Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian
atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta
leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring.
Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher,
dan otak. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang
menderita kanker ini. Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di
THT. Sebagian besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.

Kanker nasofaring (bagian atas faring atau tenggorokan) merupakan kanker terganas
nomor 4 di Indonesia setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Namun banyak orang
yang tidak menyadari gejala kanker ini, karena gejalanya hanya seperti gejala flu biasa.
Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang ras mongoloid, yaitu penduduk
Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India.
Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga
merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.

Sejauh ini untuk mengobati pasien kanker nasofaring sampai sekarang masih banyak
rumah sakit yang menggunakan pesawat teletherapy bertenaga tinggi yaitu telecobalt.
Baru – baru ini telah ditemukan penatalaksanaan kanker nasofaring antara lain yaitu
radioterapi dengan teknik pemberian radiasi yang dipercepat, kombinasi kemoterapi dan
radioterapi, dan pembedahan tumor rekuren.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana konsep dan pendekatan proses keperawatan pada pasien yang mengalami
gangguan pada organ penciuman terutama kanker nasofaring?

1
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami dan menerapkan perannya sebagai
perawat dalam pencegahan dan penanganan masalah pada pasien dengan
gangguan penciuman terutama kanker nasofaring.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mahasiswa dapat memahami definisi kanker nasofaring


2. Mahasiswa dapat memahami klasifikasi kanker nasofaring
3. Mahasiswa dapat memahami proses serta penyebab kanker nasofaring
4. Mahasiswa dapat memahami epidermologi kanker nasofaring
5. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan medis dan diagnostik pada kanker
nasofaring
6. Mahasiswa dapat memahami komplikasi kanker nasofaring
7. Mahasiswa dapat memahami WOC kanker nasofaring
8. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan kanker nasofaring, yang
meliputi :
a. Data pengkajian untuk pasien kanker nasofaring
b. Diagnosa yang sering muncul pada pasien kanker nasofaring
c. Intervensi yang tepat pasien kanker nasofaring
d. Implementasi untuk pasien kanker nasofaring
e. Evaluasi untuk pasien kanker nasofaring

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring

Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan


dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior.
Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung
(Chew, 1997). Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra cervical I dan II.
Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan
batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding
lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and
Neel, 1998; Lin, 2006).

Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan


fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus
konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan dasar
tengkorak disebut sinus Morgagni. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius
terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus,
berjalan ke bawah dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral.

3
Pembagian daerah nasofaring yaitu :

1. Dinding posterosuperior: daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai
dasar tengkorak.
2. Dinding lateral: termasuk fosa resenmuleri.
3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.

2.2 Definisi Kanker nasofaring

Kanker nasofaring (Ca nasofaring) adalah kanker yang berasal dari sel epitel
mukosa nasofaring di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga
mulut. Kanker ini merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak di
temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher merupakan kanker
nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring
(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah


nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).

2.3 Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)

a. Tipe WHO 1

4
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)

- Deferensiasi baik sampai sedang

- Sering eksofilik (tumbuh di permukaan)

b. Tipe WHO 2

- Karsinoma non keratinisasi (KNK)

- Paling banyak variasinya

- Menyerupai karsinoma transisional

c. Tipe WHO 3

- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).

- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”,


varian sel spindel.

- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.

Perluasan karsinoma ke Jaringan Sekitar

1. Perluasan ke atas : ke N.II dan N. VI, keluhan diplopia, hipestesi pipi

2. Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena dengan gejala
khas :

 Neuralgia trigeminal unilateral


 Oftalmoplegia unilateral
 Amaurosis
 Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramater

3. Perluasan ke belakang : N.VII - N.XII, trismus, sulit menelan, hiper/hipo/anestesi


palatum, faring dan laring, gangguan respirasi dan salvias, kelumpuhan otot trapezius,
stenokleidomastoideus, hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

4. Manifestasi kelumpuhan :

N IX : kesulitan menelan akibat hemiparese otot konstriktor superior serta gangguan


pengecap pada sepertiga belakang lidah.

N X : Hiper / hipo / anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan salvias.

5
N XI : kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sterno – kleido mastoideus, serta
hemiparese palatum mole.

