Anda di halaman 1dari 21

Kajian, Sikap

dan Press Rilis


Aliansi Rakyat
Bergerak
23 September 2019

Kajian lengkap dapat diakses di:


Bit.ly/RakyatBergerak
Kajian Aliansi
Rakyat Bergerak
“Rakyat Bergerak:
Mengajukan Klaim
atas Ruang Publik”
23 September 2019

Kajian lengkap dapat diakses di:


Bit.ly/RakyatBergerak

Rakyat Bergerak: Mengajukan
Klaim atas Ruang Publik
Reformasi: Sebuah Pintu Gerbang
21 tahun lalu, kekuasaan rezim militer Soeharto telah runtuh setelah 32
tahun berkuasa. Peristiwa tersebut menandakan ada semangat
memperjuangkan kembali demokrasi untuk rakyat. Dalam gerakan
tersebut, setidaknya terdapat beberapa poin penting yang menjadi
landasan perjuangan reformasi. Pertama, narasi besar developmentalism
rezim militer Soeharto yang telah berkontribusi terhadap tingginya angka
kemiskinan dan ketimpangan. Selanjutnya, ada semangat membebaskan
masyarakat dari cengkraman ketidakpastian hukum, menghapuskan
korupsi, penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.
Melalui latar belakang tersebut, gerakan reformasi menuntut lembaga
penyalur pendapat masyarakat harus berperan serta menampung aspirasi
pendapat masyarakat luas. Ada setidaknya enam agenda reformasi yang
menjadi tuntutan masyarakat 21 tahun silam; 1) adili Soeharto dan kroninya;
2) amandemen UUD 1945; 3) penghapusan dwi fungsi ABRI; 4) hapuskan
korupsi, kolusi, dan nepotisme; 5) pelaksanaan otonomi daerah seluas-
luasnya, dan 6) supremasi hukum. Di sisi lain, reformasi juga menjadi pintu
pembuka tata kelola negara yang lebih partisipatif.

Konteks di atas kemudian patut dijadikan refleksi bersama melihat


peristiwa-peristiwa politik di Indonesia akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK
pada 17 September 2019 menjadi paradoks besar atas salah satu agenda
reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu,
supremasi hukum sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan
buntu. Banyaknya pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan
masyarakat seolah tidak menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif. Pasal-
pasal ini meliputi aturan mengenai Makar, Kehormatan Presiden, Tindah
Pidana Korupsi (Tipikor), Hukum yang Hidup di Masyarakat, dan beberapa
pasal yang mengatur ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai sana,
saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan perundang-undangan
yang terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif.
Hadirnya RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan
terlalu mendadak dan dipaksakan. Sedangkan di sisi lain, terdapat RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual yang sempat menjadi bola panas

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
menjelang pemilu, hingga saat ini justru belum mendapat kepastian
pembahasan lebih lanjut.

Melihat hadirnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang


mengancam hak-hak sipil hampir seluruh elemen masyarakat, sudah
sepatutnya masyarakat sipil menunjukkan keberpihakan dan melepas
sekat-sekat yang ada. Akumulasi dari pola pengambilan keputusan
pemerintah di beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa saluran
aspirasi dan partisipasi masyarakat sangat dibatasi. Kemudian, ruang-ruang
bagi kebebasan sipil untuk berekspresi juga terancam dipersempit atau
bahkan tidak ada. Lalu pertanyaannya adalah, apakah seluruh rangkaian
peristiwa politik akhir-akhir ini belum cukup untuk membangun kesadaran
kita semua?

