Anda di halaman 1dari 10

Santo Yohanes Paulus II

Masa Kecil dan Remaja


Karol Jozef Wojtyla lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia selatan. Ayahnya
yang juga bernama Karol Wojtyla adalah seorang opsir tentara Kekaisaran Habsburg Austria, dan
ibunya bernama Emilia Kaczorowska, seorang keturunan Lituania. Ibunya meninggal pada 13
April 1929, ketika ia berusia delapan tahun. Kakak perempuan Karol, Olga meninggal di waktu
bayi sebelum kelahiran Karol; dengan demikian dia tumbuh dan dekat dengan kakaknya Edmund
yang lebih tua 14 tahun, dan punya panggilan Mundek.

Sebagai remaja, Wojtyła adalah seorang atlet dan sering bermain sepak bola sebagai penjaga
gawang. Di masa kecilnya ia banyak memiliki sahabat orang Yahudi polandia. Pertandingan sepak
bola sering diadakan antara tim Yahudi dan Katolik, dan Wojtyła biasanya secara sukarela akan
menawarkan diri menjadi penjaga gawang cadangan di tim Yahudi jika kekurangan pemain.

Pada pertengahan tahun 1938, Karol Wojtyła dan ayahnya meninggalkan Wadowice dan pindah
ke Kraków, dimana dia masuk ke Universitas Jagiellonian. Sambil belajar filologi dan berbagai
bahasa di universitas, dia menjadi pustakawan sukarela dan juga harus ikut serta dalam wajib
militer di Legiun Akademik Resimen Infanteri ke 36 Polandia, namun dia penganut pasifisme dan
menolak menembakkan senjata. Dia juga tampil di beberapa grup teater dan menjadi penulis
naskah drama. Selama masa itu, kemampuan berbahasanya berkembang dan dia belajar dan
menjadi fasih berbicara dalam 12 bahasa asing, sembilan diantaranya kemudian sering dipakai
ketika menjadi Paus (Bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis,
Jerman, dan Inggris, ditambah dengan pengetahuan akan Bahasa Latin Gerejawi).

Pada tahun 1939 terjadi pendudukan pendudukan Nazi dan menutup universitas tempatnya belajar
setelah invasi terhadap Polandia. Semua warga yang sehat diwajibkan bekerja, dari tahun 1940
sampai 1944, Wojtyła bekerja berbagai macam mulai dari pencatat menu di restoran, pekerja kasar
tambang batu kapur, dan di pabrik kimia Solvay untuk menghindari dideportasi ke Jerman.

Pada usia 20, Santo John Paul II sudah kehilangan semua orang yang dicintainya. Ayahnya,
meninggal karena serangan jantung pada 1941, meninggalkan Karol seorang diri dari sisa
keluarga. "Saya tidak ada pada saat kematian ibu saya, saya tidak ada pada saat kematian kakak
saya, saya tidak ada pada saat kematian ayah saya" katanya, menceritakan masa-masa
kehidupannya ketika itu, hampir empat puluh tahun kemudian. Dia kemudian mulai berpikir serius
untuk menjadi pastor setelah kematian ayahnya. Pada Oktober 1942 dia mengetuk pintu Wisma
Uskup Agung di Kraków, dan menyatakan bahwa dia ingin belajar menjadi pastor. Tidak lama
kemudian, dia mulai belajar di seminari rahasia yang dijalankan oleh uskup agung Kraków
Kardinal Adam Stefan Sapieha.

Pada 6 Agustus 1944, “Minggu Hitam”, Gestapo mengumpulkan para pria muda di Kraków untuk
menghindari demonstrasi yang serupa dengan demonstrasi di Warsawa. Wojtyła selamat dengan
bersembunyi di ruang bawah tanah rumah pamannya di 10 Tyniecka Street, ketika tentara Jerman
mencari di lantai atas. Lebih dari 8000 pria dan pemuda ditangkap hari itu, namun dia kemudian
bersembunyi di Wisma Uskup Agung dan ia tetap tinggal disana sampai Jerman pergi.

Pada 17 Januari 1945 malam, Jerman meninggalkan Polandia sehingga Wojtyła dan para
seminaris lainnya bisa kembali bersekolah. Bulan itu, Wojtyła menolong seorang gadis pengungsi
Yahudi berusia 14 tahun bernama Edith Zierer yang melarikan diri dari perkampungan buruh di
Częstochowa. Setelah terjatuh dari peron stasiun kereta, Wojtyła membawanya ke kereta dan
menemaninya hingga selamat sampai Kraków. Zierer sangat berterima kasih pada Wojtyła yang
menyelamatkan hidupnya hari itu. B'nai B'rith sebuah organisasi Yahudi dan beberapa otoritas
lainnya menyatakan bahwa Wojtyła telah menolong dan melindungi banyak Yahudi Polandia
lainnya dari Nazisme pada saat pendudukan Jerman.
Menjadi pastor
Setelah menyelesaikan pendidikan seminari di Kraków, Karol Wojtyła ditahbiskan sebagai pastor
di Hari Para Orang Kudus pada 1 November 1946, oleh uskup agung Kraków, Kardinal Adam
Stefan Sapieha. Dia kemudian berangkat untuk belajar teologi di Roma, di Universitas Kepausan
Santo Thomas Aquinas (Pontifical International Athenaeum Angelicum), dimana dia kemudian
mendapat Diploma Teologi Suci dan kemudian Doktor Teologi Suci. Gelar Doktorat ini yang
pertama dari dua, didasarkan pada disertasi Latin "Doktrin Iman Menurut Santo Yohanes dari
Salib Suci"

Dia kembali ke Polandia pada musim panas 1948 dengan tugas pertama pastoral di desa Niegowić,
lima belas mil dari Kraków. Setibanya di Niegowić pada musim panen, tindakan pertama yang
dilakukannya adalah berlutut dan mencium lantai. Tindakan ini diadaptasi dari kebiasaan
santo Jean Marie Baptiste Vianney yang berasal dari Perancis, yang kemudian menjadi ciri
khasnya ketika menjadi Paus.

