PENDAHULUAN
1
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang diambil dalam pokok bahasan ini adalah:
Apakah pengertian KDRT?
Apa pengaruh KDRT dalam rumah tangga?
Apa peran dokter dalam memberikan bantuan terhadap korban KDRT?
1.3. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menjelaskan pengertian KDRT,
pengaruhnya terhadap rumah tangga dan peran dokter dalam memberikan bantuan
terhadap korban KDRT.
1.4. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mengetahui
apa yang dimaksud dengan KDRT dan memahami peran dokter dalam memberikan
bantuan terhadap kasus KDRT.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
undang-undang ini diharapkan terjadi penurunan kasus KDRT dan terlindunginya hak
dan kewajiban anggota keluarga. 1
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007
menunjukkan peningkatan laporan adalah sebanyak 5 kali lipat. Sebelum UUPKDRT,
yaitu dalam rentang 2001-2004, jumlah yang dilaporkan adalah atau sebanyak 9.662
kasus. Sejak diberlakukannya UUPKDRT, 2005-2007, terhimpun sebanyak 53.704
kasus KDRT yang dilaporkan. 1
4
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat (Ps 5 jo 6)
2. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps 5 jo 7)
3. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksuak, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan dan atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang
meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau
tujuan tertentu
4. Penelantaran rumah tangga, yakni perbuatan penelantaran orang dalam
lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang
bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan terhadap orang tersebut.
Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk
bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada
dibawah kendali orang tersebut (ps 5 jo 9).2
Kewajiban Pemerintah
5
Pemerintah (cq. Menteri Pemberdayaan Perempuan) bertanggung jawab
dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ps11). Oleh
karenanya, sebagai pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah (Ps 12):
1. Merumuskan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
2. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan
dalam rumah tangga
3. Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga.
4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standard dan akreditasi
pelayanan yang sensitive gender.2
Selanjutnya menurut pasal 13, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya:
1. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian
2. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani
3. Pembuatan dan pegembangan sistem dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban
4. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah
daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial
lainnya (ps 14).
Kewajiban Masyarakat (Ps 15)
Sesuai batas kemampuannya,setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya
untuk :
1. mencegah berlangsungnya tindak pidana
2. memberikan perlindungan pada korban
3. memberikan pertolongan darurat
4. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan
6
Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban KDRT
KEPOLISIAN
1. Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan
KDRT, polisi wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban
(ps 16 (1)).
2. Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan (ps (16 (3)).
3. Kepolisian wajib memberikan keterangan pada korban tentang hak korban
untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (ps 18)
4. Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya KDRT (Ps 19)
5. Kepolisian segera menyampaikan pada korban tentang:
1. identitas petugas untuk pengenalan pada korban
2. KDRT adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
3. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (ps 20)
7
Relawan pendamping aalah orang yang mempunyai keahlian untuk
melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri
korban kekerasan. Bentuk pelayanannya adalah:
1 Menginformasikan pada korban akan haknya untuk mendapat seorang atau
beberapa orang pendamping
1 Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif
dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.
2 Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban
merasa aman didampingi oleh pendamping.
3 Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik pada
korban.
PENGADILAN
1 Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya
permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang
patut (ps 28).
2 permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan
untuk (ps 31 (1)):
a.menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku,
larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti,
mengawasi atau mengintimidasi korban. atau membatalkan suatu.kondisi
khusus dari perintah perlindungan.
Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama dengan proses
8
pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga (ps 31 (2)).
3. Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan
(ps 33 (1)). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan,pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan atau pembimbing rohani (ps 33 (2)).
4. Pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan
satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan dengan kewajiban
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani (ps 34).
Pemulihan Korban
9
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
1 Tenaga kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesi dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban
2 Pekerja sosial
3 Relawan pendamping
4 Pembimbing rohani
Pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani wajib memberikan
pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan
atau memberikan rasa aman bagi korban.
10
PENELANTARAN RUMAH TANGGA DELIK ANCAMAN SAKSI
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau menelantarkan
orang lain yang berada dibawah kendali yaitu penjara paling lama 3 tahun atau
denda paling banyak 15 juta.
Pidana Tambahan
Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut diatas, hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pembatasan Gerak perilaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan
lembaga tertentu.
2.4.1.2. Insidensi
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis
Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap
262 responden (istri) menunjukkan 48% perempuan (istri) mengalami
kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat
pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar
sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN,
12
ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami
kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami.5
Hasil penelittian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan
oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76
orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami
tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32
orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang),
kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya
mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden
mengalami lebih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan
pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-
pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka
suami melakukan kekerasan fisik.5
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang
melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran
tindakannya itu, karena perilaku istri dianggap tidak menurut kepada
suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit.
Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan
dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.5
13
hubungan kekuasaan antara suami dan istri akan selalu
menjadi akar dari perilaku keras dalam rumah tangga.
2. Ketergantungan ekonomi
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami
meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan
keras dilakukan kepada ia tetap enggan untuk melaporkan
penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan
hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini
dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang
kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini
dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan atau
kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian
dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat
memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan.
Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel
maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi
penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering
menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan
problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai fakor pertama
kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan
kekuasaan antara suami dan istri. Maka disisi lain,
perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal
pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang
mereka alami sejak masih kuliah, dilingkungan kerja, dan
lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal dapat
menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi
lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
14
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang
semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasanya
terjadi pada pasangan yang belum siap kawin, suami belum
memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi
kebutuhan rumah tangga dan masih serba terbatas dalam
kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau
mertua.Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian
kepada mabuk-mabukkan dan perbuatan negatif lain yang
berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan
memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain
yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses
hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan
dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan
kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan
korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai
tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam
keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimalnya KUHAP
membicarakan mengenai hak dn kewajiban istri sebagai
korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau
saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim
kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia
alami.
Banyak pihak yang masih belum mau mengakui adanya praktek
pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan. Memang kasus ini
tidak banyak terangkap karena korban lebih sering menyembunyikan
penderitaan yang dialaminya. Menganggap apa yang dialaminya adalah
hal yang tabu untuk diketahui orang lain.6
Sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa tidak ada yang
namanya perkosaan dalam perkawinan. Menurut mereka, setiap
hubungan seksual yang berlangsung antara suami istri, terlebih dalam
15
ikatan yang sah secara hukum dan agama adalah suatu kewajaran dan
rutinitas yang memang sudah seharusnya dilakukan. Anggapan lain di
masyarakat yang tidak tepat adalah istri tidak boleh menolak ajakan
suami untuk berhubungan seksual. Kuatnya anggapan tersebut
menyebabkan ketika suami melakukan pemaksaan dan kekerasan seksual
terhadap istri, kecenderungan masyarakat adalah justru menyalahkan
istri. Apalagi jika istri menolak, mereka akan dipandang sebagai istri
yang melawan suami. Bagi mereka, istri harus selalu siap melayani
kapanpun suami menginginkan hubungan seksual. Padahal, adakalanya
istri sedang tidak bergairah, sedang menstruasi atau tertidur karena
kelelahan sesudah beraktivitas seharian, baik itu di luar ataupun di dalam
rumah.6
Tidak jarang pula ada suami yang memaksa melakukan variasi
hubungan seksual dengan gaya atau cara yang tidak ingin dilakukan oleh
si istri karena istri menganggapnya di luar kewajaran. Sebagai
perempuan yang memiliki tubuhnya sendiri, istri tentu memiliki hak
untuk mengatakan tidak dan menolak setiap bentuk hubungan seksual
yang tidak diinginkannya. Dengan demikian, penting untuk dicamkan
bahwa perkosaan dalam perkawinan adalah setiap hubungan seksual
dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bersama,
dilakukan dengan paksaan, dibawah ancaman atau dengan kekerasan.6
Sehingga, jika ada suami yang memaksa istrinya untuk
melakukan hubungan seksual padahal istri tidak menginginkannya, maka
itu termasuk tindak perkosaan.7
Berikut adalah beberapa variasi kasus pemaksaan hubungan
seksual yang kerap terjadi maupun kasus-kasus yang pernah ditangani
oleh LBH APIK Jakarta:7
1. Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami.
Istri dipaksa melakukan anal seks (memasukkan penis ke
dalam anus), oral seks (memasukkan penis ke dalam mulut)
dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak
dikehendaki istri.
2. Pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur
16
3. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu
yang sama sementara istri tidak menyanggupinya
4. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk
atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang
hubungan intim tanpa persetujuan bersama dan istri tidak
menginginkannya
5. Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menabah
gairah seksual. Pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang
haid/menstruasi.
6. Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan
kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci
maki
7. Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik
istri seperti memasukkan benda-benda ke dalam vagina istri,
mengoleskan balsem ke vagina istri, menggunting rambut
kemaluan istri dan bentuk kekerasan fisik lainnya.
Mengenai hukuman bagi pelaku, ditegaskan dalam pasal 46 UU
PKDRT ini yang menyatakan para pelaku pemaksaan hubungan seksual
dalam rumah tangga diancam hukuman pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh
enam juta rupiah).7
17
- Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan,
shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-
ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
- Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-
anaknya.
Kekerasan terhadap istri juga d menimbulkan dampak jangka
panjang, terutama pada kekerasan yang berulang dan berlangsung lama
seperti pada kekerasan dalam rumah tangga. Dampak tersebut dapat
berupa ketidakharmonisan keluarga yang berakibat kepada terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan anak, child abuse, “cycle of violence”,
gangguan perkembangan mental dan perilaku seksual dll.9
18
perkosaan, melainkan juga kekerasan nonfisik seperti, kekerasan
ekonomi, psikis.
1. Fisik (dianiaya di luar batas: dipukul, dijambak, ditendang, diinjak,
dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dsb)
2. Psikis (dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang
tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dsb)
3. Seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-
remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa
melakukan oral seks, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur,
dipaksa bekerja di warung remang-remang dan pelecehan seksual
lainnya.
4. Ekonomi (dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen,
dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dsb)
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu
tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya
menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara
fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan disini karena bertindak
sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di
sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek,
paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang
kebon, dan seterusnya.12
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Unicef, Indonesia. Banyak teori yang
berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu
diantaranya teori yang berhubungan dengan stres dalam keluarga (family
stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua,
atau situasi tertentu.12
Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik,
mental, perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi
dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga
merupakan salah satu penyebab stress.
1. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan
gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban
19
kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan
pada anak terlampau tinggi, orang tua terbiasa dengan sikap disiplin.
2. Stres berasal dari situasi tertentu, misalnya terkena PHK (pemutusan
hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dnakeluarga
sering bertengkar.12
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya
yang kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap
permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak,
maka para pelaku makin merasa sah untuk mendera anak. Dengan sedikit
faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan
ketidakpatuhan para pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang
tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya.12
2.4.2.2. Insidensi
Pada saat ini di Indonesia berbagai masalah seakan tidak pernah
berhenti, mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis politik
yang berkelanjutan, kerusuhan hingga perseteruan di antara kelompok,
golongan maupun aparat negara yang saat ini sedang marak. Masalah
sosial sudah menjadi topik yang hangat dibicarakan, misalnya masalah
kemiskinan, kejahatan, dan juga kesenjangan sosial, begitu pula dengan
berbagai kasus kekerasan yang kerap terjadi belakangan ini. Setiap
bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya
kepada lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.
Sebanyak 60% merupakan korban kekerasan ringan, berupa kekerasan
verbal atau caci maki, sedangkan 40% sisanya mengalami kekerasan
fisik hingga seksual. Kasus kekerasan terhadap pria, wanita, maupun
anakpun sering menjadi headline di berbagai media. Namun, banyak
kasus yang belum terungkap karena kasus kekerasan ini dianggap
sebagai suatu hal yang tidak penting, terutama masalah kekerasan yang
terjadi pada anak-anak. Begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi pada
anak tetapi hanya sedikit kasus yang ditindaklanjuti. Padahal, seorang
anak merupakan generasi penerus bangsa. Kehidupan masa kecil anak
20
sangat berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa
nanti.13
Kenyataannya, masih banyak anak Indonesia yang belum
memperoleh jaminan terpenuhinya hak-haknya, antara lain banyak yang
menjadi korban kekerasan, penelataran, eksploitasi, perlakuan salah,
diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Semua tindakan kekerasan
kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa
sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-
tindakan di atas dapat dikatagorikan sebagai child abuse atau perlakuan
kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu sendiri berkisar sejak
pengabaian anak sampai kepada pemerkosaan dan pembunuhan. Terry E.
Lawson, psikiater anak membagi child abuse menjadi empat macam,
yaitu emosional abuse, terjadi ketika si ibu setelah mengetahui anaknya
memeinta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada
waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk
atau dilindungi.13
Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan
emosional itu berlangsung konsisten. Verbal abuse terjadi ketika si ibu
setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu
untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu
terus-menerus menggunakan kekerasan verbal, seperti ,”kamu bodoh”,
“kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya. Physical abuse
terjadi ketika si ibu memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit, atau
logam akan diingat anak itu. Sexual abuse, biasanya tidak terjadi selama
delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada
beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual
dalam usia enam bulan.13
Bedasarkan data yang didapat dari Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia melalui Center for Tourism Research and Development
Universitas Gajah Mada, mengenai berita tentang child abuse yang
terjadi dari tahun 1992-2002 di 7 kota besar, yaitu Medan, palembang,
21
Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang, ditemukan
bahwa ada 3969 kasus dengan rincian sexual abuse 65.8%, physical
abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3%.14
22
problem sosial di negeri ini. Karena itulah tulisan ini mencoba untuk
lebih menyadarkan masyarakat terhadap kekerasan pada anak-anak.14
23
dalam praktek perawatan anak pada tengah abad terakhir ini. Beberapa
cara pemeriksaan untuk memeriksa kasus kematian Maria Colwell
(DHSS 1974) telah menyebabkan perubahan dalam praktek dan
perundang-undangan
Hak setiap anak adalah:
1. Untuk dilahirkan, untuk memiliki nama dan kewarganegaraan
2. Untuk memiliki keluarga yang menyayangi dan mengasihi
3. Untuk hidup dalam komunitas yang aman, damai, dan lingkungan
yang sehat
4. Untuk mendapatkan makanan yang cukup dan tubuh yang sehat dan
aktif
5. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan mengembangkan
potensinya
6. Untuk diberikan kesempatan bermainan waktu santai
7. Untuk dilindungi dari penyiksaan, eksploitasi, penyia-siaan,
kekerasan, dan dari marabahaya
8. Untuk dipertahankan dan diberikan bantuan oleh pemerintah.
24
2. Negara-negara peserta berupaya untuk menjamin adanya
perlindungan dan perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk
kesejahteraan anak.
Pasal 6
1. Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak
kodrati atas kehidupan.
2. Negara-negara Peserta semaksimal mungkin akan menjamin
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
Pasal13
Anak mempunyai hak atas kebebasan untuk menyatajan
pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan
memberi segala macam informasi dan gagasan terlepas dari batas
wilayah, baik secara lisan, tertulis atau cetakan, dalam bentuk karya seni
maupun melalui media lain sesuai dengan pilihan anak yang
bersangkutan.
Pasal 19
Negara-Negara Peserta akan mengambil langkah legislatif,
administratif, sosial, dan pendidikan yang layak guna melindungi anak
dan semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera atau
penyalahgunaan, pengabaian atau tindakan penelantaran, perlakuan
salah, atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara
mereka berada dalam pengasuhan orang tua, wali yang sah atau setiap
orang lain yang merawat anak.
Pasal 23
Negara-negara Peserta mengakui bahwa anak-anak yang cacat
fisik atau mental hendaknya menikmati kehidupan penuh dan layak,
dalam kondisi-kondisi yang menjamin martabat, meningkatkan percaya
diri dan mempermudah peran aktif anak dalam masyarakat.
Pasal 28
Negara-negara Peserta mengakui hak atasw anak pendidikan, dan
untuk mewujudkan hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan
yang sama, Negara-negara Peserta secara khusus akan:
25
a. Membuat pendidikan dasar suatu kewajiban dan tersedia secara
Cuma-Cuma untuk semua anak;
b. Mendorong pengembangan bentuk-bentuk pendidikan menengah
yang berbeda, termasuk pendidikan umum dan kejuruan,
menyediakan pendidikan tersebut untuk setiap anak, dan mengambil
langkah – langkah yang tepat seperti penerapan pendidikan cuma-
cuma dan menawarkan bantuan keuangan bila diperlukan;
Pasal 29
a. Negara-negara Peserta sependapat bahwa pendidikan anak akan
diarahkan pada;
b. Pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental dan
fisik hingga mencapai potensi mereka sepenuhnya;
c. Pengembangan penghormatan atas hak-hak azasi manusia dan
kemerdekaan hakiki, serta terhadap prinsip-prinsip yang diabadikan
dalam Piagam PBB.
d. Pengembangan rasa hormat kepada orangtua, identitas budaya,
bahasa dan nilai-nilainya, nilai-nilai kebangsaan dan negara tempat
anak tersebut bertempat tinggal, berasal, dan kepada peradaban-
peradaban yang berbeda dan peradabannya sendiri.
e. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam
suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian,
perdamaian, toleransi, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan
antara sesama, kelompok-kelompok etnik, bangsa dan agama dan
orang-orang pribumi.
f. Pengembangan rasa hormat kepada lingkungan alam
Pasal 30
Di negara-negara dimana terdapat kelompok-kelompok minoritas
suku bangsa, agama atau pribumi seperti itu tidak akan disangkal haknya
dalam bermasyarakat dengan anggota-anggota lain dan kelompoknya,
untuk menikmati budayanya sendiri, untuk melaksanakan ajaran
agamanya sendiri, atau menggunakan bahasanya sendiri.
Pasal 32
Negara-negara Peserta mengakui hak anak untuk dilindungi dan
eksploitasi ekonomi dan dari pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin
26
berbahaya atau mengganggu pendidikan anak, atau membahayakan
kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial
anak.
Pasal 34
Negara-negara Peserta berusaha untuk melindungi anak dan
semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk
tujuan ini, Negara-negara Peserta secara khusus akan mengambil
langkah-lamgkah nasional, bilateral dan multilateral untuk mencegah :
a. Bujukan atau pemaksaan terhadap anak untuk melakukan kegiatan
seksual yang tidak sah;
b. Penggunaan anak secara eksploitstif dalam pelacuran atau praktek-
praktek seksual lain yang tidak sah;
c. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukkan-
pertunjukkan dan bahan-bahan pornografis.
27
adanya pertengkaran dan kekerasan yang dilakukan orang tuanya selama
ia kanak-kanak merupakan prediksi yang bermakna untuk timbulnya
kejahatan terhadap orang pada saat ia dewasa kelak, seperti penyerangan,
percobaan perkosaan, perkosaan, percobaan pembunuhan, penculikan
dan pembunuhan, tetapi tidak prediktif untuk kejahatan terhadap barang.
28
suami dan istri serta anak-anak. Pada akhirnya ketergantungan
merupakan sikap umum perempuan. Suatu sikap yang ingin dilindungi
dan dipelihara.15
Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam
Undang-Undang No.23 tahun 2004 adalah ; “setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berak ibat timbulnya
kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/ atau
penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkungan rumah tangga” (pasal 1 ayat 1).15
Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang di
dalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang
melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam
kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah
tangga adalah :
1. Suami, istri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami,
istri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti : mertua,
menantu, ipar, dan besan
3. Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal
dalam rumah tangga tersebut, seperti pembantu rumah tangga16
29
Kehilangan salah satu panca indra
Mendapat cacat
Menderita sakit lumpuh
Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih
Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
Kematian korban
b. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong,
dan perbuatan lainya yang mengakibatkan :
Cedera ringan
Rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk kategori berat
Melakukan repetisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan fisik berat.
Kekerasan Psikis
a. Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan atau
ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan
dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang
masing-masing bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa
salah satu atau beberapa hal berikut :
Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan
obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau dua
Kesemuanya berat dan atau menahun
Gangguan stress paska trauma
Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau
buta tanpa indikasi medis)
Deperesi berat atau destruksi diri
Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan
realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
Bunuh diri
b. Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelanggaran, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau
ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman
kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang masing-masing bisa
mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau
beberapa hal di bawah ini :
30
Ketakutan dan perasaan terteror
Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak
Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
Ganggan fungsi tubuh ringan (misalnya sakit kepala,
gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
Fobia atau depresi temporer
Kekerasan Seksual
a. Kekerasan Seksual Berat, berupa :
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul
serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/ jijik,
terteror, terhina dan merasa dikendalikan. Pemaksaan
hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan, dan atau menyakitkan
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu
Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan
posisi ketergantungan korban yang seharusnya
Dilindungi
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera
b. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentas verbal, gurauan, gurauan porno, siulan, ejekan dan
julukan dan atau secara nonverbal, seperti ekspresi wajah, gerakan
tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual
yan tidak dikehendaki oleh korban bersifat melecehkan dan atau
menghina korban
Kekerasan Ekonomi
a. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa :
a) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran
31
b) Melarang korban bekerja tapi menelantarkannya
c) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan
korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda
korban.
b. Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja
yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara
ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya16
2.5.1.1. Anamnesis
a. Upayakan anamnesis diperoleh secara cermat, baik dari pengantar
maupun dari korban sendiri.
b. Nilai kejanggalan sikap istri, suami atau pengantar lain.
c. Nilai kejanggalan keterangan yang diberikan.
32
d. Lengkapi rekam medis dengan menanyakan kembali tentang
identitasnya.
e. Tanyakan tentang proses terjadinya kekerasan secara rinci, termasuk :
1) Urutan kejadiannya
2) Apa yang menjadi pemicu (penyebab)
3) Penderaan apa yang telah terjadi
4) Oleh siapa
5) Kapan
6) Dimana
7) Dengan menggunakan apa atau bagaimana terjadinya
8) Berapa kali
9) Apa akibatnya pada si korban
10) Orang-orang yang ada di sekitar pada saat kejadian
11) Waktu jeda (time lag) antara saat kejadian dan saat menerima
pertolongan medis
12) Apa yang dilakukan korban setelah kejadian
13) Apa yang dilakukan pelaku setelah kejadian
f. Peroleh pula informasi tentang :
1) Keadaan kesehatannya sebelum trauma
2) Pernahkah trauma seperti ini sebelumnya
3) Adakah riwayat penyakit dan perilaku sebelumnya
4) Adakah faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi yang
berpengaruh pada perilaku dalam keluarga
5) Bagaimanakah pertumbuhan fisik, perkembangan (terutama
motorik) dan psikis anak-anaknya
6) Apakah anaknya juga mengalami kekerasan
g. Keterangan pasien atau korban untuk setiap kelainan fisik yang
ditemukan harus dicatat.
j. Anamnesis seharusnya dilakukan secara terpisah dari suami atau
pengantanya(private setting), setelah itu dibandingkan dengan
keterangan versi pengantar atau suami.
33
2.5.1.2 Rekam Medis
a. Lengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa, pengantar
korban, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta jati diri korban,
terutama umur dan perkembangan seksnya (menarche dan seks sekunder)
serta kegiatan seksual terakhir, siklus haid, haid terakhir dan apakah
masih haid saat kejadian.
b. Selanjutnya rekonfirmasi tentang kekerasan sebelum kejadian, rincian
kejadian, waktunya, lokasinya, terjadi atau tidaknya penetrasi dan apa
yang telah dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual tersebut
(mencuci diri, ganti baju, mandi, dll).
34
g. Pekerjaan
h. Jenis kelamin
i. Kebangsaan
2. Identitas Pelaku
3. Jenis Kekerasan
a. Fisik
b. Psikis
c. Perkosaan
d. Pencabulan
e. Penelantaran
4. Tempat kejadian
5. Jenis Pelayanan
a. Pendampingan
b. Pelayanan kesehatan
c. Konseling
d. Pelayanan hukum
e. Rehabilitasi
f. Penempatan korban di Rumah Aman
6. Potensi Unit Pelayanan
a. Nama dan alamat unit pelayanan
b. Jumlah dan kualifikasi SDM
c. Jenis pelayanan yang tersedia pada unit pelayanan
tersebut
Hambatan
Meskipun telah ada perkembangan yang baik dalam jumlah
kebijakan dan lembaga yang menangani korban dan koordinasi lintas
instansi, tidak serta merta kualitas pelayanan dan penanganan sudah
memenuhi kebutuhan korban KDRT atas kebenaran, keadilan dan
pemulihan baik yang dialami korban dan/atau pelapor. Hamabatannya
muncul dalam berbagai lapisan, termasuk di antara adalah kapasitas dari
lembaga-lembaga layanan.
a. Kendala Budaya
35
Sekalipun sudah dijamin di dalam UU PKDRT, tidak
semua permpuan merasa yakin untuk melaporkan kasusnya
karena masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang
menimpa dan juga kuatir akana dipersalahkan oleh keluarga dan
masyarakat sekelilingnya. Adanya pula keraguan korban untuk
melanjutkan proses hukum karena takut akan kehancuran
keluarga Pertimbangan serupa juga mendasari korban yang telah
melaporkan kasusnya kemudian menarik pengaduannya. Catatan
RPK UUP sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50 %
dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban dan
berarti proses hukum tidak diteruskan.
b. Kendala Hukum
Dari segi substansi hukum, UU PKDRT bukan
merupakanproduk hukum yang sempurna, meski UU PKDRT
merupakan terobosanyang progresif dalam sistem hukum dan
perundang-undangan kita terkait dengan upaya perlindungan
hukum terhadapa koban KDRT. Berikut hambatan yang terkait
dengan substansi hukum yang ada.
1) Payung kebijakan di bawah undang-undang, seperti
peraturan-peraturan pelaksanaan dan alokasi anggaran
negara, masih jauh dari memadai sehingga mempersulit
penanganan yang sesuai dengan apa yang dimandatkan
dalam Undang-undang no 23 tahun 2004. Hal ini terutama
terjadi pada tahap awal penanganan yang melibatkan
polisi, lembaga layanan kesehatan dan pendamping
korban.
2) Ancaman hukum alternatif berupa kurungan atau
denda, ancaman hukuman terlalu ringan untuk kasus
tindak kejahatan/kekerasan yang terencan dan kasus yang
korbannya meninggal, kekerasan seksual dan psikis yang
dilakukan suami terhadapa istri, merupakan delik aduan.
36
3) UU PKDRT lebih menitikberatkan proses penanganan
hukum pidana dan penghukuman dari korban. Di satu sisi
UU ini dapat terjadi alat untuk menjerakan pelaku dan
represi terhadap siaa yang akan melakukan tindakan
KDRT. Di sisi lain, penghukuman suami masih dianggap
bukan jalan yang utama bagi korban, khususnya istri,
yang mangalami KDRT.
37
BAB III
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
39