Nice

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

ETIKA DISKURSUS HABERMAS1

BINSAR JONATHAN PAKPAHAN2

Etika diskursus Habermas memberi penekanan terhadap tercapainya


pemahaman bersama dan pencarian kebenaran etis melalui dialog dan
bukan monolog. Segala prinsip moral yang kemudian akan mengatur
kehidupan bersama harus dicapai melalui prosedur tindakan komunikatif
yang benar, yaitu dengan prinsip resiprositas, simetris, dan kesaling-
pahaman.

PENDAHULUAN
Dalam makalah singkat ini, saya hendak menyajikan pemikiran etika diskursus Jürgen
Habermas, sebagai salah satu materi dalam diskusi Rabuan Gereja Komunitas Anugerah Reformed
Baptist Salemba. Perdebatan mengenai proses pengambilan keputusan antara yang subjektif dan
objektif, teleologis dan deontologis, partikular dan universal, mendapat cahaya yang baru dalam
pemikiran Habermas.

Sebagai seseorang yang lahir di tengah-tengah pengkritik pertama zaman modern,


Habermas melampaui kritik yang disampaikan pendahulunya itu, dan sampai kepada sebuah usulan
yang tidak hanya membongkar, namun juga medekonstruksi cara kita dalam mencapai kebenaran
etis. Saya akan memulai makalah ini dengan memaparkan secara singkat perdebatan antara kaum
empiris dan rasionalis, lalu konteks Habermas serta pemikirannya, dan kemudian fokus kepada teori
tindakan komunikatifnya. Di bagian akhir, saya akan mencoba merefleksikan apa makna
pemikirannya ini terhadap konteks masyarakat Indonesia yang majemuk sambil menunjukkan
kekuatan dan kelemahan pemikiran Habermas ini.

PERDEBATAN PANJANG KAUM EMPIRIS VS RASIONALIS


Sepanjang sejarah, kaum rasionalis akan selalu berhadapan dengan kaum empiris. Banyak
orang mengatakan bahwa pendulu rasionalis terakhir berhenti pada Immanuel Kant dengan
diskursus pengetahuan murninya. Apa yang Habermas dan orang-orang pada masanya diskusikan
juga adalah kegamangan dan pergeseran dari kedua kutub ekstrem ini dan berusaha mencari jalan
tengah (atau sintesis dalam bahasa Hegel).

Kaum empiris adalah mereka yang percaya bahwa pengetahuan hanya bisa datang dari
pengalaman (a posteriori) dan harus bisa dibuktikan dengan bukti empiris. Tujuan utama dari
mereka yang memiliki paham ini biasanya adalah kebebasan. Kebahagiaan hanya bisa dicapai
dengan kesepakatan dan demokrasi. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Adam Smith yang
membawa kaum ini kepada paham ekonomi bebas/liberal. Kaum filosof Barat yang pertama kali

1
Makalah singkat ini disampaikan dalam Diskusi Rabuan Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist
Salemba, 30 Maret 2016.
2
Ayah dari Reinhold Fransiscus, suami Dorta Pardede, dan pengajar pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta untuk
bidang Filsafat dan Teologi Publik, Pembantu Ketua 3 Bidang Kemahasiswaan, dan penggemar berat AC Milan.

1
tercatat memiliki ide ini berasal dari kaum sofis. Relativisme yang kita kenal di zaman postmodern
sudah mereka ajukan dalam terminologi dissoi logoi (argumen ganda yang diperhadapkan untuk
mencapai kebenaran – Aristoteles kemudian mendukung ide ini). Salah satu argumen yang juga
dibangun oleh kaum empiris adalah bahwa makna ditentukan oleh sang subjek. Ini kemudian
membawa kita ke dalam masa postmodern.

Dalam diskusi Sokrates (tokoh utama dalam tulisan Plato, Hippias Major) dengan Hippias
(seorang sofis), Plato menunjukkan bahwa beauty (bagian dari trias Platonik: truth beauty and
goodness) seharusnya menjadi mutlak pada dirinya sendiri.3 Plato kemudian menjadi filosof yang
banyak dirujuk oleh kaum Rasionalis dengan menunjukkan bahwa seharusnya makna ditentukan
oleh objek itu sendiri. Karena itu, kebenaran yang sesungguhnya harusnya benar karena dia pada
dirinya sendiri benar, dengan atau tanpa pengalaman (a priori). Kelompok ini berpendapat bahwa
manusia sebenarnya mencari kebahagiaan, dan mereka harus diatur oleh orang yang memahami apa
itu kebahagiaan. Konsep pemerintahan mereka yang memahami rasionalis kemudian memilih
paham sosialis, di mana tugas pemerintah yang terutama adalah menjamin dan mengatur
kebahagiaan rakyatnya, meski dengan ketegasan (kadang dengan tangan besi).

