Anda di halaman 1dari 16

Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan

LITERASI Abdul Latif Bustami

Volume 1 No. 1, Juni 2011 Halaman 101 - 116

DASENG SANGGALUHANG:
KEARIFAN KOMUNITAS DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
KELAUTAN DAN PERIKANAN
DASENG SANGGALUHANG:
A COMMUNITY WISDOM IN MANAGING
MARITIME AND FISHERIES RESOURCE

Abdul Latif Bustami


Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Malang
Pos-el: sadeging@yahoo.com

Abstrak

Artikel ini mendiskusikan daseng sanggaluhang sebagai kearifan komunitas nelayan


dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan di Kecamatan Pulau Tatoareng,
Kebupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Untuk pembahasan, tulisan ini menggunakan
desain kualitatif untuk menganalisis data-data lapangan yang dikumpulkan melalui
wawancara mendalam, observasi terlibat, dan kajian dokumen. Tulisan ini menghasilkan
beberapa simpulan. Pertama, daseng Sanggaluhang dengan cara membangun rumah
sementara di lokasi pencarian ikan selama 3-6 bulan sesuai dengan aturan adat yang
berisi nasihat dan larangan sekaligus sanksi sosial bagi mereka yang melanggar. Kedua,
daseng sesuai dengan dinamika komunitas melalui penguatan peran aturan adat melalui
aturan formal. Ketiga, daseng berfungsi untuk pemurnian kosmos, konservasi ekologis,
komunalisme, dan prinsip regenerasi. Keempat, daseng memuat konservasi ekologis-
berbasis-aturan yang secara substansial berkontribusi bagi masa depan komunitas
nelayan, khususnya untuk memastikan keberlanjutan ekologis, sosial, dan ekonomi
sebagai model pengembangan kelautan dan perikanan berkelanjutan.

Kata kunci: kearifan masyarakat, daseng sanggaluhang, pulau Sangihe

Abstract

This article discusses daseng sanggaluhang as fishing community’s wisdom in


managing maritime and fisheries resource in District Tatoareng Island, Sangihe Regency,
North Sulawesi. For the discussion, it uses a qualitative design for analyzing field data
collected through in-depth interviews, participant observation, and document studies.
The article has some conclusions. Firstly, daseng Sanggaluhang by setting up a temporary
home at the location of fishing ground for 3-6 months in accordance with customary
rules loads on the suggestion and the prohibition in the management of marine resources
and fisheries equipped with social sanctions for noncompliance. Secondly, daseng carries
out in accordance with the dynamics of the community through strengthening the rule
of customary rules through formal regulation. Thirdly, daseng functions as meaningful
cosmos purification, conservation ecology, communalism, and regeneration principles.
Fourthly, daseng loads rule-based ecological conservation that substantially contributes to
the future of fishing communities themselves, especially to ensure ecological, social, and
economic sustainability as a model of maritime development and sustainable fisheries.

Keyword: community wisdom, daseng Sanggaluhang, Sangihe Island

101
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

A. Pendahuluan paradigma positivisme Comtean (Bustami,


Komunitas pesisir dan pulau-pulau 2011). Padahal, setiap masyarakat di muka
kecil yang tersebar di 387 kabupaten/kota bumi ini pada dasarnya merupakan suatu
atau sebesar 78% di Indonesia mempunyai masyarakat global (Sahlins, 1994:387).
nilai budaya tentang pentingnya laut sebagai Tulisan tentang Daseng Sanggaluhang
sumber kehidupan. Mereka memiliki nor- selama ini belum ada dan, kalaupun ada,
ma-norma untuk mengatur interaksi antar daseng hanya dinyatakan secara sepintas.
sesama manusia dalam berbagai aktivitas Ulaen (1998:115-119), misalnya. hanya
mereka di laut, dalam pembentukan menyatakan daseng sepintas dalam kajiannya
jaringan-jaringan sosial, dan hubungan yang difokuskan pada pantangan bagi
antarpersonal di antara warga masyarakat. wanita hamil dan perawatan persalinan.
Kehidupan mereka dipersatukan oleh Sementara, Bustami dan Arsyad (2010)
lautan bukan dipisahkan oleh lautan; laut dalam kegiatan revitalisasi pranata sosial
sebagai pemersatu bangsa (Hatta, 2004:62). adat di Sulawesi Utara hanya memfokuskan
Dalam pandangan Forde (1963:463), pada sekel di Kabupaten Kepulauan Sangihe
hubungan antara kegiatan manusia dengan dan mane’e di Kepulauan Talaud. Kajian
lingkungan alam dijembatani oleh pola-pola tentang daseng belum difokuskan dengan
kebudayaan yang dipunyai manusia. Dengan pengelolaan SDKP. Di sisi lain, kajian-
kebudayaan itu manusia beradaptasi dengan kajian tentang kearifan di Kepulauan
lingkungan untuk mendayagunakannya Sangihe belum mengkaji daseng itu dalam
agar tetap dapat melangsungkan kehidupan. konteks perubahan yang disebabkan oleh
Goedenough (1964:36) meyakinkan penting- migrasi, kegiatan eksploitatif, implemen-
nya keberpihakan pada kebudayaan idea- tasi pembangunan, perkawinan silang
sional yang dimiliki komunitas bukan budaya, pasar bebas, perkembangan ilmu
kepada yang bersifat material. Kebudayaan pengetahuan dan teknologi, dan pariwisata.
sebagai model-model untuk mengklasifikasi Tulisan ini difokuskan pada nelayan artisanal
lingkungan yang dihadapi dan menegaskan (skala kecil) Pulau Para yang mempunyai
pentingnya mengetahui hal-hal yang harus kearifan komunitas daseng Sanggaluhang yang
diketahui oleh seseorang agar dia mampu diwariskan dari generasi sebelumnya serta
mewujudkan perilaku atau melakukan digunakan secara selektif dalam pengelolaan
sesuatu dengan cara yang dapat diterima sumberdaya kelautan dan perikanan dalam
oleh pendukung kebudayaan. konteks perubahan sosial budaya.
Fokus kajian ini adalah kearifan
komunitas nelayan Pulau Para, Kecamatan
Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, B. Komunitas Nelayan, Kebudayaan,
Sulawesi Utara dalam pengelolaan Sumber dan Dinamikanya
Daya Kelautan dan Perikanan (selanjutnya Berdasarkan UU No 31 tahun 2004
disingkat SDKP). Kearifan komunitas tentang Perikanan, nelayan didefinisikan
adalah pengetahuan, keyakinan, dan nilai- sebagai orang yang mata pencaharian-
nilai budaya komunitas yang diwariskan nya melakukan penangkapan ikan.
dari generasi sebelumnya yang secara Panayotou mengelompokkan nelayan
selektif dapat digunakan untuk memahami ke dalam empat kelompok utama,
dan menginterpretasi lingkungan yang yaitu subsistence, indigenous, commercial,
dihadapi serta untuk mendorong dan dan recreation. Sementara itu, nelayan
menciptakan tindakan-tindakan yang di- komersial diklasifikasikan lagi menjadi
perlukannya. Istilah kearifan lokal tidak dua kelompok, yaitu nelayan artisanal
relevan untuk digunakan karena berdimensi dan nelayan industri (Panayotou, 1985:11-
lokal dan cenderung mengabaikan subjek 29). Berkes menjelaskan konsep nelayan
kearifan, yaitu komunitas dan terjebak pada artisanal (skala kecil), nelayan industri (skala

102
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami

besar), dan subsisten dengan sejumlah bahwa setiap komunitas mempunyai


karakteristik, yaitu unit penangkapan, sistem pengetahuan dan kognisi yang
kepemilikan, komitmen waktu, kapal, tipe sesuai dengan lingkungan sebagaimana
peralatan, alat tangkap, investasi, hasil yang diwariskan oleh kebudayaannya.
tangkapan, penjualan hasil tangkapan, As’ad (1983:252) mengkritisi konstruksi
pengolahan, tingkat pendapatan pelaku, kebudayaan generik yang bersifat linier
integrasi ekonomi, masa kerja, luas dan serba menentukan sehingga terjadi
pemasaran, kapasitas manajemen dari hiatus (jurang pemisah) antara sistem
otoritas perikanan, unit manajemen, dan kebudayaan dan realitas sosial serta
pengumpulan data perikanan (Berkes, sikap manusia terhadap hidup tanpa
2001). Berdasarkan deskripsi tersebut, menyinggung proses sebaliknya bahwa
nelayan Pulau Para bisa diklasifikasikan komunitas dan lingkungan menentukan
sebagai nelayan artisanal yang bersifat kebudayaan secara mutualis. Sementara,
komersial karena telah memasarkan hasil- Suparlan (1986) memosisikan kebudaya-
hasil tangkapan dan berusaha meskipun an sebagai keseluruhan pengetahuan
dalam skala kecil. manusia sebagai makhluk sosial yang
Nelayan Pulau Para mempunyai mencakup perangkat model pengetahuan
kearifan komunitas berupa ehad (pantang selektif, keyakinan, dan nilai budaya
berkala atas kawasan-kawasan laut yang dapat digunakan untuk memahami
dangkal bagi kegiatan penangkapan ikan) dan menginterpretasi lingkungan serta
(Ulaen, 1998:118; Bustami & Arsyad, 2010), menciptakan tindakan-tindakan yang di-
sekel atau kelase (organisasi nelayan yang perlukannya. Dalam perspektif praksis,
mengoperasikan alat tangkap tradisional Bourdieu (1977:159-183) menyatakan ada-
dengan sistem penggiliran pengoprasian nya hubungan timbal-balik antara si pelaku
dan lokasi penangkapan ikan) (Suparlan, dan struktur objektif yang mencakup
1963; Sumarauw, 1981; Bustami & Arsyad, kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang
2010). Daseng merupakan permukiman diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh
sementara berupa bangunan gubuk yang karena itu, kebudayaan senantiasa bersifat
didirikan nelayan di tempat-tempat tertentu cair, dinamis, dan sementara. Kondisi itu
di pulau yang sama dan pulau lainnya bergantung pada praksis pelakunya yang
terutama yang berdekatan dengan lokasi mempunyai kepentingan dalam konteks
penangkapan ikan. Fenomena daseng yang sosial tertentu (Alam, 1998:1-5). Saat ini,
dilaksanakan oleh nelayan Pulau Para di masyarakat mengalami fase ketiadaan batas
Pulau Sanggaluhang secara berkala mengacu (borderless) sehingga terjadi deteritorialisasi,
aturan adat dengan pertimbangan Pulau desakralisasi, dan dekonstruksi (Abdullah,
Sanggaluhang merupakan wilayah yang 2006:185-192). Klaim identitas tunggal dan
berdekatan dengan lokasi penangkapan homogen menjadi beragam, mengalami
ikan sehingga masyarakat menyebutnya diferensiasi, dan menjadi serpihan identitas
daseng Sanggaluhang. Dengan demikian, (Bustami, 2010:99-105).
nelayan Pulau Para —dan juga para nelayan Kerangka berpikir kebudayaan
lainnya— memiliki konstruksi kebudayaan komunitas pesisir selama ini dijadikan
yang lahir dari pemahaman terhadap pedoman praktikal dalam mengelola
lingkungan tempat mereka mencari ikan. SDKP dan mulai berinteraksi dengan
Kebudayaan merupakan strategi serpihan budaya neoliberal yang ekspansif
untuk berinteraksi dengan lingkungan yang hadir dalam bentuk kapitalisme
spesifik. Oleh karena itu, setiap lingkungan berwajah santun. Dinamika itu berujung
spesifik akan menghasilkan strategi ke- pada bertahannya kebudayan kebaharian
budayaan yang spesifik pula (Berger, dalam pengelolaan SDKP dan pesan simbolik
1976:xii). Geertz (1973:89) menyatakan marjinalisasi kebudayaan serta pentingnya

103
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

revitalisasi kebudayaan. Beberapa temuan Untuk membaca dinamika kearifan


penelitian, misalnya, menguatkan peran komunitas Daseng Sanggaluhang nelayan
strategis kebudayaan komunitas pesisir dalam artisanal di Pulau Para, penelitian yang
pengelolaan SDKP. Nababan (1995:425- menjadi basis dari tulisan ini menggunakan
426) menegaskan bahwa kebudayaan pendekatan kualitatif (Denzin dan Guba
masyarakat pesisir dalam pengelolaan (eds.) 2000). Penelitian ini difasilitasi oleh
sumberdaya perikanan secara tradisional Direktorat Pemberdayaan Masyarakat
telah memiliki prinsip-prinsip konservasi Pesisir dan Pengembangan Usaha Direktoat
yang lebih maju. Sementara, penelitian lain Jenderal KP3K Kementerian Kelautan
lebih mendeskripsikan jenis-jenis kearifan dan Perikanan. Metode pengumpulan
komunitas pesisir di wilayah Indonesia, seperti data dilakukan melalui wawancara men-
Awig-awig di Lombok dan Bali (Hidayat, 2005), dalam dengan fokus pada latar belakang
Sasi di Maluku (Soeselisa, 2001), Rompong di sejarah, mitos-mitos tentang laut,
Sulawesi Selatan (Saad, 2003), Panglima Laot pengetahuan tentang gejala alam, prosesi
di Nangroe Aceh Darussalam (Abdullah, daseng, pantangan dan anjuran, ekspresi
2006), Sawi di Sulawesi Selatan, Ondoafi di perubahan, dan aspirasi ke depan dalam
Papua, dan di beberapa daerah kawasan mengendalikan perubahan. Informan
Indonesia lainnya (Wahyono, 2000), Kelong terdiri atas Kepala Dinas Kelautan dan
(Kelong Pantai dan Kelong Betawi) di Barelang, Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe
Kotamadya Batam, Provinsi Kepulauan Riau dan Kepala Bagian terkait, Ketua Lembaga
(Arsyad, 2007), relasi niskala dan sekala dalam pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan
upacara Pakelem di Bali (Bustami & Arsyad, perangkatnya, Ketua Majelis Tua-tua
2009), hasil identifikasi kearifan komunitas Kampung (MTK) dan Pengurus MTK,
masyarakat pesisir di 18 (delapan belas) Kapitalaung (Kepala Desa), Kepala Dusun,
propinsi di Indonesia (Syahrowi dan Bustami, dan nelayan artisanal sebagai peserta
2010) dan Mane’e di Kabupaten Kepulauan daseng. Hasil wawancara dikomparasikan
Talaud dan Sekel di Kabupaten Kepulauan dengan hasil observasi —dari pasif sampai
Sangihe (Bustami & Arsyad, 2010). dengan aktif— dan studi dokumen.
Sementara, temuan penelitian lain Dokumen primer berupa hasil workshop
menyatakan ranah komunitas nelayan Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
mulai retak dan mengalami marjinalisasi SDKP di Ambon, rekam proses Focus
secara simbolik dan nyata. Kebudayaan Group Discussion (FGD), berita acara serah
komunitas nelayan mulai memudar terima fasilitasi kegiatan dan Rancangan
sebagai akibat dari mekanisme pasar, Peraturan Kampung Para (Perkauman),
migrasi, perkawinan, perkembangan ilmu dan Keputusan Majelis Tua-tua Kampung.
pengetahuan dan teknologi, pariwisata, Data sekunder berupa data Badan Pusat
dan pembangunan yang cenderung legal- Statistik dan data potensi kelautan dan
rasional dengan kebudayaan birokrasi perikanan yang diterbitkan oleh Dinas
aristokrat (Bustami, 2008:175-200). Realitas Kelauatan dan Perikanan Kabupaten
itu sesuai dengan temuan hasil identifikasi Kepualauan Sangihe. Data sekunder itu
yang menunjukkan pentingnya revitalisasi dikomparasikan dengan data lainnya dan
kearifan komunitas karena sebagian besar dilakukan analisis relasi antardata yang
dari kearifan itu sedang menghadapi selanjutnya ditarik pernyataan-pernyataan
tantangan dan ancaman degradasi dan sementara.
bahkan sedang menuju kepunahan sebagai
akibat dari paradigma pembangunan
global yang cenderung neoliberal selama C. Konteks Sosio-Kultural Pulau Para
beberapa dekade terakhir (Syahrowi & Secara historis, asal-usul penduduk
Bustami, 2010; Bustami, 2010). di Pulau Para berasal dari Pulau Siau dan

104
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami

Sangihe. Pulau Para sebagai perlintasan sama dengan semua komponen komunitas
penguasa dan pedagang dari Sangihe untuk mengatasi kesulitan.
dan Siau menuju Manado sebagai pusat Komunitas nelayan Pulau Para
kekuasan dan pasar. Pulau Para dijadikan mempunyai konstruksi wilayah ber-
tempat singgah para Raja dari Siau dan dasarkan kekuasaan politik dan ekonomi,
Sangihe untuk beberpa keperluan, seperti yaitu pusat kekuasaan dan bagian dari
mengisi bahan makanan dan komoditas, kekuasaan (pinggiran). Pusat kekuasaan
termasuk berteduh ketika angin dan berada di ibu kota kabupaten Pulau
badai. Mereka mengidentifikasi dirinya Sangihe Besar yang disebut dengan
dengan bininta (perahu zaman kuno). nusa labo’ (pulau besar) dan merupakan
Latar belakang sejarah itu diperkuat daratan utama. Konstruksi itu terdapat
dengan adanya pertalian keluarga dengan juga di Talaud dengan menyebut Pulau
penduduk di luar Pulau Para. Sistem Karakelang sebagai pusat kekuasaan
kekeluargaan di Pulau Para didasarkan dengan sebutan tana lowo’ (pulau besar).
pada suku (timmaddu ruanganna), yaitu Karakelang sendiri bermakna Aea’allanna,
Alamat, Sakendatu, Madea, Tumpia, dan Ara’alla, bara’alla, yakni besar, terbesar,
Temengge. Alamat mempunyai keturunan dan yang terbesar. Pulau Para merupakan
di Pulau Siau, Sakendatu mempunyai wilayah pinggiran, sedangkan Pulau
keturunan dengan suku Masili, sedangkan Sangihe Besar (Sangir) sebagai nusa labo’.
Madea mempunyai keturunan Lenge Konstruksi itu berdampak pada aspek
(Laene) dan Mangarita. Di Pulau Para politis, ekonomis, dan budaya.
banyak keturunan Tumpia yang sering Pulau Para dekat dengan Banuawuhu
disebut asli Pulau Para. Kapitalaung (kepala (gunung di bawah permukaan laut).
desa) yang berasal dari istilah Kapiten Laut Wilayah ini diyakini sebagai wilayah
selalu berasal dari keturunan suku tersebut pemijahan dan berkumpulnya ikan
berdasarkan legitimasi genealogis dan serta menghasilkan batu apung. Kabu-
magis-religius. paten Kepulauan Sangihe tahun 2007
Setelah berinteraksi dengan agama menghasilkan ikan laut sebanyak 6.717,10
Kristen, pemimpin gereja menjadi ton dan budi daya darat 1,64 ton, sedangkan
tokoh yang dihormati. Pemimpin gereja potensi lestari sebanyak 25.000 ton/tahun
melaksanakan ibadah sesuai dengan (BPS Kabupaten Kepulauan Sangihe, 2010).
keyakinan keagamaan, sedangkan tokoh Perahu yang sering digunakan untuk
adat melaksanakan ritual daur hidup menangkap ikan adalah perahu londe
sesuai dengan tuntunan adat. Pemimpin (perahu bercadik ukuran kecil), perahu
gereja ditunjuk oleh pihak gereja, pamo (perahu tanpa cadik), dan perahu
sedangkan Ketua Adat dipilih di kalangan pelang (bercadik ukuran besar). Adapun
komunitas. Di samping itu, tonaseng (tokoh alat penangkap ikan adalah sekel, pukat
adat yang mempunyai kekuatan magis cincing dan pancing tonda. Ikan yang
yang mengatur sekel Pangalo) didampingi sering ditangkap adalah ikan cucut, ikan
oleh Guru Jemaat. Agama Kristen menjadi layang, madidihang, cakalang, dan tuna.
legitimasi teologis bagi “agamanisasi adat”, Komunitas nelayan Pulau Para mengenal
sehingga adat tidak bertentangan dengan 3 jenis wilayah perairan yang dijadikan
agama dan agama Kristen mudah diterima sebagai tempat penangkapan ikan, yaitu:
komunitas. Komunitas menempatkan pula sanghe, inahe, dan elie. Sanghe adalah
pemilik pukat harimau di Pulau Para dalam suatu wilayah laut tempat terumbu karang
status yang tinggi. Semua elit komunitas (nyare), yang banyak dihuni ikan-ikan
bekerja sama dalam daseng berdasarkan karang. Inahe adalah wilayah perairan yang
nilai budaya somahe kaekahage, bekerja batas antara sanghe dan elie. Sementara, elie

105
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

merupakan wilayah penangkapan ikan dilembagakan menjadi kumpulan orang-


yang paling jauh dari daratan. orang yang bersatu dalam matapencaharian
Alat untuk menangkap ikan yang nelayan, pengaturan penangkapan,
dipakai secara turun temurun disebut sekel. pengaturan sekel di lokasi penangkapan
Tradisi penangkapan ikan dengan sekel ikan, dan larangan dan waktu penangkapan,
diperkirakan sudah berkembang sejak dua yang kemudian disebut Sekel. Pengaturan
abad lalu yang dipercaya ditemukan oleh sekel secara berurutan berdasarkan giliran
Datuk Tamaweole. Sekel sebagai terbuat tahun. Pengaturan sekel secara berurutan
dari bambu (bolu) yang dipotong kecil-kecil berdasarkan kelompok secara bergilir dari
sepanjang 40 depa. Potongan tersebut diikat tahun 2010 sampai dengan 2015, yaitu
dengan tali ijuk dari pohon enau sehingga Balaba, Lumairo, Kampiun/ Kampiung,
menghasilkan anyaman bambu rapat. Ramenusa, Lembo, dan Lembe. Masing-
Di bagian tengah anyaman bambu yang masing kelompok itu mempunyai ketua
telah terikat itu diberi janur yang dibuat kelompok dan anggota dengan pembagian
simpul di bagian yang rumpang (ellise) dan tugas masing-masing.
kedua ujungnya diikat dengan kayu keras Dalam Sekel, keanggotaan dibedakan
(buluhoro). Sekel yang mirip pagar bambu itu berdasarkan fungsi dan tugas masing-
ber-fungsi untuk menjaring ikan (manoma). masing, yaitu Lekdeng, Tatalide, Sekel Kengkang,
Penangkapan ikan dengan sekel dilakukan Matobo, Tonaas, Mandora, dan Mendoreso.
dengan cara menebarkannya secara me- Lekdeng berarti anggota, sedangkan
lingkar sepanjang 40 depa. Anggota sekel Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang
mengepung di bagian luarnya (pagar ditugaskan memegang talontong (sejenis
bambu) dan kedua ujungnya dijaga dengan tongkat yang digunakan untuk menjaga sekel
perahu dan anggota yang lain berusaha agar posisinya tegak lurus di atas permukaan
menghalau ikan masuk ke dalam sekel. laut) dan menggerak-gerakan sekel supaya
Ada varian sekel yang diberi pemberat ikan yang sudah berada di dalamnya
agar tidak bergeser ketika diterjang tidak lari ke luar. Sekel Kengkang adalah
ombak dengan batu sehingga disebut sebutan untuk anggota yang berada di atas
somabatu. Kemudian, ketua kelompok sekel perahu tempat meletakkan Sekel, sehingga
memberikan perintah untuk menariknya perahu yang membawa sekel disebut perahu
secara pelan-pelan diiringi dengan lagu kengkang. Anggota ini bertugas menurunkan
sasambo (lagu khusus untuk menangkap sekel ke laut jika sudah ada aba-aba yang
ikan di laut dan ritual) dan anggotanya diberikan pemimpin pengoperasian. Matobo
bersiap-siap untuk menangkap ikan. Sekel adalah anggota yang bertugas menyelam
ditebar oleh kelompok pada waktu pagi dan melihat posisi gerombolan ikan layang
dan sore, waktu transisi dari malam ke sebelum sekel diturunkan ke laut. Alat yang
siang dan sebaliknya. Nelayan meyakini digunakan untuk membantu melihat adalah
saat transisi itulah ikan bergerak. Setelah dengan bambu (bulu, boro). Tonaas adalah
ditebar beberapa jam, sekel diangkat setelah pemimpin pengoperasian Sekel, sedangkan
tonaseng melakukan matobo (melihat, wakilnya disebut Tonaseng Karuane. Kepala
menyelam, dan memastikan). Tonaseng disebut Tonaseng Labo. Mandore
Sumberdaya kelautan dan perikanan adalah orang yang selalu membangunkan
dipandang sebagai milik bersama sehingga anggota sekel setiap kali pergi beroperasi
cara penangkapan dan pembagiannya dan membagi hasil tangkapan kepada
harus diatur bersama. Pembuatan dan anggota. Mandore ini berkemampuan dalam
pengoperasian sekel dilakukan beramai- menaksir jumlah hasil tangkapan yang akan
ramai dengan melibatkan semua warga desa. dibagikan ke seluruh anggota. Mendoreso
Oleh karena itu, sekel yang sebelumnya hanya adalah sebutan untuk orang yang menjadi
nama jenis alat tangkap tradisional kemudian bendahara organisasi Sekel.

106
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami

Cara pengaturan penangkapan adalah secara turun-temurun. Isi dari aturan


Senin pagi berangkat dan menginap di pulau adat itu adalah (1) bahwa penangkapan
yang dekat dengan lokasi penangkapan ikan di lokasi berkumpulnya ikan
selama seminggu. Sabtu pagi kembali ke membutuhkan waktu yang relatif lama
Pulau Para untuk melakukan bagi hasil dengan menggunakan alat yang dapat
dan transaksi hasil tangkapan. Adapun hari digunakan oleh komunitas; (2) dapat
Minggu mereka beribadah, sekaligus menjadi dengan mudah diperoleh di sekitarnya;
waktu pantangan untuk menangkap ikan (3) tidak mengancam ekosistem sehingga
dan melakukan aktivitas bisnis. Dalam setiap dibutuhkan pelibatan warga dalam
harinya, ada 6 Sekel yang dioperasikan pada 4 jumlah banyak sesuai dengan prinsip
tempat penangkapan ikan sebagimana yang komunalisme, yaitu sekel; sehingga, (4)
tampak pada tabel 1 berikut. harus ada pulau yang berfungsi sebagai

Tabel 1: Jadwal pengoperasian Sekel Nelayan Pulau Para


di Empat Lokasi Penangkapan Ikan

Lokasi Penangkapan Ikan


Hari
Keterangan
Tatumbango Binuwu Mangareng Lanteke

Senin Ramenusa Balaba Lembo Lumairo Nama masing-


masing kelompok
Selasa Lembo Lumairo Lembe Ramenusa dan ketuanya:
Rabu Lembe Ramenusa Kampiun Lembo Ramenusa: Ulrik
Miau
Kamis Kampiung Lembo Balaba Lembe
Lembo: Tumpia
Jumat Balaba Lembe Lumairo Kampiun Lembe: Oscar Masili
Kampiung: Harso
Madea
Sabtu Lumairo Kampiun Ramenusa Balaba Balaba: Weu Alamat
Lumairo: Hans
Balawera

Sumber: Ketua Majelis Tua-tua Kampung Para, Richard Hammel


(wawancara Ketua Kelompok, 23 Mei 2010)

tempat singgah untuk menangkap ikan.


D. Daseng Sanggaluhang sebagai Kearifan Komunitas sudah memiliki “kesadaran
Komunitas Nelayan dan Perubahannya ruang” dengan karakteristik spesifik,
Komunitas nelayan Pulau Para telah yaitu (1) wilayah berkumpulnya ikan
mengetahui lokasi berkumpulnya ikan, dan (2) wilayah tempat singgah yang
yaitu di Tatumbango, Binuwu, Mangareng, melibatkan warga dalam jumlah banyak
dan Lenteke serta sudah diatur dalam dalam waktu yang relatif lama. Kedua
aturan adat. Lokasi penangkapan tersebut wilayah itu tidak boleh diperlakukan
telah diatur dalam Sekel. Di samping sama. Nelayan yang diatur ke dalam sekel
itu, lokasi penangkapan ikan yang lain dalam jumlah banyak dikhawatirkan
adalah di Bawondeke, Manalokang, Sela, mengganggu wilayah berkumpulnya
dan Neru. Proses penangkapan itu diatur ikan. Wilayah berkumpulnya ikan terusik
dalam aturan adat yang dilembagakan sehingga hasil tangkapan ikan akan

107
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

berkurang yang ujungnya adalah adanya (permukiman sementara, gubuk), alat-alat


ketidakseimbangan ekosistem. rumah tangga secukupnya, generator, dan
Pulau Sanggaluhang dipilih komunitas bahan untuk membangun gereja sementara.
sebagai tempat singgah dengan pertim- Setelah dirasa siap, komunitas nelayan
bangan lokasinya dekat dengan tempat berangkat menuju Pulau Sanggaluhang
berkumpulnya ikan dan termasuk wilayah dengan membawa anggota keluarganya
inahe. Di samping itu, ada legitimasi mitos kecuali anak yang sedang sekolah. Jarak
tentang Pulau Sanggaluhang dikaitkan tempuh dari Pulau Para ke Sanggaluhang
dengan leluhur komunitas Pulau Para yang 30 menit dengan perahu pamo atau 1 jam
berpusat pada I Genggona Langi (Kuasa Yang dengan dayung (penggayung). Mereka
Tertinggi). Penentuan tempat singgah di Pulau menetap selama 3 bulan dan sesudah itu
Sanggaluhang menghasilkan kearifan yang kembali ke desanya. Ada juga sebagian
menjadi acuan komunitas nelayan. Waktu warga yang pulang ke Pulau Para untuk
pelaksanaan daseng ditentukan berdasarkan menjenguk anak, merawat rumah, dan
hasil musyawarah Majelis Tua-tua Kampung kepentingan pelayanan publik lainnya.
Para.Penentuanitumempertimbangkanaspek Ketentuan pulang dan menetap diatur
magis, hitungan rotasi bulan, empiris yang bersama dalam perkauman.
berkaitan dengan aqualing (musim migrasi Nelayan Pulau Para dianjurkan
ikan dari Samudra Pasifik ke Laut Sulawesi), menangkap ikan di Pulau Sanggaluhang
dan kondisi alam. Daseng Sanggaluhang pada di bulan Juni, Juli Agustus, sedangkan
tahun 2010 diputuskan jatuh pada 3 Juni 2010. nelayan Pulau Mahengetang pada bulan
Komunitas melakukan persiapan fisik dan September, Oktober, dan November.
mental seminggu sebelumnya, yaitu sejak Sebelumnya, nelayan Pulau Para me-
tanggal 25 Mei. Kegiatan menangkap ikan nangkap ikan selama 6 bulan. Setelah
dengan mendirikan daseng dalam waktu yang terjadi konflik dengan nelayan Pulau
lama membutuhkan penyucian diri dengan Mangehetang dalam penguasaan SDKP di
niat tulus mendapatkan pertolongan Tuhan Pulau Sanggaluhang, dicapai kesepakatan
agar bisa mendapatkan hasil tangkapan yang bahwa masing-masing diberi waktu 3
banyak dan bermanfaat bagi masyarakat. bulan secara bergiliran. Jadwal dan lokasi
Purifikasi niat akan berdampak pada penangkapan ikan nelayan Pulau Para
purifikasi kosmos dan niat yang apabila tidak dan Pulau Mangehetang diatur dengan
terpenuhi bisa menimbulkan malapetaka. regulasi di tingkat kabupaten. Dari bulan
Di samping itu, dibutuhkan juga persiapan Desember sampai dengan Mei nelayan
fisik dan sosial, yaitu pelembagaan aturan tidak diperkenankan menangkap ikan
kampung (Perkauman) melalui pertemuan dengan alasan pada jarak waktu itu ikan
(komole) dengan warga tentang batas-batas tengah melakukan pemijahan secara alami,
penangkapan ikan, larangan, anjuran, dan ikan-ikan masih kecil, dan sedang musim
bagi hasil tangkapan ikan. Selama seminggu barat dan cuaca tidak mendukung sehingga
itu ketua kelompok Sekel menyiapkan dikhawatirkan menimbulkan malapetaka.
anggotanya dan sekel yang disebut menehide. Para nelayan sering menyebutnya sebagai
Proses pemberangkatan ditandai musim janda (banyak nelayan laki-laki yang
dengan bunyi lonceng gereja (pebahua meninggal sehingga istri mereka menjadi
mehindo) dan doa dalam bahasa Sangihe janda).
yang disebut bahasa sasahara (rahasia, Aturan menangkap ikan dengan
kiasan yang digunakan waktu di laut sekel yang disepakati oleh kelompok Sekel
untuk mengganti kata-kata sebenarnya). diterapkan selama daseng Sanggaluhang
Lalu, komunitas nelayan sesusai dalam bentuk perkauman yang berisi
dengan kelompok sekel-nya menyiapkan beberapa aturan penting. Pertama, larangan
perlengkapan untuk mendirikan daseng melaut kalau ombak sedang besar dan

108
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami

ada badai. Kedua, aturan penangkapan merupakan hukuman karena kelalaian


ikan waktu sore dengan sekel yang tidak para nelayan dalam mematuhi pantangan
boleh memakai lampu, tidak boleh minum dan terjadi pelanggaran terhadap larangan
minuman beralkohol, dan layar tidak yang diwarisi secara turun temurun.
boleh terkembang. Ketiga, para nelayan Hasil tangkapan ikan, selanjutnya,
tidak boleh membuka baju saat merapat ke dibagi kepada seluruh warga dengan
pantai. Kalaupun mereka mau membuka pertimbangan, yaitu warga desa yang sudah
baju harus dilakukan sebelum perahu berkeluarga tetapi belum bekerja (orang
merapat ke pantai. Keempat, tidak boleh yang sudah tua, janda/duda), warga yang
mengucapkan kata-kata yang kurang belum berkeluarga (yatim piatu dan bayi
sopan dan kata-kata makian mengumpat. dalam gendongan), warga dengan status
Kelima, harus membuka tudung kepala sosial tertentu (kepala desa, ketua Majelis
yang mereka kenakan. Keenam, tidak Tua-tua, pendeta, dan perawat), dan status
boleh membawa perhiasan dan tidak boleh keanggotaan dalam sekel. Pembagian
memakai baju merah karena identik dengan tersebut berdasarkan pada hitungan
malapetaka (makasongo saki). Ketujuh, orang/kepala keluarga yang disebut bua.
tidak boleh menyapu halaman ke arah laut Suami memperoleh 50 ekor, istri 50 ekor,
karena arus akan berbalik dari darat ke laut dan tambahan berdasarkan status dan
serta tidak boleh menyapu dengan sapu lidi kepemilikan sebanyak 50 ekor. Setiap hasil
pada sore hari karena ikan akan menjauh tangkapan sebanyak 1000 ekor, aturan
dan mendatangkan arus laut yang kuat. bagi hasilnya adalah pemilik kapal akan
Kedelapan, rambut perempuan tidak boleh menerima bagian sebanyak 50% dan warga
diurai, harus ada kain penutup, dan tidak kampung memperoleh 50 ekor. Perolehan
boleh berhubungan gelap (bahugel-baku). 50 ekor oleh warga kampung dibagi dua
Kesembilan, tidak boleh membuang limbah lagi, yaitu untuk dibagikan kepada anggota
ikan yang dibersihkan ke laut–langsehe yang ikut dan tidak ikut. Hasil tangkapan
berupa darah, insang, dan kulit. Kesepuluh, ikan lebih banyak ikan melalugis (toleng).
anak-anak kecil tidak boleh bermain di sore Ikan yang tidak dikonsumsi dalam
hari. Kesebelas, dilarang menggunakan keadaan segar dibuat ikan asap (ikan
kompresor, jaring insang, dan listrik untuk kodok) dan ikan asin (kinak garang, ikan
menangkap ikan. Keduabelas, tidak boleh gara). Ikan hasil tangkapan nelayan Pulau
melakukan aktivitas pada hari Minggu Para setelah dibagi hasil selebihnya dijual
dan hari-hari besar Gereja. Menariknya, kepada tengkulak (Dompas). Domas dan
dalam perkauman, perempuan hamil nelayan dikondisikan menjadi perangkap
diperkenankan ikut daseng karena tidak ketergantungan dengan memberikan
ada larangan perempuan melahirkan di pinjaman modal dan memberikan fasilitas
Pulau Sanggaluhang. Kalau terjadi ada ‘tebar pesona’ untuk mempertahankan
nelayan yang melanggar aturan perkauman relasi patron-klien. Dompas menjual ikan
melakukan pelanggaran berat ia akan pembelian tersebut ke Pulau Sangihe
dikenakan sanksi berupa teguran lisan atau Besar, ibukota kabupaten, yaitu Tahuna,
disuruh pulang dari lokasi oleh Tonaseng atas SITARO (Siau, Tagulandang, Biaro), dan
usul anggota. Sementara, apabila terdapat ke Manado. Ikan itu diangkut dengan
pelanggaran berat di lokasi, pihak yang kapal penumpang dan barang yang secara
melanggar akan dikenakan sanksi denda regular berlayar dari Manado ke pulau-
berupa barang atau uang senilai barang itu pulau sekitarnya sampai dengan Pulau
yang nantinya digunakan untuk keperluan Miangas (Seperti Kapal Berkat Taloda,
pembangunan Gereja atau fasilitas umum Paradiso, dan Maria).
lainnya. Masyarakat meyakini bahwa Penerapan ekonomi pasar menyebab-
menurunnya hasil tangkapan ikan kan beberapa perubahan mendasar dalam

109
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

kehidupan sosio-kultural komunitas nelayan produksi yang dengan mengunakan


Pulau Para. Para nelayan yang sebelumnya teknologi tertentu dapat dieksploitasi
menggunakan sekel, saat ini sebagian sudah menjadi barang komoditas bernilai
menggantinya dengan jaring yang terbuat ekonomi tinggi (Tadem, 1990:14). Sistem
dari nilon serta menggunakan perahu itu menciptakan marjinalisasi masyarakat
bermotor. Penggunaan alat tangkap pukat setempat karena eskploitasi kurang
lingkar dan motorisasi telah menyebabkan menghiraukan kehidupan masyarakat.
sekel berkurang. Dengan masuknya ekonomi Warga masyarakat yang mengajukan
pasar, nelayan di Pulau Para dan pulau-pulau tuntutan untuk mendapatkan akses justru
di sekitarnya semakin memperhitungkan dianggap sebagai pengacau.
uang dalam setiap usaha penangkapan ikan Perubahan sosio-kultural dan politik
sehingga terdorong melakukan eksploitasi menimbulkan konflik pengelolaan sum-
sumberdaya laut sebanyak mungkin. Ke- berdaya perikanan di Pulau Para, seperti
biasaan tolong-menolong diganti dengan konflik antara nelayan Pulau Para dan
unsur uang. Ikatan solidaritas tidak lagi Pulau Mahangetang. Nelayan Pulau
didasarkan atas kepentingan bersama. Oleh Mahangetang diduga kuat melanggar
karena itu, sering terjadi pelanggaran batas aturan adat menangkap ikan karena
daerah penangkapan yang telah disepakati menggunakan soma di wilayah Sekel Pulau
bersama dan muncul kelompok-kelompok Para, yaitu Sanggaluhang, Bawondeke,
yang mengarah pada konflik penguasaan Manalokang, Sela, dan Neru. Para nelayan
SDKP. Transaksi ikan asin dan ikan asap Mahangetang beralasan sumberdaya
yang dulu dilakukan dengan cara barter, laut sebagai milik bersama, sedangkan
sejak tahun 80-an dilakukan dalam bentuk adat di Pulau Para menyatakan laut
uang dan bersifat komersial dengan sebagian berada dalam teritori adatnya. Konflik
hasil tangkapan langsung dijual ke Domas. tersebut diselesaikan dengan cara nelayan
Sebelumnya, ikan diperdagangkan secara Mahangetang mendapat hak selama
keliling olehpengedar(mandalungkisu).Domas satu hari dalam seminggu menangkap
bekerjasama dengan pengepul yang berasal ikan di Pulau Bawondoke. Konflik itu
dari nelayan Pulau Para untuk membeli ditindaklanjuti oleh Bupati Sangihe, Aries
tangkapan nelayan dengan membeli secara J.T. Makaminan, dengan menerbitkan
tunai (luang kebi). Pengepul untuk mengikat Surat Keputusan Bupati Nomor 65 Ta-
transaksi dengan nelayan melakukan siasat hun 2003 tentang penetapan kebijakan
dengan menyiapkan perahu, bahan bakar, pengelolaan/penangkapan ikan di wilayah
dan sarana lainnya. Nelayan terikat kepada laut Pulau Sanggaluhang dalam status quo.
pengepul karena mekanisme pinjaman uang Nelayan Para dan Mahangetang tidak
(mengedang doite) dengan bunga rata-rata 5. diperkenankan mengatur dan mengelola
Di samping itu, kepemilikan kapal lokasi tersebut. Bupati juga mengeluarkan
dan alat tangkap pribadi makin meningkat jadwal baru pemanfaatan sumberdaya
sehingga terdapat pekerjaan dan relasi laut dengan ketentuan sejak awal Juni
baru, yaitu nelayan pemilik dan nelayan hingga September sumberdaya laut di
buruh. Peningkatan kepemilikan pribadi Sanggaluhang dimanfaatkan oleh nelayan
terjadi selama masa pemerintah Orde Para. Selanjutnya September hingga
Baru yang menerapkan kebijakan kon- Desember giliran nelayan Mahangetang.
versi dari natural capital menjadi financial Adapun dari awal Desember hingga Juni
capital (Usman, 1998:261-263). Stratifikasi dilakukan konservasi ekologis.
baru ini menimbulkan konflik karena Komunitas nelayan Pulau Para mem-
kepemilikan pribadi menekankan pa- protes keputusan tersebut. Pada awal
da pengelolaan sumberdaya dengan Mei 2003, Majelis Tua Kampung Para dan
paradigma sumberdaya sebagai faktor Kapitalaung mengirim surat kepada Bupati

110
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami

meminta agar mengeluarkan keputusan temuan penelitian Bustami dan Arsyad


untuk melarang nelayan Mahangetang (2009) yang menyatakan pentingnya
memanfaatkan sumberdaya laut di Pulau membentuk forum multi-stakeholder dalam
Sanggaluhang dan sekitarnya. Isi surat mengelola SDKP yang dikembangkan
itu adalah komunitas nelayan Pulau secara holistik dalam ikatan geografis,
Para merasa harga diri mereka terhina kearifan komunitas, dan memperhatikan
karena wilayah perairan yang selama ini keunikan ekosistem. Perbedaan temuan
dikelola secara adat mulai diatur orang itu adalah daseng sebagai organisasi sekel
dari kampung lain. Nelayan Pulau Para yang masih dilembagakan secara terbatas
melakukan demo di DPRD Sangihe. di Pulau Para dan belum melibatkan
Mereka diterima Ketua DPRD Hein Piet pemangku kepentingan lainnya.
Sahambangung dan Wakil Ketua Alex
Tatinting. Warga juga berdemonstrasi di
Kantor Bupati dengan tuntutan SK Bupati F. Makna-makna Strategis Daseng:
Nomor 65 dicabut dan meminta penanganan Purifikasi Kosmos, Konservasi
kasus terbunuhnya Tius Taputi (60 tahun), Ekologi, dan Regenerasi Prinsip
Parlis Pajiang (21 tahun), John Barauntu (42 Komunalisme
tahun), Zeth Karulung (43 tahun)–warga Nelayan merupakan pekerjaan be-
Para–dalam konflik dengan warga Pulau risiko tinggi karena harus menghadapi
Mahangetang. Konflik tersebut, akhirnya, kerawanan ekologis, kerawanan struktural,
diselesaikan melalui resolusi dengan dan kerawanan pasar serta sewaktu-waktu
prinsip komunalisme. Nelayan Pulau maut dapat menjemput. Meskipun demi-
Para menangkap ikan pada Juni-Agustus, kian, nelayan percaya bahwa kehidup-
sedangkan nelayan Pulau Mahangetang an mereka bergantung sepenuhnya ke-
pada September-Nopember. Enam bulan pada laut. Ketidakseimbangan ekosistem
berikutnya kedua nelayan dilarang untuk harus dicegah sekaligus dihindari karena
menangkap ikan sebagai konservasi. bisa menyebabkan malapetaka. Di sisi
Kearifan komunitas dalam pengelo- lain, relasi manusia dalam memenuhi
laan SDKP dengan menggunakan alat kebutuhannya berlangsung dalam suasana
tangkap sekel, organisasi nelayan Sekel, keterbatasan. Keterbatasan itu menjadikan
dan daseng memberikan kontribusi relasi manusia dengan lingkungannya
efektif bagi solusi konflik kepemilikan bervariasi dan bergerak secara diametral
sumberdaya. Solusi konflik dengan me- dari fatalistis, simbiosis mutualistis, sampai
dia kultural menghasilkan kesepakatan dengan eksploitatif.
untuk meninjau kembali kebijakan dan Hal-hal yang bertentangan dengan
menyusun bersama kebijakan yang kearifan komunitas nelayan Para terdiri
sedikit lebih berpihak kepada nelayan atas: (a) penangkapan ikan berlebihan
dan mengakui hak komunitas. Regulasi dengan menggunakan teknologi yang
yang berakar dari daseng terkadang tidak merusak lingkungan; (b) penangkapan
berjalan seiring dengan regulasi yang yang melanggar kesepakatan adat; (c)
diputuskan oleh pejabat publik sehingga praktik bisnis sumberdaya perikanan
menimbulkan persoalan baru dan menjadi yang hanya menguntungkan segelintir
bagian dari masalah. Dengan demikian, orang dan menyengsarakan masyarakat
sekel sebagai organisasi komunitas dan setempat; dan, (d) ketidakpatuhan pada
daseng cukup efektif sebagai resolusi aturan agama dan adat yang menimbulkan
konflik. Melalui sekel, nelayan sebagai lingkungan tercemar, kotor, tidak suci
basis diorganisasi melalui organisasi lagi sehingga mengganggu pemenuhan
komunitas agar bisa mengendalikan laju kebutuhan hidup masyarakat. Strategi
perubahan. Temuan ini memperkuat yang dilakukan adalah melakukan ritus

111
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

purifikasi kosmos untuk menyucikan diri dan Komunitas nelayan Pulau Para
lingkungan tersebut guna memperkecil meyakini bahwa keberlanjutan kehidupan
ketidakpastian, ketegangan, dan konflik. manusia tergantung pada ketersediaan
Prosesi daseng berawal dengan doa dan SDKP. Kerusakan SDKP akan berimplikasi
lonceng gereja dan diakhiri dengan doa di pada kualitas kehidupan manusia. Untuk
Gereja Pulau Para. Selama ini, masyarakat menjaga kelestarian SDKP, mereka
Pula Sanggaluhang melembagakan anjuran, menciptakan kearifan komunitas yang
pantangan, dan sanksi. Pelembagaan ter- mengatur pentingnya menjaga kelestarian
sebut merupakan simbolisasi purifikasi ekologis yang dinyatakan dalam bentuk
sesuai dengan nilai kultural sehingga terjadi larangan menangkap jenis ikan, zona
sakralisasi realitas. Ritus purifikasi kosmos aktivitas ikan, keterkaitan jenis ikan
menjadikan komunitas dan lingkungan dengan ekosistem pesisir dan laut, siklus
mereka yang sebelumnya terpolusi menjadi ikan dan perkembangannya, dan waktu
suci dan Tuhan yang abstrak menjadi nyata penangkapan. Masa larangan menangkap
adanya. Kebermaknaan ritus purifikasi ikan selama 6 bulan dan bertempat tinggal
menjadi memori kolektif yang dikekalkan di daseng selama 3 bulan dengan alat
secara intensif dan repetitif. tangkap sekel dan diorganisasi melalui
Temuan ini sekaligus menguatkan Sekel merupakan bentuk konservasi yang
pendapat beberapa peneliti tentang ritus. mampu menjamin kelestarian lingkungan.
Geertz (1973) menyatakan bahwa ritus Masa larangan itu berkaitan dengan
yang dilakukan secara berkala menjadikan pemberian kesempatan kepada jenis ikan
kekuatan supranatural, Tuhan, yang malalugis dan aqualing untuk berkembang
abstrak menjadi nyata. Mary J. Douglas biak di lokasi berkumpulnya ikan dan, pada
(1979) membicarakan wilayah yang suci waktunya, ketika ikan sudah relatif besar
(purity) dan wilayah yang berbahaya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa
(danger) serta wilayah yang diyakini kotor merusak siklus ikan. Konservasi berbasis
(pollution) harus disucikan melalui ritus. kearifan komunitas itu terbukti mampu
Koentjaraningrat (1985:11-48) menyatakan mempertahankan kehidupan sumberdaya
bahwa substansi ritus itu sejatinya adalah perikanan. Temuan ini memperkuat
melembagakan regenerasi semangat untuk pendapat Nababan (1995:425-426) terkait
merespons kehidupan kepada masyarakat prinsip konservasi berbasis kearifan lokal
dalam beraktivitas keseharian menuju yang lebih maju dibandingkan konservasi
kehidupan yang lebih baik.Temuan yang modern dan mampu memperkaya
yang berbeda adalah kearifan komunitas keanekaragaman hayati suatu ekosistem.
memuat kesadaran kewilayahan ber- Perbedaan dengan pendapat Nababan
dasarkan potensi sumberdaya per-ikanan, adalah sekel dan daseng dalam pengelolaan
aturan yang berlaku, dan ritus yang SDKP bukan hanya melestarikan
dilakukan. Komunitas diatur dengan sekel lingkungan, tetapi juga mempertahankan
ketika berada di lokasi berkumpulnya keberlanjutan fungsi sosial dan ekonomi
ikan, sedangkan di daseng diatur dengan komunitas.
pantangan dan anjuran yang dilembagakan Komunitas nelayan Pulau Para
melalui peraturan perkauman. Pelanggaran mengalami dinamika yang menimbulkan
terhadap aturan akan menimbulkan perubahan sosio-kultural dan politik.
petaka, ketidakseimbangan ekologis, dan Realitas yang berubah menjadikan daseng
sedikitnya hasil tangkapan. Kesadaran secara evolutif cenderung mengalami
kewilayahan komunitas nelayan itu me- marjinalisasi. Daseng diaktifkan untuk
rupakan konstruksi berpikir mereka mengatur SDKP dan mengeliminasi
tentang wilayah atau an imagined geography konflik pemanfaatan SDKP dan agar
(D’Alisera, 2004). hasil terdistribusikan ke setiap warga.

112
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami

Ikatan solidaritas yang semakin melemah, digunakan daseng adalah dengan mem-
modernisasi alat tangkap dan motorisasi, bagi yang sedikit kepada semua orang
munculnya stratifikasi baru seiring de- dengan acuan memperoleh bagian.
ngan pembagian kerja yang semakin Daseng berfungsi memenuhi kebutuhan
spesifik, dan menguatnya kekuatan pasar ekonomi dan sosio-kultural komunitas
menjadikan komunitas mengaktifkan dalam pengelolaan SDKP sehingga tetap
daseng sebagai strategi kebudayaan. Daseng dipertahankan di tengah komunitas yang
menjadi bagian integral dari kehidupan, sedang berubah. Temuan ini memperkuat
terutama aktivitas yang membutuhkan pendapat Malinowski (1948:93) bahwa
bantuan orang lain (mapalus). Daseng pranata sosial yang fungsional membuat
melembagakan prinsip komunalisme manusia sanggup mempertahankan diri
kepada generasi sekarang. Temuan ini dalam menghadapi ketidakteraturan alam
memperkuat pendapat Suparlan (1986) akan dipertahankan. Daseng diaktifkan
bahwa ketentuan adat dan agama menjadi melalui pengembangan konservasi terumbu
tuna-makna dan hilang karena kegagalan karang dengan wilayah yang tidak boleh
dalam regenerasi. ada aktivitas penangkapan ikan dengan
Prinsip komunalisme mewujud dalam memberi tanda berupa jangkar dan napobatu
bentuk tolong-menolong, berbagi dalam (bendera yang ditancapkan ke karang yang
keterbatasan sebagai manifestasi solidaritas timbul). Pilihan rasional komunitas dalam
sosial tingkat tinggi yang didasarkan pada mengaktifkan daseng adalah bentuk praksis
moralitas, rasa bersatu, dan konsensus pendukung kearifan disesuaikan dengan
bersama. Komunalisme menjadi memori dinamika komunitas dan lingkungan
kolektif masyarakat dan dilembagakan yang berlangsung secara timbal-balik
melalui ritus dan mitos untuk mengatur dalam simbiosis mutualis. Temuan ini
perilaku masyarakat. Ketentuan itu memperkuat pendapat Bourdieu (1977:159-
menekankan pada anjuran dan larangan 183) bahwa ada hubungan timbal-balik
sehingga prinsip itu selalu terjaga. antarkeduanya, yaitu (l) struktur objektif
Perubahan prinsip akan berimplikasi direproduksi secara terus-menerus dalam
pada terjadinya petaka dan terancamnya praksis dan para pelakunya berada dalam
keberlangsungan kehidupan. Daseng konteks tertentu; (2) dalam proses tersebut
menjadi sebuah totem yang mengandung para pelaku mengartikulasikan dan
kekuatan magis yang mempersatukan mengapresiasi simbol-simbol budaya yang
seluruh potensi masyarakat menjadi terdapat dalam struktur objektif sebagai
senasib (in group feeling) dan proses tindakan strategis dalam konteks sosial
peliyanan (othering) sehingga menjadi tertentu; sehingga (3) proses timbal-balik
pusat solidaritas komunitas nelayan Pulau secara terus menerus antara praksis dan
Para. Selain itu, daseng juga menjadi media struktur objektif dapat menghasilkan baik
integrasi sosial. Temuan ini memperkuat perubahan maupun kontinuitas.
pendapat Durkheim (1965:512-563) tentang Daseng sebagai media penguatan
agama berkaitan dengan fungsi “yang struktur sosial yang fungsional mampu
sakral” sebagai pusat solidaritas yang menciptakan keteraturan sosial sehingga
mampu menciptakan integrasi sosial. dikekalkan oleh para nelayan dan mereka
Di samping itu, daseng yang mengatur bertanggung jawab untuk melakukannya
waktu menangkap, lokasi penangkapan, secara berkala sesuai dengan aturan.
alat tangkap, kelompok nelayan, dan Pesan simbolik daseng adalah bahwa
bagi hasil menunjukkan adanya prinsip keberlangsungan hidup manusia di-
komunalisme. Masalahnya, jumlah warga tentukan oleh perlakuan manusia
yang banyak seringkali tidak sebanding terhadap lingkungan. Absennya daseng
dengan jumlah tangkapan. Cara yang menimbulkan petaka berupa kerusakan

113
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

lingkungan. Pesan simbolik tersebut purifikasi kosmos, konservasi ekologi,


dilembagakan melalui cerita tutur yang dan regenerasi prinsip komunalisme.
menceritakan bahwa ketika daseng tidak Daseng Sanggaluhang sebagai ritual yang
dilaksanakan akan terjadi bencana beruntun mengekalkan ajaran tentang pentingnya
dan muncul peringatan simbolik dari dunia pengelolaan SDKP mampu menjamin
gaib. Dengan sendirinya, pesan kolektif itu keberlanjutan ekologis, keberlanjutan sosial,
diterima oleh komunitas sehingga daseng dan keberlanjutan ekonomi. Implementasi
tetap dilaksanakan dalam konteks dinamika kearifan komunitas nelayan Pulau Para
komunitas. Temuan ini memperkuat perlu direvitalisasi, yakni melalui aturan
pendapat Koentjaraningrat (1985:31-35) yang tidak tertulis yang dikuatkan dengan
bahwa pelembagaan regenerasi prinsip regulasi formal tertulis (perkauman) dan
komunalisme melalui upacara penting didesiminasikan ke nelayan di pulau-pulau
bagi masyarakat untuk beraktivitas sehari- di sekitarnya sehingga dapat dihindari
hari menuju kehidupan yang lebih baik. konflik perebutan SDKP. Di samping itu,
Daseng merupakan kearifan komunitas perlu kiranya penguatan aspek ekonomi
yang dijadikan pedoman praktikal dalam mikro dalam bentuk peningkatan ekonomi
pengelolaan SDKP menuju kehidupan rumah tangga nelayan sehingga mereka
yang lebih baik. tidak tergoda untuk melakukan aktivitas
penangkapan yang bisa melanggar dan
merusak eksistensi kearifan komunitas
F. Simpulan nelayan.
Sebagai kearifan komunitas nelayan
Pulau Para, daseng Sanggaluhang bermakna
filosofis, teologis, dan rasional serta Daftar Pustaka
bisa diterima oleh anggota komunitas Abdullah, Irwan. 2006. “Dari bounded
di tengah-tengah perubahan sosio- System ke Borderless Society: Krisis
kultural akibat penerapan ekonomi Metode Antropologi dalam
pasar. Untuk menyiasati perubahan ter- Memahami Masyarakat Masa Kini,”
sebut, komunitas nelayan Pulau Para dalam Jurnal Antropologi Indonesia,
melakukan institusionalisasi kearifan No. 60, hlm. 185-192.
melalui cerita tutur yang berkesesuaian Alam, Bachtiar. 1998. “Globalisasi dan
dengan realitas sehingga dilakukan secara Perubahan Budaya: Perspektif
terus-menerus sesuai dengan ketentuan Teori Kebudayaan,” dalam Jurnal
adat dan dilaksanakan secara kontekstual. Antropologi Indonesia, No. 54, hlm.
Komunitas nelayan telah melakukan strategi 1-23.
adaptasi terhadap perubahan dengan Abdullah, M. Adli. S Tripa & Muttaqin,
memodifikasi sekel dengan pemberat batu T. 2006. Selama Kearifan Adalah
(sekel somabatu) dan penguatan adat secara Kekayaan Eksistensi Panglima Laot
tertulis dalam bentuk regulasi formal, yaitu dan Hukom Adat Laot di Aceh. Banda
perkauman yang mengatur konservasi Aceh: Lembaga Hukom Adat laot/
terumbu karang. Panglima Laot Aceh dan Yayasan
Daseng Sanggaluhang memuat aturan Kehati.
konservasi ekologis berbasis adat yang Arsyad A. 2007. “Analisis Sistem
secara substansial memberikan kontribusi Pengelolaan Perikanan Artisanal
bagi masa depan komunitas nelayan itu Berkelanjutan: Kasus Kelurahan
sendiri. Daseng Sanggaluhang merupakan Pulau Abang, Kota Batam Provinsi
pilihan rasional komunitas yang di- Kepulauan Riau,” Disertasi. Bogor:
hadirkan sesuai dengan pemenuhan Institut Pertanian Bogor.
kebutuhan komunitas nelayan secara
praksis dan dinamis. Daseng bermakna

114
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami

As’ad, Talal. (Tanpa Tahun) “Anthro- Bustami, Abdul Latif & Arsyad, Apendy.
pological Conceptions of Religion: 2010. “Revitalisasi Pranata Sosial
Reflection on Geertz,” Man 8 (2):237- Adat di Propinsi Sulawesi Utara,”
259 Laporan Kegiatan. Jakarta: Ditjen
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan KP3K Direktorat Pemberdayaan
Sangihe. 2010. Sangihe Dalam Angka Masyarakat Pe-sisir dan Pengem-
tahun 2009. Sangihe: BPS Kabupaten bangan Usaha, Kementerian Ke-
Kepulauan Sangihe. lautan dan Peri-kanan.
Berger, Peter L. 1976. Pyramids of Sacrifice. Charles, A. 2001. Sustainable Fishery Systems.
New York: Anchor Press Double Oxford: Blackwell Science Ltd.
Day. D’Alisera, JoAnn. 2004. An Imagined
Berkes, F.; Mahon, R.; Conney, PM.; Geography: Sierra Leonean Muslims in
Pollnac, R. and Pomeroy, R. 2001. America. Philadephia: University of
Managing Small-scale Fisheries, Pensylvania Press.
Alternatif Direction and Methods. Denzin, Norman K & Lincoln Yvonna S
Ottawa, Canada: IDRC. (eds). 2000. Handbook of Qualitative
Bourdieu, Pierre, 1977. Outline of a Theory of Research Second Edition. Thousand
Practice, (terjemahan Inggris Richard oaks: Sage Publications.
Nice). Cambridge: Cambridge Ditjen KP3K. 2010. Rumusan Hasil
University Press Workshop Revitalisasi Kearifan
Bustami, Abdul Latif. 2010, “Epilog: Lokal dalam Pengelolaan Sumber
Melintas Batas Meretas Ranah,” Daya Kelautan dan Perikanan
dalam Sainul Hermawan. Pelajaran Ambon, 4-6 Agustus 2010, Ditjen
Bahasa Kumpulan Cerita Pendek. KP3K, Direktorat Pemberdayaan
Yogyakarta: Pustaka Prima. Masyarakat Pesisir dan Pengem-
Bustami, Abdul Latif. 2010. “Revitalisasi bangan usaha Kementerian Kelautan
Pengelolaan SDKP Berbasis Kearifan dan Perikanan.
Komunitas (Hasil Identifikasi 18 Ditjen KP3K. 2011. Kerangka Acuan
Provinsi),” materi disajikan pada Kegiatan. Ditjen KP3K, Direktorat
Workshop Revitalisasi Pengelolaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan
SDKP dalam rangka Mendukung Pengembangan usaha Kementerian
Sail Banda, 4-6 Agustus 2010 di Kelautan dan Perikanan.
Ambon, Direktorat Pemberdayaan Douglas, Mary J, 1979. Purity and Danger An
Masyarakat Pesisir, Ditjen KP3K Analysis of Concepts of Pollution and
Kementerian Kelautan dan Per- Taboo. Reprint London: Routledge &
ikanan. Kegan Paul.
Bustami, Abdul Latif. 2008. “Indonesia Durkheim, E. 1965. The Elementary Forms
Dunia Tak Pernah Sudah,” dalam of The Religion Life. New York: Free
Haryono (ed). Seabad Kebangkitan Press.
Nasional. Malang: Cakrawala Indo- Forde, C.D. 1963. Habitat, Economy, and
nesia. Hlm.175-200. Society. New York: Dutton.
Bustami, Abdul Latif & Arsyad, Apendy. Geertz. C. 1973. The Interpretation of Cultures.
2009. “Makna Filosofis Upacara Adat New York: Free Press.
Pakelem di Bali,” Laporan Kegiatan. Goodenough, W.H. 1963. “Cultural
Jakarta: Ditjen KP3K Direktorat Pem- Anthropology and Linguistics,”
berdayaan Masyarakat Pesisir dan dalam D. Hymes (eds). Language
Pengembangan Usaha, Kementerian in Culture and Society. New York:
Kelautan dan Perikanan. Harper and Row.

115
Vol. 1, No. 1, Juni 2011

Hidayat, A. 2005. Institutional analysis of Suparlan, Parsudi. 1963. “Masyarakat


coral reef management: a case study Sangir Talaud di Tanjung Priok
of Gili Indah village, West Lombok, dengan Latar Belakang Masyarakat
Indonesia. Aachen, Germany: Shaker Sangir Talaud di Sangir Talaud,”
Verlag Press. Skripsi, Jurusan Antropologi. Jakarta:
Koentjaraningrat (ed). 1985. Ritus Peralihan Universitas Indonesia.
di Indonesia. Jakarta: PT.Balai Syahrowi, R.N.; Latif, Abdul Latif Bustami.
Pustaka. 2010. “Identifikasi Kearifan Lokal
Malinowski, B. 1948. Magic, Science and di Indonesia,” Laporan Proyek
Religion. New York: The Free Press. Swakelola. Jakarta: Direktorat Pem-
Nababan, A. 1995. “Kearifan tradisional berdayaan Masyarakat Pesisir
dan pelestarian lingkungan hidup dan Pengembangan Usaha, Ditjen
di Indonesia”, dalam Jurnal Analisis KP3K, Kementerian Kelautan dan
CSIS, 24 (6), hlm. 421-435. Perikanan.
Panayotou, T. 1985. “Small-scale fisheries Tadem, Eduardo. 1990. “Conflicts over
in Asia: an introduction and Land-based Natural Resources in
overview,” dalam Proceeding of The ASEAN Countries,” dalam Lim
Small-scale fisheries in Asia: socio- Teck Ghee and Mark J Valencia.
economic analysis and policy. Ottawa- Conflict over Natural Resources in South
Canada: IDRC. East Asia and the Pacific. Singapore:
Saad, S. 2000. “Hak Pemeliharaan dan United Nations University Press.
Penangkapan Ikan (Eksistensi Ulaen, Alex J. 1998. “Pantangan Bagi Wanita
dan Prospek Pengaturannya Di Hamil dan Perawatan Persalinan
Indonesia),” Disertasi. Yogyakarta: di Kepulauan Sangihe Talaud,
Universitas Gadjah Mada. Sulawesi Utara,” dalam Meutia
Sahlins, Marshall D. 1994. “Goodbye to Hatta Swasono (ed). Kehamilan dan
Trites Tropique: Ethnography in the Kelahiran Perawatan Ibu dan Bayi
Conteext of Modern World History,” dalam Konteks Budaya. Jakarta: UI
dalam Borofsky (ed). Assesing of Press.
Cultural Anthropology. New York: Undang Undang. 2004. Undang Undang
McGraw Hill Inc. RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Soselisa H. 2001. “Sasi Laut di Maluku: Perikanan. Jakarta.
Pemilikan Komunal dan Hak-Hak Undang Undang. 2007. Undang Undang
Komunitas dalam Manajemen RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Sumber Daya Kelautan,” dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan
Franz von Benda-Backmann (et Pulau-pulau Kecil. Jakarta.
al). Sumber Daya Alam dan Jaringan Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan
Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka dan Pemberdayaan Masyarakat.
Pelajar. Jogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumarauw, Elisabeth J. 1981. “Lepasi Wahyono, A.; Patji, AR.; Laksono, D.S.;
Suatu Upacara Keagamaan di Indrawasih, R.; Sudiyono; Ali, S.
Pulau Mahengetang Sangir Talaud: 2000. Hak ulayat laut di kawasan timur
Suatu Deskripsi,” Skripsi, Jurusan Indonesia. Cetakan 1. Yogyakarta:
Antropologi. Jakarta: Universitas Penerbit Media Pressindo.
Indonesia.
Suparlan, Parsudi. 1986. “Kebudayaan
dan Pembangunan,” Media IKA
Universitas Indonesia.

116

Anda mungkin juga menyukai