Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Informed Consent Psikiater terhadap Pasien Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa

Pembimbing

dr. Liaw Djai Yen, SpF

Disusun Oleh:

Albert Arifin (11-2017-189)


Meidy Lim (11-2017-190)
Harisma Minarti Maakh (11-2017-191)
Herlin Indah Bangalino (11-2017-192)
Yolanda Erizal (11-2017-193)
Irmayanti Emang (11-2017-194)
Natanael Petra (11-2017-195)
Theresia Cesa Puteri Wongkar (11-2017-196)

KEPANITERAAN DASAR

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

JAKARTA

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan-Nya,
sehingga Refrat ini dapat diselesaikan. Refrat dengan judul “INFORMED CONSENT
PSIKIATER TERHADAP PASIEN PSIKIATRI DI RUMAH SAKIT JIWA” ini ditujukan
untuk memenuhi sebagian dari persyaratan Kepaniteraan Dasar di Universitas Kristen Krida
Wacana. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan doa, Refrat ini tidak akan
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada dr. Liaw Djai Yen, SpF sebagai Pembimbing Refrat yang telah memberikan bimbingan
dan banyak masukan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-
rekan kelompok 9 yang telah bekerja sama dalam menyelesaikan Refrat ini. Akhir kata, penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan Refrat ini. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat bermanfaat bagi penulis. Semoga Refrat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 28 April 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………..1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...2
DAFTAR ISI…......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………........................................................................................4


1.2 Tujuan Refrat……..............................................................................................5
1.3 Manfaat Refrat……............................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Informed Consent………………………….........................................6
2.2 Dasar Hukum Informed Consent………………………………………………6
2.3 Informasi dalam Informed Consent……………..……………………………..7
2.4 Bentuk Informed Consent……………………..…………………….................8
2.5 Prinsip Informed Consent………………………………………………….......9
2.6 Fungsi Informed Consent……………………………………………………....9
2.7 Kompetensi dan Kapasitas pada Pasien Psikiatri…………………………......10
2.8 Informed Consent pada Pasien Psikatri…………………………………….....12
2.9 Competency dan Capacity dalam Hubungannya dengan Etik dan Legal…......14
2.10 Alasan Moral Persetujuan Tindakan Medis……………………………….......16
2.11 Pemberian Informasi dan Persetujuan…………………………………………17
2.12 Pemberi Persetujuan Informed Consent…………………………………….....19
2.13 Berlakunya Informed Consent………………………………………………....19

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……………………………………………………...…………......21
5.2 Saran…...…………………………………………………………………........21

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….....22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir
masyarakat saat ini pun kian maju oleh karena mudahnya pengaksesan informasi,
termasuk informasi kesehatan. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat menjadi lebih
kritis dalam menilai setiap tindakan media yang diperolehnya. Sehingga hubungan
dokter-pasien yang pada awalnya adalah hubungan yang bersifat paternalistic lambat
laun berubah menjadi hubungan yang kontraktual, dimana dokter dan pasien adalah
pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memliki perbedaan kapasitas dalam membuat
keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas
segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting,
terutama yang terkait dengan nilai normal dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak
mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya
kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan
pengambilan keputusan kepada dokter.1
Pasien memiliki hak untuk diinformasikan dan secara aktif terlibat dalam
perawatan yang akan dilakukan. Hak membuat keputusan dan menolak tentang
perawatan yang akan dilakukan. Informed consent merupakan perlindungan etis yang
paling dikenal secara luas dalam perawatan klinis dan penelitian. Namun, bagaimana
menjaga prinsip etika pada orang dengan gangguan mental menimbulkan dilema.
Menurut definisi orang dengan gangguan mental tidak selalu memiliki fungsi kognitif
yang berkurang dan penilaian yang buruk dan oleh karena itu tidak selalu terganggu
untuk dilakukan informed consent. Di sebagian negara, kebijakan etika medis yang ada
mengharuskan praktisi kesehatan untuk memperoleh informed consent dari pasien
sebelum memulai intervensi, baik invasif atau sebaliknya. Informed consent, sebagai
faktor yang paling mendasar untuk praktik medis.1,2
Dengan demikian referat ini bertujuan menyajikan hal-hal penting dari informed
consent pada pasien dengan kondisi mental yang berkurang ataupun pasien psikiatri serta
menentukan situasi dimana persetujuan mungkin tidak diperlukan.

4
1.2. Tujuan

Tujuan dari referat ini diantaranya untuk memberikan gambaran mengenai hal-
hal penting pada informed consent yang dilakukan psikiater terhadap pasien psikiatri dan
situasi apa saja dimana persetujuan atau informed consent tidak diperlukan.

1.3. Manfaat

Referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta pembaca


mengenai informed consent psikiater terhadap pasien psikiatri. Selain itu, referat ini juga
akan dijadikan untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Dasar di Universitas Kristen
Krida Wacana.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Informed Consent

Informed consent didefinisikan sebagai proses dimana informasi eksplisit


diberikan kepada pasien atau subjek eksperimental yang relevan bagi mereka untuk
memutuskan apakah akan atau tidak berpartisipasi dalam perlakuan tertentu. Informed
consent juga didefinisikan sebagai penerimaan sukarela dari rencana perawatan medis
oleh pasien yang berkompeten setelah dokter mengungkapkan rencana, resiko, manfaat
dan pendekatan alternatifnya secara memadai.1 Dari sudut pandang etis, informed consent
adalah proses komunikasi, dimana seseorang pasien diberi kesempatan untuk membuat
keputusan yang diinformasikan dan sukarela menerima atau menolak perawatan medis.2

Landasan etika utama dari informed consent adalah prinsip menghormati otonomi
pribadi dan penentuan nasib sendiri. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap
orang memiliki nilai dan martabat yang melekat, yang dilestarikan dengan
memungkinkan mereka kebebasan untuk mengatur agenda kehidupan mereka sendiri dan
membuat pilihan mereka sendiri berdasarkan pada nilai-nilai dan sistem kepercayaan
mereka sendiri.

