Anda di halaman 1dari 19

PORTOFOLIO KASUS TRAUMA

SNAKE BITE

Disusun oleh :
dr. Alfonsus Adrian Hadikusumo Harsono

Pembimbing:
dr. Agung Kusuma Negara SpB

Pendamping :
dr. Kurniati, SpKK
dr. Lisa Puspitorini, SpS

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
2017
Portofolio Kasus
No. ID dan Nama Peserta : Alfonsus Adrian Hadikusumo Harsono
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Ibnu Sina
Topik : Kasus Bedah: Snake Bite
Tanggal (kasus): 11/12/2017
Nama Pasien: Nn. CM / 17th No RM: 664629
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Kurniati, SpKK
dr. Lisa Puspitorini, SpS
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Remaja 17 tahun datang dengan keluhan bekas gigitan ular di pergelangan kaki kiri 3 jam
SMRS
Tujuan: Mengoptimalkan penatalaksanaan kasus snake bite
Bahan bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & E-mail Pos
diskusi

Data pasien Nama: Nn. CM/ 17 th No RM: 685210


Nama Klinik: RSUD Ibnu Sina Telp: (-) Terdaftar sejak 10/12/2017
Data utama untuk bahan diskusi

1. Diagnosis/ Gambaran Klinis/Laboratoris

ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan luka gigitan ular di pergelangan kaki kiri sejak hari minggu 10
Desember 2017 pagi jam 5 atau 3 jam SMRS saat mengikuti kegiatan pramuka. Pergelangan
luar kaki pasien tampak ada 2 luka bekas gigitan dengan diameter 1-2 mm. Kaki pasien
menjadi kemerahan dan bengkak, dan keluar darah dari lubang bekas gigitan. Tidak
didapatkan luka melepuh, lebam, serta benjolan. Pasien sempat mencabut gigi dari ular yang
menancap, kemudian dengan bantuan teman-temannya, mengikat 1/3 bawah betis. Tidak
didapatkan pula mual, muntah, pusing, serta penurunan kesadaran. Pasien tidak dapat
berjalan, lalu ditandu dan dibawa ke puskesmas, dirujuk ke RS Semen, lalu ke RSUD Ibnu
Sina. Riwayat gigitan sebelumnya tidak ditemukan.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : GCS 456
Nadi : 88 x/ menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,9 oC
Berat badan : 42 kg
Kepala & leher : tidak didapatkan anemi, ikterus, cyanosis maupun dyspneu. Pernafasan
cuping hidung (-).
Thorax : simetris, bentuk normal, retraksi (-), deformitas (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler/vesikuler, wheezing -/-, rhonchi -/-
Abdomen : flat, supel, BU (+)Normal, hepar/lien tidak teraba
Extremitas : akral hangat kering merah, CRT<2detik, tampak tungkai kiri edema.

Status Lokalis:
Didapatkan 2 luka terbuka pada regio pedis sinistra dekat maleolus lateralis dengan diameter
1-2 mm, bengkak (+) kemerahan (+) darah (+)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP
Hb 13,2 g/dL
Leukosit 12.600
HCT 40.5%
MCV 87
MCH 29 MCHC 33
Eritrosit 3.92 x 106
Trombosit 359.000
SGOT / SGPT 17,1 / 10,5
BUN / SK 13,5 / 1.14
GDA 99
Na / K / Cl 144 / 3.5 / 110

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
(tidak dikerjakan)

2. Riwayat Kesehatan/ Penyakit


Tidak ada keluhan serupa di masa lalu.
3. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak ke 1. Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat gangguan pembekuan
darah
4. Riwayat Sosial
Pasien saat ini sedang bersekolah SMA, pasien aktif mengikuti kegiatan pramuka dan lainnya
di alam bebas

Assesment

Snake bite grade II

Plan
Diagnosis: tidak ada
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah
- Cross incisi pada luka
- Inj. SABU (serum anti bisa ular) 1 ampul dalam 100 cc NaCl 0.9%
- Inf. Ringer Lactate 1000 cc / 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2x1 g
- Inj. Antrain 3 x 1 ampul
- Inj. Ranitidine 2 x 1 ampul