Pada Maret 1949, dia dipindahkan ke paroki Santo Florian di Kraków. Disana ia juga mengajar
ilmu etika di Universitas Jagiellonian kemudian di Universitas Katolik Lublin (sekarang : John
Paul II Catholic University of Lublin). Sambil mengajar, Wojtyła bergabung dan membimbing
sebuah grup yang terdiri dari 20 pemuda, yang kemudian mereka juluki Rodzinka, atau "keluarga
kecil". Mereka berkumpul untuk berdoa, diskusi filosofi, serta menolong orang buta dan sakit.
Grup ini kemudian berkembang sampai sekitar 200 anggota, dan kegiatannya bertambah dengan
bermain ski tahunan dan kayak. Tahun 1954 dia memperoleh doktorat kedua, dalam bidang
filosofi. Namun pemerintah Komunis Polandia menghalanginya memperoleh gelar sampai tahun
1957.

Menjadi uskup, uskup agung dan kardinal


Pada 4 Juli 1958 Paus Pius XII mengangkatnya menjadi uskup pembantu (auxiliary bishop) di
Kraków. Dia dipanggil ke Warsawa, untuk bertemu Primat Polandia Kardinal Stefan Wyszyński,
yang memberitahunya mengenai pengangkatannya. Dia menyetujui untuk membantu uskup
agung Eugeniusz Baziak sebagai uskup pembantu, dia ditahbiskan ke keuskupan menggunakan
nama Uskup Ombi pada 28 September 1958. Waktu itu usianya baru 38 tahun dan ia menjadi
uskup termuda di Polandia. Uskup Baziak wafat pada Juni 1962 dan pada 16 Juli 1962, Karol
Wojtyła terpilih sebagai Vicar Capitular, atau administrator sementara keuskupan agung sampai
uskup agung baru terpilih.

Menjadi Paus
Agustus 1978 Paus Paulus VI wafat. Karol Wojtyła yang saat itu sudah diangkat menjadi seorang
Kardinal ikut menghadiri konklaf Paus yang akhirnya memilih Kardinal Albino Luciani, Kardinal
Venesia, sebagai Paus Yohanes Paulus I. Namun tidak diduga pada tanggal 28 September 1978,
hanya 33 hari setelah menjabat, Paus Yohanes Paulus I wafat. Kardinal Wojtyła kembali lagi ke
Vatikan untuk menghadiri konklaf kedua yang diadakan diadakan tanggal 14 Oktober, sepuluh
hari setelah pemakaman Paus Yohanes Paulus I.

Kardinal Wojtyła dengan tidak disangka-sangka akhirnya terpilih untuk menjadi paus. Dia
kemudian memilih nama Yohanes Paulus II untuk menghormati pendahulunya, dan menerima
pemilihannya dengan kata-kata: “Dengan ketaatan dalam iman Kristus, Tuhanku, dan dengan
kepercayaan pada Bunda Kristus dan Gereja, meskipun dalam kesulitan yang besar, saya
menerima”

Kardinal Wojtyła menjadi Paus yang ke-264 menurut dan menjadi Paus yang bukan orang Italia
pertama sejak 455 tahun. Dengan usia 58 tahun, dia adalah Paus termuda yang dilantik sejak Paus
Pius IX pada 1846, yang berusia 54 tahun.
Catatan Perjalanan pastoral
Selama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II melakukan perjalanan ke 129 negara, dan
mencatat lebih dari 1,1 juta kilometer jarak perjalanan. Dia selalu menarik perhatian banyak orang
dalam perjalanannya, beberapa kunjungannya dicatat menghadirkan kumpulan manusia yang
terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah. Seperti saat ia menghadiri Hari Pemuda Sedunia di
Manila tahun 1995, dimana berkumpul sekitar 5 juta orang. Sebagian orang memperkirakan
bahwa ini mungkin merupakan perkumpulan orang Kristen terbesar yang pernah ada.

Dua dari kunjungan resmi Paus Yohanes Paulus II adalah ke Meksiko pada Januari 1979 dan ke
Polandia pada Juni 1979, dimana selalu dikerumuni oleh kegembiraan manusia. Kunjungan
pertama ke Polandia ini meningkatkan semangat nasional dan mencetuskan formasi gerakan
Solidaritas (Solidarność) pada tahun 1980, yang membawa kebebasan dan hak asasi pada negara
yang bermasalah ini. Perjalanannya ini menguatkan pesannya dan Polandia memulai proses yang
kemudian mengalahkan dominasi Komunis Uni Soviet di Eropa Timur pada tahun 1989.

Sementara beberapa kunjungannya (seperti ke Amerika Serikat dan Tanah Suci Yerusalem)
meneruskan kunjungan sebelumnya dari Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama
yang berkunjung ke Gedung Putih ketika perjalanan ke AS pada Oktober 1979, dimana dia
disambut dengan hangat oleh calon presiden waktu itu Jimmy Carter.

Santo Paus Yohanes Paulus II juga berkunjung ke banyak negara dimana belum pernah ada Paus
yang berkunjung sebelumnya. Dia adalah Paus pertama yang mengunjungi Meksiko di Januari
1979, sebelum berkunjung ke Polandia sebagai Paus, juga ke Irlandia pada tahun yang sama.
Tahun 1982 Papa Giovanni Poulo II (bahasa italia untuk Paus Yohanes Paulus II) menjadi Paus
yang memerintah pertama yang berkunjung ke Britania Raya, dimana dia bertemu Ratu Elizabeth
II dan Gubernur Agung dari Gereja Inggris.