N XII : hemiparese dan atropi sebelah lidah

Penentuan Stadium
TUMOR SIZE (T)

T Karsinoma primer

T0 Tidak tampak adanya karsinoma

T1 Karsinoma terbatas pada satu lokasi saja

T2 Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring


di anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan
margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital )
T3 Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis
kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf
kranial kelompok anterior atau posterior
T4 Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau
kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-
temporal.
REGIONAL LIMFE NODES (N)

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan

N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat


digerakkan

N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral


yang sudah melekat pada jaringan sekitar

METASTASE JAUH (M)

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Metastase jauh

Stadium I : T1 No dan Mo

6
Stadium II : T2 No dan Mo

Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo

Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo atau
T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1

2.4 Etiologi

Terjadinya Ca Nasofaring penyebabnya bisa dikatakan multifaktorial, proses


karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait
dengan timbulnya kanker nasofaring adalah :

1. Kerentanan Genetik

Kerentanan terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif


menonjol dan memiliki fenomena agrregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan
gen HLA ( Human leukocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (
CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka
berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring. Penelitian
menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan,
sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan
dan timbul penyakit.

2. Virus EB (Epstein Barr)

Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik


seperti antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA ),
antigen nuklir ( EBNA ), dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring,
alasannya adalah :

a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB (


termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ), dengan frekuensi positif maupun rata-
rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita
jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. Selain itu
titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan
kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.

7
b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA
virus dan EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus
EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran
pembelahan inti juga banyak.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat
menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring
fetus manusia.

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat
berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :

a. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring ,


kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 µg, jelas
lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
b. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya
kanker nasofaring.
c. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan
kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin
volatil yang berefek mutagenik.

2.5 Epidemiologi
Angka insiden karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak
geografinya (Khabir et al., 2005). Berdasarkan data IARC (International Agency for
Research on Cancer) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF di
seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal dari
Cina sekitar 40% (Ma and Cao, 2010). Di Indonesia memberikan hasil yang beragam,
dengan laki-laki lebih banyak menderita KNF daripada perempuan dan kelompok
umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur 41-50 tahun. Insiden tertinggi
dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah Guangxi Cina Selatan yaitu
mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang/tahun (Ganguly, 2003; Ma and Cao, 2010).

8
2.6 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :

1. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien
datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap dengan kuat sekret
dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal palatum mole bergesekan
dengan permukaan karsinoma, sehingga pembuluh darah di permukaan karsinoma
robek dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat
timbul hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini
disebabkan karsinoma menyumbat lubang hidung posterior.
3. Tinitus dan pendengaran menurun : penyebabnya adalah karsinoma di resesus
faringeus dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustasii,
menyebabkan tekana negatif di dalam kavum timpani, hingga terjadi otitis media
transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustasii dapat
meredakan sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan
konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
4. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau
oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan karsinoma, infiltrasi saraf kranial
atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh
darah yang menyebabkan sefalgia reflektif.
5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke
superior, dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah
alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk
foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus
spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya
berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (temasuk paralisis saraf
abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi
meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial
II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar
limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe
tersebut permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak

9
nyeri, maka pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis
kelenjar limfenya pertama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di
segitiga koli posterior.
7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati.
Metastasi tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas.
Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinu dan nyeri tekan setempat,
lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada
fase ini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh
dapat membantu diagnosis. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi,
kadang ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax,
pemeriksaan hati dengan CT atau USG

2.7 Patofisologi

Pada kanker nasofaring ini disebabkan oleh virus Epstein-Barr melalui


mediator ikan asin, makanan yang diawetkan (mengandung nitrosamine), kontak
dengan zat karsinogen (asap industri, gas kimia) dan juga dapat dikarenakan radang
kronis daerah nasofaring. Setelah itu, virus masuk berkembang biak kemudian
menyerang bagian telinga dan hidung khususnya. Dengan hidupnya virus Epstein-
Barr di daerah nasofaring (dekat telinga dan hidung), membuat sel-sel kanker
berkembang sehingga membuat terjadinya sumbatan atau obstruksi pada saluran tuba
eusthacius dan hidung. Sumbatan yang terjadi dapat menyebabkan baik gangguan
pendengaran maupun gangguan penghidu, sehingga merupakan gangguan persepsi
sensori.

Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr.


Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita
ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang
berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam
sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-
1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan
dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang
menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga
terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu

10
pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa
Rossenmuller.

2.8 Penatalaksanaan

a) Radioterapi

Merupakan pengobatan utama. Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan


umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Sebelumnya
persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan gigi harus
diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-6600 rad
untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika
tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini
dapat diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang belum
menimbulkan keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan
mengurangi rasa nyeri.

b) Kemoterapi

Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan


kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF (
DDP + 5FU ), kaboplatin +5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP
gemsitabin, dll.

DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi,
lakukan hidrasi 3 hari )

5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinu intravena.
Ulangi setiap 21 hari atau:

Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.

