DASENG SANGGALUHANG:
KEARIFAN KOMUNITAS DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
KELAUTAN DAN PERIKANAN
DASENG SANGGALUHANG:
A COMMUNITY WISDOM IN MANAGING
MARITIME AND FISHERIES RESOURCE
Abstrak
Abstract
101
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
102
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami
103
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
104
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami
Sangihe. Pulau Para sebagai perlintasan sama dengan semua komponen komunitas
penguasa dan pedagang dari Sangihe untuk mengatasi kesulitan.
dan Siau menuju Manado sebagai pusat Komunitas nelayan Pulau Para
kekuasan dan pasar. Pulau Para dijadikan mempunyai konstruksi wilayah ber-
tempat singgah para Raja dari Siau dan dasarkan kekuasaan politik dan ekonomi,
Sangihe untuk beberpa keperluan, seperti yaitu pusat kekuasaan dan bagian dari
mengisi bahan makanan dan komoditas, kekuasaan (pinggiran). Pusat kekuasaan
termasuk berteduh ketika angin dan berada di ibu kota kabupaten Pulau
badai. Mereka mengidentifikasi dirinya Sangihe Besar yang disebut dengan
dengan bininta (perahu zaman kuno). nusa labo’ (pulau besar) dan merupakan
Latar belakang sejarah itu diperkuat daratan utama. Konstruksi itu terdapat
dengan adanya pertalian keluarga dengan juga di Talaud dengan menyebut Pulau
penduduk di luar Pulau Para. Sistem Karakelang sebagai pusat kekuasaan
kekeluargaan di Pulau Para didasarkan dengan sebutan tana lowo’ (pulau besar).
pada suku (timmaddu ruanganna), yaitu Karakelang sendiri bermakna Aea’allanna,
Alamat, Sakendatu, Madea, Tumpia, dan Ara’alla, bara’alla, yakni besar, terbesar,
Temengge. Alamat mempunyai keturunan dan yang terbesar. Pulau Para merupakan
di Pulau Siau, Sakendatu mempunyai wilayah pinggiran, sedangkan Pulau
keturunan dengan suku Masili, sedangkan Sangihe Besar (Sangir) sebagai nusa labo’.
Madea mempunyai keturunan Lenge Konstruksi itu berdampak pada aspek
(Laene) dan Mangarita. Di Pulau Para politis, ekonomis, dan budaya.
banyak keturunan Tumpia yang sering Pulau Para dekat dengan Banuawuhu
disebut asli Pulau Para. Kapitalaung (kepala (gunung di bawah permukaan laut).
desa) yang berasal dari istilah Kapiten Laut Wilayah ini diyakini sebagai wilayah
selalu berasal dari keturunan suku tersebut pemijahan dan berkumpulnya ikan
berdasarkan legitimasi genealogis dan serta menghasilkan batu apung. Kabu-
magis-religius. paten Kepulauan Sangihe tahun 2007
Setelah berinteraksi dengan agama menghasilkan ikan laut sebanyak 6.717,10
Kristen, pemimpin gereja menjadi ton dan budi daya darat 1,64 ton, sedangkan
tokoh yang dihormati. Pemimpin gereja potensi lestari sebanyak 25.000 ton/tahun
melaksanakan ibadah sesuai dengan (BPS Kabupaten Kepulauan Sangihe, 2010).
keyakinan keagamaan, sedangkan tokoh Perahu yang sering digunakan untuk
adat melaksanakan ritual daur hidup menangkap ikan adalah perahu londe
sesuai dengan tuntunan adat. Pemimpin (perahu bercadik ukuran kecil), perahu
gereja ditunjuk oleh pihak gereja, pamo (perahu tanpa cadik), dan perahu
sedangkan Ketua Adat dipilih di kalangan pelang (bercadik ukuran besar). Adapun
komunitas. Di samping itu, tonaseng (tokoh alat penangkap ikan adalah sekel, pukat
adat yang mempunyai kekuatan magis cincing dan pancing tonda. Ikan yang
yang mengatur sekel Pangalo) didampingi sering ditangkap adalah ikan cucut, ikan
oleh Guru Jemaat. Agama Kristen menjadi layang, madidihang, cakalang, dan tuna.
legitimasi teologis bagi “agamanisasi adat”, Komunitas nelayan Pulau Para mengenal
sehingga adat tidak bertentangan dengan 3 jenis wilayah perairan yang dijadikan
agama dan agama Kristen mudah diterima sebagai tempat penangkapan ikan, yaitu:
komunitas. Komunitas menempatkan pula sanghe, inahe, dan elie. Sanghe adalah
pemilik pukat harimau di Pulau Para dalam suatu wilayah laut tempat terumbu karang
status yang tinggi. Semua elit komunitas (nyare), yang banyak dihuni ikan-ikan
bekerja sama dalam daseng berdasarkan karang. Inahe adalah wilayah perairan yang
nilai budaya somahe kaekahage, bekerja batas antara sanghe dan elie. Sementara, elie
105
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
106
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami
107
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
108
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami
109
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
110
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami
111
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
purifikasi kosmos untuk menyucikan diri dan Komunitas nelayan Pulau Para
lingkungan tersebut guna memperkecil meyakini bahwa keberlanjutan kehidupan
ketidakpastian, ketegangan, dan konflik. manusia tergantung pada ketersediaan
Prosesi daseng berawal dengan doa dan SDKP. Kerusakan SDKP akan berimplikasi
lonceng gereja dan diakhiri dengan doa di pada kualitas kehidupan manusia. Untuk
Gereja Pulau Para. Selama ini, masyarakat menjaga kelestarian SDKP, mereka
Pula Sanggaluhang melembagakan anjuran, menciptakan kearifan komunitas yang
pantangan, dan sanksi. Pelembagaan ter- mengatur pentingnya menjaga kelestarian
sebut merupakan simbolisasi purifikasi ekologis yang dinyatakan dalam bentuk
sesuai dengan nilai kultural sehingga terjadi larangan menangkap jenis ikan, zona
sakralisasi realitas. Ritus purifikasi kosmos aktivitas ikan, keterkaitan jenis ikan
menjadikan komunitas dan lingkungan dengan ekosistem pesisir dan laut, siklus
mereka yang sebelumnya terpolusi menjadi ikan dan perkembangannya, dan waktu
suci dan Tuhan yang abstrak menjadi nyata penangkapan. Masa larangan menangkap
adanya. Kebermaknaan ritus purifikasi ikan selama 6 bulan dan bertempat tinggal
menjadi memori kolektif yang dikekalkan di daseng selama 3 bulan dengan alat
secara intensif dan repetitif. tangkap sekel dan diorganisasi melalui
Temuan ini sekaligus menguatkan Sekel merupakan bentuk konservasi yang
pendapat beberapa peneliti tentang ritus. mampu menjamin kelestarian lingkungan.
Geertz (1973) menyatakan bahwa ritus Masa larangan itu berkaitan dengan
yang dilakukan secara berkala menjadikan pemberian kesempatan kepada jenis ikan
kekuatan supranatural, Tuhan, yang malalugis dan aqualing untuk berkembang
abstrak menjadi nyata. Mary J. Douglas biak di lokasi berkumpulnya ikan dan, pada
(1979) membicarakan wilayah yang suci waktunya, ketika ikan sudah relatif besar
(purity) dan wilayah yang berbahaya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa
(danger) serta wilayah yang diyakini kotor merusak siklus ikan. Konservasi berbasis
(pollution) harus disucikan melalui ritus. kearifan komunitas itu terbukti mampu
Koentjaraningrat (1985:11-48) menyatakan mempertahankan kehidupan sumberdaya
bahwa substansi ritus itu sejatinya adalah perikanan. Temuan ini memperkuat
melembagakan regenerasi semangat untuk pendapat Nababan (1995:425-426) terkait
merespons kehidupan kepada masyarakat prinsip konservasi berbasis kearifan lokal
dalam beraktivitas keseharian menuju yang lebih maju dibandingkan konservasi
kehidupan yang lebih baik.Temuan yang modern dan mampu memperkaya
yang berbeda adalah kearifan komunitas keanekaragaman hayati suatu ekosistem.
memuat kesadaran kewilayahan ber- Perbedaan dengan pendapat Nababan
dasarkan potensi sumberdaya per-ikanan, adalah sekel dan daseng dalam pengelolaan
aturan yang berlaku, dan ritus yang SDKP bukan hanya melestarikan
dilakukan. Komunitas diatur dengan sekel lingkungan, tetapi juga mempertahankan
ketika berada di lokasi berkumpulnya keberlanjutan fungsi sosial dan ekonomi
ikan, sedangkan di daseng diatur dengan komunitas.
pantangan dan anjuran yang dilembagakan Komunitas nelayan Pulau Para
melalui peraturan perkauman. Pelanggaran mengalami dinamika yang menimbulkan
terhadap aturan akan menimbulkan perubahan sosio-kultural dan politik.
petaka, ketidakseimbangan ekologis, dan Realitas yang berubah menjadikan daseng
sedikitnya hasil tangkapan. Kesadaran secara evolutif cenderung mengalami
kewilayahan komunitas nelayan itu me- marjinalisasi. Daseng diaktifkan untuk
rupakan konstruksi berpikir mereka mengatur SDKP dan mengeliminasi
tentang wilayah atau an imagined geography konflik pemanfaatan SDKP dan agar
(D’Alisera, 2004). hasil terdistribusikan ke setiap warga.
112
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami
Ikatan solidaritas yang semakin melemah, digunakan daseng adalah dengan mem-
modernisasi alat tangkap dan motorisasi, bagi yang sedikit kepada semua orang
munculnya stratifikasi baru seiring de- dengan acuan memperoleh bagian.
ngan pembagian kerja yang semakin Daseng berfungsi memenuhi kebutuhan
spesifik, dan menguatnya kekuatan pasar ekonomi dan sosio-kultural komunitas
menjadikan komunitas mengaktifkan dalam pengelolaan SDKP sehingga tetap
daseng sebagai strategi kebudayaan. Daseng dipertahankan di tengah komunitas yang
menjadi bagian integral dari kehidupan, sedang berubah. Temuan ini memperkuat
terutama aktivitas yang membutuhkan pendapat Malinowski (1948:93) bahwa
bantuan orang lain (mapalus). Daseng pranata sosial yang fungsional membuat
melembagakan prinsip komunalisme manusia sanggup mempertahankan diri
kepada generasi sekarang. Temuan ini dalam menghadapi ketidakteraturan alam
memperkuat pendapat Suparlan (1986) akan dipertahankan. Daseng diaktifkan
bahwa ketentuan adat dan agama menjadi melalui pengembangan konservasi terumbu
tuna-makna dan hilang karena kegagalan karang dengan wilayah yang tidak boleh
dalam regenerasi. ada aktivitas penangkapan ikan dengan
Prinsip komunalisme mewujud dalam memberi tanda berupa jangkar dan napobatu
bentuk tolong-menolong, berbagi dalam (bendera yang ditancapkan ke karang yang
keterbatasan sebagai manifestasi solidaritas timbul). Pilihan rasional komunitas dalam
sosial tingkat tinggi yang didasarkan pada mengaktifkan daseng adalah bentuk praksis
moralitas, rasa bersatu, dan konsensus pendukung kearifan disesuaikan dengan
bersama. Komunalisme menjadi memori dinamika komunitas dan lingkungan
kolektif masyarakat dan dilembagakan yang berlangsung secara timbal-balik
melalui ritus dan mitos untuk mengatur dalam simbiosis mutualis. Temuan ini
perilaku masyarakat. Ketentuan itu memperkuat pendapat Bourdieu (1977:159-
menekankan pada anjuran dan larangan 183) bahwa ada hubungan timbal-balik
sehingga prinsip itu selalu terjaga. antarkeduanya, yaitu (l) struktur objektif
Perubahan prinsip akan berimplikasi direproduksi secara terus-menerus dalam
pada terjadinya petaka dan terancamnya praksis dan para pelakunya berada dalam
keberlangsungan kehidupan. Daseng konteks tertentu; (2) dalam proses tersebut
menjadi sebuah totem yang mengandung para pelaku mengartikulasikan dan
kekuatan magis yang mempersatukan mengapresiasi simbol-simbol budaya yang
seluruh potensi masyarakat menjadi terdapat dalam struktur objektif sebagai
senasib (in group feeling) dan proses tindakan strategis dalam konteks sosial
peliyanan (othering) sehingga menjadi tertentu; sehingga (3) proses timbal-balik
pusat solidaritas komunitas nelayan Pulau secara terus menerus antara praksis dan
Para. Selain itu, daseng juga menjadi media struktur objektif dapat menghasilkan baik
integrasi sosial. Temuan ini memperkuat perubahan maupun kontinuitas.
pendapat Durkheim (1965:512-563) tentang Daseng sebagai media penguatan
agama berkaitan dengan fungsi “yang struktur sosial yang fungsional mampu
sakral” sebagai pusat solidaritas yang menciptakan keteraturan sosial sehingga
mampu menciptakan integrasi sosial. dikekalkan oleh para nelayan dan mereka
Di samping itu, daseng yang mengatur bertanggung jawab untuk melakukannya
waktu menangkap, lokasi penangkapan, secara berkala sesuai dengan aturan.
alat tangkap, kelompok nelayan, dan Pesan simbolik daseng adalah bahwa
bagi hasil menunjukkan adanya prinsip keberlangsungan hidup manusia di-
komunalisme. Masalahnya, jumlah warga tentukan oleh perlakuan manusia
yang banyak seringkali tidak sebanding terhadap lingkungan. Absennya daseng
dengan jumlah tangkapan. Cara yang menimbulkan petaka berupa kerusakan
113
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
114
Kearifan Komunitas dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Abdul Latif Bustami
As’ad, Talal. (Tanpa Tahun) “Anthro- Bustami, Abdul Latif & Arsyad, Apendy.
pological Conceptions of Religion: 2010. “Revitalisasi Pranata Sosial
Reflection on Geertz,” Man 8 (2):237- Adat di Propinsi Sulawesi Utara,”
259 Laporan Kegiatan. Jakarta: Ditjen
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan KP3K Direktorat Pemberdayaan
Sangihe. 2010. Sangihe Dalam Angka Masyarakat Pe-sisir dan Pengem-
tahun 2009. Sangihe: BPS Kabupaten bangan Usaha, Kementerian Ke-
Kepulauan Sangihe. lautan dan Peri-kanan.
Berger, Peter L. 1976. Pyramids of Sacrifice. Charles, A. 2001. Sustainable Fishery Systems.
New York: Anchor Press Double Oxford: Blackwell Science Ltd.
Day. D’Alisera, JoAnn. 2004. An Imagined
Berkes, F.; Mahon, R.; Conney, PM.; Geography: Sierra Leonean Muslims in
Pollnac, R. and Pomeroy, R. 2001. America. Philadephia: University of
Managing Small-scale Fisheries, Pensylvania Press.
Alternatif Direction and Methods. Denzin, Norman K & Lincoln Yvonna S
Ottawa, Canada: IDRC. (eds). 2000. Handbook of Qualitative
Bourdieu, Pierre, 1977. Outline of a Theory of Research Second Edition. Thousand
Practice, (terjemahan Inggris Richard oaks: Sage Publications.
Nice). Cambridge: Cambridge Ditjen KP3K. 2010. Rumusan Hasil
University Press Workshop Revitalisasi Kearifan
Bustami, Abdul Latif. 2010, “Epilog: Lokal dalam Pengelolaan Sumber
Melintas Batas Meretas Ranah,” Daya Kelautan dan Perikanan
dalam Sainul Hermawan. Pelajaran Ambon, 4-6 Agustus 2010, Ditjen
Bahasa Kumpulan Cerita Pendek. KP3K, Direktorat Pemberdayaan
Yogyakarta: Pustaka Prima. Masyarakat Pesisir dan Pengem-
Bustami, Abdul Latif. 2010. “Revitalisasi bangan usaha Kementerian Kelautan
Pengelolaan SDKP Berbasis Kearifan dan Perikanan.
Komunitas (Hasil Identifikasi 18 Ditjen KP3K. 2011. Kerangka Acuan
Provinsi),” materi disajikan pada Kegiatan. Ditjen KP3K, Direktorat
Workshop Revitalisasi Pengelolaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan
SDKP dalam rangka Mendukung Pengembangan usaha Kementerian
Sail Banda, 4-6 Agustus 2010 di Kelautan dan Perikanan.
Ambon, Direktorat Pemberdayaan Douglas, Mary J, 1979. Purity and Danger An
Masyarakat Pesisir, Ditjen KP3K Analysis of Concepts of Pollution and
Kementerian Kelautan dan Per- Taboo. Reprint London: Routledge &
ikanan. Kegan Paul.
Bustami, Abdul Latif. 2008. “Indonesia Durkheim, E. 1965. The Elementary Forms
Dunia Tak Pernah Sudah,” dalam of The Religion Life. New York: Free
Haryono (ed). Seabad Kebangkitan Press.
Nasional. Malang: Cakrawala Indo- Forde, C.D. 1963. Habitat, Economy, and
nesia. Hlm.175-200. Society. New York: Dutton.
Bustami, Abdul Latif & Arsyad, Apendy. Geertz. C. 1973. The Interpretation of Cultures.
2009. “Makna Filosofis Upacara Adat New York: Free Press.
Pakelem di Bali,” Laporan Kegiatan. Goodenough, W.H. 1963. “Cultural
Jakarta: Ditjen KP3K Direktorat Pem- Anthropology and Linguistics,”
berdayaan Masyarakat Pesisir dan dalam D. Hymes (eds). Language
Pengembangan Usaha, Kementerian in Culture and Society. New York:
Kelautan dan Perikanan. Harper and Row.
115
Vol. 1, No. 1, Juni 2011
116