Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Aktivitas Matahari pada Curah Hujan ..... (Iyus Edi Rusnadi et al.

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA CURAH HUJAN DI


ATAS INDONESIA : VARIASI SIKLUS
KE SIKLUS
Iyus Edi Rusnadi, Wilson Sinambela
Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN

ABSTRACT

105 years’ rainfall data have been used to study the effect or correlation between
solar cycle and occurrence of rainfall in Indonesia. For different cycles correlation
coefficient and significance correlation coefficient for December, January, February
(DJF), March, April, May (MAM), June, July, August (JJA), September, October,
November (SON), and monthly have seen obtained. It can be concluded that: (i) Solar
cycle area affects quarterly rainfall in Indonesia, where the smaller the area of cycle, the
higher its correlation with rainfall, except monthly rainfall, and ii) Influence of solar
activity for long-range rainfall (per cycle) is better than the short-range rainfall (monthly).
This, besides caused by the sun as the biggest contributor of energy to the earth also
accumulate with other energy including those stored in cloud, as source of rain. All the
things require time, and gathered energy during one cycle, yielded enough energy to
influence rainfall in Indonesia. This research can be used to study a possibility of
physical relation between the solar activity and rainfall (number of sunspot), and
variation particle of galactic rays cosmic to the earth.

ABSTRAK

Data curah hujan selama 105 tahun telah digunakan untuk mempelajari efek
korelatif antara siklus matahari dengan kejadian curah hujan di Indonesia. Untuk
siklus yang berbeda, diperoleh koefisien korelasi dan signifikasi koefisien korelasi pada
data bulan Desember, Januari, Februari (DJF), Maret, April, Mei (MAM), Juni, Juli,
Agustus (JJA), September, Oktober, November (SON), dan bulanan. Dapat diketahui
bahwa: (i) Luas siklus matahari mempengaruhi curah hujan 3 bulanan di Indonesia, di
mana makin sempit luas siklus, korelasinya dengan curah hujan semakin tinggi, kecuali
curah hujan bulanan dan, (ii) Pengaruh aktivitas matahari untuk curah hujan jangka
panjang (per siklus) adalah lebih baik dibandingkan dengan curah hujan jangka pendek
(bulanan). Hal ini, selain disebabkan oleh matahari sebagai penyumbang energi terbesar
bagi bumi, juga terakumulasi dengan energi lain, termasuk energi yang tersimpan
dalam awan sebagai sumber hujan. Semua itu membutuhkan waktu, dan dengan
terkumpulnya energi tersebut selama satu siklus, maka energi yang dihasilkan dapat
mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Penelitian ini dapat digunakan untuk
mengetahui suatu kemungkinan adanya hubungan fisis antara kejadian curah hujan
dan aktivitas matahari (bilangan sunspot), dan perubahan partikel ”galactic cosmic rays”
ke bumi.
Kata kunci : Aktivitas matahari,Curah hujan

1 PENDAHULUAN lingkungannya. Cuaca antariksa dapat


mempengaruhi kecenderungan iklim
Aktivitas matahari menyebabkan jangka panjang. Aktivitas matahari dapat
perubahan-perubahan plasma dan partikel mempengaruhi parameter iklim, termasuk
energetik yang mempengaruhi cuaca curah hujan dengan berbagai cara dan
antariksa dan mempengaruhi Bumi dan skala waktu yang berbeda. Pertama,