Monitoring
Keluhan (nyeri, perdarahan, melepuh, sesak nafas, penurunan kesadaran), vital sign, suhu,
komplikasi
Edukasi
- Bed rest
- Diet yang adekuat
- Luka tidak kena air terlebih dahulu
- Elevasi tungkai agar bengkak berkurang
- Jangan beraktivitas berat terlebih dahulu untuk sementara waktu
Perkembangan Pasien

Tanggal SOAP
11/12/2017 S: Tidak ada keluhan, nyeri (-) darah (-) pusing (-) muntah (-)
O: VS stabil, tungkai kiri bengkak (+) nanah (-) panas (-)
A: Snake Bite
P: Inj. SABU 1 amp dalam 100 cc NaCl 0.9%
Inj. Ceftriaxone 2x1 g
Inj. Antrain 3x1 ampul
Inf. RL 1000 cc/24 jam

12/12/2017 S: Tidak ada keluhan, nyeri (-) darah (-) pusing (-) muntah (-)
O: VS stabil, tungkai kiri bengkak (+) berkurang, nanah (-) panas (-)
A: Snake Bite
P: KRS dengan obat pulang
Cefadroxil 2x 1 tablet
Asam memfenamat 3x1 tablet
Vitamin C 1x1 tablet
Ranitidin 2x1 tablet
TINJAUAN PUSTAKA

 Definisi
Snake bite sebagai salah satu kegawatdaruratan medis dan penyebab kematian dan
disabilitas, merupakan luka yang disebabkan oleh gigitan ular baik beracun maupun tidak
beracun . (Warrel, 2010).
Epidemiologi gigitan ular pada Asia Tenggara masih kurang terdata dengan baik,
dikarenakan sebagian besar korban tidak ditangani di rumah sakit, namun di tabib, dukun,
dan pengobatan tradisional yang lain (Warrell, 1992). Hal ini terjadi seperti di Thailand,
“moor glang baan” (dukun Thailand) mengobati 72-393 kasus gigitan ular setiap tahunnya
antara 1985-2002. Pada tahun 1954, Swaroop dan Grab memaparkan bahwa terdapat
500.000 kasus gigitan ular, dengan 30.000 hingga 40.000 kematian setiap tahunnya di
Asia. Pada tahun 1998, Chippaux mempublikasikan bahwa terdapat 5.000.000 kasus
dalam setahun dengan 125.000 kematian setiap tahunnya di Asia. Pada tahun 2008,
Kasturiratne et al. memperkirakan 230.000 hingga 1.200.000 kasus terjadi setiap tahunnya
dengan 15.000-50.000 kasus kematian di Asia Pasifik.
Karakteristik dari korban gigitan ular didominasi oleh laki-laki, dengan umur
dominan adalah anak-anak dan dewasa muda. Prevalensi puncak kasus paling parah
terdapat pada anak-anak dan geriatri. Tempat gigitan terutama di kaki dan pergelangan dari
korban. Korban mendapat gigitan terutama apabila ular tidak sengaja terinjak, bai di
tempat gelap maupun semak-semak.

 Patofisiologi
Lebih dari 90% racun ular mengandung protein dimana komposisinya dapat berupa
enzim dan neurotoxin.
A. Enzim
Terdiri dari:
1. zinc metalloproteinase haemorrhagins yang dapat membuat kerusakan pada
endotel vascular dan menyebabkan perdarahan
2. enzim prokoagulan seperti protease dan prokoagulan lain seperti faktor X,
prothrombin serta faktor pembekuan lainnya yang dapat menyebabkan
koagulopati konsumtif
3. Phospholipase A2 / Lecithinase – komponen yang paling tersebar pada berbagai
racun. Komponen ini merusak mitokondria, eritrosit, leukosit, platelet, ujung saraf
perifer, otot skeletal, endotel vascular, memberi efek sedative, serta menginduksi
sekresi dari histamine dan antikoagulan
4. Asetilkolinesterase
5. Hyaluronidase – membuat penyebaran racun antar jaringan

B. Neurotoxin
terdiri dari 2 toksin:
1. presynaptic alpha neurotoxin (alpha-bungarotoxin dan cobrotoxin) yang mengikat
reseptor asetilkolin pada motor endplate
2. presynaptic beta neurotoxin (beta-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin) yang
melepaskan asetilkolin pada neuromuscular junction dan merusak ujung syaraf
sehingga menghambat pengeluaran neurotransmitter berikutnya.

