Anda di halaman 1dari 22

Skrining Kanker Serviks

Anisa Aulia Reffida

(102013553/F2)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510

Telepon : (021) 5694-2061 (hunting), Fax: (021) 563-1731

Email : nisareffida@ymail.com

Pendahuluan

Skrining diperlukan untuk mencari penyakit pada subjek yang asimtomatik, untuk
kemudian dapat dilakukan pemeriksaan selanjutnya agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Uji
diagnostic untuk keperluan skrining harus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi meskipun
spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu dilakukan skrining memiliki syarat-syarat,
antara lain (1) prevalensi penyakit harus cukup tinggi, (2) penyakit tersebut menunjukkan
morbiditas dan/atau mortalitas yang bermakna apabila tidak diobati, (3) harus tersedia terapi atau
intervensi yang efektif yang dapat mengubah perjalanan penyakit, dan (4) pengobatan dini harus
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan pada kasus yang lanjut.1

Kanker serviks

Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak
terkendali. Etiologinya meliputi virus Human Papilloma dan sel mukosa serviks yang teracuni
nikotin dan sperma. Gejalanya meliputi pedarahan post-menopause, perut terasa berat pada
bagian bawah, vagina terasa kering, napsu makan berkurang, berat badan turun, lelah, nyeri
panggul, punggung, tungkai, dan keluar feses dari vagina.1
1
Epidemiologi Kanker Serviks

Kanker serviks merupakan salah satu penyebab kematian wanita yang berhubungan
dengan kanker. Di seluruh dunia, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan
250.000 kematian tiap tahunnya yang kurang lebih 80% terjadi di negara-negara berkembang. Di
Indonesia, insidens kanker serviks diperkirakan kurang lebih 40.000 kasus pertahun dan masih
merupakan kanker wanita yang tersering. Dari jumlah itu, 50% kematian di negara-negara
berkembang. Hal ini terjadi karena pasien datang dalam keadaan lanjut.2

Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini menempati
urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di Indonesia ada sekitar 100
kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks yang sudah
masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain
itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.2

Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50
tahun. Periode laten dari fase prainvasif menjadi invasif memakan waktu selama 10 tahun.
Hanya 9% dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat
diagnosis, sedangkan 53% dari KIS (kanker in situ) terdapat pada wanita di bawah usia 35
tahun.2

Faktor Risiko Kanker Serviks

Hubungan seksual. Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan


secara seksual, dimana beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan
seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner seksual
yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan
risiko terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia
selama usia dewasa, maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan
berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan
maupun jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks.2

Karakteristik partner. Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung,


tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol
2
menunjukkan bhawa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan
partner yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau
partner dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko
kanker serviks.2

Riwayat ginekologis. Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko
kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak
tepat dapat pula meningkatkan risiko.2

Dietilstilbesterol (DES). Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviks dan paparan
DES in utero telah dibuktikan.2

Agen infeksius. Human papilloma virus (HPV). Terdapat sejumlah bukti yang
menunjukkan HPV sebagai penyebab neoplasia servikal. Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus
papiloma hewan; hubungan infeksi HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang
menunjukkan displasia ringan atau sedang; dan deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi
servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan displasia ringan, yang sering regresi. HPV
tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan displasia berat, yang jarang regresi dan seringkali progresif
menjadi karsinoma in situ.2

Virus Herpes Simpleks. Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV – 2) belum
didemonstrasikan pada semua sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah menunjukkan bahwa
terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens
juga telah diidentifikasi pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan. Diperkirakan
90% pasien dengan kanker serviks invasif dan lebih dari 60% pasien dengan neoplasia
intraepitelial serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap virus.2

Infeksi Trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan kanker


serviks. Namun infeksi ini dipercaya berhubungan dengan kanker serviks. Namun infeksi ini
dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner dan tidak dipertimbangkan
sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung.2

Merokok. Sekarang ini ada data yang mendukung rokok sebagai penyebab kanker serviks
dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamoasa pada serviks (bukan
3
adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus
serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari merokok.2

Cara Penularan Kanker Serviks

Tes HPV umumnya hanya digunakan untuk membantu deteksi kanker serviks. Tidak ada
tes umum bagi laki-laki atau perempuan untuk memeriksa seseorang secara keseluruhan ‘status
HPV’, juga tidak ada tes HPV untuk menentukan HPV pada alat kelamin atau di mulut, atau
tenggorokan. Bila ingin mengidentifikasi tipe HPV, dapat diketahui dengan pemeriksaan PCR,
tetapi bila hanya untuk mengetahui infeksi HPV onkogenik dapat dilakukan pemeriksaan tes
DNA HPV.2