Dia melakukan perjalanan ke Haiti pada 1983, dimana dia berbicara dalam bahasa kreol kepada
ribuan warga Katolik miskin yang berkumpul menyambutnya di bandar udara. Pesannya, "Sesuatu
harus berubah di Haiti", berdasarkan pada perbedaan yang menyolok antara kaya dan miskin,
mendapat tepuk tangan bergemuruh dari lautan massa yang hadir.

Pada kunjungan lima harinya ke Indonesia pada 8-12 Oktober 1989, Paus Yohanes Paulus II
menyinggahi Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili (Timor Timur - waktu itu masih menjadi
provinsi ke 27 Indonesia), dan Medan. Dalam kunjungan itu Sri Paus memimpin Misa Agung dan
berdialog langsung dengan lebih dari satu juta orang. Pada Misa Agung di Senayan, Paus
mengucapkan doa Tanda Salib: “Atas nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus” dalam bahasa
Indonesia yang lancar, yang dijawab umat “Amin”. Misa itu seluruhnya berlangsung dalam
Bahasa Indonesia, dan Paus dapat melafalkan doa dan nyanyian dalam Bahasa Indonesia dengan
baik dan lancar, nyaris tanpa salah, termasuk ketika menyanyikan Prefasi yang panjang. Paus
Yohanes Paulus II juga mengadakan pertemuan khusus dengan kaum awam dan cendekiawan
Katolik Indonesia di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, serta meresmikan gedung baru
"Karol Wojtyła".

Pada 15 Januari 1995, ketika berlangsung Hari Pemudia Dunia X, dia mengadakan misa untuk
sekitar lima sampai tujuh juta umat di Luneta park, Manila, Filipina, yang menjadi pertemuan
tunggal terbesar dalam sejarah Kristen. Pada tahun 2000, dia adalah Paus modern pertama yang
berkunjung ke Mesir, dimana dia bertemu dengan paus Gereja Koptik, Paus Shenouda III dan
Patriark Ortodoks Yunani dari Alexandria.

Kaum muda kita terancam... dengan teknik jahat iklan yang membuat mereka menghindari kerja
keras dan berharap mendapat kepuasan cepat atas setiap segala sesuatu yang mereka
inginkan" —Paus Yohanes Paulus II.
Pada Maret 2000, ketika mengunjungi Yerusalem, Yohanes Paulus II menjadi paus pertama dalam
sejarah yang berkunjung dan berdoa di Tembok Ratapan. Pada September 2001, dalam suasana
paskah setelah Serangan 11 September 2001, dia melakukan perjalanan ke Kazakhstan dengan
pengunjung yang kebanyakan adalah muslim, dan ke Armenia, untuk menghadiri peringatan
1.700 tahun masuknya Kristen di negara itu.

Semangat Oikumene dan Hubungan dengan agama lain.


Paus Yohanes Paulus II melakukan sangat banyak perjalanan dan bertemu dengan para penganut
agama dan kepercayaan lain. Dia selalu mencoba mencari dasar yang sama untuk berkomunikasi,
baik doktrin atau dogma. Pada hari Doa Sedunia untuk Perdamaian, yang diadakan pada 27
Oktober 1986 di Assisi, Paus menghimpun lebih dari 120 wakil agama dan kepercayaan serta
berbagai denominasi Kristen meluangkan waktu sehari bersama untuk berpuasa dan berdoa.

Membina hubungan dengan Gereja Anglikan.


Paus Yohanes Paulus II mempunyai hubungan yang baik dengan Gereja Anglikan Inggris. Ia
berupaya mengubur sejarah kelam saat terjadi pemisahan gereja Inggris dari Gereja Khatolik
Roma yang diikuti oleh penganiayaan dan pembunuhan bagi orang-orang khatolik yang setia pada
paus di Roma. Seperti pendahulunya Paus Paulus VI, ia menyebut Gereja Inggris dengan sebutan
"yang tercinta Saudari Gereja". ketika berkunjung ke Britania Raya Papa Giovanni Paolo II
berkotbah di Katedral Canterbury, dan menerima Uskup Agung Canterbury dengan bersahabat
dan penuh kesopanan.

Pada 1980 Yohanes Paulus II mengeluarkan pengecualian pastoral yang memungkinkan mantan
imam Episkopal Anglikan yang pernah menikah untuk menjadi imam Katolik, dan untuk
menerima bekas paroki Gereja Episkopal Anglikan menjadi Gereja Katolik. Dia juga mengijinkan
penciptaan bentuk Anglikan dari Ritus Latin, yang menggabungkan Buku Umum Doa Anglikan.
Upaya bersejarah Oikumene Yohanes Paulus II dengan Komuni Anglikan diwujudkan dengan
berdirinya Gereja Katolik Bunda Penebusan (bentuk Anglikan), bekerjasama dengan Uskup
Agung Patrick Flores dari San Antonio, Texas di Amerika Serikat.

Namun, Paus kecewa dengan keputusan Gereja Inggris yang memberikan Sakramen Imamat
kepada perempuan dan melihatnya sebagai sebuah langkah mundur dalam upaya Oikumene
Gereja dan kesatuan Komuni Anglikan dan Gereja Katolik.

