Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Pernafasan


Secara anatomi sistem pernafasan dibagi dalam 3 bagian besar, yang meliputi :
1. Traktus Respiratorius Bagian Atas
Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari banyak bagian dan fungsinya yaitu :
 Hidung

Bagian anterior dari hidung dari bagi dalam paruhan kiri dan kanan oleh septum
nasi. Setiap paruhan dibagi secara tidak lengkap menjadi empat daerah yang
mengandung saluran nasal yang berjalan kebelakang mengarah pada nasofaring. Area
tepat dalam lubang hidung dilapisi oleh kulit yang mengandung rambut yang kasar.
Sisa dari interior dilapisi oleh membrana mukosa. Fungsi dari hidung adalah membawa
udara dari dan ke paru- paru dan menghangatkan udara saat diinspirasi. Bulu di dalam
luban hidung dan silia yang melapisi membrana mukosa bertindak untuk mengangkat
debu dan benda asing lain dari udara. Jika terjadi infeksi, efek lokal utama adalah iritasi
dari sel mulkus yang menyebabkan produksi mukus yang berlebihan, pembengkakan
dari membrana mukosa akibat edema lokal dan kongesti dari pembuluh darah. Saluran
hidung cenderung menjadi terblokir oleh pembengkakan mukosa dan sekresi virus,
sekret jernih,tetapi jika terdapat invasi sekunder bakteri, sekret menjadi kekuning-
kuningan atau kehijauan akibat adanya pus (neutrofil mati dan granulosa).

 Sinus

Sinus paranasal melengkapi suatu sistem ruang udara yang terletak dalam berbagai
tulang pada muka. Sinus dilapisi dengan mukosa sekretoris dan memperoleh suplai
darah dan saraf dari hidung. Infeksi dari hidung mengarah pada penuhnya pembuluh
darah, peningkatan sekresi mukus dan edema.

 Laring

Laring terletak di depan faring dan diatas permulaan trakhea. Terutama terdiri dari
tulang rawan tiroid dan tricoid dan tujuh tulang rawan lain yang dihubungkan secara
bersama oleh membrana. Suatu struktur tulang rawan tergantung diatas tempat masuk
ke laring ini merupakan epiglotis yang mengawal glotis selama menelan, mencegah
makanan masuk laring dan trakhea. Inflamasi dari epiglottis dapat menimbulkan
obstruksi terhadap saluran pernafasan. Bagian interior laring mengandung dua lipatan
membrane mukosa yang terlentang melintasi ringga dari laring dari bagian tengah
tulang rawan tiroid ke tulang rawan arytenoid. Ini merupakan pita atau lipatan suara.
Selama pernafasan biasa pita suara terletak dalam jarak tertentu dari garis tengah dan
udara respirasi melintas secara bebas diantaranya tanpa menimbulkan keadaan vibrasi.
Selama insiprasi dalam yang dipaksaan mereka berada dalam keadaan lebih abduksi,
sementara selama berbicara atau menyanyi mereka dalam keadaan adduksi. Perubahan
ini dipengaruhi oleh otot-otot kecil.

Pada anak-anak, pita suara lebih pendek dibandingkan dengan orang dewasa.
Laring berfungsi sebagai alat respirasi dan fonasi tetapi pada saat yang sama ambil
bagian dalam deglutisi, selama waktu mana laring akan menutup dalam usaha
mencegah makanan memasuki traktus respiratorius makanan bagian bawah. Laring
juga tertutup selama regurgitasi makanan sehingga mencegah terjadinya aspirasi
makanan. Refleks penutupan ini tergantung pada koordinasi neuromuskuler yang
kemungkinan tidak bekerja secara penuh pada bayi, sehingga mengarah pada spasme.

2. Traktus respiratorius bagian bawah

Struktur yang membentuk bagian dari traktur respiratorius ini adalah trakea,
bronki dan bronkiolus serta paru-paru. Tiga yang pertama adalah, trakea, bronki dan
bkronkiolus, merupakan tuba yang mengalirkan udara kedalam dan keluar dari paru-
paru. Trakea dimulai pada batas bagian bawah dari laring dan melintas dibelakang
sternum kedalam toraks. Trakea merupakan tuba membranosa fleksibel, kaku karena
adanya cincin tidak lengkap yang berspasi secara teratur. Tuba dilaisi oleh membana
mukosa, epitelium permukaan adalah kolumner bersilia. Segera setelah memasuki
toraks trakea membagi diri menjadi beberapa cabang yang masuk kedalam suatu
substansi paru-paru.

Didalam substansi dari paru-paru bronki membagi diri menjadi cabang yang
tidak terhitung dengan ukuran yang secara progresif berkurang hingga cabang yang
mempunyai penampang yang sangat sempit, di mana mereka di sebut sebagai
bronkiolus. Tuba ini dilapisi oleh membrana mukosa ditutupi oleh epitelium kolumner
bersilia, berlanjut dengan lapisan dari trakea. Otot polos ditemukan secara longitudinal
dalam bronki yang lebih besar dan trakea. Dalam bronki yang lebih kecil dan bronkioles
hal ini dibatasi oleh dinding posterior. Seluruh panjang dari percabangan bronkial
disuplai dengan serat elastik yang kaya, bersama dengan semua jaringan lain yang
disebutkan, dapat diubah oleh karena penyakit, sehingga mempengaruhi fungsi normal

3. Paru – paru

Secara anatomi, unit dasar dari struktur paru-paru dipertimbangkan adalah


lobulus sekunder. Beratus-ratus dari lobulus ini membentuk masing-masing paru.
Setiap lobulus merupakan miniatur dari paru-paru dengan percabangan bronkial dan
suatu sirkulasi sendiri. Setiap bronkiolus respiratorius berterminasi kedalam suatu
alveolus. Alveolus terdiri dari sel epitel tipis datar dan disinilah terjadi pertukaran gas
antara udara dan darah. Apeks dari paru-paru mencapai daerah tepat diatas clavicula
dan dasarnya bertumpu pada diaphragma. Kedua paru-paru dibagi kedalam lobus, yang
kanan dibagi tiga, yang kiri dibagi dua. Nutrisi dibawa pada jaringan paru-paru oleh
darah melalui arteri bronkial; darah kembali dari jaringan paru-paru melalui vena
bronkial. Paru-paru juga mempunyai suatu sirkulasi paru-paru yang berkaitan dengan
mengangkut darah deoksigenasi dan oksigenasi.

Paru-paru disuplai dengan darah deoksigenasi oleh arteri pulmonalis yang


datang dari ventrikel kanan. Arteri membagi diri dan membagi diri kembali dalam
cabang yang secara progresif menjadi lebih kecil, berpenetrasi pada setiap bagian dari
paru-paru hingga akhirnya mereka membentuk anyaman kapiler yang mengelilingi dan
terletak pada dinding dari alveoli. Dinding dari alveoli maupun kapiler sangat tipis dan
disinilah terjadi pertukaran gas pernapasan. Darah yang dioksigenasi kembali kedalam
atrium dengan empat vena pulmonalis.

2.2 Mekanisme Pertahanan Traktus Respiratorius

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah
infeksi dan terdiri dari:

1. Susunan anatomis rongga hidung


2. Jaringan limfoid di nasoorofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis, aksi enzimatik dan respons imuno-humoral terutama dari
8. Imunoglobulin A(IgA).

2.3. Definisi Pneumonia Aspirasi


Pneumonia aspirasi didefinisikan sebagai inhalasi isi orofaring atau lambung ke dalam
larynx dan saluran pernafasan bawah.Beberapa sindrom pernafasan mungkin terjadi setelah
aspirasi, tergantung pada jumlah dan jenis material aspirasi, frekuensi aspirasi dan respon host
terhadap material aspirasi. Pneumonitis aspirasi (Mendelson’s syndrome) adalah jejas kimia
yang disebabkan oleh inhalasi isi lambung.1

Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring maupun isi
lambung pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan
parenkim paru. Pada manusia sehat, aspirasi tidak jarang terjadi dan biasanya membaik tanpa
komplikasi karena material yang teraspirasi dibersihkan oleh aktivitas mukosilier dan
makrofag alveoli. Kerusakan paru akibat aspirasi tergantung pada volume dan kandungan
inokulum serta mekanisme pertahanan inang

2.4 Epidemiologi

Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas sebanyak 10%,
pneumonia pada pusat perawatan kesehatan 30%, dan pneumonia aspirasi nosokomial
sebanyak 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada pasien
dari fasilitas kesehatan jangka panjang ditemukan 3 kali lipat lebih banyak daripada pneumonia
aspirasi dari komunitas. Mortalitas pneumonia aspirasi komunitas berbanding pneumonia
aspirasi di pusat fasilitas kesehatan adalah 19,4% berbanding 28,4%. Penelitian lain
melaporkan bahwa 5 – 15 % dari 4,5 juta kasus pneumonia komunitas (community acquired
pneumonia) disebabkan oleh pneumonia aspirasi. Sebuah penelitian retrospektif melaporkan
bahwa angka kematian-30 hari pneumonia aspirasi 21 % dan sedikit lebih tinggi pada
pneumonia aspirasi yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (29,7 %). Insidensi pasti
aspirasi pneumonia sulit diprediksi karena sebagian besar aspirasi tidak bergejala dan tidak
diketahui terjadinya. Sebuah penelitian prospektif yang dilakukan pada pasien penyakit kritis,
dengan menggunakan kadar pepsin dalam cairan broncoalveolar Lavage (BAL) sebagai marker
penentu aspirasi diperkirakan aspirasi terjadi pada setidaknya + 88,9 % pasien. Pneumonia
aspirasi lebih sering dijumpai pada orang dewasa daripada anak-anak, dimana laki-laki lebih
berisiko daripada perempuan. Faktor risiko yang paling berpengaruh adalah usia lanjut, dimana
kelompok usia ini paling rentan menderita pneumonia aspirasi.

Di Indonesia, prevalensi kejadian pneumonia pada tahun 2013 sebesar 4,5% . Selain
itu, pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit, dengan
proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan. Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi pneumonia pada usia lanjut mencapai 15,5%.

2.5 Faktor Prediposisi

Hampir semua pasien yang menderita pneumonia aspirasi memiliki satu atau lebih
faktor predisposisi. Kondisi-kondisi yang memudahkan aspirasi pneumonia antara lain:

 Penurunan kesadaran mengganggu refleks batuk dan penutupan glotis sehingga dapat
meningkatkan risiko pneumonitis aspirasi. Adapun kondisi yang menyebabkan penurunan
kesadaran antara lain alkoholik, overdosis obat-obatan, kejang, stroke, trauma kepala,
anastesi umum, dan tumor intrakranial.
 Kelainan esofagus yang berhubungan dengan aspirasi pneumonia antara lain disfagia,
striktur esofagus, neoplasma esofagus, divertikel esofagus, fistula trakeoesofagus,
gastroesophageal reflux disease (GERD). Pada usia lanjut yang paling sering dijumpai
adalah disfagia esofageal. Adanya disfagia bisa dikonfirmasi dengan mudah dengan cara
tes menelan cairan dengan konsitensi dan jumlah yang bervariasi atau dengan
menggunakan pemeriksaan video fluoroscopic swallow.
 Penyakit neurologis, seperti multipel sklerosis, demensia, penyakit parkinson, myastenia
gravis, pseudobulbar palsy, dan progresive supranuclear palsy (PSP). Pada penyakit
parkinson sering dijumpai disfagia yang berhubungan dengan pneumonia aspirasi.
Dilaporkan bahwa penderita penyakit parkinson 3,8 kali lebih berisiko mengalami
pneumonia aspirasi dibandingkan dengan populasi umum. Selain itu juga dilaporkan
bahwa pneumonia aspirasi merupakan penyebab kematian utama pada penyakit parkinson
(+ 70 % dari mortalitas).
 Kondisi mekanis, seperti nasogastric tube (NGT), intubasi endotrakeal, trakeostomi,
endoskopi saluran cerna, bronkoskopi, gastrostomi atau postpyloric feeding tube.
 Penggunaan obat-obatan yang menekan asam lambung. Diduga bahwa hilangnya barier
asam lambung menyebabkan kandungan bakteri lebih tinggi di paru-paru saat terjadi
aspirasi dari isi lambung.
 Kondisi lain, seperti muntah hebat, posisi telentang lama, dan penyakit kritis.
 Usia lanjut merupakan kelompok yang berisiko tinggi mengalami aspirasi dan mungkin
aspirasi merupakan faktor risiko paling penting pada pneumonia geriatri. Pneumonia
geriatri sering disebabkan oleh gangguan menelan yang tidak terdeteksi sehingga kejadian
aspirasi tak terdeteksi. Hal ini karena pada 1/3 pasien geriatri dijumpai kelainan sistem
saraf (misalnya stroke). Insidensi dan prevalensi pasti pneumonia aspirasi pada geriatri
belum diketahui, tetapi dilaporkan berhubungan langsung dengan usia dan penyakit dasar
pasien.

2.6 Etiologi

Terdapat 3 macam penyebab sindroma pneumonia aspirasi, yaitu aspirasi asam


lambung yang menyebabkan pneumonia kimiawi, aspirasi bakteri dari oral dan oropharyngeal
menyebabkan pneumonia bakterial, Aspirasi minyak, seperti mineral oil atau vegetable oil
dapat menyebabkan exogenous lipoid pneumonia. Apirasi benda asing merupakan
kegawatdaruratanparu dan pada beberapa kasus merupakan faktor predisposisi pneumonia
bakterial. Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang biasanya polimikrobial
namun jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu di komunitas atau di RS.
Pada Pneumonia Aspirasi Komuniti , kuman patogen terutama berupa kuman anaerob obligat
(41-46%) yang terdapat di sekitar gigi dan dikeluarkan melalui ludah, misalnya
Peptostreptococcus yang juga dapat disertai Klebsiella pnemoniae dan Stafilococcus, atau
fusobacterium nucleatum, Bacteriodes melaninogenicus, dan Peptostreptococcus. Pada
Pneumonia Aspirasi Nosokomial pasien di RS kumannya berasal dari kolonisasi kuman
anaerob fakultatif, batang Gram negatif, pseudomonas, proteus, serratia, dan S. aureus di
samping bisajuga disertai oleh kuman ananerob obligat di atas. Kondisi yang mempengaruhi
pneumonia aspirasi antara lain:

 Kesadaran yang berkurang, merupakan hasil ayang berbahaya dari reflex batuk dan
penutupan glottis.
 Disfagia dari gangguan syaraf
 Gangguan pada system gastrointestinal, seperti penyakit esophageal, pembedahan yang
melibatkan saluran atas atau esophagus, dan aliran lambung.
 Mekanisme gangguan penutupan glottis atau sfingter jantung karena trakeotomi,
endotracheal intubations (ET), bronkoskopi, endoskopi atas dan nasogastric feeding
(NGT)
 Anestesi faringeal dan kondisi yang bermacam-macam seperti muntahan yang
diperpanjang, volume saluran cerna yang lebar, gastrostomi dan posisi terlentang.
 Lain-lain: fistula trakeo-esofageal, pneumonia yang berhubungan dengan ventilator,
penyakit periodontal dan trakeotomi.

Kondisi-kondisi ini kesemuanya berbagi dalam seringnya dan banyaknya volume aspirasi,
yang meningkatkan kemungkinan pengembangan pneumonitis aspirasi. Pasien dengan stroke
atau penyaki kritis yang membutuhkan perawatan biasanya mempunyai beberapa faktor resiko
dan memperbaiki kasus yang mempunyai proporsi yang besar.

2.7 Patofisiologi

Aspirasi merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap orang.Di sini terdapat peranan
aksi mukosilier dan makrofag alveoler dalam pembersihan material yang teraspirasi. Terdapat
3
faktor determinan yang berperan dalam pneumonia aspirasi, yaitu sifat material yang
teraspirasi,volume aspirasi, serta faktor defensif host.3 Perubahan patologis pada saluran napas
pada umumnya tidak dapat dibedakan antara berbagai penyebab pneumonia, hampir semua
kasus gangguan terjadi pada parenkim disertaibronkiolitis dan gangguan interstisial.Perubahan
patologis meliputi kerusakan epitel,pembentukan mukus dan akhirnya terjadi penyumbatan
bronkus.Selanjutnya terjadi infiltrasi selradang peribronkial (peribronkiolitis) dan terjadi
infeksi baik pada jaringan interstisial, duktusalveolaris maupun dinding alveolus, dapat pula
disertai pembentukan membran hialin danperdarahan intra alveolar. Gangguan paru dapat
berupa restriksi, difusi dan perfusi.3

Pneumonia aspirasi mengarah kepada konsekuensi patologis akibat sekret


orofaringeal,nanah, atau isi lambung yang masuk ke saluran napas bagian bawah. Penyakit ini
terjadi pada orang dengan level kesadaran yang berubah karena serangan cerebrovascular
accident (CVA), CNS lesion mass, keracunan obat atau overdosis dan cidera kepala.
Kebanyakan individu mengaspirasi sedikit sekret orofaringeal selama tidur, dan sekret tersebut
akan dibersihkan secaranormal.3

Faktor predisposisi terjadinya aspirasi berulangkali adalah:1

1. Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glottis, reflex batuk


(kejang,stroke, pembiusan, cedera kepala, tumor otak)

2. Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker nasofaring,scleroderma)


3. Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga peran jumlah bahan
aspirasi,hygiene gigi yang tidak baik, dan gangguan mekanisme klirens saluran napas.

Aspirasi mikroorganisme patologik yang berkoloni pada orofaring adalah cara infeksi
saluran pernapasan bagian bawah yang paling sering dan menyebabkan pneumonia bakteri.
Pneumonia anaerobik disebabkan oleh aspirasi secret orofaringeal yang terdiri dari
mikroorganisme anaerob seperti Bacteroides, Fusobacterium,Peptococcus, dan
Peptostreptococcus yang merupakan spesies yang paling sering ditemukan diantara pasien-
pasien dengan kebersihan gigi yang buruk.

Awitan gejala biasanya terjadi secara perlahan-lahan selama 1 hingga 2 minggu, dengan
demam, penurunan berat badan, anemia, leukositosis, dispnea, dan batuk disertai produksi
sputum berbau busuk. Abses-abses paru yang terbentuk pada parenkim paru dapat rusak, dan
empiema dapat timbul seperti mikroba-mikroba yang berjalan ke permukaan pleura.
Kebanyakan abses-abses tersebut terbentuk pada paru. kanan bagian posterior dan segmen
basilar bronkopulmonal akibat gaya gravitasi karena banyak cabang yang langsung menuju
cabang bronkus utama kanan.2 Resiko dari aspirasi secara langsung terkait dengan level
kesadaran pasien seperti misalnya penurunan Glascow ComaScale(GCS) yang dihubungkan
dengan resiko aspirasi yang meningkat. Luasnya dan sulitnya penyakit ini secara langsung
terkait dengan volume dan kadar asam cairan yang dihirup. Aspirasi isi lambung dalam jumlah
besar juga dikenal dengan Mendelson syndrome, yang bisa menyebabkan pernafasan akut
dalam waktu 1 jam.Kadar asam dan isi lambung menghasilkan pembakaran kimia pada cabang
tracheobronchial yang terlibat dalam aspirasi. Sebuah penelitian pada tikus menunjukkan
bahwa terdapat dua fase mekanisme kerusakan paru setelah aspirasi asam.

Puncak fase pertama terjadi pada satu hingga dua jam setelah aspirasi dan menghasilkan
efek langsung yang diakibatkan pH yang rendah saat aspirasi pada sel-sel alveolar-permukaan
kapiler. Fase kedua, puncak pada empat hingga enam jam, berhubungan dengan infiltrasi
neutrofil ke dalam alveoli dan intestinum paru, dengan karakteristik gambaran histologist
inflamasi akut. Mekanisme jejas pada paru setelah aspirasi lambung melibatkan mediator-
mediator inflamasi, sel-sel inflamasi, adesi molekuler, dan enzim, terdiri dari Tumor Necrosis
Factor a,, interleukin-8, cyclooxygenase dan produk lipoxygenasedan Reactive Oxygen
Species (ROS). Meskipun neutrofil dan komplemen berperan dalam perkembangan jejas,
penelitian pada hewan, neutropenia, inhibitor fungsi neutrofil, menginaktivasi interleukin-8
(chemoatraktan poten neutrofil), dan inaktivasi komplemen melemahkan jejas akut pada paru
yang diinduksi aspirasi asam.2 Karena asam lambung mencegah pertumbuhan bakteri, isi
lambung tetap steril dibawah kondisi normal.kesterilan isi lambung yang relatif normal, bakteri
tidak menjalankan peran dalam tahap awal penyakit. Ini tidak sepenuhnya baik bagi pasien
dengan gastroparesis atau sembelit atau bagi mereka yang menggunakan antasida (Proton
Pump Inhibitor/PPI,H2 receptor antagonist).Dengan tanpa melihat jumlah bakteri inokulum,
infeksi bakteri yang parah bisa saja terjadi setelah cidera kimia awal.Aspirasi isi lambung
secara bersama dengan adanya partikel, menyebabkan terjadi fokus peradangan dan reaksi
tubuh terhadap benda asing dengan kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam.
Partikel dan asam lambung bekerja sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler
alveolar. Isi lambung tidak steril sehingga aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri.Enam
puluh sampai 100% terdiri dari kuman anaerob. Gabungan kuman aerob dan anaerob sering
dijumpai pada aspirasi yang terjadi di Rumah sakit.2,5

Ada dua persyaratan untuk menghasilkan pneumonia aspirasi:

1. Membahayakan bagi pertahanan biasa yang melindungi saluran bawah, termasuk penutupan
glottis, reflek batuk, dan mekanisme pembukaan.

2. Sebuah inolukrum mengganggu saluran bawah dengan sifat toksiknya langsung, stimulasi
proses peradangan dari bakteri inolukrum yang cukup atau penghambatan karena volume zat
atau zat partikelnya yang cukup.

Sindrom aspirasi lain berkaitan dengan bahan yang diaspirasi (biasanya makanan) atau
cairan bukan asam (misalnya karena hampir tenggelam atau saat pemberian makanan) yang
menyebabkan obstruksi mekanik. Bila cairan teraspirasi, trakea harus segera diisap untuk
menghilangkan obstruksinya. Bila yang diaspirasi adalah bahan padat, maka gejala yang
terlihat akan bergantung pada ukuran bahan tersebut dan lokasinya dalam saluran pernapasan.
Jika bahan tersebut tersangkut dalam bagian atas trakea, akan menyebabkan obstruksi total,
apnea, aphonia, dan dapat terjadi kematian cepat. Jika bahan tersangkut pada bagian saluran
pernapasan yang kecil, tanda dan gejala yang timbul dapat berupa batuk kronik dan infeksi
berulang.

2.8 Klasifikasi Pneumonia

Karakter Mikroorganisme, patogenesis kondisi paru-paru, dan gejala klinis membantu


membedakan sindrom-sindrom klinis dalam klasifikasi pneumonia aspirasi. Empat sindrom
yang paling sering dijumpai secara klinis adalah aspirasi asam lambung yang menyebabkan
pneumonitis kimia (pneumonitis aspirasi), aspirasi bakteri dari rongga mulut dan faring
menyebabkan pneumonia aspirasi, aspirasi benda asing yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, dan aspirasi minyak yang menyebabkan pneumonia aspirasi lipoid (jarang). Kadang-
kadang pasien memiliki pneumonia aspirasi yang saling tumpang tindih dan tidak bisa
diklasifikasikan dalam satu kasus.

a. Pneumonitis Kimia

Pneumonitis kimia, dikenal juga dengan pneumonitis aspirasi, merupakan reaksi inflamasi
parenkim paru yang disebabkan oleh aspirasi isi lambung dalam jumlah besar tanpa infeksi.2,3
Salah satu contoh pneumonitis aspirasi adalah yang disebabkan oleh aspirasi asam lambung
yang pertama kali diungkapkan oleh Mendelson pada tahun 1946 sehingga disebut juga
sindrom Mendelson.2

Patofisiologi pneumonitis akibat asam lambung telah diteliti secara ekstensif pada hewan coba.
Dibutuhkan inokulum dengan pH < 2,5 dan volume cukup besar (> 0,3 mL/kg berat badan atau
20 – 25 mL pada dewasa) untuk menyebabkan pneumonitis kimia. Volume inokulum yang
lebih kecil bisa menyebabkan gejala yang samar sehingga tidak terdeteksi secara klinis. 2

Keasaman isi lambung menyebabkan chemical burns terhadap tracheobronchial tree


yang terlibat pada saat aspirasi, diikuti reaksi inflamasi seluler dan pelepasan sitokin,
khususnya tumor necrosis factor (TNF)-alfa dan ilnterleukin (IL)-8.2,3 Perubahan patologis
pada hewan yang mengalami pneumonitis aspirasi berkembang dengan cepat. Dalam tiga
menit, dijumpai atelektasis, perdarahan peribronkial, edema paru, dan degenerasi sel-sel epitel
bronkiolus. Dalam empat jam alveoli terisi dengan leukosit polimorfonuklear dan fibrin. Hal
ini menyebabkan hilangnya integritas mikrovaskular paru dan dan ekstravasasi cairan dan
protein ke dalam saluran napas dan alveoli. Membran hialin dijumpai dalam 48 jam, dimana
paru-paru secara makroskopis tampak edema dan hemoragik dengan konsolidasi alveoli.2,4

Pada pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh aspirasi partikel makanan dalam jumlah
kecil dan tidak asam pada tikus ditemukan inflamasi neutrofilik akut dalam 4 – 6 jam, tetapi
tidak dijumpai edema dini sebagaimana dijumpai pada aspirasi asam. Puncak respon monositik
dijumpai pada jam ke-48 paska aspirasi, dimana jaringan paru menunjukkan tanda-tanda awal
dari pembentukan granuloma.4 Pemberian antibodi monoklonal anti-IL-8 menurunkan kadar
IL-8, sekuestrasi neutrofil ke alveoli, dan mencegah gangguan oksigenasi dan cairan
ekstravaskular paru-paru pada kelinci percobaan.2

Pemberian obat yang menghambat kaskade komplemen di C5 menurunkan kadar TNF-


alfa di serum dan cairan BAL serta sekuestrasi neutrofil pada tikus. Penelitian lain melaporkan
bahwa pemberian antiserum anti-TNF-alfa menurunkan jumlah neutrofil, konsentrasi protein
dalam cairan Broncho Alveolar Lavage, serta edema di jantung dan ginjal.2 Sebuah penelitian
dengan follow up jangka panjang pada pasien yang bertahan hidup dari pneumonia aspirasi
berat menunjukkan penyembuhan sempurna pada beberapa pasien dan menjadi fibrosis paru
(secara radiografis) pada beberapa pasien lainnya.2

Berikut ini beberapa gambaran klinis yang mungkin ditemukan pada pneumonitis aspirasi:2

• Gejala mendadak dengan sesak napas yang prominen

• Demam subfebris

• Sianosis dan ronki pada auskultasi paru-paru

• Hipoksemia berat dan dijumpai infiltrat pada foto toraks. Bila aspirasi terjadi saat posisi
tegak, maka paru-paru yang terkena adalah lobus bawah. Sedangkan bila aspirasi terjadi saat
posisi berbaring, paru-paru yang terkena adalah bagian superior lobus bawah dan posterior
lobus atas.
Prognosis penyakit ini bervariasi. Sebuah penelitian retrospektif pada 50 kasus
pneumonitis aspirasi dilaporkan bahwa 12 % kasus mengalami pneumonitis fulminan dan
meninggal dalam waktu singkat karena Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), 62 %
mengalami perbaikan klinis yang cepat dengan foto toraks yang kembali normal, dan 26 %
awalnya mengalami perbaikan klinis yang cepat tetapi selanjutnya pada foto toraks dijumpai
perluasan infiltrat baru akibat infeksi sekunder oleh bakteri maupun superimposed ARDS yang
disebabkan oleh kerusakan paru akibat asam.2 Diagnosis pneumonitis aspirasi biasanya secara
presumtif berdasarkan gambaran klinis dan perjalanan penyakit sebagaimana dijelaskan di atas.
Kelainan foto toraks baru muncul dua jam setelah terjadi aspirasi. Pada pemeriksaan
bronkoskopi tampak eritema pada bronkus yang menunjukkan cedera bronkus akibat asam.2

Pasien yang mengalami aspirasi sebaiknya dilakukan tracheal suction untuk


membersihkan cairan dan partikel-partikel yang bisa menyebabkan obstruksi. Walaupun
demikian, hal ini tidak mencegah cedera paru akibat kimia yang terjadi sangat cepat;
selanjutnya inokulum asam akan dinetralisir oleh respon fisiologis. Penatalaksanaan utama
adalah mempertahankan fungsi paru. Sebuah penelitian pada hewan coba melaporkan manfaat
pemberian ventilasi tekanan positif, koloid secara intravena, dan sodium nitroprusid yang
diinfuskan ke dalam arteri pulmonalis. Ventilasi mekanis diindikasikan pada pasien yang
mengalami gagal napas.2

Pengunaan glukokortikoid pada pneumonitis aspirasi masih kontroversial. Penelitian


pada hewan coba melaporkan hasil yang bervariasi, tetapi penelitian pada manusia secara
umum tidak berhasil. Pemberian glukokortikoid untuk ARDS juga masih kontroversial.2
Sebuah penelitian pada hewan coba melaporkan bahwa paru yang mengalami cedera akibat
asam sangat rentan terhadap infeksi bakteri, dan sebuah penelitian klinis melaporkan bahwa 13
dari 26 % pasien mengalami superinfeksi paru dalam masa penyembuhan. Antibiotika
umumnya diberikan karena sulit untuk mengeksklusi infeksi bakteri pada pasien yang
mengalami aspirasi. Pada pasien yang sakit berat, bisa diberikan antibiotika empirik. Namun,
bila pada foto toraks tidak muncul gambaran infiltrat setelah 48 – 72 jam, pemberian antibiotika
dapat dihentikan.2

b. Pneumonia Aspirasi akibat Infeksi Bakteri

Bentuk pneumonia aspirasi yang paling sering dijumpai adalah yang disebabkan oleh
bakteri flora normal saluran napas bagian atas atau lambung. Pneumonia aspirasi biasanya
didefinisikan sebagai infeksi akibat bakteri yang kurang virulen, terutama bakteri anaerob dari
mulut dan Streptococcus, pada inang yang rentan mengalami aspirasi. Penelitian terakhir
melaporkan dominasi bakteri anaerob pada pneumonia aspirasi, dengan bakteri yang lebih
virulen seperti S. aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan basil garam negatif fakultatif lain.2

Pneumonia aspirasi bisa terjadi di komunitas, rumah sakit atau di rumah sakit / fasilitas
kesehatan (nosokomial). Pada keduanya, penyebab infeksi bisa bakteri anaerob atau disertai
bakteri aerob atau mikroaerofilik. Pneumonia nosokomial yang disebabkan aspirasi sering
dijumpai, dan patogen utama adalah flora yang didapat di rumah sakit melalui kolonisasi
orofaring (contohnya bakteri gram negatif enterik atau basil gram negati dan Staphylococcus
aureus).2,3 Penelitian bakteriologi awal pada pneumonia aspirasi yang didapat di komunitas
melaporkan bahwa etiologi sama seperti community acquired pneumonia (pneumonia
komunitas). Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa etiologi tersering adalah
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, dan
Enterobactericeae. Faktanya, dua buah penelitian pada pasien yang mengalami aspirasi diambil
sampel dengan menggunakan protective specimen brush dan dilakukan kultur anaerob, tidak
dijumpai isolasi bakteri anaerob.3

Pneumonia aspirasi nosokomial sering disebabkan oleh bakteri gram negatif, yaitu
Pseudomonas aeruginosa, khususnya pada pasien yang terintubasi. Selain itu, methicillin-
resistant S. Aureus (MRSA) lebih sering dijumpai pada pasien pneumonia aspirasi nosokomial
daripada di komunitas (4,2 % vs 1,4 %).3 Spesimen sputum dari pasien dengan pneumonia
aspirasi nosokimial, bahkan spesimen transtracheal aspiration yang diproses di laboratorium
terspesialisasi, menunjukkan pertumbuhan patogen aerob disertai patogen anaerob obligat.2
Bakteri anaerob merupakan organisme dominan di saluran napas bagian atas. Peran penting
mikroba ini pada pneumonia aspirasi, abses paru, dan empiema dilaporkan pertama kali pada
tahun 1970 dengan teknik pengambilan sampel yang hati-hati untuk mengisolasi bakteri
anaerob dan trans-tracheal aspiration untuk memperoleh spesimen yang tidak terkontaminaasi
dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang dibatukkan tidak sesuai untuk kultur bakteri
anaerob karena kemungkinan kontaminasi oleh flora normal di mulut. Pengalaman kultur dari
spesimen yang diperoleh dari bronkoskopi dengan protected brush atau broncoalveolar lavage
(BAL) masih sedikit.2

Bakteri anaerob utama yang diisolasi dari infeksi paru adalah Peptostreptococcus,
Fusobacterium nucleatum, Prevotella, dan Bacteroides spp. Sebuah penelitian prospektif pada
95 orang pasien yang berasal dari fasilitas perawatan kronis dan memiliki faktor risiko aspirasi
yang akhirnya dirawat di intensive care unit (ICU) karena pneumonia melaporkan bahwa basil
gram negatif paling sering ditemukan dari isolasi kuman (49 %), diikuti bakteri anaerob (16
%) dan S. aureus (12 %). Sebanyak 14 % dari pasien memiliki hasil isolasi kuman basil gram
negatif disertai bakteri anaerob.2

Sebagian besar pasien pneumonia aspirasi yang didapat di komunitas memiliki infeksi
campuran bakteri aerob dan anaerob, khususnya kasus-kasus yang melibatkan Streptococcus
aerob dan mikroaerofilik. Sebuah laporan dari Jepang yang menggunakan fine needle
transthoraccic aspiration atau protected brush cathether untuk memperoleh spesimen kultur
pada 212 orang pasien dengan abses paru menunjukkan bahwa Streptococcus aerob dan
mikroaerofilik merupakan patogen tersering (60 %) disusul oleh bakteri anerob (26 %).
Sebaliknya, pasien dengan pneumonia aspirasi nosokomial umumnya memiliki campuran
bakteri anaerob dan basil gram negatif atau S. aureus karena pada pasien rawat inap saluran
napas bagian atas sering dikolonisasi oleh basil gram negatif.2

Gambaran klinis pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri sangat bervariasi. Bila
dibandingkan dengan kebanyakan kasus penumonia komunitas, tempo pneumonia aspirasi
yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering timbul perlahan-lahan, dan menggigil jarang
dijumpai.2 Sebagian besar pasien datang dengan keluhan umum pneumonia, yaitu batuk,
demam, sputum purulen, dan sesak napas. Kasus yang melibatkan bakteri anaerob biasanya
timbul perlahan dalam beberapa hari atau minggu. Banyak pasien mengalami penurunan berat
badan dan anemia pada proses yang lebih kronis. Bila aspirasi dengan asam atau infeksi yang
disebabkan S. aureus atau basil gram negatif tempo yang dibutuhkan lebih cepat.2

Gambaran klinis yang merupakan ciri khas pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri
anaerob yaitu:2

• Kondisi yang menjadi predisposisi aspirasi, biasanya gangguan kesadaran akibat


penyalahgunaan obat, alkoholik, anastesia, atau disfagia.

• Tidak ada menggigil

• Tidak membaik sebagaimana yang disebabkan oleh patogen yang diperoleh dari
sputum yang dibatukkan

• Ada komorbid penyakit periodontal


• Foto toraks atau CT scan toraks menunjukkan nekrosis paru dengan abses paru dan/
atau empiema

Karena tempo timbulnya gambaran klinis secara perlahan-lahan, banyak pasien yang
datang terlambat setelah ada komplikasi seperti abses paru, pneumonia nekrotikans, atau
empiema, tapi sudah lebih jarang dijumpai.2 Pengobatan utama pneumonia aspirasi akibat
infeksi bakteri adalah antibiotika. Dahulu antibiotika pilihan untuk pengobatan pneumonia
aspirasi dan abses paru yang melibatkan bakteri anaerob adalah penisilin dosis tinggi yang
diberikan secara intravena (IV) atau per oral (PO). Namun, penelitian bakteriologi tahun 1970
melaporkan bahwa 25 % kasus memiliki bakteri anaerob yang memproduksi penisilinase,
terutama F. nucleatum, Peptostreptococcus, Bacteroides spp selain B. fragilis, dan Prevotella
sehingga adekuasi penisilin diragukan.2

Dua buah penelitian membandingkan penisilin dan klindamisin dalam mengobati abses
paru menyimpulkan bahwa klindamisin lebih superior dalam hal response rate dan waktu yang
dibutuhkan untuk menurunkan demam. Salah satu penelitian ini mengikutsertakan 37 orang
pasien dengan abses paru atau pneumonia nekrotikans, yang mana melaporkan bahwa failure
rate klindamisin lebih rendah (15 %) bila dibandingkan dengan penisilin (44 %).2 Sebuah
penelitian terandomisasi pada 100 orang pasien pneumonia aspirasi usia lanjut melaporkan
bahwa klindamisin (2 x 600 mg), ampisilin-sulbaktam (2 x 1,5 g), ampisilin sulbaktam (2 x 3
g), atau imipenem (2 x 500 mg) sama efektivitasnya dalam mengobati pneumonia aspirasi (cure
rates 76 – 88 %), tetapi klindamisin memiliki angka superinfeksi methicillin resistant S.aureus
(MRSA) paska terapi yang lebih rendah (0 dari 25 kasus) bila dibandingkan dengan antibiotika
lain (5 – 8 dari 25 kasus) dan harga klindamisin juga lebih murah.2

Terapi alternatif yang tampaknya efektif antara lain amoksisilin-klavulanat dan


penisilin dikombinasi dengan metronidazole. Metronidazole monoterapi memiliki failure rate
50% dalam mengobati infeksi pleuropulmonal anaerob diduga karena aktivitasnya kurang
dalam melawan Streptococcus aerob dan mikroaerofilik (ditemukan dalam 40 – 70 % kasus).2
Di antara fluoroquinolon, moxifloksasin paling disukai karena penelitian awal hasil yang baik
secara in vitro dalam melawan bakteri anaerob dan sebuah penelitian kecil juga telah
melaporkan manfaatnya pada pneumonia aspirasi dan abses paru. Namun demikian,
moksifloksasin belum diteliti secara adekuat untuk direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk pneumonia aspirasi, dan angka resistensi bakteri anaerob terhadap
moksifloksasin juga terus meningkat.2
Penggunaan terapi alternatif seperti makrolide, tetrasiklin, dan cefalosporin belum
diteliti secara sistematis untuk pneumonia aspirasi karena obat-obat ini tidak pernah terbukti
efikaasinya dalam mengobati infeksi anaerob.2 Jika pneumonia aspirasi disebabkan oleh
patogen anaerob, terapi lini pertama yang dianjurkan adalah klindamisin 600 mg (IV) setiap 8
jam diikuti 4 x 300 mg (PO), atau 3 x450 mg (PO). Terapi alternatif adalah amoksisillin-
klavulanat 2 x 875 mg (PO) atau kombinasi metronidazol 3 x 500 mg (PO) dengan amoksisillin
3 x 500 mg (PO) atau penisilin G 1 – 2 juta unit (IV) setiap 4 – 6 jam.2

Untuk pneumonia aspirasi nosokomial, kebanyakan penulis melaporkan bahwa bakteri


aerob, khususnya basil gram negatif dan S. aureus, lebih penting daripada bakteri anaerob
sehingga terapi diarahkan pada bakteri aerob. Bila dibutuhkan antibiotika yang bisa mengontrol
bakteri anaerob sekaligus basil gram negatif aerob, dianjurkan untuk memberikan karbapenem
atau piperasilin-tazobaktam.2 Durasi pemberian antibiotika pada pneumonia aspirasi belum
banyak diteliti. Pada kasus pneumonia aspirasi tanpa kavitasi atau empiema antibiotika
biasanya diberikan selama 7 – 10 hari. Kasus dengan efusi pleura sebaiknya dilakukan
torakosentesis untuk mengeksklusi empiema, yang sering sebagai komplikasi pneumonia
bakteri anaerob. Pasien dengan abses paru memerlukan antibiotika lebih lama, biasanya sampai
terjadi perbaikan radiologis (small stable residual lession).2

c. Pneumonitis Aspirasi yang menyebabkan Obstruksi Saluran Napas

Pneumonitis aspirasi bisa melibatkan cairan atau partikel yang tidak toksik terhadap paru, tetapi
bisa menyebabkan obstruksi saluran napas atau refleks penutupan saluran napas. Contoh cairan
yang tidak toksik terhadap paru tapi bisa menyebabkan obstruksi saluran napas adalah larutan
salin, barium, cairan yang diminum, isi lambung dengan pH > 2,5.2

Sebuah penelitian pada hewan coba melaporkan masuknya cairan ke dalam trakea
dalam jumlah sedikit menyebabkan hipoksemia transien yang sembuh sendiri. Kadang-kadang
hal ini dapat mencetuskan edema paru, hipoksemia yang lebih berat, dan menurunkan
compliance paru. Namun demikian, reaksi ini bisa reversibel dengan vagotomi atau pemberian
atropin maupun isoproterenol, mengindikasikan adanya refleks penutupan paru. Jenis aspirasi
ini sulit dikenali secara klinis. Penatalaksaan yang tepat adalah dengan ventilasi tekanan positif
(VTP) dengan oksigen 100 % dikombinasi dengan isoproterenol. 2 Contoh pneumonia aspirasi
cairan yang menyebabkan obstruksi saluran napas paling sering adalah tenggelam. Pasien yang
berisiko mengalami obstruksi mekanis adalah yang yang tidak memiliki refleks batuk atau
gangguan kesadaran. 2
Penatalaksanaan terpenting adalah tracheal suctioning. Jika selanjutnya foto toraks
tidak menunjukkan gambaran infiltrat pada paru, tidak perlu diberikan terapi lebih lanjut selain
mencegah episode aspirasi terulang kembali. Pada pasien rawat inap dianjurkan posisi
2
semifowler atau posisi tegak. Derajat keparahan obstruksi saluran napas tergantung pada
ukuran relatif zat yang teraspirasi dan kaliber saluran napas bagian bawah. Aspirasi benda asing
paling sering terjadi pada anak-anak usia 1 – 3 tahun. Benda yang paling sering ditemukan di
saluran napas bagian bawah adalah kacang, partikel sayur-sayuran, zat anorganik, dan gigi.
Partikel sayur-sayuran, termasuk kacang, problematik karena tidak terlihat pada foto toraks.

Dampak klinis bergantung pada level obstruksi. Obstruksi partikel besar yang
tersangkut di laring atau trakea menyebabkan sesak napas mendadak, sianosis, dan afonia yang
cepat menyebabkan kematian bila obstruksi tidak segera dibebaskan. Hal ini kada-kadang
disebut juga “cafe coronary syndrome” karena mirip gejala infark miokard dan sering dijumpai
aspirasi daging saat sedang makan di restoran. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah
Heimlich manuever, yaitu menekan perut bagian atas dengan cepat dan kuat untuk mendorong
diafragma ke atas dan mengeluarkan partikel. 2

Aspirasi partikel yang lebih kecil menyebabkan obstruksi lebih ringan. Pasien sering
datang dengan batuk yang mengganggu dan foto toraks menunjukkan atelektasis atau emfisema
obstruktif dengan pergeseran jantung dan diafragma meninggi. Jika obstruksi parsial, bisa
dijumpai wheezing unilateral. Superinfeksi bakteri merupakan komplikasi yang sering
dijumpai jika obstruksi menetap selama lebih dari satu minggu; patogen tersering adalah
bakteri anaerob yang berasal dari saluran napas bagian atas. Penatalaksanaan primer adalah
membuang benda asing, biasanya dengan menggunakan bronkoskopi fibreoptic atau rigid. 2

d. Pneumonia Lipoid

Pneumonia lipoid sering disebabkan oleh aspirasi mineral oil ketika digunakan untuk
konstipasi. Pasien yang paling sering terkena adalah usia tua yang memiliki faktor risiko
aspirasi. Akibatnya terjadi respon inflamasi dengan edema regional dan perdarahan
intraalveolar atau parafinoma dimana minyak yang teraspirasi dikapsulasi oleh jaringan
fibrosa. Gambaran klinis awal adalah batuk, demam, dan dispnu; selanjutnya tampak massa
pada pemeriksaan pencitraaan pasien yang sudah asimtomatik.2
2.8 Kriteria Diagnosis

Diagnosis pneumonia aspirasi harus dilihat dari gejala pasien dan temuan dari
pemeriksaan fisik. Keterangan dari foto polos dada, pemeriksaan darah dan kultur sputum
yang juga bermanfaat. Foto torak biasanya digunakan untuk mendiagnosis pasien di rumah
sakit dan beberapa klinik yang ada fasilitas foto polosnya. Namun, pada masyarakat
(praktek umum), pneumonia biasanya didiagnosis berdasarkan gejala dan pemeriksaan
fisik saja. Mendiagnosis pneumonia bisa menjadi sulit pada beberapa orang, khususnya
mereka dengan penyakit penyerta lainnya. Adakalanya CT scan dada atau pemeriksaan lain
diperlukan untuk membedakan pneumonia dari penyakit lain.1,5

Orang dengan gejala pneumonia memerlukan evaluasi medis. Pemeriksaan fisik oleh
tenaga kesehatan menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh, peningkatan laju
pernapasan (tachypnea), penurunan tekanan darah (hipotensi) , denyut jantung yang cepat
(takikardi) dan rendahnya saturasi oksigen, yang merupakan jumlah oksigen di dalam darah
yang indikasikan oleh oksimetri atau analisis gas darah. Orang dengan kesulitan bernapas,
yang bingung, atau memiliki sianosis memerlukan perhatian segera.2,5

Pemeriksaan fisik tergantung pada luas lesi di paru. Pada pemeriksaan terlihat bagian
yang sakit tertinggal waktu bernapas, fremitus raba meningkat disisi yang sakit. Pada
perkusi ditemukan redup, pernapasan bronkial, ronki basah halus, egofoni, bronkofoni,
“whispered pectoriloquy”. Kadang- kadang terdengar bising gesek pleura (pleural friction
rub). Distensi abdomen terutama pada konsolidasi pada lobus bawah paru, yang perlu
dibedakan dengan kolesistitis dan peritonitis akut akibat perforasi.2

Pemeriksaan penunjang
1 . Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan jumlah leukosit yang meningkat (lebih
dari 10.000/mm3, kadang- kadang mencapai 30.000/mm3), yang mengindikasikan
adanya infeksi atau inflamasi. Tapi pada 20% penderita tidak terdapat leukositosis.
Hitung jenis leukosit “shift to the left”. LED selalu naik. Billirubin direct atau
indirect dapat meningkat, oleh karena pemecahan dari sel darah merah yang
terkumpul dalam alveoli dan disfungsi dari hepar oleh karena hipoksia. Untuk
menentukan diagnosa etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Analisis gas darah menunjukan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.3

2.Pemeriksaan radiologi

a. Foto Toraks
Pemeriksaan radiologi pilihan untuk pneumonia aspirasi adalah foto toraks.13
Gambaran radiologi pneumonia aspirasi bervariasi tergantung pada beratnya penyakit
dan lokasinya. Lobus bawah dan lobus tengah kanan paling sering terkena, Tetapi lobus
bawah kiri juga sering. Ditemukan area-area ireguler yang tidak berbatas tegas yang
mengalami peningkatan densitas. Pada tahap awal area densitas tinggi tersebut hanya
lokal, akan tetapi pada tahap lanjut akan berkelompok/ menyatu (infiltrat). Pada
beberapa kasus pneumonia aspirasi bersifat akut dan akan bersih dengan cepat ketika
penyebab yang menimbulkan aspirasi telah teratasi. Pada beberapa kasus, pneumonia
disebabkan oleh penyakit kronik dan aspirasi berulang akan mengakibatkan
pneumonitis basis paru kronik yang menampilkan bercak berawan (perselubungan
14,15
inhomogen).
Lokasi infiltrate:
 Bagian tengah dan bawah lobus kanan paru paling sering terjadi inflamasi
dengan ukuran lebih besar
 Pasien yang mengalami aspirasi pada keadaan berdiri, infiltrat akan terbentuk
pada lobus kanan dan kiri bagian bawah.
 Pasien yang mengalami aspirasi pada pada keadaan berbaring posisi dekubitus
lateral kiri, infiltrate akan terbentuk pada sisi kiri.
 Pada pasien pecandu alkohol yang mengalami aspirasi pada posisi prone,
kosolidasi yang terbentuk lebih sering pada lobus atas paru-paru kanan.
Gambar Aspiration pneumonia. Memperlihatkan infiltrat pada paru

Gambaran radiologi klasik dari pneumonia adalah perselubungan inhomogen


(konsolidasi) dengan air bronchograms sign, dengan distribusi segmental atau lobar.
Pneumonia aspirasi dapat terjadi pada pasien yang kesulitan menelan. Pneumonia
disebabkan oleh aspirasi bahan-bahan yang terinfeksi dari orofaring dan esophagus ke
dalam saluran napas bawah. Keadaan ini sering ditemui pada pasien yang tidak sadar
dan pada pasien dengan penyakit neuromuscular atau kelainan esophagus yang
menimbulkan refluks (refluks gastroesofageal). Segmen posterior lobus atas kanan
atau segmen superior lobus bawah kanan yang sering terkena. Infiltrat pada basis lobus
bawah bilateral juga pertanda pneumonia aspirasi. Aspirasi dalam jumlah kecil tetapi
berulang-ulang akan memberikan gambaran infiltrate difus. 16

Pada foto toraks terlihat gambaran infiltrat pada segmen paru unilateral yang
dependen dan mungkin disertai kavitasi dan efusi pleura. Lokasi tersering adalah lobus
kanan tengan dan/atau lobus atas, meskipun lokasi ini tergantung kepada jumlah aspirat
dan posisi badan pada saat aspirasi.8

Gambar Foto toraks seorang pasien dengan pneumonia aspirasi besar dari paru kanan 16
Gambar . Aspirasi pneumonia.. Foto toraks PA tampak radioopak pada lobus bawah kiri. 17

Gambar rontgen thorax pasien dengan aspirasi masif pada paru-paru kanan.5
Gambar rontgen thorax pasien dengan pneumonia aspirasi paru-paru kiri5

Computed Tomography Scanning (CT scan) Toraks

Pemeriksaan CT scan lebih unggul dibanding dengan foto konvensional dalam menentukan
sifat, luas, dan komplikasi aspirasi. Multidetektor CT (MDCT) telah terbukti efektif dalam
mengevaluasi adanya benda asing atau cairan. Pada pasien yang diduga aspirasi benda asing,
dalam hubungannya dengan MDCT, dapat menggambarkan lokasi yang sesungguhnya.
Temuan ini mungkin dapat membantu penyebab aspirasi seperti fistulla atau tumor
tenggorokan, laring, atau kerongkongan.18 Gambaran CT scan yang dapat kita peroleh pada
pneumonia aspirasi adalah adanya peningkatan densitas dari paru-paru yang terkena bahan
aspirasi berupa bayangan opak. Bayangan ini terlihat seperti konsolidasi dan ground-glass
opacities.13,15

Gambar Aspirasi pneumonia. CT scan melalui bronkus lobus bawah


menunjukkan benda logam di kiri bawah bronkus lobus 18
Magnetic Resonance Imaging (MRI) Toraks
Beberapa penelitian besar dari MRI yang didedikasikan untuk penyakit aspirasi pneumonia ini
telah dilakukan. Namun, hasil dari studi kasus dipublikasikan untuk mengkonfirmasi akurasi
pencitraan MRI untuk kondisi-kondisi seperti peradangan akut, granuloma, dan fibrosis. MRI
berkerja baik dalam mendefinisikan sifat aspirasi dan reaksi tubuh terhadap aspirasi. Beberapa
penulis telah menemukan bahwa MRI lebih unggul daripada CT scan dalam diagnosis lipoid
aspirasi.18

Gambar gambaran pneumonia dengan menggunakan MRI terlihat pada panah yang terbesar

2.9 Tatalaksana
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah.
1. Penderita yang tidak dirawat
a. Istirahat di tempat tidur, bila panas tinggi dikompres
b. Minum banyak
c. Obat-obat penurun panas, mukolitik dan ekspektoran
d. Antibiotika

2. Perawatan di Rumah Sakit


Indikasi rawat penderita pneumonia adalah penderita sangat muda atau tua, keadaan
klinis berat (misalnya sesak napas, kesadaran menurun. gambaran kelainan foto toraks cukup
luas), ada penyakit lain yang mendasari (seperti bronkiektasis, bronkitis kronik), ada
komplikasi dan tidak ada respons terhadap pengobatan yang diberikan atau sesuai sistim skor
yang dapat dilihat pada tabel 2. Pada penderita yang dirawat penatalaksanaan dibagi atas :
penatalaksanaan umum dan pengobatan kausal.
a. Penatalaksanaan umum
- pemberian oksigen
- pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
- mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan napas
- obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi atau
terjadi kelainan jantung
- bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri
- obat-obat khusus pada keadaan tertentu
b. Pengobatan kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
MO (mikroorganisme) dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan
1. Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan pemberian
antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi
2. Kuman patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena itu
diputuskan pemberian antibiotika secara empirik. Pewarnaan gram sebaiknya dilakukan pada
semua sediaan yang dicurigai sebagai sumber infeksi dan sebagai petunjuk pilihan pada
pengobatan pendahuluan
3. Perlu diketahui riwayat pemberian antibiotika sebelumnya pada penderita.

Pneumonia yang berat dapat diartikan sebagai pneumonia yang perlu perawatan di ICU,
karena pneumonia berat dapat mengancam kehidupan. Berdasarkan modifikasi kriteria
pneumonia berat menurut ATS dibagi menjadi 17
a. Kriteria minor (data dasar ketika penderita datang) :
1. Frekuensi napas > 30/menit
2. PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
3. Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral
4. Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus
5. Tekanan sistolik < 90 mmHg
6. Tekanan diastolik < 60 mmHg
b. Kriteria mayor (data yang ditemukan pada waktu masuk atau
pada pengamatan selanjutnya)
1. Membutuhkan ventilasi mekanik
2. Infiltrat bertambah > 50%
3. Membutuhkan vasopressor > 4 jam (septik shok)
4. Serum kreatin > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.

Penderita yang memerlukan perawatan ICU adalah penderita yang mempunyai paling
sedikit 2 dari 3 gejala minor atau 1 dari 2 gejala mayor. Apabila Kuman penyebab pneumonia
sulit ditemukan maka pengobatan awal yang diberikan adalah antibiotika secara empiris. Untuk
hal tersebut maka antibiotika golongan betalaktam sering digunakan. Akhir-akhir ini
antibiotika golongan betalaktam banyak yang resisten terhadap sebagian besar kuman patogen,
maka diperlukan antibiotika yang dapat mengatasi hal tersebut. Kesepakatan dari infectious
diseases society of America (IDSA) merekomendasikan makrolid baru atau fluorokuinolon
baru untuk dipakai mengatasi infeksi saluran napas bawah. Pada tabel dibawah dapat dilihat
klasifikasi dari fluorokuinolon baru.

Tabel klasifikasi Golongan Fluorokuinolon terbaru


Generation Fluoroquinolone Antibacterial activity
First Nalidixic acid, oxolinic acid, cinoxacin Mainly against
Ciprofloxacin,pefloxacin,norfloxacin, enterobacteriaceae
Second ofloxacin, lomefloxacin
Enhanced,but mainly against
Levofloxacin,sparfloxacin, temaflo- gram-negative bacteria;
Third xacin,grepafloxacin limited against gram-
positive bacteria
Trovafloxacin (restricted),gatifloxa- Enhanced broad-spectrum
Fourth cin,moxifloxacin,clinafloxacin, activity against both gram-
gemifloxacin (investigational) positive and gram negative
bacteria Extended
activity,including against
anaerobes
Note : Third and fourth generation are “respiratory” fluoroquinolones
2.10 Komplikasi Pneumonia Aspirasi
Komplikasi aspirasi terdiri dari gagal napas akut, ARDS, dan pneumonia bakterial.
Komplikasi pneumonia bakterial terdiri dari efusi parapneumonia, empiema, abses paru,
superinfeksi, dan fistula bronkopleura. Pneumonitis aspirasi bisa cepat berkembang menjadi
gagal napas.3 Pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering berkomplikasi
menjadi abses paru. Sekitar 80 % abses paru merupakan abses paru primer dan sisanya abses
paru sekunder. Abses paru primer sering disebabkan oleh bakteri anaerob dan muncul tanpa
penyakit dasar paru atau sistemik. Sebaliknya abses paru sekunder terjadi pada pasien dengan
penyakit dasar, seperti proses post-obstruksi (misalnya benda asing di bronkus atau tumor) atau
suatu proses sitemik (misalnya infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais lain).13

2.11 Prognosis Pneumonia Apirasi


Prognosis baik pneumonitis aspirasi maupun pneumonia aspirasi tergantung pada
penyakit dasar, komplikasi, dan status kesehatan pasien. Sebuah penelitian retrospektif
melaporkan bahwa angka kematian-30 hari pada pneumonia aspirasi secara umum 21 % dan
pada pneumonia aspirasi nosokomial sebesar 29,7 %. Angka kematian ini bervariasi tergantung
komplikasi penyakit. Pada sindrom Mendelson yang dilaporkan pada tahun 1946 pada 61 orang
pasien obstetri yang mengalami aspirasi asam lambung selama anastesi, semuanya mengalami
perbaikan klinis menyeluruh dalam 24 – 36 jam. Pada penelitian selanjutnya pada pasien yang
lebih tua, angka kematian pneumonitis aspirasi 30 – 62 % karena sering menyebabkan ARDS.
Angka kematian pneumonitis aspirasi yang berat (sindrom Mendelson) bisa mencapai 70 %.3
Jika pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri tidak diterapi secara dini, bisa
menyebabkan komplikasi, antara lain abses paru dan fistula bronkopleura. Pneumonia aspirasi
nosokomial dihubungkan dengan lama rawat lebih panjang dan peningkatan angka mortalitas.3
Angka mortalitas pneumonia aspirasi dengan komplikasi empiema diperkirakan 20 %. Angka
mortalitas pneumonia aspirasi tanpa komplikasi sekitar 5 %. Sebuah penelitian pada tikus yang
mengalami pneumonitis aspirasi lebih rentan terhadap infeksi saluran napas.3

2.12 Definisi ARDS


Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan perlukaan inflamasi paru yang
bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular paru,
peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara, dengan hipoksemia
dan opasitas bilateral pada pencitraan, yang dihubungkan dengan peningkatan shunting,
peningkatan dead space fisiologis, dan berkurangnya compliance paru.
2.13 Etiologi ARDS
Data pada tahun 2016 menunjukkan, dari 50 negara, prevalensi ARDS mencapai 10,4%
dari total pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Faktor risiko umum ARDS dibagi
menjadi faktor risiko langsung dan tidak langsung. Berikut adalah tabel faktor risiko umum
pada ARDS.

Tabel Faktor risiko umum ARDS


Faktor Risiko Langsung Faktor Risiko Tidak Langsung
Pneumonia Sepsis Non-Pulmonal
Aspirasi Isi Lambung Trauma Mayor
Trauma Inhalasi Pankreatitis
Vaskulitis Paru Luka Bakar Berat
Kontusio Paru Syok Non Kardiogenik
Tenggelam Overdosis Obat
Tenggelam Transfusi(Transfusions Associated Acute
Lung Injury/TRALI)

2.14 Patofisiologi ARDS


Kerusakan karena inflamasi terjadi di alveoli dan endotel kapiler paru karena produksi
mediator proinflamasi lokal atau yang terdistribusi melalui arteri pulmonal. Hal ini
menyebabkan hilangnya integritas barier alveolar-kapiler sehingga terjadi transudasi cairan
edema yang kaya protein.
Sel tipe I (menyusun 90% epitel alveolar) merupakan jenis sel yang paling mudah rusak,
menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli dan penurunan pembersihan cairan dari
rongga alveolus. Sedangkan sel tipe II tidak mudah rusak namun memiliki peran multipel
seperti produksi surfaktan, transpor ion, dan proliferasi dan diferensiasi menjadi sel tipe I
setelah trauma. Kerusakan pada kedua sel ini menyebabkan penurunan produksi surfaktan dan
penurunan komplians.
Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi berdampak pada terjadi Perburukan V/Q
matching dengan shunting yang dapat dilihat dari hipoksia arterial dan gradien A-a yang sangat
besar, hipertensi pulmonal, penurunan komplians paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang
tersisa, serta gangguan pada proses normal perbaikan paru yang berkembang menjadi fibrosis
paru pada stadium lanjut.
2.15 Gejala dan Tanda ARDS
Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat injuri paru,
dan ada tidaknya disfungi organ lain selain paru. Gejala yang dikeluhkan berupa sesak napas,
membutuhkan usaha lebih untuk menarik napas, dan hipoksemia. Infiltrat bilateral pada foto
polos toraks menggambarkan edema pulmonal. Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)
dapat terjadi karena abnormalitas biokimia sistemik.

2.16 Diagnosis ARDS


Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut ini.
1. Akut, yang berarti onset berlangsung satu minggu atau kurang dari itu.
2. Opasitas bilateral yang konsisten dengan edema paru yang dideteksi dengan CT
scan atau foto polos toraks.
3. PF ratio kurang dari 200 mmHg dengan minimal nilai PEEP atau CPAP sebesar 5
cmH2O.
4. Tidak dapat dijelaskan sebagai gagal jantung atau overload cairan. Pemeriksaan
objektif dapat dilakukan (misalnya ekokardiografi), pada beberapa kasus jika tidak
ada penyebab yang jelas seperti trauma atau sepsis.

2.17 Diagnosis Banding ARDS


Diagnosis banding ARDS adalah gagal napas akut hipoksemik, gagal jantung kiri,
penyakit akut parenkim paru seperti pneumonia akut eosinofilik, bronchitis obliterans
organizing pneumonia (BOOP), pneumonia akut intersisial, karsinoma sel bronkoalveolar,
proteinosis alveolar pulmonal, perdarahan alveolar pada penyakit Goodpasture’s,
granulomatosis Wegener’s, dan Lupus Eritematosus Sistemik.

2.18 Klasifikasi ARDS


Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok berdasarkan nilai
PaO2/FiO2. Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) dalam kriteria ini. Berikut merupakan
definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin:
1. Ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang dari dan sama
dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure (PEEP) atau
continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O.
2. Sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari dan sama
dengan 200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
3. Berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
2.19 Tatalaksana ARDS
Aspek esensial dalam tata laksana pasien dengan ARDS adalah mengobati penyebab
presipitasi, menyediakan perawatan suportif yang baik, dan mencegah komplikasi lanjut.
Ventilasi volume tidal rendah (6 mL/kg BB ideal) sebaiknya diberikan pada semua pasien
dengan ARDS. Hal ini dapat menurunkan ventilasi per menit lalu meningkatkan PaCO₂.
Positive end expiratory pressure (PEEP) biasanya diperlukan untuk menjaga oksigenasi dalam
level yang adekuat. Posisi pronasi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi namun
tidak berkaitan dengan penurunan mortalitas.
Tidak ada terapi spesifik yang efektif untuk pasien dengan ARDS. Penerapan strategi
pemberian cairan, menjaga tekanan vena sentral serendah mungkin akan mempersingkat masa
pemakaian ventilasi mekanik. Berdasarkan beberapa penelitian, penggunaan kortikosteroid dan
nitric oxide tidak direkomendasikan pada ARDS.Terapi non-konvensional seperti
memposisikan pasien dalam posisi tengkurap (prone position), memberikan efek dalam
meningkatkan oksigenasi dan berhubungan dengan menurunkan mortalitas.

2.20 Komplikasi ARDS


Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi nosokomial yang terjadi pada hampir
setengah pasien, miopati yang berkaitan dengan blokade neuromuskular jangka panjang,
tromboemboli vena, perdarahan traktus GI, serta nutrisi inadekuat.

2.21 Prognosis ARDS


Faktor yang mempengaruhi mortalitas adalah usia pasien >65 tahun, adanya penyakit
hepar kronik, dan disfungsi organ multipel. Lebih dari setengah pasien akan bertahan dengan
sisa kerusakan paru walaupun masalah fungsi neuromuskular atau depresi dapat menyertai.

Anda mungkin juga menyukai