Virus HPV 95% menular dengan hubungan seksual, 5% menular nonseksual yaitu
menular melalui kulit, kuku, dan lain sebagainya. HPV menular melalui kontak kelamin, yang
paling sering melalui vagina dan anal seks. HPV dapat juga ditularkan di antara pasangan
berbeda jenis kelamin maupun pasangan gay, lesbian, dan heteroseksual. Bahkan ketika
terinfeksi, pasangan tersebut tidak memiliki tanda-tanda atau gejala.2

Seseorang bisa terkena HPV bahkan bertahun-tahun berlalu sejak penderita kontak
seksual dengan orang yang terinfeksi. Sebagian besar orang yang terkena virus HPV tidak
menyadari mereka terinfeksi atau mereka menularkan virus pada pasangannya. Hal ini juga
memungkin seseorang dapat terinfeksi pada lebih dari satu jenis HPV.2

Sangat jarang terjadi, seorang wanita hamil yang terkena infeksi HPV dapat menularkan
HPV pada bayinya selama proses persalinan.2

Pengendalian Kanker

Pengendalian kanker. Ada empat komponen pengendalian kanker leher rahim dan
payudara menurut WHO 2002.2

1. Pencegahan penyakit kanker

Pencegahan dimaksudkan untuk mengeliminasi dan meminimalisasikan pajanan


penyebab dan faktor resiko kanker, termasuk mengurangi kerentanan individu terhadap
4
efek dari penyebab kanker. Selain faktor resiko, ada faktor protektif yang akan
mengurangi kemungkinan seseorang terserang kanker. Pendekatan pencegahan ini
memberikan peluang paling besar dan sangat cost-effective dalam pengendalian kanker
tetapi membutuhkan waktu lama.2

Memberikan edukasi tentang perilaku gaya hidup (termasuk mengkonsumsi buah


dan sayur lebih dari 500 gram per hari, mengurangi konsumsi lemak dan lain-lain),
mempromosikan anti rokok termasuk menurunkan resiko terpajan asap rokok, perilaku
seksual aman, serta pemberiaan vaksin HPV, merupakan contoh-contoh kegiatan
pencegahan.2

2. Deteksi dini

Dilihat dari aspek kesehatan masyarakat, kegiatan deteksi dini adalah


menyediakan metode pemeriksaan yang murah. terjangkau, aman, dan mampu laksana
untuk membedakan masyarakat yang beresiko terkena kanker atau bukan. Ada dua
komponen deteksi dini yaitu penapisan (screening) dan edukasi tentang penemuan dini
(early diagnosis).2

A. Penapisan atau skrining

Adalah upaya pemeriksaan atau test yang sederhana dan mudah


dilaksanakan pada populasi masyarakat sehat, yang bertujuan untuk mengetahui
masyarakat yang sakit atau beresiko terkena penyakit di antara masyarakat yang
sehat. Upaya penapisan dikatakan adekuat bila tes dapat mencakup seluruh atau
hampir seluruh populasi sasaran, untuk itu dibutuhkan kajian jenis pemeriksaan
yang mampu laksana pada low-resource setting seperti di Indonesia. Sebagai
contoh: pemeriksaan sitologi untuk memeriksa lesi prakanker leher rahim dan
mamografi telah dilaksanakan negara-negara maju, tetapi negara berkembang
memakai Inspeksi visual dengan aplikasi Asam Asetat (IVA) sebagai cara untuk
pemeriksaan lesi prakanker leher rahim.2

B. Penemuan dini (early diagnosis)

5
Adalah upaya pemeriksaan pada masyarakat yang telah merasakan adanya
gejala. Oleh karena itu edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang tanda-
tanda awal kemungkinan kanker di antara petugas kesehatan, kader masyarakat,
maupun masyarakat secara umum merupakan kunci utama keberhasilannya.
Penemuan dini dapat dilakukan terutama pada penyakit-penyakit kanker. Program
atau kegiatan deteksi dini yang dilakukan pada masyarakat hanya akan berhasil
apabila kegiatannya dihubungkan dengan pengobatan yang adekuat, terjangkau,
aman, dan mampu laksana, serta mencakup 80% populasi perempuan yang
beresiko. Untuk itu dibutuhkan perencanaan akan kebutuhan sumber daya dan
strategi-strategi yang paling efektif untuk melaksanakan program ini.2

3. Diagnosis dan terapi

Diagnosis kanker lahir rahim membutuhkan kombinasi antara kajian klinis dan
investigasi diagnostik. Sekali diagnosis ditegakkan harus dapat ditentukan stadiumnya
agar dapat mengevaluasi besaran penyakit dan melakukan terapi yang tepat. Tujuan dari
pengobatan adalah menyembuhkan, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan
kualitas hidup.2

Prinsip pengobatan harus ditujukan pada kanker dengan stadium awal dan yang
lebih berpotensi untuk sembuh. Dan pengobatan harus terpadu termasuk pendekatan
psikososial, rehabilitasi, dan terkoordinasi dengan pelayanan paliatif untuk memastikan
peningkatan kualitas hidup pasien kanker.2

4. Pelayanan paliatif

Hampir di seluruh dunia, pasien kanker terdiagnosa pada stadium lanjut. Untuk
kasus seperti ini pengobatan yang realistik adalah mengurangi nyeri dan pelayanan
paliatif. Diyakini, pelayanan paliatif yang baik dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
kanker.2

Pencegahan Sekunder Kanker Serviks

6
Pencegahan sekunder adalah penemuan dini, diagnosis dini dan terapi dini terhadap
kanker leher rahim. Pencegahan sekunder termasuk skrining dan deteksi dini, seperti pap smear,
inspeksi visual dengan asam asetat (IVA), tes HPV DNA dan kolposkopi.3

Pap smear adalah pemeriksaan skrining sederhana untuk mengetahui apakah terdapat
perubahan sel sel normal epithel leher rahim. Pemeriksaan Pap smear seharusnya dilakukan
secara rutin pada wanita yang sudah pernah melakukan hubungan kelamin sampai berusia 65
tahun. Sebaiknya pada usia 21 tahun atau 3 tahun setelah melakukan hubungan seksual pertama.
Pap smear paling sedikit dilakukan sekali dalam satu tahun. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
cara mengambil bagian sitologik pada kanalis servikalis dengan menggunakan spatula ayre.3

Tujuan utama pemeriksaan ini adalah menemukan lesi prakanker, sehingga dengan
penanganan yang adekuat dapat dicegah terjadinya kanker (karsinoma invasif). Dalam 4 dekade
terakhir, kejadian dan kematian akibat kanker serviks menurun kurang lebih 70%. Keberhasilan
ini antara lain terjadi karena program penapisan. Apabila penyakit pra-kanker atau dysplasia
diobati sedini mungkin, angka penyembuhan akan mencapai 80-90%.3

Skrining pada kanker serviks meliputi:3

1. Uji Pap.
Pemeriksaan uji Pap (pap smear) adalah pengamatan sel-sel yang dieksfoliasi dari
genitalia wanita. Uji Pap telah terbukti dapat menurunkan kejadian kanker serviks yang
ditemukan stadium prakanker, ceoplasia, intraepitel serviks (NIS). Meskipun dalam
situasi baik, skrining merupakan prosis yang sulit, sangat berpotensi terjadi kesalahan,
seperti tidak terdeteksinya penyakit atau kesalahan melaporkan individu yang sehat.
Kesalahan pada uji Pap sering terjadi karena ketidaksempurnaan pengumpulan sediaan.3
Tujuan uji Pap adalah menemukan sel abnormal atau sel yang dapat berkembang
menjadi kanker termasuk infeksi HPV. Diagnostic sitologi adalah kualitas suatu uji
penapusan diukur dengan sensitivitas (kelompok wanita dengan uji positif di antara yang
sakit) dan spesivitas ( kelompok wanita dengan uji negatif di antara yang tidak sakit).
Pada umumnya, ketepatan diagnostic sitologi berkisar lebih dari 90% jika dibandingkan
dengan pemeriksaan histopatologi. Hal ini terjadi, terutama pada lesi yang lebih berat,
yaitu pada dysplasia keras/karsinoma in situ.3

7
Kesalahan yang sering terjadi adalah sebagai berikut: sediaan apus terlalu tipis,
hanya mengandung sangat sedikit sel, sediaan apus sangan tebal dan tidak dioleskan
merata, sel bertumpuk sehingga menyulitkan pemeriksaan, sediaan apus telah kering
sebelum difiksasi, cairan fiksasi tidak memakai alkohol 95%.3

Petunjuk skrining: usia untuk mulai pemeriksaan uji Pap diambil setelah 2 tahun
aktif dalam aktivitas seksual (18-20tahun), interval penapisan, wanita dengan kelainan
atau pernah mengalami hasil abnormal perlu evaluasi lebih sering, pada usia 70 tahun,
tidak perlu diambil lagi dengan syarat hasilnya 2 kali negatif dalam 5 tahun terakhir.3

2. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)


Pemeriksaan IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan cara
mengamati secara inspekulo serviks yang telah dipulas dengan asam asetat 3-5% dan
memperhatikan terdapatnya perubahan warna atau ada tidaknya plak putih. Dalam waktu
kurang dari 3 menit, hasilnya sudah dapat diketahui.3
3. Kolposkopi.
Pemeriksaan untuk melihat porsio, vagina, dan vulva dengan pembesaran 10-15
kali. Kolposkopi adalah alat streoskopik dan lensa binokuler dengan sumber pencahayaan
untuk pemeriksaan visual suatu objek dalam hal ini serviks, utamanya untuk
mendiagnosa neoplasia serviks, diperluas untuk vagina dan vulva. Kunci utama
pemeriksaan kolposkopi adalah observasi epithel serviks setelah diaplikasi larutan NaCl,
asam asetat dan atau larutan lugol.3
Karakteristik temuannya adalah perubahan tampilan acetowhite pada serviks
setelah pulasan asam asetat. Dengan tampilan perubahan epithel tersebut menuntun
dilakukannya biopsi. Indikasi pemeriksaan kolposkopi umumnya jika pemeriksaan
skrining positif, misalnya sitologi, HPV atau IVA positif. Kolposkopi dapat berperan
sebagai alat skrining awal, tetapi ketersediaan alat ini tidak mudah. Karena mahal, alat ini
lebih sering digunakan sebagai prosedur pemeriksaan lanjut dari hasil uji Pap abnormal.3
4. Servikografi.
Pemeriksaan kelainan porsio dengan membuat foto pembesaran porsio setelah
dipulas degnan asam asetat 3-5% yang dilakukan oleh bidan. Hasil foto serviks dikirim
ke ahli ginekologi.3
5. Uji DNA-HPV.
Telah dibuktikan bahwa lebih dari 90% kendiloma serviks, NIS, dan kanker
serviks mengandung DNA-HPV. Hubungannya dinilai kuat dan tiap tipe HPV mempunya
8
hubungan patologi yang berbeda. Tipe 6 dan 11 termasuk tipe HPV resiko rendah, jarang
ditemukan pada karsinoma invasuf kecuali karsinoma verukosa. Sementara tipe 16, 18,
31, dan 45 tergolong tipe HPV resiko tinggi.3
Tabel 1. Perbandingan IVA dengan Tes Penapisan.2

Jenis tes Aman Praktis Terjangkau Efektif Available

IVA Ya Ya Ya Ya Ya

Pap Smear Ya Tidak Tidak Ya Tidak

HPV/DNA Ya Tidak Tidak Ya Tidak

Cervicography Ya Tidak Tidak Ya Tidak

Tabel 2. Tabel sensitifitas, spesifisitas berbagai metode skrining.2

Metode Sensitivitas(%) Spesifisitas (%)


IVA 79.2 84.7
Tes Pap 57 93

Program IVA di Puskesmas : Early Diagnosis dan Promp Threatment


Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skrining yang terorganisasi dengan
sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap
tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif.
Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang
lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan kanker leher rahim. Beberapa hal
penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang
dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama
berkaitan dengan sumber daya yang terbatas.2
Sasaran yang akan menjalani skrining: (1) perempuan berusia 30-50 tahun, (2)
perempuan yang menjadi klien pada klinik dengan discharge vagina yang abnormal atau nyeri
abdomen bawah (bahkan jika di luar kelompok usia), (3) perempuan yang tidak hamil (walaupun
bukan suatu hal yang rutin, perempuan yang sedang hamil dapat menjalani penapisan dengan
9
amna, tetapi tidak boleh menjalani pengobatan dengan krioterapi) oleh karena itu IVA tidak
masukkan pelayanan klinik antenatal, (4) perempuan yang mendatangi puskesmas, klinik KB
yang secara khusus menangani penapisan kanker leher rahim.2
Ketua Yayasan Kanker Indonesi Provinsi DKI Jakarta melihat kanker serviks merupakan
salah satu masalah kesehatan perempuan yang perlu menjadi perhatian utama sebagai bentuk
perlindungan bagi perempuan di indonesia. Program ini merupakan langkah positif menyadarkan
kaum perempuan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Dengan target pencapaian
1.4 juta perempuan di DKI Jakarta diperiksa untuk mendeteksi dini kanker serviks ditahun 2017.4
Periode pemeriksaan IVA secara gratis dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2013 dengan
waktu pelayanan pukul 08.00 sampai 12.00 di 286 puskesmas se DKI Jakarta. Dimana
sebelumnya pada tahun 2007 sampai 2012 terdapat 53.815 perempuan yang telah diperiksa
dengan melibatkan kader dan anggota PKK serta PPKS Yayasan Kanker Indonesia DKI Jakarta.4
Iva Test

Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan adanya
pilihan metode yang mudah di-ujikan di berbagai negara, agaknya metode IVA (inspeksi visual
dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode skrining alternatif untuk kanker leher
rahim. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode skrining IVA itu mudah,
praktis dan sangat mampu laksana.2

Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh
bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana.
Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan sederhana. IVA adalah pemeriksaan skrining
kanker serviks dengan cara inspeksi visual pada serviks dengan aplikasi asam asetat. Syarat IVA
test: sudah pernah melakukan hubungan seksual, tidak sedang datang bulan/haid, tidak sedang hamil, 24 jam
sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual.2

Kelebihan metode skrining IVA: (1) Mudah, praktis dan sangat mampu laksana, (2)
Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah, (3) Sensivitas dan spesifisitas cukup tinggi, (4)
Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan
disetiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu atau dilakukan oleh semua tenaga medis terlatih, (5)
Alat-alat yang dibutuhkan dan teknik pemeriksaan sangat sederhana.2

Teknik Skrining dengan Metode IVA :

10
Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat sebagai
berikut: Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi, meja/tempat tidur
periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi, terdapat sumber kanker haya
untuk melihat leher rahim, spekulum vagina, asam asetat (3-5%), swab-lidi berkapas, sarung
tangan. Tes IVA dilakukan dengan langkah sebagai berikut:2

1. Inspeksi/pengamatan genitalia eksterna dan lihat apakah terjadi discharge pada mulut
uretra. Palpasi kelenjar Bartholini. Jangan menyutuh klitoris akan menimbulkan rasa
tidak nyaman pada ibu. Katakan pada ibu/klien bahwa spekulum akan dimasukkan dan
mungkin ibu akan merasakan beberapa tekanan.

2. Dengan hati-hati masukkan masukkan spekulum sepenuhnya atau sampai terasa ada
tahanan lalu secara perlahan buka bilah/bocor untuk melihat serviks. Atur spekulum
sehingga spekulum sehingga seluruh leher rahim dapat terlihat. Hal tersebut mungkin
sulit pada kasus dimana serviks berukuran besar atau sangat anterior atau posterior.
Mungkin perlu menggunakan spatula atau lain untuk mendorong leher rahim dengan hati-
hati ke atas atau ke bawah agar dapat terlihat

3. Bila serviks dapat terlihat seluruhnya, kunci cocor spekulum dalam posisi terbuka
sehingga tetap berada di tempatnya saat melihat serviks. Dengan cara ini petugas
memiliki satu tangan yang bebas bergerak.

4. Jika sedang memakai sarung tangan lapis pertama/luar, celupkan tangan tersebut ke
dalam larutan klorin 0,5% lalu lepaskan sarung tangan tersebut dengan membalik sisi
dalam keluar. Jika sarung tangan bedah akan digunakan kembali, sterilkan dengan
merendam ke dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Jika ingin membuang, buang
sarung tangan ke dalam wadah anti bocor atau kantung plastik.

5. Pindahkan sumber cahaya agar serviks dapat terlihat jelas

6. Amati serviks apakah ada infeksi seperti discharge, ektropion, kista Nabothi

7. Gunakan kapas lidi bersih untuk membersihkan cairan yang keluar, darah atau mukosa
dari serviks. Buang kapas lidi ke dalam wadah anti bocor atau kantung plastik

11
8. Identifikasi ostium servikalis

9. Basahi kapas lidi dengan larutan asam asetat dan oleskan pada serviks. Bila perlu,
gunakan kapas lidi bersih untuk mengulang pengolesan asam asetat sampai seluruh
permukaan servkis benar-benar telah teroles asam asetat sesampai seluruh permukaan
serviks benar-benar telah teroles asam asetat secara merata. Buang kapas lidi yang telah
dipakai ke tempat sampah kering

10. Setelah serviks dioleskan larutan asam asetat, tunggu selama 1 menit agar diserap dan
memunculkan reaksi acetowhite.

11. Lihat apakah serviks mudah berdarah. Cari apakah ada bercak putih yang tebal atau
epitel acetowhite yang menandakan IVA positif.

12. Bila perlu, oleskan kembali asam asetat atau usap serviks dengan kapas lidi bersih
untuk menghilangkan mukosa, darah, atau debris yang terjadi saat pemeriksaan dan
mungkin menggangu pandangan. Buang kapas lidi yang telah dipakai.

13. Bila pemeriksaan visual pada serviks telah selesai, gunakan kapas lidi yang baru
untuk menghilangkan sisa asam asetat dari serviks dan vagina. Buang kapas sehabis
dipakai pada tempatnya.

14. Lepaskan spekulum secara halus. Jika hasil tes IVA negatif, letakkan spekulum ke
dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit untuk dekontaminasi. Jika hasil tes IVA
positif dan setelah konseling pasien menginginkan pengobatan segera, letakkan spekulum
pada nampan atau wadah agar dapat digunakan pada saat krioterapi.

15. Lakukan pemeriksaan bimanual dan rektovaginal (bila diindikasikan). Periksa


kelembutan gerakan serviks; ukuran, bentuk, posisi rahim; kehamilan atau abnormalitas
dan pembesaran uterus.

Tabel 3. Kategori Klasifikasi IVA.2

Klasifikasi IVA Kriteria Klinis

Tes negative Halus, berwarna merah muda, seragam, tidak berfitur, ektropion,

12
servisitis, ovula Nabothi, dan lesi acetowhite tidak signifikan

Tes positif Bercak putih (acetowhite epithelium sangat jelas terlihat dengan
batas tegas dan meninggi, tidak mengkilap yang terhubung atau
meluas SSK (squamouscolumnar junction)

Dicurigai kanker Pertumbuhan massa seperti kembang kol yang mudah berdarah atau
luka bernanah/ulcer

Gambar 1. Hasil yang dapat ditemukan pada IVA test.2

Tes skrining

Skrining mengandalkan tes, tidak hanya satu tes, tetapi sederetan tes, oleh karena itu,
kegiatan skrining hanya akan efektif, bila tes dan pemeriksaan yang digunakan juga efektif.
Dengan demikian, setiap tes skrining memerlukan validitas dan reabilitas yang kuat.5

Validitas tes ditunjukkan melalui seberapa baik tes secara aktual mengukur apa yang
semestinya diukur. Jika ini adalah tes skrining kolesterol, pertanyaannya adalah: dapatkah tes itu
memberikan informasi yang cukup akurat sehingga individu dapat mengetahui tinggi atau
rendahnya kadar kolesterol sekarang? Validit88as ditentukan oleh sensitivitas dan spesifisitas
uji.5

Realibilitas didasarkan pada seberapa baik uji dilakukan pada waktu itu dalam hal
keterulangannya (repeatibility). Dapatkah uji memberikan hasil yang dapat dipercaya setiap kali
digunakan dan dalam lokasi atau populasi yang berbeda? Yield (hasil) merupakan istilah lain
yang terkadang digunakan untuk menyebut tes skrining. Yield adalah angka atau jumlah skrining
yang dapat dilakukan suatu tes dalam suatu periode waktu- jumlah penyakit yang dapat
terdeteksi dalam proses skrining.5
13
Validitas suatu uji dapat dipengaruhi oleh keterbatasan uji dan sifat individu yang diuji.
Status penyakit, keparahan, tingkat dan jumlah pajanan, kesehatan gizi, kebugaran fisik, dan
faktor lain yang mempengaruhi status kesehatan individu juga dapat mempengaruhi dan
berdampak pada respons dan temuan tes.5

Validitas dari suatu tes skrining ditentukan oleh sensitivitas dan spesifisitas :

Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar mereka
yang terkena penyakit - presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena penyakit
seperti yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi orang yang benar-
benar sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan teridentifikasi secara tepat terkena
penyakit melalui tes skrining.5

Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar presentase
mereka yang tidak terkena penyakit - orang yang tidak terkena penyakit dan terbukti tidak
terkena penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas menunjukkan proporsi
orang yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani skrining dan mereka yang
diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena penyakit melalui uji skrining.5

Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan
menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap tes
melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu. Penggunaan tes dalam
jangka panjang dapat menetapkan reliabilitas, validitas dan mengungkat kelemahan tes tersebut.5

Ahli epidemiologi harus mengetahui seberapa baik tes dapat berfungsi dan apakah tes itu
cukup efektif untuk menskrining orang yang sakit dari orang yang sehat dalam populasi umum.
Ahli epidemiologi juga ingin mengetahui kemampuan uji untuk mengetahui positif palsu
(positives false) dan negatif palsu (false negatif). Bagaimana uji sensitifitas tersebut? Hasil tes
skrining dapat dibandingkan dengan diagnosis yang dibuat oleh dokter, yang akan membantu
14
menetapkan validitas, sensitivitas dan spesifisitas uji sekaligus membantu standardisasi tes
tersebut.5

Disebut positif palsu jika tes skrining memperlihatkan bahwa individu terkena penyakit,
tetapi sebenernya dia tidak terkena penyakit. Tes itu keliru dalam mengidikasikan bahwa
seseorang terkena penyakit sementara pada kenyataanya dia sehat dan tidak berpenyakit. Hasil
tes telah keliru mengatakannya terkena penyakit, mencap orang yang sehat terkena penyakit.5

% positif palsu= % orang tanpa penyakit yang saat uji keliru dinyatakan terkena penyakit

Negatif palsu adalah kebalikan dari positif palsu. Negatif palsu adalah ketika uji skrining
mengindikasikan bahwa seseorang tidak terkena penyakit, tetapi pada kenyataanya orang itu
terkena penyakit. Tes telah keliru dalam mengindikasikan bahwa seseorang sehat sementara dia
sakit atau terkena penyakit. Tes telah keliru mengatakan tidak terkena penyakit, mencap orang
yang sakit sebagai orang yang sehat.5

% negatif palsu= % orang dengan penyakit yang tidak terdeteksi uji

Standardisasi uji adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu tes telah
digunakan selama waktu yang lama, sudah banyak digunakan, batasan nilainya sudah pasti, dan
tes itu memiliki bukti catatan pemakaian yang ditunjukan dalam data normatif. Program
skrinning harus menggunakan uji terstandarisasikan karena penting untuk melakukan uji yang
memiliki prediktabilitas, relibialitas validitas yang tinggi, dan fungsi jangka panjang. Ini
biasanya berarti bahwa tes telah diperbaiki dan di uji-ulangkan untuk membuatnya selektif dan
seakurat mungkin.5

Nilai prediktif suatu tes

Nilai prediktif tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan suatu uji
untuk memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu tes. Semakin

15
tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh sensitivitas dan
spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya. Semakin tinggi angka prevalensi suatu
penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif benar. Semakin sensitif
suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah positif palsu dan negatif
palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai prediktifnya. Ketika melakukan
sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentasi orang yang tidak sakit diantara partisipan
yang memiliki hasil uji negatif.5

Nilai prediktif uji positif adalah presentase positif benar diantara individu yang hasil
ujinya positif. Nilai prediktif dari uji negatif adalah presentase orang yang tidak sakit diantara
mereka yang hasil ujinya negatif. Suatu penyakit harus mencapai tingkat 15% sampai 20% dalam
popilasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai. Informasi prevalensi digunakan untuk
menghitung dan membagi kelompok studi menjadi mereka yang terkena penyakit dan mereka
yang tidak terkena penyakit.5

Rumus nilai prediktif uji positif

Rumus nilai prediktif uji negatif

Pembahasan Kasus

Skenario

Pada skrining Ca Serviks di Puskesmas Warnasari pada kelompok wanita lokalisasi tuna
susila dengan menggunakan tes IVA. Dari 100 orang yang diperiksa, didapatkan 30 orang
terdeteksi positif tes IVA. Setelah diperiksa lebih lanjut dari yang positif tes IVA 6 orang positif
terkena Ca Serviks dan dari orang yang negative tes IVA, 3 orang positif terkena Ca Serviks.

16
Tabel 4. Data tentang Ca serviks di Puskesmas Warnasari

(+) Ca Serviks (-) Ca Serviks Total

IVA (+) 6 (a) 24 (b) 30

IVA (-) 3 (c) 67 (d) 70

Total 9 91 100

Tes skrining Ca Serviks dengan IVA dapat mendeteksi benar orang Ca Serviks sebanyak
66,7% dari seluruh orang yang terkena Ca Serviks. Artinya, ada 33,3% positif palsu.

Tes skrining Ca Serviks dengan IVA dapat mendeteksi benar orang sehat tanpa Ca Serviks
sebanyak 73,6% dari seluruh orang sehat. Artinya, ada 26,4% negative palsu.

Artinya, kemungkinan orang dengan IVA positif hanya 20% dari populasi yang terkena Ca
Serviks.

95,7%

Artinya, kemungkinan orang dengan IVA negative 95,7% dari populasi tidak terkena Ca
Serviks.

Rujukan
17
Tabel 5. Daftar Rujukan.2

Temuan IVA Tindakan Rujukan

Bila ibu dicurigai menderita kanker leher Segera rujuk ke RS Kab/Kota atau Provinsi
rahim yang dapat memberikan pengobatan kanker
yang memadai.

Ibu dengan hasil tes positif yang lesinya Rujuk untuk penilaian dan pengobatan di
menutupi rahim lebih dari 75%, meluas ke fasilitas terdekat yang menawarkan LEEP
dinding vagina atau lebih luas 2 mm dari atau cone biopsy. Jika tidak mungkin atau
probe krioterapi dianggap tidak akan pergi ke fasilitas lain,
beritahu tentang kemungkinan besar
persistensi lesi dalam waktu 12 bulan dan
tentang perlunya pengobatan ulang.

Ibu dengan hasil tes positif yang memenuhi Beritahu tentang kelebihan dan kekurangan
kriteria untuk mendapat pengobatan segera semua metode pengobatan . Rujuk ke RS Kab
tetapi meminta diobati dengan tindakan lain, / Kota atau Provinsi terdekat yang
bukan dengan krioterapi menawarkan pengobatan sesuai keinginan
klien

Ibu dengan hasil tes positif yang meminta tes Rujuk ke fasilitas tersier (RS Provinsi /
lebih lanjut (diagnosa tambahan), yang tidak Pusat) yang menawarkan klinik ginekologi
tersdia di puskesmas (bila diindikasikan)

Ibu dengan hasil tes positif yang menolak Beritahu tentang kemungkinan pertumbuhan
menjalani pengobatan penyakit dan prognosisnya. Anjurkan untuk
datang kembali setelah setahun untuk
menjalani tes IVA kembali untuk menilai
status lesinya.

Promosi Kesehatan

Dalam promosi kesehatan, tidak ada satu pun tujuan dan pendekatan atau serangkaian
kegiatan yang benar. Hal terpenting adalah bahwa kita harus mempertimbangkan tujuan dan
kegiatan yang kita miliki, sesuai dengan nilai-nilai dan penilaian kita terhadap kebutuhan klien.
Hal ini berarti bahwa nilai kita sebagai seorang promotor kesehatan dan kebutuhan klien di sisi
lain harus berada dalam suatu keadaan persepi agar tujuan dan kegiatan yang dilakukan dapat
berfungsi optimal.6

18
Menurut Ewles dan Simnett (1994), terdapat kerangka lima pendekatan yang
menunjukkan nilai-nilai yang dianut, meliputi: pendekatan medik, perubahan perilaku,
pendidikan, pendekatan berpusat pada klien, dan perubahan sosial.6

1. Pendekatan medik

Tujuan pendekatan medik adalah membebaskan dari penyakit dan kecacatan


yang didefinisikan secara medik, seperti penyakit infeksi, kanker, dan penyakit jantung.
Pendekatan in melibatkan intervensi kedokteran untuk mencegah dan meringankan
kesakitan, mungkin dengan menggunakan metode persuasif atau paternalistik (misal
memberi tahu orangtua agar membawa anak mereka untuk imunisasi, wanita untuk
memanfaatkan KB). Pendekatan ini memberikan arti penting terhadap tindakan
pencegahan medik, dan merupakan tanggung jawab profesi kedokteran membuat
kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan.6

2. Pendekatan perubahan perilaku

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan


lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga
diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan.
Pendekatan perubahan perilaku bertujuan mengubah sikap dan perilaku individual
masyarakat sehingga mereka mengadopsi gaya hidup sehat.6

Orang-orang yang menggunakan pendekatan ini akan merasa yakin bahwa gaya
hidup sehat merupakan hal paling baik bagi klien, dan akan melihatnya sebagai tanggung
jawab mereka untuk mendorong sebanyak mungkin orang guna mengadopsi gaya hidup
sehat yang mereka anjurkan. Contoh pengunaan pendekatan perilaku antara lain:
mengajari orang bagaimana menghentikan merokok, pendidikan tentang minum alkohol,
mendorong orang melakukan kegiatan olahraga.6

3. Pendekatan pendidikan

19
Bertujuan untuk memberikan informasi dan memastikan pengetahuan dan
pemahaman tentang perilaku kesehatan, dan membuat keputusan yang ditetapkan atas
dasar informasi yang ada. Misalnya program pendidikan kesehatan sekolah yang
menekankan upaya membantu murid mempelajari keterampilan hidup sehat, tidak hanya
memperoleh pengetahuan saja.6

4. Pendekatan berpusat pada klien

Tujuan pendekatan adalah bekerja dengan klien agar dapat membantu mereka
mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan, dan membuat keputusan
dan pilihan mereka sendiri sesuai kepentingan dan nilai mereka. Promotor berperan
sebagai fasilitator, membantu individu mengidentifikasi kepedulian-kepedulian mereka
dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan supaya
memungkinkan terjadi perubahan. Klien dihargai sebagai individu yang punya
keterampilan, kemampuan kontribusi.6

5. Perubahan sosial

Tujuan pendekatan ini adalah melakukan perubahan-perubahan pada lingkungan


fisik, sosial, dan ekonomi dalam upaya membuatnya lebih mendukung untuk keadaan
sehat. Pendekatan ini pada prinsipnya mengubah masyarakat, bukan perilaku setiap
individu. Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini memberikan nilai penting bagi
hak demokrasi mereka mengubah masyarakat, memiliki komitmen pada penempatan
kesehatan dalam agenda politik di berbagai tingkat.6

Kesimpulan

Tes skrining metode IVA sering digunakan sebagai metoda untuk melakukan
pemeriksaan skrining di PUSKESMAS karena dapat dilakukan dengan sumberdaya yang
terbatas, dan hasil yang cepat.

Skrining Ca Serviks dengan IVA memiliki sensitivitas 66,7% yang artinya dari 100%
sampel yang terkena Ca Serviks tes IVA positif pada 66,7% sampel saja. Sedangkan
spesifitasnya adalah 73,6% yang artinya pada 100% sampel yang sehat tes IVA negative pada

20
73,6% sampel saja. nilai prediktif uji positif adalah 20 % yang artinya, IVA dapat mendeteksi
positif benar hanya pada 20% populasi yang terkena Ca Serviks. Sedangkan nilai prediktif uji
negative adalah 95,7% yang artinya, IVA dapat mendeteksi negative benar pada 95,7% orang
tanpa Ca Serviks.

Daftar Pustaka

1. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto; 2011. h.


219-30.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis pencegahan, deteksi dini


kanker leher rahim dan kanker payudara. Jakarta: DEPKES RI; 2007. h. 1-32.

21
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrinning kanker rahim dengan metode
inpeksi visual asam asetat (IVA). Jakarta: DEPKES RI; 2008. h. 3-6.

4. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Jakarta: EGC; 2001. h. 133.

5.

6. Maulana HDJ. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC; 2009. h. 43-6.

22

Anda mungkin juga menyukai