 Membina Hubungan dengan Gereja Lutheran


Pada perjalanan Kepausannya ke Norwegia, Islandia, Finlandia, Denmark dan Swedia 1-10 Juni
1989, Yohanes Paulus II menjadi paus pertama yang berkunjung ke negara-negara dengan
mayoritas gereja Lutheran. Selain merayakan Misa dengan umat Katolik, dia berpartisipasi dalam
pelayanan Oikumene di tempat-tempat dulunya adalah tempat suci Gereja Katolik sebelum
reformasi Lutheran pada abad 16 seperti : Katedral Nidaros Norwegia, Thingvellir Islandia,
Katedral Turku Finlandia, Katedral Roskilde Denmark dan Katedral Uppsala Swedia. Pada 31
Oktober 1999 (ulang tahun ke 482 Hari Reformasi), perwakilan dari Vatikan dan Federasi
Lutheran se-Dunia menandatangani Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran, sebagai
tanda penyatuan.

 Komitmen Nyata untuk mempersatukann Gereja


Pada Mei 1999, Yohanes Paulus II mengunjungi Rumania atas undangan dari Patriark Teoctist
Arăpaşu dari Gereja Ortodoks Rumania. Ini adalah untuk pertama kalinya seorang Paus
Gereja Roma mengunjungi sebuah negara yang didominasi Gereja Ortodoks sejak Skisma Timur-
Barat dalam jangka waktu sepuluh abad (sejak tahun 1054). Pada kedatangannya, Patriark dan
presiden Rumania, Emil Constantinescu menyambut Paus. Patriark menyatakan, "Milenium
kedua dalam sejarah Kristen dimulai dengan luka yang menyakitkan dari persatuan Gereja; akhir
dari milenium ini telah terlihat komitmen yang nyata untuk memulihkan persatuan Kristen."

Papa Giovani Poulo II mengunjungi negara dengan penganut Ortodoks lainnya yang besar,
Ukraina pada 23-27 Juni 2001 atas undangan presiden Ukraina dan uskup Gereja Katolik-Yunani
Ukraina. Paus berbincang dengan para pimpinan Dewan Gereja-gereja dan Keagamaan Seluruh
Ukraina, memohon untuk "sebuah dialog yang terbuka, toleran dan jujur". Sekitar 200 ribu orang
menghadiri perayaan liturgi yang dipimpin Paus di Kiev, dan liturgi di Lviv dihadiri hampir satu
setengah juta umat.

Yohanes Paulus II menyatakan bahwa akhir dari Skisma Besar dan menyembuhkan luka
perpisahan antara Gereja Katolik dan gereja-gereja Ortodoks Oriental adalah salah satu
harapannya.

Selama perjalanan tahun 2001, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang mengunjungi
Yunani dalam 1291 tahun. Di Athena, Paus bertemu dengan Uskup Agung Christodoulos,
pimpinan Gereja Ortodoks Yunani. Setelah pertemuan tertutup 30 menit, keduanya berbicara pada
publik. Christodoulos membaca daftar "13 pelanggaran" dari Gereja Katolik Roma terhadap
Gereja Ortodoks Oriental sejak Skisma Besar, termasuk Penjarahan Kota Konstantinopel oleh
Para Ksatria perang Salib pada tahun 1204. Ia meratapi kurangnya permintaan maaf dari
saudaranya Gereja Katolik Roma. Uskup Christodoulos berkata : "Hingga sekarang, belum pernah
terdengar satu pun permintaan maaf dari Gereja Roma atas kelakuan Ksatria-ksatria gila pada
jaman perang Salib abad ke 13."

Santo Giovani Poulo II menanggapi dengan berkata : "Untuk kesempatan dulu dan sekarang,
ketika putra dan putri Gereja Katolik telah berdosa atas tindakan atau kelalaian terhadap
saudara-saudara mereka dari kaum Ortodoks, semoga Tuhan memberikan kita
pengampunan." Sebuah ucapan yang tulus yang mana langsung disambut tepuk tangan oleh
Uskup Christodoulos dan seluruh umat yang hadir. Luka batin selama lebih dari seribu tahun
diantara kedua Gereja ini seakan lenyap tak berbekas saat Paus Johannes Paulus II dan Uskup
Christodoluos saling berangkulan layaknya dua orang saudara. Banyak saksi mata yang
mengatakan bahwa mata keduanya berkaca-kaca. Johannes Paulus II juga mengatakan bahwa
penjarahan Kota Konstantinopel adalah sumber "penyesalan yang mendalam" untuk Gereja
Katolik.

Kemudian Yohanes Paulus II dan Christodoulos bertemu di lokasi dimana Santo Paulus pernah
mewartakan ajaran Kristen kepada orang-orang Athena. Mereka mengeluarkan ‘deklarasi
bersama’, yang mengatakan "Kami akan mengupayakan segala daya, agar akar Kristen di
Eropa dan jiwa Kristen dapat dipertahankan. ... Kami mengutuk semua jenis kekerasan,
proselitisme, fanatisme, atas nama agama" Kedua pemimpin Gereja Kristen itu lalu melakukan
Doa Bapa Kami bersama, dan menyingkirkan tabu yang berlangsung selama seribu tahun bahwa
Ortodoks tidak boleh berdoa bersama Katolik.

Paus juga pernah berkata selama masa kepemimpinannya bahwa salah satu mimpi besarnya adalah
mengunjungi Rusia, namun sayangnya hal ini tidak pernah terwujud. Walau begitu Paus yang
Agung ini mencoba menyelesaikan masalah yang telah ada selama berabad-abad antara Gereja
Katolik dan Gereja Ortodoks Rusia, seperti mengembalikan ikon Our Lady of Kazan pada bulan
Agustus 2004 kepada gereja Ortodoks Rusia.

 Yudaisme
Pada masa kanak-kanak, Karol Wojtyła sudah bersahabat dengan banyak tetangga
Yahudinya. Pada tahun 1979 dia menjadi Paus pertama yang mengunjungi kamp konsentrasi
Auschwitz Jerman di Polandia, dimana banyak warga sebangsanya (mayoritas Yahudi Polandia)
meninggal selama pendudukan Nazi pada Perang Dunia II. Pada tahun 1998 dia mengeluarkan
dokumen "Kami Ingat : Sebuah Refleksi Shoah" yang menggambarkan pemikirannya tentang
Holocaust. Dia juga menjadi paus pertama yang diketahui melakukan kunjungan resmi kepausan
ke sebuah sinagoga, ketika dia mengunjungi Sinagoga Agung di Roma pada 13 April 1986.

