Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS AUTOKORELASI SPASIAL PADA TINGKAT

KRIMINALITAS PROVINSI JAWA TIMUR


MENGGUNAKAN INDEKS MORAN

Oleh :
ANORAGA JATAYU
A156180218

ILMU PERENCANAAN WILAYAH


SEKOLAH PASCASARJANA
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


lstilah kriminal atau kejahatan mempunyai pengertian secara yuridis-formal dan
sosiologis (Kartini Kartono,1992). Secara yuridis-formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku
yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial sifatnya, dan
melanggar hukum serta undang-undang pidana. Secara sosiologis, kejahatan adalah semua
bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-
psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang
keselamatan warga masyarakat. Secara umum, menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (1985),
terdapat empat kelompok kejahatan. Pertama adalah kelompok kejahatan terhadap hak milik
seperti perampokan, pencurian, pembegalan, pembakaran yang disengaja, dan penggelapan.
Kedua adalah kelompok kejahatan terhadap hak pribadi seperti pembunuhan, pemerkosaan,
dan penganiayaan. Ketiga adalah kelompok perilaku yang negatif menurut pandangan
masyarakat seperti perjudian, pelacuran, dan narkotika. Kemudian yang keempat adalah
kelompok pelanggaran seperti kerusuhan, dan pelanggaran lalu-lintas. Perbuatan yang
mengarah kepada tindakan kriminal atau kejahatan tidak dengan sendirinya muncul. Ada
banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan tersebut.
Survey Most Livable City Index tahun 2011 dari Ikatan Ahli Perencana (IAP),
menjelaskan memasuki dekade kedua abad 21, kota-kota Indonesia mengalami berbagai
persoalan yang berujung pada menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Permasalahan
lingkungan, sosial, kependudukan, infrastruktur, lapangan kerja, dan lain sebagainya
merupakan isu perkotaan yang seringkali bermunculan di ruang publik, baik dalam bentuk
media ataupun diseminasi publik (Hardiansah & Muttaqin, 2012). Faktor Ekonomi sebagai
katalis dari kedua objek perencanaan tersebut telah menjadikan jumlah penduduk perkotaan
secara global sudah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di kawasan pedesaan
sejak tahun 2008. Salah satu dari 9 kriteria utama survei Livable City tahun 2011 yang
dilakukan Ikatan Ahli Perencana ( IAP ) adalah Aspek Keamanan, faktor ini menempati urutan
ke-empat dari 5 aspek utama penentu tingkat kenyamanan kota dengan persentase 11,08 %,
sedangkan faktor-faktor lain yaitu Aspek ekonomi (27,97%), Aspek tata ruang (19,66%),
Aspek fasilitas pendidikan (13,29%), Aspek kebersihan (10,80%). Mayoritas warga kota
berpendapat bahwa tingkat kriminalitas merupakan permasalahan di kawasan perkotaan.
Kota – kota yang dipersepsikan memiliki tingkat kriminalitas tinggi oleh warganya adalah
Kota Makassar, Jayapura, Surabaya dan Jakarta, sedangkan kota yang dipersepsikan memiliki
tingkat kriminalitas rendah oleh warganya adalah Menado, Bandung dan Palangkaraya.
Harian Kompas edisi 16 April 2012 pernah mengangkat tema penataan kota dengan
judul “Hidup di Kota yang Anti Ruang”, dengan penekanan utama pada semakin terbatasnya
ruang gerak masyarakat metropolitan Kota Jakarta akibat perkembangan ruang kota yang tidak
teratur dan berdampak pada tingkat kriminalitas yang tinggi akibat gesekan sosial dalam
masyarakat. Gambaran dari fakta-fakta di atas cukup memberikan gambaran sederhana
bagaimana keterkaitan antara kriminalitas, dinamika ruang spasial kota dan disfungsi sosial
masyarakat menjadi salah faktor penentu tingkat kenyamanan suatu kota. Menurut Clark
(1982), Bagian dalam kota banyak mengalami kemunduran dan berbagai konotasi negatif lain
sedang bagian pinggiran dan sub urban bertambah baik. Akibat perbedaan-perbedaan
keruangan ini disebabkan oleh adanya mekanisme-mekanisme alokatif yang kuat (powerfull
allocation mechanism) di dalam kota yang menciptakan dan memaksakan timbulnya
kesenjangan (disparities) dan ketidakadilan (injustices)”.
Apabila ditinjau secara spasial, kriminalitas juga merupakan salah satu pola
aktivitas/kegiatan yang sangat terpengaruh pada faktor ruang atau tempat. Keberadaan kejadian
kriminal yang terorganisir, atau bahkan organisasi kriminal yang memiliki daerah operasi
tertentu juga mengindikasikan bahwa ada faktor dan pola spasial dalam terjadinya kriminalitas
dalam suatu wilayah itu sendiri. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan analisis
terhadap faktor spasial apakah ada hubungan atau keterkaitan spasial antara tingkat kriminalitas
di suatu cakupan wilayah tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


