Anda di halaman 1dari 9

Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

Journal of Indonesian History

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih

Konflik Rasial Antara Etnis Tionghoa Dengan Pribumi Jawa di Surakarta Tahun
1972-1998

Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, Ibnu Sodiq

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Surakarta merupakan wilayah sebagai tujuan migrasi orang-orang Tionghoa dimasa lalu,
Diterima Agustus 2017 orang-orang Tionghoa datang ke Surakarta dengan tujuan untuk berdagang. Salah satu
Disetujui September 2017
akibatnya adalah meningkatnya potensi ketegangan hubungan antar etnis di Surakarta.
Dipublikasikan Oktober
Konflik rasial di eks-Karesidenan Surakarta ini sudah terjadi sejak jaman penjajahan
2017
Belanda. Pada masa Orde Baru saja sudah terjadi tiga kali kerusuhan berskala besar yang
________________
Keywords:
terjadi pada tahun 1972-1998. Peristiwa rasial anti Tionghoa di Kota Surakarta ini
racial conflict, Surakarta. memiliki faktor pemicu kerusuhan berskala kecil yang menjadi karakteristik unik yang
____________________ mampu menyebabkan kekacauan sangat besar dan sangat serius. Faktor pemicu konflik
di Surakarta pada tahun 1972-1998 yaitu terbentuknya mobilisasi massa, konflik
individual serta aksi mahasiswa. Di bawah pemerintahan Orde Baru, ketegangan antara
orang Cina dengan penduduk pribumi terus tumbuh sebagai akibat dari melebarnya jarak
antara yang kaya dan yang miskin serta upah rendah yang diberikan kepada pejabat
birokrasi, militer dan polisi.

Abstract
___________________________________________________________________
Surakarta is an area for Chinese people in the past, Chinese people coming to Surakarta for the
purpose of trading. One consequence is the increased potential for inter-ethnic relations in Surakarta.
Racial conflict in the Surakarta residency has occurred since the Netherlands colonial era. In the
New Order era there have been three large-scale riots that occurred in 1972-1998. The anti-Chinese
racial event in Surakarta city has triggered a small-scale riot that became a unique characteristic
capable of causing enormous and very serious chaos. The triggering factor of conflict in Surakarta in
1972-1998 was the formation of mass mobilization, individual conflict and student action. Under
the New Order goverment, tensions between the Chinese and the indigenous population continued
to grow as a result of the widening gap between the rich and the poor and the low wages given to
bureaucratic, military and police officials.

© 2017 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6633
Gedung C5 Lantai 1 FIS Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: sejarah@mail.unnes.ac.id

66
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

PENDAHULUAN yang saat itu Kartasura sebagai pusat Mataram.


Sifat permusuhan yang melandasi pandangan
Surakarta merupakan daerah pemukiman antar etnis ini secara umum yang merebak ke
yang cukup tua yang manjadi salah satu lokasi permukaan adalah konflik Cina versus Pribumi.
tujuan migrasi orang-orang Cina di masa lalu dan Stigma yang timbul dalam masyarakat pribumi
sebagai tempat tinggal mereka di masa sekarang. adalah karena adanya kecemburuan ekonomi
Salah satu akibatnya adalah meningkatnya yang disebabkan karena pada masa orde baru
potensi ketegangan hubungan antar etnis di perekonomian baik skala nasional maupun skala
sejumlah wilayah termasuk di Surakarta dan lokal yang dalam hal ini adalah wilayah Kota
sekitarnya. Kota Surakarta sebagai pusat konflik Surakarta yang masih didominasi oleh
terkenal dengan masyarakatnya yang lemah pengusaha-pengusaha Tionghoa. Di bawah
lembut, santun, perhitungan dan pemerintahan Orde Baru, ketegangan antara
mengedepankan keharmonisan. Peristiwa rasial orang Cina dengan penduduk pribumi terus
di Surakarta yang selama ini terjadi mengandung tumbuh sebagai akibat dari meluasnya jarak
tanda tanya besar. Sikap santun dan lemah antara yang kaya dan yang miskin dalam negara
lembut masyarakat Surakarta ternyata serta upah rendah yang diberikan kepada pejabat
mengandung sikap agresif yang luar biasa. birokrasi, militer dan polisi (Onghokham,
Dalam interaksi sosial timbul masalah 2008:24).
kesenjangan yang bersifat laten dan kadang- Masalah hubungan pribumi dan non
kadang menjadi penyulut timbulnya kerusuhan. pribumi hingga kini masih mengundang
Dalam realitas sosial orang-orang Tionghoa di perdebatan sengit. Dalam serangkaian tragedi
Surakarta senantiasa mendapatkan stigma dan konfik rasial di Surakarta tahun 1972-1998 ini
citra jelek, padahal realitas kultural orang-orang sudah banyak menelan korban jiwa, banyak
Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan dan gedung-gedung perkantoran, pertokoan, atau
pengembangan budaya Jawa (Rustopo, 2007:2). rumah-rumah yang hangus terbakar serta
Penelitian ini membahas masalah kendaraan-kendaraan transportasi warga juga tak
identifikasi keTionghoaan sebagai suatu topik luput dari amukkan massa. Penyebab dari konflik
yang penting dalam rangka memahami masalah rasial di Surakarta menurut penulis dapat
Tionghoa sebagai etnis minoritas. Etnis minoritas digolongkan ke dalam tiga faktor, yaitu faktor
Tionghoa masih sering dianggap sebagai sumber ekonomi, faktor historis dan faktor politik. Faktor
masalah. Etnis Tionghoa masih dianggap sebagai yang paling dominan adalah faktor ekonomi
“the other” atau “yang lain” dari golongan yang yaitu fenomena ekonomi modern dan tradisional,
ada (Windy Kinasih, 2007:10). Konflik masalah perburuhan, masalah marjinalisasi
bernuansa rasial merupakan suatu fenomena kaum miskin dan krisis moneter menjadi pemicu
penting dan sangat menarik dalam perjalanan terjadinya konflik rasial tersebut. Berdasarkan
sejarah Kota Surakarta. Dalam penelitian uraian yang penulis jelaskan di atas, maka
pergulatan konflik Tionghoa-Jawa, Surakarta penulis ingin mengangkat judul skripsi ini yaitu
merupakan wilayah penelitian yang relevan. “Konflik Rasial Antara Etnis Tionghoa Dengan
Konstelasi Sosial Surakarta menunjukkan bahwa Pribumi Jawa di Surakarta Tahun 1972-1998”.
Surakarta dihuni oleh banyak komunitas
minoritas, terutama adalah etnis minoritas METODE
Tionghoa (Windy Kinasih, 2007:60).
Konflik rasial di eks-Karesidenan Metode adalah cara atau prosedur untuk
Surakarta ini sudah terjadi sejak jaman mendapatkan objek atau cara untuk mengerjakan
penjajahan Belanda. Sekitar dua setengah abad sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan
yang lalu, yang dikenal dengan “Bedah teratur (Pranoto, 2010:11). Dalam penelitian ini,
Kartasura” pada tahun 1742. Tragedi besar- penulis menggunakan metode sejarah. Metode
besaran tersebut terjadi di pusat-pusat otoritas, sejarah adalah proses menguji dan menganalisa

67
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

secara kritis rekaman dan peninggalan masa dipengaruhi oleh latar belakang, pengaruh,
lampau (Gottschalk,1985:32). Dengan motivasi, dan pola pikir. Interpretasi akan
menggunakan metode sejarah, diusahakan dapat mempengaruhi bagaimana jenis-jenis penulisan
merekontruksi peristiwa-peristiwa masa lampau dalam laporan penelitian, karena data yang
kemudian menyampaikan rekontruksi sesuai diperoleh akan sangat berfungsi bagi penulisan
dengan jejak-jejak masa lampau. Dalam laporan dengan bantuan penafsiran dari penulis.
pelaksanaan metode sejarah, terdapat empat Interpretasi cenderung akan menghasilkan
tahapan, yaitu heuristik, kritik sumber, subjektifitas dari penulis, akan tetapi dengan
interpretasi, dan historiografi. fakta-fakta yang ada penulis berusaha
Heuristik merupakan tahapan pertama menampilkan data sesuai dengan keadaan yang
dalam metode sejarah setelah menentukan topik ada dan mengurangi subjektifitas yang biasa
penelitian. Heuristik adalah pengumpulan terjadi dalam sebuah penafsiran.
sumber-sumber sejarah. Sumber sejarah adalah Historiografi, langkah ini merupakan
bahan penulisan sejarah yang mengandung tahap akhir dari metode sejarah, setelah
evidensi (bukti) baik lisan maupun tertulis dilakukan beberapa tahap mulai dari heuristik,
(Pranoto, 2010:31). Dalam heuristik ini penulis kritik sumber dan interpretasi. Fakta-fakta
dapat mengumpulkan berbagai sumber primer sejarah yang penulis dapatkan di lapangan
diantaranya Data dokumen yang diperoleh kemudian penulis rangkai menjadi suatu cerita
dalam penelitian ini, yaitu berasal dari surat sejarah yang disusun secara kronologis atau
kabar sejaman, seperti Suara Merdeka, Kompas, beruntun yang dihubung-hubungkan antara
Solo Pos, Tempo, Kedaulatan rakyat,dll, serta peristiwa yang satu dengan peristiwa yang
dokumen yang terkait dan relevan dengan tema lainnya dan ditulis secara ilmiah.
yang dapat diperoleh dari kantor arsip Museum
Mandala Bhakti Semarang, Kantor Arsip HASIL DAN PEMBAHASAN
Nasional Indonesia, Kantor Arsip dan
Perpustakaan Kota Surakarta, Monumen Pers Kota Surakarta, juga disebut Solo atau
Nasional, dll. Sumber primer lain yang berhasil Sala, apabila dilihat secara geografis letak
ditemukan penulis dari Arsip Nasional Republik wilayah Kota Surakarta terletak di dataran
Indonesia adalah Laporan Sekretaris Wakil rendah pada ketinggian ± 95 meter diatas
Presiden RI 1967-1999 No. 441 dan Sekretaris permukaan laut, yang memiliki luas 44 km2.
Wakil Presiden RI 1967-1999 No. 476. Surakarta berada sekitar 65 km timur laut
Kritik sumber, Kritik Sumber adalah Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang.
upaya untuk mendapatkan otentisitas dan Wilayah ini dulunya merupakan wilayah
kredibilitas sumber (Pranoto, 2010:35). Kritik bentukan pemerintahan Gubernur Jenderal
sumber dilakukan untuk menentukan sumber- Belanda yang berpusat di Batavia dan masih
sumber yang penulis dapatkan untuk dijadikan berbentuk Karesidenan. Secara administratif
data penelitian. Kritik sumber ini memudahkan wilayah Kota Surakarta berbatasan dengan
peneliti untuk memfokuskan apa yang akan sejumlah wilayah kabupaten di Jawa Tengah. Di
ditulis dalam laporan penelitian ini, dengan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
adanya kritik sumber ini penulis dapat menilai Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. Sebelah
sumber-sumber yang diperoleh dapat Timur berbataan dengan Kabupaten Sukoharjo
memberikan informasi yang bisa dipercaya atau dan Kabupaten Karanganyar. Sebelah selatan
tidak, apakah dokumen yang didapatkan dapat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan
dipertanggungjawabkan isinya atau sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
keautentikannya atau tidak. Sukoharjo, dan Kabupaten Karanganyar
Interpretasi, langkah ini merupakan tahap (Wasino, 2006:13).
menghubungkan antara fakta-fakta yang sama Surakarta merupkan salah satu pusat
dan dilakukan penafsiran. Interpretasi budaya Jawa karena di kota ini terdapat dua

68
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

istana peninggalan Kerajaan Mataram Islam, setelah bergabungnya sejumlah pemuda yang
yakni Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. telah bergerombol di kawasan Kleco (Riyadi,
Kedua istana itu dimasa lalu selain sebagai pusat 2015, 91). “Ketika di rumah ada yang memanggil
pemerintahan bumiputra juga sebagai pusat dari luar pagar ʺJowo opo Cino?( Jawa apa
pengembangan budaya Jawa yang menjadi Cina?) yen jowo ayo melu ngobongi omahe Cino!
panutan penduduknya. Surakarta merupakan (kalau Jawa mari ikut membakar rumahnya
daerah pemukiman yang cukup tua. Cina)ʺ (Wawancara dengan Bapak Tri Bandoro,
tanggal 10 Mei 2017). Ajakan-ajakan seperti itu
Faktor-Faktor Pemicu Kerusuhan Anti yang membuat massa cepat terkumpul memadati
Tionghoa Tahun 1972-1998 di hampir seluruh jalan-jalan utama di kota
Peristiwa rasial anti Tionghoa di Kota Surakarta. Mereka mengajak warga ikut dalam
Surakarta ini memiliki faktor pemicu kerusuhan kerusuhan ketika bergerak menuju pusat kota
berskala kecil yang menjadi karakteristik unik Surakarta.
yang mampu menyebabkan kekacauan sangat 2. Konflik Individual
besar dan sangat serius yang menelan banyak Konflik antar individu dalam kerusuhan
korban serta menyebabkan kerusakan-kerusakan tahun 1972 dan 1980 di Surakarta menjadi awal
dan masalah-masalah lain hingga menjalar ke kerusuhan yang sangat besar. Seharusnya konflik
luar kota Surakarta. Terdapat tiga faktor yang antar individu ini tidak seharusnya dapat
paling dominan yang melatarbelakangi peristiwa menyebabkan kerusuhan massa yang
rasial antara etnis Tionghoa dengan pribumi mengerikan. Namum uniknya disini adalah
Jawa di Surakarta tahun 1972-1998, antara lain konflik yang hanya melibatkan beberapa orang
sebagai berikut. bisa memicu konflik yang serius. Konflik tahun
1. Provokasi-provokasi hingga terbentuknya 1972 di Surakarta, merupakan masalah sepele
mobilisasi massa. yang bermula dari ketidaksepahaman antara
Kerusuhan rasial pada tahun 1972, mobilisasi seorang encik Arab dengan penarik becak (Riyadi,
massa terbentuk ketika mendengar berita 2015: 90). Masalahnya adalah ketidak
terbunuhnya tukang becak oleh warga keturunan sepahaman masalah pembayaran jasa. Akhirnya
Arab menyebabkan pada pagi harinya tukang- terjadilah perang mulut dan saling memukul yang
tukang becak se-Surakarta dengan cepat berakhir terbunuhnya tukang becak itu (Rustopo,
menggerombol mendatangi lokasi kejadian 2007:100). Pada peristiwa kerusuhan tahun 1980
karena adanya provokasi untuk memprotes juga berawal dari konflik antar individu.
pelaku pembunuhan. Dari menit ke menit aksi Perkelahian antara Supriyadi alias Pipit dengan
tersebut terus berkembang (Rustopo, seorang pemuda WNI keturunan bernama Kicak
2007:100).Mobilisasi massa juga menjadi alias Maryono di depan toko Orlane pada hari
penyebab membesarnya peristiwa huru-hara Rabu jam 12.00 (Suara Merdeka, tanggal 21
tahun 1980 di Surakarta. Dalam peristiwa ini November 1980). Awalnya tejadi senggolan
mobilisasi massa mulai terbentuk karena adanya sepeda yang dikendarai ketiga siswa yang baru
provokasi oleh Pipiet karena tidak terima atas pulang sekolah itu dengan seorang pemuda
penyerangan yang menimpanya kemudian Pipiet Tionghoa yang sedang menyeberang di jalan
berhasil mengumpulkan teman-teman Urip Sumoharjo. Kicak yang tidak terima
sekolahnya. Sekitar 50 orang siswa bergerak menyerang Pipit menderita luka-luka karena
menuju jalan Urip Sumoharjo untuk terkena pukulan pemuda Tionghoa yang
mengadakan aksi demonstrasi (Wasino, 2006: bernama Kicak (Setiono, 2002: 1025-1026).
65). Mobilisasi massa dalam kerusuhan Mei 1998 3. Aksi Mahasiswa
sudah terjadi ketika terjadi aksi damai di kampus Peristiwa 14 Mei 1998 dimulai dengan aksi
UMS. Ketika aksi mahasiswa gagal diredam demonstrasi mahasiswa yang terjadi di dua
aparat keamanan dan berhasil keluar kampus, tempat, yakni di kampus Universitas
jumlah massa pun semakin bertambah banyak, Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Pabelan

69
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

dan Universitas Sebelas Maret (UNS) di mengadakan aksi demonstrasi. Sambil


Kentingan, Surakarta. Dari kedua aksi itu meneriakkan yel-yel untuk menyerahkan pelaku
memunculkan kekerasan massa yang dimulai (Wasino, 2006:65). Peristiwa ini dengan cepat
dari kampus UMS (Wasino, 2006: 68). Kejadian berkembang menjadi kerusuhan massal di
itu kemudian melebar, dan mahasiswa mulai bagian-bagian Kota Surakarta yang terdapat
bergerak keluar kampus. Aksi damai sekaligus pertokoan milik orang-orang Tionghoa. Massa
aksi menuntut adanya reformasi yang digelar selain merusak dan membakar toko-toko, juga
mahasiswa berubah seketika menjadi bentrok menjarah semua isinya (Rustopo,2007:101). Aksi
yang besar, di tambah lagi dengan keterlibatan anarkis yang berlangsung selama beberapa hari
masyarakat sekitar yang mudah terprovokasi lamanya, dimulai daerah Coyudan kemudian
menjadikan aksi ini sebagai awal terjadinya menjalar ke daerah-daerah lainnya dan
kerusuhan Mei 1998. ditunggangi para “gali” (gang anak liar) yang
menjarah toko-toko tersebut. Dengan cepat
Kronologis Kerusuhan Rasial di Surakarta kerusuhan menjalar ke Boyolali, Salatiga,
Tahun 1972-1998 Ambarawa, Banyubiru, Candi dan Semarang. Di
Kerusuhan mengerikan pada tahun 1972 kota ini para perusuh melempari semua rumah
itu diawali dari peristiwa pembunuhan seorang dan toko milik Tionghoa. (Setiono, 2002: 1027)
tukang becak oleh warga keturunan Arab di Pasar Setelah Surakarta tenang selama 18 tahun,
Kliwon (Rustopo, 2007: 99-100). Kerusuhan itu timbul lagi kerusuhan anti Tionghoa yang lebih
bermula dari ketidak sepahaman antara seorang besar pada Mei 1998. Aksi mahasiswa di UMS
encik Arab dengan seorang penarik becak yang muncul sebagai reaksi solidaritas memprotes
berakhir dengan meninggalnya seorang penarik tindakan kekerasan aparat keamanan pada
becak. Kabar meninggalnya tukang becak dengan peristiwa Trisakti tanggal 12 Mei 1998 (Wasino,
cepat menyebar ke seluruh kota Surakarta, dan 2006: 68). Kerusuhan di kota Surakarta tahun
kemudian menyulut kemarahan massa lapisan 1998 terjadi selama dua hari yaitu pada tanggal
bawah (Riyadi,2015:90). Pagi hari setelah 14 Mei – 15 Mei 1998, pada awalnya kerusuhan
kejadian itu, tukang-tukang becak se-Surakarta dimulai di area kampus Universitas
dengan cepat menggerombol mendatangi lokasi Muhammadiyah Surakarta (UMS) namun pada
kejadian, dan memprotes pelaku pembunuhan. akhirnya kerusuhan tersebut meluas hingga
Pada sore hari sampai malam harinya massa keluar kampus UMS. Sejak pukul 09.30 WIB
melakukan perusakan dan pembakaran toko-toko pada tanggal 14 Mei 1998 ribuan mahasiswa dari
di Pasar Pon dan jalan Coyudan yang ternyata berbagai perguruan tinggi di Surakarta
milik orang-orang Tionghoa. Yang menarik, berkumpul di Pabelan (depan kampus UMS).
yang dirusak itu bukan toko milik orang-orang Mereka berencana mengadakan pawai jalan kaki
Arab saja, tetapi milik pedagang-pedagang menuju balaikota Surakarta. Pada pukul 10.00
Tionghoa (Rustopo,2007:100). WIB mereka mulai bergerak mendekati jalan
Delapan tahun setelah kerusuhan 1972, raya Surakarta-Kartasura, tetapi ditahan oleh
pada tahun 1980 pecah lagi kerusuhan yang lebih aparat (Rustopo, 2007: 102). Pukul 14.50
besar. Kerusuhan ini dilatarbelakangi oleh kendaraan perintis (Rantis) dan Panser Brimob
kejadian tabrakan lalu-lintas di jalan sekitar memasuki lokasi dan berupaya memecah barisan
Warung Pelem pada 19 November 1980, antara mahasiswa. Tembakan air berkali-kali dari Rantis
pipit (Jawa) pelajar Sekolah Guru Olahraga dan Panser tidak meredakan suasana. Hingga
(korban) dan kicak, seorang pemuda Tionghoa. pukul 17.45 aksi mahasiswa bubar dan satu
Kemudian disusul dengan pemukulan pipit oleh persatu meninggalkan lokasi. (Jusuf dkk, 2007:
kicak (Rustopo, 2007:100-101). Tanggal 20 63). Pagi harinya (dini hari), pada tanggal 15 Mei
Nopember 1980, Pipiet mengumpulkan teman- 1998 masih berlangsung kerusuhan dengan pola
teman sekolahnyanya. Sekitar 50 orang siswa yang sama dengan peristiwa sebelumnya. Sejak
bergerak menuju Jalan Urip Sumoharjo untuk tengah malam sudah terjadi pembakaran ulang di

70
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

kawasan pertokoan dan perkantoran Beteng Dampak yang di hasilkan akibat


Plaza, Pusat Grosir Solo dan sekitarnya. Pada kerusahan tahun 1980 lebih besar dari kerusuhan
siang hari massa menjarah area Pasar Legi, sebelumnya. Karena peristiwa ini melibatkan
Sumber, Nusukan, Jongke dan Grogol. Toko- para gali (preman). Pada tanggal 21 Nopember
toko milik warga etnis Tionghoa seperti 1980, hampir semua toko-toko Cina di ruas-ruas
Swalayan Planet, Sampurna dan pertokoan jalan besar menjadi sasaran amuk massa. Toko-
lainnya dibakar oleh massa. Di daerah Jongke toko milik Cina di Jl. Slamet Riyadi, Jl. Dr.
beberapa ruko milik warga etnis Tionghoa Radjiman, Jl. Sidomulyo, Sondakan dan
(ekonomi menengah) habis terbakar (Jusuf dkk, Laweyan menjadi sasaran pada hari itu (Wasino,
2007:70-71). 2006:66). Kemudian juga terjadi pembakaran di
pabrik Cemani yang menyebabkan kerugian
Dampak Kerusuhan Anti Tionghoa Tahun besar yang diderita oleh pabrik tersebut. Akibat
1972-1998 aksi-aksi anarkis tersebut, ribuan buruh menjadi
Dampak Kerusuhan Tahun 1972 penganguran karena tidak semua perusahaan
Dampak dalam peristiwa tahun 1972 yang dirusak dapat segera membangun pabriknya
dibagi menjadi dua, yaitu dampak Material dan kembali. Namun disamping kerugian mareril
dampak ekonomi. terlebih lagi kerugian yang paling besar adalah
1. Dampak Material. Pada peristiwa ini terganggunya hubungan antara penduduk
kerumunan-kerumunan massa bergerak ke pribumi dengan penduduk etnis Tionghoa di
perkampungan Arab di daerah Pasar Kliwon Jawa Tengah yang selama ini terkenal rukun dan
dan ke pusat-pusat perdagangan untuk harmonis. Sudah tentu diperlukan waktu yang
merusak toko-toko milik orang Arab. Pada cukup lama untuk menyembuhkan “luka-luka”
sore hari dampak dari kerusuhan tersebut tersebut (Setiono, 2002:1028). Geger anti Cina
meluas hingga ke daerah Pasar Pon dan Jl. yang terjadi di Surakarta itu kemudian meluas di
Coyudan untuk merusak dan membakar toko- kota-kota lain di Jateng bahkan ke Jawa Timur.
toko yang ternyata milik orang-orang Diantara kota-kota yang terpengaruh kerusuhan
Tionghoa (Rustopo, 2007: 100). Puluhan itu antara lain Semarang, Kudus, Purwodadi,
bangunan toko dan rumah-rumah milik Temangung, Jepara, Rembang dan sebagainya
orang Arab dan Tionghoa mengalami (Wasino, 2006:67). Kota-kota di Jawa Timur
kerugian besar karena hampir semua toko- yang terkena dampak dari aksi-aksi perusakan
toko serta rumah-rumah mereka disepanjang toko-toko milik etnis Tionghoa antara lain
Jl. Coyudan, pasar Kliwon dan pasar Pon Ngawi, Madiun dan Jombang (Setiono,
hancur dan hangus di bakar oleh massa. 2002:1026).
2. Dampak Ekonomi. Perekonomian di wilayah
pasar Kliwon, pasar Pon dan Jl. Coyudan Dampak Kerusuhan tahun 1998
serta wilayah-wilayah disekitarnya lumpuh Dampak dari kerusuhan rasial tahun 1998
total selama beberapa hari karena toko-toko lebih mengerikan dibandingkan dengan
baik di pasar maupun di kios-kios pinggir kerusuhan dua periode yang lalu. Kerusuhan ini
jalan tutup. Tidak ada aktivitas perekonomian lebih merata di seluruh penjuru kota Surakarta
di daerah tersebut. Pedagang tidak berani dan sekitarnya. Solo seolah-olah menjadi kota
membuka tokonya karena takut ada mati yang habis di bombardir musuh. Suasana
kerusuhan susulan. Akibatnya barang-barang mencekam semakin terasa oleh kobaran api dan
kebutuhan sehari-hari jadi langka. Warga kabut asap hitam yang menggelapkan udara.
sekitar kerusuhan kesulitan dalam memenuhi Reruntuhan gedung, ribuan bangkai sepeda
kebutuhan pokok. motor, ratusan bangkai mobil, dan barang-barang
terbakar masih malang melintang di seluruh ruas
Dampak Kerusuhan Tahun 1980 jalan. Demikian juga puluhan bangkai bus yang
dibakar massa belum dipindahkan dari

71
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

tempatnya (Jawa Pos, 16 Mei 1998). Sektor 1. Peran ABRI. Peran ABRI dalam peristiwa
perekonomian merupakan salah satu bidang rasial di Surakarta yang pada saat itu masih
yang paling merasakan dampak yang cukup besar gabungan antara TNI AD, TNI AU, TNI AL
karena pusat-pusat perdagangan yang menjadi dan Kepolisian berperan sangat vital dalam
kekuatan perekonomian di kota Surakarta menghalau kerusuhan rasial di Surakarta,
mengalami kelumpuhan karena hancur di bakar segala kekuatan dikerahkan agar kerusuhan
dan habis di jarah oleh massa selama kerusuhan, cepat diredam serta ikut menjaga situasi agar
oleh sebab itu terjadi kelangkaan barang dan tetap tenang, bahkan secara berkala anggota
harga kebutuhan pokok melambung. Pemilik kepolisian setempat dibantu anggota TNI
toko di wilayah pinggiran kota juga merasakan melakukan pemantauan di berbagai lokasi
ketakutan ketika ingin membuka tokonya untuk kerusuhan guna memastikan keadaan aman
berjualan, tidak hanya penjual dari kalangan dari para perusuh. Penanganan peristiwa
Tionghoa saja, bahkan orang-orang Pribumi pun tahun 1972 tidak melibatkan anggota TNI
juga ketakutan. maupun Kepolisian sebanyak dalam peristiwa
Sektor transportasi juga lumpuh total, tahun 1980 dan 1998, karena peristiwa ini
serta meninggalkan trauma yang melanda warga hanya berlangsung dalam skala lokal di
Surakarta, seperti yang sudah diberitakan dalam wilayah Surakarta. Namun tetap terdapat
(Jawa Pos, 18 Mei 1998). Hampir tidak ada penjagaan-penjagaan dari aparat keamanan di
kendaraan bermesin lewat dijalan-jalan utama, lokasi-lokasi kerusuhan maupun jalan-jalan
kecuali konvoi kendaraan roda dua para utama untuk mencegah timbulnya kekacauan
demonstran dan aparat kemanan (Jawa Pos, 16 susulan yang mungkin bisa terjadi kapan saja.
Mei 1998). Bus-bus dari arah Jawa Timur tidak Kepolisian dan TNI dalam peristiwa
berani masuk ke Jawa Tengah. Sesampai di kerusuhan tahun 1980 saling melengkapi.
ngawi petugas langsung memberitahu situasi, Ketika peristiwa tidak berhasil diredam oleh
sehingga banyak penumpang yang hendak ke aparat kepolisian. Kemudian diambil alih
Solo memilih “balik kucing”. Demikian pula dari langsung oleh Kodam IV/Diponegoro.
arah Semarang dan Yogyakarta, tidak ada satu Dalam penanganan itu aparat diberi hak
pun angkutan umum yang berani masuk. untuk bertindak represif dalam bentuk
Dunia pendidikan juga merasakan melakukan penembakan ditempat terhadap
dampak dari kerusuhan ini. Seperti yang pelaku kerusuhan, dan melakukan
diberitakan (Jawa Pos, 16 Mei 1998) bahwa penangkapan, penahanan, dan penyidikan.
hampir semua sekolah, mulai Sekolah Dasar Mereka yang ditahan dan disidik di
hingga Sekolah Menengah harus memulangkan Detasemen Intelejen Kodam IV/Diponegoro
siswanya lebih awal. Sedangkan beberapa sebanyak 201 orang. Ditinjau dari asal-usul
sekolah mengah ditinggalkan siswa-siswanya profesinya ternyata bervariasi, mulai dari
yang memilih ikut konvoi keliling kota. Di mahasiswa, pelajar, gali, hingga pegawai
Kabupaten Sukoharjo juga merasakan negeri. Akan tetapi yang paling banyak
dampaknya, dikutip dari (Suara Merdeka, 16 Mei adalah mahasiswa dan pelajar sekolah.”
1998) bahwa, ribuan pelajar yang akan berangkat (Wasino, 2006:67-68). Dalam menangani
sekolah tertahan dipinggir jalan. Hanya pelajar kerusuhan rasial tahun 1998 sikap ABRI
yang diantar atau menggunakan kendaraan sangat tegas dalam upaya menangani
pribadi yang bisa sampai sekolah. Namun, para kerusuhan di Surakarta, seperti yang
guru mengambil keputusan untuk memeliburkan dinyatakan dalam (Jawa Pos, 16 Mei 1998)
mereka. katanya, tidak akan segan menindak tegas
pelaku kerusuhan dan kekacauan. Sikap dari
Upaya Penanganan Konflik Rasial Antara ABRI ini diharapkan dapat meredam
Etnis Tionghoa Dengan Pribumi Jawa di kerusuhan agar tidak semakin meluas. Selama
Surakarta Pada Tahun 1972, 1980 dan 1998 kerusuhan berlangsung kota Surakarta dijaga

72
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

ketat oleh aparat keamanan dari TNI AD dan pelaku," tandas Gubernur, seusai
dari berbagai kesatuan lain. Pangdam berkoordinasi dengan pangdam
Diponegoro IV Mayjen TNI Tyasno Sudarto IV/Diponegoro Mayjen TNI Tyasno
didampingi Danrem 074 Warastratama, Sudarto, Walikota Imam Sutopo dan Danrem
Surakarta, Kol Inf Sriyanto, mengharapkan Kol Sriyanto.
masyarakat tidak panik lagi. ABRI menjamin 3. Peran Organisasi. Dahsyatnya peristiwa
keamanan dan kenyamanan warga. Pangdam rasial di Surakarta memunculkan sikap
juga mengingatkan, sanksi tembak di tempat simpati dari berbagai macam organisasi di
tetap diberlakukan agar perusuh berhenti Surakarta, pada tahun 1980 Pangdam
melakukan aksinya (Jawa Pos, 17 Mei 1998). VII/Diponegoro mengucapkan terima kasih
2. Peran Pemerintah. Pemerintah memiliki atas peran beberapa organisasi seperti yang
peran yang sangat penting dalam upaya tertulis dalam (Siswoyo, 1981:14-25) "… kami
menangani kerusuhan rasial di Surakarta. merasa sangat berterima kasih atas
Peran pemerintah baik itu dari pemerintah pernyataan yang sangat membesarkan hati
kota Surakarta sampai pemeritah Provinsi dari pembuka-pembuka kekuatan sospol, para
Jawa Tengah ikut memberikan sikap tegas alim ulama serta kalangan muda yang
dan membantu menenangkan masyarakat tergabung dalam KNPI dan AMPI yang telah
yang tengah takut serta khawatir dengan memberikan dorongan moril yang kuat
kondisi kota Surakarta dan sekitarnya yang kepada kami untuk menangani peristiwa yang
luluh lantak akibat konflik rasial yang menyedihkan dalam masyarakat kita tadi
mengerikan. Anggota Muspida Kotamadya sampai tuntas”. Pada tanggal 16 Mei 1998 di
Surakarta pada tahun 1980, kamis serta Jumat Solo, sekelompok orang yang menamakan
pagi turut turun kelapangan guna diri Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat
menenangkan suasana. Walikota Sukatmo (SMPR) mengeluarkan pernyataan sikap,
SH, lewat seruannya menghimbau warga kota esensinya antara lain, SMPR mengecam
setempat untuk tidak mudah terpancing isyu- tindakan brutal masyarakat tersebut, karena
isyu yang belum tentu kebenarannya. Ia kerusuhan tersebut merupakan kontra
menyebutkan pula akan menindak mereka produktif bagi aksi reformasi dan menolak
yang jelas bersalah serta mendalangi peristiwa dengan tegas, bahwa kerusuhan tersebut sama
itu (Kompas, 22 November 1980). Kerusuhan sekali bukan bagian dari aspirasi mahasiswa
Mei 1998 di Surakarta juga telah dalam menuntut reformasi politik, ekonomi
memunculkan sikap keprihatinan dan hukum.” (Sekretaris Wakil Presiden
pemerintah, baik itu pemerintah Provinsi 1967-1999, No. 476, Arsip Nasional
Jawa Tengah maupun pemerintah Kota Indonesia). SMPR Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Gubernur Jawa Tengah maupun menyatakan mengecam pihak-pihak yang
Walikota Surakarta sama-sama menyerukan telah melakukan kerusuhan dengan
himbauan-himbauan kepada seluruh korban memanfaatkan atau “numpang lewat”
kerusuhan serta mengutuk tindakan tidak melalui aksi keprihatinan mahasiswa (Solo
bertanggung jawab kepada para perusuh. Pos,18 Mei 1998). Oleh karena itu SMPR
Gubernur Soewardi menyatakan kerusuhan akan gelar aksi keprihatinan.
itu telah melumpuhkan sendi-sendi
perekonomian dan menyengsarakan warga Kecaman dan kutukan terhadap aksi
kota Sala. Karena itu, pihaknya mengajak kerusuhan yang diwarnai perusakan dan
segenap warga untuk mengatasi bersama penjarahan juga mengalir ke redaksi SOLOPOS
dampak yang timbul dari kerusuhan. Tidak dari sejumlah organisasi kemasyarakatan di Solo.
satu pun warga yang mendukung kerusuhan Mereka yang melayangkan kecaman terhadap
itu, justru mengutuknya. Mereka perusuh itu diantaranya Forum Hati Nurani
menginginkan aparat menindak tegas para (Fortini) Mahasiswa dan Ko-ass (Dokter Muda)

73
Yahya Aryanto Putro, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq / Journal of Indonesian History 6 (1) (2017)

Fakultas Kedokteran UNS, Komite Independen DAFTAR PUSTAKA


STIE Surakarta, Forum Komunikasi Antar
Daerah (Forkomanda) Pelajar Islam Indonesia Arsip
(PII) Jateng Zona Selatan, Angkatan Muda Sekretaris Wakil Presiden RI 1967-1999 No. 476, Arsip
Muhammadiyah (AMM), Ikatan Mahasiswa Nasional Republik Indonesia.

Muhammadiyah (IMM), Pemuda Pancasila


Buku
(PP), serta Angkatan Muda Muslimin Surakarta
Jusuf, Ester Indahyuni. dkk. Kerusuhan Mei 1998 :
(AMMS) dan beberapa Ormas lainnya. Fakta, Data dan Analisa. Jakarta : SNB dan
APHI.
SIMPULAN Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan
Kota Surakarta sebagai pusat konflik Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di
terkenal dengan masyarakatnya yang lemah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Pranoto, Suhantono W. 2010. Teori & Metodologi
lembut, santun, perhitungan dan
Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Riyadi.
mengedepankan keharmonisan. Peristiwa rasial
2015. Etnis Tionghoa Surakarta Abad XX.
di Surakarta yang selama ini terjadi mengandung Surakarta: UNS Press.
tanda tanya besar. Sikap santun dan lemah Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan
lembut masyarakat Surakarta ternyata Kebudayaan Jawa di Surakarta
mengandung sikap agresif yang luar biasa. 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
konflik rasial di eks-Karesidenan Surakarta ini Setiono, Benny. G. 2002. Tionghoa Dalam Pusaran
sudah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda. Politik. Jakarta: Elkasa.
Sekitar dua setengah abad yang lalu, yang dikenal Siswoyo, Bambang. 1981. Huru-Hara Solo Semarang:
Suatu Reportase. Jakarta. Bhakti
dengan “Bedah Kartasura” pada tahun 1742.
Pertiwi.
Peristiwa rasial anti Tionghoa di Kota
Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina : Lika-Liku
Surakarta ini memiliki faktor pemicu kerusuhan Hubungan Sosial antara Etnis
berskala kecil yang menjadi karakteristik unik Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998.
yang mampu menyebabkan kekacauan sangat Semarang: UNNES Press.
besar dan sangat serius yang menelan banyak Windy Kinasih, Ayu. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di
korban serta menyebabkan kerusakan-kerusakan Kota Solo. Yogyakarta: JIP.
dan masalah-masalah lain hingga menjalar ke
luar kota Surakarta. Faktor pemicu konflik di Koran
Jawa Pos, Tanggal 16 Mei 1998.
Surakarta pada tahun 1972-1998 yaitu
Jawa Pos, Tanggal 17 Mei 1998.
terbentuknya mobilisasi massa, konflik
Kompas, Tanggal 22 November 1980.
individual serta aksi mahasiswa. Konflik rasial di Suara Merdeka, Tanggal 21 November 1980.
Surakarta pada masa Orde Baru terbagi menjadi
tiga periode konflik yaitu pada tahun 1972,1980, Wawancara
dan 1998. Akibat dari peristiwa tersebut Wawancara dengan bapak Tri Bandoro, Tanggal 10
menimbulkan dampak yang sangat besar, Mei 2017.
berbagai sektor mulai dari sector ekonomi,
pendidikan, transportasi serta kerugian material
dialami oleh hampir seluruh masyarakat kota
Surakarta. Untuk menangani konflik tersebut
banyak pihak yang berperan, seperti ABRI,
Pemerintah hingga Organisasi-organisasi.

74

Anda mungkin juga menyukai