antrum gaster (panah hitam). Cairan peritoneum (panah putih) dan udara bebas
(panah) di depan hepar.

53
Gambar 12. Tanda-tanda pneuperitonium pada posisi supine foto polos abdomen,
“wind sign” atau “lucent liver sign”, udara bebas sub hepatik.

Gambar 13. Triangle Sign pada Perforasi Gaster

2.4.8 Diagnosa Banding12,20,20


a. Penyakit ulkus peptikum h. Gastritis
b. Pankreatitis akut i. Kolesistitis
c. Kolik bilier j. Torsi Ovarium
d. Endometriosis k. Salpingitis akut
e. PID l. Crohn’s disease
f. Apendisitis akut m. Kolitis
g. Kolitis iskemik n. Inflamatory bowel disease (IBD)
54
2.4.9 Penatalaksanaan4,26,29
Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah
hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan perforasi
dengan pencucian pada rongga peritoneum (evakuasi medis). Terapi konservatif di
indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis keadaan umumnya
stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan
dipuasakan pasiennya.
Johan Mikulicz-Radecki (1850-1905) adalah ahli bedah pertama yang
melakukan operasi penutupan perforasi ulkus peptikum dengan prosedur penutupan
perforasi yang simple. Dikatakan bahwa setiap dokter yang menghadapi perforasi
gaster harus melakukan operasi laparatomi, mencari perforasi, dan mencegah
inflamasi dengan cara membersihkan rongga abdomen dengan hati-hati.
Metode Taylor untuk penatalaksanaan konservatif diperkenalkan pertama kali
tahun 1946, hal ini berdasarkan teori dekompressi gaster yang efektif dan drainase
kontinyu akan meningkatkan kemampuan penyembuhan. Hal ini memungkinkan
terapi dengan cara aspirasi nasogastrik, antibiotik, pemberian terapi cairan dan triple
terapi H. Pylori.
Manajemen konservatif pada perforasi ulkus peptikum adalah pemberian
cairan intravena, antibiotik intravena (Cefotaxim dan Metronidazole) dan omeprazole
intravena. Pemasangan NGT no 18 dengan suction berkala. Penempatan tube pada
distal kurvatura mayor sangat penting. Pencatatan input dan output setiap 2 jam,
dicatat denyut nadi, tekanan darah, dan temperatur. Abdomen dievaluasi untuk
distensi, nyeri, dan peristaltik. Selama 2 -3 hari pertama pasien dipuasakan. Terapi
konservatif dihentikan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan dengan peningkatan
denyut nadi, demam, distensi abdomen atau nyeri setelah 12 jam terapi. Pemberian
cairan melalui NGT dilakukan pada hari ke 4 -5. Pasien secara hati-hati diamati
adanya tanda-tanda peritonitis. Jika dapat ditoleransi dengan baik maka NGT dilepas
dan mulai diberikan makanan cair.
Jika penyebabnya terbukti oleh infeksi H. Pylory, eradikasi H.Pylori
menurunkan sekresi HCL secara signifikan dan menyembuhkan tukak dalam durasi
jangka panjang. Kombinasi yang direkomendasikan yaitu klaritromisin, misalnya
lansoprazole 30 mg, amoksisilin 1 gr dan klaritomisin 500 mg diminum bersamaan 2
x sehari selama 10-14 hari. Jika klaritromisin tidak dapat tidak dapat digunakan, maka
55
dapat menggunakan amoksisilin, metronidazole dan omeprazole.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan first line therapy [PPI
(rabeprazole 20 mg, lansoprazol 60 mg atau omeprazole 40 mg) + amoksisilin 1500
mg + klaritromisin 400 atau 800 mg] pada eradikasi H. Pylory dapat menyembuhkan
tukak.
Dianjurkan untuk menggunakan amoksisilin sebagai terapi pilihan pertama
dan menggunakan metronidazole pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Jika
terapi tripel tersebut gagal, maka disarankan memberikan terapi kuadripel yaitu PPI 2
x sehari, bismuth subsalisilat 4 x 2 tablet, metronidazole 4 kali 250 mg, tetrasiklin 4 x
500. Untuk regimen daerah yang resistensi tinggi terhadap metronidazole, maka dapat
diganti dengan regimen PPI + bismuth + tetrasiklin + amoksisilin.
Operasi untuk perforasi gaster dapat dilakukan secara laparaskopi dan
pembedahan terbuka dengan hasil yang sama, dilaporkan sedikit komplikasi dari
tehnik laparaskopi berupa infeksi luka operasi. Saat ini metode laparaskopi lebih
sering dilakukan pada kasus perforasi gaster.
Beberapa metode pembedahan untuk terapi perforasi ulkus peptikum diantaranya :
a. Omentoplasty simple
b. Penjahitan perforasi dengan vagotomy, biasanya vagotomy gaster proksimal
(PGV)
c Trunkal vagotomy dengan gastroenteric anastomosis jika terjadi stenosis.
d. Eksisi tepi perforasi tanpa vagotomy
e. Gastektomi parsial pada pasien dengan resiko operasi yang rendah
Penjahitan perforasi dengan atau tanpa omentum plug sudah menjadi pilihan
utama untuk perforasi ulkus peptikum sejak ditemukannya obat-obatan yang efektif
mensupresi produksi asam. Gastrektomi distal biasanya dilakukan sebagai manajemen
operasi pada pasien dengan perforasi gaster.