Kota-kota Indonesia mengalami berbagai persoalan yang berujung pada menurunnya
kualitas lingkungan perkotaan. Permasalahan lingkungan, sosial, kependudukan, infrastruktur,
lapangan kerja, dan lain sebagainya merupakan isu perkotaan yang seringkali bermunculan di
ruang publik, baik dalam bentuk media ataupun diseminasi publik. Aspek tinggi rendahnya
tingkat kriminalitas dalam suatu wilayah juga merupakan salah faktor yang menentukan
kualitas atau kenyamanan dari suatu lingkungan perkotaan itu sendiri. Berdasarkan penjelasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindak kriminalitas merupakan salah satu fenomena spasial
yang dapat dijelaskan dan dikaji lebih lanjut melalui metode dan pendekatan spasial.
Permasalahan hal yang perlu dikaji dalam pembahasan makalah ini adalah:
1. Bagaimana keterkaitan atau hubungan antara tinggi rendahnya tingkat kriminalitas di
kabupaten-kabupaten pada provinsi Jawa Timur serta pola dari peningkatan dan
penurunan tingkat kriminalitas tersebut apabila ditinjau dari sisi spasial?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah “Analisis Autokorelasi Spasial Pada Tingkat
Kriminalitas Provinsi Jawa Timur Menggunakan Indeks Moran” ini adalah untuk mengetahui
apakah terdapat keterkaitan atau hubungan antara tinggi rendahnya tingkat kriminalitas di
kabupaten-kabupaten pada provinsi Jawa Timur serta pola dari peningkatan dan penurunan
tingkat kriminalitas tersebut apabila dilihat secara spasial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Statistika Spasial


Statistika spasial adalah metode statistika yang digunakan untuk menganalisis data
spasial. Data spasial adalah data yang memuat informasi “lokasi”, jadi tidak hanya “apa” yang
diukur tetapi menunjukkan lokasi dimana data itu berada (Banerjee, 2004). Data-data spasial
dapat berupa informasi mengenai lokasi geografi seperti letak garis lintang dan garis bujur dari
masing-masing wilayah dan perbatasan antar daerah. Secara sederhana data spasial dinyatakan
sebagai informasi alamat. Dalam bentuk yang lain, data spasial dinyatakan dalam bentuk grid
koordinat seperti dalam sajian peta ataupun dalam bentuk pixel seperti dalam bentuk citra
satelit (Budiyanto, 2010). Dengan demikian pendekatan analisis statistika spasial biasa
disajikan dalam bentuk peta tematik.
Hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh W Tobler. Tobler dalam Anselin
(1993) mengemukakan bahwa, semua hal saling berkaitan satu dengan yang lainnya, tetapi
sesuatu yang dekat akan lebih berkaitan dari pada hal yang berjauhan. Hukum inilah yang
menjadi pilar mengenai kajian sains regional. Dapat disimpulkan bahwa efek spasial
merupakan hal yang wajar terjadi antara satu daerah dengan daerah yang lainnya.

2.2 Analisis Data Spasial


Data spasial adalah data yang memuat adanya informasi lokasi atau geografis dari suatu
wilayah. Menurut De Mers dalam Budiyanto (2010), analisis spasial mengarah pada banyak
macam operasi dan konsep termasuk perhitungan sederhana, klasifikasi, penataan, tumpang-
susun geometris, dan pemodelan kartografis. Secara umum analisis spasial membutuhkan suatu
data data yang berdasarkan lokasi dan memuat karakteristik dari lokasi tersebut. Analisis
spasial terdiri dari tiga kelompok yaitu visualisasi, eksplorasi, dan pemodelan. Visualisasi
adalah menginformasikan hasil analisis spasial. Eksplorasi adalah mengolah data spasial
dengan metode statistika. Sedangkan pemodelan adalah menunjukkan adanya konsep
hubungan sebab akibat dengan menggunakan metode dari sumber data spasial dan data non
spasial untuk memprediksi adanya pola spasial (Pfeiffer, 2008). Lokasi pada data spasial harus
diukur agar dapat mengetahui adanya efek spasial yang terjadi. Menurut Kosfeld (2006),
informasi lokasi dapat diketahui dari dua sumber yaitu:
1. Hubungan ketetanggaan (neighborhood)
Hubungan ketetanggaan mencerminkan lokasi relatif dari satu unit spasial atau lokasi
ke lokasi yang lain dalam ruang tertentu. Hubungan ketetanggaan dari unit-unit spasial
biasanya dibentuk berdasarkan peta. Ketetanggaan dari unit-unit spasial ini diharapkan
dapat mencerminkan derajat ketergantungan spasial yang tinggi jika dibandingkan
dengan unit spasial yang letaknya terpisah jauh.
2. Jarak (distance)
Lokasi yang terletak dalam suatu ruang tertentu dengan adanya garis lintang dan garis
bujur menjadi sebuah sumber informasi. Informasi inilah yang digunakan untuk
menghitung jarak antar titik yang terdapat dalam ruang. Diharapkan kekuatan
ketergantungan spasial akan menurun sesuai dengan jarak yang ada.