Dalam perdebatan panjang antara dua mazhab besar di atas, pendulum zaman berayun dari
sisi satu ke yang lain, dan kadang berusaha mengambil jalan tengah dengan metode dialektika. Pada
akhirnya, mereka yang berusaha menggabungkan keduanya akan tetap mengambil salah satu posisi
berdiri meskipun lebih dekat dengan posisi lainnya.

KONTEKS JÜRGEN HABERMAS


Jürgen Habermas (18 Juni 1929) adalah salah satu filosof paling berpengaruh di dunia yang
menghasilkan karya mulai dari topik sosial, politik, sampai filosofi agama-agama. Habermas lahir di
Düsseldorf, dan kemudian belajar sastra, sejarah, dan filsafat di universitas Göttingen dan
memperoleh gelar doktor di universitas Bonn (1954). Dia kemudian menjadi asisten Adorno di
Institut Frankfurt (1956), dan menulis disertasi habilitasinya di Frankfurt dengan tema
Strukturwandel der Oeffentlickeit (Transformasi Struktur Ruang Publik) (1962). Sebelum
menyelesaikan proyek habilitasinya, dia sudah menjadi profesor di bidang filsafat di Universitas
Heidelberg (1961-1964), dan kembali ke Frankfurt setelahnya.

Ketika dia mengajar di Frankfurt, Habermas menjadi sangat populer di kalangan mahasiswa
Jerman. Dia terlibat dalam beberapa penelitian dan diskusi Positivismusstreit yang
mempermasalahkan metode ilmu sosial. Mereka banyak membicarakan hubungan antara teori dan
praksis ilmu sosial. Kita juga tidak boleh melupakan konteks Jerman yang terpuruk dan masih
terpisah dua pasca Perang Dunia II.

Diskusi mengenai ilmu sosial ini dipelopori oleh Adorno (pendekatan dialektis) dan Popper
(pendekatan positivis). Habermas, yang merupakan tokoh muda penerus Adorno kemudian menjadi
lawan bicara Hans Albert.4 Pemikiran dan pokok diskusi mereka akan saya paparkan kemudian.
Sebelumnya saya harus mengakui bahwa di sana sini saya melewatkan banyak bagian penting dalam

3
Dalam Hippias Major, Sokrates mendesak Hippias dengan teknik dialektikanya, sehingga Hippias yang tadinya
mengatakan bahwa kecantikan itu sedikit banyak tergantung kepada yang melihat atau kegunaannya, akhirnya
mengambil kesimpulan, bahwa “beauty is something of such sort that it will never appear ugly anywhere to
anybody” (Plato, Hippias Major, 291d).
4
Lihat terbitan atas beberapa pokok diskusi dalam Theodor W. Adorno, The Positivist Dispute in German
Sociology trans. by Glyn Adey dan David Frisby (New York: Ashgate Pub Co, 1981).

2
perkembangan pemikiran filsafat yang menjadi konteks Habermas, yang ada dalam mahakaryanya
The Theory of Communicative Action (1984 & 1987), namun waktu dan keterbatasan tempat juga
membatasi kita. Tulisan ini tidak komprehensif, namun hanya berfungsi sebagai pengantar yang
semoga bisa membawa kita ke dalam pembacaan lebih lanjut.

MEMAHAMI MAZHAB FRANKFURT


Mazhab Frankfurt adalah terminologi yang digunakan untuk mereka yang berasosiasi
dengan Institute for Social Research di Goethe University, Frankfurt, yang dimulai pada 1923 oleh
Carl Grünberg (pemikir Marxis dari Universitas Vienna), dan dibiayai oleh Felix Weil. Institut ini
dimulai dari sebuah simposium seminggu penuh di tahun 1922 yang begitu berhasil, sehingga Weil
menjadikannya permanen dan mencari dana untuk staf peneliti tetap.

Pada dasarnya mereka yang berada dalam institut ini memiliki campuran pemikiran Marx
tentang perubahan sosial, menelaah kembali filsafat kritis Kant, dan mencoba memahami konsep
geist Hegel dan proses dialektikanya sebagai bagian inheren dari sejarah manusia.5 Mereka yang
berada dalam paham ini tidak memiliki kaki yang menginjak kuat pada kapitalis atau
komunis/sosialis, namun memberi banyak kritik terhadap modernitas dan tantangan pertarungan
metanaratif yang berusaha mempengaruhi dunia.

Direktur paling berpengaruh dari sekolah ini, yaitu Max Horkheimer, yang kemudian
bersama Theodor W. Adorno (penerusnya) menulis Dialektika Pencerahan (1972), merekrut pemikir-
pemikir paling brilian seperti Adorno, Herbert Marcuse, Friedrich Pollock, Erich Fromm, Franz
Leopold Neumann, Siegfried Kracauer, Walter Benjamin, Jürgen Habermas, Alfred Schmidt, Albrecht
Wellmer. Institut ini kemudian bergabung dengan Jenewa (1933) dan berasosiasi dengan Columbia
University, New York (1935). Pada saat ini, karya mereka mulai masuk ke dalam diskusi pemikir di
dunia berbahasa Inggris. Pada tahun 1953, mereka kembali berafiliasi dengan Universitas di
Frankfurt.

Habermas menjadi pemikir istimewa karena dia menjadi generasi pemikir kedua dalam
tradisi mazhab Frankfurt. Dalam pemikiran pendahulunya, emansipasi zaman dalam Pencerahan
ternyata membawa juga irasionalitas yang baru. Dalam modernitas, rasional dan irasional hadir
bersamaan. Dominasi yang ada akan berusaha dikalahkan oleh dominasi yang lain, sehingga
dominasi yang baru ini menjadi penindas yang baru. Misalnya, ketika sains dan teknologi datang
dalam kehidupan manusia untuk menghapus irasionalitas mistisisme, mereka berusaha menghabisi
mereka yang tidak sejalan dengan prinsipnya, dan akhirnya menjadi cerita irasional lain yang tidak
memiliki lawan (dalam bahasa sekarang disebut metanarasi). Telaah sedemikian membuat
Horkheimer dan Adorno memiliki pandangan yang pesimis terhadap modernitas. Menurut mereka,
pembebasan dan emansipasi sebagai hasil kemajuan teknologi dan abad pencerahan justru
membawa penindasan baru. Dalam pesimisme ini, Habermas mengajukan pemikiran baru.

LANDASAN FILSAFAT HABERMAS


Habermas melihat kembali sisi positif dari pencerahan dan rasionalitas. Untuk mencegah
cerita-cerita tertentu kembali ke pentas utama dan menguasai yang lain, Habermas mengusulkan ide

5
Para pemikir dalam Institut Frankfurt melihat bahwa prediksi Marx akan lahirnya revolusi untuk meniadakan
kelas sepertinya terjadi dengan tangan besi Nazi. Mereka mencoba menggunakan pemikiran Marx untuk
memahami arah perkembangan Jerman kontemporer, sambil berusaha menelaah Hegel yang menjadi inspirasi
Marx, dan Kant yang menjadi inspirator bagi Hegel.

3
saling-mengerti dan emansipatoris. Pemikiran Habermas yang sudah berkembang dimulai dengan
Theory of Communicative Action (TCA 1 & TCA 2). Pemikirannya akan kita bahas lebih lengkap di
bagian selanjutnya.

Menurut Habermas, ada tiga kategori ilmu pengetahuan berdasarkan kepentingan dan
tujuannya. Pertama, kelompok ilmu empiris-analitis, yaitu ilmu-ilmu alam yang bertujuan untuk
mencari hukum alam (nomotetis). Kategori ini memiliki kepentingan yang bersifat teknis. Kedua,
kelompok ilmu historis-hermeneutis, yaitu sejarah, sastra, dan lain-lain yang bertujuan untuk
mencari pengungkapan makna (idiografis). Kepentingan kategori ini adalah untuk memperluas
wawasan dan berkomunikasi untuk mencari tindakan bersama. Kelompok ketiga adalah ilmu-ilmu
tindakan/kritis yaitu sosiologi, politik, filsafat, teori feminisme, yang bertujuan untuk menghasilkan
refleksi kritis. Kepentingan kategori ini adalah untuk membebaskan dan emansipatoris.

Dalam pemahamannya mengenai teori pembagian kelas Marx, Habermas berpendapat


bahwa teori ini tidak lagi valid dan diperlukan. Menurutnya, masyarakat kita sekarang berada pada
masa kapitalisme lanjut (late capitalism). Dalam kapitalisme jenis ini, kelas masyarakat sudah
melebur dan berintegrasi sehingga tidak begitu jelas lagi siapa yang menindas siapa. Dalam tahapan
ini, semua kelompok masyarakat sudah menjadi penindas dan juga kaum tertindas. Dengan rasio
komunikatif, tindakan emansipatoris bisa menyadarkan posisi dan hubungan sosial yang dimiliki oleh
masyarakat.

ETIKA DISKURSUS HABERMAS


Habermas berpendapat bahwa individu membentuk suatu komunitas sosial dengan cara
bertindak dan juga berkomunikasi dalam dunia, mencoba mengasosiasikan keinginan dan pemikiran
mereka dengan bahasanya, dan pada akhirnya sampai kepada sebuah kesepakatan. Bahasa menjadi
faktor yang sangat penting dalam pencapaian pemahaman bersama. Dengan pemahaman ini,
Habermas berpendapat bahwa pendapat Kant yang memiliki paham deontologis murni harus
direvisi. Sebuah keputusan moral harusnya bisa dipertanggungjawabkan di depan publik, dan bahwa
tidak ada individu yang boleh menentukan apa yang menjadi aturan/norma sebuah kelompok.
Semua pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan masyarakat yang baik harus terlibat dalam
percakapan/diskursus, bukan diputuskan hanya oleh para pemimpin.

Tantangan terbesar untuk teori ini tentunya adalah apakah ada norma yang bisa berlaku
umum dan juga lokal? Apakah ada penilaian etis yang juga memiliki nilai kebaikan bersama?
Bagaimana kita bisa mencapai keputusan etis yang bisa diterima oleh semua, namun juga tidak
menjadi relatif?

EMPAT TINDAKAN INDIVIDU


Habermas memperlihatkan empat jenis tindakan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat:

a. Tindakan teleologis. Dalam jenis ini, subjek mengambil keputusan berdasarkan


kemungkinan-kemungkinan hasil dari tindakan yang diambil, dengan tujuan yang dipandu
oleh nilai dan interpretasi dari situasi tersebut (Habermas 1984, 85).
b. Tindakan normatif yang diatur. Dalam jenis ini, subjek dalam kelompok sosial mengambil
keputusan berdasarkan harapan yang ditetapkan oleh kelompok itu kepada para anggotanya
(Habermas 1984, 85). Perbedaannya dengan tindakan pertama adalah bahwa pada jenis

4
tindakan normatif, kelompok sosial lebih memiliki peranan dalam pilihan yang diambil oleh
subjek.
c. Tindakan dramaturgis. Tindakan ini terjadi ketika subjek tidak menjadi anggota dari sebuah
kelompok sosial, namun berinteraksi dengan orang yang memiliki peran penting dan
menjadi semacam panutan dalam publik (Habermas 1984, 86). Subjek ini memiliki kelebihan
bahwa dia bisa memperlihatkan sisi dirinya yang diaturnya bagi publik. Tindakan yang
dilahirkan di sini bukanlah tindakan spontan melainkan sesuatu yang diatur untuk tujuan
tertentu.
d. Tindakan komunikatif. Dalam tindakan ini, ada dua atau lebih subjek yang memiliki
hubungan untuk mencari pemahaman mengenai situasi yang membutuhkan tindakan
mereka, dan mereka merencanakan aksi terkoordinasi dengan semacam persetujuan.

Perbedaan dari keempat jenis tindakan ini terletak dari mekanisme pengambilan keputusannya. Jika
tindakan pertama diambil berdasarkan tujuan subjek itu sendiri, tiga tindakan lainnya memiliki relasi
peranan antara sang subjek dengan yang lain. Habermas menegaskan,
The concept of communicative action is presented in such a way that the acts of reaching
understanding, which link the teleologically structured plans of action of different participants
and thereby first combine individual acts into an interaction complex, cannot themselves be
reduced to teleological actions. (Habermas 1984, 288)

Habermas kemudian mengajukan tipe tindakan keempat yang bisa digunakan dalam proses
pengambilan keputusan yang berdasarkan persetujuan. Cara komunikatif dalam pengambilan
keputusan memiliki landasan rasional yang adalah pengakuan bersama akan sebuah nilai dalam
komunitas. Dengan cara ini, sebuah keputusan bukanlah untuk kepentingan saya, namun juga tidak
mengorbankan kepentingan saya.

KONDISI YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENCAPAI PERSETUJUAN DALAM


KOMUNIKASI
Untuk mencapai persetujuan, ada empat kondisi yang diperlukan untuk mencapainya:

1. Kejelasan (kemampuan untuk dipahami). Bahasa yang digunakan harus dimengerti atau
dipahami oleh yang lain.
2. Kebenaran. Dalam pembahasan lebih lanjut mengenai sebuah topik, semua pihak yang
terlibat harus mencapai kesepakatan mengenai pembahasan tentang mengenai konsep, ide,
dan objek yang betul-betul ada.
3. Kepercayaan/ketulusan. Dialog dan komunikasi harus didekati dengan semangat kejujuran,
keterbukaan, dan transparansi.
4. Legitimasi/mengikuti norma. Semua tindakan yang diambil harus berhubungan dengan nilai-
nilai yang universal diakui bersama.

Dalam tindakan komunikatif, bahasa menjadi hal yang krusial, seperti yang kita lihat di atas.
Habermas berpendapat bahwa model tindakan komunikatif tidak sama dengan komunikasi dalam
pengertian percakapan. Tindakan komunikatif adalah semacam interaksi yang terkoordinasi melalui
perkataan, tindakan, dan tidak berlawanan. Dalam hal ini, kita bisa memahami Habermas ingin
mengutamakan keseimbangan dan kesetaraan dalam komunikasi. Dalam proses komunikasi, semua
mikronarasi memperoleh emansipasi mereka. Hal ini kemudian menjadi titik lemah Habermas yang
dikritik oleh para ahli lain yang kemudian membahas semiologi.

Sebuah tindakan ideal hanya bisa dicapai ketika semua kondisi di atas sudah dipenuhi.
Namun, Habermas juga mengakui bahwa hal seperti itu juga berbau utopis karena jarang, jika tidak

5
mungkin, terjadi di dunia nyata. Meskipun demikian, dia menyatakan bahwa kita semua harusnya
mencoba berdiskursus dengan cara demikian.

Selain keempat kondisi di atas, ada juga tiga prinsip untuk etika diskursus Habermas,

1. Prinsip universal: yaitu argumen yang diajukan harus memiliki asumsi bahwa semua yang
terlibat dalam diskusi adalah pihak yang rasional, yang memiliki penilaian level yang sama,
dan bersedia menerima konsekuensi yang muncul.
2. Prinsip norma yang valid: hanya norma yang bisa diterima secara moral oleh semua yang
mengambil dan dipengaruhi oleh keputusan ini yang bisa diterima sebagai keputusan yang
sah.
3. Prinsip konsekuensi: diskursus etis hanya bisa dicapai jika semua peserta secara sukarela
siap menerima kemungkinan yang terburuk sekalipun.

Komunikasi sesungguhnya baru bisa menjadi etis ketika komunikasi memiliki ciri dialogis,
simetris dua arah, dan diorientasikan oleh semua pihak. Melalui proses ini, kebenaran etis bisa
diidentifikasi bersama melalui dialog, dan berbagai dilema bisa diselesaikan melalui diskursus semua
pihak yang terlibat.

ETIKA DISKURSUS YANG SIMETRIS


Inti pemikiran Habermas adalah teori tindakan komunikatif yang dipaparkan di atas.
Kerangka etika Habermas dilandaskan atas kesetaraan anggota kelompok sosial untuk berdiskusi dan
mencapai pemahaman bersama mengenai dilema yang mereka sedang bahas. Habermas ingin
menunjukkan bahwa manusia bukanlah subjek yang terisolasi, yang ingin mencapai pemenuhan
kepentingannya sendiri. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi adalah rasional dan sosial.
Manusia hadir sebagai makhluk intersubjektif, bahwa kita pada dasarnya adalah makhluk sosial yang
berbagi dunia ini, dan ini membuat kita harus berkomunikasi dengan yang lain untuk mencapai
keinginan dan memenuhi kebutuhan kita sendiri.

Tindakan komunikatif bisa dicapai melalui persetujuan para agen individual yang kemudian
saling mengakui bahwa tujuan bersama mereka adalah logis. Ketika tujuan bersama bisa dicapai,
tindakan yang diambil untuk mencapainya akan otomatis terkoordinasi.

Hal tersebut bisa dicapai jika kita melihat bahwa kesetaraan antarindividu dan percakapan
yang simetris dianggap sebagai sebuah hal yang rasional dan perlu. Dengan kata lain, menghormati
pendapat orang dan perbedaan-perbedaan yang ada bukanlah sesuatu yang dilakukan sebagai
sebuah tugas/perintah, melainkan sebagai suatu hal rasional yang memang harus kita lakukan jika
kita ingin mencapai tujuan bersama.

Habermas juga percaya bahwa model diskursus seperti ini juga harus diterapkan dalam
kebijakan dan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. Seharusnya, setiap aturan yang
akan mengatur kehidupan bersama disiapkan dan dibuka untuk didebat secara publik. Perdebatan
dan diskusi adalah cara paling logis untuk membuat semua pihak/subjek dalam kelompok sosial itu
mengusahakan tujuan bersama tersebut.

Banyak aspek praktis yang menjadi konsekuensi pemikiran Habermas ini. Jika kita terapkan
pada etos organisasi dan perusahaan, hubungan publik (public relation) menjadi titik penting bagi
sebuah organisasi untuk bisa menangkap keinginan bersama. Sebuah gereja juga harus menjadi
tempat diskusi yang berjalan simetris, karena itu adalah cara yang paling logis untuk mencapai
tujuan bersama.

6
MUNGKINKAH MENCAPAI DISKURSUS SIMETRIS?
Jika kita kembali mengaplikasikan pemikiran Habermas ke dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk, apa yang menjadi kontribusi positif pemikirannya bagi kita?

Pertama, Habermas mengajak pembacanya untuk melihat dialog atau tindakan komunikatif
sebagai sebuah konsekuensi logis yang diperlukan untuk mencapai pemahaman bersama. Dialog
adalah suatu kebutuhan dan bukan kewajiban. Dengan kesadaran ini, kita bisa membayangkan
berbagai keputusan perundang-undangan, norma dalam masyarakat, bahkan aturan organisasi
dalam gereja menjadi tugas paguyuban. Dalam hal ini, saya melihat Habermas menjadi pendorong
kita untuk kembali kepada semangat guyub, yang pada dasarnya bukanlah hal yang asing bagi
masyarakat Indonesia. Gerakan intoleran yang muncul di mana-mana menunjukkan bahwa
paguyuban yang kita miliki tidak solid, dan ini saya asumsikan karena tidak berdiri pada diskursus
simetris.

Hal kedua, yang merupakan kelanjutan poin pertama di atas adalah Habermas sepertinya
memberi asumsi bahwa diskursus simetris bisa terjadi. Kemungkinan pelaksanaan diskursus simetris
di Indonesia bisa menjadi bersifat utopis ketika proses demokrasi belum mencapai puncak
kematangan. Meskipun demikian, kita harus berusaha mencapai posisi yang setara dalam mencapai
diskursus etis bersama.

Ketiga, istilah kebenaran yang dipakai Habermas selalu merujuk kepada kebenaran etis,
Demgegenüber verfahren metaphysische Wahrheitstheorien, indem sie praktische Fragen in
demselben Sinne wie theoretische für wahrheitsfähig erklären, zu extensiv […]; und
positivistische Wahrheitstheorien verhalten sich, indem sie die Wahrheitsfähigkeit praktischer
Fragen überhaupt leugnen, zu restriktiv. (Habermas 1973, 230)

Dia mau menjelaskan bahwa kebenaran metafisika juga harusnya bisa dijelaskan melalui pertanyaan
praktis. Jika kebenaran tidak memiliki kemampuan untuk diterjemahkan ke dalam hal praktis, dia
menjadi sangat restriktif. Habermas tidak menolak kemungkinan adanya kebenaran yang universal,
namun dia adalah sesuatu yang harus kita capai dengan percakapan.

Pada akhirnya, masih banyak yang bisa kita tanya kepada Habermas mengenai idenya ini,
namun saya mendorong saudara-saudara untuk membaca lebih lanjut pemikirannya, dan
memikirkan konsekuensinya terhadap konstelasi kehidupan masyarakat di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai