Anda di halaman 1dari 8

RINGKASAN MATERI

A. Abortus
Abortus merupakan istilah yang diberikan untuk semua kehamilan yang berakhir
sebelum periode visabilitas janin, yaitu yang berakhir sebelum berat janin 500 gram.
Bila berat badan tidak diketahui, maka perkiraan lama kehamilan kurang dari 20
minggu lengkap (139 hari), dihitung dari hari pertama haid terakhir normal yang
dipakai (Ben-Zion Taber, 1994).
Dalam dunia medis, aborsi dibedakan dalam 2 kategori, yaitu : (1) Spontaneus
Abortion (Aborsi Spontan), yaitu aborsi ini terjadi secara tidak disengaja. Umumnya
disebut keguguran. Bisa terjadi wanita dengan trauma kehamilan, bekerja terlalu
berat, atau keadaan patologis lainnya. (2) Induced/ Provokatus Abortion (Aborsi
Secara Sengaja) yaitu jenis aborsi ini dilakukan secara sengaja dengan prosedur
yang sah dan aman (safe abortion), biasanya dilakukan ditempat praktik dokter, klinik
atau rumah sakit. (Ilma, 2012)
Secara klinis, abortus dapat terbagi ke dalam beberapa jenis seperti:
a. Abortus Iminens
Abortus yang baru mengancam dan masih ada harapan untuk
mempertahankannya (Obstetri Patologi FK UNPAD, 1984).
b. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam serta terjadi perdarahan ringan hingga
sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam
kavum uteri. (Sarwono, 2013).
c. Abortus Incompletus
Abortus yang merupakan kehamilan tidak lengkap ini menimbulkan
perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi telah
keluar dari kavum uteri melalui kanalis servikalis (Lilis, 2013).
d. Abortus Completus
Keadaan dimana seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri
pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 mg
(Sarwono, 2013).
e. Missed Abortion
Keadaan dimana janin telah mati sebelum usia kehamilan 22 minggu,
tetapi tertahan di dalam rahim selama 2 bulan atau lebih setelah janin mati
(Obstetri Patologi FK UNPAD, 1984).
f. Abortus Habitualis
Abortus spontan yang terjadi pada penderita keguguran 3 kali atau lebih
berturut-turut (Obstetri Patologi FK UNPAD, 1984).
g. Abortus Septic
Abortus yang disertai dengan penyebaran infeksi pada peredaran darah
tubuh atau peritoneum (septicemia atau peritonitis) (Sarwono, 2013)

Aborsi (abortus) atau pengguguran kandungan dimaksudkan sebagai tindakan


untuk menamatkan kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. Aborsi selalu merujuk kepada penamatan atau pembunuhan janin yang
belum lahir sedangkan teknik aborsi boleh dilakukan melalui: (1) Curettage and
dilatage (C & D). (2) Dengan melebarkan mulut rahim kemudian janin dikiret dengan
alat tertentu. (3) Dengan aspirasi atau penyedotan isi rahim. (4) Dan melalui operasi
(hystertotomi). Abortus boleh berlaku karena ketidaksengajaan (spontaneous

1
abortus) dan terjadi karena sengaja (abortus provocatus atau induced pro abortion).
(Ilma, 2012)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi yang tidak aman


sebagai prosedur untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan baik oleh orang-
orang yang kekurangan keterampilan yang diperlukan atau di lingkungan yang tidak
memiliki standar medis minimal, atau keduanya. Dalam beberapa dekade terakhir,
prosedur aborsi, metode invasif dan non-invasif, telah berkembang pesat seiring
dengan meningkatnya jumlah petugas layanan kesehatan terlatih dengan tujuan
untuk mengurangi prevalensi dan komplikasi aborsi yang tidak aman. Di antara
berbagai teknik, aspirasi vakum manual (MVA) telah terbukti menjadi pilihan
pengobatan yang aman dan efektif, harus mengganti dilatasi dan kuretase (D & C).
(Suphanchaimat, 2013)

"Aspirasi vakum adalah teknik yang direkomendasikan aborsi bedah untuk


kehamilan hingga 12 sampai 14 minggu kehamilan. Prosedurnya seharusnya tidak
selesai secara rutin dengan kuretase tajam. Dilatasi dan kuretase tajam (D & C), jika
masih dipraktekkan, harus diganti dengan aspirasi vakum". (Suphanchaimat, 2013)

Selama prosedur MVA, semprit genggam 60 ml dengan plunger pengunci diri


diterapkan untuk menghasilkan vakum yang digunakan untuk aspirating produk
konsepsi. MVA dapat diberikan dengan anestesi lokal di tempat rawat jalan,
menghindari kebutuhan akan sebuah teater operasi dan risiko anestesi umum.
Berdasarkan keefektifannya, antara 87 dan 100 persen, MVA direkomendasikan
sebagai pengobatan pilihan untuk aborsi trimester pertama sementara D & C hanya
boleh digunakan saat MVA tidak tersedia. Selanjutnya, MVA adalah pilihan yang tepat
dimana tidak ada ginekolog terampil yang tersedia, khususnya di daerah pedesaan;
Itu dapat dengan aman diberikan oleh petugas terlatih seperti perawat atau bidan,
dengan cadangan dokter jika diperlukan; Seperti yang ditunjukkan di berbagai setting
negara seperti Bangladesh, China, Nepal, Afrika Selatan dan Vietnam. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam tingkat komplikasi yang dilaporkan antara pasien
yang telah menjalani MVA yang diberikan oleh dokter dan asisten dokter.
(Suphanchaimat, 2013)

Berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, tindakan medis


(aborsi), sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim
ahli.4 Hal tersebut menunjukkan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal atau
dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum dan segala perbuatan yang di
lakukan oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan
merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan, Selama ini aborsi oleh tenaga medis
dilakukan bilamana ada indikasi medis misalnya ibu dengan penyakit berat yang
mengancam nyawa. (Clifford, 2015)

Di Uganda, di mana aborsi ilegal kecuali menyelamatkan nyawa ibu, aborsi yang
diinduksi secara ilegal sering dilakukan dalam kondisi tidak aman oleh penyedia
layanan tidak terampil. Aborsi yang tidak aman dan komplikasi yang diakibatkannya
merupakan beban yang signifikan bagi wanita dan sistem kesehatan. Singh dkk.
memperkirakan bahwa satu dari lima kehamilan menghasilkan aborsi, untuk sekitar

2
297.000 aborsi yang diinduksi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, setidaknya
85.000 mengakibatkan komplikasi yang memerlukan perawatan. (Lubinga, 2013)

Aborsi yang tidak aman diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat utama
pada Konferensi Internasional yang diselenggarakan pada Populasi dan
Pembangunan (ICPD) pada tahun 1994. Para peserta meminta layanan medis cepat,
bermutu tinggi dan simpatik untuk mengatasi komplikasi aborsi yang tidak aman.
Selain itu, ICPD menekankan pentingnya layanan konseling pasca-aborsi dan
keluarga berencana sebagai bagian dari paket komprehensif perawatan pasca aborsi
untuk mempromosikan kesehatan reproduksi dan mencegah aborsi berulang.
Perawatan pasca aborsi menyeluruh diidentifikasi sebagai intervensi penting untuk
mengatasi komplikasi akibat keguguran dan aborsi yang tidak aman, mengurangi
kejadian kehamilan yang tidak direncanakan, dan mengurangi kejadian aborsi
berulang. Wanita dapat mengalami kehilangan kehamilan dini akibat keguguran atau
aborsi akibat induksi. Keduanya bisa mengancam kehidupan dari pendarahan,
infeksi, syok, dan masalah penggumpalan darah. Salah satu temuan mengejutkan
dalam kebanyakan penelitian adalah kurangnya perawatan pasca aborsi berkualitas
dan wanita diobati tanpa menghilangkan rasa sakit dan dengan metode berisiko
seperti curettes tajam. (Tesfaye, 2013)

Respon psikologis ibu pasca abortus spotan yaitu sedih dan kehilangan. Usia
yang menua dapat menyebabkan terjadinya stres pada pasien pasca abortus
spontan. Status ekonomi yang rendah pada seseorang menyebabkan orang tersebut
mudah mengalami stres yang lebih berat. Kehamilan pada trimester awal sangat
beresiko mengalami keguguran spontan. Tenaga kesehatan hendaknya memberikan
informasi yang sejelas-jelasnya mengenai abortus spontan. Aktivitas terlalu berat,
rahim lemah, usia yang tua dapat menyebabkan abortus spontan. Dalam
menghadapi ibu pasca abortus spontan tidak hanya memberikan perhatian pada
penanganan fisik semata, tetapi juga penanganan emosional dan psikologis ibu.
(Girindra, 2010)

B. Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa merupakan salah satu penyakit trofoblas gestasional yang
meliputi berbagai penyakit yaitu mola hidatidosa parsial dan komplit, koriokarsinoma,
mola invasif, dan placental site trophoblastic tumors. Variasi angka kejadian berkaitan
dengan faktor predisposisi di tiap daerah. Tingginya insiden mola hidatidosa,
komplikasi yang ditimbulkan, serta penyulit seperti preeklampsia, tirotoksi-kosis, dan
emboli paru, mengakibatkan diagnosis mola hidatidosa harus ditegakkan sedini
mungkin dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor
predisposisi. Masalah dari mola hidatidosa yaitu 20% dapat mengalami berkembang
menjadi tumor trofoblas gestasional. (Loho, 2015)
Penyebab terjadinya MH tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan adanya
peranan kelainan kromosomal. Sel sperma membuahi ovum abnormal yang tidak
memiliki nukleus (atau kromosom) pada CMH. Penyebab terbentuknya ovum
abnormal tersebut tidak diketahui. Bila fertilisasi dengan kondisi tersebut
berlangsung, perkembangan normal tidak akan terjadi, tidak akan terbentuk chorion,
amnion atau korda umbilikalis dan fetus juga tidak terbentuk. Sebaliknya sel
trofoblast pembentuk plasenta akan berkembang pesat menjadi CMH. Embrio atau

3
janin pada PMH secara parsial berkembang tetapi biasanya tidak bertahan hidup
sampai rata-rata minggu kedelapan akan mati. Kebanyakan kehamilan dianggap
berisiko tinggi dan dapat berakibat fatal terhadap ibu. (Simbolon, 2013)
CMH dapat berkembang setelah terjadinya abortus ataupun dari sisa-sisa sel
trofoblast setelah kehamilan aterm. Beberapa faktor resiko yang banyak disebutkan
yaitu usia kehamilan di atas 35 tahun dimana kemungkinan terjadi MH menjadi dua
kali lipat, usia setelah 40 tahun kemungkinannya menjadi 5-10 kali lipat (Moore).
Faktor resiko terhadap kehamilan sebelum usia 16 tahun juga meningkat (Vorvick).
Faktor lainnya adalah intake prekursor vitamin A ( beta karoten ), konsumsi protein
dan lemak hewani yang rendah diperkirakan erat kaitan terhadap terjadinya CMH,
paritas, riwayat pernah mengalami ataupun dalam keluarga mengalami kehamilan
mola dan kondisi tingkat sosioekonomi dan edukasi yang rendah. Faktor lainnya
yang sebenarnya belum jelas benar hubungannya antara lain penggunaan
kontrasepsi oral jangka panjang, golongan darah, pernah abortus dan kesulitan
memiliki keturunan.(Simbolon, 2013)
Hal yang perlu diwaspadai adalah terjadinya keganasan (TTG), salah satunya
adalah mola persisten pascaevakuasi MH yang insidensinya antara 20% sampai
30%. Keganasan ini berkembang sangat cepat dengan mortalitas tinggi yaitu 31-
51%. Faktor risiko klinis yang diduga berperan terhadap keganasan pascamola yang
diketahui sampai saat ini, yaitu: usia 35 tahun, paritas 4, besar uterus 20 minggu,
adanya kista lutein, gambaran histopatologi proliferasi trofoblas berlebih, dan kadar
hCG serum praevakuasi diatas 100.000 mIU/mL, namun deteksi keganasan dengan
variabel klinis yang diketahui belum memberikan hasil yang optimal. (Yudi, 2015)
Disimpulkan bahwa jika ada yang lebih tinggi tingkat histopatologis kadar mol
hidatidosa, maka kemungkinan besar akan ada kesempatan yang lebih tinggi
degenerasi ganas. Tingkat β-HCG memainkan peran penting, tidak hanya untuk
diagnosis tetapi juga untuk prognosis dan untuk tindak lanjut lebih lanjut. Sayangnya,
pemeriksaan β-HCG tidak dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Pemeriksaan umumnya bisa dilakukan hanya dilakukan di laboratorium kota besar, di
samping itu dengan biaya pemeriksaan middlelow yang relatif tinggi bagi penerima.
Akibatnya pasien tidak mau mematuhinya penilaian rutin, ini merupakan kendala
untuk ditindaklanjuti pasien dengan mola hidatidosa dan diagnosis dini perubahan
maligna mol hidatidosa. (Triningsih, 2015)
Salah satu bentuk keganasan (TIG) paling awal adalah mola persisten atau
persistent trophoblastic disease (PTD) menurut Federation International of
Gynecology and Obstetrics (FIGO). Dilaporkan sebagian besar wanita dengan TIG
berusia 25-29 tahun dan 82,7% berusia kurang dari 40 tahun. Penelitian Perbawati
dkk di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada tahun 2010
melaporkan bahwa penderita TIG pada tahun 2007-2009 sebagian besar berusia
muda (25-29 tahun), dengan paritas rendah dan sebagian besar didahului penyakit
MHK. Di Indonesia, upaya menurunkan insidensi TIG dan deteksi dini keganasan
pascaevakuasi MH masih belum optimal yang dapat dilihat dari masih tingginya
angka kejadian keganasan pasca MH, baik pada kelompok risiko tinggi atau rendah.
Di RSHS pada tahun 2007-2011, Sismawan dan Hidayat melaporkan angka kejadian
TIG sebesar 38,2% dari penderita MH risiko rendah dan 61,8% dari penderita MH
risiko tinggi, yang menunjukkan bahwa usaha pencegahan keganasan atas dasar
faktor risiko klinis yang telah dilakukan belum optimal dan masih harus terus
diperbaiki. (Yudi, 2015)

4
Klasifikasi mola hidatidosa menurut Federation International of Gynecology and
Obstetrics (FIGO) terbagi menjadi mola hidatidosa komplit dan parsial (PTG benigna)
dan mola invasif (PTG maligna).
1. Mola Hidatidosa Komplit: merupakan hasil kehamilan tidak normal tanpa
adanya embrio-janin, dengan pembengkakan hidrofik vili plasenta dan seringkali
memiliki hiperplasia trofoblastik pada kedua lapisan.
2. Mola Hidatidosa Parsial: merupakan triploid yang mengandung dua set
kromosom paternal dan satu set kromosom maternal, tetapi pada triploid akibat
dua set kromosom maternal tidak menjadi mola hidatidosa parsial. Seringkali
terdapat mudigah atau jika ditemukan sel darah merah berinti pada pembuluh
darah vili.
3. Mola Invasif: neoplasia trofoblas gestasional dengan gejala adanya vili
korialis disertai pertumbuhanberlebihan dan invasi sel-sel trofoblas.
Diagnosis banding suatu mola hidatidosa ialah: Kehamilan ganda, hidramnion,
dan abortus. Terapi mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu Perbaiki keadaan
umum, pengeluaran jaringan mola, terapi profilaksis dengan sitostatika, dan follow
up. (Wagey, 2016)

C. Kehamilan Ektopik Terganggu


Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi
dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik terganggu (KET)
dapat menyebabkan terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan
keadaan umum pasien. Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat
keterlambatan haid atau amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal (60-80%),
nyeri abdominal atau pelvik (95%). Biasanya kehamilan ektopik baru dapat
ditegakkan pada usia kehamilan 6–8 minggu saat timbulnya gejala tersebut di atas.
Gejala lain yang muncul biasanya sama seperti gejala pada kehamilan muda, seperti
mual, rasa penuh pada payudara, lemah, nyeri bahu, dan dispareunia. Selain itu
pada pemeriksaan fisik didapatkan pelvic tenderness, pembesaran uterus dan massa
adneksa. (Lomboan, 2015)
Penyebab terjadinya kehamilan ektopik melibatkan banyak faktor. Teoritis, semua
faktor yang mengganggu migrasi embrio ke dalam rongga endometrium dapat
menyebabkan kehamilan ektopik. Obstruksi merupakan penyebab separuh kasus
kehamilan ektopik. Obstruksi dapat terjadi karena inflamasi kronik, tumor intrauterin,
dan endometriosis. Komplikasi kehamilan ektopik sering terjadi karena salah
diagnosis, keterlambatan diagnosis atau kesalahan terapi. Komplikasi terburuk
kehamilan ektopik adalah ruptur uteri atau tuba yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan masif, syok, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), dan
kematian. (Christina, 2009)
Kehamilan ektopik pada prinsipnya disebabkan oleh segala hal yang
menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor mekanis yang
menghambat adalah infeksi rongga panggul, perlekatan tuba akibat operasi non
ginekologis seperti apendektomi, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), ligasi tuba
yang tidak sempurna, teknik-teknik reproduktif misalnya fertilisasi in vitro dan
penggunaan obat-obatan untuk menginduksi ovulasi. Faktor fungsional yang juga
berperan adalah perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor
hormonal, defek fase luteal dan meningkatnya usia seorang perempuan. (Christina,
2009)
Terjadinya implantasi di dalam lumen tuba dapat terjadi beberapa kemungkinan:
a. Hasil konsepsi mati dini.

5
Tempatnya tidak mungkin memberikan kesempatan tumbuh kembang hasil,
konsepsi mati secara dini, karena kecilnya kemungkinan diresorbsi.
b. Terjadi abortus.
Kesempatan berkembang yang sangat kecil menyebabkan hasil konsepsi
mati dan lepas dalam lumen. Lepasnya hasil konsepsi menimbulkan
perdarahan dalam lumen tuba atau keluar lumen serta membentuk timbunan
darah kedalam ruang abdomen. Tuba tampak berwarna biru saat dilakukan
operasi.
c. Tuba fallopi pecah.
Karena tidak dapat berkembang dengan baik maka tuba dapat pecah. Jonjot
villi menembus tuba, sehingga terjadi ruptura yang menimbulkan timbunan
darah kedalam ruangan abdomen. Rupture tuba menyebabkan hasil
konsepsi terlempar keluar dan kemungkinan untuk melakukan implantasi
menjadi kehamilan abdominal sekunder.
(Loho, 2013)
Berdasarkan hasil penelitian KET di RS Immanuel Bandung, dapat disimpulkan
bahwa KET berhubungan dengan karakteristik tertentu yaitu peningkatan proses
infeksi tuba, penggunaan kontrasepsi hormonal dan riwayat operasi abdomen serta
riwayat kelainan ginekologis sebeumnya. (Suryawan, 2007)
Dalam penanganan kehamilan ektopik, diagnosis yang tepat dan cepat
merupakan hal yang sangat penting karena dapat menurunkan angka kematian ibu
dan mempertahankan kualitas reproduksinya. Diagnosis kehamilan ektopik secara
umum ditegakkan berdasarkan beberapa faktor yaitu: 1. Deteksi dini kelompok
resiko tinggi. 2. Riwayat obstetrik dan pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan
laboratorium (tes kehamilan), kuldosentesis, USG dan laparoskopi. (Suryawan, 2007)
Diagnosis banding kehamilan ektopik sangat tergantung pada tahap kehamilan di
mana kasus ini pertama kali terlihat dan paling dianggap mungkin di bawah empat
judul berikut:

1. Sebelum pecah.
Dalam keadaan ini diagnosis sulit, tapi kesadaran kemungkinan pergi
sepanjang jalan menuju pemecahkan masalah.
2. Sudden ruptur tuba.
(a) Folicle Ruptur atau pecah korpus luteum.
(b) Apendisitis akut.
(c) Perforasi dari viskus berongga.
(d) Hemoragik pankreatitis.
(e) Torsi pedikel dari suatu kista ovarium.
3. Kebocoran Tubal.
(a) Salpingitis.
(b) Apendisitis dengan aborsi.
(c) Torsi pedikel dari suatu kista ovarium.
(d) Kista ovarium dengan kehamilan.
(e) Aborsi.
(f) Fibroid dan kehamilan.
4. Dengan haematocele panggul.
(a) Retroversi uterus gravid.
(b) Salpingitis dan abses pelvis.
(c) Fibroid di dinding posterior uterus dan kehamilan.
(d) Dipenjara kista ovarium dan kehamilan.
(Bancroft, 2013)

6
Mengingat kehamilan ektopik merupakan kasus darurat dan dapat mengancam
nyawa, maka pada wanita hamil usia rentan kehamilan ektopik disarankan untuk
melakukan deteksi dini. Memberikan penjelasan pada setiap ibu hamil tentang
gejala-gejala yang timbul akibat kehamilan tidak normal. Pelayanan yang lebih
menyeluruh untuk menurunkan angka kejadian kehamilan ektopik. Perlu adanya
sentralisasi data, agar pengambilan data dapat terfokus, sehingga proses
pengambilan data lebih akurat. (Loho, 2013)

Sumber:

Andika, Clifford. Tindakan aborsi yang dilakukan oleh dokter dengan alasan medis
menurut undang-undang nomor 36 tahun 2009. Lex et Societatis, Vol. III/No.
4/Mei/2015. Diakses dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/8057/7618. (7 Mei
2017)

Bancroft-Livingston, G. Kehamilan Ektopik. London, 2013. Diakses dari:


https://scholar.google.co.id/scholar?
start=40&q=kehamilan+ektopik+terganggu&hl=id&as_sdt=0,5. (7 Mei 2017)
Christina et al. Kehamilan ektopik terganggu di abdomen. Jurnal Kedokteran Meditek,
vol. 15 no. 40 Januari-April 2009. Diakses dari:
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Ked/article/view/193. (7 Mei 2017)
Girindra et al. Eksplorasi perasaan ibu yang mengalami stres pasca abortus spontan di
RSUD Cilacap. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 5, No.3, Nopember 2010. Diakses dari:
http://jks.fikes.unsoed.ac.id/index.php/jks/article/view/309/157. (7 Mei 2017)

FK UNPAD. (1984). Obstetri patologi. Bandung: ELSTAR OFFSET

Ilma, Sayyidah Rohmatul (2012) Studi deskriptif stress pre dan post abortus pada ibu
rumah tangga. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Lisnawati, L. (2013). Asuhan kebidanan terkini kegawatdaruratan maternal dan neonatal.


Jakarta: TIM

Loho et al. Tinjauan kasus kehamilan ektopik di blu rsup prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode 1 januari 2010 – 31 desember 2011. Jurnal e-Biomedik, Vol 1,
No 1 (2013). Diakses dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/1159. (7 Mei 2017)
Loho et al. Profil mola hidatidosa. Jurnal e-Clinic (eCl),Volume 3, Nomor 2, Mei – Agustus
2015. Diakses dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/8601/8174. (7 Mei 2017)
Lomboan et al. Gambaran kehamilan ektopik terganggu di RSUP Prof. Dr. R. R. Kandou
Manado. Jurnal e-Clinic (eCl),Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus2015. Diakses dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/8338/7900. (7 Mei 2017)
Lubinga et al. Health and Quality of Life Outcomes 2013, 11:118
http://www.hqlo.com/content/11/1/118. (7 Mei 2017)

7
Prawirohardjo, S. (2013). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

Rukiyah, A. dan L. (2013). Asuhan kebidanan 4 (patologi). Jakarta: TIM

Simbolon, Y. (2013). Mola hidatidosa. Diakses dari: https://scholar.google.co.id/scholar?


q=mola+hidatidosa+dr.+yusni&btnG=&hl=id&as_sdt=0%2C5. (7 Mei 2017)
Suphanchaimat et al. Reproductive Health 2013, 10:49 http://www.reproductive-health-
journal.com/content/10/1/49. (7 Mei 2017)

Suryawan et al. Profil Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu Periode 1 Januari 2003
sampai 31 Desember 2004 di RS Immanuel Bandung. Jurnal Kedokteran
Maranatha, Vol 6, No 2 (2007). Diakses dari:
http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/article/view/89. (7 Mei
2017)
Taber, B. (1994). Kapita selekta kegawatdaruratan obstetric dan ginekologi. Jakarta: EGC

Tesfaye and Oljira Reproductive Health 2013, 10:35 http://www.reproductive-health-


journal.com/content/10/1/35. (7 Mei 2017)

Triningsih et al. Malignancy Risk Scoring of Hydatidiform Moles. Diakses dari:


http://dx.doi.org/10.7314/APJCP.2015.16.6.2441. (7 Mei 2017)

Wagey et al. Profil mola hidatidosa di RSUP Prof. Dr. R. D. kandou Manado. Jurnal e-
Clinic (eCl),Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016. Diakses dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/10958/10547. (7 Mei 2017)

Yudi et al, (2015) Risiko Klinis Mola Hidatidosa Komplet Sebagai Faktor Risiko Mola
Persisten. Diakses dari: http://repository.unpad.ac.id/21446/1/RISIKO-KLINIS-
MOLA-HIDATIDOSA.pdf. (7 Mei 2017)

Anda mungkin juga menyukai