Pada tahun 1994, Yohanes Paulus II meresmikan hubungan diplomatik resmi antara Tahta Suci
dan Negara Israel, mengakui sentralitas kehidupan Yahudi dan keimanannya. Untuk menghargai
peristiwa ini, Paus Yohanes Paulus II menyelenggarakan ‘Konser Kepausan Memperingati
Holocaust’. Konser ini, disusun dan dilaksanakan oleh Maestro Amerika Gilbert Levine, dihadiri
oleh Ketua Rabi di Roma, Presiden Italia, dan mereka yang selamat dari Holocaust dari seluruh
dunia.

Pada Maret 2000, Yohanes Paulus II mengunjungi Yad Vashem, tugu peringatan Holocaust di
Israel, dan kemudian membuat sejarah dengan menyentuh satu dari tempat tersuci Yudaisme,
Tembok Ratapan di Yerusalem, menaruh sebuah pesan di dalamnya (dimana dia berdoa mohon
pengampunan atas tindakan yang pernah dilakukan orang-orang Kristen terhadap orang Yahudi).
Di bagian tujuan, dia mengatakan : "Saya yakinkan kepada orang-orang Yahudi, bahwa
Gereja Katolik ... sangat sedih oleh kebencian, penganiayaan dan tindakan anti-Semitisme
yang diarahkan kepada orang Yahudi oleh orang Kristen di setiap saat dan di setiap
waktu". Dia menambahkan bahwa "tidak ada kata-kata yang cukup kuat untuk
menyayangkan tragedi mengerikan dari Holocaust".

Menteri kabinet Israel Rabi Michael Melchior, yang menjadi tuan rumah kunjungan Paus, berkata
bahwa dia "sangat terharu" dengan apa yang dilakukan Paus. “Ini diluar sejarah, diluar
ingatan.”— Rabi Michael Melchior (26 Maret 2000)

Pada Oktober 2003, Anti-Defamation League (ADL) mengeluarkan pernyataan selamat kepada
Yohanes Paulus II memasuki 25 tahun kepausannya. Pada Januari 2005, Yohanes Paulus II
menjadi Paus pertama yang diketahui sejarah menerima berkat imam dari seorang rabi, ketika
Rabi Benjamin Blech, Barry Dov Schwartz, dan Jack Bemporad mengunjunginya di Clementi
Hall di Istana Apostolik.

Segera setelah meninggalnya paus, ADL mengeluarkan pernyataan bahwa Paus Yohanes Paulus
II telah mengubah drastis hubungan antara Katolik dan Yudaisme, mengatakan bahwa "banyak
perubahan menuju kebaikan terjadi pada 27 tahun masa kepemimpinanya dibanding 2000 tahun
sebelumnya."

 Budhisme
Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14 mengunjungi Paus Yohanes Paulus II delapan kali, lebih banyak
dari para petinggi negara atau agama lainnya. Paus dan Dalai Lama sering berbagi pandangan
yang sama dan memahami hal-hal buruk yang mirip, keduanya berasal dari masyarakat yang
dikekang oleh komunisme dan keduanya sama-sama adalah pimpinan agama tertinggi.

 Islam
Paus Yohanes Paulus II membuat upaya yang cukup signifikan untuk meningkatkan hubungan
antara Katolik dan Islam. Ini adalah suatu hal yang sangat luar biasa mengingat pada tanggal 13
Mei 1981 ia hampir saja tewas ditembak seorang muslim Turki. Pada 6 Mei 2001, Paus Yohanes
Paulus II menjadi paus Katolik pertama yang memasuki dan berdoa di masjid. Dengan penuh
hormat menanggalkan sepatunya, dia masuk ke Masjid Agung Umayyah, sebuah bekas gereja
Kristen pada masa Kekaisaran Romawi Timur yang didedikasikan untuk Yohanes Pembaptis
(yang diyakini dimakamkan disitu) di Damaskus, Suriah, dan memberikan kotbah termasuk
pernyataan: "Untuk masa waktu ketika Muslim dan Kristen pernah menyinggung satu sama lain,
kita perlu meminta pengampunan dari Yang Maha Kuasa untuk memberikan pengampunan satu
sama lain." Dia mencium Al-Qur'an di Suriah, sebuah tindakan yang membuatnya terkenal di
kalangan Muslim namun mengganggu banyak umat Katolik.

Pada tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II mengadakan "Konser Rekonsiliasi Kepausan," yang
menghadirkan para pemimpin Islam dengan para pemimpin komunitas Yahudi dan Gereja Katolik
di Vatikan dengan konser oleh Kraków Philharmonic Choir dari Polandia, London Philharmonic
Choir dari Britania Raya, Pittsburgh Symphony Orchestra dari Amerika Serikat, dan Ankara State
Polyphonic Choir dari Turki. Acara ini disiapkan dan dipimpin oleh Sir Gilbert Levine, KCSG
dan disiarkan ke seluruh dunia.
Yohanes Paulus II mengawasi penerbitan Katekismus Gereja Katolik yang memuat hal khusus
untuk Muslim; di dalamnya, tertulis, "Rencana keselamatan juga mencakup Penciptaan, di tempat
pertama diantaranya adalah kaum Muslim; bersama memegang iman Abraham (Nabi Ibrahim
dalam Islam), dan bersama-sama memuja satu, Tuhan Maha Penyayang, serta penghakiman
manusia pada akhir zaman."

