Anda di halaman 1dari 24

Ilmu Hubungan Internasional

Matakuliah : Metodologi Dalam Hubungan Internasional

Dosen : Ridwan Zaelani

Peran Responsibility to Protect Dalam Memberikan Legitimasi Humanitarian


Intervention Pada Konflik Libya 2011

Ahmad Furqon
114105120

2017

Hubungan Internasional
Fakultas Falsafah dan Peradaban
Universitas Paramadina
Jakarta
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Libya adalah salah satu negara timur tengah yang, secara geografis berada di sebelah utara dari
afrika. Libya berbatasan dengan Mesir di sebelah timur dan aljazair serta tunisia di sebelah barat.
Dengan jumlah penduduk 6,4 juta jiwa, Libya memiliki predikat Indeks Pembangunan Manusia tertinggi
di afrika dan Produk Domestik Bruto per kapita tertinggi di Afrika. Dengan memiliki cadangan minyak
yang banyak Libya menempati posisi ke-10 dunia dan menempati posisi ke -17 dalam produksi minyak
tertinggi dari negara-negara lain di dunia. (source : Wikipedia.com “Libya”). Minyak mentah asal Libya
yang memiliki kadar belerang rendah dihargai tinggi karena lebih mudah dan lebih murah diproses
menjadi bahan bakar, sementara sebagian besar minyak asal Arab Saudi kualitasnya lebih rendah dan
lebih sulit untuk dimurnikan. Karena kualitasnya itu, minyak Libya menjadi incaran. Tak kurang banyak
negara besar yang mengimpor minyak Libya. Tujuan ekspor minyak Libya pada tahun 2009 diantaranya
Italia (32%), Jerman (14%), Prancis (10%), China (10%), Spanyol (9%), dan AS (5%).

Dengan cadangan minyak yang melimpah dan sebagai penyuplai minyak dunia, posisi negara Libya
cukup strategis bagi negara-negara di dunia mengingat dominasi Libya di kawasan dan adanya
bargaining position Libya sebagai negara penyuplai minyak. Meski memiliki berbagai macam predikat
yang menunjukkan kemakmuran dalam kawasannya ternyata hal tersebut tidak berarti menghindarkan
Libya dari konflik internal yang merusak hampir semua lini kehidupan di Libya – politik, militer, dan
sosial – yang terus berlangsung hingga sekarang sejak 2011. Konflik Perang Sipil Libya yang sudah
memasuki Jilid II seakan tidak menemukan penyelesaian terhadap dua pemerintahan yang ada di Libya
sebagai buntut eskalasi konflik Libya yang terjadi pasca Intervensi NATO (North Atlantic Treaty
Organization) dan lengser nya Muammar Gaddafi secara de facto (Syariffudin, 2016).

Konflik di Libya tidaklah seperti konflik-konflik yang umumnya terjadi di Afrika. Karena pada
umumnya konflik yang terjadi di afrika didasari oleh masalah-masalah seperti kemiskinan, perebutan
sumber daya, etnis, agama, kedaulatan, pemerintahan yang tidak stabil, dan lain-lain (Jerry
Indrawan,2013). Konflik Libya bermula dari Fenomena Arab Spring yang menghantam negara-negara
Timur Tengah, gelombang demokratisasi yang berawal dari Tunisia memiliki efek domino yang terus
berlanjut menghantam negara-negara di timur tengah seperti Mesir, Yaman, dan Libya.(Salma, 2012).
Peristiwa ini bermula dari demonstrasi yang dilakukan oleh sebagian warga Libya di Benghazi pada
15 Februari 2011, penahanan seorang pengacara yang dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah
memicu pergerakan massa yang memprotes penahanan tersebut.(BBC, 2011) lalu hal tersebut berlanjut
menjadi gelombang demonstrasi rakyat Libya terhadap kepemimpinan Gaddafi yang telah berkuasa
selama lebih dari 41 tahun, dan menuntut pergantian kepemimpinan dan dilangsungkannya pemilihan
umum yang demokratis. Protes yang diawali dengan damai berujung pada kerusuhan antara pasukan
loyalis Gaddafi dan para demonstran, seiring dengan turunnya perintah Gaddafi kepada pasukannya
untuk menghalau massa yang protes dikarenakan eskalasi demonstrasi yang sudah menyebar hampir ke
seluruh Libya dan cukup mengkhawatirkan bagi rezim yang berkuasa. Demi mempertahankan
kepemimpinan dan kontrol nya terhadap Libya Gaddafi tidak ragu untuk mengerahkan kekuatan militer
untuk menghadapi demonstran, akibatnya adalah banyak korban berjatuhan di pihak sipil. (Jerry
Indrawan, 2013). Penggunaan militer dalam oleh Gaddafi penyelesaian konflik pada akhirnya
menimbulkan banyak korban. Konflik antara kelompok loyalis Gaddafi dan pihak oposisi diperkirakan
mengakibatkan 30.000 korban tewas dan 4000 dinyatakan menghilang. (Hufftington, 2011)

Eskalasi situasi yang terjadi di Libya pada saat itu membuat khawatir masyarakat internasional di
dunia ,konflik yang semakin parah membuat stabilitas negara Libya menjadi memburuk, hal ini tentu
menyusul pendekatan militeristik rezim Gaddafi terhadap pihak oposisi yang mana tindakan represif
Gaddafi juga mengindikasikan terjadi nya kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan rezim
Gaddafi terhadap masyarakat sipil. Untuk mengupayakan penyelesaian konflik yang di takutkan akan
berdampak semakin luas dan dianggap mampu mengganggu stabilitas perdamaian dan keamanan
kawasan serta global. Komunitas internasional melalui PBB mengambil langkah untuk mencegah terjadi
nya kejahatan terhadap kemanusiaan lebih lanjut di Libya. Dengan berpegang pada Prinsip Responsibility
to Protect. Masyarakat internasional mendesak Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi PBB no.
1970 yang berisikan pemberlakuan embargo senjata, pembekuan aset, restriksi anggota-anggota
penting pemerintahan. di ikuti dengan Resolusi DK PBB no. 1973 pada tanggal 17 Maret 2011 yang
ditambahkan Zona Larangan Terbang (no-fly zone) dengan tujuan menghentikan serangan-serangan
udara terhadap gerilyawan oposisi(Rahayu, 2012).

Negara-negara seperti Amerika, Prancis, Inggris lalu menggunakan resolusi DK PBB 1973 tersebut
sebagai legitimasi mengirim pasukan militer nya ke Libya, untuk melakukan yang di sebut Human
Intervention. Sebuah tindakan yang secara jelas menciderai kedaulatan suatu negara.( Miftachun, Peran
Responsibility to Protect (R2P) dalam konflik Libya tahun 2011). Dalam pelaksanaannya masalah muncul
ketika pendekatan militer dilakukan oleh pasukan koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat Inggris dan
Perancis (kemudian beralih ke NATO) dengan melakukan Operation Unified Protector sebagai bentuk
peacekeeping dengan mengambil alih secara penuh operasi militer di Libya dan memberlakukan no-
flying zone di wilayah Libya. Pada maret 2017 masyarakat internasional dikejutkan oleh operasi militer
yang dilakukan NATO di bawah nama “Dawn Odyssey Operation”(Rahayu, 2012). Dengan dalih
menegakkan Resolusi DK PBB no. 1973, lantas pasukan koalisi NATO mengambil alih komando dan
melakukan operasi militer yang ditujukan untuk menyerbu anggota-anggota pemerintahan Libya.

Resolusi ini sejak awal di inisiasi kan menimbulkan reaksi pro dan kontra dari negara-negara di dunia
meskipun mayoritas mendukung intervensi di Libya, negara-negara BRICs (Brazil, Russia, India, China)
ditambah jerman sebagai negara yang keberatan dengan misi intervensi di Libya karena intervensi yang
dicanangkan dianggap masih memiliki banyak kelemahan dan mampu memicu eskalasi konflik
bersenjata dan krisis kemanusiaan yang lebih buruk(kompas, 2011). Upaya penyelesaian konflik internal
suatu negara di perburuk dengan ada nya campur tangan dari pihak asing yang tentu dalam
pelaksanaannya memiliki kepentingan geopolitik dengan Libya. Kondisi geopolitik Libya dengan Amerika,
Prancis dan Inggris yang notabene adalah anggota tetap dan pemegang hak veto DK PBB menimbulkan
anggapan bahwa Operasi ini sarat akan kepentingan politik dari ketimbang misi kemanusiaan (Mutia
Zaskia, 2012).

