Anda di halaman 1dari 24

DISIPLIN ILMU KESEHATAN ANAK

BADAN KOORDINASI PENDIDIKAN


RS. UMUM DAYA MAKASSAR
09 April 2018
REFERAT
TETANUS PADA ANAK

Oleh :
Nurhikma
111 2017 2030

Pembimbing
dr. H. Akhmad Kadir, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurhikma

NIM : 111 2017 2030

Judul Refarat : Tetanus Anak

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 12 April 2018

Mengetahui,

Supervisor

dr. H. Akhmad Kadir, Sp.A

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang
dihasilkan oleh kuman Clostridium tetani.1
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan,
seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada
tetanus, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di
luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang kotor,
besi berkarat. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan
mengeluarkan toksin.1
Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme, kejang, dan paralisis
pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka
pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar2,4,5
Tetanus tersebar diseluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran
biologik lingkungan peternakan/pertanian dan adanya luka pada kulit atau
mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko
3
tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak
laki-laki lebih tinggi akibat perbedaan aktivitas fisiknya.1
Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke World
Health Organization (WHO). Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3%
tetanus neonatorum yang dilaporkan (Thwaites & Farrar, 2003). Berdasarkan data
penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka pada tahun 2002 dan data
dari Vietnam diperkirakan insidensi tetanus di seluruh dunia adalah sekitar
700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab
kematian pada anak. Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah menurun, namun
kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Di bagian
Neurologi RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar, dilaporkan 62 kasus
tetanus pada tahun 1991-1996 dengan mortalitas <50,0%. Meskipun angka
kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum
dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan
secara luas di seluruh dunia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh tetanospasmin yang
dihasilkan oleh Clostridridium tetani1

2.2 ETIOLOGI
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um
memiliki sifat:
● Basil Gram-positif dengan spora pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.1
● Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.1
● Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit),
kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar
kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora
mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun.1
● Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada
tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini

5
terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda,
domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.1

● Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotoksin yaitu tetanospamin dan


tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga
dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat
menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang
dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,
labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan
dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5
ng/kgBB atau 175 ng untuk 70 kilogram (154lb) manusia.4

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda
dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar.
Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat

6
bertebaran di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk
antiseptik (dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.1
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan
attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre
tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:
1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik),
patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan
(debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangrene
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan
merupakan penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang
menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.1

2.3 PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora
kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting
untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak
eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf
otonom. Toksin yang dihasilkan dapat menyebar melalui pembuluh darah dan
saluran limfatik. Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang
kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP).
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat
7
ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke
kornu anterior medulla spinalis, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis
terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan
pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin,
sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada
tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk
ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-
otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin
mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang
spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,
saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular.4,5
Mekanisme kerja toksin tetanus:5
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin.
Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi
berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin
pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai
efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus
terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran
presinaptik, baik pada neuromuskular junction, maupun pada susunan saraf
pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf,
namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui secara
jelas.
8
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan
saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter
inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan
noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada
susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin
maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua
neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi
sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Masa inkubasi adalah waktu antara terjadinya luka dan timbulnya gejala
pertama. Periode inkubasi tetanus biasanya berkisar antara 3-21 hari (rata-rata 7
hari). Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Sedangkan
selang waktu sejak munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme
pertama disebut onset period. Onset period biasanya berkisar antara 24-72 jam
(rata-rata <48 jam). Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus,
kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.
Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada
kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.
Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari)
menunjukkan makin berat penyakitnya.
Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan
sering merupakan gejala dini.1,2,5

9
Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1. Localized tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator). Hal ini
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang
secara bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal
tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai
secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.

2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya
saraf kranial VII yang paling sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah
tetanus yang berkembang setelah menembus luka mata dan luka dalam
dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa
juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun
kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosisnya buruk.