Hal yang sangat penting dalam analisis spasial adalah adanya matriks pembobot spasial.
yang digunakan untuk menentukan bobot antar lokasi yang diamati berdasarkan hubungan
ketetanggaan antar lokasi. Menurut Kosfeld (2006), terdapat beberapa jenis grid ketetanggaan,
yaitu:
a. Rook contiguity
Daerah pengamatannya ditentukan berdasarkan sisi-sisi yang saling bersinggungan dan
sudut tidak diperhitungkan. Ilustrasi rook contiguity dilihat pada Gambar 2.1, dimana
unit B1, B2, B3, dan B4 merupakan tetangga dari unit A.
Gambar 2.1 Rook Contiguity

b. Bishop contiguity
Daerah pengamatannya ditentukan berdasarkan sudut-sudut yang saling bersinggungan
dan sisi tidak diperhitungkan. Ilustrasi untuk bishop contiguity dilihat pada Gambar 2.2,
dimana unit C1, C2, C3, dan C4 merupakan tetangga dari unit A.
Gambar 2.2 Bishop Contiguity

c. Queen contiguity
Daerah pengamatannya ditentukan berdasarkan sisi-sisi yang saling bersinggungan dan
sudut juga diperhitungkan. Ilustrasi untuk queen contiguity dapat dilihat pada Gambar
2.3, dimana unit B1, B2, B3, dan B4 serta C1, C2, C3, dan C4 merupakan tetangga dari
unit A.
Gambar 2.3 Queen Contiguity

Pada umumnya ketetanggaan antar lokasi didasarkan pada sisi-sisi utama bukan
sudutnya. Menurut Kosfeld (2006), matriks pembobot spasial W dapat diperoleh dari dua cara
yaitu matriks pembobot terstandarisasi (standardize contiguity matrix W) dan matriks
pembobot tak terstandarisasi (unstandardize contiguity matrix). Matriks pembobot
terstandarisasi (standardize contiguity matrix W) merupakan matriks pembobot yang diperoleh
dengan cara memberikan bobot yang sama rata terhadap tetangga lokasi terdekat dan yang
lainnya nol, sedangkan matriks pembobot tak terstandarisasi (unstandardize contiguity matrix)
merupakan matriks pembobot yang diperoleh dengan cara memberikan bobot satu bagi
tetangga terdekat dan yang lainnya nol.
Analisis spasial sebagai analisis data dalam penelitian yang mempertimbangkan lokasi
atau jarak antar objek (Xu dan Eugene, 2015). Di dalam analisis spasial terdapat spatial pattern
atau pola spasial yang merupakan suatu pola yang berhubungan dengan penempatan objek atau
susunan benda di muka bumi. Pola spasial dapat disajikan dalam bentuk pola titik (point
pattern) dan pola area (Anselin 1995). Bentuk distribusi data pada spatial pattern antara lain
sebagai berikut:
a. Random, yaitu beberapa titik terletak secara random di beberapa lokasi. Posisi suatu
titik tidak dipengaruhi oleh posisi titik lainnya.
b. Uniform, yakni setiap titik berada secara merata dan berjauhan dengan titik-titik
lainnya.
c. Clustered, yaitu beberapa titik membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Autokorelasi Spasial


Autokorelasi spasial adalah taksiran dari korelasi antar nilai observasi yang berkaitan
dengan lokasi spasial pada variabel yang sama. Autokorelasi spasial positif menunjukkan
adanya kemiripan nilai dari lokasi-lokasi yang berdekatan dan cenderung berkelompok.
Sedangkan autokorelasi spasial yang negatif menunjukkan bahwa lokasi-lokasi yang
berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar.
Karakteristik dari autokorelasi spasial yang diungkapkan oleh Kosfeld (2006), adalah:
1. Jika terdapat pola sistematis pada distribusi spasial dari variabel yang diamati, maka
terdapat autokorelasi spasial.
2. Jika kedekatan atau ketetanggaan antar daerah lebih dekat, maka dapat dikatakan ada
autokorelasi spasial positif.
3. Autokorelasi spasial negatif menggambarkan pola ketetanggaan yang tidak sistematis.
4. Pola acak dari data spasial menunjukkan tidak ada autokorelasi spasial.

