Anda di halaman 1dari 34

FUTUROLOGI DALAM FILM SAINT - FICTION

(Analisis Semiotika tentang Ancaman terhadap Umat Manusia dalam Series


“Black Mirror”)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Metode Penelitian Komunikasi
Kualitatif

Dosen Pengampu Alex Sobur, Drs., M.Si.

Disusun Oleh:

Nama : Muhammad Novri Yudha

NPM : 10080016317

Bidang Kajian : Public Relations

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Karena
berkat serta ridha-Nya, kami mampu membuat serta menyelesaikan proposal
penelitian ini. Shalawat serta salam tak lupa kami panjatkan juga kepada Nabi
Muhammad SAW.

Saya selaku penyusun penelitian yang berjudul, “TEKNOLOGI MASA


DEPAN DALAM FILM SAINT – FICTION (Analisis Semiotika Tentang
Ancaman Terhadap Umat Manusia dalam Series “Black Mirror”) yang disusun
sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terimakasih kepada dosen


mata kuliah yang bersangkutan, Bapak Alex Sobur, Drs., M.Si. karena telah
memberikan saya bimbingan serta pengetahuan untuk mata kuliah ini. Tak lupa juga
terima kasih untuk rekan-rekan yang telah membantu saya dari pemilihan judul
sampai dengan tugas ini rampung.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih sekali lagi. Serta dalam menyusun
penelitian ini, saya sebagai penulis sangat menyadari bahwa masih terdapat banyak
sekali kekurangan dan kekeliruan, karena tentu masih dalam proses belajar. Maka
dari itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka, saya selaku penulis sangat dengan
senang hati menerima kritik, saran, serta masukan yang diharapkan mampu menjadi
pelajaran bagi kedepannya. Dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, Mei 2019

Muhammad Novri Yudha

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1 Konteks Penelitian .................................................................................................. 1
1.2 Fokus dan Pernyataan Penelitian .......................................................................... 2
1.2.1 Fokus Peneltian ............................................................................................... 2
1.2.2 Pertanyaan Penelitian ..................................................................................... 3
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
1.3.1 Maksud Penelitian........................................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3
1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................................... 3
1.4.1 Kegunaan Akademis ....................................................................................... 3
1.4.2 Kegunaan Praktis............................................................................................ 4
2.2.1.2 Komunikasi Interpersonal ............................................................................... 10
2.2.2 Klasifikasi Film ..................................................................................................... 13
2.2.2.1 Struktur dalam Film ............................................................................................ 14
2.2.2.2 Tinjauan Umum Semiotika ................................................................................. 17
2.2.2.2.1. Konsep Semiotika ........................................................................................... 17
2.2.2.2.2. Konsep Semiotika Roland Barthes.................................................................. 19
2.3 Kerangka Pemikiran...................................................................................................... 21
BAB III ................................................................................................................................... 24
METODELOGI PENELITIAN .............................................................................................. 24
3.1 Metode Penelitian ......................................................................................................... 24
3.2 Pendekatan Penelitian ................................................................................................... 24
3.3 Paradigma Penelitian .................................................................................................... 25
3.4 Subjek dan Objek Penelitian ......................................................................................... 26
3.5 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................ 26

ii
3.6 Teknik Analisis Data..................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 29

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Konteks Penelitian

Perkembangan teknologi yang sangat pesat di era globalisasi saat ini telah
memberikan banyak manfaat dalam kemajuan diberbagai aspek sosial. Penggunaan
teknologi oleh manusia dalam membantu menyelesaikan pekerjaan merupakan hal
yang menjadi keharusan dalam kehidupan. Perkembangan teknologi ini juga harus
diikuti dengan perkembangan pada Sumber Daya Manusia (SDM).

Manusia sebagai pengguna teknologi harus mampu memanfaatkan teknologi yang


ada saat ini, maupun perkembangan teknologi tersebut selanjutnya. Adaptasi manusia
dengan teknologi baru yang telah berkembang wajib untuk dilakukan melalui
pendidikan. Hal ini dilakukan agar generasi penerus tidak tertinggal dalam hal
teknologi baru. Dengan begitu, teknologi dan pendidikan mampu berkembang
bersama seiring dengan adanya generasi baru sebagai penerus generasi lama.
Beberapa cara adaptasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pelatihan maupun
pendidikan.

Perkembangan Teknologi Informasi memicu suatu cara baru dalam kehidupan,


dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan
e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara
elektronik. Dan sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai
dengan awalan e seperti e-commerce, e-government, e-education, e-library, e-journal,
e-medicine, e-laboratory, e-biodiversiiy, dan yang lainnya lagi yang berbasis
elektronika.

Namun semua itu tidak lepas dari kekurangan. Misalnya seseorang bisa
menggunakan alat teknologi informasi seperti Handphone, PC, Laptop, dll lebih lama

1
daripada berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan anggota keluarganya sendiri.
Sehingga tingkat kepedulian terhadap sesama manusia kurang, menipisnya sikap
tenggang rasa, cenderung lebih mementingkan diri sendiri, dan tidak memperdulikan
lingkungan sekitar.

Pada kenyataannya teknologi dari hari ke hari mengalami perkembangan dan


tidak dapat dipungkiri tidak semua teknologi tidak memiliki efek negative setelah
terciptanya inovasi baru. Ilmuwan dari hari ke hari selalu mencari cara agar
menciptakan formula yang akan membantu kegiatan manusia dalam menjalankan
aktifitas sehari – hari dan tercipta lah beberapa platform – platform, media, social
network dan komunitas yang hadir dari setiap lahirnya teknologi terbaru. Dengan
adanya efek negative yang timbul tercipta juga dengan sendirinya ancaman yang akan
dan atau telah mempengaruhi kehidupan manusia.

Dalam film series “Black Mirror” telah dipaparkan kemajuan teknologi yang
sangat pesat. Diperlihatkan juga bagaimana kondisi manusia pada saat nanti jika kita
sebagai penggunanya tidak mementingkan atau memperdulikan nilai kemanusiaan itu
sendiri. Film “Black Mirror” telah mengingatkan kita agar selalu bijak dalam
menggunakan teknologi dan menjauhi sifat adiktif terhadap menggunakan teknologi
yang ada. Selalu harus ada istirahat, interaksi tanpa gadget, dekat dengan Tuhan dan
keluarga.

Dari pemaparan yang ada, film “Black Mirror” telah menunjukkan beberapa
perilaku menyimpang manusia dalam menggunakan teknologi beberapa di antaranya
yaitu pembunuhan, perdagangan manusia, pencurian data informasi sensitive,
perselingkuhan, perusakan nama baik, mempengaruhi iklim politik Negara dan masih
banyak lagi. Maka dari itu proposal ini akan menjelaskan ancaman hidup umat
manusia di masa depan menurut referensi film “Black Mirror”.

1.2 Fokus dan Pernyataan Penelitian


1.2.1 Fokus Peneltian

2
Berdasarkan konteks penelitian di atas maka dapat di ambil focus penelitian yang
akan di teliti, adalah:
“Bagaimana proses terjadinya ancaman terhadap umat manusia dalam film
“Black Mirror”

1.2.2 Pertanyaan Penelitian


Mengacu pada model penelitian penulis menentukan dengan menggunakan
konsep Semiotika Roland Barthes, dan didapatkan pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana kehidupan manusia yang berlangsung dalam film “Black
Mirror”
2. Kebudayaan seperti apa yang terbentuk dalam film “Black Mirror”
3. Bagaimana proses terjadinya ancaman terhadap umat manusia dalam film
“Black Mirror
4. Mengapa film “Black Mirror” berguna untuk dipelajari

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian


1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah oenulis ingin mengetahui bagaimana proses
terciptanya ancaman yang muncul dari film “Black Mirror” yang sekarang
sudah terasa di masyarakat.

1.3.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kehidupan yang berlangsung
dalam film “Black Mirror”

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1 Kegunaan Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas pada
penulis

3
khususnya mengenai Futurologi dan memberi wawasan yang lebih luas sehubungan
dengan bidang kajian Metode Penelitian Kualitatif.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan bagi peneliti dalam


bidang komunikasi khususnya tentang Futurologi dan teknologi yang berkaitannya
dengan nilai kemanusiaan, nilai kebudayaan dan karakteristik manusia dalam film
“Black Mirror”

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu penulis ambil dari beberapa skripsi sejenis yang


membahas mengenai analisis pada film saint fiction. Hal ini dilakukan untuk
membuktikan bahwa tidak ada judul penelitian yang sama dengan yang penulis
rancang untuk penelitian selanjutnya. Selain itu, juga digunakan untuk
memperkaya teori-teori, sehingga mampu melengkapi penelitian ini agar semakin
baik.

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

Ayu Safira Aditya Representasi Hasil dari penelitian ini


adalah film Arrival
Feminisme dalam Film
tampak mampu
Bergenre Science Fiction
menampilkan representasi
feminisme dibalik tema
science

fiction dan alur cerita


yang kompleks.

Perbedaan: Penelitian yang dilakukan oleh Ayu lebih concern kepada nilai
representasi feminisme, sementara itu penelitian yang dibuat oleh peneliti lebih

5
fokus ke area adegan yang mengancam kehidupan secara keseluruhan

Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

Leonita Representasi Feminisme Iklan Dove versi ‘Sisters


Perempuan dalam Iklan in Beauty’
Dove Bertema ‘Sisters in merepresentasikan
Beauty’ feminisme perempuan
yang sesuai dengan
ideologi pembebasan
perempuan

Perbedaan: - Objek yang diteliti berupa iklan dalam bentuk TVC

- Fokus pada feminisme liberal

Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

Rintri Ani Padede Manifestasi Citra Iklan Molto periode


Perempuan dalam iklan
2013-2015 turut serta

dalam perubahan citra

perempuan Indonesia

yang dulunya inferior

dan stereotipikal menjadi

cerdas dan independen

namun masih

menunjukkan sisi

6
feminin

Perbedaan: - Objek yang diteliti berupa iklan dalam bentuk TVC

- Analisis Menggunakan semiotika model Pierce

- Membahas citra perempuan dalam iklan

2.2 Kajian Pustaka


2.2.1. Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal


dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio,
atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make communication).
Istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal komunikasi,
yang merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Komunikasi
menyarankan bahwa suatu pikiran, makna, atau suatu pesan dianut secara
sama. (Mulyana, 2011: 46).

Di dalam sumber lain, komunikasi dapat dirtikan sebagai ‘transfer


informasi’ atau pesan (message) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan
kepada penerima sebagai komunikan. Dalam proses komunikasi tersebut
bertujuan untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara
kedua belah pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. (Suprapto, 2009:5)

Para ahli juga banyak mendefinisikan beberapa arti mengenai


komunikasi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Harold Laswell, “komunikasi adalah proses yang menggambarkan


siapa mengatakan apa dengan cara apa, kpada siapa, dengan efek
apa.”
2. Carl I. Hovland, “komunikasi adalah proses di mana seseorang
individu atau komunikator mengoperkan stimulan, biasanya

7
dengan lambang-lambang bahasa (verbal maupun nonverbal)
untuk mengubah tingkah laku orang lain.”
3. Theodorson dan Thedorson, “komunikasi adalah penyebaran
informasi, ide-ide sebagai sikap atau emosi dari seseorang kepada
orang lain, terutama melalui simbol-simbol.”
4. Edwin Emery, “komunikasi adalah seni menyampaikan informasi,
ide, dan sikap seseorang kepada orang lain.”
5. A. Winnet, “komunikasi merupakan proses pengalihan suatu
maksud dari sumber kepada penerima, proses tersebut merupakan
suatu seni aktivitas, rangkaian, atau tahap-tahap yang
memudahkan peralihan maksud tersebut.”
(Suprapto, 2009:5-7)
2.2.1.1 Proses Komunikasi
Ketika membicarakan komunikasi sebagai proses, hal ini
berarti komunikasi bersifat berkesinambungan dan tidak memiliki
akhir. Komunikasi juga dinamis, kompleks, dan senantiasa berubah.
Selain itu, karena komunikasi merupakan proses, banyak sekali
yang dapat terjadi dari awal hingga akhir dari sebuah pembicaraan.
Orang-orang dapat memiliki sikap yang sama sekali berbeda, ketika
sebuah diskusi dimulai. Hal ini dapat menjelaskan konflik seiring
terjadi di antara orang yang berkomunikasi. Walaupun suatu
percakapan dimulai dengan bahasa yang kaki dan tidak fleksibel,
konflik tersebut dapat saja diselesaikan melalui kompromi. Semua hal
ini dapat terjadi dalam hitungan menit saja. (Turner & West, 2008:6)
Proses komunikasi ditunjukkan oleh serangkaian tahapan atau
langkah-langkah di mana ada sesuatu yang berubah, orang-orang yang
terlibat dalam komunikasi ikut berubah pikiran dan pendapat serta
tindakan. Oleh karena itu, proses komunikasi meliputi di dalamnya
peranan dan partisipasi aktif pengirim dan penerima pesan, melibatkan
peranan kognitif mereka untuk menerjemahkan maksud pesan yang

8
dikirim dan diterima, memilih media transimis dan bagimana cara
melakukam umpan balik. (Liliweri, 2011:64)
Joseph A. De Vito (1996) mengemukakan bahwa komunikasi
adalah transaksi. Hal tersebut dimaksudkan bahwa komunikasi
merupakan suatu proses, di mana komponen-komponen saling terkait.
Bahwa para pelaku komunikasi beraksi dan bereaksi sebagai satu
kesatuan dan keseluruhan.
Dalam aplikasinya, langkah-langkah dalam proses komunikasi
adalah sebagai berikut:

Ide Encoding Pengirim Decoding UmpanBalik


1. Langkah pertama, ide. Ide/gagasan diciptakan oleh
sumber/komunikator.
2. Langkah kedua, ide yang diciptakan tersebut kemudia
dialihbentukkan menjadi lambang-lambang komunikasi yang
mempunyai makna dan dapat dikirimkan.
3. Langkah ketiga, pesan yang telah di-encoding tersebut
selanjutnya dikirimkan melalui saluran/media yang sesuai
dengan karakteristik lambang-lambang komunikasi ditujukan
kepada komunikan.
4. Langkah keempat, penerima menafsirkan isi pesan sesuai
dengan persepsinya untuk mengartikan maksud pesan tersebut.
5. Langkah kelima, apabila pesan tersebut telah berhasil di-
decoding, khalayak akan mengirim kembali pesan tersebut ke
komunikator.

Dengan demikian, sejak ide itu diciptakan sampai dengan


dipahaminya pesan komunikasi yang menimbulkan umpan balik,
merupakan suatu proses komunikasi. Lima tahap terjadinya proses
komunikasi memiliki 5 unsur komunikasi. Wilbur Schramm
mengatakan bahwa, untuk terjadinya proses komunikasi, paling sedikit

9
harus memiliki 3 unsur komunikasi, yaitu komunikator, pesan, dan
komunikan.

Mengapa unsur tersebut? Harold D. Laswell memperkenalkan


5 formula komunikasi untuk terjadinya suatu proses komunikasi,
yaitu:

1. Who, yakni berkenaan dengan siapa yang mengatakan.


2. Says, yakni berkenaan dengan menyatakan apa.
3. In Which Channel, yakni berkenaan dengan saluran apa.
4. To Whom, yakni berkenaan dengan ditujukan kepada siapa.
5. With What Effect, yakni berkenaan dengan pengaruh apa.

Berdasarkan formula Laswell tersebut, maka terdapat lima


komponen agar dapat terjadi proses komunikasi, yaitu:

1. Komunikator
2. Pesan
3. Media
4. Komunikan
5. Pengaruh
(Suprapto, 2009:7-9)
2.2.1.2 Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication)
merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka
antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada
kerumunan orang. Para ahli teori komunikasi, mendefinisikan
komunikais antarpribadi secara berbeda-beda. Di sini, kita membahas
tiga pendekatan utama mengenai pemikiran komunikasi antarpribadi.
1. Pemikiran Komunikasi Antarpribadi Berdasarkan Komponen-
Komponen Utamanya.

10
Penyampaian pesan oleh satu orang dan penerima pesan orang
lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya,
dan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Pemikiran
ini diwakili oleh Bittner (1985:10) yang menerangkan bahwa
komunikasi antarpribadi berlangsung apabila pengirim
menyampaikan informasi berupa kata-kata kepada penerima,
dengan menggunakan medium suara manusia (human voice).
Sementara Barnlund mendefinisikan komunikasi antarpribadi
sebagai pertemuan antara dua, tiga orang, atau mungkin empat
orang, yang terjadi sangat spontan dan tidak berstruktur.
Barnlund sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri (1991)
mengemukakan beberapa ciri utnuk mengenali komunikasi
antarpribadi, sebagai berikut:
- Bersifat spontan;
- Tidak mempunyai struktur;
- Terjadi secara kebetulan;
- Tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan;
- Identitas keanggotaannya tidak jelas;
- Dapat terjadi hanya sambil lalu.
2. Komunikasi Antarpribadi Berdasarkan Hubungan Diadik
Hubungan diadik mengartikan komunikasi antarpribadi sebagai
komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Definisi
hubungan diadik ini dapat diperluas sehingga mencakup
sekelompok kecil orang. Pemikiran mengenai bentuk
hubungan diadik dikemukakan oleh Laing, Phillipson, dan Lee
(1991:117). Mereka menyatakan bahwa untuk memahami
perilaku seseorang, harus mengikutsertakan paling tidak dua
orang perserta dalam situasi bersama. Hubungan diadik ini

11
harus menggambatkan interkasi dan pengalaman bersama
mereka.
Trenholm dan Jensen (1995:26) mendefinisikan komunikasi
antarpribadi sebagai komunikasi antara dua orang yang
berlangsung secara tatap muka. Nama lain dari komunikasi ini
adalah diasik (dyadic). Komunikasi diadik biasanya bersifat
spontan dan informal. Partisipan satu dengan yang lain saling
menerima umpan balik secara maksimal.
3. Pendekatan Komunikasi Antarpribadi Berdasarkan
Pengembangan
Komunikasi antarpribadi dilihat sebagai perkembangan dari
komunikasi impersonal pada satu sisi, menjadi komunikasi
pribadi atau intim di sisi lain. Oleh karena itu, derajat
hubungan antarpribadi turut berpengaruh terhadap keluasan
dan kedalaman informasi yang dikomunikasikan, sehingga
memudahkan perubahan sikap. Pandangan developmental
dapat dilihat dari pendapat Gerald Miller dan M. Steinberg
(1998:274) yang mendefinisikan komunikasi antarpribadi
dalam pengertian penetrasi. Semakin banyak komunikator
mengetahui satu sama lain, maka semakin banyak karakter
antarpribadi yang terbawa di dalam komunikasi tersebut. Oleh
karena itu, komunikasi antarpribadi adalah proses
sesungguhnya dari penetrasi sosial.

Pada hakikatnya, komunikasi antarpribadi adalah komunikasi


antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi ini paling efektif
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang. Komunikasi
antarpribadi bersifat dialogis. Artinya, arus balik terjadi langsung.
Komunikator dapat mengetahui tanggapan komunikasi saat itu juga.
Komunikasi mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif,

12
negatif, berhasil, atau tidak. Jika tidak berhasil maka komunikator
dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-
luasnya.

Menurut Kumar (2000:121-122) efektivitas komunikasi


antarpribadi mempunyai lima ciri, sebagai berikut:

1. Keterbukaan (openess). Kemauan menanggapi dengan senang


hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan
antarpribadi.
2. Empati (empathy). Merasakan apa yang dirasakan orang lain.
3. Dukungan (supportiveness). Situasi yang terbuka untuk
mendukung komunikasi berlangsung secara efektif.
4. Rasa positif (positiveness). Seseorang harus memiliki perasaan
positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif
berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif
untuk interaksi yang efektif.
5. Kesetaraan (equality). Pengakuan secara diam-diam bahwa
kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai
sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
(Wiryanto, 2004:32-36)

2.2.2 Klasifikasi Film


Klasifikasi film atau genre (jenis/ragam) dalam film berawal dari klasifikasi
drama yang lahir pada abad XVIII. Klasifikasi drama tersebut muncul berdasarkan
atas jenis stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan.
Ada berbagai jenis naskah drama yang dikenal saat itu, di antaranya, lelucon,
banyolan, opera balada, komedisentimental, komedi tinggi, tragedy borjois dan
tragedi neoklasik. Selanjutnya berbagai macam jenis drama itu diklasifikasikan
menjadi 4 jenis, yaitu: Tragedi (duka cita), Komedi (drama ria), melodrama, dagelan
(farce). Tapi, seiring berkembangnya zaman dan dunia perfilman, genre dalam film

13
pun mengalami sedikit perubahan. Namun, tetap tidak menghilangkan keaslian dari
awal pembentukannya. Sejauh ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis,10 yaitu:

a. Komedi, film yang mendeskipsikan kelucuan, kekonyolan, kebanyolan


pemain (actor/actress). Sehingga alur cerita dalam film tidak kaku, hambar,
hampa, ada bumbu kejenakaan yang dapat membuat penonton tidak bosan.

b. Drama, Film yang menggambarkan realita (kenyataan) di sekeliling hidup


manusia. Dalam film drama, alur ceritanya terkadang dapat membuat
penonton tersenyum, sedih dan menetaskan air mata.

c. Horor, Film beraroma mistis, alam gaib, dan supranatural. Alur ceritanya
biasa membuat jantung penonton berdegup kencang, menegangkan, dan
berteriak histeris.

d. Musikal, Film yang penuh dengan nuansa musik. Alur ceritanya sama
seperti drama, hanya saja di beberapa bagian adegan dalam film para pemain
(actor/actress) bernyanyi, berdansa, bahkan beberapa dialog menggunakan
musik (seperti bernyanyi).

e. Laga (action), Film yang dipenuhi aksi, perkelahian, tembak-menembak,


kejar-kejaran, dan adegan-adegan berbahaya yang mendebarkan. Alur
ceritanya sederhana, hanya saja dapat menjadi luar biasa setelah dibumbui
aksi-aksi yang membuat penonton tidak beranjak dari kursi.

2.2.2.1 Struktur dalam Film


Sehebat apa pun film 2012 Karya Rolland Emmerich, sepopuler apa pun film
Jurasic Park karya Steven Spielberg dan se-booming apa pun Ayat-Ayat Cinta karya
Hanung Bramantyo, tidak akan pernah menarik dan nyaman untuk dilihat, jika para
kru (regu) film tidak menampilkan angle (sudut) kamera yang baik untuk ditonton.
Tentu saja selain kehebatan para kru, ada beberapa teknik pengambilan gambar yang
mampu membuat penonton berdecak kagum terhadap film yang mereka lihat:

1. Sudut pengambilan gambar (Camera Angle)

14
a. Bird Eye View

Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga


memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan benda-benda lain
yang tampak dibawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar
biasanyamenggunakan helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi.

b. High Angle

Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini
memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil

c. Low Angle

Pengambilan gambar diambil dari bawah si objek, sudut pengambilan gambar


ini merupakan kebalikan dari high angle. Kesan yang ditimbulkan dari sudut
pandang ini yaitu keagungan atau kejayaan.

d. Eye Level

Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak
ada kesan dramatik tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya
memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.

e. Frog Level

Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat


objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.

2. Ukuran gambar (frame size)

a. Extreme Close Up (ECU/XCU) : pengambilan gambar yang terlihat sangat


detail seperti hidung pemain atau bibir atau ujung tumit dari

sepatu.

15
b. Big Close Up (BCU) : pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga
dagu.

c. Close Up (CU) : gambar diambil dari jarak dekat, hanya sebagian dari objek
yang terlihat seperti hanya mukanya saja atau sepasang kaki yang bersepatu
baru

d. Medium Close Up : (MCU) hampir sama dengan MS, jika objeknya orang
dan diambil dari dada keatas.

e. Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang
maka yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari perut/pinggang keatas).

f. Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.

g. Full Shot (FS) : pengambilan gambar objek secara penuh dari kepala
sampai kaki.

h. Long Shot (LS) : pengambilan secara keseluruhan. Gambar diambil dari


jarak jauh, seluruh objek terkena hingga latar belakang objek.

i. Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar, sehingga
jika misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat. Bila objeknya
satu orang maka tampak dari kepala sampai lutut.

j. Extreme Long Shot (XLS): gambar diambil dari jarak sangat jauh, yang
ditonjolkan bukan objek lagi tetapi latar belakangnya. Dengan demikian dapat
diketahui posisi objek tersebut terhadap lingkungannya.

k. One Shot (1S) : Pengambilan gambar satu objek.

l. Two Shot (2S) : pengambilan gambar dua orang.

m. Three Shot (3S) : pengambilan gambar tiga orang.

n. Group Shot (GS): pengambilan gambar sekelompok orang.

16
3. Gerakan kamera (moving camera)

a) Zoom In/ Zoom Out : kamera bergerak menjauh dan mendekati objek
dengan menggunakan tombol zooming yang ada di kamera.

b) Panning : gerakan kamera menoleh ke kiri dan ke kanan dari atas tripod.

c) Tilting : gerakan kamera ke atas dan ke bawah. Tilt Up jika kamera


mendongak dan tilt down jika kamera mengangguk.

d) Dolly : kedudukan kamera di tripod dan di atas landasan rodanya. Dolly In


jika bergerak maju dan Dolly Out jika bergerak menjauh.

e) Follow : gerakan kamera mengikuti objek yang bergerak.

f) Crane shot : gerakan kamera yang dipasang di atas roda crane.

g) Fading : pergantian gambar secara perlahan. Fade in jika gambar muncul


dan fade out jika gambar menghilang serta cross fade jika gambar 1 dan 2
saling menggantikan secara bersamaan.

h) Framing : objek berada dalam framing Shot. Frame In jika memasuki


bingkai dan frame out jika keluar bingkai. Demikianlah, di balik kematangan
sebuah film, selain ada sutradara, D.O.P (Director of Photography} atau
penata fotografi, kameramen, editor, lighting (penata cahaya), wardrobe,14
dan kru (regu) lainnya, ada juga teknik pengambilan gambar, yang mampu
menyihir penonton untuk hanyut dalam situasi adegan film.

2.2.2.2 Tinjauan Umum Semiotika

2.2.2.2.1. Konsep Semiotika


Istilah Semiotika atau semiotik dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf
aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada “doktrin formal
tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang tanda: tak

17
hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan
dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas
tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya
dengan realitas. Dalam arti lain, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak
hanya membawa informasi, dalam hal ini di mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem tersruktur dari tanda. Banyak para
tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika, diantaranya:

a) Charles Sanders Peirce: Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam


lingkup semiotika, Pierce, sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-
ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.
Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan
symbol (simbol). Dijelaskan, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau
acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang
menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat
kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api. Dan, simbol adalah
tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.

b) Ferdinand de Saussure, Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di


kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, salah satunya
ialah Signifier (penanda) dan signified (petanda). Dengan kata lain penanda adalah
“bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Bisa juga disebut aspek
material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau
dibaca. Sedangkan, petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Bisa juga
disebut aspek mental dari bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda
bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak dapat dilepaskan. “Penanda dan petanda
merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. c) Roman

18
Jakobson, Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha
menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada
abad-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-
faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal: Adresser (pengirim),
message (pesan), adresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan contact
(kontak).

d) Louis Hjelmslev, Hjelmselv mengembangkan sistem dwipihak (dyadic


system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmselv terhadap
semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang
mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam
pandangan Hjelmselv, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan
internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga
mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar
dirinya.

2.2.2.2.2. Konsep Semiotika Roland Barthes.


Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia lahir pada tahun 1915
dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne,
kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Semasa hidupnya,
Bathes telah banyak menulis buku, di antaranya, telah menjadi bahan rujukan penting
untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya pokok Barthes, antara lain: Le
degree zero de I’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis”(1953, diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris, Writing Degree Zero, 1977). Salah satu area penting yang
dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca
agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut
sebagai ssstem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang
telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan
tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-

19
dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara
tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Dari peta
Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda.
Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif.
Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure material: hanya jika anda mengenal
tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan
hanya sekadar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan
Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti
pada penandaan dalam tataran denotatif. Semiologi Roland Barthes dan para
pengikutnya mengungkapkan bahwa,denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat
pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor atau represi
politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi, Barthes
mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi.
Dilihat segi bahasa, denotasi ialah makna yang sebenarnya yang sama dengan makna
lugas untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat faktual. Konotasi ialah adalah
makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan
makna denotasi yang mengalami penambahan. Sedangkan mitos ialah sistem
komunikasi dan sebuah pesan. Dijelaskan pula dalam kerangka Barthes, konotasi
identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku
dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,
petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh
suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos
adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah
petanda dapat memiliki beberapa penanda. Sering dikatakan bahwa ideologi
bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan
serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran

20
representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran
dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi
tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya
sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi
pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi;
kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu
ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos
akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah.
Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk
mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.
Barthes juga menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, karena mitos
ini merupakan sebuah pesan pula. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan,
sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah
dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut
disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya
ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui
konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya
asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi
pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan
makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.

2.3 Kerangka Pemikiran


Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough, pada dasarnya berusaha
membangun sebuah model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam
analisis sosial dan budaya.

Analisis wacana kritis Fairclough berusaha untuk mengintegrasikan linguistik


dengan perubahan sosial sehingga wacana ini disebut sebagai model perubahan
sosial (Dialectical-Relational Approach/DRA). Fairclough memusatkan perhatian
wacana pada bahasa karena pemakaian bahasa digunakan untuk merefleksikan

21
sesuatu. Pertama, wacana adalah bentuk tindakan, bahasa digunakan sebagai
bentuk representasi dalam melihat realitas sehingga bahasa bukan hanya diamati
secara tradisional atau linguistik mikro, melainkan secara makro yang lebih luas
dan tidak lepas dari konteksnya. Kedua, mengimplikasikan adanya hubungan
timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Fairclough (Eriyanto 2001:286-
288) membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yaitu teks, discourse practice,
dan sociocultural practice. (1) Teks digunakan sebagai bentuk representasi
sesuatu yang mengandung ideologi tertentu sehingga teks dibongkar secara
linguistis karena ingin melihat bagaimana seuatu realitas itu ditampilkan atau
dibentuk dalam teks yang bisa jadi membawa pada ideologis tertentu, bagaimana
penulis mengonstruksi hubungannya dengan pembaca (baik secara formal atau
informal, tertutup atau terbuka), dan bagaimana suatu identitas itu hendak
ditampilkan (identitas penulis dan pembaca), artinya dalam analisis teks ini
meliputi representasi, relasi, dan identitas. (2) Discourse practice merupakan
dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Proses
produksi teks lebih mengarah pada si pembuat teks tersebut. Proses ini melekat
dengan pengalaman, pengetahuan, kebiasaan, lingkungan sosial, kondisi, keadaan,
konteks, dan sebagainya yang dekat pada diri atau dalam si pembuat teks.
Sementara itu, untuk konsumsi teks bergantung pada pengalaman, pengetahuan,
konteks sosial yang berbeda dari pembuat teks atau bergantung pada diri
pembaca/penikmat. Bagaimana cara seseorang dapat menerima teks yang telah
dihadirkan oleh pembuat teks. Sementara kaitannya dalam distribusi teks, yaitu
sebagai modal dan usaha pembuat teks agar hasil karyanya dapat diterima oleh
masyarakat. (3) Socio-cultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan
konteks diluar teks. Seperti konteks situasi. Konteks yang berhubungan dengan
masyarakat, atau budaya, dan politik tertentu yang berpengaruh terhadap
kehadiran teks.

Dalam model Fairclough, peneliti berusaha memahami makna dari pesan


lingkungan dari adegan – adegan di dalam film Black Mirror. Peneliti berusaha

22
memahami bagaimana pesan yang disampaikan oleh Black Mirror kepada para
penontonnya melalui kohesi, koherensi, tata bahasa, budaya, lingkungan dan
keseharian. Karena film yang menunjukkan pengaruh yang sangat besar kepada
penontonnya.

23
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma kualitatif dengan metode
analisis semiotika Roland Barthes. Penelitian kualitatif digunakan untuk mengetahui
penggambaran dan penjelasan penelitian secara mendalam. Dalam penelitian
kualitatif, data yang dikumpulkan bukan berwujud angka melainkan kata-kata
(deskripsi terperinci), sehingga tidak perlu melalui proses perhitungan (Moleong,
2005). Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi dan sampling, bahkan
populasi dan sampling cenderung terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam
dan bisa menjelaskan suatu fenomena yang akan diteliti, maka tidak perlu mencari
sampling lainnya. Karena riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena
secara mendetail melalui pengumpulan data yang mendalam, maka yang lebih
ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas)
data (Kriyantono, 2010, 56-57).

Analisis semiotika Roland Barthes digunakan untuk menguraikan secara


detail representasi feminisme dalam film Arrival yang ber-genre science fiction, di
mana proses pembentukan makna bersifat intensional dan memiliki motivasi.
Semiotika adalah metode analisis teks yang didasarkan pada sistem tanda. Sebagai
alat untuk memahami teks, secara khusus analisis semiotika digunakan sebagai usaha
untuk memahami teks terutama teks-teks bersifat tertutup yang memiliki keterkaitan
dengan mitos yang berkembang dalam masyarakat (Sobur, dalam Sholihati, 2007: 19-
20).

3.2 Pendekatan Penelitian


Jenis penelitian penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data
deskripstif berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

24
dapat diamati (Moleong,2002). Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada
pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti
memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata (Patton
dalam Poerwandari, 1998). Pendekatan kualitatif menekankan pada makna,
penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak
meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan
kualitatif, lebih lanjut mementingkan proses dibandingkan dengan hasil akhir. Oleh
karena itu, urutan-urutan kegiatan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada
kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Pendekatan ini diarahkan pada
latar dan individu secara holistik (utuh). Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif karena penelitian ini menganalisis dan mendeskripsikan model komunikasi
futurology dalam film saint – fiction yang menganalisi ancaman terhadap hidp
manusia film “Black Mirror” yang didapatkan dari kata-kata hasil wawancara dengan
informan penelitian.

3.3 Paradigma Penelitian


Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigm pragmatisme. Secara
garis besar, ada dua kata kunci dalam pemikiran pragmatism, yaitu: logika praktek
(dalam pengertian serupa dengan “kebenaran” tindakan, atau philosophy of common
sense atau action; lawan dari philosophy of logic,yang dianut seperti oleh postivisme,
post-positivisme), dan tindakan bertujuan (atau dekat dengan istilah Argyris, yaitu
actionable knowledge). Ringakasnya lagi, tindakan bertujuan benar menjadi esensi
umumnya penganut pragmatism. Meskipun dalam perkembangannya, banyak pemikir
hadir dengan ragam pemikiran yang mewarnai pragmatism, keragaman tersebut
nampaknya hanya sebagai ceriman tarikan dominasi atensi terhadap logikanya
ataukah tindakannya.

Munculnya filsafat pragmatism ini paling tidak merupakan bentuk sanggahan


terhadap gagasan – gagasan besar dalam ilmu pengetahuan dan ilmu social. Gagasan
– gagasan besar tersebut di aantaranya adalah formalisme, realisme naïf dan
konstruktivisme.

25
Pragmatisme menolak filsafat formalisme atau keyakinan akan hanya adanya
stu ‘metode saintifik’. Elaisme naïf (dan realisme kritis) yang menggap kebenaran
adalah ‘tunggal’, satu hukum sebab akibat tunggal untuk sesuatu yang kapan dan
dimanapun (lepas dari manusia dalam konteksnya). Konstruktivisme, yang menjadi
rujukan banyak ilmuwan sosial, juga tidak lepas dari kritik pragmatism. Kritik yang
dialamatkan pada konstruktivisme adala pada perangkap dilem yang dibuatnya
sendiri.

“Jika teori konstruktvis menjunjung pengetahuan bahwa pengetahuan tidak


mempresentasikan dunia, maka bagaimanakah realitas plural dipertanggung jawabkan
oleh teori? Dan jika, di satu pihak, praktek peneltitian konstruktivis telah memberikan
“bukti meyakinkan” untuk realismenya (yang menjadi pijakan penilaiannya), maka
bagaimana itu dinyatakan salah sebagai generalisasi suatu teori pengetahuan?”

Pragmatisme (Dewey dan Bentley) menyajikan jalan tengah yaitu satu teori
transaksional mengetahui, yang menyerang anggapan dualism antara knowing, di satu
pihak, dan realitas, di pihak lain. Dengan demikian, sajian jalan tengah ini dapat
menjadi ladasan peneliti untuk memilih dan menggunakan paradigma pragmatisme.

3.4 Subjek dan Objek Penelitian


Subjek dalam penelitian ini adalah film bergenre saint fiction (fiksi ilmiah)
berjudul Black Mirror. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah scene atau adegan-
adegan yang memiliki tanda atau simbol ancaman terhadap keberlangsungan
kehidupan manusia (baik audio, visual, dan narasi) dalam film Black Mirror yang
bergenre saint fiction.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara yang digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan menggunakan
metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi

26
Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2015:
118). Observasi biasanya dilakukan terhadap objek ditempat berlangsungnya
peristiwa, sehingga peneliti berada langsung di tempat peristiwa, dan peneliti berada
dengan objek yang diteliti. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan
observasi secara tidak langsung, yang dapat diartikan pencarian, pengamatan, dan
pencatatan tidak berada di tempat berlangsungnya peristiwa. Karena penelitian ini
dilakukan pada film dalam bentuk file digital video dan bukan berada di tempat
terjadinya peristiwa.

b. Dokumentasi

Pada intinya metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri
data historis. Metode ini banyak digunakan pada penelitian ilmu sejarah, namun
kemudian ilmu-ilmu sosial lain secara serius menggunakan metode dokumentasi
sebagai salah satu metode pengumpulan data, karena sebenarnya sejumlah besar fakta
dan data sosial tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sifat utama dari
data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti
untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam melalui data yang
terdokumentasi. Kumpulan data dokumentasi bisa berbentuk literatur, monumen,
artefak, foto, CD, harddisk, flashdisk, dan sebagainya (Bungin, 2015: 124-125).

3.6 Teknik Analisis Data


Menurut Bogdan (dalam Sugiyono, 2009: 88), analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari catatan tangan dan
bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami orang lain. Penelitian ini menggunakan
teknik analisis data semiotika model second order signification milik Roland Barthes,
yang mana tahap pertama merupakan pemecahan tanda denotatif, dan tahap kedua
merupakan analisa tanda konotatif. Analisis tanda denotatif dan tanda konotatif akan
menghasilkan tanda (sign) yang membentuk mitos (myth), dalam hal ini adalah kunci
dari feminisme yaitu equality (kesetaraan), difference (perbedaan), choice (pilihan),

27
care (pengayoman), time (waktu), dan experience (pengalaman), yang
direpresentasikan dalam adegan. Semiotika model ini di rasa cocok digunakan karena
mampu membongkar pemaknaan yang eksplisit (harfiah) dan tersirat, serta
mengaitkannya dengan mitologi dalam arti pemahaman sosial, budaya, dan ideologi.

Pada awal tahap penelitian, peneliti akan menonton film Black Mirror secara
utuh sebagai bentuk observasi dan melakukan pencatatan terhadap scene dan frame
yang akan diteliti. Scene adalah adegan yang membentuk rangkaian cerita, sedangkan
frame mengacu pada sebuah gambar atau bingkai dan merupakan unit komposisi
terkecil dalam struktur film (Dirks, Tim. “Film Terms Glossary”.
http://www.filmsite.org/filmterms.html, 12 Maret 2018). Setelah itu peneliti akan
melakukan dokumentasi rekaman film dan menentukan frame dalam sebuah scene
yang akan dianalisa. Analisa dilakukan berdasarkan klasifikasi unit analisis yang
sudah ditentukan oleh peneliti gun mendapatkan data utama (korpus) dengan
menggunakan peta tanda milik Roland Barthes.

28
DAFTAR PUSTAKA

Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS

Poerardaminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rintri Ani Pardede. 2016. Manifestasi Citra Perempuan dalam Iklan (Analisis
Semiotika Pierce dalam Iklan Molto Periode 2013-2015). Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Leonita. 2016. Representasi Feminisme Perempuan dalam Iklan Dove Bertema


‘Sisters in Beauty’. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
Tangerang.

Jocelyn Steinke. 2013. Portrayals of Female Scientists in The Mass Media. The
International Encyclopedia of Media Studies Vol. III Blackwell Publishing.

http://digilib.unila.ac.id/16431/18/BAB%20III.pdf (diakses pada 12 Mei 2019)

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127958D%2000984%20Dinamika%20knowing%20
Metodologi.pdf (diakses pada 12 Mei 2019)

research.asu.edu/stories/read/science-fiction-shaping-future (diakses pada 12 Mei


2019)

markedbyteachers.com/as-and-a-level/drama/how-are-women-represented-in-science-
fiction-films-today.html (diakses pada 12 Mei 2019)

https://mail.google.com/mail/u/0/#inbox/KtbxLvHkSXFgFVRvVxTwXPLPQxrfqML
LKg?projector=1&messagePartId=0.1 (diakses pada 15 Mei 2019)

boxofficemojo.com/yearly/chart/?yr=2019 (diakses pada 15 Mei 2019)

29
theconversation.com/friday-essay-science-fictions-women-problem-58626 (diakses
pada 15 Mei 2019)

30

Anda mungkin juga menyukai