5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinu. Ulangi


setiap 21 hari.

Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut. Biasanya dapat
digabungkan dengan radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi.

11
Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan 8); Vincristin (2
mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1
s/d 10); Bleomycin (15 mg IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol
terhadap efek samping fingsi hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.

Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-


fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum
diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

c) Terapi Herbal TCM

Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi


radiokemoterapi, fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) , kasus
stadium lanjut tertentu yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat
dipertimbangkan hanya diterapi sindromnya dengan TCM. Efek herbal TCM dalam
membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam penelitian lebih lanjut.

d) Pembedahan

Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih.

Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :

1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi.


2. Tiga bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
3. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
4. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa
grade I, II, adenokarsinoma.
5. Komplikasi radiasi.

Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di


leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran
dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan

12
serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus.

2.9 Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu pemberian vaksinasi pada penduduk


yang bertempat tinggal didearah dengan resiko tinggi. Memindahkan (migrasi)
penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat lainnya. Penerangan akan
kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah
akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya, penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial/ekonomi dan
berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik lgA-anti VCA dan lgA anti EA secara massal dimsa yang
akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

2.10 Pemeriksaan Diagnosis

Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan pemeriksaan diagnosis sebagai


hal berikut :

a. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.

Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli


unilateral, limfadenopati leher tidak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan
kausa yang tidak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaring
dengan nasofaringoskop indirect atau elektrik.

b. Pemeriksaan kelenjar limfe leher

Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.

c. Pemeriksaan saraf kranial


Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai
prosedur rutin satu persatu, tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok

13
otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan
hasil yang positif
d. Pemeriksaan serologi virus EB

Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring
adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring
berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah
satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :

1. Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80


2. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga
indikator tersebut positif.
3. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang
tinggi kontinyu atau terus meningkat.

Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut, harus diperiksa teliti dengan
nasofaringoskop elektrik, bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah
perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum
diagnosis kanker nasofaring ditegakkan. Inilah pemeriksaan diagnosis yang dapat
dilakukan :

1. Diagnosis pencitraan.

a. Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis,


memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan
zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaa tingkat lanjut. CT scan daerah kepala dan leher
terlihat adanya massa dengan terlihat adanya kesuraman. CT scan dengan kontras
menunjukkan massa yang besar mengisi sisi posterior dari rongga hidung dan
nasofaring dengan perluasan ke sisi kiri dalam daerah nasofaring.
b. Biopsi dari hidung dan mulut. Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/
daerah yang dicurigai. Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan
kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan bantuan cermin melalui
rinoskopi posterior. Bila perlu Biopsi dapat diulang sampai tiga kali. Bila tiga kali
Biopsi hasil negatif, sedang secara klinis mencurigakan dengan karsinoma

14
nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi umum. Biopsi melalui
nasofaringoskopi dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum kurang baik.
Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila
terjadi keraguan apakah kelenjar tersebut suatu metastasis.
c. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak,
dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik
dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring
dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam
membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor MRI juga lebih
bermanfaat .
d. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring
dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT,
umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-
scan, lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil
tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk
metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal
akumulasi radioaktivitas, harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan
rudapaksa operasi, fraktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radioterapi,
kemoterapi, dll.
e. PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia
molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme
glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan
hingga mendapat gambar PET-CT. itu memberikan informasi gambaran biologis
bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring,
meningkatkan akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa
radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
2. Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaring sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi
primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus
diperoleh diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat
memberikan diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe
leher.

15
2.11 Komplikasi

a. Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah:

1. Mukositis : Mukositis oral merupakan inflamasi pada mukosa mulut berupa


eritema dan adanya ulser yang biasanya ditemukan pada pasien yang
mendapatkan terapi kanker. Biasanya pasien mengeluhkan rasa sakit pada
mulutnya dan dapat mempengaruhi nutrisi serta kualitas hidup pasien.

2. Kandidiasis : Pasien radioterapi sangat mudah terjadi infeksi opurtunistik


berupa kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans.
Infeksi kandida ditemukan sebanyak 17-29% pada pasien yang menerima
radioterapi.

3. Dysgeusia adalah respon awal berupa hilangnya rasa pengecapan, dimana


salah satunya dapat disebabkan oleh terapi radiasi.