Pengukuran autokorelasi spasial untuk data spasial dapat dihitung menggunakan


metode Moran’s Index (Indeks Moran), Geary’s C, dan Tango’s excess (Pfeiffer, 2008). Pada
pembahasan makalah ini metode analisis hanya dibatasi pada metode Moran’s Index (Indeks
Moran). Pengujian secara global melalui statistik Moran’s I merupakan pengujian adanya
autokorelasi dengan asumsi lokasi sama tetapi variabel berbeda dan berbasis kovarian. Menurut
Lee dan Wong (2001) statistik Moran’s I dapat diukur dengan rumus sebagai berikut.

Dimana dan Wij merupakan matriks pembobot tidak terstandarisasi.


Apabila dinotasikan secara matriks menjadi persamaan berikut.

Dimana Wij merupakan matriks pembobot terstandarisasi.


Nilai harapan dai I yaitu:
−1
𝐸𝐸(𝐼𝐼) =
(𝑛𝑛 − 1)
Pengujian Hipotesis terhadap parameter I adalah sebagai berikut :
H0: tidak ada autokorelasi spasial
H1: terdapat autokorelasi positif (indeks Moran’s I bernilai positif)
atau
H1: terdapat autokorelasi negatif (indeks Moran’s I bernilai negatif ).
Statistik uji indeks Moran’s I diturunkan dalam bentuk statistik peubah acak normal
baku. Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam
diketahui maka Z(I) akan menyebar normal baku sebagai berikut.
𝐼𝐼 − 𝐸𝐸(𝐼𝐼)
𝑍𝑍(𝐼𝐼) =
�𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉(𝐼𝐼)
Dimana I merupakan indeks Moran’s I, Z(I) merupakan nilai statistik uji indeks
Moran’s I, E(I) adalah nilai ekspektasi indeks Moran’s I, dan Var(I) merupakan nilai varians
dari indeks Moran’s I dengan

Keterangan:
wij : elemen matriks pembobot terstandarisasi
wi. : jumlah baris ke-i pada matriks pembobot terstandarisasi
w.j : jumlah kolom ke-j pada matriks pembobot terstandarisasi
Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Z(I) > Z(∝) (autokorelasi positif)
atau Z(I) < -Z(∝) (autokorelasi negatif). Positif autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa
antar lokasi pengamatan memiliki keeratan hubungan.

3.2 Moran Scatterplot


Moran Scatterplot adalah alat yang digunakan untuk melihat hubungan antara nilai
pengamatan yang terstandarisasi dengan nilai rata-rata tetangga yang sudah terstandarisasi.
Jika digabungkan dengan garis regresi maka hal ini dapat digunakan untuk mengetahui derajat
kecocokan dan mengidentifikasi adanya outlier. Moran Scatterplot dapat digunakan untuk
mengidentifikasi keseimbangan atau pengaruh spasial (Anselin, 1993). Tipe-tipe hubungan
spasial dapat dilihat dari Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Moran Scatterplot

Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah yang
mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan
tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH), menunjukkan daerah dengan
pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III
(terletak di kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan
rendah dan dikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV
(terletak di kanan bawah) disebut High-Low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai
pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah. Moran’s
Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HH dan kuadran LL akan
cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang positif (cluster). Sedangkan Moran’s
Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung
mempunyai nilai autokorelasi spasial yang negatif.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur


Provinsi Jawa Timur merupakan satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,00o hingga
114,40o Bujur Timur dan 7,120o hingga 8,480o Lintang Selatan. Lokasi Provinsi Jawa Timur
berada di sekitar garis Khatulistiwa, maka seperti provinsi lainnya di Indonesia, wilayah ini
mempunyai perubahan musim sebanyak 2 jenis setiap tahunnya, yaitu musim kemarau dan
musim penghujan. Batas daerah, di sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kalimantan atau
tepatnya dengan Provinsi Kalimantan Selatan. Di sebelah timur berbatasan dengan Pulau Bali.
Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka yaitu Samudera Hindia. Sedangkan di
sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, wilayah Provinsi Jawa
Timur dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura. Luas
wilayah Jawa Timur mencakup 90 persen dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur,
sedangkan luas Pulau Madura hanya sekitar 10 persen. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur yang
mencapai 47.799,75 km2 habis terbagi menjadi 38 Kabupaten/Kota, 29 Kabupaten dan 9 Kota.
Gambar 4.1 Peta Batas Administrasi Provinsi Jawa Timur
Tabel 4.1 Tingkat Kriminalitas Provinsi Jawa Timur
Kepolisian Pertumbuhan
2015 2016 2017
Resort (%)
Kabupaten
Pacitan 96 114 99 0.32
Ponorogo 398 417 545 14.02
Trenggalek 234 269 455 26.95
Tulungagung 592 897 1029 23.42
Blitar 271 351 269 -3.85
Kediri 514 625 717 15.30
Malang 1178 1379 1857 20.16
Lumajang 330 406 501 18.84
Jember 1021 1746 2160 30.35
Banyuwangi 892 925 808 -5.46
Bondowoso 517 605 477 -6.14
Situbondo 800 546 438 -35.59
Probolinggo 493 738 779 19.23
Pasuruan 493 723 764 18.59
Sidoarjo 1180 1987 3805 44.20
Mojokerto 347 414 1114 39.51
Jombang 710 855 1279 25.05
Nganjuk 451 796 691 14.07
Madiun 224 289 519 33.40
Magetan 277 339 884 39.97
Ngawi 451 383 436 -2.80
Bojonegoro 397 743 539 4.36
Tuban 403 542 470 5.16
Lamongan 520 529 480 -4.25
Gresik 787 1015 617 -21.02
Bangkalan 311 355 387 10.33
Sampang 306 271 253 -10.01
Pamekasan 466 504 349 -18.44
Sumenep 266 519 350 0.23
Kota
Kediri 420 471 628 17.91
Blitar 351 348 437 9.75
Malang 2491 2747 2531 0.39
Probolinggo 182 352 840 53.20
Pasuruan 551 697 461 -15.12
Mojokerto 432 333 271 -26.30
Madiun 310 272 549 18.24
Surabaya 5191 6650 7817 18.43
Batu 226 186 141 -26.71
Provinsi Jawa Timur memiliki berbagai wilayah dengan kepadatan penduduk yang
berbeda-beda dan intensitas kegiatan yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, sebagaimana
tertulis pada tabel 4.1 dapat diketahui bahwa tingkat kriminalitas di Provinsi Jawa Timur
memiliki perbedaan yang cukup besar. Namun, terdapat kecenderungan bahwa wilayah
kabupaten/kota yang memiliki lebih banyak penduduk dan memiliki intensitas kegiatan yang
lebih banyak sebagaimana tertuang dalam RTRW, memiliki tingkat kriminalitas yang lebih
besar dibandingkan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk dan intensitas kegiatan yang
kecil. Bedasarkan tabel 4.1, tingkat kriminalitas tertinggi di Provinsi Jawa Timur terdapat pada
ibukota Provinsi Jawa Timur yaitu Kota Surabaya dengan jumlah kejadian kriminal 7817
kejadian. Hal tersebut diikuti dengan Kabupaten Sidoarjo yang bersebelahan dengan Kota
Surabaya sebesar 3805 kejadian dan Kota Malang sebesar 2531 kejadian. Sedangkan untuk
kejadian kriminal yang paling sedikit terdapat pada Kabupaten Pacitan dengan jumlah hanya
sebesar 99 kejadian dalam satu tahun.
Gambar 4.2 Peta Tingkat Kriminalitas Provinsi Jawa Timur

4.2 Matriks Pembobot Spasial


Dalam analisis spasial untuk menentukan adanya autokorelasi spasial, komponen utama
yang diperlukan adalah peta lokasi dan data spasial wilayah tersebut. Peta digunakan untuk
menentukan hubungan kedekatan antar kabupaten di Jawa Timur. Dengan demikian akan lebih
mudah untuk memberi pembobot pada masing-masing lokasi atau kabupaten. Dari peta
provinsi Jawa Timur diketahui bahwa terdapat 38 kabupaten/kota sehingga matriks pembobot
spasial akan berukuran 38x38. Metode pembobotan matriks yang digunakan adalah queen
contiguity dan cara memperoleh matriks pembobot spasial berdasarkan standardize contiguity
matrix W (matriks pembobot terstandarisasi). Standardize contiguity matrix W (matriks
pembobot terstandarisasi) diperoleh dengan cara memberikan nilai atau bobot yang sama rata
terhadap tetangga lokasi terdekat dan lokasi yang lainnya diberi bobot nol. Berdasarkan matriks
pembobot spasial, dapat diketahui jumlah tetangga lokasi yang dimiliki oleh masing-masing
kabupaten. Grafik jumlah ketetanggaan tiap kabupaten adalah sebagai berikut:
Gambar 4.3 Jumlah Ketetanggaan Tiap Kabupaten di Provinsi Jawa Timur
10