Komponen dari toksin ular ini yang membuat dampak pada korban gigitan
mengeluarkan manifestasi-manifestasi klinis mulai dari yang ringan hingga yang
dapat membahayakan nyawa seperti perdarahan yang susah dihentikan.
(Bucheri et al., 1968,1971; Gans, 1978; Menez, 2003, Warrel 2010).

 Manifestasi Klinis
 luka bekas gigitan (gambar a)

 nyeri pada luka bekas gigitan (dapat berupa rasa terbakar maupun tertusuk)

 pembengkakan local yang perlahan menyebar ke proximal

 pembengkakan kelenjar getah bening sesuai aliran lokasi gigitan (contoh gigitan pada
tungkai bawah akan menuju region femoral atau inguinal, sedang pada extremitas atas
akan menuju siku daerah epitrochlear atau axilla)

 perdarahan lokal (gambar b)

 melepuh (gambar c)

 inflamasi (kalor, rubor, tumor, dolor, functiolesa)


 infeksi lokal dan pembentukan abses

Gambar 1. Manifestasi klinis. a. luka gigitan, b. perdarahan lokal, c. melepuh, d.


bengkak dan melepuh

 nekrosis
 chemosis (edema conjunctiva)

 perdarahan sistemik – gusi, epistaksis, air mata, intracranial haemorrhage (ICH),


hemoptisis, hematemesis, perdarahan rektal, melena, hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan mukosa (konjungtiva), perdarahan kulit (ptechiae, purpura),
retina

 Rasa kantuk yang tidak wajar (penurunan kesadaran), parestesia

 Ptosis / kelopak mata susah dibuka


 Paralisa nervus fasialis, nervus kranialis

 Paralisis flasid

 Rhabdomyolysis – nyeri otot, trismus, myoglobinuria, hyperkalemia, henti jantung,


acute kidney injury

4 anamnesa penting:

1. Pada bagian apa terdapat gigitan luka?

Untuk identifikasi luka gigitan, tanda-tanda yang sudah muncul (bengkak, kemerahan,
perdarahan, pembesaran kelenjar getah bening) serta luas penyebaran racun ular.

2. Pada kondisi apakah digigit?

Jika pasien sampai di rumah sakit segera setelah tergigit, manifestasi klinis mungkin
minimal walaupun racun pada pasien sudah banyak. Jika pasien digigit saat tidur,
kemungkinan jenis ular krait; apabila digigit di sawah dan lading, kemungkinan jenis
ular Cobra atau Russel; apabila sedang berkebun, kemungkinan jenis green pit viper;
apabila sedang berenang atau di dalam air, kemungkinan Cobra (air tawar) atau ular
laut (air asin).

3. Dimanakah ular yang sudah menggigitmu?

Jika ular yang sudah dibunuh dibawa, maka identifikasi ular dapat membantu
menentukan beracun atau tidak.

