#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
menjelang pemilu, hingga saat ini justru belum mendapat kepastian
pembahasan lebih lanjut.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
negara, pemerintah di tingkat lokal, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil,
dan entitas-entitas lain seperti institusi pendidikan .
Pada susunan praktik, terdapat pola relasi yang asimetris antara pelibatan
entitas-entitas non-negara. Praktik kerangka konseptual governance
sangat dipengaruhi oleh keterlibatan policy network di tataran proses
pembuatan kebijakan. Policy network merupakan sebuah wadah yang
berisikan berbagai jenis entitas yang secara spesifik berjejaring untuk
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan negara. Policy network
banyak diisi oleh birokrat-birokrat level atas, representasi kelompok
kepentingan, akademisi kebijakan, dan aktor-aktor korporasi . Dalam
tulisan tersebut, policy network menjadi salah satu entitas kunci proses
pembuatan kebijakan; bagaimana kebijakan diusulkan,
disusun/dirumuskan, disepakati, dan di-implementasikan. Marin dan
Mayntz , dalam tulisannya, menulis bahwa melalui pendekatan jaringan,
kebijakan pada akhirnya jatuh pada hasil dari proses interaksi antara aktor-
aktor korporasi. Di sisi lain, kehadiran policy network sejatinya tidak
menyisakan banyak tempat bagi aktor-aktor pemerintahan formal (baca:
politisi partai, anggota parlemen, aktor-aktor eksekutif) untuk melakukan
exercise power di arena-arena formal yang selama ini menjadi 'arena
kekuasaan mereka'. Melalui pengaruh aktor-aktor sektor privat dalam
proses pembuatan kebijakan, pemerintah kemudian menjalankan peran
sebagai fasilitator dari kepentingan aktor-aktor tersebut . Sedikitnya ruang
dalam arena-arena formal kebijakan pada akhirnya memaksa aktor-aktor
pemerintahan formal sebagaimana telah disebut sebelumnya untuk
melakukan exercise power di dalam policy network . Pada konteks ini, sulit
memisahkan sepenuhnya antara aktor-aktor dalam parlemen ataupun
aktor-aktor dalam pemerintah eksekutif dengan aktor-aktor yang
tergabung dalam policy network.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
lokal. Konteks ini kemudian memunculkan paradoks dari konsep demokrasi
representasional yang menempatkan konstituen (masyarakat sipil) sebagai
pihak yang kepentingannya direpresentasikan oleh aktor formal dalam
parlemen. Di sisi lain, konteks tersebut juga menjadi paradoks besar dalam
narasi governance yang seharusnya membuka ruang partisipasi sipil dalam
kebijakan. Fenomena ini kemudian akan sangat relevan ketika ditinjau
melalui pendekatan jejaring yang pada akhirnya akan melihat pola relasi elit
politik dengan aktor-aktor kuat lainnya dalam jaringan oligarki.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
kekayaan sebagai basis dari kekuasaan ini menentukan bagaimana oligarki
akan terdiferensiasi dalam beberapa bentuk. Satu masa oligarki bisa terlibat
langsung dalam politik, bisa juga oligarki terlibat dalam mempertahankan
kekayaan dengan senjata, pada masa yang lain tidak menggunakan senjata
melainkan memanfaatkan saluran demokrasi. Hari ini oligarki membajak
demokrasi salah satunya melalui pengendalian proses pembuatan
kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan mengendalikan institusi
demokrasi seperti partai politik dan media. Melalui pemahaman ini, konsep
oligarki pada akhirnya juga berperan dalam proses perusakan lingkungan
yang pada konteks Indonesia beberapa waktu terakhir termanifestasikan
dalam kerusakan lahan.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
tersembunyi dalam pasal-pasal yang ada. Pardoks yang terjadi justru
demokrasi mati melalui saluran demokrasi itu sendiri.
Lebih dalam lagi oligarki melakukan kontrol atas demokrasi dan arah
kebijakan tidak publik lewat regulasi dan aturan yang diproduksi seperti
RUU yang akhir-akhir ini meresahkan. Namun, oligarki juga melakukan
politik diskursus untuk mengklaim kebenaran tentang kebijakan publik
diambil. Wacana yang diciptakan adalah batasan-batasan tentang kriteria
bagaimana kebijakan publik diambil secara demokratis, seperti pada
konsep good governance yang didefinisikan secara instrumental seperti
nilai -nilai akuntabilitas, transparansi, dan sebagainya. Meskipun pada
praktiknya nilai tersebut tidak terlaksana secara maksmimal. Wacana yang
mempersempit hanya menekankan nilai-nilai pada good governance akan
mengabaikan praktik yang berbeda yang bisa dilakukan oleh masyarakat
sipil. Masyarakat sipil perlu keluar dari tempurung wacana yang dibuat
dengan cara melakukan tindakan menjadikan isu dan kepentingan
masyarakat yang semula terabaikan atau tereksklusi menjadi agenda dan
kepentingan publik melalui aksi maupun deliberasi . Merawat partisipasi
dalam demokrasi dalam artian mendorong kesadaran masyarakat untuk
merebut kembali akses di ruang publik, baik mengikuti proses pembuatan
keputusan, keterlibatan dalam networking civil society, merumuskan
advokasi kebijakan alternatif, atau mengisi ruang publik melalui aksi turun
ke jalan.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Sikap Aliansi Rakyat Bergerak
Pengaruh besar elit politik dan jaringan oligarki terhadap arah kebijakan
negara telah secara historis mempersempit ruang partisipasi masyarakat
sipil. Rangkaian peristiwa politik dan lingkungan beberapa waktu terakhir
merupakan ancaman serius bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Maka
dari itu, Aliansi Rakyat Bergerak, sebagai salah satu medium gerakan
masyarakat sipil, mengajukan beberapa tuntutan yang meliputi:
1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang
terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja
disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di
Indonesia.
4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak
berpihak pada pekerja.
5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang
merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan
penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Daftar Pustaka
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Sikap Aliansi
Rakyat Bergerak
Menyatakan
Mosi Tidak Percaya
Kepada DPR dan
Elit Politik
23 September 2019
“
Sikap Aliansi Rakyat Bergerak
Menyatakan Mosi Tidak Percaya
Kepada DPR dan Elit Politik
Sebagai warga negara Indonesia, sejak dulu kita sudah dibuat mafhum
kalau negeri ini punya segudang masalah. Namun, yang mengejutkan, elit-
elit negara ini ternyata masih punya cara untuk menciptakan segudang lagi
masalah. Sejumlah undang-undang yang masih bermasalah seperti
RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Pertanahan seolah
dikebut untuk diloloskan begitu saja oleh DPR dan Pemerintah. Sementara
itu, undang-undang yang penting untuk segera disahkan, seperti RUU PKS,
justru dikerjakan dengan lambat. Belum lagi permasalahan Karhutla dan
kriminalisasi aktivis yang merupakan akumulasi dari ketidakmampuan elit-
elit politik negeri ini dalam menyelesaikan masalah yang sudah berulang-
GEJAYAN
ulang terjadi. Semua permasalahan ini mencapai titik nadirnya hanya
dalam waktu beberapa bulan terakhir.
MEMANGGIL
Maka dari itu, kami, warga negara yang resah akan ketidakbecusan para
pemimpin negeri ini, memutuskan bahwa saat ini adalah saat untuk
mengorganisasi diri dan kembali ke jalan. Saat ini bukan waktu untuk
membiarkan elit-elit politik negeri ini bermain-main api dengan
kepentingan mereka sendiri. Sebagai Aliansi Rakyat Bergerak, kami
memutuskan bahwa waktu bermain mereka telah habis!
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
yang ketahuan tinggal bersama tanpa hubungan suami-isteri. Pasal ini juga
beresiko mendiskriminasi kalangan yang nikahnya tak dicatat negara.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Banyak pasal dalam perubahan kedua Undang Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada
Selasa, 17 September 2019 yang jelas melemahkan posisi KPK. Utamanya,
tentu saja berkait dengan pegawai KPK yang tidak lagi independen, sebab
pegawai KPK dijadikan Aparatur Sipil Negara, yakni menjadi corong
pemerintah melalui Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kebijakan tersebut jelas mencerabut prinsip independensi KPK yang
dibangun pasca Reformasi.
Dalam catatan resmi yang dilansir oleh KPK, disebutkan ada 10 isu dalam
revisi ini yang sungguh melemahkan posisi KPK sebagai lembaga
pemberantas korupsi, yakni 1) Independensi KPK terancam yang akan
terancam; 2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi; 3) Pembentukan Dewan
Pengawas yang dipilih oleh DPR; 4) Sumber penyelidik dan penyidik
dibatasi; 5) Penuntutan perkara korupsi harus melalui koordinasi dengan
Kejaksaan Agung; 6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak
lagi menjadi kriteria; 7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap
penuntutan dipangkas; 8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses
penuntutan dihilangkan; 9) KPK berwenang menghentikan penyidikan
dan penuntutan yang beresiko menciptakan potensi intervensi kasus
menjadi rawan; 10) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan
pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Kriminalisasi Aktivis
Bahkan, Indonesia Corruption Watch, ICW mencatat ada 91 kasus serangan
fisik dan kriminalisasi yang dialami aktivis pegiat anti-korupsi sejak tahun
1996 hingga 2019 dengan korban sebanyak 115 orang. Sebagian besar dari
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
total jumlah korban, mereka diteror dan diancam unutk dibunuh. Artinya,
aparat dan preman sering terlibat pada kasus pembungkaman para aktivis
anti-korupsi dan aktivis demokrasi.
Revisi KPK dibahas tanpa melakukan audiensi dan pelibatan dengan publik
terkait dengan revisi UU KPK, bahkan KPK sendiri pun tidak dilibatkan
dalam Revisi UU KPK ini. Hal ini jelas membuat kita bertanya-tanya, ada
kepentingan busuk apa yang menyelubung di balik revisi kejar tayang ini?
Maka, hanya ada satu cara untuk menyelesaikan segalanya, dukung KPK
sampai titik darah penghabisan!
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Selain itu usulan pengusaha untuk merevisi batas waktu kenaikan upah
minimum jadi dua tahun sekali jelas tidak memerhatikan kesejahteraan
buruh. Ditambah lagi, usulan pengusaha untuk merevisi ketentuan kontrak
kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun semakin memberatkan buruh dengan
segala ketidakpastiannya. Di titik ini, RUU Ketenagakerjaan jelas tidak
berpihak pada buruh, pemerintah seakan abai dan tidak peduli
kesejahteraan buruh.
Praktek era kolonial bisa segera bangkit. Pengaturan hak pengelolaan telah
memberikan kewenangan yang sangat luas dan kuat bagi pihak-pihak
tertentu (Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN/D, Bank Tanah) untuk
tidak sekedar menguasai tanah dalam arti mengatur, namun juga
mempekerjasamakan dengan pihak ketiga atau swasta. Selain itu, RUU
Pertahanan memungkingkan terjadinya perampasan hak atas tanah
dengan dalih “kepentingan umum” dan “keadaan mendesak”, tanpa ada
kriteria yang terang seputar dua frasa tersebut.
Tanah-tanah adat juga terancam sebab inventarisasi hak adat yang bersifat
pasif. Masyarakat hukum adat yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan
tanah adatnya, walau pada mestinya, secara konstitusi, dibebankan pada
negara. Hal ini diperparah pula oleh ancaman kriminalisasi, 15 tahun penjara
dan denda maksimal 15 miliar, bagi orang/kelompok yang
mempertahankan tanah dari penggusuran.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
itu, yang diberikan setelah pertimbangan umur tanaman, skala investasi,
dan daya tarik investasi, rawan oleh pemanfaatan kepentingan
orang/kelompok, tanpa peduli penentu keputusan ini di hari depan.
Tidak ada lagi semangat Reforma Agraria, salah satu tuntutan reformasi dua
dekade lalu. RUU Pertanahan hanya membuka lahan bagi oligarki.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
segala bentuk kekerasan. Maka, kita harus mendukung RUU PKS. Mari
menjadi waras dan sadar.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
Press Rilis
Aliansi Rakyat
Bergerak
23 September 2019
“
Press Rilis
Aliansi Rakyat Bergerak
21 tahun lalu, kekuasaan rezim militer Soeharto telah runtuh setelah 32
tahun berkuasa. Peristiwa tersebut menandakan ada semangat
memperjuangkan kembali demokrasi untuk rakyat. Dalam gerakan
tersebut, setidaknya terdapat beberapa poin penting yang menjadi
landasan perjuangan reformasi. Pertama, narasi besar developmentalism
rezim militer Soeharto yang telah berkontribusi terhadap tingginya angka
kemiskinan dan ketimpangan. Selanjutnya, ada semangat membebaskan
masyarakat dari cengkraman ketidakpastian hukum, menghapuskan
korupsi, penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.
Melalui latar belakang tersebut, gerakan reformasi menuntut lembaga
penyalur pendapat masyarakat harus berperan serta menampung aspirasi
pendapat masyarakat luas yang lebih partisipatif.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa negara adalah sebuah arena yang
harus direbut. Negara tak pernah utuh- terpadu dan state bukanlah entitas
yang homogen. State adalah arena pertarungan kelas yang bisa tarik-
menarik, dan juga dikuasai kelas tertentu. Di Indonesia, memperlihatkan
bahwa peta politik-ekonomi tidak ada perubahan secara radikal pasca
reformasi. Di Indonesia, pasca reformasi, peta politik-ekonomi negara justru
didominasi oleh borjuasi lokal. Hari ini oligarki membajak demokrasi salah
satunya melalui pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan
mereka masuk dan mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik
dan media. Melalui pemahaman ini, konsep oligarki pada akhirnya juga
berperan dalam proses perusakan lingkungan yang pada konteks
Indonesia beberapa waktu terakhir termanifestasikan dalam kerusakan
lahan. Sebab, undang-undang yang akan menguntungkan oligark
digunakan untuk melakukan pertahanan kekuasaan (baik pertahanan
kekayaan maupun pendapatan). Hal ini penting untuk kita sadari, bahwa
kadang kepentingan para oligark tersembunyi dalam pasal-pasal yang ada.
Pardoks yang terjadi justru demokrasi mati melalui saluran demokrasi itu
sendiri. Contoh nyata dominasi oligarki saat ini bisa dilihat dari berbagai
kejadian akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019
menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk
memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, supremasi hukum
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya
pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak
menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif. Pasal-pasal ini meliputi aturan
mengenai Makar, Kehormatan Presiden, Tindah Pidana Korupsi (Tipikor),
Hukum yang Hidup di Masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur
ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai sana, saat ini juga muncul
beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang terkesan hadir
sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif. Hadirnya RUU Pertanahan
dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan
dipaksakan. Sedangkan di sisi lain, terdapat RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual yang sempat menjadi bola panas menjelang pemilu, hingga saat ini
justru belum mendapat kepastian pembahasan lebih lanjut. Di lain sisi,
kebebasan demokrasi juga semakin diberangus melalui RKUHP dan juga
praktek-praktek kriminalisasi aktivis di berbagai sektor. Maka dari itu, atas
kondisi tersebut, kami yang tergabun dalam Aliansi Rakyat Bergerak
menyatakan sikap:
1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang
terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja
disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di
Indonesia.
4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak
berpihak pada pekerja.
5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang
merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan
penangkapan aktivis di berbagai sektor.
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil
#RakyatBergerak #GejayanMemanggil