Paradoks Konsep Governance dan Policy Network: Meninjau Letak


Partisipasi Masyarakat Sipil
Kritik besar terhadap sentralisasi kekuasaan Orde Baru, sebagaimana telah
dibahas di bagian sebelumnya, kemudian memunculkan tuntutan
terbukanya keran-keran dan saluran demokrasi bagi lebih banyak pihak. Hal
ini kemudian diterjemahkan melalui pola-pola kekuasaan yang lebih
tersebar. Kekuatan pemerintah eksekutif di tataran pusat yang begitu besar
di era Orde Baru menjadi refleksi kebutuhan terhadap semangat-semangat
desentralisasi, pembagian/pemisahan kekuasaan formal, dan partisipasi
masyarakat sipil. Di sisi lain, melalui sektor tata kelola sektor publik, wacana
global telah menekan sebuah kerangka konseptual yang membuat konsep
government bergeser ke konsep governance. Government yang sarat akan
pola kekuasaan sentralistis pada entitas negara berubah ke arah
governance yang pola kekuasaannya menyebar ke banyak entitas.
Goldsmith dan Eggers  , dalam bukunya, menulis bagaimana konsep
government yang menitikberatkan pada negara sebagai entitas utama
pengelola sektor publik cenderung kaku, hierarkis, birokratis, dan tidak
mampu mengakomodasi kepentingan publik. Literatur ini kemudian
membahas bagaimana relevansi konsep governance yang menggeser tata
kelola pemerintahan yang lebih responsif, fleksibel, dan partisipatif dengan
menempatkan negara sebagai pengelola jaringan dari banyak entitas yang
ada. Dalam konsep tata kelola pemerintahan berbasis jaringan (governing
by network) dikenal konsep yang selama ini dipahami sebagai collaborative
governance, dimana kebijakan dirumuskan berdasarkan partisipasi dari

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
negara, pemerintah di tingkat lokal, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil,
dan entitas-entitas lain seperti institusi pendidikan  .

Pada susunan praktik, terdapat pola relasi yang asimetris antara pelibatan
entitas-entitas non-negara. Praktik kerangka konseptual governance
sangat dipengaruhi oleh keterlibatan policy network di tataran proses
pembuatan kebijakan. Policy network merupakan sebuah wadah yang
berisikan berbagai jenis entitas yang secara spesifik berjejaring untuk
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan negara. Policy network
banyak diisi oleh birokrat-birokrat level atas, representasi kelompok
kepentingan, akademisi kebijakan, dan aktor-aktor korporasi  . Dalam
tulisan tersebut, policy network menjadi salah satu entitas kunci proses
pembuatan kebijakan; bagaimana kebijakan diusulkan,
disusun/dirumuskan, disepakati, dan di-implementasikan. Marin dan
Mayntz  , dalam tulisannya, menulis bahwa melalui pendekatan jaringan,
kebijakan pada akhirnya jatuh pada hasil dari proses interaksi antara aktor-
aktor korporasi. Di sisi lain, kehadiran policy network sejatinya tidak
menyisakan banyak tempat bagi aktor-aktor pemerintahan formal (baca:
politisi partai, anggota parlemen, aktor-aktor eksekutif) untuk melakukan
exercise power di arena-arena formal yang selama ini menjadi 'arena
kekuasaan mereka'. Melalui pengaruh aktor-aktor sektor privat dalam
proses pembuatan kebijakan, pemerintah kemudian menjalankan peran
sebagai fasilitator dari kepentingan aktor-aktor tersebut  . Sedikitnya ruang
dalam arena-arena formal kebijakan pada akhirnya memaksa aktor-aktor
pemerintahan formal sebagaimana telah disebut sebelumnya untuk
melakukan exercise power di dalam policy network  . Pada konteks ini, sulit
memisahkan sepenuhnya antara aktor-aktor dalam parlemen ataupun
aktor-aktor dalam pemerintah eksekutif dengan aktor-aktor yang
tergabung dalam policy network.

Praktik pola-pola di atas menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar,


dimana letak partisipasi masyarakat sipil dalam proses pembuatan
kebijakan? Sebagaimana telah disinggung di bagian sebelumnya, proses
pembuatan kebijakan sangat dipengaruhi oleh kehadiran dan kepentingan
policy network yang memiliki akses langsung (direct access) terhadap aktor-
aktor formal kebijakan. Pada titik ini, partisipasi masyarakat sipil mendapat
pola akses yang begitu sempit dibandingkan dengan aktor-aktor sektor
privat ataupun elit politik dan ekonomi, baik di tataran nasional maupun

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
lokal. Konteks ini kemudian memunculkan paradoks dari konsep demokrasi
representasional yang menempatkan konstituen (masyarakat sipil) sebagai
pihak yang kepentingannya direpresentasikan oleh aktor formal dalam
parlemen. Di sisi lain, konteks tersebut juga menjadi paradoks besar dalam
narasi governance yang seharusnya membuka ruang partisipasi sipil dalam
kebijakan. Fenomena ini kemudian akan sangat relevan ketika ditinjau
melalui pendekatan jejaring yang pada akhirnya akan melihat pola relasi elit
politik dengan aktor-aktor kuat lainnya dalam jaringan oligarki.

