Anda di halaman 1dari 12

78

BAB 5

PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini penulis mencantumkan tentang temuan (data dan fakta)

serta disandingkan dengan teori yang ada, serta sekaligus memberikan opini antara

data dan fakta dalam Asuhan Keperawatan pada pasien Asma Bronkial dengan

masalah keperawatan ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas yang meliputi

pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1.1 Pengkajian

Dari hasil pengkajian yang diperoleh didapatkan hasil klien bernama Nn.D

berusia 18 tahun, berjenis kelamin perempuan yang terkena asma dirawat di ruang

asoka RSUD Dr.Harjono Ponorogo. Klien dirawat di rumah sakit selama 4 hari di

RSUD Dr.Harjono Ponorogo di ruang Asoka. Klien mengatakan sesak nafas,

batuk berdahak, sulit mengeluarkan dahak, dan tidak bisa tidur malam karena

batuk-batuk. Fakta diatas sesuai dengan teori yang ditemukan oleh soemantri

(2009) asma bronkial dapat menyerang segala umur, tetapi lebih sering dijumpai

pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus

lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Laki-laki dan perempuan di usia dini

sebesar 2 : 1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun. Teori lain menurut Francis

(2011) kondisi rumah, pajanan alergen, hewan di dalam rumah, pajanan asap

rokok tembakau, kelembapan, dan pemanasan.

Menurut Somantri (2009) keluhan utama pada klien dengan asma bronkial

adalah batuk, peningkatan sputum, dispnea (bisa berhari-hari atau berbulan-bulan)

dan wheezing. Faktor pencetus asma yaitu alergen, aktivitas yang berlebih,

lingkungan kerja, obat-obatan. Beberapa pencetus akan merangsang reaksi

78
79

hiperaktifitas bronkus, sehingga akan menghasilkan antigen yang terikat Ige pada

permukaan sel mast atau basofil, IgE yang menempel sel mast akan mengalami

degranulasi yang mengeluarkan mediator seperti histamin, platelet dan bradikinin,

mediator ini akan menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat sehingga akan

terjadi edema mukosa, sekresi produktif, kontraksi otot polos meningkat, hal ini

akan menyebabkan pertukaran O2 dan CO2 terhambat akibatnya terjadi gangguan

ventilasi, spasme oto polos, sekresi kelenjar bronkus meningkat,

penyempitan/obstruksi proksimal dari bronkus pada tahap ekspirasi dan inspirasi.

Sehingga akan muncul beberapa manifestasi klinik seperti mukus berlebih,

wheezing, batuk, dan sesak.

Sesuai dengan fakta diatas Nn. D mengeluhkan sesak, dan merasakan batuk-

batuk, hal itu sesuai dengan teori bahwa terjadinya asma disebabkan karena edema

mukosa, sekresi produktif, kontraksi otot polos meningkat, spasme otot polos,

sekresi kelenjar bronkus meningkat dan penyempitan dari bronkus pada tahap

respirasi dan inspirasi sehingga timbul sesak, batuk dan wheezing pada pasien

asma

Nn. D mengatakan pernah dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 5 kali,

klien sebelumnya sudah memeliki riwayat penyakit asma sejak berumur 1 tahun,

penyakit tersebut sering kambuh saat cuaca dingin dan kecapekan. Terdapat data

yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya penyakit ini, diantaranya

adalah riwayat alergi. Penderita dengan riwayat alergi biasanya mempunyai

keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar dengan

faktor pencetus, selain itu hipersensitifisitas saluran pernafasan juga bisa

diturunkan (Hasdianah & Suprapto I,S 2016).


80

Sesuai dengan teori dan fakta diatas Nn. D mempunyai alergi terhadap udara

dingin sejak berumur 1 tahun. Berdasarkan teori diatas bahwa faktor presipitasi

asma yaitu adanya allergen, infeksi saluran nafas, tekanan jiwa, olahraga atau

kegiatan yang berat, obat-obatan, polusi udara, dan lingkungan kerja.

Nn. D mengatakan neneknya memiliki penyakit asma, menurut soemantri

(2009) asma bronkial seringkali ditemukan karena adanya riwayat penyakit

keturunan, tetapi pada beberapa pasien lainnya tidak ditemukan adanya penyakit

yang sama pada anggota keluarganya. Sesuai dengan fakta diatas didapatkan pada

Nn.D sendiri menderita asma sejak umur 1 tahun dan didapati data bahwa

neneknya juga memiliki penyakit yang sama dengannya yaitu asma.

Pada riwayat psikososial presepsi dan harapan Nn. D terhadap masalahnya dan

keluarga berpresepsi penyakitnya kambuh karena Nn. D memliki udara dingin,

biasanya kambuh saat terkena udara dingin dan kecapekan dan tentunya penyakit

Nn. D merupakan salah satu ujian dari Allah swt. Persepsi merupakan salah satu

yang dapat menghambat respon kooperatif pada diri pasien (Asmadi, 2008).

Dari data diatas Nn. D sangat kooperatif pada saat ditanya tentang persepsi

dan harapan.

Pada pola interaksi dan komunikasi didapatkan Nn. D mampu berinteraksi

dengan baik pada keluarga, maupun perawat dengan baik, berkomunikasi dengan

menggunakan Bahasa Indonesia. Menurut Asmandi (2008), pada pasien asma

biasanya interaksi dengan orang lain berkurang, tetapi berdasarkan fakta diatas

yang di dapatkan pada Nn. D semua interaksinya tidak berkurang.

Pada pola kepercayaan Nn. D beragama islam, selalu menjalankan sholat 5

waktu, dan selalu berdoa kepada Allah agar penyakitnya segera sembuh.

Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercaya dapat


81

meningkatkan kekuatan jiwa pasien. Keyakinan pasien terhadap Tuhan Yang

Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya merupakan metode penanggulangan

penyakit (Asmadi, 2008). Berdasarkan dari data diatas Nn. D selalu mendekatkan

diri kepada Allah, percaya penyakitnya akan sembuh karena Allah.

Dari data pola nutrisi klien, Nn. D sebelum sakit makan 3x sehari porsi

sedang, dengan menu nasi, sayur, lauk pauk, kadang makan buah. Minum air

putih kurang lebih 8 gelas /hari, saat sakit makan 3x sehari porsi dari rumah sakit

habis, dengan menu nasi, sayur, lauk pauk dan buah pepaya. Minum air putih

hangat kurang lebih 5 gelas /hari. Menurut Mumpuni & wulandari (2013), perlu

dikaji tentang status nutrisi klien meliuputi, jumlah frekuensi, dan kesulitan-

kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, serta pada pasien sesak biasanya terjadi

kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi. Berdasarkan data diatas terdapat

kesenjangan dalam pola nutrisi, didapatkan dalam data nutrisi Nn. D terpenuhi,

tidak ada kesulitan dalam memenuhi nutrisinya.

Dari data pola eleminasi, sebelum sakit Nn. D BAK 5-6x/hari, warna kuning,

bau khas urin, BAB 1x /hari, warna kuning, lunak, bau khas feses, saat sakit BAK

6-7x/hari, warna kuning, bau khas urin. Nn. D mengatakan selama di rawat di

rumah sakit (2 hari) belum BAB. Menurut teori Mumpuni dan Wulandari (2013),

perlu dikaji tentang kebiasan BAB dan BAK , penderita asma dilarang menahan

buang air kecil dan buang air besar, kebiasaan menahan buang air kecil maupun

besar akan menyebabkan feses menghasilkan radikal bebas yang bersifat meracuni

tubuh, menyebabkan sembelit dan semakin mempersulit pernafasan. Dari data

diatas pola eliminasi BAK dan BAB Nn. D normal, tidak pernah menahan saat

BAK dan BAB.


82

Pola istirahat Nn. D sebelum sakit, tidur siang pukul 13.00-14.00, tidur

malam pukul 21.00-05.00. tidur kurang lebih 8 jam /hari. Selama sakit Klien tidur

siang pukul 11.00-12.00, tidur malam pukul 22.00-04.00, tidur kurang lebih 6

jam/hari (tidur sering terbangun karena batuk dan sesak). Menurut teori Mumpuni

dan Wulandari (2013), perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat pasien

meliputi berapa lama pasien tidur dan istirahat, serta berapa besar akibat kelelahan

yang dialami pasien, adanya wheezing dan sesak dapat mempengaruhi pola tidur

dan istirahat pasien. Sesuai teori diatas terdapat fakta bahwa Nn. D susah tidur,

tidur sering terbangun karena sesak dan batuk, Sehingga terdapat pengaruh pola

tidur dan istirahatnya.

Pola personal Hygiene, sebelum sakit Nn. D mandi 2x sehari, gosok gigi saat

mandi, ganti baju setelah mandi, keramas 2x /minggu, Selama sakit hanya disibin

2x /hari, ganti baju setelah sibin, tidak gosok gigi, belum keramas selama sakit.

Perlu dikaji personal hygiene pada pasien yang mengalami asma, terkadang ada

hambatan dalam personal hygiene. Dari teori diatas terdapat kensejangan,Nn. D

tetap disibin walaupun sakit, dan bisa ganti baju sendiri, hanya Nn. D tidak gosok

gigi dan keramas.

Pola aktivitas, sebelum sakit Nn. D beraktivitas membantu orang tua saat di

rumah, kadang volly, dan sekolah setiap harinya. Saat sakit Nn. D hanya berbaring

di tempat tidur, semua aktifitas dibantu oleh keluarganya. Perlu dikaji tentang

aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga, bekerja, dan aktifitas lainnya.

Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya asma. Turunnya toleransi

tubuh terhadap kegiatan olahraga ( Mumpuni dan wulandari, 2013). Dari teori

diatas terdapat fakta bahwa jika Nn. D sering beraktifitas,mudah lelah dan
83

membuat asmanya kambuh. Dari hal diatas, bahwa aktifitas fisik dapat menjadi

penyebab timbulnya asma Nn. D.

Pemeriksaan Fisik, Keadaan Umum : Keadaan umum lemah, Tekanan darah :

100/70 mmHg, Nadi : 83x /menit, Respirasi : 25x /menit, Suhu : 36,9 o C, TB/BB :

156 cm / 45 kg, Terpasang infus Sodium chloride di tangan kirinya 16 Tetes/mnt,

Terpasang O2 nasal kanul 3liter/mnit, Posisi tidur semi fowler (setengah duduk).

Menurut marelli (2009), mekanika pernafasan, pernafasan cuping hidung,

simetris, tidak terdapat lesi. dari hasil data tersebut terdapat kesenjangan pada Nn.

D menurut teori terdapat pernafasan cuping hidung, sedangkan pada Nn. D tidak

ada pernafasan cuping hidung karena tidak semua pasien memiliki tanda serangan

yang sama.

Patofisiologi dari asma bronkial yaitu faktor-faktor penyebab seperti virus,

bakteri, jamur, alergen, parasit, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis akan

merangsang hiperaktifitas bronkus dalam saluran pernafasan sehingga merangsang

sel plasma menghasilkan IgE. IgE selanjutnya akan menempel pada reseptor

dinding sel mast, kemudian sel mast tersentisasi. Sel mast tersentisasi akan

mengalami degranulasi, sel mast yang akan mengalami degranulasi akan

mengeluarkan sejumlah mediator seperti histamin dan bradikinin. Mediator ini

akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga timbul edema

mukosa, peningkatan produksi mukus dan kontraksi otot polos bronkiolus. Hal ini

akan menyebabkan proliferasi akibat terjadinya sumbatan dan daya konsulidasi

pada jalan nafas sehingga proses pertukaran O2 dan CO2 terhambat akibatnya

terjadi gangguan ventilasi. Rendahnya masukan O2 ke paru-paru terutama pada

alveolus menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan CO2 dalam alveolus atau


84

yang disebut dengan hiperventilasi, yang akan menyebabkan terjadi alkalosis

respiratorik dan penurunan CO2 dalam kapiler (hipoventilasi) yang akan

menyebabkan terjadi asidosis respiratorik. Hal ini dapat menyebabkan paru-paru

tidak dapat mengembang memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas yaitu

membuang karbondioksida sehingga menyebabkan konsentrasi O2 dalam alveolus

menurun dan terjadilah gangguan difusi, dan akan berlanjut menjadi gangguan

perfusi dimana oksigenasi ke jaringan tidak memadai sehingga terjadi hipoksemia

dan hipoksia yang akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis (Nugroho, T.

2016)

Pemeriksaan toraks didapatkan Inpeksi : simetris, bentuk dada normalches,

sianosis (-), pola nafas tidak teratur, tidak ada pernafasan cuping hidung. Palpasi :

focal premitus kanan dan kiri bergetar sama-sama, Perkusi : sonor, Auskultasi :

terdengar wheezing di sebelah paru kiri atas dan tengah, ronchi di paru kiri atas saat

inspirasi dan lebih jelas saat ekspirasi. Pemeriksaan fisik paru biasanya didapatkan

data sebagai berikut yaitu, inspeksi : Batuk produktif/nonproduktif, terdapat

sputum yang kental dan sulit dikeluarkan, bernafas dengan menggunakan otot-otot

tambahan, sianosis (Somantri, 2009). Cara bernafas, pernafasan cuping hidung,

penggunaan oksigen, dan sulit bicara karena sesak nafas (Marelli, 2008). Palpasi :

Bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan (Somantri, 2009). Takikardi

akan timbul di awal serangan, kemudian diikuti sianosis sentral (Djojodibroto,

2016). Perkusi : : Lapang paru yang hipersonor pada perkusi (Kowalak, Welsh, &

Mayer, 2012). Auskultasi : Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (Whezzing)

pada fase respirasi semakin menonjol (Somantri, 2009).

Menurut teori yang didapatkan terdapat fakta dan kesenjangan pada

pemeriksaan paru simetris, bentuk dada normallches, sianosis (-), pola nafas tidak
85

teratur, batuk berdahak, sputum kental berwarna putih kekuning-kuningan, tidak

ada pernafasan cuping hidung. Menurut marelli (2009), cara bernafas, pernafasan

cuping hidung, simetris, tidak terdapat lesi. dari hasil data tersebut terdapat

kesenjangan pada klien, menurut teori terdapat pernafasan cuping hidung,

sedangkan pada klien tidak ada pernafasan cuping hidung. Pada teori menyatakan

bahwa terdapat sianosis, bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan,

padahal pada pasien sendiri tidak didapatkan data yang sama dengan teori karena

tidak semua pasien asma mempunyai tanda serangan yang sama. Sedangkan pada

pemeriksaan paru, palpasi focal premitus kanan dan kiri bergetar sama-sama, pada

teori menyatakan bahwa bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan

dan takikardi akan timbul di awal serangan, kemudian diikuti sianosis sentral

pasien sendiri, tidak didapatkan data yang sama dengan teori karena tidak semua

pasien asma mempunyai tanda serangan yang sama. Pada saat auskultasi

didapatkan terdengar wheezing di sebelah paru kiri atas dan tengah, ronchi di paru

kiri atas saat inspirasi dan lebih jelas saat ekspirasi, namun pada teori dijelaskan

bahwa respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada kedua fase

respirasi semakin menonjol.

1.2 Perencanaan

Pengkajian pada pasien yang mengalami Asma muncul masalah

ketidakefktifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi

mukus. Dari ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang muncul peneliti

memberikan rencana keperawatan untuk mengurangi ketidakefektifan bersihan

jalan nafas dengan cara kolaboratif dan mandiri. Sesuai standart intervensi

NANDA NIC NOC (2015) setelah dilakukan tindakan keperawatan (NOC)

diharapkan mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak


86

ada pursed lips, klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan

dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal, mampu mengidentifikasi

dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas. Tindakan mandiri

dalam mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas (NIC) Airway Suction :

pastikan kebutuhan oral/tracheal suction / memastikan dengan benar apa yang

menjadi kebutuhan klien, auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning /

mengetahui perbedaan suara nafas sebelum dan sesudah diberikan suction, minta

klien nafas dalam sebelum suction dimulai / untuk memudahkan saat akan

dilakukan suction, berikan O2 dengan menggunakan nasal / mencegah terjadinya

kekurangan oksigen, monitor status oksigen klien / penurunan status oksigen

mengindikasi klien mengalami kekurangan oksigen yang dapat menyebabkan

terjadinya hipoksia. Airway / managemen : posisikan klien semi fowler atau

senyaman mungkin untuk memaksimalkan ventilasi / posisi semi fowler (setengah

duduk) membantu klien memaksimalkan ventilasi sehingga kebutuhan oksigen

terpenuhi melalui proses pernafasan, berikan bronkodilator (misalnya nebulizer

atau penghisapan lendir pada jalan nafas) / bronkodilator dapat memenuhi saluran

pernafasan sehingga jalan nafas longgar dan kebutuhan oksigen terpenuhi,

anjurkan klien untuk minum air hangat / air hangat dapat membantu

mengencerkan sekret, berikan healt education tentang penyakit asma / pemberian

edukasi pada klien dapat membantu klien mengetahui tentang penyakit asma,

ajarkan klien nafas dalam / nafas dalam dilakukan sebelum mengeluarkan sekret,

keluarkan sekret dengan batuk efektif / batuk efektif dapat memudahkan klien

dalam mengeluarkan sekret, fisioterapi dada / fisioterapi dada dapat membantu

mengeluarkan sekret yang sulit dikeluarkan secara mandiri, memonitor tanda-


87

tanda vital / memantau perubahan fisik pada klien. (Nurarif, H dan Bulechek,

2013).

Sesuai data diatas klien yang menderita asma mampu untuk memperlancar

jalan nafas. Dalam memilih intervensi penyusun menyesuaikan dengan tinjauan

pustaka. Intervensi diagnosa keperawatan yang ditampilkan antara tinjauan

pustaka dan tinjauan kasus terdapat kesamaan namun masing-masing intervensi

tetap mengacu pada sasaran, data dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.

1.3 Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah perwujudan atau realisasi dari perencanaan yang telah

disusun. Pada pelaksanaan tindakan keperawatan tidak ditemukan hambatan

dikarenakan klien dan keluarga kooperatif dengan perawat dan sarana prasarana

juga tersedia di ruangan, sehingga rencana tindakan dapat dilakukan. Peneliti

memberikan implementasi untuk mengurangi ketidakefektifan bersihan jalan

nafas seperti, memberikan bronkodilator, memberikan oksigen nasal kanul

3liter/mnit, melakukan tanda-tanda vital, memberikan posisi senyaman mungkin

pada klien, memberikan healt education, menganjurkan klien untuk minum air

hangat, mengajarkan klien untuk nafas dalam dan batuk efektif, melakukan

fisioterapi dada, memberikan bronkodilator dan mengauskultasi suara nafas.

Sedangkan pengobatan lain seperti penyuluhan mengenai asma, menghindari

foktor pencetus timbulnya asma, pemberian cairan, fisioterapi dan batuk efektif

(padila, 2013). Batuk efektif dapat diberikan pada pasien dengan cara diberikan

posisi senyaman mungkin pada pasien, agar pengeluaran dahak dapat encer, batuk

efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran dahak pada pasien

dengan gangguan saluran pernafasan (Nugroho, 2011). Berdasarkan data diatas


88

peneliti melihat bahwa batuk efektif, fisioterapi dada, dan pemberian

bronkodilator sangat efektif untuk klien yang menderita asma dikarenakan cara

tersebut mampu untuk memperlancar jalan nafas.

1.4 Evaluasi

Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan aktif dari proses keperawatan

dimana perawat menilai hasil yang diharapkan terhadap masalah dan menilai

sejauh mana masalah dapat diatas. Menurut Mitayati (2009) hasil dari evaluasi

diharapkan : klien mampu bernafas dengan mudah, mampu mengeluarkan sputum,

irama nafas dalam rentang normal, tidak ada suara abnormal, tanda-tanda vital

dalam rentang normal.

Evaluasi kasus Nn.D ini dilakukan evaluasi setiap hari untuk mengetahui

tercapai atau tidaknya tujuan yang diharapkan atau timbul masalah baru. Jika

belum tercapai, tindakan keperawatan bisa tetap diteruskan atau ditambahkan

tindakan keperawatan baru sesuai dengan rencana tindakan yang telah dibuat.

Evaluasi hari pertama klien masih merasa sesak, batuk, sulit mengeluarkan dahak,

dahak keluar sebagian kental warna putih kekuning-kuningan, suara wheezing

pada paru kiri atas dan tengah, ronchi pada paru kiri atas saat inspirasi dan lebih

jelas saat ekspirasi. Evaluasi hari kedua klien mengatakan sesaknya berkurang,

batuk, dahak keluar warna putih kental (sebagian keluar, sebagian tertahan), suara

wheezing pada paru kiri atas dan tengah, ronchi pada paru kiri atas saat inspirasi

dan lebih jelas saat ekspirasi. Evaluasi hari ketiga, klien mengatakan sesak

berkurang, batuk berkurang, dahak bisa keluar sebagian, klien sudah bisa tidur

siang, suara nafas hanya terdengar wheezing pada paru kiri terdengar saat

ekspirasi, pada evaluasi hari terakhir klien mengatakan sudah tidak sesak, batuk
89

berkurang, dahak bisa keluar dengan lancar, klien sudah tidak menggunakan alat

bantu nafas, suara nafas vesikular diseluruh paru, klien sudah bisa tidur nyenyak.

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan pada Nn. D selama 4 hari

dengan seluruh rencana keperawatan yang dapat terlaksana karena sesuai dengan

keadaan pasien maka peneliti dapat mengevaluasi dari setiap tindakan

keperawatan yang dilakukan yaitu frekuensi pernafasan, kemampuan

mengeluarkan sekret, suara nafas tambahan dan tanda-tanda vital dalam rentang

normal. Hasil tindakan pada klien mengalami peningkatan dan masalah

ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada klien teratasi sesuai dengan rencana

3x24 jam (3hari).

Anda mungkin juga menyukai