4. Xerostomia : Xerostomia atau mulut kering dikeluhkan sebanyak 80%


pasien yang menerima radioterapi. Xerostomia juga dikeluhkan sampai
radioterapi telah selesai dengan rata-rata 251 hari setelah radioterapi. Bahkan
tetap dikeluhkan setelah 12-18 bulan setelah radioterapi tergantung pada dosis
yang diterima kelenjar saliva dan volume jaringan kelenjar yang menerima
radiasi.

b. Komplikasi kronis yang dapat terjadi adalah:

1. Karies gigi : Karies gigi dapat terjadi pada pasien yang menerima
radioterapi. Karies gigi akibat paparan radiasi atau yang sering disebut dengan
karies radiasi adalah bentuk yang paling destruktif dari karies gigi, dimana
mempunyai onset dan progresi yang cepat. Karies gigi biasanya terbentuk dan
berkembang pada 3-6 bulan setelah terapi radiasi dan mengalami kerusakan
yang lengkap pada semua gigi pada periode 3-5 tahun.

2. Osteoradionekrosis : Osteoradionekrosis (ORN) merupakan efek kronis


yang penting pada radioterapi. Osteoradionekrosis adalah nekrose iskemik
tulang yang disebabkan oleh radiasi yang menyebabkan rasa sakit karena
kehilangan banyak struktur tulang.

16
3. Nekrose pada jaringan lunak : Komplikasi oral kronis lain yang dapat
terjadi adalah nekrose pada jaringan lunak, dimana 95% kasus dari
osteoradionekrosis berhubungan dengan nekrose pada jaringan lunak. Nekrose
jaringan lunak didefinisikan sebagai ulser yang terdapat pada jaringan yang
terradiasi, tanpa adanya proses keganasan (maligna). Evaluasi secara teratur
penting dilakukan sampai nekrose berkurang, karena tidak ada kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini
berhubungan dengan dosis, waktu, dan volume kelenjar yang terradiasi.

Reaksi akut terjadi selama terapi dan biasanya bersifat reversibel, sedangkan
reaksi yang bersifat kronis biasanya terjadi menahun dan bersifat irreversibel.

17
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1Pengkajian

3.1.1 Identitas pasien

Meliputi nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.

Kanker nasofaring meliputi sekitar 20% atau lebih dari seluruh keganasan
kepala dan leher. Pada anak-anak dan orang dewasa kurang dari 30 tahun, lebih sering
ditemukan daripada tumor ganas lain pada saluran napas bagian atas. Karsinoma
nasofaring didapatkan banyak di cina selatan dan asia tenggara termasuk Indonesia.
Insiden yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus
epstein-barr.

3.1.2 Keluhan Utama

Adanya rasa penuh pada telinga sampai tuli konduksi dan pembesaran kelenjar
getah bening pada leher. Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah
menelan, badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.

3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Adanya rasa penuh pada telinga sampai tuli konduksi, pembesaran kelenjar
getah bening pada leher, sumbatan pada hidung, pilek, epistaksis, diplopia, paresis,
enoftalmus dan ptosis.

3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji tentang penyakit yang pernah dialami klien sebelumnya yang ada
hubungannya dengan penyakit keturunan dan kebiasaan atau gaya hidup.Tanyakan
pada pasien apakah pernah menderita sakit yang ada hubungannya dengan penyakit
sekarang seperti otitis media serosa, mengkonsumsi ikan asin, asap rokok, kekurangan
vitamin C dan vitamin A.
3.1.5 Pemeriksaan fisik.

18
a. B1 : RR meningkat, sesak napas, produksi sekret kental meningkat, epistaksis.
b. B2 : Takikardia, Hipertensi (nyeri hebat)
c. B3 : Pusing, nyeri
Telinga: rasa penuh pada telinga sampai tuli konduksi, nyeri telinga, tinitus.
Hidung: sumbatan hidung, produksi sekret meningkat, epistaksis
Mata: miosis, enoftalmus, ptosis, juling dan diplopia.
d. B4 : Normal
e. B5 : Disfagia, Nafsu makan turun, BB turun.
f. B6 : Normal

3.2 Diagnosa

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
akibat kanker.
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
3. Gangguan persepsi sensori (penciuman) berubungan dengan gangguan status
organ sekunder metastase tumor
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.
5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi

3.3 Intervensi

1.Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
akibat kanker

Tujuan : jalan napas bersih

Kriteria Hasil:

 Jalan napas paten


 Tidak ada sesak napas
 RR 16-24x/menit

19
Intervensi Rasional
1. Berikan pasien posisi semi atau fowler. 1. posisi tersebut membantu memaksimalkan
Bantu pasien untuk napas dalam. ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernapasan.
2.Berikan oksigen 2. meningkatkan transport oksigen

3.Kolaborasi dengan dokter dalam 3. pemasangan trakeostomi dibutuhkan jika


trakeostomi ada pembesaran kanker nasofaring untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi
4.Kolaborasi dengan dokter dalam terapi 4.Radioterapi dan kemoterapi merupakan
radioterapi dan kemoterapi. penatalaksanaan untuk mengendalikan
pertumbuhan kanker.