Peran dalam runtuhnya komunisme


Paus Yohanes Paulus II telah dikatakan berperan besar pada jatuhnya komunisme di Eropa Timur,
dengan menjadi inspirasi spiritual dibalik kejatuhannya, dan menjadi katalisator untuk "revolusi
damai" di Polandia. Lech Wałęsa pendiri Solidarność, menghargai Yohanes Paulus II yang telah
memberikan keberanian pada Polandia untuk bangkit melawan komunis.

Menurut Wałęsa, "Sebelum masa kepausannya, dunia terbagi dalam blok-blok. Tidak ada
seorangpun tahu bagaimana keluar dari pengaruh komunisme. Di Warsawa, 1979, dia hanya
berkata singkat: "Jangan takut", dan kemudian berdoa: "Biarlah Roh Kudusmu turun dan
mengubah wajah bumi... tanah ini".

Pada Desember 1989, Yohanes Paulus II bertemu dengan pimpinan Soviet Mikhail Gorbachev di
Vatikan dan keduanya saling mengungkapkan rasa hormat dan kekaguman. Gorbachev pernah
mengatakan "Runtuhnya Tirai Besi tidak mungkin terjadi tanpa Yohanes Paulus II". Pada saat
wafatnya Yohanes Paulus II, Mikhail Gorbachev berkata: "Kesetiaan Paus Yohanes Paulus II pada
pengikutnya adalah contoh yang patut kita semua tiru."

Percobaan-percobaan pembunuhan
Pada 13 Mei 1981, Yohanes Paulus II hampir tewas ketika ditembak oleh Mehmet Ali Ağca,
seorang muslim ekstremis Turki, kala ia memasuki lapangan Santo Petrus untuk bertemu umat.
Ali Ağca akhirnya dihukum penjara seumur hidup.

Mengapa, bagaimana dan atas perintah siapa percobaan pembunuhan ini dilakukan, masih tetap
berupa misteri sampai akhir Maret 2005. Dikatakan dokumen-dokumen penting dari negara-
negara mantan anggota Uni Soviet menunjukkan bahwa KGB bertanggung jawab. Motif
pembunuhan masih diperdebatkan. Salah satu kemungkinan ialah bahwa rezim komunis Uni
Soviet sangat takut akan pengaruh Paus Polandia ini akan stabilitas negara-negara satelit Soviet
di Eropa Timur, terutama di Polandia sendiri.

Dua hari setelah Natal, pada 27 Desember 1983, Paus menjenguk orang yang telah mencoba
membunuhnya di penjara. Keduanya bercakap-cakap dan berbincang-bincang beberapa lama.
Setelah pertemuan ini, Paus kemudian berkata: "Apa yang kita bicarakan harus merupakan rahasia
antara dia dan saya. Ketika berbicara dengannya saya anggap ia adalah seorang saudara yang
sudah saya ampuni dan saya percayai sepenuhnya."

Sebuah percobaan pembunuhan lainnya terjadi pada 12 Mei 1982, di Fatima, Portugal ketika
seorang pria berusaha menikam Paus dengan sebilah bayonet, tetapi dicegah oleh para penjaga.
Si pembunuh, adalah seorang pastor ultrakonservatif, berhaluan keras, seorang warganegara
Spanyol, bernama Juan María Fernández y Krohn. Dilaporkan ia menentang reformasi Konsili
Vatikan II dan memanggil Paus sebagai “Orang Polandia” dan seorang "agen dari Moskwa." Ia
kemudian divonis hukuman penjara enam tahun dan lalu diekstradisi dari Portugal.

Ada pula sebuah percobaan pembunuhan Paus pada lawatannya di Manila bulan Januari 1995,
yang merupakan bagian dari Operasi Bojinka, sebuah serangan terorisme masal yang
dikembangkan oleh anggota kaum ekstremis Muslim Ramzi Yousef dan Khalid Sheik
Mohammed. Rencananya seorang pelaku bom bunuh diri akan menyamar sebagai seorang pastor,
mendekati parade Paus dan meledakkan diri. Namun rencana keji bisa dicegah oleh pihak
keamanan bahkan sebelum para pelaku meninjakan kaki mereka di Filipina.
Pada tahun 2003, Yohanes Paulus II juga menjadi kritikus terkemuka dari invasi AS dan
Sekutunya ke Irak. Pada tahun itu Paus menyatakan ketidak setujuannya terhadap invasi tersebut
dengan menyatakan : "Tidak untuk perang! Perang tidak selalu dapat dihindari. Namun
perang selalu merupakan kekalahan untuk kemanusiaan."

Dia mengirim Apostolik Pro-Nuncio, Kardinal Pio Laghi, ke Amerika Serikat untuk berbicara
dengan presiden Amerika Serikat George W. Bush untuk menyatakan sikap anti perangnya.

Yohanes Paulus II mengatakan bahwa itu terserah pada PBB untuk menyelesaikan masalah
konflik internasional melalui diplomasi dan agresi sepihak merupakan kejahatan terhadap
perdamaian dan pelanggaran terhadap hukum internasional.

Wafat dan pemakaman


31 Maret 2005 Yohanes Paulus II mengalami septic shock; sebuah gejala penyebaran infeksi
dengan demam tinggi dan tekanan darah turun. Ia mendapat pengawasan medis dari tim perawat
di tempat tinggal pribadinya. Hari itu juga, sumber Vatikan mengumumkan bahwa Yohanes
Paulus II telah diberi Sakramen pengurapan orang sakit oleh teman dan sekretarisnya Stanisław
Dziwisz. Selama hari-hari terakhir kehidupan Paus, cahaya tetap dinyalakan menerangi malam
dimana dia tinggal di lantai atas Istana Apostolik. Puluhan ribu umat berkumpul di Lapangan
Santo Petrus dan jalan-jalan sekitarnya selama dua hari. Mendengar kabar ini, paus yang sedang
sekarat berkata: "Saya telah mencari untuk Anda, dan kini Anda telah datang kepada saya, dan
saya berterima kasih."

Sabtu, 2 April 2005, sekitar pukul 15.30 CEST, Yohanes Paulus II mengatakan kata terakhirnya
dalam bahasa Polandia, "pozwólcie mi odejść do domu Ojca", ("biarkan aku pergi ke rumah
Bapa"), kepada pendampingnya, dan mengalami koma sekitar empat jam kemudian. Santo Paus
Johannes Paulus II meninggal di apartemen pribadinya jam 21:37 CEST (19:37 UTC), 46 hari
sebelum ulang tahunnya yang ke-85.

Kematian Paus Yohanes Paulus II diiringi ritual berusia berabad-abad lamanya dan tradisi yang
berawal sejak abad pertengahan. Upacara Pengunjungan berlangsung dari 4 April hingga pagi hari
tanggal 8 April di Basilika Santo Petrus. Surat wasiat Paus Yohanes Paulus II yang dipublikasikan
pada 7 April mengungapkan bahwa paus berkeinginan dimakamkan di tanah kelahirannya
Polandia namun tergantung dari para Kardinal, yang kemudian memutuskan agar paus yang kudus
ini dikebumikan di katakombe di bawah basilika.

Misa Requiem tanggal 8 April dipimpin oleh Kardinal Joseph Ratzinger sebagai Dekan Dewan
Kardinal dan dihadiri lebih dari 180 orang Kardinal dari berbagai negara. Misa ini menjadi misa
yang memecahkan rekor dunia dalam hal jumlah kehadiran umat dan banyaknya kepala negara
yang hadir. Ini adalah hari berkumpulnya para kepala negara terbesar dalam sejarah,
mengalahkan pemakaman Winston Churchill (1965) dan Josep Broz Tito (1980). Empat raja, lima
ratu, dan sedikitnya 70 presiden dan perdana menteri, serta lebih dari 14 pimpinan agama dari
agama selain Katolik menghadiri pemakaman.

Pemakaman Paus Yohanes Paulus II menjadi pelayatan terbesar dalam sejarah masa Kristen sejak
Perang Salib, lebih dari 4 juta pengunjung dari luar kota Roma datang ke Vatikan ditambah dengan
lebih dari 3,7 juta penduduk yang menetap di Roma. Namun dari semuanya hanya 2 juta orang
yang diizinkan untuk melihat jenazah Yohanes Paulus II.

Dekan Para Kardinal, Kardinal Joseph Ratzinger, yang kemudian menjadi paus berikutnya,
memimpin upacara. Yohanes Paulus II dikebumikan di katakombe di bawah basilika, makam para
Paus. Ia dikebumikan di liang makam yang sebelumnya dipakai oleh jenazah Paus Yohanes
XXIII. Liang itu telah dikosongkan karena jenazah Paus Yohanes XXIII telah dipindahkan ke
ruang lain di basilika setelah ia dibeatifikasi.
Gelar yang Agung ( The Great )
Sejak wafatnya Yohanes Paulus II, sejumlah imam di Vatikan dan kaum awam di seluruh dunia
telah menyebutnya "John Paul The Great"; sepanjang sejarah hanya empat paus yang disebut
demikian, dan ia adalah yang pertama pada milenium ini.

Hukum Kanonik mengatakan bahwa tidak ada proses resmi untuk menyatakan seorang Paus
mendapatkan gelar "Yang Agung"; gelar ini muncul sendiri melalui penggunaan populer dan terus
menerus, seperti juga pada kasus pemimpin sekuler (sebagai contoh, Aleksander III dari
Makedonia menjadi populer dan dikenal sebagai Aleksander Agung. Tiga paus saat ini yang
diketahui menyandang "Yang Agung" adalah St.Paus Leo I, yang memimpin dari 440-461 dan
membujuk Attila (Attila the Hun) untuk mundur dari Roma; St.Paus Gregorius I, 590-604, yang
mengilhami penamaan kidung Gregorian; dan Paus Nikolas I, 858-867.

Penerusnya Paus Benediktus XVI, menyebutnya "Paus Yohanes Paulus II yang agung" pada
pidato awalnya dari loggia Gereja Santo Petrus, dan menyebutkan Paus Yohanes Paulus II sebagai
"Agung" di homili yang diterbitkan pada Misa pemakamannya (Mass of Repose).

Sejak memberikan homili pada pemakaman Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus selalu
menyebut Yohanes Paulus II sebagai "yang Agung". Pada Hari Pemuda Dunia ke-20 di Jerman
2005, Paus Benediktus XVI, berbicara dalam bahasa Polski, bahasa ibu Yohanes Paulus II,
mengatakan, "Seperti Paus Yohanes Paulus II yang Agung akan berkat: jagalah api keimanan
dalam kehidupanmu dan kerabat dekatmu." Pada Mei 2006, Paus Benediktus XVI mengunjungi
tanah kelahiran Yohanes Paulus II di Polandia. Selama kunjungannya, ia berulang kali menyebut
"Yohanes Paulus yang Agung" dan "pendahulu saya yang agung".

Sebagai tambahan Vatikan menyebutnya "yang Agung," banyak surat kabar melakukannya juga.
Contohnya, koran Italia Corriere della Sera menyebutnya "yang sangat Agung" dan koran Katolik
Afrika Selatan, The Southern Cross, menyebutnya "Yohanes Paulus II Yang Agung". Julukan
“The Great” (yang agung) akhirnya melekat dalam setiap penyebutan nama Paus Yohanes Paulus
II.