Demokrasi dalam Pusaran Oligarki


Satu hal yang perlu dipahami bahwa negara (state) adalah sebuah arena
yang harus direbut. Negara (state) tak pernah utuh- terpadu dan state
bukanlah entitas yang homogen. State adalah arena pertarungan yang bisa
ditarik-menarik dan dimanipulasi oleh sejumlah aktor dengan
memanfaatkan berbagai aturan dan regulasi untuk kepentingan individu
dari beragam kelompok atau kelas (Tomagola, 2017). Banyak ilmuwan
dengan prespektif ekonomi-politik yang mengutarakan bahwa arena
pertarungan tersebut kini telah dikuasai oleh oligarki. Akibatnya, demokrasi
yang dijalankan dan diimajinasikan sebagai kekuasaan dalam kontrol
'demos' tidak terwujud. Justru pada akhirnya demos dipersempit hanya
menjadi voters (pemilih). Demokrasi partisipatif tidak terwujud, hanya ada
demokrasi prosedural melalui pemilihan umum. Pun melihat konteks paca
reformasi yang membawa semangat demokrasi dan supremasi sipil, masih
terdapat paradoks-paradoks dalam praktik penyelenggaraannya.

Studi Winters (2013) mengenai politik kontemporer di Indonesia


menyatakan bahwa tidak ada perubahan berarti pasca reformasi.
Menurutnya hanya satu perubahan yang hadir yaitu bahwa Indonesia tak
lagi dipimpin oleh diktaktor  Namun orang-orang lingkaran Soeharto, sanak
kerabat, dan figur-figur penting membentuk kartel politik . Lebih lanjut
sistem desentralisasi memungkinkan lingkaran lebih luas bagi para pelaku
bisnis dan elite politik memperoleh akses ke kontrak-kontrak dan konsesi.
Konsep penting yang diajukan oleh Winters (2011) dalam menteorisasikan
oligarki adalah pertahanan kekuasaan. Winters (2011) menjelaskan bahwa
oligarki memilki satu sifat mendasar yaitu akan mempertahankan
kekuasaan. Pertahanan kekuasaan terbagi menjadi dua jenis yaitu
pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Model pertahanan

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
kekayaan sebagai basis dari kekuasaan ini menentukan bagaimana oligarki
akan terdiferensiasi dalam beberapa bentuk. Satu masa oligarki bisa terlibat
langsung dalam politik, bisa juga oligarki terlibat dalam mempertahankan
kekayaan dengan senjata, pada masa yang lain tidak menggunakan senjata
melainkan memanfaatkan saluran demokrasi. Hari ini oligarki membajak
demokrasi salah satunya melalui pengendalian proses pembuatan
kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan mengendalikan institusi
demokrasi seperti partai politik dan media. Melalui pemahaman ini, konsep
oligarki pada akhirnya juga berperan dalam proses perusakan lingkungan
yang pada konteks Indonesia beberapa waktu terakhir termanifestasikan
dalam kerusakan lahan.

Senada dengan Winters, Robinson & Hadiz (2005) juga mengemukakan


bahwa pasca reformasi bukan berarti oligarki hilang. Oligarki di Indonesia
mengalami transformasi dan reorganiasai menyesuaikan dengan sistem
yang ada. Kendati sistem senteralisasi yang dijalankan oleh Orde Baru
sudah tumbang, namun elemen-elemen oligarki telah mengorganisasi dan
membentuk jejaring patornase baru yang bersifat desentralistik.
Konfigurasi oligark berubah menjadi lebih cair dan saling bersaing satu
sama lain merebutkan kekuasaan ditingkat lokal . Pada titik ini oligarki telah
menjerat demokrasi. Saluran partisipasi masyarakat untuk turut serta
dalam pengambilan keputusan dan menentukan arah kebijakan publik
menjadi tertutup. Senada dengan hal tersebut studi yang dilakukan oleh
Hanif (2017) dengan menakar kualitas dan pelembagaan demokrasi
menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia cenderung semakin liberal,
namun secara subtansial tidak demokrastis. Aspek kebebasan terlembaga
dengan baik, namun kontrol masyarakat atas kebijakan publik dan
penentuan pembangunan nasional belum dapat dilakukan secara
maksimal .

Saluran demokrasi yang seharusnya untuk mewujudkan kesejahteraan


rakyat digunakan untuk melayani oligarki. Apalagi dengan konsep good
governance yang menjadi dalih pasar/swasta dapat masuk dan ikut campur
dalam pengambilan kebijakan publik. Salah satu sarana yang digunakan
oleh oligarki adalah lewat pembentukan undang-undang. Sebab, undang-
undang yang akan menguntungkan oligark digunakan untuk melakukan
pertahanan kekuasaan (baik pertahanan kekayaan maupun pendapatan).
Hal ini penting untuk kita sadari, bahwa kadang kepentingan para oligark

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
tersembunyi dalam pasal-pasal yang ada. Pardoks yang terjadi justru
demokrasi mati melalui saluran demokrasi itu sendiri.

Rakyat Bergerak: Mengajukan Klaim atas Ruang Publik


Melihat konteks di atas, salah satu yang bisa dilakukan untuk mengajukan
kembali klaim terhadap demokrasi adalah melalui penguatan masyarakat
sipil. Berdasarkan minimnya akses vertikal yang ada, masyarakat sipil perlu
melakukan konsolidasi lebih dalam untuk merumuskan civic engagement
yang terstruktur untuk memperkuat posisinya dalam menentukan arah
kebijakan negara. Upaya untuk merebut kembali kontrol atas demokrasi
dan arah kebijakan kepada masyarakat mengarah kepada perubahan relasi
kekuasaan yang selama ini berlangsung. Pada praktiknya, proses
pembuatan kebijakan publik tidak semata-mata dilakukan oleh negara,
karena dalam arena pengelolaan urusan publik senantiasa berlangsung
pertarungan kepentingan. Terutama kepentingan dari oligark yang ingin
mempertahankan kekuasaanya seperti yang dijelaskan oleh Winters.

Lebih dalam lagi oligarki melakukan kontrol atas demokrasi dan arah
kebijakan tidak publik lewat regulasi dan aturan yang diproduksi seperti
RUU yang akhir-akhir ini meresahkan. Namun, oligarki juga melakukan
politik diskursus untuk mengklaim kebenaran tentang kebijakan publik
diambil. Wacana yang diciptakan adalah batasan-batasan tentang kriteria
bagaimana kebijakan publik diambil secara demokratis, seperti pada
konsep good governance yang didefinisikan secara instrumental seperti
nilai -nilai akuntabilitas, transparansi, dan sebagainya. Meskipun pada
praktiknya nilai tersebut tidak terlaksana secara maksmimal. Wacana yang
mempersempit hanya menekankan nilai-nilai pada good governance akan
mengabaikan praktik yang berbeda yang bisa dilakukan oleh masyarakat
sipil. Masyarakat sipil perlu keluar dari tempurung wacana yang dibuat
dengan cara melakukan tindakan menjadikan isu dan kepentingan
masyarakat yang semula terabaikan atau tereksklusi menjadi agenda dan
kepentingan publik melalui aksi maupun deliberasi . Merawat partisipasi
dalam demokrasi dalam artian mendorong kesadaran masyarakat untuk
merebut kembali akses di ruang publik, baik mengikuti proses pembuatan
keputusan, keterlibatan dalam networking civil society, merumuskan
advokasi kebijakan alternatif, atau mengisi ruang publik melalui aksi turun
ke jalan.

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Sikap Aliansi Rakyat Bergerak
Pengaruh besar elit politik dan jaringan oligarki terhadap arah kebijakan
negara telah secara historis mempersempit ruang partisipasi masyarakat
sipil. Rangkaian peristiwa politik dan lingkungan beberapa waktu terakhir
merupakan ancaman serius bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Maka
dari itu, Aliansi Rakyat Bergerak, sebagai salah satu medium gerakan
masyarakat sipil, mengajukan beberapa tuntutan yang meliputi:
1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang
terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja
disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di
Indonesia.
4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak
berpihak pada pekerja.
5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang
merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan
penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Kajian lengkap dapat diakses di:


Bit.ly/RakyatBergerak

Daftar Pustaka

 Paskarina, C. (2017). Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal. Jurnal


Prisme, 53-66.
Slater, D. (2013). Democratic Careening. World Politics.
Tomagola, T. A. (2017). Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil.
Jurnal Prisme, 101.
Winters, J. A. (2013). Oligarchy and Democracy In Indonesia. 1-23.

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Sikap Aliansi
Rakyat Bergerak
Menyatakan
Mosi Tidak Percaya
Kepada DPR dan
Elit Politik
23 September 2019

Sikap Aliansi Rakyat Bergerak
Menyatakan Mosi Tidak Percaya
Kepada DPR dan Elit Politik
Sebagai warga negara Indonesia, sejak dulu kita sudah dibuat mafhum
kalau negeri ini punya segudang masalah. Namun, yang mengejutkan, elit-
elit negara ini ternyata masih punya cara untuk menciptakan segudang lagi
masalah. Sejumlah undang-undang yang masih bermasalah seperti
RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Pertanahan seolah
dikebut untuk diloloskan begitu saja oleh DPR dan Pemerintah. Sementara
itu, undang-undang yang penting untuk segera disahkan, seperti RUU PKS,
justru dikerjakan dengan lambat. Belum lagi permasalahan Karhutla dan
kriminalisasi aktivis yang merupakan akumulasi dari ketidakmampuan elit-
elit politik negeri ini dalam menyelesaikan masalah yang sudah berulang-

GEJAYAN
ulang terjadi. Semua permasalahan ini mencapai titik nadirnya hanya
dalam waktu beberapa bulan terakhir.

MEMANGGIL
Maka dari itu, kami, warga negara yang resah akan ketidakbecusan para
pemimpin negeri ini, memutuskan bahwa saat ini adalah saat untuk
mengorganisasi diri dan kembali ke jalan. Saat ini bukan waktu untuk
membiarkan elit-elit politik negeri ini bermain-main api dengan
kepentingan mereka sendiri. Sebagai Aliansi Rakyat Bergerak, kami
memutuskan bahwa waktu bermain mereka telah habis!

 Aliansi Rakyat Bergerak Menggugat RKUHP yang Mengebiri


Demokrasi!
RKUHP membungkam demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Salah satunya,
melalui pasal yang mengatur soal “Makar”. Pasal soal makar jelas beresiko
menjadi pasal karet yang akan memberangus demokrasi. RKUHP
menjelma pasal karet yang jelas bisa digunakan untuk memberangus
kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi seluruh masyarakat sipil.
Dengan demikian, masyarakat telah kehilangan ruang aspirasi.

Pasal-pasal yang termaktub dalam RKUHP berpotensi mengkriminalisasi


seluruh masyarakat tanpa kecuali. Negara telah mengintervensi ranah
privat masyarakat. Salah satunya melalui pasal yang mempidanakan warga

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
yang ketahuan tinggal bersama tanpa hubungan suami-isteri. Pasal ini juga
beresiko mendiskriminasi kalangan yang nikahnya tak dicatat negara.

Tidak hanya soal makar, pasal-pasal dalam RKUHP bahkan


mengkriminalisasi berbagai bentuk perlakukan masyarakat atas nama zina,
hukum yang berlaku di masyarakat (living law)— yang jelas berpotensi
menjadi pasal karet, bahkan mengkriminalisasi gelandangan dengan
pidana denda satu juta rupiah. Pasal tersebut jelas bertentangan dengan
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, dimana fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh Negara.

Yang lebih problematis, edukasi terkait kesehatan reproduksi pun


diberangus habis. Dalam pasal ini, semua orang, kecuali “petugas yang
berwenang” dilarang untuk melakukan edukasi dan sosiasliasi kesehatan
reproduksi (terutama menggunakan kondom/pil). Padahal, edukasi seks
adalah hak warga negara. Selain itu, banyak pegiat edukasi seksual,
terutama berfokus pada HIV/AIDS yang tidak hanya dari kalangan “petugas
yang berwenang”. Poin-poin dalam pasal yang melarang aborsi pun sangat
problematis. Pasal tersebut dapat dibaca sebagai bentuk diskriminasi bagi
perempuan, bahkan kriminalisasi perempuan korban perkosaan yang
mengalami kehamilan dan memutuskan untuk aborsi.

Bahkan, dalam RKUHP, para pengguna narkoba turut dipidanakan.


Padahal, dalam pendekatan hukum internasional pendekatan narkotika
dilakukan terhadap kesehatan masyarakat, bukan melalui penyelesaian
tindak pidana.

Posisi KPK Diperlemah!


Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), di tahun 2018 terdapat 1087
tersangka korupsi di seluruh Indonesia. KPK saat itu menindak 454 kasus.
Sementara, kerugian negara mencapai 5,6 triliun yang terdiri dari suap (134,7
miliar), jumlah pungutan liar (6,7 miliar), dan pencucian uang (91 miliar).
Sementara, dalam Laporan Tahunan yang dilansir KPK (2018) disebutkan
bahwa ada 107 penetapan tersangka melalui Operasi Tangkap Tangan yang
dilakukan pada tahun 2018.

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Banyak pasal dalam perubahan kedua Undang Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada
Selasa, 17 September 2019 yang jelas melemahkan posisi KPK. Utamanya,
tentu saja berkait dengan pegawai KPK yang tidak lagi independen, sebab
pegawai KPK dijadikan Aparatur Sipil Negara, yakni menjadi corong
pemerintah melalui Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kebijakan tersebut jelas mencerabut prinsip independensi KPK yang
dibangun pasca Reformasi.

Dalam catatan resmi yang dilansir oleh KPK, disebutkan ada 10 isu dalam
revisi ini yang sungguh melemahkan posisi KPK sebagai lembaga
pemberantas korupsi, yakni 1) Independensi KPK terancam yang akan
terancam; 2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi; 3) Pembentukan Dewan
Pengawas yang dipilih oleh DPR; 4) Sumber penyelidik dan penyidik
dibatasi; 5) Penuntutan perkara korupsi harus melalui koordinasi dengan
Kejaksaan Agung; 6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak
lagi menjadi kriteria; 7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap
penuntutan dipangkas; 8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses
penuntutan dihilangkan; 9) KPK berwenang menghentikan penyidikan
dan penuntutan yang beresiko menciptakan potensi intervensi kasus
menjadi rawan; 10) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan
pemeriksaan LHKPN dipangkas.

KPK dijadikan lembaga eksekutif yang berada di bawah pemerintah. Ia


menjadi corong kekuasaan dalam melanggengkan aksi korupsi, yang kita
tahu telah menubuh lekat dalam sistem birokrasi di Indonesia. Saat ini, DPR
bahkan berwenang membentuk Dewan Pengawas yang nantinya diizinkan
menjadi corong utama bagi segala kebutuhan penanganan perkara,
termasuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Bahkan, KPK pun
diwajibkan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan
korupsi.

Kriminalisasi Aktivis
Bahkan, Indonesia Corruption Watch, ICW mencatat ada 91 kasus serangan
fisik dan kriminalisasi yang dialami aktivis pegiat anti-korupsi sejak tahun
1996 hingga 2019 dengan korban sebanyak 115 orang. Sebagian besar dari

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
total jumlah korban, mereka diteror dan diancam unutk dibunuh. Artinya,
aparat dan preman sering terlibat pada kasus pembungkaman para aktivis
anti-korupsi dan aktivis demokrasi.

Revisi KPK dibahas tanpa melakukan audiensi dan pelibatan dengan publik
terkait dengan revisi UU KPK, bahkan KPK sendiri pun tidak dilibatkan
dalam Revisi UU KPK ini. Hal ini jelas membuat kita bertanya-tanya, ada
kepentingan busuk apa yang menyelubung di balik revisi kejar tayang ini?
Maka, hanya ada satu cara untuk menyelesaikan segalanya, dukung KPK
sampai titik darah penghabisan!

Isu Lingkungan, Pembakaran Hutan dan Tambang


Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) menjadi rutinitas yang menyiksa
masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Di Riau, kabut asap senantiasa
singgah satu dekade terakhir. Negara seolah tidak tahu jenuh pada
penderitaan. Untuk itu, rakyat Kalimantan Barat sedang menyiapkan
gugatan kepada negara.

Bencana ini dicurigai hasil ulah manusia yang disengaja. Banyak


kejanggalan yang tampak. Pembukaan lahan dengan cara membakar
ditengarai menjadi muasal asap yang mengepung kota. Titik panas,
berdasar pantauan satelit Resource Watch, hanya berada di hutan-hutan
pinggiran lahan sawit. Sementara tanaman lain, tentu saja termasuk sawit,
tidak terbakar. Kemungkinan besar, lahan-lahan itu ditujukan untuk sawit
atau tanaman penghasil lain.

Dampak dari Karhutla sejelas gajah di pelupuk mata. Banyak nyawa


meninggal, 6000 orang terkena inspeksi pernapasan (ispa), dan pandangan
yang kabur. Jika nyatanya negara dan korporat adalah aktor di balik semua
ini, lantas ke mana masyarakat menaruh harapan untuk udara yang jernih?

