Anda di halaman 1dari 10

konvensi jenewa (Hukum Laut)

Dalam konvensi Jenewa 1958 terdapat empat buah konvensi telah dihasilkan dari serangkaian
pertemuan di Jenewa yaitu:
a. The Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (mengenai laut
territorial dan jalur tambahan)
b. The Geneva Convention on the High Seas ( tentang Laut bebas)
c. The Geneva Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High
Seas ( tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Laut)
d. The Geneva Convention on the Continental Shelf (mengenai Landas Kontinen)
Konvensi-konvensi Hukum Laut 1958 ini merupakan hasil Konperensi Hukum Laut yang
diselenggarakan oleh PBB yang I, yang diadakan pada 24 Pebruari hingga 27 April 1958,
dihadiri oleh 86 negara. Sebagai sebuah sumber hukum, maka konvensi ini adalah bagian dari
perjanjian internasional yang mengikat bagi para pihak yang telah menyatakan tunduk
terhadapnya. Namun demikian, konvensi ini juga mengikat para pihak yang tidak turut serta
dalam perjanjian tersebut dengan catatan sebagai berikut:
a. Jika hal-hal yang diatur dalam konvensi tersebut menunjukkan bahwa itu merupakan
ketentuan tertulis dari sebuah hukum kebiasaan internasional yang dipraktekkan oleh banyak
negara
b. Jika konvensi itu merupakan dampak lanjutan yang terjadi akibat diakuinya suatu
perkembangan dalam hukum kebiasaan
Sedangkan di dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1960 dimasukkan prinsip-prinsip dalam
Deklarasi, yang isinya sebagai berikut :Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayh, dan kesatuan
ekonominya, ditarik garis-garis pngkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari
kepulauan terluar. Termasuk dasar laut dan tanah bawahnya maupun ruang udara di atasnya
dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jalur laut wilayah laut territorial
selebar 12 mil diukur dari garis-garis lurusnya. Hak lintas damai kapal asing melalui perairan
nusantara (archipelagic waters).
a. The Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone
Laut Wilayah (the Territorial Sea)
Pasal 1 dari Territorial Sea Convention 1958 dan Pasal 2 dari UNCLOS mendefinisikan laut
wilayah sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan daratan suatu negara dimana negara
memiliki kedaulatan atasnya. Dalam hukum kebiasaan internasional lebar laut wilayah hanyalah
3 mil laut namun sejak UNCLOS pengakuan negara-negara telah berubah menjadi 12 mil laut
dari garis batas pantai sebagaimana diatur menurut UNCLOS.
Dalam mengukur garis batas pantai maka Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1958 menegaskan
bahwa “ garis batas normal (normal base line) ditetapkan dari garis batas ketika pasang surut
seseuai dengan bentuk pantai yang diakui oleh negara pantai tersebut. Hal tersebut juga sesuai
dengan apa yang diatur oleh Pasal 5 UNCLOS.
Namun demikian ada beberapa tambahan yang diakui dalam UNCLOS yaitu:
1. Straight Baselines (Garis Batas Lurus)
Jika ada negara pantai yang memiliki garis batas pantai yang tidak beraturan sehingga
memunculkan lekukan-lekukan dalam dari negara pantai tersebut, dimungkinkan bagi negara
pantai untuk menarik garis batas sesuai dengan titik-titik terluar dari bentuk yang berlekuk-lekuk
tersebut dengan cara menarik garis lurus diantaranya (lihat Pasal 4 Konvensi Jenewa 1958 dan
Pasal 7 dari UNCLOS).
2. Bays/Teluk
Pasal 7 dan Pasal 10 UNCLOS menyatakan bahwa suatu bagian laut yang menjorok ke dalam
yang lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil dalam suatu negara, dapat memungkinkan negara
tersebut untuk menarik garis lurus sehingga semua perairan dalam teluk tersebut menjadi laut
wilayah dari negara pantai tersebut.
Jika ternyata bagian dari teluk tersebut merupakan wilayah dari dua atau lebih negara yang
berbeda maka harus ada pengaturan khusus dalam sebuah perjanjian diantara negara-negara yang
memiliki perbatasan pantai dengannya. Dalam kasus Case Concerning Land, Island and
Maritime Frontier Dispute (1992) Mahkamah Internasional memutuskan perlunya kewenangan
bersama atas wilayah teluk tersebut kecuali wilayah 3 mil laut sesuai dengan garis pantai negara
masing-masing.