Dalam psikiatri, seperti dalam cabang kedokteran lainnya, informed consent


adalah perjanjian yang didasarkan pada pemahaman dan penghargaan yang tepat
terhadap informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan. Hal ini umumnya
dianggap sebagai tindakan bebas pikiran, dan biasanya disertai dengan beberapa tingkat
pertimbangan mental yang beralasan. Secara hukum, pasien harus memberikan izin
mereka sebelum dokter dapat melanjutkan perawatan, kecuali dalam situasi terbatas.
Psikiater memiliki tugas khusus untuk memastikan bahwa pasien dengan penyakit mental
mampu memberikan persetujuan yang bebas yang telah diinformasikan.2

2.2. Dasar Hukum Informed Consent

Adapun aspek prosedural hukum yang penting untuk informed consent yang
seharusnya tidak diabaikan. Psikiater harus benar-benar paham mengenai unsur-unsur
persetujuan serta persyaratan undang-undang.2

6
Informed consent diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/ PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Informed
consent atau persetujuan tindakan kedokteran merupakan persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pihak
yang bertanggung jawab menyampaikan penjelasan kepada pasien adalah dokter yang
melakukan tindakan kedokteran. Tetapi apabila dokter yang bersangkutan berhalangan
untuk menyampaikan penjelasan, penjelasan dapat diwakilkan kepada dokter lain dengan
sepengetahuan dokter yang bersangkutan. Pendelegasian wewenang kepada perawat
hanya dibenarkan apabila tindakan kedokteran tersebut bukan merupakan tindakan bedah
atau tindakan invasif lainnya.3

2.3. Informasi dalam Informed Consent

Berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


290/MENKES/PER/ III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, penjelasan
yang disampaikan haruslah mudah dipahami dan setidak-tidaknya berkisar padahal
pokok sebagai berikut:3

a) Penjelasan mengenai diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, yang meliputi: (1)
temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut; (2) diagnosis
penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja atau diagnosis banding; (3) indikasi atau keadaan klinis pasien yang
membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran; (4) prognosis apabila dilakukan
tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan; dan (5) tata cara pelaksanaan
tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek
samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
b) Penjelasan tentang tujuan tindakan kedokteran yang akan dilakukan, meliputi tujuan
tindakan kedokteran yang dapat berupa preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun

rehabilitatif. 


c) Penjelasan tentang alternatif tindakan kedokteran lain yang tersedia dan risikonya
masing-masing, meliputi: (1) alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan
kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan; (2) risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan; (3)

7
perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat

risiko dan komplikasi tersebut dan keadaan tak terduga lainnya. 


d) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi , meliputi: (1) risiko
dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum; (2) risiko dan komplikasi
yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan; dan (3) risiko dan
komplikasi yang tidak dibayangkan sebelumnya (unforeseeable).
e) Penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan kedokteran tersebut
dilakukan atau tidak dilakukan, meliputi: (1) prognosis tentang hidup dan matinya
(ad-vitam); (2) prognosis tentang fungsinya (ad functionam); dan (3) prognosis
tentang kesembuhan (ad sanationam).

2.4. Bentuk Informed Consent

Bentuk informed consent di bedakan menjadi dua yaitu :4

1. Informed consent yang dinyatakan secara tegas


a) Informed consent yang dinyatakan secara lisan yaitu apabila tindakan medis
itu tidak berisiko, misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan terapi
medis, sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung risiko misalnya
pembedahan, informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani
oleh pasien
b) Informed consent yang dinyatakan secara tertulis yaitu bentuk yang paling
tidak diragukan. Namun jika dilakukan dengan cara lisan juga sah, kecuali jika
ada syarat hukum tertentu yang menuntut informed consent tertulis untuk
prosedur tertentu.
2. Informed consent yang dinyatakan secara tersirat

Informed consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat ada gerakan
pasien yang diyakini oleh dokter. dengan anggukan kepala, maka dokter dapat
menanggap isyarat tersebut sebagai tanda setuju. Dapat dikatakan bahwa pasien
membiarkan dokter untuk memeriksa bagian tubuhnya, dengan pasien membiarkan
/ menerima dan tidak menolak maka dokter menganggap hal ini sebagai suatu
persetujuan untuk dilakukan oleh pasien jika pasien telah menyetujui ataupun tidak
bertanya lebih lanjut tentang informasi dari dokter, dianggap telah mengetahui
penjelasan dokter.