10
Gambar 2. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus
3. Generalized tetanus
Generalized tetanus merupakan bentuk ini yang paling sering
ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga
luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian
besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Trismus merupakan gejala
utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan dengan kekakuan otot leher
yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain
berupa risus sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding
perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai
40o C. Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan
dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan
hanya berdasarkan gejala klinis.
Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut
modifikasi dari klasifikasi Ablett’s dapat dibagi menjadi 4 diantaranya, yaitu3:
▪ Derajat I (tetanus ringan)
- Trismus ringan sampai sedang (3cm)
- Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan

11
- Tidak dijumpai disfagia atau ringan
- Tidak dijumpai kejang
- Tidak dijumpai gangguan respirasi
▪ Derajat II (tetanus sedang)
- Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)
- Kekakuan jelas
- Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
- Takipneu
- Disfagia ringan
▪ Derajat III (tetanus berat)
- Trismus berat (1cm)
- Otot spastis, kejang spontan
- Takipne, takikardia
- Serangan apne (apneic spell)
- Disfagia berat
- Aktivitas sistem autonom meningkat
▪ Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :
- Gangguan autonom berat
- Hipertensi berat dan takikardi, atau
- Hipotensi dan bradikardi
- Hipertensi berat atau hipotensi berat

4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu
yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul
adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh
12
kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, opistotonus yang berat
dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi
pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari
mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung paru.

2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.
Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah
divaksinasi (imunokompeten)1
Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 1
▪ Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka,
luka dengan nanah atau gigitan binatang?
▪ Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
▪ Apakah pernah menderita gigi berlubang?

▪ Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan


imunisasi yang terakhir?
▪ Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

13
Pemeriksaan Fisik
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam
penyakit ini menjadi nyata dengan:1
● Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada neonates
kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga
bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
● Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik ke atas,
mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat pada gigi.
● Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot leher
(kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat berat
dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas
lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi
perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
● Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
● Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior),
misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat.
Lambat laun “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga anak jatuh
dalam status konvulsivus.
14
● Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot pernapasan dan
laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot sfingter
uretra. Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis dapat pula terjadi
karena kontraksi otot yang sangat kuat.
● Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama jantung
atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris) atau keringat
banyak.
● Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif,
jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji
spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan
sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil
yang positif).3

(b) (a)

15
(c)
Gambar 3. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang
menangis akibat kontraksi otot yang nyeri.
.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
▪ Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman
anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada
luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
▪ Nilai hitung leukosit dapat normal atau sedikit meningkat
▪ Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.1

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Pada kasus yang samar perlu dipikirkan diagnosis banding
- Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut
tidak dijumpai trismus, risus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan
kelaianan likuor serebrospinal
- Tetani : disebabkan oleh hipokalsemia, secara klinis dijumpai adanya
spasme karpopedal (spasme otot pergelangan tangan dan pergelangan kaki)
16
- Keracunan strihnin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak)
- Rabies : pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan,
sedangkan pada anamnesis diketahui digigit binatang pada waktu endemic
- Trismus oleh karena proses local seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar,
biasanya asimetris1

2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas tatalaksana
umum dan khusus. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut:1
1. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.
2. Menjaga saluran napas agar tetap bebas.
3. Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama.
4. Mencari port d’entree.

Penatalaksanaan umum1
- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

17
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas
otot yang kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB diberikan melalui intravena
dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang
direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan
oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan
pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 12 kg dan 10 mg untuk
BB > 12 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali.
Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis
rumatan sesuai dengan klinis pasien. Alternatif lain untuk bayi diberikan
dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme akut,
diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui
OGT. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang spontan, badan
masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas. Bila
dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau
mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di
ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat
bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan
dosis rumatan telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis
dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap
(sekitar 20 % dari dosis setiap 2 hari)1,3

Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik

18
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan
untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan
adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15
mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus
setiap 6 jam selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain
50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif
terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak
usia > 8 tahun). Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia,
diberikan antibiotic yang sesuai.1,3
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan 50.000
IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi anafilaksis.
Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi aktif DT
setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat diberikan
HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3000-6000 IU IM.1
Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar
di dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Berikut ini
adalah tabel perbandingan antara ATS dan HTIG.1

Tabel 1. Perbandingan ATS dan HTIG


Indikasi Dosis Kontraindikasi Kekurangan
ATS ATS hanya 100.000 IU Berhati-hati akan ▪ Ketersediaan di
efektif pada luka dengan reaksi anafilaksis pelayanan
kesehatan
baru (kurang dari 50.000 IU saat ini sulit di
dapat
6 jam) dan harus IM dan ▪ Masa kadaluarsa
segera 50.000 IU pendek
dilanjutkan IV
dengan

19
imunisasi aktif
HTIG HTIG hanya 3000- Riwayat ▪ Ketersediaan di
dapat 6000 IU hipersensitivitas pelayanan
kesehatan
menghilangkan secara IM terhadap cukup
toksin tetanus dalam imunoglobulin atau ▪ Masa kadaluarsa
yang belum dosis komponen human lebih lama
berikatan tunggal immunoglobuline
dengan ujung sebelumnya
saraf

2.8 PROGNOSIS
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period
of onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48
jam), frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi
terutama spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini
prognosisnya buruk.1,8

2.9 PENCEGAHAN
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan,
perlu dilakukan:1,2
● Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Luka dibersihkan atau
dilakukan debridement. Terutama perawatan luka guna mencegah
timbulnya jaringan anaerob.
● Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

20
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang
dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS
profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.
Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis
untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal
● Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus. Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin
DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia
18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT.
Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun,
dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan
imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak
menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.1

Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus)9


Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak
yang berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam
bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT
diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3
bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4
minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia
prasekolah (5-6 tahun).
DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo. Terdapat 2 jenis
vaksin DPT, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah vaksin yang mengandung
seluruh sel kuman pertusis, sedangkan DTap mengandung komponen spesifik

21
toksin dari kuman pertusis. Keuntungan DTaP adalah angka kejadian
komplikasi yang kecil dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP lebih mahal.
DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam
ringan atau nyeri di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari.
Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam
vaksin. Pada kurang dari 1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi
berikut:
● Demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) pada 2,2 % kasus
● Kejang demam terjadi sebanyak 0,06 %. Risiko lebih tinggi pada anak
yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang
dalam keluarganya.
● Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang9

BAB III
KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh tetanospasmin yang dihasilkan
oleh Clostridridium tetani. Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh
melalui luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang
Terdapat 4 Klasifikasi tetanus yaitu Localized tetanus, Chepalic Tetanus,
Generalized tetanus, Tetanus neonatorum. Adapun manifestasi klinik dari tetanus
yaitu : Trismus, Risus sardonikus, opistotonus, perut keras seperti papan, kejang,
gag reflex +

22
Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas :
● Pemberiaan Diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB IV interval 2-4 jam atau
Diazepam rectal 5mg (BB<10 kg) & 10 mg (BB>10kg
● Metronidazole IV, loading dose 15 mg/kgBB dalam 1jam dilanjutkan 30
mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam selama 7-10 hari atau
Penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari
● ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan pembagian 50.000 IU IM
dan 50.000 IU IV atau HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3000-
6000 IU IM
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka dan
pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam
memberikan proteksi pada infeksi tetanus.
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period of
onset, pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010;
hal. 322-329.
2. Kliegman RM, Stanton BF, ST Geme JW. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th ed. Volume 1. Elsevier. 2015; hal.1432-1434
3. Saraswita, Ni Komang. Penatalaksanaan Tetanus. Jurnal Continuing
Professional Development. Vol 41. No.11. Bali, Indonesia. 2014. Hal 823.

23
4. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2018 February 03]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
5. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2018 February 03]. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.
6. Tolan Jr. RW. Pediatric Tetanus. [Cited 2018 February 03]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/972901-overview.
7. Grunau BE, Olson J. An Interesting Presentation of Pediatric Tetanus. CJEM
2010;12(1):69-72.
8. Chalya PL, Mabula JB, Dass RM, Mblenge N, Mshana SE, Glyoma JM.
Tetanus. WJES. 2007. Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
9. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010; hal. 87-91.

24

Anda mungkin juga menyukai