Merujuk pada kegiatan peacekeeping di dunia, Dewan Keamanan PBB akan melibatkan Pasukan
Perdamaian dari negara anggota DK PBB maupun non anggota DK PBB serta melakukan kerja sama
dengan organisasi regional seperti NATO. Namun dalam kasus Libya. DK PBB memberikan kesempatan
secara luas kepada NATO dalam melaksanakan peacemaking tanpa didukung pasukan perdamaian yang
dibentuk oleh negara-negara anggota PBB dalam menangani konflik di Libya.(Aqsha, Kebijakan Dewan
Keamanan PBB dalam Keterlibatan NATO di Libya pada tahun 2011). Pasukan koalisi NATO memiliki
mandat untuk memantau pelaksanaan zona larangan terbang dan secara aktif melakukan perlawanan
terhadap wilayah yang ada dibawah kekuasaan para militer loyalis Gaddafi. Bahkan NATO mengklaim
telah melumpuhkan sekurang-kurangnya sepertiga kapasitas militer pemerintah Libya. Tidak sampai
disitu koalisi pasukan NATO juga mempersenjatai dan memberikan logistik kepada pihak oposisi agar
perlawanan yang dilakukan dapat mempercepat lumpuhnya paramiliter Libya. Namun apa yang di
lakukan NATO bukan tanpa cela. Serangan di yang dilancarkan di Tripoli, menimpa sebuah universitas
dan menewaskan banyak warga sipil di sana, walaupun korban di masyarakat sipil berjatuhan akibat
serangan NATO, namun dukungan komunitas internasional masih tinggi(Fitria, 2012). Meski dalam
pelaksanaannya menimbulkan korban jiwa namun penerapan humanitarian intervention tetap
mendapatkan dukungan.

Fenomena tindakan intervensi kemanusiaan yang dilakukan NATO telah berdampak kepada Libya
secara signifikan. Seiring berlangsungnya konflik perang sipil Libya jilid II, kondisi internal negara Libya
yang sudah memasuki tahun ke-enam pasca konflik Libya 2011 menjadi kian buruk tanpa perubahan
positif yang justru membawa Libya terjebak dalam kekacauan tanpa akhir(Nazaruli,2017). Tentu salah
satu penyebab kondisi ketidakstabilan Libya adalah buah hasil langkah yang di anggap menciderai
kedaulatan negara Libya yang dilaksanakan dengan dalih menegakkan resolusi DK PBB. Resolusi DK PBB
no. 1973 yang mengamanatkan pencegahan dan penghentian kekerasan yang terjadi justru membawa
Libya kepada neraka baru.

Libya yang selama 41 kepemimpinannya ter sentral di Moammar Gaddafi, pasca jatuhnya Gaddafi
Libya kehilangan sosok yang mampu untuk memimpin Libya, hal ini tentu karena pemerintahan Libya
yang terpusat pada Gaddafi hingga konflik Libya 2011 melengserkan nya dari kedudukan nya sebagai
pemimpin Libya. Pasca tewasnya Gaddafi di tangan pasukan koalisi NATO terjadi transformasi kondisi
kepemimpinan yang sebelumnya ada menjadi kondisi kekosongan kepemimpinan. Transisi
pemerintahan yang dilakukan dengan operasi militer, tidak di dukung dengan proses rekonsiliasi
terhadap kelompok-kelompok yang ada di Libya. Hal ini tentu menimbulkan babak perseteruan baru
terkait perebutan kekuasan yang ada di Libya. Meski pada awalnya resolusi no.1973 bertujuan
menghentikan kekerasan yang terjadi di Libya namun berlanjut menjadi agenda menggulingkan rezim
yang berkuasa di tangan NATO. Idealnya proses bentuk intervensi kemanusiaan tidak hanya berbentuk
coercion action seperti operasi militer. Dalam upaya penyelesaian konflik atau peacekeeping haruslah
ada rekontruksi dan rekonsiliasi sebagai bentuk dari responsibility to rebuild, yang menjadi salah satu
implementasi dari prinsip Responsibility to Protect (Santa Saragih).

1.2. Identifikasi Masalah

Pasca humanitarian intervention yang dilakukan NATO setelah dikeluarkannya Resolusi Dewan
Keamanan PBB no.1973 masih belum menemukan tanda-tanda tercapai nya tujuan awal di keluarkan
nya resolusi tersebut. Intervensi yang dilakukan NATO tentu dengan dalih menegakkan resolusi
penyelesaian konflik yang di keluarkan DK PBB tersebut. namun hingga kini Libya tidak menunjukkan
perubahan yang positif baik dalam segi pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial. tentu salah satu
penyebab nya adalah tindakan human intervention yang tidak tepat sasaran. Bahkan jika melihat prinsip
kedaulatan hal ini tentu sudah sangat menciderai kedaulatan negara Libya. NATO yang memang di
amanat kan untuk menghentikan pendekatan militer Gaddafi berujung pada penggulingan kekuasaan
rezim Libya pada saat itu. Dengan berpegang pada prinsip Responsibility to Protect NATO melakukan
Intervensi kemanusiaan, yang justru memperburuk keadaan di Libya itu sendiri. lalu bagaimana legalitas
tindakan intervensi yang dilakukan NATO di Libya pada tahun 2011. Tindakan pasukan koalisi NATO
membawa babak baru sengketa di Libya. Penegakan resolusi yang di lakukan pasukan koalisi NATO
bukan hanya memastikan perlindungan terhadap masyarakat sipil namun lebih dari itu, ikut
menentukan masa depan politik di Libya.

1.3. Pembatasan Masalah

 Tindakan Humanitarian Intervention NATO menimbulkan banyak perdebatan terkait legitimasi


dan justifikasi terhadap tindakan yang dilakukan NATO. Dengan berpegang pada prinsip
Responsibility to Protect tindakan yang melanggar kedaulatan rakyat Libya menjadi dibenarkan
meski Resolusi tersebut masih memiliki banyak kelemahan. Efektifitas humanitarian
intervention dalam penerapannya menjadi pertanyaan melihat kondisi Libya yang justru tidak
membaik. Untuk itu penulis akan membatasi permasalahan dengan fokus kepada dampak
Prinsip Responsibility to Protect dalam memberikan legitimasi Humanitarian Intervention di
negara Libya, pada konflik Libya 2011.

1.4. Perumusan Masalah

1.4.1. Bagaimana perkembangan prinsip Responsibility to Protect?


1.4.2. Bagaimana penerapan prinsip Responsibility to Protect dalam konflik Libya 2011?
1.4.3. Apa dampak Humanitarian Intervention Operation NATO dan sekutunya terhadap Libya dalam
konflik Libya 2011?
BAB II KERANGKA TEORI

Humanitarian intervention atau intervensi kemanusiaan adalah upaya dan tindakan untuk
mencegah atau menghentikan terjadi suatu pelanggaran hak asasi manusia yang berujung pada
kejahatan terhadap kemanusiaan. Humanitarian intervention bisa diartikan sebagai suatu tindakan
koersif dari suatu negara atau beberapa negara baik berupa aksi militer atau aksi non militer (embargo
ekonomi atau persenjataan, restriksi bepergian, dan sanksi ekonomi). baik dengan atau tanpa
persetujuan dari negara tersebut (negara yang mengalami internal konflik). Saving Stranger :
Humanitarian Intervention in International Society. Nicholas J. Wheeler dikatakan bahwa intervensi
kemanusiaan dapat dilihat sebagai tindakan intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional
dalam penerapan prinsip Responsibility to Protect guna mencegah dan menghentikan pelanggaran hak
asasi manusia yang berujung pada kejahatan terhadap kemanusiaan dalam satu negara, walaupun
tindakan ini dapat berarti pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara.

Humanitarian Intervention is “an act that seeks to intervene to stop a government murdering its own
people”.(Nicholas Wheeler)

Dalam buku nya Penjajahan Gaya Baru : Kontroversi Seputar Intervensi Kemanusiaan NATO di
Libya. Jerry Indrawan memaparkan bagaimana bentuk dari intervensi kemanusiaan itu memiliki berbagai
macam bentuk, bahkan terkadang dilakukan untuk penanggulangan bencana. Dalam wawancaranya
dengan Atase Pertahanan Kedutaan Besar Kanada, ia memaparkan bahwa intervensi kemanusiaan tidak
selalu berkaitan dengan intervensi militer. Intervensi yang menggunakan militer juga tidak selalu dapat
diartikan dengan kehadiran pasukan di lapangan, contohnya adalah dimana yang dilakukan hanyalah
menjaga zona larangan terbang. Dalam hal ini ada banyak cara dan metode untuk melakukan intervensi
kemanusiaan. Penggunaan militer hanyalah salah satu alat untuk mencoba usaha-usaha negosiasi.

Masih dalam buku yang sama Jerry Indrawan menjelaskan bagaimana salah satu pakar hukum
humaniter berpendapat bahwa kekuatan militer yang dilakukan dalam proses intervensi kemanusiaan
harus diartikan sebagai kekuatan militer yang berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap
penduduk sipil.

Dalam teori Humanitarian Intervention, ada empat syarat di mana sebuah intervensi dianggap
memiliki kualifikasi sebagai sebuah intervensi kemanusiaan. Pertama, harus karena adanya darurat
kemanusiaan yang tinggi sifatnya. Kedua, penggunaan kekuatan senjata harus menjadi pilihan terakhir.
Ketiga, harus memenuhi syarat proporsionalitas, dan keempat harus ada probabilitas tinggi yang
menyatakan bahwa penggunaan kekuatan senjata akan memperoleh hasil kemanusiaan yang positif.

BAB III PEMBAHASAN

Negara sebagai salah satu subjek prinsip & hukum internasional mempunyai suatu unsur
istimewa yang tidak dimiliki oleh subjek-subjek hukum internasional lainnya dan unsur tersebut adalah
kedaulatan. Kedaulatan inilah yang menjadi dasar utama dari acuan prinsip non intervensi dalam praktik
hubungan internasional. Dalam perkembangan nya negara sebagai subjek hukum internasional, negara
menjadi semakin dominan dikarenakan dalam hubungan antar negara inilah lahir prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum internasional , bahkan pada pelaksanaannya bagian terbesar dalam hukum
internasional di dominasi oleh hubungan antara negara dengan negara lainnya. Namun seiring dengan
perkembangan hukum dan prinsip internasional, komunitas internasional kerap mengalami dilema
ketika prinsip kedaulatan negara mengalami benturan dengan pelaksanaan intervensi kemanusiaan yang
ditujukan untuk menegakkan hak asasi manusia pada suatu negara jika negara tersebut dianggap telah
gagal dalam menjamin hak asasi rakyat negaranya. (Council on Foreign Affairs, the dilemma of
Humanitarian Intervention) Hal ini lah yang akhirnya membuat suatu pertanyaan tentang legalitas
keterlibatan negara-negara berdaulat lain untuk melakukan intervensi kemanusiaan di wilayah territorial
suatu negara-negara berdaulat lainnya.

Permasalahan paling mendasar dari fenomena ini adalah ada nya perbedaan pendapat dalam
menyikapi langkah Humanitarian Intervention. Salah satu perdebatan yang muncul adalah ketika
komunitas internasional terbagi menjadi dua kubu yang memperdebatkan tentang perlu atau tidaknya
melakukan intervensi. Berdasarkan hal tersebut, perdebatan mempunyai dua pandangan, di satu sisi
sebagian melihat adanya kebutuhan bagi komunitas internasional untuk melakukan intervensi jika
pemusnahan massal atau kejahatan kemanusiaan lainnya terjadi (‘intervensi kemanusiaan’ atau
humanitarian intervention), sementara di sisi lain adalah mereka yang berpegang teguh pada gagasan
tradisional mengenai “kedaulatan negara” (state sovereignty). Gagasan tradisional, ‘Westphalian’,
mengenai kedaulatan negara yang mengacu pada hak dari negara atas independensi secara politik dan
tidak mencampuri urusan negara lainnya.(Rahayu, 2012)
Hal ini tentu dikarenakan tindakan mencampuri atau mengintervensi sistem suatu negara baik
secara politik, ekonomi, social, budaya, dan militer akan berakibat pada pelanggaran prinsip kedaulatan
itu sendiri, karena pada dasarnya setiap negara berdaulat memiliki hak untuk menentukan tindakan dan
terbebas dari segala macam campur tangan pihak lain dalam menjalankan kebijakan di skala nasional
negara tersebut. Hak negara berdaulat dalam hukum internasional memiliki kedudukan yang sama di
dunia, seperti yang tertuang dalam Chapter I Article II piagam PBB ( United Nation Charter ). “All
Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the
territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the
Purposes of the United Nations.”

Prinsip sovereignty atau kedaulatan didasari oleh perjanjian Westphalia yang memuat tentang
landasan prinsip kedaulatan negara, dimana perjanjian ini menjadi dasar masyarakat internasional
modern, untuk melihat setiap negara memiliki kedaulatan penuh yang dilandasi oleh kemerdekaan dan
persamaan derajat dalam praktik hukum internasional dan hubungan internasional. Lalu komunitas
internasional melalui Montevideo Convention 1933, juga merumuskan bagaimana prinsip-prinsip dasar
negara dalam kacamata hukum internasional.1 Dari konvensi inilah lahir kualifikasi tentang suatu
negara dapat dianggap menjadi negara oleh komunitas internasional. Unsur-unsur negara yang
berdaulat dalam Konvensi Montevideo 1933 (Montevideo Convention on the Rights and Duties of States)
terdiri dari populasi yang permanen (permanent population), wilayah teritorial (defined territory) dan
pemerintahan yang berdaulat (government) dan kemampuan negara dalam melakukan hubungan
internasional (capacity to enter into relations with other states).2 Salah satu tanda terwujud nya
kedaulatan adalah ketika negara memiliki kekuasaan untuk bertindak di wilayah teritorial negara
tersebut. hal ini berarti segala macam tindakan intervensi antara negara berdaulat tidak di benarkan,
pandangan setiap negara berdaulat dan sama derajatnya inilah yang mengharuskan setiap negara
berdaulat di dunia untuk menghormati negara berdaulat lainnya.

Negara sebagai otoritas tertinggi suatu pemerintahan dalam masyarakat, ternyata masih tidak
mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Abad Ke-20 dapat dikatakan
sebagai abad ‘Pembunuhan Massal’. Jutaan manusia tewas dibunuh dan disiksa di tangan rezim-rezim
yang berkuasa dengan melakukan kejahatan-kejahatan yang dikenal sebagai pemusnahan massal,

1
http://www.jus.uio.no/english/services/library/treaties/01/1-02/rights-duties-states.xml
2
Montevideo Convention Articles 1
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis dan ini terjadi di berbagai
belahan dunia. 3

Komunitas internasional yang sejak terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945
mengupayakan untuk meniadakan pembunuhan massal, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun
pada tahun 1990an komunitas internasional seolah tidak berdaya dalam mengupayakan penyelesaian
konflik internal negara yang berujung pada genosida di Rwanda(1994) & Bosnia(1999). Konflik yang
memakan korban jiwa hingga puluhan juta masyarakat sipil. Ketidakberdaya-an komunitas internasional
disebabkan oleh upaya penyelesaian konflik yang terbentur dengan konsep kedaulatan negara dimana
rezim yang berkuasa pada saat itu berdalih bahwa peristiwa tersebut menjadi masalah dalam negeri
sehingga tidak boleh di intervensi.(Miftachun, Peran Responsibility to protect dalam konflik Libya) Sejak
saat itulah masyarakat internasional tersadar bahwa tidak selamanya prinsip kedaulatan negara dan hak
non intervensi dapat diterapkan secara mutlak, karena ini akhirnya menjadi dalih negara-negara yang
menjadi dalang kejahatan perang dalam menolak intervensi negara-negara lain dalam mengupayakan
resolusi konflik di internal negara tersebut.

Berkaitan dengan hal ini Kofi Annan sebagai Sekretaris Jenderal pada saat itu, berpendapat
bahwa prinsip kedaulatan negara di satu sisi menghalangi Dewan Keamanan untuk melakukan intervensi,
namun di sisi lain terdapat kewajiban moral dari komunitas internasional untuk bertindak tegas
terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Kedua perdebatan yang ada – prinsip kedaulatan non-
intervensi dan Humanitarian Intervention. Menimbulkan suatu kondisi yang dilematis dalam penegakan
hak asasi manusia. Dalam hal ini Kofi Annan menyatakan perlu adanya prinsip-prinsip universal yang
dapat menjadi dasar atas legitimasi intervensi kemanusiaan untuk mendukung penegakan hak asasi
manusia.(Santa M. Saragih)

Keberadaan kedaulatan negara sebagai prinsip yang bersifat fundamental dalam hukum
internasional melahirkan prinsip lain yang dinamakan prinsip non-intervensi. Prinsip non-intervensi
merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan
dalam negeri dari negara lain dalam relasi antar negara. Hal tersebut menimbulkan dilema pada
komunitas internasional yang muncul seiring dengan adanya tantangan bagi upaya perlindungan
terhadap masyarakat sipil di dunia dimana adanya konflik antara prinsip kedaulatan dan pelaksanaan

3
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi didunia seperti holocaust, pembantaian oleh khmer merah
dikamboja, pembersihan etnis di afghanistan, dll.
intervensi kemanusiaan untuk mencegah dan mengatasi kejahatan-kejahatan kemanusiaan tersebut.
(Santa M. Saragih)

Hal-hal inilah yang akhirnya melatarbelakangi lahirnya prinsip ‘Responsibility to Protect’ (R2P)
pada KTT Dunia PBB tahun 2005, yang bertujuan untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan
perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap
negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut. selain
itu komunitas international juga mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam
memenuhi tugasnya tersebut. jika, dengan berbagai sebab, suatu negara tidak mampu atau tidak
memiliki kemauan untuk memberi perlindungan bagi rakyatnya, maka hal itu menjadi tanggung jawab
komunitas internasional untuk melakukan intervensi baik dengan cara damai maupun cara keras di
bawah pengawasan Dewan Keamanan PBB. Dalam hal ini intervensi militer hanya bisa dilakukan apabila
memenuhi kriteria bahwa tindakan tersebut memiliki pembenaran yang adil, tujuan yang benar, dan
sebagai langkah terakhir dan berdasarkan dengan kewenangan yang sah dari Dewan Keamanan PBB
dalam rangka menyelamatkan masyarakat dari genosida dan juga kejahatan kemanusiaan lainnya.
(Source : International Coalition Responsibility to Protect).

Prinsip Responsibility to Protect lahir dari buah pemikiran seorang mantan diplomat asal sudan
yang menjadi perwakilan khusus PBB untuk masalah pengungsi internal, Francis Deng. Yang
selanjutnya(Source: International Coalition Responsibility to Protect). Ia berpendapat bahwa ide
mengenai ‘kedaulatan negara’ harus didasarkan bukan pada hak dari setiap negara untuk melakukan
apa yang dikehendakinya tanpa ada campur tangan internasional, tetapi kedaulatan negara harus di
dasarkan pada perlindungan terhadap rakyatnya yang tinggal di wilayah tersebut. secara sederhana,
kedaulatan negara harus di bangun di atas konsep ‘Kedaulatan sebagai tanggung jawab’ (sovereignty as
responsibility).(Rahayu, 2012) Lalu dibentuklah International Commision on Intervention and State
Sovereignty (ICISS) pada tahun 2000, oleh pemerintah Kanada yang di pimpin oleh sejumlah ahli
internasional seperti Gareth Evans dan Mohammed Sahnoun sebagai bentuk pengembangan prinsip
Responsibility to Protect atas dasar hasil pemikiran Francis Deng sebelumnya mengenai konsep
kedaulatan sebagai tanggung jawab (‘Sovereignty as Responsibility’). Dalam laporannya tahun 2001,
Komisi ini berpendapat bahwa semua negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi rakyat
mereka dari pemusnahan masaal, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan
etnis. Mereka juga berpendapat bahwa komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk
membantu negara untuk melindungi rakyatnya dari keempat kejahatan tersebut. Jika suatu negara gagal
memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dari pembunuhan massal atau bentuk-bentuk kejahatan
kemanusiaan lainnya, maka komunitas internasional harus mengambil tanggung jawab untuk
melindungi masyarakat. Dalam rangka perlindungan itu, komunitas internasional juga harus
menggunakan serangkaian cara diplomatik, ekonomi dan hukum, dan penggunaan kekuatan militer
sebagai upaya terakhir dalam situasi yang sangat ekstrem atau mendesak.(source: International
Coalition Resposibility to Protect)

Laporan ICISS menandai perubahan tentang bagaimana komunitas internasional harus


merespon krisis kemanusiaan. “Responsibility to Protect” berarti, sementara setiap pemerintah negara
memegang tanggung jawab utama dalam melindungi rakyatnya, tanggung jawab ini beralih kepada
komunitas internasional ketika negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi
rakyatnya. Responsibility to Protect kemudian menjadi cara untuk menyatukan dua konsep kedaulatan
negara dan perlindungan masyarakat di dalam krisis kemanusiaan.

Pada bulan April 2006, Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali ketentuan−ketentuan
dalam paragraph 138 dan 139 di atas dalam Resolusi S/Res/1674 sebagai bentuk dukungan formal
terhadap norma Responsibility to Protect di atas. Perkembangan norma Responsibility to Protect
selanjutnya terjadi pada bulan Januari 2009, ketika Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki−moon mengeluarkan
suatu laporan yang disebut “Implementing the Responsibility to Protect”. (Santa M. Saragih).

Tanggung jawab dalam perlindungan (responsibility to protect) terbagi menjadi 3 pilar antara lain:

1. Responsibility to prevent (pencegahan): pencegahan konflik adalah tujuan mendasar dari


PBB. Keseluruhan tujuan dari penjaga perdamaian PBB tumbuh dari keyakinan sekjen bahwa
organisasi dunia dapat berperan lebih dalam perdamaian dan keamanan internasional
terutama dalam pencegahan dan penyelesaian konflik bersenjata.
2. Responsibility to react (bereaksi): merupakan tanggung jawab untuk merespons situasi-
situasi yang memaksa dilakukannya langkah-langkah yang tepat demi kepentingan
kemanusiaan, yang dapat berupa upaya paksa seperti sanksi-sanksi dan penuntutan
internasional, dan dalam kasus yang ekstrem dapat berupa intervensi militer.
3. Responsibility to rebuild (pemulihan): adalah tanggung jawab untuk melakukan pemulihan,
rekonsiliasi & rekontruksi setelah intervensi militer.

Sebagai tambahan atas ketiga pilar ini, laporan Sekretaris-Jenderal PBB juga menekankan pada
pentingnya memperbaiki kapasitas peringatan dini. Peringatan dini untuk konflik yang akan segera
pecah, seperti dikatakan oleh Sekretaris-Jenderal PBB, akan menjadi penting bagi prinsip “Responsibility
to Protect” karena tujuannya adalah untuk mencegah kejahatan massal sebelum semuanya itu terjadi.

Pemaparan tentang konsep Responsibility to Protect di atas telah memberikan jawaban terhadap
suatu tantangan baru dalam hukum internasional. Paradigma kedaulatan negara telah mengalami
perubahan dari suatu unsur yang bersifat absolut dan tidak dapat digugat menjadi suatu tanggung jawab
mutlak untuk melindungi warga negaranya. Negara dan warga negara memiliki hubungan hukum yang
bersifat timbal balik dalam wujud "kewarganegaraan". Kewarganegaraan menimbulkan suatu kewajiban
dan hak yang seimbang antar negara dengan warga negaranya. Rasio hukum ini semakin memperkuat
dasar untuk mengimplementasikan konsep Responsibility to Protect.

A. Penerapan Responsibility to Protect pada konflik Libya 2011

Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh rakyat Libya adalah dampak meletusnya revolusi di
kawasan Timur Tengah. Tinggi nya rasa ketidakpuasan rakyat akan kinerja dan ke sewenang-wenangan
pemerintah yang tidak memperdulikan rakyatnya menjadi faktor utama terjadinya protes. Momentum
Arab Spring yang berhasilnya mewadahi terjadinya revolusi di Mesir dan Tunisia digunakan kelompok-
kelompok oposisi di Libya untuk segera mengorganisir pergerakan dan aksi-aksi demonstrasi dengan
harapan bahwa gelombang demokratisasi yang terjadi di kawasan timur tengah dapat mempengaruhi
perubahan sistem yang ada di negara Libya.

Aidan Herir dalam buku Libya: The Responsibility to Protect and the future of Humanitarian
Intervention menjabarkan bagaimana meski berhasil dalam menumbangkan rezim pemerintahan Mesir
dan Tunisia, fenomena arab spring yang membawa harapan demokratisasi bagi rakyat Libya, yang dalam
prosesnya rakyat Libya di hadapkan dengan situasi yang cukup sulit. Gaddafi sebagai rezim
pemerintahan yang berkuasa selama lebih dari 42 tahun menilai protes-protes tersebut sebagai bentuk
perlawanan terhadap pemerintahannya, dalam hal itu Gaddafi memerintahkan para loyalis nya untuk
menghadapi demonstran dengan tindakan represif. Gaddafi bahkan mulai menggunakan kekuatan-
kekuatan militernya untuk menekan demonstran yang kemudian menjadi pasukan pemberontak.

Ditandai dengan demonstrasi menuntut pembebasan seorang pengacara sekaligus aktivis hak asasi
manusia, skala dan intensitas demonstrasi terus meningkat. Para demonstran lalu menyerukan
pergantian kepemimpinan dan dilangsungkannya pemilihan umum yang demokratis. Awalnya protes
berlangsung dengan damai, namun dalam beberapa hari jumlah warga yang protes semakin banyak.
pada tanggal 17 Februari, terjadi protes besar-besaran dan dalam kurun waktu sekitar seminggu, protes
merebak hampir ke seantero negeri. Meningkatnya jumlah masyarakat yang turun ke jalan untuk
melakukan protes ini tentu saja membuat Gaddafi khawatir. Oleh sebab itu, Gaddafi memerintahkan
Aparatur negara seperti polisi dan militer untuk menghalau demonstrasi. Demonstrasi yang semula
berlangsung dengan damai berubah menjadi kerusuhan dan menimbulkan korban jiwa di kedua belah
pihak. Gaddafi juga berusaha untuk membatasi ruang gerak warga yang protes dengan melakukan
sensor dan memutus jalur komunikasi. Rakyat Libya yang pada awalnya hanya memberikan dukungan-
dukungan moril, mulai tergerak untuk ikut bergabung dalam demonstrasi pergantian rezim menyusul
banyak jatuh nya korban akibat tindakan represif aparat negara. Eskalasi konflik yang begitu cepat
meluas membuat Gaddafi semakin keras dalam merespons demonstran, Gaddafi bahkan
memerintahkan untuk mengambil tindakan keras dalam menghadapi demonstran-demonstran yang
tidak mau tunduk terhadap pemerintah. (luthfi, 2013)

Eskalasi konflik yang semakin tinggi membuat ketegangan yang ada meningkat menjadi
pemberontakan dan konflik bersenjata. Akan tetapi, Gaddafi sangat bersikeras untuk tidak jatuh seperti
Ben Ali dan Hosni Mubarak. Untuk itu, pemerintahan Gaddafi, melalui pasukan keamanannya yang
sangat loyal kepada Gaddafi melancarkan tindakan represif yang brutal terhadap gerakan rakyat
tersebut. dalam upaya mengontrol dan merebut kembali jalan-jalan di ibukota Tripoli, dan juga
beberapa kota-kota besar lainnya di Libya, pasukan pro-Gaddafi menembak kerumunan masyarakat
yang berdemonstrasi sehingga menewaskan ratusan orang pengunjuk rasa. Tindakan represif ini
menyebabkan banyak tokoh-tokoh penting di pemerintahan Libya untuk membelot ke pihak oposisi
anti-Gaddafi. Umumnya mereka melakukan ini karena takut apabila di akhir revolusi nanti mereka di
pihak yang salah. Bahkan pada saat itu di bagian timur Libya, seluruh satuan-satuan militer yang ada
membelot ke pihak oposisi. Pemberontakan di Libya beralih dari mobilisasi massa ke dalam perang
saudara antara tentara Libya dan pemberontak melawan tentara bayaran yang setia kepada Gaddadi.

Pembentukan National Transitional Council yang lalu pada 5 Maret 2011 mendeklarasikan dirinya
sebagai satu-satunya badan legal yang merepresentasikan masyarakat Libya. Beberapa waktu kemudian,
Prancis, Italia, Qatar, dan Maladewa mengakui NTC sebagai badan pemerintahan yang sah(The
International Institute for Strategic Studies, 2011). Hal ini membuat Gaddafi murka dan mengerahkan
para militer nya untuk menumpas para pemberontak dan demonstran yang telah bergabung dengan
NTC. Hal ini dikarenakan NTC yang didirikan ole bekas tahanan-tahanan politik atau lawan politik
Gaddafi. (luthfi, 2013) pertempuran yang telah menggunakan artileri dan alutista berat menimbulkan
korban jiwa dan pelanggaran ham yang lebih buruk. Intensitas kekerasan dan pelanggaran hak asasi
manusia yang semakin besar membuat prihatin dan khawatir masyarakat internasional bahwa hal ini
dapat berujung kepada terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Gaddafi yang semula nya
menargetkan demonstran dan pemberontak mulai menargetkan masyarakat sipil. (Luthfi, 2013)

Merasa kekuasaannya semakin terancam, Gaddafi tanpa ampun memerintahkan pasukannya untuk
menembak dan menghabisi siapa saja yang melawannya. Sampai dengan akhir februari bahkan
dilaporkan angka kematian sudah mendekati 1000 jiwa (BBC, 2011). Atas tindakan tak
berperikemanusiaan tersebut, International Criminal Court (ICC) memperingatkan Gaddafi dan anggota
pemerintahannya bahwa mereka mungkin telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
International Federation for Human Rights menyimpulkan, Gaddafi telah menerapkan strategi untuk
memukul rata. Hal ini adalah buntut dari keputusan untuk menghilangkan sebagian besar warga Libya
yang berdiri melawan rezim dan, selanjutnya, untuk secara sistematis dan tanpa pandang bulu menindas
warga sipil. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Statuta Roma ICC (Fidh, 2011).

Merasa kekuasaannya semakin terancam, Gaddafi tanpa ampun memerintahkan pasukannya untuk
menembak dan menghabisi siapa saja yang melawannya. Sampai dengan akhir februari bahkan
dilaporkan angka kematian sudah mendekati 1000 jiwa (BBC, 2011). Atas tindakan tak
berperikemanusiaan tersebut, International Criminal Court (ICC) memperingatkan Gaddafi dan anggota
pemerintahannya bahwa mereka mungkin telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
International Federation for Human Rights menyimpulkan, Gaddafi telah menerapkan strategi untuk
memukul rata. Hal ini adalah buntut dari keputusan untuk menghilangkan sebagian besar warga Libya
yang berdiri melawan rezim dan, selanjutnya, untuk secara sistematis dan tanpa pandang bulu menindas
warga sipil. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Statuta Roma ICC (Fidh, 2011).

Menyikapi tindakan militeristik rezim Gaddafi terhadap warganya sendiri, komunitas internasional
mengeluarkan seruan untuk secara serius menyikapi konflik sipil di Libya. Dengan fakta yang ada, maka
hal ini sudah dapat menunjukkan keengganan dan gagalnya Libya untuk melindungi atau memberikan
perlindungan bagi warga negaranya dalam upaya melakukan resolusi konflik internal negara tersebut.
Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi no.1970 untuk memberlakukan embargo
senjata, membekukan aset Gaddafi dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan
melarang mereka melakukan perjalanan, serta himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi
Libya. Resolusi tersebut juga menyerukan kepada Gaddafi untuk diperiksa di ICC, namun ia
bergeming.(Luthfi,2013) DK PBB berdasarkan Piagam PBB bab VII pasal 42, kembali mengeluarkan
sebuah resolusi setelah mendapat desakan Liga Arab. Resolusi yang dikenal sebagai Resolusi 1973 itu
berisi tentang perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona larangan terbang) di wilayah Libya,
dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah disebutkan dalam Resolusi no.1970. zona larangan terbang di
tujukan untuk mencegah pesawat tempur pasukan Gaddafi melakukan misi pembunuhan dari udara.

Resolusi no.1970 Dewan Keamanan PBB di terbitkan pada 26 Februari 2011 untuk mencegah
penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Gaddafi terhadap masyarakat Libya meluas.
Untuk menghentikan kekerasan di Libya, Resolusi no.1970 memberikan tiga sanksi kepada
pemerintahan Gaddafi beserta para loyalis pendukungnya, yaitu embargo senjata, larangan berpergian,
dan pembekuan aset.(Luthfi, 2013) namun Gaddafi yang jauh dari tindakan untuk menuruti Resolusi
no.1970 membuat dewan keamanan PBB mengesahkan Resolusi DK PBB no.1973.

Resolusi no.1973 adalah tindak lanjut dari resolusi sebelumnya yang menambahkan ‘no-fly zone
area’ untuk mengurangi kekuatan dan pergerakan militer loyalis pemerintah di wilayah Libya. Resolusi
yang didukung hampir seluruh oleh anggota Dewan Keamanan PBB dimana 10 negara anggota Dewan
Keamanan PBB setuju (Afrika Selatan, Amerika Serikat, Bosnia & Herzegovina, Gabon, Inggris, Kolombia,
Lebanon, Nigeria, Prancis dan Portugal) sedangkan 5 negara lainnya abstain (Brazil, Russia, India, China,
dan Jerman)(Garland, 2011). Resolusi ini bertujuan mengadakan gencatan senjata di Libya serta
menghentikan serangan Gaddafi terhadap masyarakat sipil yang mengindikasikan adanya kejahatan
kemanusiaan. (Resolution 1973). Dewan Keamanan PBB memperbolehkan negara-negara anggota PBB
untuk menggunakan segala tindakan yang diperlukan (all necessary measures), baik sebagai negara atau
atas nama organisasi regional dalam melindungi masyarakat dan wilayah pemukiman sipil di Libya.

Masalah utama muncul ketika pada 19 Maret dini hari, pasukan koalisi yang dipimpin oleh Amerika
Serikat, Inggris dan Prancis melancarkan operasi Odyssey Dawn. Mereka mulai memasuki dan menyerbu
target-target pemerintahan di Libya dengan alasan untuk menegakkan Resolusi 1973. Setelah sekitar
lima hari, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya di ambil alih oleh pasukan koalisi NATO
melalui Operation Unified Protector (Jerry Indrawan, 2015).

Resolusi Dewan Keamanan PBB no.1973 lah yang akhirnya membuka pintu masuk intervensi untuk
dilakukan. Menyusul dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973, Amerika Serikat, Prancis,
dan Inggris kemudian mengambil langkah strategis yaitu mengirimkan armada perang mereka ke Libya,
dibawah komando Amerika Serikat. Serangan pertama dilakukan oleh Prancis yang melakukan serangan
udara ke wilayah Libya dengan target yaitu tank-tank dan kendaraan lapis baja Libya. Pesawat-pesawat
tempur Prancis juga mengincar pesawat-pesawat tempur Libya guna melaksanakan zona larangan
terbang seperti yang ditetapkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973. Armada laut juga
dikerahkan pasukan negara-negara koalisi guna menghancurkan rudal-rudal pertahanan anti pesawat
milik Libya agar memudahkan pesawat-pesawat tempur mereka melakukan patroli udara guna
menerapkan zona larangan terbang. Selain itu, kapal-kapal tersebut melakukan patroli di lautan Libya
guna mencegah masuknya tentara bayaran dan bantuan senjata untuk memperkuat Gaddafi dan
pasukannya. (Luthfi, 2013).

Kurang dari dua minggu setelah intervensi berlangsung, NATO mulai menyerang pasukan
pemerintah Libya yang berusaha mundur, yang dengan begitu tentunya tidak membahayakan warga
sipil yang berada jauh dari medan perang. Di saat yang sama, NATO mulai membom pasukan Gaddafi di
kampung halamannya, SIrte, di mana pasukan tersebut sama sekali tidak membahayakan warga sipil
karena warga Sirte pastinya mendukung rezim Gaddafi.

Dalam beberapa kasus tindakan-tindakan yang dilancarkan dalam operasi Unified Protector
Operation menunjukkan bahwa tindakan NATO jauh dari mandat PBB. Padahal melalui resolusi 1973
yang mengamanatkan dibentuknya zona larangan terbang ditujukan untuk melindungi warga sipil.
Daripada mengusahakan terjadinya gencatan senjata, NATO dan sekutunya membantu pihak
pemberontak yang menolak jalan damai, malah terus berupaya menjungkalkan rezim Gaddafi. Bantuan
yang di berikan kepada para pemberontak secara signifikan memperpanjang perang itu sendiri, serta
memperbesar risiko bahaya bagi warga sipil, hal yang sangat berbeda dari tujuan awal NATO
melaksanakan mandat PBB. Sebagai contoh, pada tanggal bulan maret Inggris Raya mengumumkan
bahwa mereka akan mengirimkan ahli-ahli militer untuk memberikan saran dan pelatihan kepada para
pemberontak di daerah timur Libya. bahkan di awal bulan april, Prancis mulai menjatuhkan senjata-
senjata dan logistik pertempuran untuk membantu pasukan pemberontak yang sedang di latih oleh
agen mata-mata dari Prancis, Italia, dan Inggris Raya, yang mana hal ini adalah sesuatu yang dapat
dipersepsikan sebagai langkah intervensi yang sangat jelas di lapangan untuk mendorong
pemberontakan anti-pemerintahan Gaddafi.(Jerry Indrawan, 2015)

NATO dan sekutunya terus menyediakan bantuan militer, bahkan saat para pemberontak secara
berulang-ulang tetap menolak tawaran gencatan senjata dari pemerintah, yang bisa saja mengakhiri
kekerasan yang terjadi dan dengan demikian menyelamatkan warga sipil. Tanggal 11 April 2011, Gaddafi
menerima proposal gencatan senjata dari Uni Afrika, Kemudian dilanjutkan dengan diadakannya dialog
nasional, tetapi para pemberontak mengatakan bahwa mereka menolak semua upaya untuk gencatan
senjata sampai Gaddafi mau turun tahta (Kenyon, 2011), tanggal 26 Mei, pemerintah Libya kembali
menawarkan gencatan senjata yang di dalam nya ditambah peluang negosiasi menuju pemerintahan
yang konstitusional dan pemberian kompensasi kepada para korban, akan tetapi, kembali para
pemberontak menyatakan keberatan. (Chulov, 2011)

Operasi yang dimulai pada 19 maret 2011 berakhir pada bulan oktober akhir menyusul tewasnya
Muammar Gaddafi. Secara Resmi NATO mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan operasi
militernya di Libya pada 31 Oktober 2011. Pemerintah Libya yang baru (NTC) meminta misi NATO di
negaranya untuk diperpanjang sampai akhir tahun 2011, tetapi pada 27 oktober, Dewan Keamanan PBB
mengambil suara untuk mengakhiri mandat operasi militer NATO di Libya pada 31 oktober 2011
(Rasmusen, 2011).

Pengeboman Libya oleh pesawat Perancis, Inggris, dan AS tidak akan melindungi kehidupan manusia,
tetapi akan mengubah negara menjadi medan perang dengan ribuan korban sipil tak berdosa. Ini jelas-
jelas tidak menunjukkan alasan kemanusiaan, melainkan memperlihatkan perang imperialis. Selain itu,
perang ini akan berlangsung tanpa ada legitimasi demokratis. Tidak ada indikasi sedikitpun bahwa hal itu
didukung oleh penduduk dari negara-negara yang terlibat. Sekali lagi, sejumlah besar uang sedang
dihabiskan untuk perang, sementara ada pemerintah negara koalisi yang menyatakan tidak ada alokasi
uang untuk program-program sosial. Walaupun, NATO berdalih ini adalah bentuk dari penerapan
Responsibility to Protect dan bentuk penegakan Resolusi no.1973 Dewan Keamanan PBB untuk
melakukan intervensi. Dengan landasan tersebut, NATO dalam mencapai kepentingannya,
menggunakan instrumen kekerasan dengan menyerang pangkalan-pangkalan militer pasukan loyalis
Gaddafi, walaupun dalam implementasinya banyak menewaskan warga sipil.

Faktanya memang terjadi konflik antara pasukan loyalis pemerintah dengan pemberontak yang
memakan korban jiwa di kedua belah pihak yang bertikai. Akan tetapi, bukan berarti NATO dan
sekutunya dapat dengan serta-merta datang dan melakukan operasi dengan dalih mengupayakan
perdamaian di Libya. Tindakan NATO dengan pasukan koalisinya (AS dan Sekutunya) jelas menyalahi
aturan, karena mencampuri kedaulatan dan yuridiksi Negara tersebut. Indikasi intervensi terhadap
urusan dalam negeri Libya adalah adanya motif serangan pasukan Koalisi untuk menurunkan Gaddafi
dari kursi kepresidenan (Detik News, 2011).
NATO memiliki semacam kewenangan dan keleluasaan untuk bertindak dengan berpegang pada
mandat Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. 1973, dengan adanya prinsip
Responsibility to Protect, justifikasi langkah-langkah untuk melakukan humanitarian intervention
menjadi lebih mudah untuk tercapai, namun kondisi Libya pada saat itu dan dengan adanya prinsip
Responsibility to Protect seakan-akan mengesampingkan fakta bahwa resolusi tersebut masih memiliki
banyak kelemahan. Penerapan responsibility to protect harus lah juga di barengi dengan langkah
rekonsiliasi dan rekontruksi karena jika tidak, maka humanitarian intervention hanya akan membawa
masalah baru pada dan memperburuk kondisi yang ada.

Semenjak tewasnya Gaddafi Libya menghadapi babak neraka baru yaitu perang sipil jilid II Libya,
seiring dengan kondisi negara dahulu memiliki pemimpin, namun setelah intervensi NATO menjadi
adanya kekosongan pemimpin di Libya, yang membuat timbulnya perseteruan baru diantara kelompok-
kelompok sipil yang ingin mendapatkan kekuasaan di Libya. Dengan begitu Responsibility to Protect
seolah-olah memiliki pergeseran makna dan prinsip ini mulai di justifikasi sebagai right to invade (Rable,
2013).

Upaya intervensi yang dilakukan di Libya seharusnya merupakan upaya PBB untuk melindungi
penduduk sipil dan kemudian bila situasinya menghendaki mengawal Libya memulihkan pemerintahan
negaranya, dan PBB lah yang berwenang membentuk badan khusus. Jadi intervensi tidak boleh
dilakukan oleh kekuatan asing secara sendiri-sendiri.

Michael Walzer menjelaskan bagaimana justifikasi terhadap aksi intervensi dapat digolongkan
menjadi tiga bagian, pertama institusi internasional. Suatu intervensi dapat dikatakan legal apabila
mendapat mandat dari lembaga internasional. Kedua, atas permintaan representasi sah dari negara
yang akan di intervensi untuk mempertahankan kedudukan mereka menghadapi ancaman dan serangan
baik internal maupun eksternal. Ketiga adalah alasan kemanusiaan, Intervensi dilakukan dengan tujuan
menyelamatkan nyawa manusia dari kekerasan yang dilakukan pemerintah ataupun gerakan
pemberontak atau sebagai akibat dari anarki sosial di internal negara tersebut. (Walzer, 1977)

Apabila tiga alasan intervensi wari Walzer di atas mendapatkan justifikasi nya, maka untuk alasan
pertama dan kedua intervensi di Libya bisa dibilang tidak sah. Di Libya Intervensi dilakukan atas inisiatif
pasukan koalisi dan bukan atas mandat PBB atau institusi internasional yang berwenang. Sedangkan
pihak Libya (Pemerintahan Gaddafi) sendiri jelas tidak meminta negaranya diintervensi, sama sekali
berbeda dengan kasus prancis yang dimintai bantuannya oleh pemerintah Mali untuk menghadapi
pemberontak di Mali Utara (Aljazeera, 2013).

Berbeda jika dilihat pada saat itu representasi yang mewakili rakyat Libya adalah NTC (National
Transitional Council) maka intervensi yang dilakukan bisa dikatakan sah. Ditinjau dari alasan
kemanusiaan memang saat itu telah jatuh cukup banyak korban. Karena itu intervensi di Libya dapat di
benarkan untuk mencegah korban semakin bertambah. Jadi secara moral, intervensi di Libya dilakukan
untuk menyelamatkan warga sipil Libya dari kekejaman Gaddafi, bukan untuk menggulingkan rezim
pemerintahan apalagi memperjuangkan kepentingan nasional dari para aktor-aktor NATO dan koalisi
nya. Motif tindakan NATO dan koalisinya yang jauh dari mandat PBB yang tertuang di Resolusi no. 1973
membuat proses penyelesaian konflik begitu rumit. Peacemaking yang sedang diupayakan oleh
komunitas internasional pun menjadi sulit dicapai karena dalam pelaksanaannya Intervensi
Kemanusiaan di Libya pada tahun 2011 sarat akan kepentingan nasional negara-negara adidaya di dunia.

Oleh sebab itu, jalan kekerasan yang dilakukan tentara koalisi sebaiknya dihentikan, dan diganti
dengan jalan damai seperti yang tertuang dalam Pasal 33 Piagam PBB. Berdasarkan pasal 33
penyelesaian dengan jalan damai meliputi negotiation (perundingan) dan enquiry (penyelidikan).
Kemudian konsiliasi (persetujuan) usaha ini diserahkan kepada panitia atau badan internasional yang
ditunjuk oleh pihak-pihak dalam perselisihan untuk mengusulkan atas insiatif sendiri suatu persetujuan
yang layak diterima oleh kedua belah pihak. Mediasi (perantara/jasa-jasa baik) dapat diselenggarakan
oleh suatu negara, suatu komisi atau seorang tokoh saja, yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang
bersangkutan untuk mempermudah dan mempercepat tercapainya perdamaian (Kolb dan Hyde, 2008).
Penggunaan preventive diplomacy adalah salah satu metode yang kita bisa gunakan untuk menegahi
konflik Libya. Metode ini tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa, tetapi melalui keterlibatan
pihak ketiga, khususnya di mana pihak-pihak yang berkonflik sendiri tidak mampu mencari jalan keluar
dari konflik itu sendiri. Pihak ketiga ini bertugas untuk mengurangi intensitas konflik dan mendorong
pihak-pihak yang terlibat ke dalam meja perundingan untuk mencari solusi bersama. Untuk itu, pihak
ketiga yang akan melakukan preventive diplomacy harus bersikap netral dengan tidak mendukung salah
satu pihak yang bertikai (Wallensteen, 2012). Sepantas-pantasnya cara-cara damai demikianlah yang
dijadikan solusi untuk mengatasi konflik di Libya. (Jerry Indrawan, 2013)
BAB IV KESIMPULAN

Konflik internal negara Libya yang telah berlangsung sejak 2011 telah menimbulkan kekacauan
di hampir setiap lini kehidupan rakyat libya – politik, ekonomi, sosial & militer – hal ini tentu tidak lepas
dari peristiwa intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh komunitas internasional melalui North
Atlantic Treaty Organization dalam mengupayakan resolusi konflik yang justru bersifat strategis dan
sarat akan kepentingan geoplolitik ketimbang misi kemanusiaan. Hal ini bisa dilihat dari konsep Resolusi
konflik yang diusung pasukan Koalisi yang hanya mengandalkan operasi militer demi menghentikan
pelanggaran hak asasi manusia yang di lakukan oleh rezim berkuasa di Libya Moammar Gaddafi. Mandat
utama Resolusi DK PBB no. 1973 adalah menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di
konflik Libya, namun NATO dan sekutunya melalui operasi intervensi kemanusiaan dalam
pelaksanaannya jauh dari mandat awal Resolusi no.1973 justru malah memperburuk upaya
penyelesaian konflik dengan mendorong dan secara signifikan membantu perkembangan
pemberontakan anti-Gaddafi.

Memang tidak mungkin untuk mengetahui apabila Gaddafi akan menghormati gencatan senjata,
atau mengupayakan adanya transisi politik di Libya, akan tetapi jika NATO sejak awal hanya fokus pada
upaya untuk melindungi warga sipil saja, daripada memberikan bantuan kepada para pemberontak,
maka bisa saja para pemberontak mempertimbangkan tawaran pemerintah Gaddafi tersebut. tidak ada
bukti bahwa NATO pernah berupaya untuk menggunakan pengaruhnya untuk mengupayakan gencatan
senjata atau melindungi warga sipil. semua bukti yang ada menunjukkan bahwa tujuan utama NATO,
sejak berlangsungnya operasi intervensi adalah untuk menggulingkan rezim pemerintahan Gaddafi,
sekalipun kondisi di Libya makin mencekam. Hal tersebut justru memperpanjang jalannya perang sipil
yang membahayakan keselamatan warga sipil Libya sendiri.

Pasca humanitarian intervention yang dilakukan NATO setelah dikeluarkannya Resolusi Dewan
Keamanan PBB 1973 masih belum menemukan tanda-tanda tercapai nya tujuan awal di keluarkan nya
resolusi tersebut. Intervensi yang dilakukan NATO tentu menggunakan dalih menegakkan resolusi
penyelesaian konflik yang di keluarkan DK PBB tersebut. namun hingga kini Libya tidak menunjukkan
perubahan yang positif baik dalam segi pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial. tentu salah satu
penyebab nya adalah tindakan humanitarian intervention yang tidak tepat sasaran.
Bahkan jika melihat prinsip kedaulatan hal ini tentu sudah sangat menciderai kedaulatan negara
Libya. Prinsip Responsibility to Protect memuluskan langkah pasukan koalisi untuk melakukan intervensi
meski hal tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara yang ada di dunia.

Implementasi Responsibility to Protect merupakan babak baru dalam hukum internasional.


Dengan alasan apapun, sekarang ini, setiap negara tidak bisa berlindung di balik kedaulatan negaranya
untuk menghindari intervensi komunitas internasional apabila negara tersebut dianggap gagal, tidak
mampu atau enggan untuk melindungi dan menjamin keselamatan warga negaranya. Namun jika
melihat kondisi penerapan Prinsip ini dalam praktiknya yang tercermin dalam intervensi kemanusiaan
melalui operasi militer di Libya, maka pelaksanaan prinsip Responsibility to Protect rentan di tunggangi
oleh kepentingan politik negara-negara yang terlibat dalam intervensi yang dilakukan. Proses intervensi
kemanusiaan itu sendiri terjadi dengan berbagai macam alasan yang mendorongnya. Penerapan R to P
yang sarat akan kepentingan politik negara-negara di dunia akhirnya memunculkan anggapan bahwa
Responsibility to Protect adalah bentuk dari Right to Invade.
DAFTAR PUSTAKA

 Wikipedia “Libya”. Retrieved from Wikipedia.com, url : https://en.wikipedia.org/wiki/Libya


 Syarifuddin Abdullah. (2016, 9 September). “ Konflik Libya (2): Satu Negara Dengan Dua
Pemerintahan”. Retrieved form kompasiana.com, url :
http://www.kompasiana.com/sabdullah/konflik-libya-2-satu-negara-dengan-dua-
pemerintahan_57d1adcaa4afbda8507c42d6
 BBC Indonesia. (2011). “Unjuk Rasa Mulai Muncul di Libya”. Retrieved from bbc.co.uk, url:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/02/110216_libyaunrest.shtm
 Karin Laub, (2011, 9 Agustus). Libya: Estimated 30.000 Died in War; 4.000 Still Missing,
Huffingtinpost, url : http://www.huffingtonpost.com/2011/09/08/libya-war-
died_n_953456.html
 Mutia Zaskia. (2012, Juni 18). “ Geopolitik Dunia Arab: Libya, Mesir, Tunisia, Bahrain, Dan
Fenomena Arab Spring”. url : http://mutiazakia-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-48539-
Geopolitik%20dan%20Geostrategi-
Geopolitik%20Dunia%20Arab:%20%20Libya,%20Mesir,%20Tunisia,%20Bahrain,%20dan%20Fen
omena%20Arab%20Spring.html
 Nazaruli. (2017, Februari 18). “Enam Tahun Revolusi Libya, Kondisi Negara Makin Kacau”.
Retrieved from netralnews.com, url:
http://www.netralnews.com/news/internasional/read/56391/enam.tahun.revolusi.libya..kondis
i.negara.makin.kacau
 Aljazeera. (2013, 11 Januari). “Mali Seeks France help against rebel advances. Retrieved from
Aljazeera.com, url: www.aljazeera.com/news/africa/2013/01/20131111454291579.html
 Montevideo Convention Arcticles. url:
http://www.jus.uio.no/english/services/library/treaties/01/1-02/rights-duties-states.xml
 Kompas. (2011, 26 Maret) “ China dan Jerman Jadi Oposan” retrieved from kompas.com, url:
http://internasional.kompas.com/read/2011/03/26/05435223/Jerman.dan.China.Jadi.Oposan.
 Chulov, M. (2011, 26 Mei). “Libyan Regime Makes Peace Offer That Sidelines Gaddafi” retrieved
from Guardian.co.uk, url: www.guardian.co.uk/world/2011/may/26/libyan-ceasefire-offer-
sidelinesgaddafi.html
 Kenyon, P. (2011, 11 April). “Libyan Rebels Reject AU Cease-fire Plan.” Retrieved from National
Public Radio, url: www.npr.org/2011/04/11/135324882/libyan-rebels-reject-au-ceasefire-
plan.html
 Coady, C.A.J. 2002. The ethics of armed humanitarian intervention. Washington: United States
Institute of Peace. http://www.usip.org/sites/default/files/resources/pwks45.pdf
 Rahayu. (2012). “Eksistensi Prinsip ‘Responsibility to Protect Dalam Hukum Internasional”.
Universitas Dipenogoro. Semarang.
 Rabble. 2013. “Responsibility to Protect, or Right to Invade?” url:
http://rabble.ca/babble/international-news-and-politics/responsibility-protect-or-right-invade
 Miftachun. “Peran Responsibility to Protect (R2P) Dalam Konflik Libya Tahun 2011”. Universitas
Slamet Riyadi. Surakarta.
 Wallensteen.(2012). Understanding Conflict Resolution. London: Sage Publications.
 Kolb, R. dan Hyde, R. 2008. An Introduction to the International Law of Armed Conflicts.
Portland: Hart Publishing.
 Fitria, (2012). “Implementasi Doktrin Responsibility to Protect (Humanitarian Intervention)
dalam Hukum Internasional (Kasus Kosovo, Libya dan Suriah).” Universitas Islam Negeri. Jakarta.
 Santa Marelda Saragih. “RESPONSIBILITY TO PROTECT : SUATU TANGGUNG JAWAB DALAM
KEDAULATAN NEGARA”.
 Jerry Indrawan. (2013). “Legalitas dan Motivasi NATO (North Atlantic Treaty Organization dalam
Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya”. PSDR LIPI
 Adan Heir, Robert Muray. (2013). Libya : The Responsibility to Protect and the Future of
Humanitarian Intervention. Palgrave Macmillan. United Kingdom
 Nye, J. S. 2009. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History.
New York: Pearson and Longman.
 Wheeler, N. J. 2000. Saving Strangers: Humanitarian Intervention in International Society. New
York: Oxford University Press.
 ICRP. “International Coalition Responsibility to Protect info bahasa”. url:
http://responsibilitytoprotect.org/
 Nur Luthfi. (2013). Intervensi NATO di LIBYA : Sebuah Kasus Transformasi Konflik. Malang :
Bayumedia.
 Garland, L. (2011). 2011 Libyan Civil War. Delhi: White Word Publication
 Jerry Indrawan. 2015. Penjajahan Gaya Baru : Kontroversi Seputar Intervensi Kemanusiaan
NATO di Libya. Yogyakarta : Sibuku Media.
 Walzer, M. (1977). Just and Unjust War: A Moral Argument With Historical Illustrations. New
York: Basic Book.

Anda mungkin juga menyukai