Beatifikasi dan Kanonisasi


Sesaat setelah misa Requem dari kerumunan umat yang menghadiri upacara itu terdengar seruan
yang terus - menerus dan berulang-ulang : "Santo Subito!" ("jadikan Santo Segera!"). Paus
Benediktus XVI memulai proses beatifikasi kepada pendahulunya, melewati batasan normal
bahwa lima tahun harus berlalu setelah wafatnya seseorang sebelum proses beatifiksi bisa dimulai.
Pada audiensi dengan Paus Benediktus XVI, Camillo Ruini, Vikaris Jenderal Keuskupan Roma
dan orang yang bertanggung jawab untuk mempromosikan alasan kanonisasi seseorang, mengutip
"keadaan luar biasa" yang menyebabkan masa menunggu bisa diabaikan. Keputusan ini
diumumkan pada 13 Mei 2005, pada Perayaan Our Lady of Fátima dan peringatan 24 tahun
percobaan pembunuhan Yohanes Paulus II di lapangan Santo Petrus.

Pada awal 2006, dilaporkan bahwa Vatikan sedang menyelidiki kemungkinan mukjizat terkait
dengan Yohanes Paulus II. Suster Marie Simon-Pierre, seorang biarawati Perancis dan anggota
Konggregasi Little Sisters of Catholic Maternity Wards, yang hanya bisa tergolek di tempat
tidurnya karena penyakit Parkinson, dilaporkan mendapatkan pengalaman "kesembuhan total
setelah anggota komunitasnya berdoa baginya dengan perantaraan Paus Yohanes Paulus II".

Pada Mei 2008, Sister Marie-Simon-Pierre, dapat berkarya lagi di rumah sakit ibu dan anak yang
dioperasikan oleh biaranya. "Saya sakit dan sekarang saya telah disembuhkan," dia mengatakan
pada wartawan Gerry Shaw. "Saya sembuh, namun ini terserah gereja apakah ini adalah mukjizat
atau bukan."
Pada Februari 2007, peninggalan Paus Yohanes Paulus II berupa potongan jubah putih yang sering
ia gunakan mulai didistribusikan bersama kartu doa untuk suatu alasan, sebuah kebiasaan khas
setelah meninggalnya seorang Katolik yang saleh.

Pada peringatan tahun keempat wafatnya Paus Yohanes Paulus II, 2 April 2009, Kardinal Dziwisz,
memberitahu wartawan tentang mukjizat yang baru saja muncul di makamnya di Basilika Santo
Petrus. Seorang anak laki Polandia berusia sembilan tahun dari Gdańsk, yang menderita kanker
ginjal dan tidak bisa berjalan, berziarah ke makam Paus Yohanes Paulus II bersama orang tuanya.
Ketika meninggalkan Basilika Santo Petrus, anak itu mengatakan, "Saya ingin berjalan," dan ia
mulai bisa berjalan normal.

Pada 16 November 2009, sebuah panel peninjau dari Congregation for the Causes of Saints
mengambil suara secara tertutup bahwa Paus Yohanes Paulus II telah hidup dalam
kebajikan. Pada 19 Desember 2009, Paus Benediktus XVI menanda tangani satu dari dua dekrit
(keputusan) yang diperlukan untuk beatifikasi dan menyebut Yohanes Paulus II "Yang Mulia",
untuk menandakan bahwa ia hidup dalam kegagahan dan kebajikan. Pengambilan suara kedua
dan dekrit kedua ditanda tangani untuk menandai kebenaran dari mukjizatnya yang pertama
(suster Marie Simon-Pierre, biarawati Perancis yang sembuh dari penyakit Parkinson). Begitu
dekrit kedua ditanda tangani, positio (laporan alasan, dengan dokumentasi kehidupannya dan
tulisan-tulisannya ditambah informasi tentang alasannya) telah dianggap lengkap. Dia dapat di
beatifikasi.

Vatikan mengumumkan pada 14 Januari 2011 bahwa Paus Benediktus XVI telah mengkonfirmasi
mukjizat yang terkait suster Marie Simon-Pierre dan Yohanes Paulus II dapat di beatifikasi pada
1 Mei, Minggu Rahmat Ilahi dalam oktaf Paskah dan awal bulan Rosario. 1 Mei juga dirayakan
di bekas negara-negara komunis seperti Polandia. dan beberapa negara Eropa Barat sebagai May
Day (Hari Buruh), dan Paus Yohanes Paulus II sangat dikenal dalam banyak hal, termasuk dalam
kontribusinya dalam runtuhnya Komunisme Eropa Timur dengan damai, yang juga terbukti
kebenarannya oleh kesaksian bekas presiden Soviet Gorbachev pada saat wafatnya Yohanes
Paulus II.

Pada 29 April 2011, mengawali beatifikasinya peti mati Paus Yohanes Paulus II digali, sementara
puluhan ribu umat mulai berdatangan ke Roma untuk peristiwa besar sejak pemakamannya pada
tahun 2005. Peti tertutup berisi jenazah Yohanes Paulus II dipindahkan dari gua di bawah Basilika
Santo Petrus ke monumen batu marmer di Kapel Santo Sebastian, Pier Paolo Christofari, dimana
Yang Diberkati (Beato) Paus Innosensius XI dimakamkan. Lokasi yang lebih baik ini, dekat Kapel
Pieta, Kapel Sakramen Mahakudus dan patung dari Paus Pius XI dan Paus Pius XII, akan
memungkinkan lebih banyak peziarah mengunjungi makamnya.

Tanggal 1 Mei 2011 Secara resmi Paus Benediktus XVI memaklumkan Paus Johannes Paulus II
sebagai Beato dan pada tanggal 27 April 2014 ia dikanonisasi oleh Paus Fransiskus.

Anda mungkin juga menyukai