2.Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).

Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol

Kriteria hasil :

 Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri


 Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh minimal
pada AKS

Intervensi Rasional
Mandiri

1. Tentukan riwayat nyeri misalnya 1. Informasi memberikan data dasar


lokasi, frekuensi, durasi untuk mengevaluasi
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar kebutuhan/keefektivan intervensi
(reposisi, gosok punggung) dan 2. Meningkatkan relaksasi dan membantu
aktivitas hiburan. memfokuskan kembali perhatian
3. Dorong penggunaan ketrampilan 3. Memungkinkan pasien untuk
manajemen nyeri (teknik relaksasi, berpartisipasi secara aktif dan

20
visualisasi, bimbingan imajinasi) meningkatkan rasa kontrol
musik, sentuhan terapeutik. 4. Kontrol nyeri maksimum dengan
4. Evaluasi penghilangan nyeri atau pengaruh minimum pada AKS
control

Kolaborasi
1. Nyeri adalah komplikasi sering dari
1. Berikan analgesik sesuai indikasi kanker, meskipun respon individual
misalnya Morfin, metadon atau berbeda. Saat perubahan penyakit atau
campuran narkotik pengobatan terjadi, penilaian dosis dan
pemberian akan diperlukan

3.Gangguan persepsi sensori (penciuman ) berhubungan dengan gangguan


status organ sekunder metastase tumor

Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.

Kriteria Hasil: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.

Intervensi Rasional
1. Tentukan ketajaman pendengaran, 1. Mengetahui perubahan dari hal-hal yang
apakah satu atau dua telinga terlibat merupakan kebiasaan pasien .
.
2. Lingkungan yang nyaman dapat membantu
2. Orientasikan pasien terhadap
meningkatkan proses penyembuhan.
lingkungan.
3. Observasi tanda-tanda dan gejala
3. Mengetahui faktor penyebab gangguan
disorientasi
persepsi sensori yang lain dialami dan
dirasakan pasien.

4. mempermudah dalam memberikan informasi


4. Bicara pada sisi telinga sehat

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi

21
Kriteria hasil :

 Berat badan meningkat.


 Nafsu makan meningkat.

Intervensi: Rasional
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan 1.Untuk mengetahui tentang keadaan dan
makan. kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan pengaturan diet yang
adekuat

2. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah


2.Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
pemberian obat sesuai dengan
kesukaan dan toleransi pasien

3. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet


3.Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah
yang telah diprogramkan.
komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
4. Berikan oral hygiene sesering
4. Meningkatkan nafsu makan.
mungkin
5. Dorong pasien untuk makan diet
5.Jenis makanan ini akan meningkatkan
tinggi kalori, kaya nutrien dengan
pemenuhan nutrisi tanpa meningkatkan
masukan cairan adekuat.
stimulus pada pencernaan.

Kolaborasi dengan spesialis THT untuk


Memenuhi kebutuhan nutrisi.
pemasangan nasogastrik tube.

5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan


pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.

Kriteria Hasil :

22
 Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
 Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan 1. Untuk memberikan informasi pada
pasien/keluarga tentang penyakit pasien/keluarga, perawat perlu
DM dan Ca. Nasofaring mengetahui sejauh mana informasi atau
pengetahuan yang diketahui
pasien/keluarga.
2. Agar perawat dapat memberikan
2. Kaji latar belakang pendidikan
penjelasan dengan menggunakan kata-
pasien.
kata dan kalimat yang dapat dimengerti
pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.

3. Jelaskan tentang proses penyakit, 3. Agar informasi dapat diterima dengan


diet, perawatan dan pengobatan
mudah dan tepat sehingga tidak
pada pasien dengan bahasa dan
menimbulkan kesalahpahaman.
kata-kata yang mudah dimengerti.
4. Jelasakan prosedur yang akan
4. Dengan penjelasan dan yang ada dan
dilakukan, manfaatnya bagi pasien
ikut secara langsung dalam tindakan
dan libatkan pasien didalamnya.
yang dilakukan, pasien akan lebih
kooperatif dan cemasnya berkurang.
5. Gambar-gambar dapat membantu
5. gambar-gambar dalam memberikan
mengingat penjelasan yang telah
penjelasan (jika ada /
diberikan.
memungkinkan).

23
DAFTAR PUSTAKA

Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan


Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta

NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 – 2006, USA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.

Roezin Averdi. 2004. Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta: FKUI.

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
THT. Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai