Anda di halaman 1dari 73

RESPONSI

Seorang Laki-laki 53 Tahun dengan STEMI Inferior RV Onset 13 Jam


Tanpa Fibrinolitik, Killip I, TAVB, EF 61-64%, et causa PJK dengan
Azotemia, Hipertensi, dan Hiperuricemia

Disusun Oleh:
Dini Estri Mulianingsih G99172061
Astari Febyane G99172049
Namira Nurul H G99181047
Leonard Sarwono AS G991903030
Ismi Cahya Dhelima G991905030

Pembimbing:
dr. Ahmad Jalaludin , Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG


DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Usia : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sukoharjo
Tanggal periksa : 5 Juli 2019
No. RM : 01467388

2. Keluhan Utama
Dada ampeg

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan dada terasa ampeg. Dada ampeg dikeluhkan
sejak 13 jam sebelum masuk RS. Sifat ampeg seperti tertekan benda berat.
Durasi ampeg >30 menit. Dada ampeg dirasakan setelah bekerja dari pasar.
Dada ampeg tidak menjalar, berkurang dengan istirahat. Ampeg disertai
dengan keringat dingin (+), mual (+), muntah (+), sesak nafas (-), berdebar-
debar (-), pingsan (-), nggliyeng (+). Pasien merupakan rujukan dari
Nirmala Suri dengan UAP dengan terapi heparin 10000 Unit IV, cedocard 2
Ampul 6ml/jam, loading CPG 300 mg, aspilet 320 mg, Diovan 1x80 mg,
simvastatin 1x40 mg, concor 1x2,5 mg, nitrokaf2x1, sucralfat syr 3x1C, dan
inj. Omeprazole 1 Ampul/12 jam. Pasien lalu dirujuk ke RSDM untuk
tatalaksana lebih lanjut.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi : 5 tahun tidak terkontrol
b. Riwayat diabetes mellitus : disangkal

2
c. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat mondok : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat penyakit jantung : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
e. Riwayat sakit paru : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : (+), sejak muda, sehari 1 pak
b. Riwayat olahraga : jarang berolahraga
c. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai pedagang dan berobat menggunakan fasilitas
pelayanan kesehatan BPJS.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit sedang, gizi kesan cukup.
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 93/60 mmHg
Laju napas : 20x/menit
Denyut nadi : 41x/menit
Detak jantung : 41x/menit

3
Suhu : 36,8°C
Saturasi O2 pulse : 99 % (O2 3lpm)
GDS : 127
3. Keadaan Sistemik
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : JVP 5+2cm H2O
Toraks : bentuk normochest, simetris, retraksi(-/-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar
Auskultasi : S1-S2 Interval normal reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-
), ronki basah kasar (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+) seluruh lapang abdomen, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

4
Ekstremitas :

Edema Akral Dingin

- - - -

- - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
a. 5 Juli 2019 (4.22)
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 13,9 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 42 % 33-45
Leukosit 10.7 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 273 ribu/uL 150-450
Eritrosit 4.39 juta/uL 4.50-5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 94.6 /um 80.0-96.0
MCH 31.7 Pg 28.0-33.0
MCHC 33.5 g/dL 33.0-36.0
RDW 12.4 % 11.6-14.6
MPV 7.8 Fl 7.2-11.1
PDW 18 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.00 % 0.00-4.00
Basofil 0.20 % 0.00-2.00
Neutrofil 69.70 % 55.00-80.00
Limfosit 22.20 % 22.00-44.00
Monosit 6.90 % 0.00 –7.00
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 122 mg/dL 60-140
Creatinine 1.7 mg/dl 0.9-1.3
Ureum 46 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 mmol/L 136-145

5
Kalium darah 3.7 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.19 mmol/L 1.17-1.29
SEROLOGI
HEPATITIS
HBsAg Nonreactive Nonreactive
CKMB 154.20 ng/mL <5.1
Troponin I 27804 ng/L

b. 5 Juli 2019 (13.53)


KIMIA KLINIK
Gula Darah Puasa 91 mg/dL 70-110
Asam urat 10.1 mg/dL 2.4-6.1
Kolesterol total 192 mg/dl 50-200
Kolesterol LDL 130 mg/dl 89-197
Kolesterol HDL 31 mg/dl 28-63
Trigliserida 200 mg/dl <150

2. Hasil Pemeriksaan EKG


a. 4 Juli 2019 (RS Rujukan)

Interpretasi :TAVB, PP rate 120 bpm, RR rate 38 bpm, normoaxis,


gelombang P 0,08 detik, PR interval tidak dapat dievaluasi, Q

6
patologis (-), QRS Kompleks 0.12 detik, ST Depresi (+) I, aVL, V2-
V5, ST Elevasi (+) II, III, aVF, T inverted (+) I, aVL, V2-V5.
Kesimpulan : TAVB, PP rate 120 bpm, RR rate 38 bpm,
normoaksis, STEMI Inferior.
b. 5 Juli 2019 (RSDM)

Interpretasi : TAVB, PP rate 55 bpm, RR rate 48 bpm, normoaxis,


gelombang P 0.08 detik, PR interval sde, Q patologis (-), QRS Kompleks
0.12 detik, ST Depresi (+) di V2-V6, ST Elevasi (+) III, aVF,T inverted (-)
Kesimpulan : TAVB, PP rate 55 bpm, RR rate 48 bpm, normoaksis,
LVH, STEMI Inferior.

7
c. 6 Juli 2019, (RSDM)

Interpretasi : TAVB, PP rate 60 bpm, RR rate 56 bpm, normoaxis,


gelombang P 0.08 detik, PR interval sde, Q patologis (-), QRS Kompleks
0.12 detik, ST Depresi (+) di I, aVL, V3-V6, ST elevasi (+) di III, aVF, T
inverted (+) II, III, aVF, premature ventricle complexes
Kesimpulan : TAVB dg PVC, PP rate 60 bpm, RR rate 56 bpm,
normoaxis, LVH, STEMI inferior
d. 7 Juli 2019 (RSDM)

Interpretasi : TAVB, PP rate 70 bpm, RR rate 67 bpm, normoaxis,


gelombang P 0,08 detik, PR interval sde, Q patologis (-), QRS kompleks
0,12 detik, ST Depresi (+) di I, aVL, V3-V6, ST Elevasi (-), T inverted
(+) di II, III, aVF.

8
Kesimpulan : TAVB, PP rate 70 bpm, RR rate 67 bpm, normoaxis,
STEMI inferior.
e. 8 Juli 2019 (RSDM)

Interpretasi : TAVB, PP rate 80 bpm, RR rate 65 bpm, normoaxis,


gelombang P 0,08 detik, PR interval sde, Q patologis (-), QRS kompleks
0,12 detik, ST Depresi (+) di I, aVL, V2-V6, ST Elevasi (-), T inverted
(+) di II, III, aVF.
Kesimpulan : TAVB, PP rate 80 bpm, RR rate 65 bpm, normoaxis,
STEMI inferior.
3. Hasil Pemeriksaan Rontgen Thorax (5 Juli 2019)

9
Ekspertise :
Ro Thorax AP
Cor :Ukuran dan bentuk normal
Pulmo :
- Tak tampak infiltrat di kedua lapang pulmonal, corakan
bronkovaskuler normal
- Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
- Hemidiaphragma kanan kiri normal
- Trakhea di tengah
- Sistema tulang baik
Kesimpulan :
Cor dan pulmo tak tampak kelainan

DIAGNOSIS
Anatomis : STEMI Inferior RV onset 13 jam tanpa fibrinolitik
Fungsional : Killip I, TAVB
Etiologi : PJK
Faktor Resiko : laki-laki, >45 tahun, merokok, hipertensi
Penyerta :
1. Peningkatan cardiac marker (hs-Trop I 27904)
2. Azotemia (Cr 1.7 eGFR 45 ml/min/1.73m)
TIMI 5/14 (Hypertension,Angina, TDS <100, Time to treatment > 4 hours)
(12.4% risk of all-cause mortality at 30 days)
GRACE 111 (6% Probability of death from admission to 6 months)
CRUSADE 36% (Moderate Risk) (8.2% risk in hospital major bleeding)
eGFR 45 ml/min/1.73m

D. TERAPI
Terapi di IGD
1. Loading 500-1000 cc

10
2. Loading aspilet 160 mg (sudah di RS sebelumnya)
3. Inj. SA 2 Ampul/3 menit (maksimal 3 mg)
4. SP Dopamin 200mg/50 cc NS

Terapi
1. Mondok ICVCU
2. Bedrest total
3. O2 3lpm NK jika Sio2 <90%
4. Inf. RL 60 ml/jam
5. Inj. Lovenox 0,6ml/12 jam sc
6. Aspilet 1x80 mg
7. Clopidogrel 1x75 mg
8. Atorvastatin 1x40mg
9. SP Dopamin 200mg/50 cc NS

Plan:
1. Foto rontgen thorax PA
2. Cek Laboratorium melengkapi (GDP, GD2PP, profil lipid, asam urat, anti
HCV)
3. Echocardiography
5. Hasil Pemeriksaan Echocardiography
Pemeriksaan Echocardiography (5 Juli 2019)

11
12
Kesimpulan :
Abnormalitas segmental wall motion EF 61-64%
Fungsi diastolik baik
Katup-katup baik

13
E. FOLLOW UP
CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
05/7/19 Menerima pasien baru dari IGD RSDM dengan STEMI
Cardio
inferior RV akut onset 13 jam killip I AV Block derajat I
05.00
DPH 0 S : Sesak nafas (-) nyeri dada (-) berdebar (-)
O : KU : Tampak sakit sedang, compos mentis
VS : TD : 93/60
HR : 41x/menit
N : 41x/menit
RR : 20x/menit
SpO2 : 99%
GDS 127
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan=kiri
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : S1-S2 Interval bervariasi regular bising (-)
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

Akral dingin _ _
_ _

14
Assessment :
Anatomi : STEMI inferior onset 13 jam
Fungsional : Killip I, AV Block derajat I
Etiologi : PJK
FR : anemia , HT

Terapi :
1. Bedrest total
2. DJ II 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD RL 60ml/jam iv
5. Inj. Lovenox 0,6ml/12jam sc
6. Atorvastatin 0-0-40mg po
7. Aspilet 80mg-0-0 po
8. Clopidogel 0-75mg-0 po
9. SP Dopamine 200 mg/50cc 5-10mg/kgBB/jam
Plan :
1. Cek lab melengkapi (GDP, GD2PP, Profil lipid, as.
Urat)
2. Echocardiography
3. Konsul invasif

CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
5/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-) berdebar (-)
Cardio
O : KU : Tampak sakit sedang, compos mentis
06:00
DPH I VS : TD : 143/96
HR : 62x/menit
N : 62x/menit
RR : 22x/menit
SpO2 : 99%
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

15
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan=kiri
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II irregular intensitas bervariasi, regular,
bising (-) PSM apex, bising (-)
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

Akral dingin _ _
_ _
Assessment :
Anatomi : STEMI inferior RV onset 13 jam tanpa
fibrinolitik
Fungsional : Killip I, TAVBAV Block derajat I
Etiologi : PJK
P:
1. Azotemia
2. Hipertensi

Terapi :
1. Bedrest total
2. DJ II 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 60ml/jam iv

16
5. Inj. Lovenox 0,6ml/12jam sc (I-II) tunggu lab
6. Ramipril 0-0-2,5mg po
7. Atorvastatin 0-0-40mg po
8. Aspilet 80mg-0-0 po
9. Clopidogel 0-75mg-0 po
10. SP Dopamine 200 mg dalam 50ml NaCl 0,9%
kecepatan 5 ml/kgBB/menit iv
11. Laxadine syrup 3x1C
Plan :
1. Echocardiography
2. Cek lab melengkapi
3. Konsul invasif

Echo Bedside
TD: 163/100
HR: 67 E: 64
IVC: 14/10 e’septal: 5
RAP: 15 e’lateral: 7
Co: 3,48
Cl:2,05
SV:51,93
SVR:25,98
PCwP: 14,5
IVSd: 1,4
LVIDd:4,4
LVSWD: 1,0
IVS: 1,4
LVIDs: 3,0
LVPwc: 1,7
Tapse: 1,9
RVIDd: 2,3
Ao : 2,4

17
LA : 3.0
LA/Ao: 1,28
E/A 1,04
PCAP: 8,33
SV: 45,84
CO: 3,07
CI: 1,77
SCR: 1823,18
EF 60%

Asam Urat: 10,1


Cardio
16.50 Ax: Hiperuricemia
Tx: Allopurinol 1x100 mg po

TD 125/87
Cardio
20.30 HR 48
SpO2 95%
Tx: inj. Dopamine SP dosis naik 7,5 mcg/kgBB/meniit
kec. 6,8ml/jam

Echohemodinamik

Cardio TD 164/88 HR: 54 E: 96


22.30 IVC: 20/17 e’septal: 9
RAP: 8 e’lateral: 10
Co: 3,20
Cl:1,98
SV:59,35
SVR:2629,48
PCwP: 14,43
CVOT: 20
VTI CVOT: 18,9

18
Urin output: 1100ml dalam 16 jam : 1,14ml/kgBB/jam
Pulmo: SDV +/+, RBH -/-
Terapi:
Ramipril 1x10mg po

CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
6/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-) berdebar (-)
Cardio
O : TD : 157/77
06:00
DPH II HR : 56x/menit
N : 56x/menit
RR : 20x/menit
SpO2 : 98%
BC: +532,7 u/o: 0,97
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan=kiri
Cor : Batas jantung kesan tidak melebar, S1S2 Int N, reguler,
bising (-)
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

Akral dingin _ _
_ _
Assessment :

19
Anatomi : STEMI inferior RV onset 13 jam tanpa fibrinolitik
Fungsional : Killip I, TAVBAV Block EF 61-64%
Etiologi : PJK
P:
1. Azotemia
2. Hipertensi
3. Hiperuricemia (AU:10,1)

Terapi :
1. Bedrest total
2. DJ II 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 60ml/jam iv
5. Inj. Lovenox 0,6ml/12jam sc (III-IV) tunggu lab
6. Ramipril 0-0-10mg po
7. Atorvastatin 0-0-40mg po
8. Aspilet 80mg-0-0 po
9. Clopidogel 0-75mg-0 po
10. SP Dopamine 200 mg dalam 50ml NaCl 0,9% kecepatan 7,5
ml/kgBB/menit iv
11. Laxadine syrup 3x1C
12. Allopurinol 1x100mg

Plan :
1. 1. Cel lab melengkapi
2. 2. Echocardiography
3. 3. Konsul invasif DCA

Echohemodinamik
TD 142/76 HR: 77 E: 31
IVC: 18/15 e’septal: 12
RAP: 8 e’lateral: 17
Co: 3,65

20
Cl:2,36
SV:47,41
SVR:1928
PCwP: 14,43
LVOT: 20
VTI LVOT: 13,1

CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
7/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-) berdebar (-)
Cardio
O : TD : 121/58
06:00
DPH III HR : 67x/menit
N : 67x/menit
RR : 18x/menit
SpO2 : 98%
BC: -350 u/o: 1,2
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan=kiri
Cor : Batas jantung kesan tidak melebar, S1S2 Int N,
reguler, bising (-)
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

21
Akral dingin _ _
_ _
Assessment :
Anatomi : STEMI inferior onset 13 jam tanpa fibrinolitik
Fungsional : Killip I, TAVBAV block I EF 61-64%
Etiologi : PJK
P:
1. Azotemia (Cr1,7 eGFR 45)
2. HT
3. Hiperurisemia (10,1)
Terapi :
1. Bedrest total
2. DJ II 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 60ml/jam iv
5. Inj. Lovenox 0,6ml/12jam sc (V-VI)
6. Ramipril 0-0-10mg po
7. Atorvastatin 0-0-40mg po
8. Aspilet 80mg-0-0 po
9. Clopidogrel 0-75mg-0 po
10. SP Dopamine 200 mg dalam 50ml NaCl 0,9%
kecepatan 7,5 ml/kgBB/menit iv
11. Laxadine syrup 3x1C
12. Allopurinol 1x100mg
13. Amlodipine 1x10mg

Plan : EKG setiap pagi


Pro DCA senin
Echohemodinamik
TD 109/49 HR: 62 E: 0,55
IVC: 16/12 e’septal: 9
RAP: 8 e’lateral: 15

22
Co: 3,04
Cl:1,68
SV:48,98
SVR:1606
PCwP: 7,6
LVOT: 20
VTI LVOT: 15,6

CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
8/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-) berdebar (-)
Cardio
O : KU : Tampak sakit sedang, compos mentis
06:00
DPH IV VS : TD : 139/86
HR : 68x/menit
N : 68x/menit
RR : 20x/menit
SpO2 : 99%
BC : -66,5, u/o: 1,18
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan=kiri
Cor : batas jantung kesan tidak melebar, S1S2 Int N,
bising (-)
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

23
Akral dingin _ _
_ _

Assessment :
Anatomi : STEMI inferior onset 13 jam tanpa fibrinolitik
Fungsional : Killip I, TAVBAV block I EF 61-64%
Etiologi : PJK
P:
1. Azotemia
2. HT
3. Hiperuricemia
Terapi :
1. Bedrest total
2. DJ II 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 60ml/jam iv
5. Inj. Lovenox 0,6ml/12jam sc (V-VI)
6. Ramipril 0-0-10mg po
7. Atorvastatin 0-0-40mg po
8. Aspilet 80mg-0-0 po
9. Clopidogrel 0-75mg-0 po
10. SP Dopamine 200 mg dalam 50ml NaCl 0,9%
kecepatan 5 ml/kgBB/menit  4,5ml/jam iv
11. Laxadine syrup 3x1C
12. Allopurinol 1x100mg
13. Amlodipine 1x10mg
Plan :
EKG/ pagi
Plan DCA hari ini

24
CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
9/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-) berdebar (-)
Cardio
O : TD : 177/96
06:00
DPH V HR : 65x/menit
N : 65x/menit
RR : 22x/menit
SpO2 : 96%
BC: -294 u/o: 1,28 ml/kgBB/jam
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan=kiri
Cor : Batas jantung kesan tidak melebar, S1S2 Int N,
reguler, bising (-)
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

Akral dingin _ _
_ _
Assessment :
Anatomi : STEMI inferior onset 3 jam tanpa fibrinolitik
Fungsional : Killip I,TAVBAV block I TAVB
EF 61-64%
Etiologi : PJK
P:
1. Azotemia

25
2. HT
3. Hiperuricemia

Plan
Terapi :
1. Bedrest tidak total
2. DJ III 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 60ml/jam iv
5. Ramipril 0-0-10mg po
6. Atorvastatin 0-0-40mg po
7. Aspilet 80mg-0-0 po
8. Brilinta 2x90mg po
9. Laxadine syrup 3x1C
10. Allopurinol 1x100mg
11. Amlodipine 1x10mg
12. Usul hidroclortiazide 1x25mg

Plan :
4. 1. Pindah bangsal aster 4

26
CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
10/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-) berdebar (-)
Cardio
O : TD : 146/101
06:00
DPH VI HR : 110x/menit
N : 110x/menit
RR : 20x/menit
SpO2 : 98%
BC: -780 u/o: 0,95 ml/kgBB/jam
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris
kanan=kiri
Cor : Batas jantung kesan tidak melebar, S1S2 Int N,
reguler, bising (-)
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : Supel (+), timpani (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

Akral dingin _ _
_ _
Assessment :
Anatomi : STEMI inferior onset 3 jam tanpa fibrinolitik
Fungsional : Killip I,TAVBAV block I TAVB
EF 61-64%
Etiologi : PJK
P:
1. Azotemia

27
2. HT
3. Hiperuricemia

Plan
Terapi :
1. Bedrest tidak total
2. DJ III 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 60ml/jam iv
5. Ramipril 0-0-10mg po
6. Atorvastatin 0-0-40mg po
7. Aspilet 80mg-0-0 po
8. Brilinta 2x90mg po
9. Laxadine syrup 3x1C
10. Allopurinol 1x100mg
11. Amlodipine 1x10mg
12. hidroclortiazide 1x25mg
13. Bisoprolol 1x2,5mg

Plan :
5. 1. Evaluasi ekg
6. 2. Cek ur,Cr, elektrolit

28
BAB II
ANALISA KASUS

Dari kasus didapatkan seorang pasien laki-laki berusia 53 tahun datang


dengan keluhan dada terasa ampeg sejak 13 jam sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan dada ampeg dirasakan seperti tertimpa benda berat dan tidak menjalar.
Dada ampeg dirasakan selama lebih dari 30 menit dan membaik dengan istirahat.
Dada ampeg mulai dirasakan setelah pasien bekerja dari pasar. Dada ampeg
tersebut disertai keringat dingin (+), mual (+), muntah (+). Keluhan lain seperti
sesak napas, dada berdebar-debar, pingsan, dan nggliyeng disangkal. Pasien
merupakan rujukan dari RS Nirmala Suri Sukoharjo dengan diagnosis UAP. Di
RS Nirmala Suri pasien mendapat terapi injeksi heparin 2 siklus 10.000 U IV, sp
cedocard 2 ampul 6 ml/jam, clopidogrel 300 mg 4 tablet, aspilet 320 mg 4 tablet,
diovan 1x80 mg, simvastatin 1x40 mg, concor 1x2,5 mg, nitrokaf 2x1, sucralfat
syrup 3xC1, in omeprazole 1 ampul/12jam. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD
Dr. Moewardi untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Berdasarkan anamnesis, pasien sebelumnya memiliki riwayat hipertensi
sejak sekitar 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit DM, jantung, maupun stroke. Pasien memiliki riwayat merokok 1 pak /
hari sejak pasien masih muda sampai dengan sekarang. Riwayat memiliki
kolesterol tinggi disangkal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos
mentis, tampak sakit sedang. Tekanan darah 93/60 mmHg, detak jantung 41
x/menit, frekuensi nadi 41 x/menit, laju napas 20 x/menit, saturasi O2 99%, serta
pemeriksaan GDS didapatkan 127 mg/dL. Pada pemeriksaan leher, didapatkan
JVP 5±2cmH2O. Pada pemeriksaan jantung, saat inspeksi ictus cordis tidak
tampak, saat palpasi ictus cordis tidak kuat angkat, saat perkusi didapatkan batas
jantung kesan tidak melebar, dan saat auskultasi terdengar bunyi jantung I dan II
intensitas normal, reguler, bising(-). Pada pemeriksaan pulmo, didapatkan SDV
(+/+), RBH (-/-), RBK (-/-). Pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen supel dan
bising usus (+). Keempat ekstremitas tidak terdapat edema maupun akral dingin.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan sinus bradikardia, dengan heart rate

29
46x/menit, normoaxis, gelombang P 0,08 sec, PR interval 0,30 sec, QRS complex
0,08 sec, Q patologis (+) III, ST elevasi (+) III, AVF, V3R-V5R.

Anamnesis
Dada ampeg atau rasa nyeri dada yang dialami pasien merupakan salah satu
presentasi klinis yang khas dari Acute Coronary Syndrome (ACS) dimana pasien
tiba-tiba merasakan nyeri dada prekordial atau sesak nafas yang digambarakan
sebagai sensasi dihimpit, diremas, atau ditekan, di retrosternal dengan atau tanpa
penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri biasanya cukup hebat
sehingga terjadi aktivasi simpatis berupa mual, muntah, dan keringat dingin.
Namun pada pasien ini aktivasi simpatis yang timbul yaitu berupa keringat dingin
saja.
Selain itu, didapatkan faktor risiko yang dapat mendukung terjadinya ACS
yakni, pasien usia lebih dari 53 tahun, laki-laki, memiliki riwayat kebiasaan
merokok sejak pasien masih muda hingga sekarang.

Elektrokardiografi
Untuk menentukan diagnosis pasti maka dilakukan pemeriksaan EKG pada
pasien. Pada pemeriksaan EKG didapatkan : sinus bradikardia, dengan heart rate
46x/menit, normoaxis, gelombang P 0,08 sec, PR interval 0,30 sec, QRS complex
0,08 sec, Q patologis (+) III, ST elevasi (+) III, AVF, V3R-V5R. ST Elevasi di III,
aVF, V3R-V5R menunjukan letak infark di inferior RV. Sedangkan pada
pemeriksaan enzim jantung didapatkan nilai troponin I 27904 ug/L. Terdapat
peningkatan pada level Troponin I.
Adanya nyeri dada yang khas, gambaran ST elevasi III, AVF, V3R-V5R
pada pemeriksaan EKG, dengan adanya peningkatan Troponin I mengarahkan
diagnosis pada STEMI inferior
Kesimpulan dari bacaan EKG awal mengarah ke sinus bradikardia, HR
46 bpm, normoaxis, AV block derajat I, STEMI Inferior RV.

Diagnosis

30
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dikethui
pasien mendapat diagnosis STEMI Inferior RV onset 13 jam tanpa fibrinolitik,
Killip I, TAVB et causa PJK disertai peningkatan cardiac marker (hs-Trop I
27904), Azotemia (Cr 1.7 eGFR 45 ml/min/1.73m), TIMI 5/14
(Hypertension,Angina, TDS <100, Time to treatment > 4 hours) (12.4% risk of
all-cause mortality at 30 days), GRACE 111 (6% Probability of death from
admission to 6 months), CRUSADE 36% (.Moderate Risk) (8.2% risk in hospital
major bleeding), dan eGFR 45 ml/min/1.73m
. Dengan adanya nyeri dada yang khas angina, gambaran ST elevasi di
lead III, AVF, V3R-V5R pada pemeriksaan EKG dengan adanya peningkatan
Troponin I mengarahkan diagnosis pada STEMI Inferior RV.. Stratifikasi risiko
berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko berdasarkan indikator klinis
gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk
memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi juga digunakan
sebagi salah satu variabel dalam klasifikasi GRACE. Terjadinya leukositosis
dapat dikarenakan oleh adanya infeksi, inflamasi dan sebuah sebuah proses
fisiolgis seperti stress dan latihan fisik. Dan dari pasien tidak dilakukan

Tabel 1. Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip

(Perki, 2015)

31
Tatalaksana
Ketika sampai di RSUD dr. Moewardi, pasien diberikan oksigen sebesar 3
lpm dengan menggunakan nasal kanul. Pemberian oksigen berfungsi untuk
mengoptimalkan oksigenasi ke jaringan, dalam hal ini ke otot jantung karena
nyeri dada yang dirasakan pasien dengan Acute Coronary Syndrome (ACS)
disebabkan karena hipoksia pada otot jantung.
STEMI atau ST elevasi miokard infark adalah kematian otot jantung
akibat penyumbatan total pembuluh darah di jantung. Menurut PERKI 2015,
penting diberikan terapi reperfusi baik IKP (intervensi kutan primer) atau dengan
farmakologis (trombolitik) karena pada kondisi penyumbatan pembuluh darah
tersebut merupakan kondisi kegawatan yang dapat menyebabkan kematian otot
jantung. Kondisi sumbatan akut itu harus dihilangkan secepatnya untu
menyelamatkan jaringan otot jantung yang belum mati dan menghentikan
progresifitas kematian jaringan.
Mekanisme kerja obat trombolitik melalui konversi inaktif plasmin
zymogen (plasminogen) menjadi enzim fibrinolitik (plasmin). Plasmin
mempunyai spesifitas lemah terhadap fibrin dan dapat melakukan degradasi
terhadap beberapa protein yang mempunyai ikatan arginyl-lysyl seperti
fibrinogen. Karena itu plasmin dapat menyebabkan fibrin (nogen) lisis (systemic
lytic state) yang menyebabkan kecenderungan perdarahan sistemik. Dalam
pengembangan obat trombolitik dibuat obat trombolitik generasi kedua yang
mempunyai sifat spesifik terhadap fibrin yang bekerja pada permukaan fibrin.
Plasmin hanya bekerja pada klot fibrin dengan melalui hambatan alpha2-
antiplasmin. Fibrinolitik direkomendasikan untuk penderita infark miokard akut
<12 jam yang mempunyai elevasi segmen ST atau left bundle branch
block (LBBB) deberikan IV fibrinolitik jika tanpa kontra indikasi.
Pasien didiagnosis dengan STEMI dengan onset 13 jam. Sehingga tidak
diberikan terapi fibrinolitik. diberikan antiplatelet. Pada pasien saat di IGD
diberikan loading cairan dan SP Dopamine 200mg dalam 50ml NaCl 0,9% yang
berfungsi mencegah pasien dari keadaan syok dan untuk meningkatkan heart rate

32
pasien. Saat datang ke IGD tekanan darah pasien berkisar 90/60 mmHg dengan
heart rate 40-50 kali per menit. Dopamin bekerja sebagai obat vasopresor
simpatomimetik, farmakologi dopamin berpusat pada stimulasi reseptor
dopaminergik, alfa 1 dan beta 1 adrenergik untuk menghasilkan efek utama
meningkatkan curah jantung dan vasodilatasi ginjal.
Aspilet® dengan aspirin sebagai bahan aktif termasuk salah satu
antiplatelet yang dianjurkan untuk diberikan setelah fibrinolisis, dan
dikombinasikan dengan Clopidogrel sebagai penghambat reseptor ADP.
Pada pasien STEMI yang diberikan antiplatelet juga disarankan pemberian
antikoagulan (PERKI, 2015). Pada pasien kasus ini diberikan injeksi Enoxaparin®
pada 5 hari pertama perawatan di ICVCU. Enoxaparin merupakan antikoagulan
dengan bahan aktif enoxaparin sodium yang bekerja menghasilkan efek
antikoagulan melalui interaksi secara simultan dengan komplek trombin-
antitrombin. Rantai sakarida yang relatif pendek, menyebabkan kemampuannya
untuk mengkatalisir penghambatan trombin lebih rendah dibandingkan dengan
heparin. Namun, rantai ini tetap dapat menginisiasi penghambatan faktor Xa oleh
antitrombin. Diberikan pada pasien dengan risiko perdarahan rendah dan tidak
tersedia fundaparinux.
Pemberian Ramipril yang merupakan Inhibitor angiotensin converting
enzyme (ACE)-1 berguna untuk mengurangi remodeling dan menurunkan angka
kematian pasien. Pasien didiagnosis miokard infark anterior dengan gagal ginjal
yang merupakan indikasi pemberian ACE-1 sejak 24 jam pasca kejadian (PERKI,
2015).
Atorvastatin yang diberikan merupakan golongan statin yang berguna
untuk menurunkan kadar kolesterol tanpa memandang nilai awal kolesterol LDL.
Disamping menurunkan jumlah kolesterol low-density lipoprotein (LDL) dalam
darah, obat golongan statin memiliki efek pleiotropik seperti meningkatkan fungsi
endotel, mengurangi efek inflamasi, dan mengurangi pembentukan trombus.
Pada pasien jantung pasca serangan yang diharuskan bedrest total. Bed rest
total utuk pasien yang mengalami STEMI adalah selama seminggu. Ada
kemungkinan besar terjadi sulit buang air besar akibat pengaruh imobilisasi lama

33
sehingga dibutuhkan obat pencahar (Laxadyn®) untuk melancarkan sistem
ekskresi pasien. Selain itu, pasien-pasien jantung tidak diperbolehkan mengejan
untuk mengurangi tekanan dan beban pada jantung sehingga mengurangi risiko
terjadinya komplikasi gagal jantung.
Selain terapi farmakologis yang diberikan pada pasien, penting untuk
mengedukasi pasien untuk tirah baring total selama perawatan awal ketika pasien
masih memiliki keluhan nyeri dada, tujuannya adalah untuk mengurangi O2
demand.
Selain medikamentosa, pasien juga diberikan asupan nutrisi yang sesuai
dengan kondisi yang dialami. Pasien diberikan diet jantung III.
Tujuan diberikannya adalah memberikan makanan secukupnya tanpa
memberatkan kerja jantung, menurunkan berat badan bila terlalu gemuk,
mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air. Berikut ini syarat
yang harus dipenuhi untuk diet jantung II ini:
1. Energi cukup,untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal
2. Protein cukup yaitu 0,8 g/kg BB
3. Lemak sedang yaitu 25%-30% dari kebuthan energi total, 10% berasal dari
lemakjenuh dan 10%-15% lemak tidak jenuh.
4. Kolesterol rendah
5. Vitamin dan mineral cukup
6. Garam rendah 2-3 g/hari
7. Makanan mudah dicerna dan tidak menimbulkan gas
8. Serat cukup
9. Cairan cukup
10. Bentuk makanan disesuaikan dengan penyakit
11. Bila tidak tercukupi bias ditambah dengan makanan parenteral, enteral,
atau suplemen gizi

34
Edukasi
Edukasi yang diberikan pada pasien meliputi
1. Edukasi tentang penyakitnya
2. Edukasi tentang tatalaksana medis dan intervensi (risiko, komplikasi)
3. Edukasi tentang aktifitas, gaya hidup, rehabilitasi (Perki, 2015)

35
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI)


1. Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan spektrum gejala meliputi :
unstable angina, Non ST elevation myocardial infraction (NSTEMI)
dan ST elevation myocardial infraction (STEMI). STEMI ditunjukkan
dengan :
a. Oklusi trombus 90% pada arteri koroner yang dibuktikan dengan
angiografik.
b. Perubahan EKG STEMI meliputi gelombang hiperakut T dan ST
elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis (Hwang and
Levis, 2014).
c. Troponin adalah biomarker terbaik untuk memprediksi kerusakan
jantung sehubungan dengan infark miokard (Thygesen et al., 2019).
2. Faktor Resiko
Faktor resiko Sindrom koroner akut adalah :
a) Dapat dimodifikasi :
- Merokok : Merokok dapat meningkatkan aktifitas saraf simpatik
sehingga menstimulasi katekolamin yang dapat meningkatkan
potensiasi akititas platelet dan fibrinogen.
- Diabetes melitus : Pasien dengan riwayat diabetes tidak terkontrol,
memiliki aktifitas peningkatan trombus. Pada pasien diabetes
terjadi peningkatkan reaktivitas dan hiperagregasi serta aktivasi
adhesi platelet.
- Hipertensi : Pada keadaan hipertensi terjadi disfungsi endotel,
sehingga menstimulasi faktor inflamasi yang memperburuk
perkembangan plak dengan stimulasi agregasi platelet dan
produksi fibrin.

36
- Stres : memodulasi atau memicu interaksi atau agregasi platelet
pada dinding arteri.
- Infeksi : memicu disfungsi endotel, sehingga menstimulasi faktor
inflamasi yang akan memperburuk perkembangan plak dengan
stimulasi agregasi platelet dan produksi fibrin.
b) Tidak dapat dimodifikasi : Jenis kelamin, umur, riwayat keluarga
(Ambrose and Singh, 2015).
3. Etiologi
Penyebab utama terjadinya Sindrom Koroner Akut lebih dari 90%
pasien adalah rupture, fisur atau erosi plak aterosklerotik karena
terdapat kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable
atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous
cap tipis, dan plak penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel
limfosit T dan lain-lain (Foth and Mountfort, 2018).
4. Patofisiologi
Perjalanan dari penyakit ini dimulai dengan suatu proses yang
dinamakan atherosclerosis, yang berkembang dalam waktu kronis.
Atherosclerosis merupakan inflamasi kronis derajat rendah yang terjadi
pada tunika intima arteri koroner, faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya atherosclerosis adalah hipertensi, hiperkolesterolemia,
merokok, diabetes dan genetik. Progresifitas penyakit yang lambat bisa
menyebabkan dinding pembuluh darah menebal dan menyempit yang
sewaktu-waktu dapat menyumbat arteri koroner dalam berbagai
macam derajat, bisa menyumbat secara parsial maupun total (Ambrose
and Singh, 2015).
Proses terjadinya aterosklerosis (initiation, progression dan
complication plak aterosklerotik) berjalan dalam waktu yang lama,
secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan juga sejak usia
anak-anak sudah terbentuk bercak garis lemak (fatty streaks) pada
permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua
dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak pada pembuluh

37
darah) sehingga terjadi penyempitan dan penyumbatan pembuluh
darah. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak akibat
akumulasi beberapa bahan seperti cells foam (sel makrofag yang
mengandung lipid), massive extracellular lipid, dan plak fibrous yang
mengandung sel otot polos dan kolagen.
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut disebabkan oleh obstruksi dan
oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan adanya
plak aterosklerosis yang mengalami rupture atau erosi. Penyebab
utama Sindrom Koroner Akut dipicu oleh rupture, fisur atau erosi plak
aterosklerotik adalah karena kondisi plak aterosklerotik yang tidak
stabil (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid
core besar, fibrous cap tipis, dan plak penuh dengan aktivitas sel-sel
inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain.
Rupture, fisur atau erosi plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam
dinding arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti
lipid, makrofag dan faktor-faktor lain dalam jaringan) ke dalam aliran
darah, sehingga menginduksi adhesi, aktivasi dan agregasi thrombosit
serta pembentukan fibrin membentuk thrombus. Trombus pada arteri
jantung inilah yang mengakibatkan terjadinya oklusi koroner total atau
subtotal. Hal ini menyebabkan suplai oksigen menjadi semakin
berkurang yang berakibat terjadinya nekrosis jaringan dan dapat
mengakibatkan kematian otot jantung (Thygesen et al., 2019).
5. Diagnosis
1) Anamnesis
Diagnosis STEMI biasanya didasarkan pada gejala yang
konsisten (nyeri dada substernal selama > 20 menit, disertai
keringat dingin, dan dapat menjalar ke lengan kiri, punggung,
rahang, ulu hati) dengan iskemia miokard dan tanda (EKG 12
lead). Petunjuk penting adalah riwayat CAD dan radiasi nyeri pada
leher, rahang bawah, atau lengan kiri. Beberapa pasien datang
dengan gejala yang kurang khas seperti sesak napas, mual /

38
muntah, kelelahan, jantung berdebar, atau sinkop. Pengurangan
nyeri dada setelah pemberian nitrogliserin (gliseril trinitrate) dapat
menyesatkan dan tidak direkomendasikan sebagai manuver
diagnostik. Dalam kasus pengurangan gejala setelah pemberian
nitrogliserin, EKG 12-lead lain harus diperoleh. Normalisasi
lengkap dari elevasi segmen-ST setelah pemberian nitrogliserin,
bersama dengan penyembuhan gejala yang lengkap, menunjukkan
adanya spasme koroner, dengan atau tanpa MI terkait. Dalam kasus
ini, angiografi koroner dini (dalam 24 jam) direkomendasikan.
Diagnosis menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut
ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
 Pria
 Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
 Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami
infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
 Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam
keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol
Education Program)
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub
karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi

39
katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik
disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan
dalam memikirkan diagnosis banding.
3) Pemeriksaan Penunjang
a) EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain
yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan
EKG 12 lead sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat
darurat. Sebagai tambahan, lead V3R dan V4R, serta V7-V9
sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG
yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
lead V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin,
rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien
di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.
Kriteria EKG didasarkan pada perubahan arus listrik
jantung (diukur dalam milivolt). Kalibrasi standar EKG adalah
10 mm / mV. Oleh karena itu 0,1 mV sama dengan 1 mm
persegi pada sumbu vertikal. Maka penyimpangan EKG
dinyatakan dalam mm setelah kalibrasi standar. Dalam konteks
klinis yang tepat, elevasi segmen ST (diukur pada J point)
dianggap mengarahkan pada oklusi akut arteri koroner yang
sedang berlangsung dalam kasus-kasus berikut: setidaknya dua
lead yang berdekatan dengan elevasi segmen ST ≥ 2,5 mm
pada pria <40 tahun , ≥2 mm pada pria ≥ 40 tahun, atau ≥ 1,5
mm pada wanita dalam lead V2-V3 dan / atau ≥ 1 mm pada
lead lain (jika tidak ada hipertrofi ventrikel kiri (LV) atau blok
cabang bundel kiri LBBB)) . Pada pasien dengan MI inferior,
dianjurkan untuk mencatat lead prekordial kanan (V3R dan
V4R) yang mencari peningkatan segmen ST, untuk

40
mengidentifikasi infark ventrikel kanan (RV) yang bersamaan.
Demikian juga, depresi segmen ST pada lead V1– V3
menunjukkan iskemia miokard, terutama ketika gelombang T
terminal positif (setara dengan segmen ST), dan konfirmasi
dengan elevasi segmen ST yang bersamaan ≥ 0,5 mm yang
tercatat dalam sadapan V7-V9 harus dipertimbangkan sebagai
sarana untuk mengidentifikasi MI posterior.
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan
nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung,
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian (rekam juga V7-
V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan
kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif
sementara keluhan angina sangat sugestif sindrom koroner
akut, maka pasien perlu dipantau selama 12-24 jam untuk
dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina
berulang

Tabel 3.1 Lokasi infark berdasarkan lead EKG

b) Deteksi Biomarker Pada Cedera Miokardial dan Infark


Cardiac troponin I (cTnI) dan T (cTnT) adalah komponen
dari alat kontraktil sel miokard dan diekspresikan hampir
secara eksklusif di jantung. Peningkatan nilai cTnI belum
dilaporkan terjadi setelah cedera pada jaringan noncardiac.
Situasinya lebih kompleks untuk cTnT. Data biokimia

41
menunjukkan bahwa otot rangka yang terluka mengekspresikan
protein yang dideteksi oleh uji cTnT, yang mengarah ke
beberapa situasi di mana peningkatan cTnT dapat berasal dari
otot rangka. Data terbaru menunjukkan bahwa frekuensi
peningkatan tersebut tanpa adanya penyakit jantung iskemik
mungkin lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya. cTnI
dan cTnT adalah biomarker yang lebih disukai untuk evaluasi
cedera miokard, dan uji sensitivitas tinggi (hs) –cTn
direkomendasikan untuk penggunaan klinis rutin. Biomarker
lain, misalnya, wwm (CK-MB), kurang sensitif dan kurang
spesifik.31 Cedera miokard didefinisikan sebagai hadir ketika
kadar cTn darah meningkat di atas batas referensi atas persentil
(URL) ke-99. Cedera tersebut mungkin akut, yang dibuktikan
dengan pola kenaikan dan / atau penurunan nilai cTn dinamis
yang baru terdeteksi di atas URL persentil ke-99, atau kronis,
dalam pengaturan level cTn yang terus meningkat.

6. Tatalaksana
1) Kegawatdaruratan

42
Gambar 3.1 Mode presentasi pasien, komponen waktu iskemia dan
diagram alur untuk pemilihan strategi reperfusi.
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis
pertama, baik untuk diagnosis dan pengobatan. Diagnosis kerja
infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada
yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan
penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan
memperkuat dugaan. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada
setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis STEMI perlu
dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG
12 lead, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk
mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang
atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang
sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.
Penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dapat
diberikan terapi reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila
fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP
(Intervensi Koroner Perkutan) oleh pusat-pusat kesehatan regional.
Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP
primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam
selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin
di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang
terlibat dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan
mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk
mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:
a. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG
pertama ≤10 menit

43
b. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi
reperfusi:
- Untuk fibrinolisis ≤30 menit
- Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien
datang dengan onset kurang dari 120 menit atau langsung
dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP)

Delay (Keterlambatan)
Delay sangat penting dicegah dalam penanganan STEMI
karena waktu paling berharga dalam infark miokard akut adalah di
fase sangat awal, di mana pasien mengalami nyeri yang hebat dan
kemungkinan terjadi henti jantung. Defibrilator harus tersedia
apabila ada pasien dengan kecurigaan infark miokard akut dan
digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan. Selain itu,
pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi sangat
bermanfaat. Jadi, delay harus diminimalisasi untuk klinis yang
lebih baik. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit saat
menangani pasien STEMI perlu dicatat dan diawasi secara teratur
untuk memastikan kulaitas perawatan tetap terjaga.
1. Delay pasien
Keterlambatan antara onset gejala hingga tercapainya
kontak medis pertama perlu diminimalisasi dengan masyarakat
perlu diberikan pemahaman mengenai cara mengenal gejala-
gejala umum infark miokard akut dan dihimbau untuk segera
memanggil pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat PJK
dan keluarganya perlu mendapatkan edukasi untuk mengenal
gejala IMA dan langkah-langkah praktis yang perlu diambil
apabila SKA terjadi.
2. Delay antara kontak medis pertama dengan diagnosis
Penilaian kualitas pelayanan yang cukup penting dalam
penanganan STEMI adalah waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil EKG pertama. Di rumah sakit dan sistem

44
medis darurat yang menangani pasien STEMI, tujuan ini
sebaiknya dicapai selambat-lambatnya dalam 10 menit.
3. Delay antara kontak medis pertama dengan terapi reperfusi
(Delay sistem)
Delay sistem ini adalah indikator kualitas perawatan dan
prediktor luaran. Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah
IKP primer, diusahakan delay (kontak medis pertama hingga
masuknya wire ke arteri yang menjadi penyebab) ≤90 menit
(≤60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark anterior besar
dan pasien datang dalam 2 jam). Bila terapi reperfusi yang
diberikan adalah fibrinolisis, diusahakan mengurangi delay
(waktu kontak pertama dengan tindakan) menjadi ≤30 menit.

45
Gambar 3.2 Waktu target maksimum berdasarkan
pemilihan strategi reperfusi pada pasien yang datang melalui EMS
atau di pusat non-PCI
Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)
baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap
pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki
fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit

46
tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih
dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
1. Intervensi koroner perkutan primer
IKP Primer adalah strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien
dengan STEMI dalam waktu 12 jam dari onset gejala, asalkan dapat
dilakukan secara cepat oleh tim yang berpengalaman. Tim yang
berpengalaman mencakup tidak hanya ahli jantung intervensi tetapi juga
staf pendukung yang terampil. Tingkat kematian yang lebih rendah di
antara pasien yang menjalani IKP primer diamati di pusat dengan volume
tinggi prosedur IKP. Data kehidupan nyata mengkonfirmasi bahwa IKP
primer dilakukan lebih cepat dan menghasilkan angka kematian yang lebih
rendah jika dilakukan di pusat volume tinggi. Percobaan klinis acak dalam
volume tinggi, pusat yang berpengalaman telah berulang kali
menunjukkan bahwa, jika keterlambatan pengobatan serupa, IKP primer
lebih unggul daripada fibrinolisis dalam mengurangi mortalitas, infark
berulang, atau stroke. Namun, dalam beberapa keadaan, IKP primer bukan
merupakan opsi segera dan fibrinolisis dapat dimulai secara cepat. Sejauh
mana penundaan waktu terkait IKP mengurangi keuntungan IKP
dibandingkan fibrinolisis telah banyak diperdebatkan. Karena tidak ada
studi yang dirancang khusus telah membahas perawatan pra-rumah sakit.
Masalah ini, diperlukan kehati-hatian saat menafsirkan data yang tersedia
darianalisis post hoc. Waktu tunda terkait IKP berpotensi memitigasi
manfaat IKP telah dihitung sebagai 60 menit, 110 menit, dan 120 menit
dalam studi berbeda. Data registrasi memperkirakan batas waktu ini
sebagai 114 menit untuk pasien di rumah sakit dan 120 menit pada pasien
yang datang dalam pusat non-IKP. Semua data ini tua dan pasien yang
menjalani fibrinolisis tidak menjalani angiografi dini rutin, yang
meningkatkan hasil pada pasien yang menerima fibrinolisis. Percobaan
reperfusi baru-baru ini setelah infark miokard mengacak penyaji STEMI
awal tanpa kemungkinan IKP langsung ke fibrinolisis segera atau transfer

47
ke IKP primer. Median terkait IKP terkait dalam percobaan ini adalah 78
min, dan tidak ada perbedaan dalam hasil klinis. Namun terdapat
kekurangan data kontemporer untuk menetapkan batas untuk memilih IKP
daripada fibrinolisis. Sederhananya, waktu absolut dari diagnosis STEMI
hingga reperfusi yang dimediasi IKP daripada penundaan relatif terkait
IKP atas fibrinolisis telah dipilih.
Batas ini diatur ke 120 menit. Mengingat batas maksimum 10
menit dari diagnosis STEMI hingga bolus fibrinolitik, waktu absolut 120
menit akan berhubungan dengan keterlambatan terkait IKP dalam kisaran
110-120 menit, berada dalam kisaran waktu yang diidentifikasi dalam
studi lama dan pendaftar sebagai batas keterlambatan untuk memilih IKP.

Farmakoterapi periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena
(Kelas I-C). Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan
penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
a. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua
kali sehari) (Kelas I-B).
b. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading
600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
diindikasikontrakan (Kelas I-C).
c. Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya
antara lain:
- Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor
GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak
mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).
- Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa)
dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas
IIb-B).
- Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B).

48
- Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer (Kelas III-A).
1. Terapi fibrinolitik
Jika strategi reperfusi adalah fibrinolisis, tujuannya adalah
untuk menyuntikkan bolus fibrinolitik dalam waktu 10 menit dari
diagnosis STEMI. Waktu ini dipilih berdasarkan waktu median
dari pengacakan hingga bolus yang direkam dalam uji coba
STREAM, yaitu 9 menit. Dalam pedoman STEMI ESC
sebelumnya, target waktu adalah 30 menit, tetapi ini dihitung dari
FMC (sebagai lawan dari diagnosis STEMI). Diagnosis STEMI
harus terjadi dalam waktu 10 menit dari FMC.
Untuk mempersingkat waktu perawatan, fibrinolisis harus
diberikan dalam layanan pra-rumah sakit jika memungkinkan.
Pasien harus dipindahkan ke fasilitas yang mampu IKP sesegera
mungkin setelah pemberian fibrinolitik. Rescue IKP diindikasikan
dalam kasus gagal fibrinolisis (yaitu resolusi segmen-ST <50%
dalam waktu 60-90 menit pemberian fibrinolitik), atau di hadapan
ketidakstabilan hemodinamik atau kelistrikan, iskemia yang
memburuk, atau nyeri dada yang persisten, sementara strategi IKP
rutin dini diindikasikan setelah fibrinolisis berhasil (lebih disukai
2-24 jam setelah fibrinolisis).
Ada kesepakatan umum bahwa strategi IKP primer juga
harus diikuti untuk pasien dengan gejala yang berlangsung> 12 jam
di hadapan: (1) bukti EKG iskemia berkelanjutan; (2) nyeri
berkelanjutan atau berulang dan perubahan EKG dinamis; dan (3)
nyeri, gejala, dan tanda-tanda gagal jantung, syok, atau aritmia
ganas yang terus-menerus atau berulang. Namun, tidak ada
konsensus tentang apakah IKP juga bermanfaat pada pasien yang
datang> 12 jam dari onset gejala tanpa adanya bukti klinis dan /
atau elektrokardiografi dari iskemia yang sedang berlangsung.
Pada pasien tanpa gejala tanpa gejala persisten 12-48 jam setelah

49
onset gejala, penelitian acak kecil (n = 347) menunjukkan
peningkatan penyelamatan miokard dan kelangsungan hidup 4
tahun pada pasien yang diobati dengan IKP primer dibandingkan
dengan pengobatan konservatif saja. Namun, pada pasien stabil
dengan oklusi IRA yang bertahan 3–28 hari setelah MI, uji coba
oklusi arteri besar (n = 2166) menunjukkan tidak ada manfaat
klinis dari intervensi koroner rutin dengan manajemen medis,
selain dari manajemen medis saja. Sebuah meta-analisis dari uji
coba yang menguji apakah rekanalisasi terlambat dari IRA yang
tersumbat bermanfaat tidak menunjukkan manfaat reperfusi. Oleh
karena itu, IKP rutin dari IRA yang tersumbat pada pasien tanpa
gejala> 48 jam setelah timbulnya gejala tidak diindikasikan.
Pasien-pasien ini harus dikelola seperti semua pasien dengan oklusi
total kronis, di mana revaskularisasi harus dipertimbangkan dengan
adanya gejala atau bukti obyektif viabilitas / iskemia di wilayah
arteri yang tersumbat.
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien
STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi
(bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari
(Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
a. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan
dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas I-A).
b. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena
sesuai berat badan dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).
c. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase,
Fondaparinuks intravena secara bolus dilanjutkan dengan
dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).
1) Indikasi pemberian fibrinolitik
- STEMI dengan onset simptom <12 jam
- Jika Primary PCI tidak dapat dberikan dalam 120 menit dari diagnosis
STEMI

50
- Tidak ada kontra indikasi pemberian fbrinolitik
2) Kontraindikasi Fibrinolysis
a. Absolut
- Perdarahan intrakranial yang tidak dketahui penyebabnya setiap saat
- Stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir
- Kerusakan, neoplasma dan malformasi atrioventrikular Susunan Saraf
Pusat
- Trauma mayor baru/bedah/jejas kepala (dalam 3 minggu)
- Perdarahan traktus GI dalam 1 bulan terakhir
- Dketahui dengan kelainan perdarahan (kecuali menses)
- Diseksi aorta
- Riwayat puncture dalam 24 jam terakhir, yang tidak bisa di kompres
b. Relatif
- Serangan iskemik transien dalam 6 bulan
- Terapi antikoagulan oral
- Kehamilan dan post partum dalam 1 minggu
- Hipertensi refrakter (SBP>180mmhg dan DBP 110mmhg
- Kelainan hepar lanjut
- Infektif endokarditis
- Ulkus peptikum akut
- Resusitasi berkepanjangan atau trauma

51
3) Dosis pemberian fibrinolitik

Obat Dosis terapi


Streptokinase 1.5 juta unit iv selama 30-60
menit dilarutkan dalam NaCl
0.9% 100cc
Alteplase Bolus 15 mg iv
0.75 mg/kg iv selama 60 menit
(sampai 35mg)
Reteplase 10 unit + bolus 10 unit iv
(rPA) diberikan dengan interval 30
menit
Tenecteplase Bolus tunggal iv
(TNK-tPA) 30 mg (6000 IU) jika BB<60
kg
35 mg (7000 IU) jika BB 60
sampai <70 kg
40 mg (8000 IU) jika BB 70
sampai <80 kg
45 mg (9000 IU) jika BB 80
sampai <90 kg
50 mg (10000 IU) jika BB≥60
kg
Direkomendasikan untuk
mengurangi sampai separuh
dosis pada pasien usia ≥ 75
tahun

52
Gambar 3.3 Langkah-langkah reperfusi

Tatalaksana Jangka Panjang Pada Pasien Post STEMI


Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi
pasien yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular
selanjutnya dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran
dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari
saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan
gaya hidup sebelum pasien dipulangkan. Terapi jangka panjang yang
disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama
merokok, dengan ketat (Kelas I-B)

53
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga
12 bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan
gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior
(Kelas I-A). Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-
B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia
(Kelas I-B).

54
Tabel 3.2 Terapi rutin yang diberikan pada pasien post ST Elevasi

55
Selain farmakologi, perlu diperhatikan gaya hidup yang dijalani pasien
dengan riwayat sindrom coroner akut. Berikut ini beberapa rekomendasi aspek
perilaku yang perlu dilakukan oleh pasien riwayat ST elevasi:

Jenis Diet
Diet jantung 1
Diet jantung 1 diberikana kepada pasien penyakit jantung akut seperti MI
atau dekompensasi kordis berat. Diet diberikan berupa 1-1,5 liter cairan/hari
selama 1-2 hari pertam pasien bila pasien dapat menerimanya. Diet ini hanya
berlaku selama 1-3 hari.

56
Diet jantung II
Diberikan berupa makanan saring atau lunak. Diet ini diberikan sebagai
perpindahan dari diet jantung I atau setelah fase akut dapat diatasi. Diet jantung II
berupa aram rendah, diet rendah energi, protein, kalsium dan tiamin.
Diet jantung III
Diberikan dalam bentuk makanan lunak taua biasa. Diet diberikan sebagai
perpindahan dari diet jantung II atau kepada pasien jantung dengan dengan konisi
tidak terlalu berat. Diet jantung III berupa garam rendah, diet ini rendah energi
dan kalsium tetapi cukup zat gizi lain.
Diet jantung IV
Diberikan dalam bentuk maknana biasa sebagai perpindahan dari diet
jantung III atau kepada pasien jantung keadan ringan. Diet jantung IV berupa
cukup energi dan zat gizi lain kecuali kalsium.
Bahan makanan
 Sumber karbohidrat: beras ditim atau disaring, roti, mie, macaroni, biscuit,
tepung beras/terigu/sagu aren/sagu ambon, kentang, gula pasir, gula
merah, madu dan sirup.
 Sumber protein hewani : daging sapi, ayam dengan lemak rendah, ikan
telur, susu rendah lemak dalam jumlah yang telah ditetukan.
 Sumber protein nabati : kacang-kacang kering
 Sayuran yang tidak mengandung gas : bayam, kangkong, buncis, kacang
pnjang , wortel, labu siam, dan tauge

Buah-buahan : semua buah-buahan segar


7. Komplikasi
Gangguan hemodinamik
1. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP
atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun
apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular,

57
terutama pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa
kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala
klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung
kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia
yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal
jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh
gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara
jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi
kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi.
Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP
menandakan peningkatan stress dinding miokardium dan telah terbukti
berperan dalam menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat jalan atau
pemulangan pasien dan mengenali pasien yang berisiko mengalami
kejadian klinis yang tidak diharapkan. Selain itu, nilai marka jantung
tersebut dipengaruhi beberapa keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri,
takikardia, iskemia, disfungsi ginjal, usia lanjut, obesitas dan pengobatan
yang sedang dijalani. Sejauh ini belum ada nilai rujukan definitif pada
pasien-pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung setelah infark akut,
dan nilai yang didapatkan perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan
klinis pasien.
Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat
untuk mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya
disfungsi ventrikel kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan
remodeling miokardium akibat infark, disfungsi iskemik (stunning),
aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada
atau baru). Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru, gangguan ginjal,
diabetes atau anemia seringkali menambah gejala yang terlihat secara
klinis. Derajat kegagalan jantung setelah infark dapat dibagi menurut
klasifikasi Killip yang dapat dilihat di bagian Stratifikasi Risiko dalam bab
NSTEMI.

58
Penilaian hemodinamik dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik
lengkap, pemantauan EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan
pengukuran urine output setiap jam. Pasien yang dicurigai menderita gagal
jantung perlu dievaluasi segera menggunakan ekokardiografi transtorakal
atau Doppler. Ekokardiografi merupakan alat diagnosis utama dan perlu
dilakukan untuk menilai fungsi dan volume ventrikel kiri, fungsi katup,
derajat kerusakan miokardium, dan untuk mendeteksi adanya komplikasi
mekanis. Evaluasi Doppler dapat memberikan gambaran aliran, gradien,
fungsi diastolik dan tekanan pengisian. Pemeriksaan Roentgen dada dapat
menilai derajat kongesti paru dan mendeteksi keadaan penting lain seperti
infeksi paru, penyakit paru kronis dan efusi pleura.
Pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara
konvensional yang terdeteksi sedang mengalami iskemia, elevasi segmen
ST atau LBBB baru, perlu dipertimbangkan revaskularisasi lanjut. Pasien
dengan jejas miokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda
dan gejala gagal jantung kronik. Diagnosis ini memerlukan
penatalaksanaan sesuai panduan gagal jantung kronik. Beberapa pasien
dengan gagal jantung kronik simtomatis di mana fraksi ejeksi berkurang
atau terdapat dis-sinkroni elektrik yang ditunjukkan dengan pemanjangan
QRS memenuhi kriteria implantasi defibrilator kardioverter, cardiac
resynchronization therapy (CRT), atau defibrilator terapi resinkronisasi
jantung.
2. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa
jam pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam
11±5 hari sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium
awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV
derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus
bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus
sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.

59
Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (<48
jam) atau VT yang berkelanjutan pada pasien dengan infark miokard akut
masih kontroversial. Pada pasien dengan infark miokard akut, VF/VT
yang terjadi awal merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30
hari (22% vs 5%) dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. ACE-I atau
ARB mengurangi mortalitas 30 hari pasien-pasien ini. Studi-studi lain
menyatakan bahwa pemberian penyekat beta dalam 24 jam pertama
setelah infark miokard akut pada pasien dengan VF/VT yang berlanjut
dikaitkan dengan berkurangnya mortalitas tanpa diikuti perburukan gagal
jantung.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa
manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia
miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan
gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa.
Keadaan-keadaan tersebut memerlukan perhatian dan penanganan segera.
Blok AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat
untuk kematian akibat jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada
pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% setelah infark miokard.

Komplikasi kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark
dinding anterior, iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI
merupakan faktor risiko terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi
mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah STEMI,
meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya
pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini
mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan secepat
mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat
menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral
atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan
ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas

60
saat operasi pada pasien yang memerlukan operasi darurat untuk
komplikasi mekanis yang berat.
a. Regurgitasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat
dilatasi ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m.
Papilaris atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan
perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan
murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu diperhatikan dalam
konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis dan
perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi darurat. Edema paru
dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.
b. Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut
setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps
kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan
tamponade jantung kemudian akan terjadi secara cepat dan bersifat
fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi. Apabila tersumbat
oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi dengan
cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.
c. Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang
terjadi dengan cepat dengan gagal jantung akut dan mumur sistolik
yang kencang yang terjadi pada fase subakut. Diagnosis ini
dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang dapat membedakan keadaan
ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat menentukan lokasi dan
besarnya ruptur. Left-to-right shunt yang terjadi sebagai akibat dari
ruptur ini dapat menghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan
akut awitan baru. Operasi segera dikaitkan dengan laju mortalitas yang
tinggi dan risiko ruptur ventrikel berulang, sementara operasi yang
ditunda memungkinkan perbaikan septum yang lebih baik namun
mengandung risiko terjadinya pelebaran ruptur, tamponade dan

61
kematian saat menunggu operasi. Mortalitas keadaan ini tinggi untuk
semua pasien dan lebih tinggi lagi pada pasien dengan kelainan di
inferobasal dibandingkan dengan di anteroapikal.
d. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi,
terkait dengan STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul
sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang bersih serta peningkatan
tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R
merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada
pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi.
Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kanan,
tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatika dan jejas
dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun terjadi distensi vena
jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan mempertahankan tekanan
pengisian ventrikel kanan dan mencegah atau mengobati hipotensi.
Pemberian diuretik dan vasodilator perlu dihindari karena dapat
memperburuk hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas atrioventrikular
perlu dipertahankan dan AF atau blok AV yang terjadi perlu segera
ditangani
e. Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan
semakin majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala
perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam
dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan
pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST
dan biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-
elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat
trombosis stent, misalnya. Pericardial rub yang terusmenerus dapat
mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak ditemukan, terutama
apabila terjadi efusi perikardial berat. Ekokardiografi dapat mendeteksi
dan menentukan besarnya efusi, bila ada, dan menyingkirkan

62
kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya
menghilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau
kolkisin. Pemberian steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari
karena dapat menyebabkan penipisan jaringan parut dan pembentukan
aneurisma atau ruptur. Perikardiosentesis jarang diperlukan, namun
perlu dilakukan apabila terdapat perburukan hemodinamik dengan
tanda-tanda tamponade. Bila terjadi efusi perikardial, terapi
antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya sebagai profilaksis
tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar
diindikasikan pemberiannya.
f. Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding
anterolateral, dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan
pembentukan aneurisma ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi
akibat kombinasi gangguan sistolik dan diastolik dan, seringkali,
regurgitasi mitral. Ekokardiografi Doppler dapat menilai volume
ventrikel kiri, fraksi ejeksi, derajat dan luasnya abnormalitas gerakan
dinding, dan mendeteksi trombus yang memerlukan antikoagulasi.
ACE-I/ARB dan antagonis aldosteron telah terbukti memperlambat
proses remodeling dalam infark transmural dan meningkatkan
kemungkinan hidup, dan perlu diberikan segera sejak keadaan
hemodinamik stabil. Pasien seringkali akan menunjukkan tanda dan
gejala gagal jantung kronik dan perlu ditangani dengan sesuai.
g. Trombus ventrikel kiri
Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang
terutama karena kemajuan dari terapi reperfusi, penggunaan obat-
obatan antitrombotik dalam STEMI, dan berkurangnya ukuran infark
miokardium akibat reperfusi miokardium yang segera dan efektif.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat
infark miokard anterior memiliki trombus ventrikel kiri yang dapat
terdeteksi, keadaan ini dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena

63
berhubungan dengan infark yang luas, terutama bagian anterior dengan
keterlibatan apikal, dan risiko embolisme sistemik. Penelitian-penelitian
yang relatif tua menunjukkan bahwa pemberian antikoagulasi pada
pasien-pasien dengan abnormalitas gerakan dinding anterior besar
mengurangi terjadinya trombus mural.
2. Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah
tinggi. Batas tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan
untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah
tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National
Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan
sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih
(Chobaniam, 2003). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah
persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan
diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan
diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005).
2. Etiologi Hipertensi
 Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa
kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus
merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi
kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas
pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan
lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain
diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain
(Nafrialdi, 2009). Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat
badan yang berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran
yang utama dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien

64
hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada
berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang
berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena
hipertensi primer (Guyton, 2008).
 Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi
sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang
dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus,
disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-
obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003). Hipertensi yang
penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa
penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan
sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).
3. Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa
berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada
dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah
mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik
(TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg.
Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung
meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada
dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini
harus diterapi obat (JNC VII, 2003).

65
4. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf
pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah (Brunner, 2002).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Corwin, 2005). Pada saat bersamaan dimana
sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan
kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang kemudian diubah
menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya

66
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner, 2002).
Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi
pada lanjut usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar
mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Corwin, 2005)
5. Tanda dan Gejala Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain
tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan
pada retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh
darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema
pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain
sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala
pusing, dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan
pusing (Price, 2005). Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik
pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan
darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung
berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah,
telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di
malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah
dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal
dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan
pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan

67
dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008). Corwin
menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga,
kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan
peningkatan tekanan darah intrakranial (Corwin, 2005)
6. Komplikasi Hipertensi
Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari
stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak)
dan pregnancy- included hypertension (PIH) (Corwin, 2005).
a. Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global
akut, lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah
otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah.
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat
disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik
disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah yang menyebabkan
turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang
mengalami oklusi (Hacke, 2003). Stroke dapat timbul akibat
pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke
dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga
aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-
arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma
(Corwin, 2005).
b. Infark miokardium
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menyumbat
aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik

68
dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium
mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung
yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi dapat
menimbulkan perubahaan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung
dan peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).
c. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal
yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah
satunya pada bagian yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme
terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena
penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin
aldosteron (RAA) (Chung, 1995). Menurut Arief mansjoer (2001)
hipertensi berisiko 4 kali lebih besar terhadap kejadian gagal
ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami
hipertensi (Mansjoer, 2001).
d. Ensefalopati (kerusakan otak)
Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada
hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan
yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium
diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps
yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang juga
koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan
otak dengan hipertensi, bahwa hipertensi berisiko 4 kali terhadap
kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang tidak menderita
hipertensi (Corwin, 2005).
3. Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah.
Untuk laki-laki, ambang normalnya dalam darah adalah 7,0 mg/dL.
Adapun pada perempuan normalnya adalah 5,7 mg/dL darah (Soeroso

69
dan Algristian, 2011). Penegakkan diagnosa hiperurisemia meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya faktor keturunan, kelainan atau
penyakit lain sebagai penyebab hiperurisemia sekunder. Pemeriksaan
fisik untuk mncari kelainan atau penyakit sekunder seperti tanda-tanda
anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskuler dan tekanan
darah, keadaan dan tanda kelainan ginjal serta kelainan pada sendi.
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk mengarahkan dan memastikan
peyebab hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan
adalah pemeriksaan darah rutin asam urat darah, kreatinin darah,
pemeriksaan urin rutin, dan kadar asam urat urin 24 jam (Putra, 2009).
4. Azotemia
Kelainan biokimia yaitu peningkatan kadar kreatinin dan nitrogen
urea darah dan berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerular.
Azotemia dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Berdasarkan lokasi
penyebab, azotemia dapat dibagi menjadi azotemia prarenal dan azotemia
pascarenal.Apabila Azotemia berkaitan dengan gejala dan tanda klinis
maka disebut uremia. Peningkatan tajam kadar urea dan kreatinis plasma
biasanya merupakan tanda timbulnya gagal ginjal terminal dan disertai
gejala uremik. Nilai normal nitrogen urea darah adalah 8-20 mg/dL, dan
nilai normal kadar kretinin serum adalah 0.7-1.4 mg/dL.

70
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sindrom koroner akut merupakan suatu gejala yang meliputi dari unstable
angina, Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dan ST
elevation myocardial infarction (STEMI). Sedangkan untuk faktor resiko
darei sindrom koroner akut ini adalah merokok, diabetes melitus,
hipertensi, stress dan infeksi, selain itu ada faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi yaitu jenis kelamin, umur, dan riwayat keluarga. Diagnosis
yang dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakuakan
adalah EKG dan pemeriksaan biomarka jantung.

B. SARAN
Sindrom koroner akut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor penyebab
dan dapat menimbulkan gejala yang dapat mengganggu kualitas hidup
seseorang. Maka perlu diagnosis yang tepat serta deteksi dini dalam
menangani kasus sindro korner akut ini. Sehingga akan meningkatkan
morbiditas penderita. Selain itu perlu adanya edukasi kepada masyarakat
terhadap perubahan gaya hidup sehat yang dibutuhkan

71
DAFTAR PUSTAKA

Ambrose, J. and Singh, M. (2015). Pathophysiology of coronary artery disease


leading to acute coronary syndromes, F1000 Prime Reports, 7 January,
pp. 1–5. doi: 10.12703/p7-08.
Firdaus, I., Rahajoe, A.U., Yahya, A.A. et al. (2015). Panduan Praktik Klinis
(PPK) Dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung Dan Pembuluh
Darah
Foth, C. and Mountfort, S. (2018) ‘Acute Myocardial Infarction ST Elevation
(STEMI)’, StatPearls, pp. 1–6. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30335314.
Hwang, C. and Levis, J. T. (2014) ‘Clinical Medicine ECG Diagnosis : ST-
Elevation Myocardial Infarction’, 18(2), p. 7812.
Ibanez, B., Agewall, S., Antunes, M.J. et al. (2017) ESC Guidline For The
Management of Acute Myocardial Infarctionin patient Presenting With
ST-Segment Elevation.
Irmalita, Juzar, D.A., Andrianto et al. (2018) Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut.
PERKI (2014). Pedoman Tata Laksana Atrial Fibrilasi Edisi 1. Jakarta:Centra
Communication. Hal; 46-53.
Saleh, M, Ambrose, J.A. (2018). Understanding myocardial infarction. doi:
10.12688/f1000research.15096.1
Thygesen, K. Alpert, J.S., Jaffe, A.S. et al. (2019) Fourth universal definition of
myocardial infarction (2018), Russian Journal of Cardiology. doi:
10.15829/1560-4071-2019-3-107-138.
Kumar,vinay (2003). Robbins basic pathology. elsevier inc. ISBN 978-979-448-
843-0.

^price,sylvia anderson (2002). pathophysiology: clinical cencepts of disease


processes. elsevier science. ISBN 979-448-734-1.
Dahlan M.S., 2010. Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel Dalam
Penelitian Kedokteran Dan Kesehatan Edisi Tiga. Jakarta: Salemba
Medika
Putra T.R., 2014. Hiperurisemia. In Setiati dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit

72
Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta: FKUI, pp: 3179-84.Riyadina W.,
2002. Faktor -Faktor Risiko Hipertensi Pada Operator Pompa Bensin di
Jakarta, Media Litbang Kesehatan Vol.XII No 2, Jakarta.Ruilope L.M.,
Puig., 2001. Kidney function, a sensitive predictor of cardiovascular
risk. Am J Hypertension, in press.
Ferri, Fred. Ferri’s Netter Patient Advisor. Philadelphia, PA: Saunders / Elsevier,
2012. Printed. Page 33
Porter, Robert. Kaplan Justin. Homeier Barbara. The Merck manual home health
handbook. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2009. Printed. Page
333 About high blood pressure.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HighBloodPressure/Abo
utHighBloodPressure/About-High-Blood-
Pressure_UCM_002050_Article.jsp. Accessed on 22/07/2015

High blood pressure facts. http://www.cdc.gov/bloodpressure/facts.htm. Accessed


on 22/07/2015 Understand your risk for high blood pressure.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HighBloodPressure/Und
erstandYourRiskforHighBloodPressure/Understand-Your-Risk-for-
High-Blood-Pressure_UCM_002052_Article.jsp. Accessed on
22/07/2015
What is high blood pressure? http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-
topics/topics/hbp. Accessed on 22/07/2015

73

Anda mungkin juga menyukai