4. Bagaimana keadaanmu sekarang?

Tanda awal dari penyebaran racun secara sistemik adalah muntah. Pasien juga dapat
kekurangan fibrinogen dan menjadi trombositopenia sehingga tanda-tanda perdarahan
muncul. Tanyakan pula apakah sudah sempat BAK, dan apa warnanya. Hati-hati
terhadap tanda bahaya.
Tanda bahaya

- Ular yang tergigit merupakan jenis yang ganas


- Bengkak pada luka gigitan cepat menyebar

- Pembesaran kelenjar getah bening disertai rasa nyeri, mengindikasikan penyebaran


racun sudah mencapai system limfatik

- Tanda sistemik awal: kolaps (shock, hipotensi), mual, muntah, diare, nyeri kepala
hebat, susah buka mata (kelopak mata terasa berat), ptosis maupun rasa ngantuk yang
tidak sewajarnya

- Perdarahan spontan secara sistemik

- Urine berwarna gelap (coklat atau hitam)

Pemeriksaan fisik

- Pada luka: Tanda-tanda edema pada luka, apakah ada penyebaran ke system limfatik,
nyeri pada luka, melepuh, tanda-tanda pembusukan
- Pemeriksaan umum: ukur tanda-tanda vital pasien, tanda-tanda perdarahan sistemik

- Pemeriksaan neurologis: cek apakah ada ptosis, pergerakan mata (cek


opthalmoplegia), ukuran pupil pasien, trismus, otot leher mungkin terkena (broken
neck sign), tanda-tanda gangguan otot pernafasan

- Tanda rhabdomyolysis: trismus, nyeri otot, myoglobinuria

Klasifikasi gigitan ular

Tabel 1. Klasifikasi gigitan Ular. (Kincaid, 2009; Dart et al, 1996)


Grade Gejala
0 Tidak ada envenomasi: hanya bekas gigitan, dan nyeri minimal
I Envenomasi minimal: Bekas gigitan, nyeri, edema 1-5 inci (2,5-12,5 cm), eritrema
pada 12 jam pertama, tanpa gejala sistemik
II Envenomasi sedang: bekas gigitan, nyeri, edema 6-12 inci (15-30 cm), eritrema
pada 12 jam pertama, gejala sistemik mungkin muncul, bersamaan dengan
progresifitas gejala, perdarahan dari tempat gigitan mungkin muncul
III Envenomasi berat: bekas gigitan, nyeri, bengkak lebih dari 12 inci (>30cm) pada
12 jam pertama, gejala sistemik termasuk gangguan koagulasi, gejala grade I dan
II muncul secara cepat, dengan gejala sistemik yang segera
IV Envenomasi sangat berat: Reaksi local muncul sangat cepat, edema termasuk
tungkai ipsilateral, ekimosis, nekrosis, bleb, tanda melepuh, plana fascia yang
kencang, tension menjadi tinggi sehingga membuntu aliran vena dan arteri

Tabel 2. Grading dan klasifikasi gigitan ular beserta tatalaksananya. )Juckett, 2002)

Komplikasi yang mungkin terjadi:


 Rhabdomyolysis
 Paralisa nervus kranialis
 Perdarahan sistemik
 Sindroma kompartmen
 Infeksi luka gigitan

 Diagnosis
Pemeriksaan laboratoris sangat berguna untuk menunjang diagnosa dan severitas dari
racun di dalam tubuh pasien. Pemeriksaan ini terdiri dari:
1. 20-minute whole blood clotting test (20WBCT)
Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan dimana saja dengan menggunakan 1
kontainer kaca yang bersih, baru, dan kering.
Cara melakukannya yaitu:
- letakkan 2mL sampel darah vena pada gelas tersebut
- biarkan selama 20 menit pada suhu ruangan
- goyangkan gelas/botol satu kali
- jika setelah 20 menit darah masih belum membeku, maka pasien sedang
mengalami hypofibrinogenemia sebagai hasil dari koagulopati konsumptif akibat
dari racun ular.
- Jangan menggunakan gelas yang sudah dibersihkan dengan detergen karena dapat
menghambat aktifasi faktor XI – faktor Hageman dan tes akan tidak valid.
Gunakanlah pula kontrol darah orang normal sebagai pembanding.

Gambar 2. 20WBCT pada pasien dengan racun ular Papuan taipan yang masih
mengalami perdarahan pada tempat gigitan. Darah pada botol belum membeku
menandakan koagulopati konsumptif.

2. Hemoglobin dan Hematokrit


Hemokonsentrasi (peningkatan Hb dan Hct) dapat merupakan akibat peningkatan
permeabilitas kapiler (akibat racun ular Russel). Namun dapat juga menurun
sebagai akibat perdarahan maupun hemolisis.
3. Platelet count
Trombositopenia dapat terjadi ada gigitan ular viper dan Australian elapid.
4. Leukosit
Peningkatan neutrophil dan leukositosis dapat menjadi tanda penyebaran racun
secara sistemik.
5. Hapusan darah tepi
Schistocytes / helmet cell (eritrosit yang terfragmentasi) merupakan tanda
terjadinya mikroangiopati hemolisis pada racun beberapa jenis ular.
6. Plasma / serum
Warna plasma dapat berubah menjadi kecoklatan apabila terjadi myoglobinemia
akibat rhabdomyolisis karena racun ular.
7. Abnormalitas enzim biokimia
8. Blood gas analysis (BGA)
Komponen neurotoxin pada ular dapat menyebabkan gagal nafas, yang
mempengaruhi hasil BGA. Selain itu, dapat pula ditemukan acidaemia akibat
asidosis respiratorik maupun metabolik. Namun perlu diingat, BGA
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hemostatis karena dapat
membuat perdarahan lebih parah.
9. Urine lengkap
Warna urin (pink, merah, coklat, hitam) perlu diidentifikasi untuk menentukan
apakah terjadi hemoglobinuria maupun myoglobinuria. Urine mikroskopis dapat
membantu mengidentifikasi adanya eritrosit pada urine, serta cast eritrosit yang
menandakan adanya perdarahan glomerular. Proteinuria massif merupakan tanda
awal peningkatan permeabilitas kapiler pada racun ular Viper dan Russel, yang
dapat menyebabkan Acute Kidney Injury.

 Diagnosa Banding
o Urtikaria dan Angioedema (urtikaria dan eritrema)
o Anafilaksis
o Trauma vaskular ekstremitas
o DVT (deep vein thrombosis)
o DIC (disseminated intravascular coagulopathy)
o Luka terinfeksi
o Sepsis dan shock sepsis
o Idiopatik Trombositopenia (dari ekimosis, melepuh, serta tanda nekrosis
jaringan)
o GBS (Guillain-Barre Syndrome)
o Myasthenia Gravis
o Botulinism
(Daley, 2017)
 Penatalaksanaan
Algoritma tatalaksana
- Tatalaksana awal
- Transport menuju Rumah Sakit
- Assesmen klinis cepat dan resusitasi
- Assesmen klinis detil dan diagnosis spesifik
- Pemeriksaan penunjang
- Terapi Anti Bisa Ular
- Observasi respons serum anti bisa ular
- Menentukan apakah dosis SABU perlu diulang
- Terapi supportif
- Terapi area tergigit
- Rehabilitasi
- Terapi komplikasi

1. Tahapan tatalaksana awal


 Pastikan korban tenang
 Imobilisasi seluruh tubuh pasien dengan membaringkan pasien pada
posisi yang aman dan nyaman. Imobilisasi pula tungkai pasien yang
tergigit. Pergerakan dapat mendorong racun semakin jauh ke peredaran
darah dan system limfatik
 Jika ada peralatan yang adekuat, pertimbangkan pressure pad.
 Hindari manipulasi luka karena dapat menyebabkan infeksi,
meningkatkan absorpsi racun, serta memperparah perdarahan.
 Mengikat proksimal gigitan dengan gelang yang flat dan lebar dapat
dilakukan hanya untuk memblok aliran vena dan limfatik (sekitar
20mmHg) dan dibiarkan hingga mendapat terapi SABU. Pastikan 1-2
jari dapat masuk secara mudah pada ikatan, sehingga menandakan
aliran darah arterial masih dapat lewat.
 Apabila yang terkena ekstremitas atas, maka perlu dilakukan
pembidaian sedekat mungkin dengan posisi gravitasi netral sekitar
setinggi jantung.
 Torniket yang ketat (arterial) tidak direkomendasikan. Torniket yang
dipasang lebih dari 40 menit dapat menyebabkan iskemik dan
gangrene.
2. Tahapan tatalaksana di rumah sakit
 Pastikan Airway, Breathing, Circulation, Disability, serta Exposure
tertangani dengan baik.
 Pada situasi seperti: hipotensi dan shock, tanda-tanda gagal nafas,
perburukan gejala yang cepat, henti jantung, serta pasien yang telat
dirujuk memerulukan penanganan segera.
 Terapi serum anti bisa ular
Serum anti bisa ular merupakan immunoglobulin (fragmen IgG) yang
diambil dari kuda, domba, atau keledai yang telah diimunisasi dengan
bisa 1 atau lebih spesies ular.
a. Indikasi terapi serum anti bisa ular
1) Sistemik
+ abnormalitas hemostatik – perdarahan spontan, koagulopati (lab
abnormal), trombositopenia ( <100,000)
+ gejala neurotoxik, ophthalmoplegia, paralisis
+ abnormalitas kardiovaskular – hipotensi, shock, aritmia, ekg
abnormal
+ Tanda-tanda AKI – oligouria, anuria, peningkatan faal ginjal
+ tanda rhabdomyolysis
+ tanda supportif untuk penyebaran racun sistemik
2) Lokal
+ pembengkakakn lokal yang melibatkan lebih dari setengah
tungkai yang terkena gigitan dalam 48 jam setelah gigitan
+ penyebaran cepat (missal dari pergelangan tangan atau kaki
dalam beberapa jam menyebar)
+ munculnya rasa nyeri dari pembesaran KGB pada tungkai yang
terkena

b. Pemberian SABU
Indikasi pemberian sabu sesuai dengan grading dan klasifikasi
gigitan yang telah dibahas di atas.
1) Metode iv push injection – SABU beku yang diencerkan atau
SABU cair diberikan dengan IV pelan (tidak lebih dari 2 ml/ menit)
2) Metode iv infusion – SABU beku yang diencerkan atau SABU cair
didilusikan dalam 5-10 mL cairan isotonic per Kg BB (contoh 250-
500 mL normal saline pada orang dewasa) dan diinfuskan dengan
kecepatan konstan dalam 1 jam.
Pemberian SABU pada anak dan dewasa jumlahnya sama, karena ular
menginjeksikan racun dalam jumlah sama pada anak dan dewasa.

c. Observasi respon SABU


1) Umum: apakah pasien membaik, ada mual, nyeri kepala, nyeri
general
2) Perdarahan sistemik spontan: berdasarkan empiris akan berhenti
pada 15-30 menit
3) Pembekuan darah: akan kembali dalam 3-9 jam
4) Pada pasien shock: tekanan darah akan meningkat pada 30-60
menit pertama dan aritmia seperti sinus bradikardia akan kembali
5) Neurotoksik akan kembali pada 30 menit setelah pemberian
SABU, namun dapat muncul dalam beberapa jam
6) Hemolisis akut dan rhabdomyolysis akan berhenti dalam beberapa
jam dan urine akan kembali normal kembali.
7) Anafilaksis – Epinephrine IM dosis 0.5 mg (dewasa) atau 0.01
mg/KgBB (anak) diberikan pada tanda awal anafilaksis. Kemudian
dapat dilanjutkan dengan antihistamine anti-H1 seperti CTM
(dewasa 10 mg, anak 0.2 mg/Kg BB IV) atau Hidrokortison IV
(dewasa 100 mg, anak 2 mg/Kg BB)

d. Kriteria pengulangan SABU


1) Gangguan koagulasi persisten atau rekuren setelah 6 jam atau
perdarahan setelah 1-2 jam
2) Perburukan gejala neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1-2 jam
Gambar 3. Serum anti bisa ular

 Apabila SABU tidak tersedia, terapi dilakukan secara konservatif


 Terapi pada luka gigitan
a. Infeksi bakteri – pemberian antibiotic sesuai peta kuman setempat,
dapat pula diberikan profilaksis tetanus
b. Sindroma kompartmen – apabila ditemukan tanda-tanda 5P – Pain,
Pulseless, Pallor, Paralysis, Paresthesia maka dapat
dipertimbangkan untuk melakukan Fasciotomy.
c. Posisikan tungkai pada posisi anatomis senyaman mungkin.

 Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien yaitu
 Gigitan ular dapat menimbulkan gejala yang mengancam nyawa, oleh karena
itu lain kali hati-hati dan menggunakan alat pelindung diri apabila akan
melakukan kegiatan di ruang terbuka.
 Menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat
mempengaruhi platelet dan meningkatkan risiko pendarahan.
 Lindungi luka dari air dan sentuhan agar tidak infeksi
 Menjelaskan cara Identifikasi ular yang berbisa
-

Gambar 4. Cara membedakan ular tidak berbisa dan ular berbisa

 Prevensi agar kejadian tidak berulang


 Menghindari ular sejauh mungkin. Jangan menyerang ular apabila
melihatnya.
 Untuk pekerjaan dan aktivitas berresiko dapat menggunakan sepatu
boots sebagai pelindung
 Apabila melihat ular di jalan, jangan dilindas dengan kendaraan karena
ular belum tentu langsung mati. Ular dapat bersembunyi di roda dan
memakan korban di kesempatan yang lain.
 Menghindari berjalan di ruang terbuka tanpa mengunakan alas kaki
 Jangan memasukkan tangan ke lubang atau sarang binatang karena
dapat merupakan sarang ular
 Berhati-hati apabila menemukan bangkai ular, karena goresan dengan
gigi ular dapat menyebabkan racun masuk.
 Bersihkan tumpukan barang dan sampah, serta jangan biarkan dahan
pohon menempel ke rumah karena dapat menjadi jalur ular
PEMBAHASAN

Manifestasi klinis dari gigitan ular sangatlah bervariasi mulai dari bengkak, nyeri, perdarahan
ringan, hingga terjadinya rhabdomyolysis, efek neurotoksin, serta shock. Manifestasi klinis
ini dipengaruhi dari kandungan toksin ular yang menggigit. Maka dari itu apabila mungkin,
perlu dilakukan identifikasi spesies ular yang menggigit. Diagnosis gigitan ular dapat
dilakukan dengan melihat luka bekas gigitan dan tanda-tanda sistemik, kemudian ditunjang
dengan hasil laboratorium terutama faal koagulasi. Tatalaksana awal di tempat kejadian, cara
membawa pasien, serta tatalaksana di rumah sakit perlu dilakukan secara sistematis. Dari hal
ini kita dapat mempelajari apabila ditemukan suatu kasus gigitan ular dan cara menanganinya
secara sistematis untuk mencegah morbiditas dan mortalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Chibari, Chris. 2004. “Management of Poisonous Snakebites”. American College of


Surgeons. Web. 21 Des. 2017.
Daley, Brian J. 2017. “Snake Bite – differential diagnosis”. Medscape.com, Web. 18
Des.2017.
Hifumi T, Sakai A, Kondo Y, et al. 2015. “Venomous snake bites: clinical diagnosis
and treatment”. Journal of Intensive Care 3 (16) p. 1-9.
Juckett G, et Hancox J. 2002. “Venomous Snakebites in the United States:
Management Review and Update”. Journal of American Family of Physician 65 (7) p.
1367-1374.
Kang S, Moon J, et Chun B. 2016. “Does the traditional snakebite severity score
correctly classify envenomated patients?” Clin. Exp. Emerg. Med. 3(1) p.34-40.
Kincaid R, et Ruppert S. 2009. “Rattlesnake Envenomation and Compartment
Syndrome: A Case Study”. The Internet Journal of Advanced Nursing Practice 11(1) p. 1-
7.
Sjamsuhidajat, De Jong. 2007. “Buku ajar ilmu bedah”. Jakarta: EGC. (5) p.117-118.
Warrel DA. 2010. “Guidelines for the management of snake-bites”. World Health
Orgnanization. Web. 18 Des. 2017.

Anda mungkin juga menyukai