0
Pasuruan

Sampang

Kota Malang
Pacitan

Madiun

Bangkalan

Kota Mojokerto

Kota Surabaya
Trenggalek

Kediri
Malang

Ngawi
Jember

Mojokerto

Kota Blitar

Kota Probolinggo
Ponorogo

Blitar

Sidoarjo

Magetan

Tuban

Sumenep
Bondowoso

Probolinggo

Lamongan

Pamekasan
Tulungagung

Kota Batu
Banyuwangi

Situbondo

Jombang
Lumajang

Nganjuk

Gresik

Kota Pasuruan
Kota Kediri

Kota Madiun
Bojonegoro

Grafik jumlah ketetanggan merupakan grafik yang menerangkan jumlah dari lokasi
kabupaten yang berbatasan langsung sesuai dengan ketentuan queen contiguity dengan
kabupaten yang diamati. Berdasarkan gambar 4.1, dapat diketahui bahwa kabupaten yang
mempunyai batas lokasi (tetangga) terbanyak adalah Kabupaten Malang dengan jumlah 9
tetangga berdasarkan ketentuan queen contiguity dan Kabupaten Mojokerto dengan jumlah 8
tetangga. Selanjutnya kabupaten yang mempunyai batas lokasi (tetangga) paling sedikit adalah
Kabupaten Bangkalan, Sumenep, Kota Kediri, Blitar, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan yang
hanya memiliki jumlah 1 tetangga.

4.3 Indeks Moran


Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah berupa hasil analisis korelasi antar
Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki keterkaitan dalam tingkat kriminalitasnya.
Proses spatial autocorrelation digunakan untuk mengetahui pola persebaran tindakan
kriminalitas di Provinsi Jawa Timur serta untuk mengelompokkan wilayah-wilayah yang
memiliki tingkat kriminalitas tinggi maupun rendah. Hasil perhitungan autokorelasi spasial
pada tingkat kriminalitas Provinsi Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.3 Hasil Analisis Autokorelasi Spasial Tingkat Kriminalitas Provinsi Jawa Timur
Jumlah Indeks
No. Kabupaten/Kota Kejahatan (xi-x̅) (xi-x̅)2 Σwij Moran
(x) (standar)
1 Pacitan 99 -868 753424 2 4.660

2 Ponorogo 545 -422 178084 6 1.235

3 Trenggalek 455 -512 262144 3 0.897

4 Tulungagung 1029 62 3844 5 -0.080


5 Blitar 269 -698 487204 4 2.758

6 Kediri 717 -250 62500 5 0.463

7 Malang 1857 890 792100 9 -1.146

8 Lumajang 501 -466 217156 4 0.989

9 Jember 2160 1193 1423249 5 -0.734

10 Banyuwangi 808 -159 25281 3 0.157

11 Bondowoso 477 -490 240100 4 1.092

12 Situbondo 438 -529 279841 4 1.284

13 Probolinggo 779 -188 35344 7 0.449

14 Pasuruan 764 -203 41209 7 0.494

15 Sidoarjo 3805 2838 8054244 5 -0.991

16 Mojokerto 1114 147 21609 8 -0.281

17 Jombang 1279 312 97344 6 -0.389

18 Nganjuk 691 -276 76176 6 0.637

19 Madiun 519 -448 200704 6 1.376

20 Magetan 884 -83 6889 3 0.075

21 Ngawi 436 -531 281961 3 0.971

22 Bojonegoro 539 -428 183184 5 1.055

23 Tuban 470 -497 247009 2 0.562

24 Lamongan 480 -487 237169 5 1.348

25 Gresik 617 -350 122500 2 0.301

26 Bangkalan 387 -580 336400 5 1.991

27 Sampang 253 -714 509796 4 3.000

28 Pamekasan 349 -618 381924 1 0.471

29 Sumenep 350 -617 380689 2 0.937

30 Kota Kediri 628 -339 114921 2 0.287

31 Kota Blitar 437 -530 280900 1 0.322

32 Kota Malang 2531 1564 2446096 1 -0.164


33 Kota Probolinggo 840 -127 16129 1 0.040

34 Kota Pasuruan 461 -506 256036 1 0.292

35 Kota Mojokerto 271 -696 484416 1 0.682

36 Kota Madiun 549 -418 174724 1 0.202

37 Kota Surabaya 7817 6850 46922500 2 -0.466

38 Kota Batu 141 -826 682276 2 3.113


Total 36746 0 67317076 143 27.889
Indeks Moran 0.050489
E(I) -0.027027
Var (I) 0.001922
Z Hitung 1.768243

Tabel 4.3 Hasil Analisis Autokorelasi Spasial Tingkat Kriminalitas Provinsi Jawa Timur
Moran’s I Expected Index Variansi Z-Score P-Value
0,050489 -0,027027 0,001922 1,768243 0,077020

Dari hasil perhitungan autokorelasi spasial dengan menggunakan metode Moran’s


Index, maka dapat diketahui nilai-nilai berbagai parameter autokorelasi spasial, meliputi nilai
Indeks Moran 0,050489. Nilai Indeks Moran menunjukkan angka yang positif, sehingga dapat
diketahui bahwa pola spasial tingkat kriminalitas di Provinsi Jawa Timur memiliki pola
memusat/clustered. Pola clustered mengindikasikan bahwa terdapat pengelompokan dimana
tingkat kriminalitas pada suatu gugus wilayah tinggi maupun rendah. Perhitungan analisis
autokorelasi spasial menghasilkan nilai Expected Index sebesar -0,027027; nilai variansi
0,001922; nilai z-score 1,768243; dan nilai p-value 0,077020. Parameter-parameter tersebut
selanjutnya digunakan untuk perhitungan uji statistik, sehingga dapat diketahui ada atau
tidaknya autokorelasi spasial pada tingkat kriminalitas Provinsi Jawa Timur. Adapun hasil uji
statistik tingkat kriminalitas Provinsi Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Uji Signifikansi Moran’s I Tingkat Kriminalitas Provinsi Jawa Timur
Uji Statistik
Moran’s I Z(I) Z(α/2); α = 90% Keterangan
Hipotesis
Autokorelasi
Z(I) < Z((α/2);
0,050489 1,768243 1,96 positif, pola spasial
maka tolak H0
berbentuk cluster
Dalam melakukan uji statistik, perlu ditentukan hipotesis terlebih dahulu, yaitu: a) H0
= tidak terdapat autokorelasi spasial tingkat kriminalitas Provinsi Jawa Timur, b) H1 = terdapat
autokorelasi spasial tingkat kriminalitas Provinsi Jawa Timur. Pada penelitian ini, digunakan α
atau tingkat kepercayaan sebesar 90% dan didapatkan hasil bahwa z-score hitung lebih kecil
dari z-score tabel sehingga H0 ditolak. Penolakan H0 menunjukkan bahwa terdapat
autokorelasi spasial positif antar variabel tingkat kriminalitas Provinsi Jawa Timur dengan
selang kepercayaan 90%, artinya terdapat 10% kemungkinan error atau kemungkinan bahwa
pola spasial berbentuk cluster yang dihasilkan oleh data berasal dari suatu peluang yang bersifat
acak.
Gambar 4.4. Tampilan Hasil Analisis Autokorelasi Spasial Menggunakan Software ArcGIS

4.4 Moran Scatterplot


Moran scatterplot disajikan pada Gambar 4.5 berikut, titik-titik menyebar diantara
kuadran I, II, III, dan IV. Analisis Moran scatterplot dilakukan dengan software SPSS dan
Geoda, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Pada kuadran I, HH (High-High) menunjukkan bahwa daerah yang mempunyai nilai
pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi.
Kabupaten yang berada dalam kuadran I adalah Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo
2. Pada kuadran II, LH (Low-High) menunjukkan bahwa daerah yang mempunyai nilai
pengamatan rendah dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi.
Kabupaten yang berada dalam kuadran II adalah Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten
Gresik.
3. Pada kuadran III, LL (Low-low) menunjukkan bahwa daerah yang mempunyai nilai
pengamatan rendah dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah.
Tidak terdapat Kabupaten yang masuk dalam kuadran ini.
4. Pada kuadran IV, HL (High-Low) menunjukkan bahwa daerah yang mempunyai nilai
pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah.
Tidak terdapat Kabupaten yang masuk dalam kuadran ini.
5. Kabupaten yang tidak termasuk dalam kuadran-kuadran tersebut tidak memiliki
signifikansi yang cukup besar dalam perhitungan autokorelasi spasial lokal.
Gambar 4.5. Moran’s Scatterplot Tingkat Kriminalitas Provinsi Jawa Timur
Gambar 4.6. Peta Kuadran Scatterplot Moran’s Index Provinsi Jawa Timur
BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah ini adalah:


1. Terdapat kecenderungan bahwa wilayah kabupaten/kota yang memiliki lebih banyak
penduduk dan memiliki intensitas kegiatan yang lebih banyak sebagaimana tertuang
dalam RTRW, memiliki tingkat kriminalitas yang lebih besar dibandingkan
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk dan intensitas kegiatan yang kecil. Tingkat
krimminalitas tertinggi di Provinsi Jawa Timur terdapat pada Kota Surabaya yang
merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur sedangkan tingkat kriminalitas terendah
terdapat pada Kabupaten Pacitan.
2. Kabupaten dengan jumlah tetangga terbanyak adalah Kabupaten Malang dengan
jumlah 9 tetangga dan Kabupaten Mojokerto dengan jumlah 8 tetangga. Sedangkan
kabupaten yang mempunyai batas lokasi (tetangga) paling sedikit adalah Kabupaten
Bangkalan, Sumenep, Kota Kediri, Blitar, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan yang
hanya memiliki jumlah 1 tetangga.
3. Terdapat autokorelasi spasial positif pada variabel tingkat kriminalitas Provinsi Jawa
Timur dengan pola spasial yang terbentuk adalah cluster atau mengelompok. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat beberapa gugus atau cluster wilayah di Provinsi Jawa
Timur dengan tingkat kriminalitas tinggi maupun rendah yang berkaitan dengan tingkat
keamanan suatu wilayah.
4. Hasil Moran’s scatterplot menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur berdasarkan
tingkat kriminalitasnya dapat dibagi menjadi atau 4 kuadran, yaitu:
• Kuadran I merupakan kawasan High-High (wilayah dengan tingkat kriminalitas
tinggi berdekatan dengan tingkat kriminalitas tinggi lainnya), yang terdiri dari Kota
Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.
• Kuadran II merupakan kawasan Low-High (wilayah dengan tingkat kriminalitas
rendah berdekatan dengan daerah tingkat kriminalitas tinggi), yang terdiri dari
Kabupaten yang berada dalam kuadran II adalah Kabupaten Pasuruan dan
Kabupaten Gresik.
• Kuadran III merupakan kawasan Low-Low (wilayah dengan tingkat kriminalitas
rendah berdekatan dengan tingkat kriminalitas rendah lainnya), Tidak terdapat
Kabupaten yang masuk dalam kuadran ini.
• Kuadran IV merupakan kawasan High-Low (wilayah dengan tingkat kriminalitas
tinggi berdekatan dengan tingkat kriminalitas rendah), Tidak terdapat Kabupaten
yang masuk dalam kuadran ini..
DAFTAR PUSTAKA

A.C. Santago, M.E. Vidt, C.J. Tuohy, G.G. Poehling, M.T. Freehill, J.H. Jordan, R.A. Kraft,
K.R. Saul, Quantitative Analysis of Three-Dimensional Distribution and Clustering of
Intramuscular Fat in Muscles of the Rotator Cuff, Ann. Biomed. Eng. 44 (7) (2016)
2158–2167.
Ahmadi Mostafa.2003. Crime Mapping and Spatial Analysis. International Institute For Geo-
Information Science And Earth Observationenschede.The Netherlands.
Anselin, L., Exploratory Spatial Data Analysis and Geographic Information Systems,
National Center for Geographic Information and Analysis of California Santa
Barbara: CA93106,1993.
Badan Pusat Statistik. 2018. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2018. Surabaya.
Banerjee,S., Hierarchical Modeling and Analysis for Spatial Data, Chapman and Hall/CRC,
Boca Raton, 2004.
Bollerslev, T., Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity, Journal of
Econometrics, 1986, Vol. 31: 307-327.
Budiyanto, E., Sistem Informasi Geografis dengan ArcView GIS, Penerbit Andi, Yogyakarta,
2010.
C.D. Lloyd, Spatial Data Analysis: An Introduction for GIS Users, Oxford University Press,
Oxford UK, 2010.
Ebdon, David., Blackwell, B. 1985. Statistics in Geography. New Zealand Journal of
Geography.
G. Derado, F.D. Bowman, T.D. Ely, C.D. Kilts, Evaluating Functional Autocorrelation
Within Spatially Distributed Neural Processing Networks, Stat. Interface 3 (1) (2010)
45–58.
Getis, A., Ord, J. K., 1992. The Analysis of Spatial Association by Use of Distance Statistics.
Geographical Analysis Vol. 24, No. 23, 190-206.
Hardiansah & Muttaqin 2012. Survey Most Livable City Index :Pendekatan Baru Dalam
Mengukur Tingkat Kenyamanan Kota, Ikatan Ahli Perencana (IAP). Jakarta.
Kartono, Kartini (1992), Patologi Sosial, Jilid l, Edisi Baru, Cetakan lV, April, CV Rajawali,
Jakarta.
Mitchell, Andy. The ESRI Guide to GIS Analysis, Volume 2. ESRI Press, 2005.
Pfeiffer, D et al., Spatial Analysis in Epidemiologi, Oxford University Press., New York,
2008
Reksohadiprodjo, Soekanto, dan A.R. Karseno (1985), Ekonomi Perkotaan, Edisi Revisi,
Cetakan l, Maret, BPFE, Yogyakarta.
Y. Chen, On the Four Types of Weight Functions for Spatial Contiguity Matrix, Lett. Spatial
Res. Sci. 5 (2) (2012) 65–72.
Y.G. Chen, New Approaches for Calculating Moran’s Index of Spatial Autocorrelation, PLoS
One 8 (7) (2013) 14.

Anda mungkin juga menyukai