Futurologi Dalam Film Saint Fiction
Futurologi Dalam Film Saint Fiction
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Metode Penelitian Komunikasi
Kualitatif
Disusun Oleh:
NPM : 10080016317
2019
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Karena
berkat serta ridha-Nya, kami mampu membuat serta menyelesaikan proposal
penelitian ini. Shalawat serta salam tak lupa kami panjatkan juga kepada Nabi
Muhammad SAW.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih sekali lagi. Serta dalam menyusun
penelitian ini, saya sebagai penulis sangat menyadari bahwa masih terdapat banyak
sekali kekurangan dan kekeliruan, karena tentu masih dalam proses belajar. Maka
dari itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka, saya selaku penulis sangat dengan
senang hati menerima kritik, saran, serta masukan yang diharapkan mampu menjadi
pelajaran bagi kedepannya. Dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak.
i
DAFTAR ISI
ii
3.6 Teknik Analisis Data..................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Penelitian
Perkembangan teknologi yang sangat pesat di era globalisasi saat ini telah
memberikan banyak manfaat dalam kemajuan diberbagai aspek sosial. Penggunaan
teknologi oleh manusia dalam membantu menyelesaikan pekerjaan merupakan hal
yang menjadi keharusan dalam kehidupan. Perkembangan teknologi ini juga harus
diikuti dengan perkembangan pada Sumber Daya Manusia (SDM).
Namun semua itu tidak lepas dari kekurangan. Misalnya seseorang bisa
menggunakan alat teknologi informasi seperti Handphone, PC, Laptop, dll lebih lama
1
daripada berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan anggota keluarganya sendiri.
Sehingga tingkat kepedulian terhadap sesama manusia kurang, menipisnya sikap
tenggang rasa, cenderung lebih mementingkan diri sendiri, dan tidak memperdulikan
lingkungan sekitar.
Dalam film series “Black Mirror” telah dipaparkan kemajuan teknologi yang
sangat pesat. Diperlihatkan juga bagaimana kondisi manusia pada saat nanti jika kita
sebagai penggunanya tidak mementingkan atau memperdulikan nilai kemanusiaan itu
sendiri. Film “Black Mirror” telah mengingatkan kita agar selalu bijak dalam
menggunakan teknologi dan menjauhi sifat adiktif terhadap menggunakan teknologi
yang ada. Selalu harus ada istirahat, interaksi tanpa gadget, dekat dengan Tuhan dan
keluarga.
Dari pemaparan yang ada, film “Black Mirror” telah menunjukkan beberapa
perilaku menyimpang manusia dalam menggunakan teknologi beberapa di antaranya
yaitu pembunuhan, perdagangan manusia, pencurian data informasi sensitive,
perselingkuhan, perusakan nama baik, mempengaruhi iklim politik Negara dan masih
banyak lagi. Maka dari itu proposal ini akan menjelaskan ancaman hidup umat
manusia di masa depan menurut referensi film “Black Mirror”.
2
Berdasarkan konteks penelitian di atas maka dapat di ambil focus penelitian yang
akan di teliti, adalah:
“Bagaimana proses terjadinya ancaman terhadap umat manusia dalam film
“Black Mirror”
3
khususnya mengenai Futurologi dan memberi wawasan yang lebih luas sehubungan
dengan bidang kajian Metode Penelitian Kualitatif.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Perbedaan: Penelitian yang dilakukan oleh Ayu lebih concern kepada nilai
representasi feminisme, sementara itu penelitian yang dibuat oleh peneliti lebih
5
fokus ke area adegan yang mengancam kehidupan secara keseluruhan
Penelitian Terdahulu
perempuan Indonesia
namun masih
menunjukkan sisi
6
feminin
7
dengan lambang-lambang bahasa (verbal maupun nonverbal)
untuk mengubah tingkah laku orang lain.”
3. Theodorson dan Thedorson, “komunikasi adalah penyebaran
informasi, ide-ide sebagai sikap atau emosi dari seseorang kepada
orang lain, terutama melalui simbol-simbol.”
4. Edwin Emery, “komunikasi adalah seni menyampaikan informasi,
ide, dan sikap seseorang kepada orang lain.”
5. A. Winnet, “komunikasi merupakan proses pengalihan suatu
maksud dari sumber kepada penerima, proses tersebut merupakan
suatu seni aktivitas, rangkaian, atau tahap-tahap yang
memudahkan peralihan maksud tersebut.”
(Suprapto, 2009:5-7)
2.2.1.1 Proses Komunikasi
Ketika membicarakan komunikasi sebagai proses, hal ini
berarti komunikasi bersifat berkesinambungan dan tidak memiliki
akhir. Komunikasi juga dinamis, kompleks, dan senantiasa berubah.
Selain itu, karena komunikasi merupakan proses, banyak sekali
yang dapat terjadi dari awal hingga akhir dari sebuah pembicaraan.
Orang-orang dapat memiliki sikap yang sama sekali berbeda, ketika
sebuah diskusi dimulai. Hal ini dapat menjelaskan konflik seiring
terjadi di antara orang yang berkomunikasi. Walaupun suatu
percakapan dimulai dengan bahasa yang kaki dan tidak fleksibel,
konflik tersebut dapat saja diselesaikan melalui kompromi. Semua hal
ini dapat terjadi dalam hitungan menit saja. (Turner & West, 2008:6)
Proses komunikasi ditunjukkan oleh serangkaian tahapan atau
langkah-langkah di mana ada sesuatu yang berubah, orang-orang yang
terlibat dalam komunikasi ikut berubah pikiran dan pendapat serta
tindakan. Oleh karena itu, proses komunikasi meliputi di dalamnya
peranan dan partisipasi aktif pengirim dan penerima pesan, melibatkan
peranan kognitif mereka untuk menerjemahkan maksud pesan yang
8
dikirim dan diterima, memilih media transimis dan bagimana cara
melakukam umpan balik. (Liliweri, 2011:64)
Joseph A. De Vito (1996) mengemukakan bahwa komunikasi
adalah transaksi. Hal tersebut dimaksudkan bahwa komunikasi
merupakan suatu proses, di mana komponen-komponen saling terkait.
Bahwa para pelaku komunikasi beraksi dan bereaksi sebagai satu
kesatuan dan keseluruhan.
Dalam aplikasinya, langkah-langkah dalam proses komunikasi
adalah sebagai berikut:
9
harus memiliki 3 unsur komunikasi, yaitu komunikator, pesan, dan
komunikan.
1. Komunikator
2. Pesan
3. Media
4. Komunikan
5. Pengaruh
(Suprapto, 2009:7-9)
2.2.1.2 Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication)
merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka
antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada
kerumunan orang. Para ahli teori komunikasi, mendefinisikan
komunikais antarpribadi secara berbeda-beda. Di sini, kita membahas
tiga pendekatan utama mengenai pemikiran komunikasi antarpribadi.
1. Pemikiran Komunikasi Antarpribadi Berdasarkan Komponen-
Komponen Utamanya.
10
Penyampaian pesan oleh satu orang dan penerima pesan orang
lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya,
dan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Pemikiran
ini diwakili oleh Bittner (1985:10) yang menerangkan bahwa
komunikasi antarpribadi berlangsung apabila pengirim
menyampaikan informasi berupa kata-kata kepada penerima,
dengan menggunakan medium suara manusia (human voice).
Sementara Barnlund mendefinisikan komunikasi antarpribadi
sebagai pertemuan antara dua, tiga orang, atau mungkin empat
orang, yang terjadi sangat spontan dan tidak berstruktur.
Barnlund sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri (1991)
mengemukakan beberapa ciri utnuk mengenali komunikasi
antarpribadi, sebagai berikut:
- Bersifat spontan;
- Tidak mempunyai struktur;
- Terjadi secara kebetulan;
- Tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan;
- Identitas keanggotaannya tidak jelas;
- Dapat terjadi hanya sambil lalu.
2. Komunikasi Antarpribadi Berdasarkan Hubungan Diadik
Hubungan diadik mengartikan komunikasi antarpribadi sebagai
komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Definisi
hubungan diadik ini dapat diperluas sehingga mencakup
sekelompok kecil orang. Pemikiran mengenai bentuk
hubungan diadik dikemukakan oleh Laing, Phillipson, dan Lee
(1991:117). Mereka menyatakan bahwa untuk memahami
perilaku seseorang, harus mengikutsertakan paling tidak dua
orang perserta dalam situasi bersama. Hubungan diadik ini
11
harus menggambatkan interkasi dan pengalaman bersama
mereka.
Trenholm dan Jensen (1995:26) mendefinisikan komunikasi
antarpribadi sebagai komunikasi antara dua orang yang
berlangsung secara tatap muka. Nama lain dari komunikasi ini
adalah diasik (dyadic). Komunikasi diadik biasanya bersifat
spontan dan informal. Partisipan satu dengan yang lain saling
menerima umpan balik secara maksimal.
3. Pendekatan Komunikasi Antarpribadi Berdasarkan
Pengembangan
Komunikasi antarpribadi dilihat sebagai perkembangan dari
komunikasi impersonal pada satu sisi, menjadi komunikasi
pribadi atau intim di sisi lain. Oleh karena itu, derajat
hubungan antarpribadi turut berpengaruh terhadap keluasan
dan kedalaman informasi yang dikomunikasikan, sehingga
memudahkan perubahan sikap. Pandangan developmental
dapat dilihat dari pendapat Gerald Miller dan M. Steinberg
(1998:274) yang mendefinisikan komunikasi antarpribadi
dalam pengertian penetrasi. Semakin banyak komunikator
mengetahui satu sama lain, maka semakin banyak karakter
antarpribadi yang terbawa di dalam komunikasi tersebut. Oleh
karena itu, komunikasi antarpribadi adalah proses
sesungguhnya dari penetrasi sosial.
12
negatif, berhasil, atau tidak. Jika tidak berhasil maka komunikator
dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-
luasnya.
13
pun mengalami sedikit perubahan. Namun, tetap tidak menghilangkan keaslian dari
awal pembentukannya. Sejauh ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis,10 yaitu:
c. Horor, Film beraroma mistis, alam gaib, dan supranatural. Alur ceritanya
biasa membuat jantung penonton berdegup kencang, menegangkan, dan
berteriak histeris.
d. Musikal, Film yang penuh dengan nuansa musik. Alur ceritanya sama
seperti drama, hanya saja di beberapa bagian adegan dalam film para pemain
(actor/actress) bernyanyi, berdansa, bahkan beberapa dialog menggunakan
musik (seperti bernyanyi).
14
a. Bird Eye View
b. High Angle
Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini
memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil
c. Low Angle
d. Eye Level
Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak
ada kesan dramatik tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya
memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.
e. Frog Level
sepatu.
15
b. Big Close Up (BCU) : pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga
dagu.
c. Close Up (CU) : gambar diambil dari jarak dekat, hanya sebagian dari objek
yang terlihat seperti hanya mukanya saja atau sepasang kaki yang bersepatu
baru
d. Medium Close Up : (MCU) hampir sama dengan MS, jika objeknya orang
dan diambil dari dada keatas.
e. Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang
maka yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari perut/pinggang keatas).
f. Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.
g. Full Shot (FS) : pengambilan gambar objek secara penuh dari kepala
sampai kaki.
i. Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar, sehingga
jika misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat. Bila objeknya
satu orang maka tampak dari kepala sampai lutut.
j. Extreme Long Shot (XLS): gambar diambil dari jarak sangat jauh, yang
ditonjolkan bukan objek lagi tetapi latar belakangnya. Dengan demikian dapat
diketahui posisi objek tersebut terhadap lingkungannya.
16
3. Gerakan kamera (moving camera)
a) Zoom In/ Zoom Out : kamera bergerak menjauh dan mendekati objek
dengan menggunakan tombol zooming yang ada di kamera.
b) Panning : gerakan kamera menoleh ke kiri dan ke kanan dari atas tripod.
17
hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan
dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas
tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya
dengan realitas. Dalam arti lain, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak
hanya membawa informasi, dalam hal ini di mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem tersruktur dari tanda. Banyak para
tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika, diantaranya:
18
Jakobson, Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha
menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada
abad-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-
faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal: Adresser (pengirim),
message (pesan), adresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan contact
(kontak).
19
dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara
tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Dari peta
Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda.
Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif.
Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure material: hanya jika anda mengenal
tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan
hanya sekadar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan
Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti
pada penandaan dalam tataran denotatif. Semiologi Roland Barthes dan para
pengikutnya mengungkapkan bahwa,denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat
pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor atau represi
politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi, Barthes
mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi.
Dilihat segi bahasa, denotasi ialah makna yang sebenarnya yang sama dengan makna
lugas untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat faktual. Konotasi ialah adalah
makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan
makna denotasi yang mengalami penambahan. Sedangkan mitos ialah sistem
komunikasi dan sebuah pesan. Dijelaskan pula dalam kerangka Barthes, konotasi
identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku
dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,
petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh
suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos
adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah
petanda dapat memiliki beberapa penanda. Sering dikatakan bahwa ideologi
bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan
serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran
20
representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran
dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi
tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya
sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi
pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi;
kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu
ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos
akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah.
Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk
mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.
Barthes juga menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, karena mitos
ini merupakan sebuah pesan pula. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan,
sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah
dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut
disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya
ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui
konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya
asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi
pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan
makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.
21
sesuatu. Pertama, wacana adalah bentuk tindakan, bahasa digunakan sebagai
bentuk representasi dalam melihat realitas sehingga bahasa bukan hanya diamati
secara tradisional atau linguistik mikro, melainkan secara makro yang lebih luas
dan tidak lepas dari konteksnya. Kedua, mengimplikasikan adanya hubungan
timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Fairclough (Eriyanto 2001:286-
288) membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yaitu teks, discourse practice,
dan sociocultural practice. (1) Teks digunakan sebagai bentuk representasi
sesuatu yang mengandung ideologi tertentu sehingga teks dibongkar secara
linguistis karena ingin melihat bagaimana seuatu realitas itu ditampilkan atau
dibentuk dalam teks yang bisa jadi membawa pada ideologis tertentu, bagaimana
penulis mengonstruksi hubungannya dengan pembaca (baik secara formal atau
informal, tertutup atau terbuka), dan bagaimana suatu identitas itu hendak
ditampilkan (identitas penulis dan pembaca), artinya dalam analisis teks ini
meliputi representasi, relasi, dan identitas. (2) Discourse practice merupakan
dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Proses
produksi teks lebih mengarah pada si pembuat teks tersebut. Proses ini melekat
dengan pengalaman, pengetahuan, kebiasaan, lingkungan sosial, kondisi, keadaan,
konteks, dan sebagainya yang dekat pada diri atau dalam si pembuat teks.
Sementara itu, untuk konsumsi teks bergantung pada pengalaman, pengetahuan,
konteks sosial yang berbeda dari pembuat teks atau bergantung pada diri
pembaca/penikmat. Bagaimana cara seseorang dapat menerima teks yang telah
dihadirkan oleh pembuat teks. Sementara kaitannya dalam distribusi teks, yaitu
sebagai modal dan usaha pembuat teks agar hasil karyanya dapat diterima oleh
masyarakat. (3) Socio-cultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan
konteks diluar teks. Seperti konteks situasi. Konteks yang berhubungan dengan
masyarakat, atau budaya, dan politik tertentu yang berpengaruh terhadap
kehadiran teks.
22
memahami bagaimana pesan yang disampaikan oleh Black Mirror kepada para
penontonnya melalui kohesi, koherensi, tata bahasa, budaya, lingkungan dan
keseharian. Karena film yang menunjukkan pengaruh yang sangat besar kepada
penontonnya.
23
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
24
dapat diamati (Moleong,2002). Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada
pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti
memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata (Patton
dalam Poerwandari, 1998). Pendekatan kualitatif menekankan pada makna,
penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak
meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan
kualitatif, lebih lanjut mementingkan proses dibandingkan dengan hasil akhir. Oleh
karena itu, urutan-urutan kegiatan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada
kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Pendekatan ini diarahkan pada
latar dan individu secara holistik (utuh). Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif karena penelitian ini menganalisis dan mendeskripsikan model komunikasi
futurology dalam film saint – fiction yang menganalisi ancaman terhadap hidp
manusia film “Black Mirror” yang didapatkan dari kata-kata hasil wawancara dengan
informan penelitian.
25
Pragmatisme menolak filsafat formalisme atau keyakinan akan hanya adanya
stu ‘metode saintifik’. Elaisme naïf (dan realisme kritis) yang menggap kebenaran
adalah ‘tunggal’, satu hukum sebab akibat tunggal untuk sesuatu yang kapan dan
dimanapun (lepas dari manusia dalam konteksnya). Konstruktivisme, yang menjadi
rujukan banyak ilmuwan sosial, juga tidak lepas dari kritik pragmatism. Kritik yang
dialamatkan pada konstruktivisme adala pada perangkap dilem yang dibuatnya
sendiri.
Pragmatisme (Dewey dan Bentley) menyajikan jalan tengah yaitu satu teori
transaksional mengetahui, yang menyerang anggapan dualism antara knowing, di satu
pihak, dan realitas, di pihak lain. Dengan demikian, sajian jalan tengah ini dapat
menjadi ladasan peneliti untuk memilih dan menggunakan paradigma pragmatisme.
a. Observasi
26
Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2015:
118). Observasi biasanya dilakukan terhadap objek ditempat berlangsungnya
peristiwa, sehingga peneliti berada langsung di tempat peristiwa, dan peneliti berada
dengan objek yang diteliti. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan
observasi secara tidak langsung, yang dapat diartikan pencarian, pengamatan, dan
pencatatan tidak berada di tempat berlangsungnya peristiwa. Karena penelitian ini
dilakukan pada film dalam bentuk file digital video dan bukan berada di tempat
terjadinya peristiwa.
b. Dokumentasi
Pada intinya metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri
data historis. Metode ini banyak digunakan pada penelitian ilmu sejarah, namun
kemudian ilmu-ilmu sosial lain secara serius menggunakan metode dokumentasi
sebagai salah satu metode pengumpulan data, karena sebenarnya sejumlah besar fakta
dan data sosial tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sifat utama dari
data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti
untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam melalui data yang
terdokumentasi. Kumpulan data dokumentasi bisa berbentuk literatur, monumen,
artefak, foto, CD, harddisk, flashdisk, dan sebagainya (Bungin, 2015: 124-125).
27
care (pengayoman), time (waktu), dan experience (pengalaman), yang
direpresentasikan dalam adegan. Semiotika model ini di rasa cocok digunakan karena
mampu membongkar pemaknaan yang eksplisit (harfiah) dan tersirat, serta
mengaitkannya dengan mitologi dalam arti pemahaman sosial, budaya, dan ideologi.
Pada awal tahap penelitian, peneliti akan menonton film Black Mirror secara
utuh sebagai bentuk observasi dan melakukan pencatatan terhadap scene dan frame
yang akan diteliti. Scene adalah adegan yang membentuk rangkaian cerita, sedangkan
frame mengacu pada sebuah gambar atau bingkai dan merupakan unit komposisi
terkecil dalam struktur film (Dirks, Tim. “Film Terms Glossary”.
http://www.filmsite.org/filmterms.html, 12 Maret 2018). Setelah itu peneliti akan
melakukan dokumentasi rekaman film dan menentukan frame dalam sebuah scene
yang akan dianalisa. Analisa dilakukan berdasarkan klasifikasi unit analisis yang
sudah ditentukan oleh peneliti gun mendapatkan data utama (korpus) dengan
menggunakan peta tanda milik Roland Barthes.
28
DAFTAR PUSTAKA
Poerardaminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Rintri Ani Pardede. 2016. Manifestasi Citra Perempuan dalam Iklan (Analisis
Semiotika Pierce dalam Iklan Molto Periode 2013-2015). Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Jocelyn Steinke. 2013. Portrayals of Female Scientists in The Mass Media. The
International Encyclopedia of Media Studies Vol. III Blackwell Publishing.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127958D%2000984%20Dinamika%20knowing%20
Metodologi.pdf (diakses pada 12 Mei 2019)
markedbyteachers.com/as-and-a-level/drama/how-are-women-represented-in-science-
fiction-films-today.html (diakses pada 12 Mei 2019)
https://mail.google.com/mail/u/0/#inbox/KtbxLvHkSXFgFVRvVxTwXPLPQxrfqML
LKg?projector=1&messagePartId=0.1 (diakses pada 15 Mei 2019)
29
theconversation.com/friday-essay-science-fictions-women-problem-58626 (diakses
pada 15 Mei 2019)
30