2.4.10 Komplikasi 12,26


Komplikasi pada perforasi gaster yaitu:
a. Infeksi luka
b. Sepsis
c. Malnutrisi
d. Kerusakan multiorgan
e. Adesi dan obstruksi usus

56
f. Delirium

Resiko komplikasi akan meningkat pada keadaan:


a. Usia lanjut
b. Demensia
c. Sepsis
d. Elektrolit dan metabolism yang abnormal
e. Hipoksia
f. Komplikasi intraoperatif

Komplikasi dari pembedahan tergantung dari efektifitas penyembuhan dari


penutupan perforasi dan penyakit penyerta. Re-perforasi jarang terjadi dan semakin
jarang dengan digunakannya obat-obatan untuk supresi produksi asam
lambung.Peritoneal sepsis jarang terjadi dan berhubungan dengan lama waktu
terjadinya perforasi sebelum terdiagnosa dan dilakukan tindakan operasi.
Sepsis sistemik dan penyakit penyerta lain sangat menentukan morbiditas dan
mortalitas. Pada akhir-akhir ini terdapat kemajuan dalam tatalaksana perforasi ulkus
peptikum secara laparaskopi, tetapi belum dibuktikan adanya pengurangan komplikasi
dengan menggunakan tehnik tersebut.

2.4.11 Prognosis12,26
Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat
dilakukan maka prognosisnya baik. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan
pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi buruk. Faktor-
faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian :
a. Usia lanjut

b. Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya

c. Malnutrisi

d. Timbulnya komplikasi

DAFTAR PUSTAKA

57
1. Murdani Abdullah, M. Adi Firmansyah. Diagnostic Approach and
Management of Acute Abdominal Pain. Jakarta.2012
2. Seyed. Peritonitis Following Pre-Pyloric Ulcer Perforation: a Case Report.
Accessed on http://www.aclr.com.es/clinical-research/peritonitis-following-
prepyloric-ulcer-perforation-a-case-report.php?aid=19663 at 2019-06-21.
3. Lange, J.F., Nicolai, A., Tilanus, H.W., Kuipers, E.J., Eijck, van, C.H.J.
Perforated Peptic Ulcer : new insights. Erasmus Universiteit
Rotterdam.Chapter : 4. 2011.
4. Prabu, V. dan Shivani, A. An Overview of History Pathogenesis and Treatment
of perforated peptic ulcer Disease with Evaluation of prognostic Scoring in
Adults.Annals of Medical and Health Science Research.Vol 4. India. 2014
5. Graff LG, Robinson D. Abdominal pain and emergency department evaluation
. Emerg Med Clin Northe Am 19;123-136,2001.
6. (Sarah L. Cartwright et. Al. Evaluation of Acute Abdominal Pain in Adults.
North Carolina: American Family Physician. 2008. From.
https://www.aafp.org/afp/2008/0401/p971.html
7. Ganesharatman M. Silva GS. Liyanarachchi. Et all. Management of a patient
with acute abdominal pain. College of Surgeons of Sri Lanka. Acute
Abdominal on National Guidelines CSSL. Sri Lanka:2007
8. De Jong, W., Sjamsuhidajat, Buku Ajar Ilmu Bedah. 2005,Edisi 3 Penerbit
EGC, Jakarta; Hal.221-239 ; 696.
9. Townsend, C.M, et al. Sabiston textbook of surgery. 2008. Canada : Saunder
10. Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
11. Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1,
McGraw Hill,Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917
12. Kamel bishoy. Casssaro sebastiano. Gastric perforation. Accessed at 2019
Juny 18 at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519554/. 2019.
13. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal
Sepsis.http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#aw2aab6b2b4
aa
14. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.
AppeltonCentury Corp, Hal 784-795 7.
15. Doherty, G.M., Current Diagnosis & Treatment. 2010, USA : McGraw Hill
Company
16. Schwartz, S.I et al, Principal of Surgery, 9th edition, 2006, USA : McGraw
Hill Company; Hal1459-1467
17. Fearon. skipworth. Acute abdomen:peritonitis. Emergnecy Surgery. 2007.

58
18. Oetomo Kurnia. Makalah Peritonitis. SMF Ilmu Bedah. RS Haji Surabaya.
2013.
19. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,
Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas
Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000
20. Iskandar Heru. Hubungan Antara Abdominal Perfusion Pressure (App)
Dengan Outcome Post Operasi Perforasi Gaster. Tesis. Universitas Sebelas
Maret. 2015.
21. Matthew Fraser Leeman., Christos Skouras., Simon Paterson-Brown., The
Management of Perforated gastric ulcers, International Jurnal of Surgery 11
(2013) 322-324
22. Phillipo L Chalya., Joseph B Mabula., Clinical profile and outcome of surgical
treatmet of perforated peptic ulcers in Northwestern Tanzania : A tertiary
hospital experience. World Journal of Emergency Surgery 2011, 6:31,
http://www.wjes.org/content/6/1/31
23. J. Wilson-Macdonald, N.J. McC. Mortensen and R.C.N. Williamson,
Perforated Gastric Ulcer, Postgraduated Medical Journal (1985)
24. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung
dan Duodenum,Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC :Jakarta, 2004. Hal.541-
59
25. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses-
proses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006
26. Warsinggih. Bahan Ajar DR. dr. Warsinggih, Sp.B-KBD. Perforasi Gaster.
Makassar. 2016.
27. Wahyudi, Andreas, 2008, Gambaran Perforasi Gaster di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Tahun 2007.
28. Frković M et al. Diagnostic value of pneumoperitoneum on plain abdominal
film. Clinical Institute of Diagnostic and Interventional Radiology Rebro,
Clinical Hospital Center Zagreb, University of Zagreb, Zagreb, Croatia. Radi
Oncol;2001.
29. Hanumanthappa, M.B., Gopinathan, S., Rai, Guruprasad, D., Dsouza, Neil. A
Non-operative Treatment of Perforated Peptic Ulcer: A Prospective Study with
50 Cases. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 2012. Vol-6(4):
696699

59

Anda mungkin juga menyukai