8
2.5. Prinsip Informed Consent

Informed consent dimaksudkan persetujuan bebas yang diberikan oleh pasien


terhadap suatu tindakan medis, setelah ia memperoleh semua informasi penting
mengenai sifat serta konsekuensi tindakan tersebut. Prinsip informed consent berakar
pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas pribadi pasien harus dilindungi.
Integritas manusia menuntut bahwa setiap orang bertindak menurut apa yang
diketahuinya dan berdasarkan pilihan bebasnya. Pilihan sedemikian secara personal
bersumber dari dalam diri sendiri,dan bukan dari dorongan internal buta atau karena
tekanan eksternal. Prinsip informed consent merupakan hak dan kewajiban setiap
individu yang kompeten untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya dan kesejahteraan
jasmaninya melalui persetujuan bebasnya, atau dengan menolak memberi persetujuan
atas tindakan medis tertentu berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang keuntungan,
kerugian dan resiko yang terkait. Bagi individu yang tidak kompeten, hak dan kewajiban
ini harus diinterpretasi oleh penjamin individu tersebut (pasien) yang sah sesuai
pengetahuannya atau keinginannya yang rasional.5

2.6. Fungsi Informed Consent

Fungsi-fungsi informed consent adalah melindungi dan meningkatkan otonomi


pasien, melindungi pasien dan subyek peserta penelitian, mencegah tindakan manipulatif
dan pemaksaan, meningkatkan sikap mawas diri dari tim medis, meningkatkan
pengambilan keputusan rasional, dan melibatkan publik dalam pengembangan otonomi
sebagai nilai sosial dan kontrol terhadap penelitian biomedis. Fungsi-fungsi ini dibuat
berdasarkan beberapa prinsip moral, yaitu prinsip autonomi, beneficentia, non
maleficentia, dan utilitas. Prinsip autonomia dalah melindungi dan meningkatkan
otonomi individu. Hubungan baik antara dokter dan pasien akan mencegah terjadinya
ketidaktahuan yang justru menghambat otonomi pasien dan/atau keluarga untuk
memutuskan, ketidaktahuan mana dapat berasal dari kekurangan informasi atau karena
kurang paham. Prinsip beneficentia adalah melindungi pasien serta subyek peserta
penelitian, sedangkan prinsip non maleficentia mencegah timbulnya kerugian atas
pasien, terutama pasien tidak sadar, anak-anak, mental terbelakang, dan sebagainya.
Dalam hal ini, orang tua atau keluarga pasien atau orang lain yang secara legal dapat
diterima untuk mewakili pasien, dapat memberi persetujuan. Prinsip utilitas adalah
meningkatkan sikap mawas diri tim medis dalam melakukan tindakan yang

9
menguntungkan setiap orang dalam masyarakat, termasuk tenaga kesehatan sendiri,
pasien-pasien dan para peneliti sehingga dapat tetap terbina sikap saling percaya.6

2.7. Kompetensi dan Kapasitas pada Pasien Psikiatri

Beberapa masalah yang sering kali timbul adalah saat pengambilan informed consent
pada gangguan jiwa, dimana timbul pertanyaan: “apakah penderita ini mempunyai
kompetensi?”, yang memerlukan jawaban klarifikasi segera dengan bertanya “kompetensi
dalam hal apa?" Penentuan suatu kompetensi bukan suatu fenomena yang menyatakan bahwa
ia kompeten secara keseluruhan atau tidak sama sekali. Padahal secara klinik penting
dibedakan antara istilah tidak kompeten (incompetence) dan tidak mempunyai kapasitas
(incapacity). Competency atau kebalikkannya incompetency adalah keputusan hukum,
sebaliknya incapacity mengacu pada istilah penentuan secara klinik yang dibuat melalui
konsultasi dengan seorang ahli psikiatri. Konsultasi untuk “mengevaluasi kompetensi”
sebenarnya adalah untuk mengevaluasi kapasitas; meskipun istilah kompetensi adalah
semacam istilah umum yang digunakan dalam medis klinis yang sulit dihindari penggunaan
istilah-istilah ini ketika melakukan konsultasi dengan ahlinya. Incapacity tidak mencegah
adanya suatu pengobatan. Kapasitas adalah derajat dimana seseorang dapat mengerti informasi
yang berhubungan dengan pengambilan keputusan persetujuan tindakan medis dan menyadari
kosekwensi-konsekwensi yang akan terjadi bila keputusan itu diambil atau tidak diambil.
Misalnya penderita chronic schizophrenia, yang juga seorang pengangguran, secara fungsional
tidak tergantung pada komunitasnya, jarang meninggalkan rumahnya karena percaya bahwa
tetangganya akan masuk dan mengambil barang-barangnya bila dia pergi meninggalkan
rumah. Pasien datang ke dokter dan mengeluh tentang sakit tenggorokan, setelah mengalami
pemeriksaan dinyatakan bahwa dia menderita sakit tenggorokan. Dokter kemudian
memberikan terapi antibiotik dan menerangkan bila timbul diarea dan kemerahan pada kulit
maka penderita sebaiknya menghentikan pengobatan. Dokter kemudian menyuruh penderita
untuk mengulangi apa yang telah ia katakan, pasien kemudian mengatakan bahwa ” dokter
memberikan obat ini untuk menyembuhkan tenggorokan saya dan apabila saya menderita
mencret atau kemerahan pada kulit, maka sebaiknya saya menghentikan obat ini”. Pengambilan
keputusan ini bukan berdasarkan khayalan (delusi) pasien tetapi keinginan untuk pengurangan
symptom. Dokter menyimpulkan bahwa penderita cakap (mempunyai capacity) untuk
melakukan terapi sakit tenggorokannya.6
Kapasitas dapat berubah sepanjang waktu misalnya karena delirium, obat-obatan,
karena

10
gangguan dan pengobatan. Bila kita kuatir tentang kapasitas pasien untuk menolak beberapa
pengobatan, kita sebaiknya kuatir juga tentang kapasitasnya pada waktu menerima pengobatan
tersebut. Misalnya penderita schizophrenia paranoid dengan multiple delusi dari persecutory,
somatic, tipe grandiose, datang dalam keadaan rupture ulcus peptic pada cavum abdominal –
suatu kondisi yang memerlukan operasi life saving dengan segera. Setelah mendapat informasi
tentang persetujuan tindakan medis penderita mengerti maksud dan tujuan pembedahan, tetapi
dengan jelas penderita mengatakan dan menyatakan pilihan untuk tidak dilakukan pembedahan
bahkan lebih lanjut penderita memberi keterangan, bahwa dia mempunyai kekuatan gaib di
dalam perutnya, dimana sumber kekuatan itu berasal dari kekuatan yang melebihi manusia
biasa. Penderita percaya bila perutnya dibuka secara laparotomy maka kekuatan gaib itu akan
keluar, dan tanpa sumber kekuatan ini dia akan mati. Dia mengatakan bahwa kekuatan dalam
perutnya itu akan menyembuhkan ulcus peptic yang rupture tersebut, sehingga dia
memutuskan tidak perlu dilakukan pembedahan. Disini jelas, mental illness mencegah
penderita dalam menerima persetujuan tindakan medis untuk dilakukan pembedahan. Dia
dapat tidak memberi informed consent untuk prosedur ini. Walaupun mungkin andaikata
penderita telah memilih pembedahan daripada khayalannya ini, tetapi dia masih percaya bahwa
kekuatan spiritual telah menyembuhkan penyakitnya dan bukan karena pembedahan, maka
sebenarnya penderita tidak cakap (incapacity) dalam memberikan persetujuan tindakan medis
karena gangguan jiwanya masih menghambat penerimaan dari keadaan nyata yang
memerlukan pembedahan. Kecakapan seseorang (capacity) adalah spesifik untuk keputusan
tertentu, seseorang mungkin cakap (capacity) untuk membuat beberapa keputusan tetapi tidak
cakap untuk keputusan tindakan medis yang lainnya. Ketidakcakapan (incapacity) pasien
dalam memberikan persetujuan tindakan medis untuk suatu intervensi medis seharusnya tidak
diasumsikan bahwa pasien juga tidak cakap melakukan persetujuan tindakan medik untuk
semua intervensi medis. Hal ini sudah jelas dinyatakan dalam etik dan hukum bahwa pasien
mungkin tidak cakap untuk memberikan persetujuan tindakan medisnya pada satu intervensi
medis tertentu tetapi mungkin cakap dalam memberikan consent pada keadaan lainnya.
Sebagai contoh pasien yang menderita schizophrenia mungkin cakap memberikan persetujuan
tindakan medik untuk terapi diabetesnya tetapi tidak untuk terapi schizophrenianya. Sekalipun
pasien tidak cakap untuk melakukan persetujuan tindakan medis karena mental disorder yang
dimilikinya, pertanyaan lain yang muncul adalah apakah pasien ini juga tidak cakap untuk
menolak suatu intervensi medis? Jadi, Setiap intervensi medis akan memerlukan penilaian
kecakapan (capacity) tertentu dari pasien untuk memberikan persetujuan tindakan medik untuk
intervensi medis tertentu.6

11
2.8. Informed Consent pada Pasien Psikatri
Seperti diketahui bahwa persetujuan pasien diperlukan dalam tindakan intervensi medis
kecuali bila penderita tidak mampu menetujui atau bila hukum menentukan bahwa dokter
diperlukan untuk untuk intervensi medis walaupun bertentangan dengan keinginan penderita
itu sendiri. Tetapi walaupun intervensi medis oleh dokter diharuskan oleh hukum, maka tetap
diperlukan suatu etika dalam praktek klinik untuk memperoleh persetujuan pasien. Secara
umum dikatakan penderita dengan mental disorder mempunyai ketidakmampuan dalam
mengambil keputusan dalam proses informed consent karena kurangnya kapasitas pengambilan
keputusan (decision making capacity) yang dimilikinya. Penurunan fungsi neuropsikologi dan
gejala negatif lainnya seperti sikap apatis, anhedonia, afek yang datar yang dialami oleh banyak
penderita dengan schizophrenia juga memberi pengaruh dalam kapasitas kemampuan
pengambilan keputusan. Gejala ini dapat menyebabkan kekhawatiran yang progresif ketika
consent dikonseptualisasikan sebagai proses yang berkelanjutan, sehingga mengancam
keabsahan suatu informed consent. Penelitian juga menunjukkan bahwa dibanding dengan
kontrol sehat, penderita dengan schizophrenia menunjukkan gangguan yang ditandai dalam
kapasitas pengambilan keputusan yang berdampak dalam proses pengambilan consent. Bahkan
ketika penderita schizophrenia menerima informasi yang adekuat, gejala yang terkait yang
berhubungan dengan penyakitnya dapat mengganggu berbagai komponen informasi dari proses
persetujuan tindakan medis. Gangguan belajar dan defisit memori yang sering menyertai
diagnosis schizophrenia, dan banyak pasien lainnya yang menunjukkan kesulitan dalam proses
berfikir dasar dan komunikasi verbal menghambat penderita untuk memahami dasar dan tujuan
dari intervensi medis, dan menghambat penderita untuk melakukan komunikasi tentang
persetujuan tindakan medis mereka, contohnya adalah dementia dan learning disability yang
cukup berat. Penelitian menunjukkan dalam memahami informasi dalam informed consent
yang ditemukan bahwa penderita schizophrenia menunjukkan tingkat pemahaman yang lebih
rendah daripada komparator berbagai kelompok yang banyak diantaranya juga mempunyai
diagnosis psikiatrik. Kerusakan kognitif yang berhubungan dengan schizophrenia dapat
menghalangi kemampuan penderita untuk membuat keputusan yang terbaik. Banyak mental
disorder, termasuk schizophrenia, yang ditandai dengan periode kejernihan berpikir yang
berfluktuasi dan fungsi kognitif. Fluktuasi yang terjadi ini dapat menyebabkan fluktuasi pula
dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kapasitas, sehingga penderita schizophrenia
mungkin tidak mampu membuat suatu bidang keputusan tetapi mampu mebuat keputusan
lainnya, sehingga penilaian kemampuan pengambilan keputusan dalam suatu informed consent
menimbulkan tantangan yang signifikan. Sebagai contoh kurangnya pemahaman tentang

12
perlunya perawatan schizophrenia akan tetapi mungkin dapat berpartisipasi dalam studi genetic
yang melibatkan penderita dengan schizophrenia dan ini dapat dipertahankan sampai penelitian
selesai. Kapasitas dalam membuat keputusan ini harus dinilai berdasarkan kemampuan
penderita dalam setiap konteks tertentu.6
Episode manic atau episode mayor depressive,yang ditandai dengan sikap acuh tak
acuh, ambivalence, atau keragu-raguan, atau bentuk apapun yang dapat menghambat pasien
untuk memilih dengan jelas. Penyakit-penyakit psikotik juga dapat menyebabkan pasien
mengalami kesulitan untuk memahami dasar dan tujuan sebenarnya dari suatu intervensi
medis, atau dalam memilih, atau mengkomunikasikan persetujuan mereka, seperti yang
dijumpai pada schizophrenia hebephrenic hendaya pikir yang kacau. Walaupun dikatakan:
i) Adanya gangguan jiwa sebaiknya tidak menghambat pasien untuk memahami persetujuan
apa yang akan diberikannya
ii) Adanya gangguan jiwa sebaiknya tidak menghambat pasien untuk memilih intervensi medis
yang tepat terhadap dirinya
iii) Adanya gangguan jiwa sebaiknya tidak mencegah pasien dalam mengambil consent dari
komunikasi yang akan diberikan kepadanya (diperkirakan bahwa ini setidak-tidaknya
langkah-langkah yang beralasan yang telah diambil untuk memahami komunikasi dengan
pasien bila semua itu dihadirkan)
iv) Adanya gangguan jiwa seharusnya tidak mencegah pasien dari intervensi medis yang
dibutuhkan untuk diterimanya
Masalah utama yang membuat penderita dengan mental disorder tidak mampu
membuat persetujuan adalah kurangnya kemampuan mereka dalam memahami diri sendiri.
Mereka mungkin memahami pengobatan yang diusulkan tetapi mereka menolak dilakukannya
tindakan medis karena dalam penilaian mereka. Mereka tidak sakit sehingga tidak perlu
dilakukan tindakan medis. Sebagai contoh seorang penderita psikotik dapat menyatakan
dengan tegas:” Saya tahu bahwa dokter berpikir bahwa saya sakit, dan saya mengerti tentang
rencana perawatan dan konsekwensi dari keputusan yang saya ambil, tetapi saya tidak sakit”.
Contoh lainnya adalah penderita dengan depresi yang berat cotard’s delusion yang percaya
bahwa dia sudah mati dan menganggap semua perlakuan medis terhadap dirinya adalah sia-
sia. Mungkin penderita mengerti tujuan dari Electro Convulsion Theraphy (ECT), dan sudah
memilih untuk dilakukan tindakan medis tersebut dan mengijinkan untuk dilakukannya,
dengan demikian penderita sudah memenuhi tiga kondisi yang diperlukan untuk persetujuan
tetapi dia tetap tidak mempu memberikan persetujuan ECT, karena penyakit mental
mencegahnya menerima perawatan medis yang diperlukannya. Seperti dikatakan di atas bahwa

13
ketidakmampuan penderita dengan gangguan jiwa dalam memberikan informed consent dapat
terjadi untuk intervensi medis baik mental maupun fisik. Misalnya pasien mengatakan
menyetujui intervensi medis untuk gangren kaki, tetapi gangguan mental mencegah dia untuk
memahami sifat dan tujuan intervensi medis, atau mencegah dia untuk mengkomunikasikan
tentang persetujuannya, meskipun penderita paham dengan langkah- langkah praktis yang
dapat diambilnya, atau mencegah dia dangan tegas memilih dilakukan tindakan medis atau
tidak karena ambivalensi yang parah, atau mencegah dia dari menerima pentingnya intervensi
medis. Bila kita ragu apakah pengambilan keputusan ini merupakan suatu delusi atau
wahamnya maka kita dapat merujuk ke psikiater untuk pengujian fungsi kognitif misalnya
MMSE, atau penilaian capacity yang spesifik dengan menggunakan alat bantu misalnya ACE.6

2.9.Competency dan Capacity dalam Hubungannya dengan Etik dan Legal


Dokter dan pasien adalah dua subyek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran.
Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum. Sebagai hubungan
medik, maka hubungan medik itu akan diatur oleh kaidah-kaidah medik; sebagai hubungan
hukum, maka hubungan hukum itu akan diatur oleh kaidah-kaidah hukum. Hubungan medik
dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang obyeknya pemeliharaan
kesehatan pada umumnya dan pelayanan pada khususnya. Salah satu lembaga hukum yang ada
dalam hubungan hukum antara dokter, pasien & RS adalah apa yang dikenal dengan
persetujuan tindakan medik atau informed consent. Informed consent sudah merupakan hal
yang mutlak diperlukan dalam dunia kedokteran dan hukum yang modern, seiring dengan
perkembangan ilmu kedokteran dan pengakuan yang lebih besar terhadap harkat dan martabat
manusia. Di sini terdapat hubungan yang bersifat otonomi, dimana pasien mempunyai hak
untuk menentukan dirinya sendiri (self determination), sehingga kedudukan dokter dengan
pasien secara hukum menjadi setara, oleh karena itu dokter harus memberikan informasi yang
cukup kepada pasien, dan harus mendapat persetujuan dari pasien jika dokter melakukan
pengobatan.6

Kontrak (perjanjian) adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ". Melalui kontrak
terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada
masingmasing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk
mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan
perundangundangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara

14
hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi
terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi). Hubungan yang terjadi
antara pasien dengan dokter mengakibatkan adanya hubungan hukum perikatan. Para pihak
yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut adalah: Pasien, Dokter, Rumah Sakit, Perawat,
dan tenaga medis lainnya. Menurut hukum perdata, hubungan antara dokter dan pasien
merupakan suatu perikatan yang objeknya berupa pelayanan medis.6
Sebagai sahnya sebuah perjanjian, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai
perjanjian, maka untuk sahnya perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, KUHPer pasal 1320 menyebutkan unsur-unsur
perjanjian sebagai berikut: ” Supaya terjadi persetujuan yang sah perlu dipenuhi empat syarat
yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri (KUHPerd. 28, 1312 dst.); 2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan (KUHPerd. 1329 dst.); 3. Suatu pokok persoalan tertentu
(KUHPerd. 1332 dst.); dan 4. Suatu sebab yang tidak terlarang (KUHPerd. 1335 dst.).” Dari
keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan persyaratan dari subyek yang melakukan
kontrak medis, karenanya disebut syarat subyektif, sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang
objek kontrak medis tersebut dan biasanya disebut syarat obyaktif. Tidak dipenuhinya syarat
subjektif tersebut maka perjanjian medis mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dengan
perjanjian pada umumnya. 6

Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, tentang Persetujuan Tindakan Medis yang


dituangkan dalam pasal 45 ayat (1) sampai ayat (6) dan Permenkes Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, tidak satupun
menyinggung otonomi penderita dengan gangguan jiwa. Pengambilan persetujuan tindakan
medis selama ini yang ada di undang-undang kita adalah mengenai kompetensi penderita,
sedang kapasitas (capacity) penderita tidak pernah diungkap atau dibahas lebih mendalam
sehingga kapasitas penderita (capacity) tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak
dimasukan dalam salah satu pasal pada undang-undang yang membahas persetujuan tindakan
medis. Berbeda dengan undang-undang kesehatan jiwa yang ada di Inggris, dalam Mental
Capacity Act 2005 dan Advance Health Care Directives Act (NL) dibahas tenatang kapasitas
penderita dalam mengambil keputusan persetujuan tindakan medis yang akan atau tidak akan
dilakukan terhadap dirinya.6

15
Sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disinggung mengenai cakap
secara hukum (bekwaam), seperti untuk syarat adanya kecakapan dalam membuat
perikatan/perjanjian, diatur dalam Pasal 1329 dan Pasal 1330 KUHPerdata. Pasal 1329: Tiap
orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal
itu. (KUHPerd. 1330, 1467, 1640.) Pasal 1330: Yang tak cakap untuk membuat persetujuan
adalah:
1. anak yang belum dewasa; (KUHPerd. 330, 419 dst., 1006, 1446 dst.)
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan; (KUHPerd. 433 dst., 446 dst.,
452, 1446 dst.)
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-
undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. (KUHPerd. 399, 1446 dst.,
1451, 1465 dst., 1640; F. 22.)6

2.10. Alasan Moral Persetujuan Tindakan Medis

Memutuskan apakah seseorang kompeten untuk membuat keputusan secara hukum


mengenai persetujuan tindakan medis memerlukan penilaian kapasitas mereka. Ketika seorang
pasien menolak perawatan medis, secara hukum mensyaratkan bahwa ini adalah pernyataan
keinginan mereka untuk dihormati kecuali mereka dikatakan secara hukum tidak kompeten.
Akan tetapi kelainan yang terdapat pada penderita gangguan jiwa dapat mencegah pasien dari
pemahaman maksud dan tujuan intervensi medis yang akan dilakukan dan mencegah pasien
untuk dapat memilih secara tegas tindakan mana yang akan diambil atau kelainan yang dapat
menghambat komunikasi dalam pengambilan persetujuan tindakan medis. Dalam praktik
klinik dikatakan bahwa kurangnya penerimaan akan perawatan yang diperlukan oleh pasien
adalah penghormatan dari keputusan pasien berdasarkan alasan yang diberikan dengan kata
lain penolakan pasien dapat diasumsikan sebagai hak otonom yang sah. Sebuah komisi hukum
di Inggris merekomendasikan bahwa ”dugaan terhadap kurangnya kapasitas” dan bahwa
keputusan yang dihasilkan tidak boleh dianggap sebagai tidak sah hanya karena itu ” tidak akan
dilakukan oleh orang-orang yang biasa berhati-hati”. Namun, dalam kasus dimana penderita
tidak dapat menerima suatu intervensi medis yang dibenarkan atau diperlukan karena gangguan
mental yang dideritanya, maka pilihan penderita seperti ini dianggap tidak otonom. Demikian
sebaliknya bila penderita menyetujui intervensi medis, harus dibuktikan bahwa ia benar-benar
memahami dan mengerti tentang persetujuan tindakan medis yang diberikannya.6

16
Alasan moral tentang pentingnya persetujuan tindakan medis:6
4. Penderita yang cakap, menurut definisi dapat memberikan persetujuan tindakan
medis
5. Pentingnya persetujuan tindakan medis didukung oleh
a) Prinsip-prinsip otonomi yaitu untuk menghormati penderita terutama untuk
penderita yang memerlukan penghargaan dalam pengambilan keputusan
tindakan medis yang telah diinformasikan kepadanya
b) Prinsip-prinsip beneficence/non-maleficence yang secara umum merupakan
sesuatu yang diinformasikan kepada pasien adalah suatu keputusan terbaik
mengenai terapi apa yang terbaik untuk pasien itu sendiri
6. Pada penderita yang tidak cakap (incapable) prinsip beneficence adalah:
a) Penilaian atau pengukuran kapasitas seseorang menolong kita memecahkan
masalah yang terjadi secara moral
b) Pada kasus-kasus pasien yang tidak cakap (incapable), maka kita tidak lagi
mengandalkan prinsip otonomi dalam menolong penderita
c) Prinsip dari beneficence /non malefisence mewajibkan klinisi atau dokter bahwa
penderita yang tidak cakap harus dilindungi dari pengambilan keputusan yang
membahayakan.
7. Bila pasien tidak cakap, dokter harus mendapatkan consent yang ditandatangani oleh
wali atau pengampu yang mengambil keputusan.

2.11. Pemberian Informasi dan Persetujuan

Komunikasi diperlukan jika informed consent harus direalisasikan. Psikiater


harus memberi pasien informasi yang mereka butuhkan untuk memungkinkan mereka
membuat keputusan yang tepat tentang perawatan medis mereka, dan harus mencari cara
untuk memfasilitasi pertukaran informasi apa pun yang mungkin diperlukan untuk
memungkinkan pasien mereka membuat keputusan. Psikiater harus menjawab setiap
pertanyaan dengan kemampuan terbaik mereka dan sesuai dengan praktik berbasis
bukti.2

Psikiater harus mengakui bahwa dokumen persetujuan yang ditandatangani tidak


memastikan bahwa proses informed consent telah terjadi dengan cara yang berarti atau
bahwa persyaratan etis telah terpenuhi. Psikiater harus siap untuk terlibat dalam
persetujuan untuk diskusi pengobatan secara berkelanjutan, dan mendokumentasikan

17
dengan tepat isi percakapan ini sebagai bagian dari rekam medis permanen. Psikiater
harus menghormati keputusan otonom pasien, termasuk hak untuk menerima atau
menolak perawatan medis apapun yang direkomendasikan. Ini berarti bahwa psikiater
harus secara tepat menilai masalah otonomi dan kapasitas, dengan mempertimbangkan
setiap hambatan eksternal atau psikopatologi yang dapat mempengaruhi masalah ini.2

Surat Persetujuan Tindakan Medis dan Penolakan Tindakan Medis merupakan


bentuk informed consent yang dinyatakan secara tertulis, yaitu berupa persetujuan atau
penolakan terhadap tindakan kedokteran terhadap pasien yang dalam hal ini diisi oleh
keluarga/instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas diri pasien penderita
gangguan jiwa setelah mendapat penjelasan yang lengkap dari dokter mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan.3

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Grhasia, yang bertanggung jawab
untuk memberikan penjelasan mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien penderita gangguan jiwa adalah dokter yang menangani pasien yang
bersangkutan. Untuk pasien yang direkomendasikan untuk menjalani rawat inap di
rumah sakit harus mengisi lembar Persetujuan Tindakan Medis. Untuk pasien yang baru
pertama kali akan menjalani perawatan di rumah sakit, sebelum dilakukan pengisian
terhadap lembar Persetujuan Tindakan Medister lebih dahulu dokter menjelaskan secara
lengkap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengisian lembar tersebut, mengenai
jenis-jenis tindakan kedokteran yang mungkin akan dilakukan terhadap pasien di
kemudian hari selama perawatan, sedangkan untuk pasien lama yang sebelumnya sudah
pernah menjalani rawat inap di rumah sakit maka dokter memberikan penjelasan sebatas
mengenai hal yang belum diketahui oleh keluarga/instansi pemerintah yang bertanggung
jawab atas diri pasien berkaitan dengan perawatan pasien. Persetujuan Tindakan Medis
ini diberikan satu kali oleh keluarga/instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas
diri pasien untuk seluruh tindakan kedokteran yang kemudian akan dilakukan terhadap
pasien selama pasien menjalani perawatan di rumah sakit. Persetujuan Tindakan Medis
sebagai bentuk informed consent diberikan untuk tindakan-tindakan kedokteran yang
dilakukan pada Rumah sakit Grhasia berupa injeksi, infus, isolasi, pengikatan, terapi
kejang listrik, dan lain-lain. Untuk pasien yang tidak memerlukan rawatinap di rumah
sakit tidak perlu dilakukan pengisian terhadap Persetujuan Tindakan Medis secara
tertulis.3

18
Persetujuan Tindakan Medis di Rumah Sakit Grhasia diberikan satu kali oleh
keluarga/ instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas diri pasien untuk seluruh
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien selama menjalani perawatan
di rumah sakit dengan pertimbangan bahwa ketika pasien sudah mulai menjalani rawat
inap di rumah sakit biasanya keluarga sulit dihubungi untuk dimintai persetujuan kembali
atas tindakan-tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien, selain itu terkait
dengan perkembangan jiwa pasien yang sulit diprediksi sehingga terkadang diperlukan
tindakan secara cepat yang tidak memungkinkan untuk menunggu persetujuan dari
keluarga atau instansi pemerintah, serta untuk efisiensi waktu dalam melakukan
penanganan terhadap pasien. Tidak semua tindakan yang bersifat invasif dan
mengandung risiko yang tinggi yang dilakukan terhadap pasien di Rumah Sakit Grhasia
memerlukan informed consent secara khusus karena informed consent tertulis yang
diberikan pada saat pertama pasien akan menjalani rawat inap sudah mencakup untuk
seluruh tindakan yang diperlukan dalam masa perawatan dan pasien memerlukan
penanganan yang cepat. Pihak rumah sakit melakukan pemberitahuan kepada keluarga
instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas diri pasien terhadap perkembangan
pasien, dalam hal kondisi pasien menurun atau kondisi pasien sudah membaik sehingga
sudah dapat segera dibawa pulang.3

2.12. Pemberi Persetujuan Informed Consent

Untuk dapat menyatakan persetujuan secara mandiri ini pasien harus berada
dalam keadaan mampu untuk mengambil keputusan. Gangguan psikiatri dapat
mempengaruhi kapasitas seseorang dalam membuat keputusan, penilaian dan hasil
tindakan. Sebagai contoh gangguan obsesif kompulsif sering tidak memiliki kemampuan
untuk membuat keputusan. Demikian juga, kecemasan dan depresi berat ketika disertai
dengan keputuasaan dan delusi dapat mengganggu proses pengambilan keputusan. Maka
keputusan tersebut dapat diberikan oleh keluarga atau instansi pemerintah yang
bertanggung jawab atas diri pasien.1,3

2.13. Berlakunya Informed Consent

Suatu persetujuan dianggap sah bila persetujuan diberikan setelah pihak yang
memberikan persetujuan tersebut memahami secara jelas mengenai tindakan kedokteran
yang akan dilakukan dan menetapkan keputusan secara mandiri yang menurut
pertimbangannya terbaik bagi diri pasien. Oleh karena itu, jika keluarga/instansi

19
pemerintah yang bertanggung jawab atas diri pasien tidak setuju dengan tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien dapat dilakukan penolakan terhadap
tindakan kedokteran dengan cara mengisi lembar Penolakan Tindakan Medis.3
Untuk memenuhi syarat sah perjanjian yang kedua yaitu mengenai kecakapan
pihak yang membuat perjanjian, maka keluarga atau wakil dari instansi pemerintah yang
memberikan persetujuan tersebut haruslah merupakan orang yang cakap secara hukum,
yaitu sudah dewasa (berusia 18 tahun atau lebih atau sudah menikah) dan tidak berada
di bawah pengampuan.3
Syarat sah ketiga yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian adalah persetujuan
oleh pasien atau wakilnya setelah mendapat penjelasan yang lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien, diberikan untuk setiap jenis tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien, terutama untuk tindakan kedokteran
yang bersifat invasif dan mengandung risiko yang tinggi harus dilakukan persetujuan
dalam bentuk tertulis.3

20
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Informed Consent terdiri dari dua kata, yaitu Informed berarti telah mendapat
informasi/penjelasan/keterangan dan consent yang berarti memberi persetujuan atau
mengizinkan. Informed Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien.
Prinsip informed consent yang mewajibkan dokter untuk meminta persetujuan
bebas pasien seraya memberikan informasi yang diperlukan guna dapat mengambil
keputusan secara bebas rasional, pada dasarnya berakar pada prinsip hormat terhadap
otonomi manusia. Prinsip hormat terhadap otonomi manusia sendiri pada gilirannya
merupakan salah satu perwujudan sikap hormat terhadap keluhuran martabat manusia
sebagai person.
Penandatangan informed consent secara tertulis dilakukan oleh yang berhak
memberikan persetujuan yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien atau
keluarganya mendapat informasi yang lengkap. Oleh karena itu, dengan
ditandatanganinya informed consent secara tertulis tersebut, maka dapat diartikan
bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian
tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, beserta
risiko yang mungkin akan dihadapinya.

3.2. Saran
Sebagai seorang dokter hendaknya selalu berhati – hati dalam melakukan segala
tindakan kedokteran dengan selalu melakukan tindakan yang seharusnya dikerjakan
serta tidak melakukan tindakan yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Hal lain yang
tidak kalah penting adalah selalu meminta persetujuan pasien baik lisan maupun tulisan,
lebih baik lagi jika adanya saksi dan dokumentasi, sebelum melakukan tindakan
kedokteran kepada pasien untuk menghindari hal – hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari.

21
Daftar Pustaka

1. Amer AB. Informed consent in adult psychiatry. Oman Medical Journal. 2013; 28 (4): 228-
231
2. Neilson G, Chaimowitz G. Informed consent to treatment in psychiatry. The Canadian
Journal of Psychiatry. 2014; 60 (4): 3
3. Darmini N, Widyaningtyas RS. Informed consent atas tindakan kedokteran di rumah sakit
grhasia pakem Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. 2012;
26 (2): 234-46
4. Kinanti AD, Permatasari DA, Shinta DC. Urgensi penerapan mekanisme informed consent
untuk mencegah tuntutan malpraktik dalam perjanjian terapeutik. FH Universitas Sebelas
Maret Surakarta : Privat Law. 2015; 3(2): 111
5. Felenditi D. Penegakan otonomi pasien melalui persetujuan tindakan medis (informed
consent). Fakultas Kedokteran Unsrat :Jurnal Biomedik. 2009; 1(1): 29-40.
6. Basbeth F. Sejauh mana competency dan capacity diperlukan dalam pengambilan consent
seseorang?. Fakultas Kedokteran Universitas YARSI. 2009; h.7-8.

22

Anda mungkin juga menyukai