RUU Ketenagakerjaan Yang Tidak Berpihak Pada Rakyat


Dalam RUU Ketenagakerjaan, pemerintah jelas tidak memperhatikan
kesejahteraan buruh. RUU Ketenagakerjaan yang dirancang demi pasar
tenaga kerja yang lebih kompetitif, secara langsung memeras keringat
buruh. Terkait pesangon misalnya, masa kerja minimal yang lebih panjang
yakni 9 tahun, jika hal tersebut diakomodasi dalam UU, maka gelombang
PHK akan terjadi di mana-mana.

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Selain itu usulan pengusaha untuk merevisi batas waktu kenaikan upah
minimum jadi dua tahun sekali jelas tidak memerhatikan kesejahteraan
buruh. Ditambah lagi, usulan pengusaha untuk merevisi ketentuan kontrak
kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun semakin memberatkan buruh dengan
segala ketidakpastiannya. Di titik ini, RUU Ketenagakerjaan jelas tidak
berpihak pada buruh, pemerintah seakan abai dan tidak peduli
kesejahteraan buruh.

Problematika RUU Pertanahan


RUU Pertanahan berpotensi menghidupkan kembali Domein Verklaring,
Praktek politik agraria era kolonial. Pada masa kolonial, Domein Verklaring
dipandang merugikan rakyat sebab pemerintah kolonial dapat menguruk
keuntungan sebesar-besarnya dengan cara memindahkan hak eigendom
rakyat kepada pihak yang meminta disertai pembayaran, singkatnya;
pemilik modal.

Praktek era kolonial bisa segera bangkit. Pengaturan hak pengelolaan telah
memberikan kewenangan yang sangat luas dan kuat bagi pihak-pihak
tertentu (Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN/D, Bank Tanah) untuk
tidak sekedar menguasai tanah dalam arti mengatur, namun juga
mempekerjasamakan dengan pihak ketiga atau swasta. Selain itu, RUU
Pertahanan memungkingkan terjadinya perampasan hak atas tanah
dengan dalih “kepentingan umum” dan “keadaan mendesak”, tanpa ada
kriteria yang terang seputar dua frasa tersebut.

Tanah-tanah adat juga terancam sebab inventarisasi hak adat yang bersifat
pasif. Masyarakat hukum adat yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan
tanah adatnya, walau pada mestinya, secara konstitusi, dibebankan pada
negara. Hal ini diperparah pula oleh ancaman kriminalisasi, 15 tahun penjara
dan denda maksimal 15 miliar, bagi orang/kelompok yang
mempertahankan tanah dari penggusuran.

RUU Pertanahan juga dipenuhi pengecualian. Misalnya, Hak Guna Usaha


(HGU) yang sudah diberikan selama 35 tahun, bisa diperpanjang dua kali
hingga total 90 tahun. Perpanjangan HGU ini melanggar aturan di pasal
sebelumnya, yang mana tertulis hanya dapat diberikan sekali. Pengecualian

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
itu, yang diberikan setelah pertimbangan umur tanaman, skala investasi,
dan daya tarik investasi, rawan oleh pemanfaatan kepentingan
orang/kelompok, tanpa peduli penentu keputusan ini di hari depan.

Tidak ada lagi semangat Reforma Agraria, salah satu tuntutan reformasi dua
dekade lalu. RUU Pertanahan hanya membuka lahan bagi oligarki.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Belum Ditetapkan


RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi permasalahan yang urgen
untuk disahkan. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tadinya
KOMNAS Perempuan menggolongkan jenis kekerasan seksual ke dalam
sembilan jenis kekerasan seksual, yang kemudian ditambahkan menjadi
lima belas berdasarkan hasil riset empiris yang dilakukan oleh KOMNAS
Perempuan yang prosesnya cukup panjang (15 tahun) sejak tahun 1998
hingga 2013. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejatinya mampu
mengakomodasi para korban yang selama ini tidak bisa terakomodasi
secara hokum. contohnya, dalam KUHP, kekerasan seksual hanya diatur
dalam konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan
perlindungan pada perempuan korban kekerasan (Sumber: Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan
Seksual, 2017).

Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual


yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu
mengakomodasi berbagai peraturan mengenai penghapusan kekerasan
seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan,
hingga penindakan pelaku. Hal tersebut penting dilakukan demi
menciptakan ruang aman demi penyintas kekerasan seksual, alih-alih
menghubungkannya dengan argumen-argumen soal zina dan segala hal
berbau moralis yang justru malah memperkosa para korban dan penyintas
kekerasan seksual untuk kedua kalinya. Sebab, acap kali, kekerasan seksual
dibicarakan di ranah privat, sehingga dianggap tak perlu diselesaikan di
publik karena memalukan, dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang
moralis.

Seharusnya, RUU PKS ini menjadi sarana untuk bisa mengakomodasi


penyintas kekerasan seksual mendapatkan rasa aman dan bebas dari

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
segala bentuk kekerasan. Maka, kita harus mendukung RUU PKS. Mari
menjadi waras dan sadar.

Dengan demikian, untuk sebuah masalah yang merongrong banyak pihak,


gerakan massa menjadi corong perlawanan. Dalam keadaan genting, aksi
massa adalah jalan satu-satunya yang membentuk kesadaran waras rakyat
untuk bergerak demi hak, keberpihakan kepada rakyat dan menyatakan
mosi tidak percaya kepada DPR dan elit politik.

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Press Rilis
Aliansi Rakyat
Bergerak
23 September 2019

Press Rilis
Aliansi Rakyat Bergerak
21 tahun lalu, kekuasaan rezim militer Soeharto telah runtuh setelah 32
tahun berkuasa. Peristiwa tersebut menandakan ada semangat
memperjuangkan kembali demokrasi untuk rakyat. Dalam gerakan
tersebut, setidaknya terdapat beberapa poin penting yang menjadi
landasan perjuangan reformasi. Pertama, narasi besar developmentalism
rezim militer Soeharto yang telah berkontribusi terhadap tingginya angka
kemiskinan dan ketimpangan. Selanjutnya, ada semangat membebaskan
masyarakat dari cengkraman ketidakpastian hukum, menghapuskan
korupsi, penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.
Melalui latar belakang tersebut, gerakan reformasi menuntut lembaga
penyalur pendapat masyarakat harus berperan serta menampung aspirasi
pendapat masyarakat luas yang lebih partisipatif.

Satu hal yang perlu dipahami bahwa negara adalah sebuah arena yang
harus direbut. Negara tak pernah utuh- terpadu dan state bukanlah entitas
yang homogen. State adalah arena pertarungan kelas yang bisa tarik-
menarik, dan juga dikuasai kelas tertentu. Di Indonesia, memperlihatkan
bahwa peta politik-ekonomi tidak ada perubahan secara radikal pasca
reformasi. Di Indonesia, pasca reformasi, peta politik-ekonomi negara justru
didominasi oleh borjuasi lokal. Hari ini oligarki membajak demokrasi salah
satunya melalui pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan
mereka masuk dan mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik
dan media. Melalui pemahaman ini, konsep oligarki pada akhirnya juga
berperan dalam proses perusakan lingkungan yang pada konteks
Indonesia beberapa waktu terakhir termanifestasikan dalam kerusakan
lahan. Sebab, undang-undang yang akan menguntungkan oligark
digunakan untuk melakukan pertahanan kekuasaan (baik pertahanan
kekayaan maupun pendapatan). Hal ini penting untuk kita sadari, bahwa
kadang kepentingan para oligark tersembunyi dalam pasal-pasal yang ada.
Pardoks yang terjadi justru demokrasi mati melalui saluran demokrasi itu
sendiri. Contoh nyata dominasi oligarki saat ini bisa dilihat dari berbagai
kejadian akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019
menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk
memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, supremasi hukum

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya
pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak
menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif. Pasal-pasal ini meliputi aturan
mengenai Makar, Kehormatan Presiden, Tindah Pidana Korupsi (Tipikor),
Hukum yang Hidup di Masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur
ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai sana, saat ini juga muncul
beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang terkesan hadir
sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif. Hadirnya RUU Pertanahan
dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan
dipaksakan. Sedangkan di sisi lain, terdapat RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual yang sempat menjadi bola panas menjelang pemilu, hingga saat ini
justru belum mendapat kepastian pembahasan lebih lanjut. Di lain sisi,
kebebasan demokrasi juga semakin diberangus melalui RKUHP dan juga
praktek-praktek kriminalisasi aktivis di berbagai sektor. Maka dari itu, atas
kondisi tersebut, kami yang tergabun dalam Aliansi Rakyat Bergerak
menyatakan sikap:
1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang
terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja
disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di
Indonesia.
4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak
berpihak pada pekerja.
5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang
merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan
penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Satukan Gerakan Rakyat!


Hancurkan Oligarki yang Menindas!

CP Aliansi: 08557660817 (Nailendra)

#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil

Anda mungkin juga menyukai