1
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 1 Maret 2008:1-9

karena matahari merupakan penyumbang juga memiliki peranan penting dalam


energi terbesar bagi permukaan Bumi, menentukan pola iklim global mengingat
maka setiap ada perubahan keluaran posisi Indonesia yang terletak di daerah
radiatif matahari juga akan mempenga- ekuator (tropis) merupakan daerah
ruhi kesetimbangan energi permukaan penyerap energi matahari terbesar di
Bumi. Kedua, perubahan spektrum radiasi Bumi. Curah hujan di Indonesia juga
matahari yang bervariasi mengikuti siklus dipengaruhi oleh angin monsun yang
matahari 11 tahun, terutama pada pita digerakkan oleh adanya sel tekanan
radiasi ultraviolet (UV) matahari, penga- tinggi dan sel tekanan rendah di benua
ruhnya bertambah pada lapisan stratosfer, Asia dan Australia secara bergantian.
yang pada gilirannya dapat mempengaruhi Dalam bulan Desember-Januari-Februari
troposfer bawah (tempat fenomena iklim). (DJF) bergerak angin monsun barat atau
Terakhir, matahari dapat juga mem- barat laut yang bertiup dari sel tekanan
pengaruhi awan dan aktivitas hujan tinggi di Asia menuju sel tekanan rendah
karena terkait dengan sinar kosmik di Australia melalui Indonesia. Sebaliknya
galaksi (Galactic Cosmic Ray/GCR) yang dalam bulan Juni-Juli-Agustus bergerak
merupakan sumber ion-ion. Karena pem- angin monsun timur atau tenggara yang
bentukan awan merupakan fungsi dari bertiup dari sel tekanan tinggi di
suhu ambient, setiap perubahan dari Australia menuju tekanan rendah di Asia
suhu ambient atmosfer Bumi langsung melalui Indonesia.
mempengaruhi pembentukan tetesan air Sejumlah studi (Hiremath, dan
dan oleh karena itu mempengaruhi Mandi, 2004 dan referensi di dalamnya)
variabilitas curah hujan. menunjukkan pengaruh paksa (forcing)
Matahari adalah sebuah laborato-
matahari terhadap iklim global Bumi dan
rium plasma maha besar yang dipenuhi
lingkungan. Studi sebelumnya (Anantha
oleh medan magnetik skala besar (~ 1
Krishnan dan Parthasarathy, 1985 ; Beer
Gauss) (Hiremath dan Gokhale, 1995)
et al., 1990; Mehta dan Lau, 1997;
yang bervariasi pada suatu skala waktu
Labitzke, dan van Loon, 1997;
diffusi (~ miliar tahun) dan struktur
Parthasarathy et al., 1993; Jain dan
medan magnetik (~ 1000-3000 Gauss)
Tripathi, 1997; Haigh, 2001; Hiremath
skala kecil (~ 100-1000 km) seperti
and Mandi, 2004; Kodera, 2004;
sunspot, plage, flare, prominensi dan lain
Bhattacharya dan Nara shima 2005;
lain, yang dianggap berasal dari meka-
Hiremath, 2005) menunjukkan korelasi
nisme dinamo dengan periodisitas sekitar
kuat antara aktivitas matahari dan
22 tahun yang belum diketahui, yang
variabilitas curah hujan monsun. Pengaruh
berlangsung di bagian dalam matahari.
Siklus sunspot 11 tahunan dan magnetik aktivitas matahari terhadap curah hujan
22 tahunan merupakan fenomena yang juga memiliki karakteristik lokal yang
dominan, di permukaan matahari muncul jelas, bergantung kepada waktu, dan
juga aktivitas magnetik lain dalam skala posisi geografik. Dalam skala global,
waktu beberapa jam dan beberapa korelasi antara aktivitas matahari dan
bulan. Matahari juga menghasilkan flare curah hujan bisa positif, negatif atau
dan Coronal Mass Ejection (CME) yang tidak ada.
memindahkan energi, massa, momentum Matahari dapat mempengaruhi
dan partikel-partikel energi pada umumnya variabilitas curah hujan dengan berbagai
ke lingkungan antar planet dan pada cara. Kita bisa menduga bahwa matahari
khususnya ke lingkungan Bumi. dapat mempengaruhi awan melalui GCR
Sebagai negara maritim yang yang merupakan sumber ion-ion. Karena
terletak di wilayah ekuator, komponen pembentukan awan adalah fungsi dari
yang mempengaruhi iklim di Indonesia temperatur lingkungan (temperatur
menjadi sangat bervariasi. Indonesia ambient), setiap perubahan temperatur
ambient atmosfer Bumi langsung mem-
2
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Curah Hujan ..... (Iyus Edi Rusnadi et al.)

pengaruhi pembentukan titik-titik awan, jutnya menggunakan basis data acuan


yang pada gilirannya mempengaruhi untuk keseluruhan tahapan penelitian,
variabilitas curah hujan. yaitu deret waktu data bilangan sunspot
Tujuan dari penelitian ini adalah dan deret waktu data anomali curah
menyelidiki dampak aktivitas matahari hujan di atas Indonesia. Tahap berikutnya
pada variabilitas curah hujan di Indonesia adalah menggunakan metode korelasi
dan memperoleh model empirik variabilitas antara aktivitas matahari dan curah
cuaca antariksa pada iklim berdasarkan hujan dengan teknik analisis weighted
analisis lingkungan antariksa dan mela- wavelet Z-transform (WWZ) pada data
kukan inventarisasi dampaknya pada curah hujan yang dikelompokkan ber-
iklim Indonesia dasarkan musim basah yang terjadi
pada bulan Desember, Januari, dan
2 DATA DAN METODE Februari (DJF), dan musim kering yang
terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus
Dalam penelitian ini digunakan
(JJA) untuk mengetahui adanya sinyal-
data deret waktu aktivitas matahari
sinyal aktivitas matahari pada curah
berupa deret waktu bilangan sunspot
hujan, dan analisis korelasi empirik
dari NGDC bulanan yang bersumber dari
untuk mengetahui berapa besar pengaruh
kompilasi Royal Observatory of Belgium
aktivitas matahari pada curah hujan di
dan Sunspot Index Data Center (SIDC)
atas Indonesia.
(http://www.astro.oma.be/SIDC) dan data
Kemudian, analisis dilakukan ber-
parameter iklim berupa data anomali
dasarkan kawasan (barat, tengah, dan
curah hujan setiap bulan dari tahun
timur) dan berdasarkan posisi matahari
1900–2005 yang berasal dari situs
atau berdasarkan musim (kemarau/JJA/
http://www.ncdc.noaa.gov/ oa/ climate/
Juni-Juli-Agustus, hujan/DJF/Desember-
research/ghcn/ghcngrid_prcp.html yang
Januari-Februari, dan peralihan MAM/
diperoleh dari pengukuran dan peng-
Maret-April-Mei dan SON/September-
amatan satelit. Pembacaan data meng-
Oktober-November), dan membanding-
gunakan software berbasis fortran compiler
kannya dengan deret waktu bilangan
G77. Data keluaran berupa data rata-
sunspot. Analisis dalam perbandingan
rata bulanan anomali curah hujan global
tersebut menggunakan teknik Weighted
dengan grid 5° x 5°. Data anomali curah
Wavelet Z-Transform (WWZ), dan analisis
hujan di atas Indonesia diperoleh dengan
korelasi statistik.
cara mengekstrak data global dengan
rentang lintang geografis 7,50 LU-12,5°
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
LS dan batas bujur geografis 87,5° BT-
147,5° BT. Data anomali curah hujan Data keluaran dari situs (http://
dikelompokkan berdasarkan wilayah: www.ncdc.noaa.gov/oa/climate/research
Indonesia (7,5° LU-12,5° LS; 87,5° BT- /ghcn/ghcngrid_prcp.html) adalah berupa
data rata-rata bulanan anomali curah
147,5° BT), Indonesia Barat (7,5° LU-
hujan global dalam bentuk angka dengan
12,5° LS; 87,5° BT-102,5° BT), Indonesia
grid 5° x 5°. Pembagian wilayah menjadi
Tengah (7,5° LU-12,5° LS; 107,5° BT-
wilayah barat Indonesia (7,5° LU-12,5° LS;
117,5° BT), dan Indonesia Timur (7,5° LU-
87,5° BT-102,5° BT), tengah Indonesia
12,5° LS; 122,5° BT-147,5° BT). Data
(7,5° LU-12,5° LS; 107,5° BT-117,5° BT),
anomali curah hujan dihitung relatif
terhadap rata-rata bulanan curah hujan dan timur Indonesia (7,5° LU-12,5° LS;
dalam selang waktu tahun 1961 – 1990. 122,5° BT-147,5° BT) disesuaikan pem-
Studi literatur dilakukan sebagai bagian wilayah yang ada di Indonesia
tahap awal penelitian ini. Tahap selan- seperti terlihat pada Gambar 3-1.

3
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 1 Maret 2008:1-9

Gambar 3-1: Pembagian curah hujan berdasarkan waktu di Indonesia

Normalisasi datasunspot dancurah hujanbulananIndonesia 1900-2005


1
N o r m a lis a i

0.5
R
0

-0.5
CH
-1

1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun

Gambar 3-2: Hasil normalisasi double sunspot dan anomali curah


hujan bulanan Indonesia tahun 1900-2005

Data curah hujan (CH) bulanan curah hujan bulanan hampir memiliki
Indonesia yang dikumpulkan tahun kesamaan dengan korelasi sebesar 0,68.
1900-2005 akan dihubungkan dengan Dengan menghitung luas di
data aktivitas matahari yang diwakili bawah kurva bilangan sunspot, secara
bilangan sunspot (R), kemudian dilakukan kuantitatif menandakan adanya energi
normalisasi dengan rumus: yang terkandung yang dapat terukur oleh
Normalisasi = CHi - minimum CHi bilangannya. Hal ini terbukti pada saat
(dalam satu tahun)/Maksimum CHi – bilangannya maksimum sering dianalogi-
minimum CHi dengan CHi adalah data kan sebagai matahari aktif, dengan
anomali curah hujan bulanan ke-i. perkataan lain energi matahari yang
Normalisasi = Ri - minimum Ri terkandung saat itu memicu munculnya
(dalam satu tahun)/Maksimum Ri – flare, CME, dan lain-lain yang dapat
minimum Ri dengan Ri adalah bilangan mempengaruhi cuaca antariksa sekeli-
sunspot ke-i. lingnya, termasuk bumi. Bilangan
Pada tahun ganjil hasil normalisasi sunspot yang terangkum dalam satu
data curah hujan dikalikan dengan -1 siklus menandakan energi yang tersimpan
disesuaikan dengan data bilangan sunspot dalam siklus tersebut. Setiap data
yang dikalikan dengan -1 yang disebut bilangan sunspot bulanan diplot untuk
double sunspot. Hasilnya seperti terlihat setiap siklus dari siklus 14 hingga 23
pada Gambar 3-2. (Gambar 3-3), kemudian dihitung luas di
Dari Gambar 3-2, tampak bahwa bawah kurva untuk masing-masing siklus.
pola yang dibentuk oleh plot sunspot dan

4
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Curah Hujan ..... (Iyus Edi Rusnadi et al.)

Jumlah bilangan sunspot tahun 1900-2005 (SIDC)

300

250

200

150

100

50

14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
0
1900 1920 1940 1960 1980 2000
Tahun

Gambar 3-3: Bilangan sunspot dari SIDC tahun 1900-2005

Tabel 3-1: LUAS DI BAWAH KURVA YANG DIBENTUK DATA


CURAH HUJAN DI INDONESIA DAN BILANGAN
SUNSPOT

Panjang siklus Luas curah Luas


Siklus Tahun
(tahun) hujan siklus
14 1902-1913 12 44750,78 4468.8
15 1914-1923 10 39250,03 4459
16 1924-1933 10 28674,99 4103
17 1934-1944 11 41052,70 6700.1
18 1945-1954 10 40023,14 7515
19 1955-1964 10 42326,20 9556
20 1965-1976 12 46105,72 8494.8
21 1977-1986 10 40573,19 8301
22 1987-1996 10 37619.46 7804
23 1997-2006 10 39648.41 5828.4

Untuk melengkapi penelitian ini Berdasarkan pengolahan data


dilakukan hal yang sama untuk curah dengan menggunakan transformasi Weight
hujan, sehingga diperoleh hasil seperti Wavelet Z-transform (WWZ), muncul
terlihat pada Tabel 3-1. periodisitas yang terbatas antara 2 - 5,
Luas di bawah kurva curah hujan 9.8 – 13.89, 25 tahun yang dapat dilihat
yang dihasilkan dalam satu siklus (seperti pada Gambar 3-5. Namun untuk periode
terlihat pada Tabel 3-1) dibandingkan > 50 tahun mengalami kesulitan karena
dengan rata-rata bilangan sunspot dalam keterbatasan jumlah baris yang dihasil-
satu siklus, hasil normalisasinya dapat kan WWZ terbatas. Untuk menanggu-
dilihat pada Gambar 3-4. langinya dilakukan transformasi meng-
Dari Gambar 3-4 tampak bahwa gunakan metode Fast Fourier Transform
pola yang dibentuk oleh plot sunspot dan (FFT) dengan bantuan bahasa pemo-
curah hujan untuk siklus 14 – 23 hampir graman Matlab. Diperoleh hasil seperti
memiliki kesamaan dengan korelasi terlihat pada Gambar 3-6.
sebesar 0,89.

5
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 1 Maret 2008:1-9

Normalisasi double sunspot dan curah hujan Indonesia siklus 14-23

0.5
Normalisasi

0
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

-0.5

-1

-1.5
Siklus

Sunspot Curah hujan

Gambar 3-4: Hasil normalisasi double sunspot dan anomali curah


hujan siklus 14-23 Indonesia
50
12

3.76
10 4.35 40
2.23
PE R IO D A (T AH U N)

8
30
WWZ

9.80 13.89 20
4

25
2 10

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
PERIODA (TAHUN0
TAHUN
(a) (b)
Gambar 3-5: Analisa spektrum rata-rata bulanan anomali curah hujan di atas Indonesia
dari 1900 - 2005 a. menunjukkan puncak (periode) dan b. Kontur evolusi
periode dominan curah hujan dengan periode, ~ 25 tahun diduga berkaitan
dengan aktivitas matahari antar dekadean (interdecadal) (30-70 tahun),
periode 9.80-13.89 tahun berkaitan dengan siklus aktivitas matahari (11 th),
periode ~3.76-4.35 tahun (kuat) berkaitan dengan siklus ENSO, 2.23 tahun
diduga berkaitan dengan QBO (22-34 bulan)

Gambar 3-6: Hasil running periodisitas anomali curah


hujan bulanan Indonesia tahun 1900-2005

6
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Curah Hujan ..... (Iyus Edi Rusnadi et al.)

Pada Gambar 3-6 untuk anomali


curah hujan Indonesia secara keselu-
ruhan tidak tampak adanya periodisitas
yang bersamaan dengan siklus 11
tahunan aktivitas sunspot matahari,
namun yang berpengaruh di sini adalah
siklus magnetis aktivitas bintik matahari
(siklus Hale) dalam 22.1 tahunan dan
siklus “big fingers” mempunyai panjang-
nya 35.8 tahun (178.8 tahun “big hand”/
5 = 35.76 tahun (“big fingers”)) yang Gambar 3-9: Periodisitas curah hujan
berhubungan dengan aktivitas matahari. bulan Juni, Juli, dan
Data curah hujan tahun 1900- Agustus (JJA) 1900-2005
2005 dibagi menjadi kelompok tiga-
bulanan mewakili musim basah Desember,
Januari, dan Februari (DJF), musim
peralihan Maret, April, dan Mei (MAM),
musim kering Juni, Juli, dan Agustus
(JJA), dan musim peralihan September,
Oktober, November (SON). Dengan Fast
Fourier Transform (FFT) dalam bahasa
pemograman Matlab diperoleh hasil
seperti diperlihatkan pada Gambar 3-7
sampai dengan Gambar 3-10.
Gambar 3-10: Periodisitas curah hujan
bulan September, Oktober,
November (SON) 1900-2005

Dari Gambar 3-7 sampai dengan


Gambar 3-10 periode 2-5 tahun berkait-
an QBO dan ENSO tampak selalu ada,
periode 9-13 tahun berkaitan dengan
siklus aktivitas matahari sangat kuat di
musim peralihan JJA/SON. Untuk periode
di atas 10 tahun, periode yang dominan
adalah periode 16-18 tahun berkaitan
Gambar 3-7: Periodisitas curah hujan dengan efek pasang surut bulan dan
bulan Desember, Januari, periode 80 tahun yang berkaitan dengan
dan Februari (DJF) 1900-
siklus Gleissberg. Periode lainnya yang
2005
muncul adalah berkaitan dengan siklus
Bruckner (33-35 tahun), siklus Hale (22
tahun), dan siklus antar dekadean
(interdecadal 30-50 tahun).
Dari data curah hujan dan bilangan
sunspot, kemudian dilakukan perhitungan
koefisien rank-correlation Spearman dengan
menggunakan rumus
rs = 1 - 6Σ(Xi – Yi)2 / n(n2-1) (3-1)
Keterangan :
Gambar 3-8: Periodisitas curah hujan
bulan Maret, April, dan Mei n = banyaknya pasangan pengamatan
(MAM) 1900-2005 Xi = rank dari xi, dan
7
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 1 Maret 2008:1-9

Yi = rank dari yi MAM


b)
1
Dengan tingkat kepercayaan ber-
0.8

K o e fi s ie n k o r e la s i
dasarkan distribusi t(N-2). 0.6
Dari anomali bulanan dan rata- 0.4

rata tahunan anomali curah hujan 0.2


0
Indonesia yang dihubungkan dengan
-0.2 0 2 4 6 8 10 12 14
sunspot tahunan diperoleh koefisien -0.4
rank-correlation Spearman seperti pada -0.6

Tabel 3-2. Luas siklus/1000

Tabel 3-2: VARIASI KOEFISIEN KORELASI JJA c)


DARI SIKLUS KE SIKLUS
UNTUK VARIASI MUSIMAN 1.00
DJF, MAM, JJA, SON, DAN 0.80

K o e fi s i e n k o re l a s i
BULANAN CURAH HUJAN DI 0.60
INDONESIA 0.40
0.20
0.00
Siklus DJF MAM JJA SON Bln 0 2 4 6 8 10 12 14
-0.20
-0.40
14 -0.09 0.41 0.47 0.62 -0.52
Luas siklus/1000
15 0.59 0.75 0.55 0.68 -0.26

16 0.56 -0.45 -0.25 -0.13 0.51 SON d)


17 -0.45 0.03 -0.15 -0.61 -0.8 0.8
0.6
K o e fi s i e n k o r e l a s i

18 -0.07 0.27 -0.29 0.41 -0.45 0.4


0.2
19 -0.15 -0.03 -0.30 -0.04 -0.23
0
20 0.22 -0.2 0.23 -0.17 -0.1 -0.2 0 2 4 6 8 10 12 14
-0.4
21 -0.69 -0.15 0.83 0.23 0.41 -0.6
-0.8
22 0.00 0.33 0.46 0.31 -0.01 Luassiklus/1000

23 0.37 0.36 0.61 0.25 -0.29


BLN e)
Dari Tabel 3-2 diperoleh hubungan 0.6
antara koefisien korelasi dengan luas 0.4
K o e fi s i e n k o re l a s i

siklus (Gambar 3-11 a – 3-11e) 0.2


0
-0.2 0 2 4 6 8 10 12 14
DJF -0.4
a)
-0.6
0.80 -0.8
0.60 -1
K o e fi s i e n k o r e l a s i

0.40 Luas siklus/1000


0.20
0.00 Gambar 3-11: Plotting koefisien korelasi
-0.20 0 2 4 6 8 10 12 14 luas siklus dan anomali
-0.40 curah hujan di Indonesia
-0.60 pada musim basah, DJF
-0.80
(a), musim peralihan, MAM
Luas siklus/1000
(b), musim kering, JJA(c),
musim peralihan, SON (d),
dan bulanan (e)
8
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Curah Hujan ..... (Iyus Edi Rusnadi et al.)

Tabel 3-2 dan Gambar 3-11 jangka panjang, sementara sinyal-sinyal


menunjukkan bahwa luas siklus matahari dominan lain dengan periode sekitar 50,
mempengaruhi curah hujan 3 bulanan di (36-40) tahun, (30-35) tahun dan (20-25)
Indonesia, dimana makin sempit luas tahun terkait dengan siklus aktivitas
siklus, korelasinya dengan curah hujan matahari antar dekadean (interdecadal),
semakin tinggi, kecuali curah hujan dengan efek big fingers, siklus Bruckner,
bulanan. Dengan demikian, secara umum dan siklus magnetik Hale dari aktivitas
siklus matahari ke-14, 15, dan 16 akan matahari.
berkorelasi lebih baik dengan curah hujan
dibandingkan siklus lainnya (Gambar 3-3) DAFTAR RUJUKAN
dengan musim kering (JJA) tidak begitu
Ananthakrishnan R.; and R. Parthasarathy,
bervariasi antara korelasi yang positif
1985. J. Clim, vol. 4, pp. 149.
dan negatif.
Beer, J.; Blinov, A.; Bonani, G.; Finkel,
R.C.; Hofmann, H.J.; Lehmann, B.;
4 KESIMPULAN
Oeschger, H.; Sigg, A.; Schwander,
Tampak jelas bahwa anomali curah J.; Staffelbach, T.; Stauffer, B.;
hujan di atas Indonesia didominasi oleh Suter, M.; Wölfli, W.; 1990. Use of
pengaruh peristiwa ENSO (El Nino dan 10Be in polar ice to trace the 11-
La Nina) dan QBO (Quasi-biennial year cycle of solar activity. Nature
Oscillation) yang memiliki periode sekitar vol. 347, pp. 164-166.
2-7 tahun baik di musim basah (DJF), Bhattacharya, S.; and R. Narashimha,
musim kering (JJA) maupun musim 2005. Geophys. Res. Lett, vol. 32,
peralihan (MAM/SON). Pengaruh aktivitas pp. L05813.
matahari untuk curah hujan jangka Hiremath, K.M.; and Ghokhale, 1995.
panjang (per siklus) adalah lebih baik Astrophys. Journ, vol. 448, pp. 437.
dibandingkan dengan curah hujan jangka Hiremath.K.M.; and P. I., Mandi, 2004.
pendek (bulanan). Hal ini selain disebab- New Astronomy, vol. 9, pp. 651.
kan oleh matahari sebagai penyumbang Hiremath, K.M., 2006. Journal of
energi terbesar bagi permukaan bumi, Astronomy & Astrophysics, vol. 452,
juga oleh energi lain yang mengikutinya pp. 591-595.
akibat proses fisika matahari yang Haigh, J.D., 2001. Science, vol. 294, pp.
dilemparkan ke bumi dan energi yang 2109.
tersimpan di dalam pembentukan awan Kodera, K., 2004. Geophys. Res. Lett.,
sebagai sumber hujan. Semua itu mem- vol. 31, pp. 24209.
butuhkan waktu dan dengan terkumpul- Jain, R.M.; and S.C. Tripathy, 1997.
nya energi tersebut selama satu siklus, Mausam, vol. 48(3), pp. 405.
maka energi yang dihasilkan cukup Labitzke, K.; and H. van Loon, 1997.
untuk mempengaruhi curah hujan di Space. Science, vol. 80, pp. 393.
Indonesia. Mehta, V.; and K. M. Lau, Geophys. Res.
Adanya sinyal-sinyal kuat dengan Lett, vol. 24, 159.
periode (80-110) tahun pada sebagian Parthasarathy, B., K. Rupa Kumar; and
besar anomali curah hujan di atas A. Munnot, 1993. Proc. Indian. Acad.
Indonesia tampaknya terkait dengan Sci. (Earth Planet. Sci), vol. 102, pp.
siklus Gleissberg aktivitas matahari 121.

Anda mungkin juga menyukai