3. Garis batas teluk tradisional (Historic Bays)
Suatu wilayah teluk yang telah diklaim menjadi milik suatu negara dan selama ini tidak pernah
ada tuntutan balik dari negara-negara lainnya dapat dianggap sebagai perairan pedalaman dari
negara yang melakukan klaim atas dasar garis batas teluk yang secara tradisional menjadi
wilayah kedaulatan mereka.
Pada laut wilayah negara memiliki kewenangan untuk menegakkan yurisdiksinya. Dalam hal ini
negara pantai berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut termasuk
dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non hayati dalam air tersebut.
Meski demikian, Pasal 14 dari Konvensi Jenewa memberikan pembatasan terhadap hak negara
pantai tersebut untuk tetap menyediakan jalur khusus bagi pelintasan kapal-kapal asing yang
akan melewati laut wilayah tersebut. Jalus tersebut sering disebut sebagai Innocent Passage atau
Jalur Lintas Damai.
Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh kapal-kapal dagang/pariwisata
asing untuk secara bebas melintasi jalur tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki
perairan pedalaman, melakukan komunikasi dengan orang/lembaga dari negara pantai dengan
syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan negara pantai.
Ketika suatu kapal sedang melintasi jalur lintas damai maka negara pantai hanya memiliki
yurisdiksi terbatas baik secara perdata maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang
melintas di jalur tersebut. Pasal 19 dan Pasal 20 memberikan pengaturan akan hal itu. Sehingga
yurisdiksi yang berlaku di atas kapal adalah yurisdiksi dari negara bendera kapal dan bukan
negara pantai kecuali:
1. Dampak atau akibat dari tindak pidana tersebut sampai pada negara pantai yang bersangkutan
2. Jika kejahatan tersebut dilakukan untuk mengacaukan perdamaian dan keamanan dari negara
pantai
3. Jika ada permintaan dari kapten kapal atau konsul dan perwakilan diplomatik bendera kapal
terhadap negara pantai
4. Jika ada dugaan kuat bahwa kapal tersebut dan awak kapalnya melakukan penyelundupan
obat-obatan terlarang
Laut Territorial adalah wilayah laut yang berada pada sisi luar garis pangkal yang berada di
bawah kedaulatan Negara pantai. Dalam UU No 4 Prp Tahun 1960 Laut wilayah (laut territorial-
territorial sea) adalah lajur laut yang terletak pada sisi luar dari pada garis pangkal atau garis
dasar. Garis pangkal atau garis dasar adalah garis dari mana laut wilayah mulai diukur keluar.
Laut wilayah pada sebelah luar ini dibatasi oleh suatu garis luar (outer-limit) yang ditarik sejajar
dengan garis pangkal. Jarak antara garis pangkal (dasar) dan garis luar adalah 12 mil laut.
Dengan demikian maka yang dinamakan laut wilayah itu adalah lajur laut (mariteime belt) yang
lebarnya 12 mil laut dan dibatasi pada sebelah dalam *10564 oleh suatu garis dasar (garis
pajgkal=baseline) dan disebelah luarnya oleh garis luar (outer-limit) yang ditarik sejajar dengan
garis pangkal itu. Negara Indonesia berdaulat atas laut wilayah ini, baik mengenai lajur laut itu
sendiri yang terdiri dari air, dasar laut (seabed) dan tanah dibawahnya (subsoil), maupun udara
yang ada diatasnya. Satu-satunya pembatasan atas kedaulatan Indonesia sebagai negara pantai
adalah adanya hak lalu-lintas laut damai dalam laut wilayah bagi kapal-kapal asing. Lalu-lintas
laut damai dalam laut wilayah ini adalah suatu hak yang dijamin oleh hukum internasional.
Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan
tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam
pelaksanaannya kedaulatan atas laut territorial ini tunduk pada ketentuan hokum internasional.
Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.
Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di Laut Teritorial tidak boleh
melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian,
mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang
tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus
dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang
jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan
memaksa (force majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan
pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.
Hak Lintas Damai (Innocent passage)
Konsepsi hak lintas damai (innocent passage) bermula lahir dalam praktek negara-negara di
Eropa sesudah abad pertengahan, dan dalam perkembangannya mendapat perumusan dalam
KHL 1958. Hak lintas damai, yaitu hak semua negara untuk melintasi atau melayarkan kapalnya
melalui perairan laut teritorial suatu Negara pantau sesuai dengan ketentuan Hukum Laut
Internasional dan peraturan perundang-undangan Negara Pantai.
a. Kapal asing yang diberikan hak melintas harus berlayar secara terus menerus tanpa berhenti
kecuali dalam keadaan darurat,
b. Dilarang melakukan kegiatan bongkar muat
c. Dilarang melakukan penangkapan ikan
d. Dilarang melakukan kegiatan penelitian ilmiah
e. Dilarang melakukan kegiatan penelitian ilmiah
f. Dilarang melakukan kegiatan latihan militer
g. Dilarang melakukan kegiatan keamanan, keselamatan, kedaulatan Negara pantai
h. Kapal asing hanya boleh melintas pada alur laut yang telah ditentukan Negara pantai

Negara pantai tidak boleh menghalangi kegiatan hak lintas damai Negara-negara kapal asing
kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. Terkait dengan implementasi hak lintas damai bagi
kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan
keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas
navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan
terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan,
pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan
pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.
Pengaturan hak lintas damai secara internasional ada dalam Konvensi Hukum Laut 1958,
sedangkan secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam UU No 4 Prp
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia Pasal 3.
(1) Lalu-lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan air asing.
(2) Dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur lalu-lintas laut damai yang dimaksud pada ayat
(1).
Zona Tambahan (the Contiguous Zone)
Pasal 33 dari UNCLOS menyatakan bahwa daerah yang berbatasan langsung antara laut wilayah
dan laut lepas dapat diklaim menjadi zona tambahan bagi negara pantai untuk kepentingan-
kepentingan sebagai berikut:
1. Mencegah pelanggaran kepabeanan, bea cukai, fiskal, imigrasi atau ruang bagi karantina
barang-barang tertentu yang akan masuk negara pantai dari laut.
2. Wilayah untuk menghukum para pelaku pelanggaran dalam butir pertama tersebut
Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil diukur dari garis batas pantai waktu air laut surut.
(Lihat Pasal 33[2]) dari UNCLOS. Terhadap zona tambahan berlaku hak-hak berdaulat dan
yurisdiksi tertentu, dimana hak-haknya aldalah berkaitan dengan custom (bea cukai), untuk
bidang imigrasi, perpajakan fiscal serta karantina kesehatan lautan (sanitary).

b. The Geneva Convention on the High Seas ( tentang Laut bebas)


Laut Lepas atau laut bebas (the High Seas)
Laut lepas adalah suatu kawasan laut di dunia yang tidak termasuk perairan pedalaman suatu
negara dan laut territorial suatu negara.
Pengertian perairan pedalaman menurut UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
adalah (1) Dengan perairan Indonesia dimaksud bagian wilayah negara yang terdiri dari air.
Sebagai diketahui wilayah suatu negara atas mana negara itu mempunyai kedaulatan dapat
meliputi : a. wilayah daratan b. wilayah perairan. c. wilayah udara. Sedangkan laut territorial
adalah lajur laut yang terletak pada sisi luar dari pada garis pangkal atau garis dasar. Garis
pangkal atau garis dasar adalah garis dari mana laut wilayah mulai diukur keluar. Laut wilayah
pada sebelah luar ini dibatasi oleh suatu garis luar (outer-limit) yang ditarik sejajar dengan garis
pangkal. Jarak antara garis pangkal (dasar) dan garis luar adalah 12 mil laut.
Dengan demikian maka yang dinamakan laut wilayah itu adalah lajur laut (mariteime belt) yang
lebarnya 12 mil laut dan dibatasi pada sebelah dalam *10564 oleh suatu garis dasar (garis
pajgkal=baseline) dan disebelah luarnya oleh garis luar (outer-limit) yang ditarik sejajar dengan
garis pangkal itu. Negara Indonesia berdaulat atas laut wilayah ini, baik mengenai lajur laut itu
sendiri yang terdiri dari air, dasar laut (seabed) dan tanah dibawahnya (subsoil), maupun udara
yang ada diatasnya. Satu-satunya pembatasan atas kedaulatan Indonesia sebagai negara pantai
adalah adanya hak lalu-lintas laut damai dalam laut wilayah bagi kapal-kapal asing. Lalu-lintas
laut damai dalam laut wilayah ini adalah suatu hak yang dijamin oleh hukum internasional. (3)
Perairan pedalaman Indonesia seperti dimaksud dalam ayat ini adalah segala perairan yang
terletak pada sisi dalam dari garis pangkal dan terdiri dari laut, teluk, selat dan anak laut.
Indonesia berdaulat penuh diperairan pedalaman, berlainan dengan dilaut wilayah kedaulatan ini
pada dasarnya tidak dibatasi oleh hak lalu-lintas laut damai, walaupun Indonesia sendiri dapat
dibatasinya dengan memberi kelonggaran-kelonggaran berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu. [Lihat dibawah pada pasal 3 ayat (1)].
Pasal 3.(1) Jaminan bahwa perairan pedalaman terbuka bagi lalu- lintas laut damai kapal-kapal
asing perlu diadakan mengingat pentingnya lalu-lintas kapal diperairan pedalaman baik bagi kita
sendiri (pelayaran niaga bagi keperluan perdagangan kita) maupun bagi masyarakat dunia.
Perbedaan dengan lalu-lintas laut damai kapal asing dilaut wilayah (lihat pasal 1 ayat (2) diatas)
adalah bahwa lalu-lintas laut damai bagi kapal asing diperairan pedalaman ini merupakan suatu
kelonggaran yang dengan sengaja diberikan oleh Indonesia, sedangkan dilaut wilayah lalu-lintas
laut damai bagi kapal asing itu merupakan suatu hak yang diakui oleh hukum internasional.
Akibat dari perbedaan ini ialah bahwa Indonesia dalam perairan pedalaman dapat mencabut
kembali kelonggaran-kelonggaran yang diberikannya ini, sedangkan lalu-lintas laut damai dilaut
wilayah pada dasarnya tak boleh diganggu oleh negara pantai. (2) ketentuan dalam ayat ini
menggambarkan dengan jelas sifatnya lalu-lintas kapal asing diperairan pedalaman Indonesia
sebagai suatu kelonggaran.
Pasal 2 dari Konvensi Jenewa mengatakan bahwa Laut Lepas harus terbuka bagi semua negara.
Tidak ada satu negarapun yang boleh meng-klaim bahwa laut lepas adalah bagian dari
wilayahnya. Dalam laut Lepas terdapat kebebasan untuk berlayar, memancing, meletakkan
kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa sejenis serta kebebasan untuk terbang di atas udara laut
lepas tersebut. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan dijamin menurut Pasal 87 dari UNCLOS
Pasal 6 dari Konvensi jenewa menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas
harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan demikian memiliki kewenangan eksklusif
untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal untuk wilayah di dalam kapal tersebut. Hal
ini juga dijamin dalam Pasal 92 UNCLOS.
Rezim hukum yang berlaku adalah :
• Freedom of navigation
• Freedom og flight
• Freedom of fishing
• Freedom of laying of underwater cables and pipelines
• Freedom of Marine Research
Sedangkan The Geneva Convention on the High jika dibandingkan dengan PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANGNOMOR 4 TAHUN 1960 TENTANG
PERAIRAN INDONESIA, maka laut lepas di Indonesia ialah yang tidak termasuk Laut wilayah
Indonesia yang ialah lajur laut selebar duabelas mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus
atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-
pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang
lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-
satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat. Perairan
pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar sebagai
yang dimaksud pada ayat. Mil laut ialah, seperenam puluh derajat lintang.
Tidak diterimanya konsepsi Negara Kepulauan dalam Konperensi Hukum Laut PBB I pada
tahun 1958, Indonesia telah mengambil tindakan sepihak sebagai Negara Kedaulatan (Negara
Nusantara) dengan mengumumkan UU No. 4/Prp/1960. Sejak beberapa waktu lamanya telah
dirasakan perlunya meninjau kembali penentuan batas laut wilayah sesuai dengan sifat khusus
negara kita sebagai negara kepulauan dan kebutuhan serta kepentingan rakyat Indonesia, laut
wilayah sebagai bagian dari pada wilayah negara yang terdiri dari wilayah daratan, lautan dan
udara merupakan bagian yang penting bagi Negara Indonesia mengingat bentuk negara yang
terdiri dari beribu-ribu pulau. Penentuan batas laut wilayah (laut territoriaal-territoriaal sea)
seperti termaktub dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie tahun 1939
(Staatsblad 1939 No. 442) yang dalam pasal 1 ayat (1) antara lain menyatakan bahwa laut
wilayah Indonesia itu lebarnya 3 mil-laut diukur dari garis air rendah dari pada pulau-pulau dan
bagi pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan dari Indonesia, dirasakan tidak sesuai
lagi dengan keadaan sekarang dan perlu ditinjau kembali.
Keberatan pokok terhadap cara penentuan batas laut wilayah yang disebutkan diatas adalah
bahwa cara tersebut tadi kurang atau sama sekali tidak memperhatikan sifat khusus dari pada
Indonesia sebagai suatu negara kepulauan (archipelago). Menurut cara pengukuran laut wilayah
yang lama ini yaitu dihitung dari baseline yang berupa garis air rendah, secara teoristis setiap
pulau di Indonesia itu mempunyai laut wilayahnya sendiri-sendiri. (Kepulauan Indonesia terdiri
dari kurang – lebih 13.000 pulau- pulau dari jumlah mana kurang-lebih 3.000 yang didiami
orang). Sekalipun beberapa buah pulau yang jarak antaranya kurang dari 6 mil laut dianggap
sebagai kelompok, namun dengan cara pengukuran yang berpangkal pada “garis air rendah”
masih akan tetap ada beberapa ratus atau beberapa puluh pulau/kelompok pulau (tergantung dari
pada lebar laut wilayahnya) yang mempunyai laut wilayah sendiri-sendiri.
Dapatlah dibayangkan bahwa keadaan demikian itu sangat menyukarkan pelaksanaannya tugas
pengawasan laut dengan sempurna karena susunan daerah yang harus diawasi demikian berbelit-
belit (complicated). Wilayah udara diatas wilayah yang demikian strukturnya dengan sendirinya
tak akan bersifat homogeen pula. Kantong-kantong berupa laut bebas ditengah-tengah dan
diantara bagian darat (pulau) dari wilayah Negara Indonesia ini menempatkan petugas dalam
keadaan yang sulit karena harus memperhatikan setiap waktu, apakah mereka ada didalam
perairan nasional atau dilaut bebas, karena hak bertindak mereka tergantung dari pada posisi
mereka itu.
Dalam suatu peperangan antara dua pihak yang armadanya bergerak kian kemari dilaut bebas
antara pulau-pulau Indonesia keutuhan kita terancam.
Lalu-lintas yang merupakan urat nadi dari, pada penghidupan rakyat : antara satu pulau dan lain
pulau, untuk kepentingan pengangkutan bahan kebutuhan sehari-sehari yang sangat vital itu akan
terputus atau terhenti, hal itu akan mengakibatkan penderitaan rakyat dipulau-pulau tersebut.
Akibat suatu pertempuran laut diantara pulau-pulau Indonesia dengan senjata “nuclear” akan
membahayakan penduduk pulau disekelilingnya “laut bebas” yang menjadi medan pertempuran
itu.
Lepas dari risiko yang mungkin diderita oleh penduduk, menjadi pertanyaan pula bagaimana kita
dapat mempertahankan netralitet kita dalam keadaan serupa itu. Kesulitan pengawasan atas
ditaatinya peraturan-peraturan bea dan cukai, imigrasi dan kesehatan juga dapat dibayangkan
dalam struktur wilayah semacam itu. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas perlu dicari
pemecahan persoalan yang berpokok pada pendirian, bahwa kepulauan Indonesia itu merupakan
suatu kesatuan (unit) dan bahwa lautan diantara pulau-pulau kita merupakan bagian yang tak
dapat dipisahkan dari bagian darat (pulau-pulau) negara kita. Atas dasar pendirian ini maka laut
wilayah harus terletak sepanjang garis yang menghubungkan titik ujung terluar dari pada
kepulauan Indonesia.
Untuk menjamin kelancaran perjalanan kapal dari dan keluar negeri yang sangat penting untuk
kelancaran jalannya perekonomian kita dan untuk menyangkal tuduhan-tuduhan negara-negara
lain bahwa kita menghalang-halangi pelayaran bebas, perlu adanya jaminan bahwa lalu-lintas
yang damai dilautan pedalaman bagi kapal asing dijamin selama tidak membahayakan
kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia” Penentuan laut wilayah selebar 12 mil laut
merupakan lebar maximum menurut apa yang dinyatakan dalam naskah (draft articles) yang
disusun oleh International Law Commission pada sidangnya yang ke-8 tahun 1957. Perubahan
penentuan batas perairan Indonesia seperti apa yang diajukan dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini juga mempunyai suatu akibat yang sangat penting dilapangan
ekonomi. Dengan penentuan batas perairan yang baru ini Indonesia akan mempunyai kedaulatan
atas segala perairan yang terletak didalam batas-batas garis luar laut wilayah serta udara dan
dasar laut dan tanah dibawahnya. Dengan demikian maka segala kekayaan alam yang terdapat
didalamnya, baik yang berupa bentuk hidup khewani maupun nabati, serta kekayaan alam
lainnya berupa bahan mineral, baik yang sudah diketahui diwaktu sekarang maupun yang akan
diketemukan dimasa depan diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia yang jumlahnya
kian tahun kian bertambah.
c. The Geneva Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High
Seas ( tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Laut)
Menurut konvensi Jenewa 1958 suatu Negara bebas untuk melakukan eksplorasi atas kekayaan
perikanan dan sumber daya alam hayati di laut. Namun meskipun demikian, terdapat beberapa
pembatasan terhadap Negara untuk melkukan eksplorasi yaitu bahwa Negara harus menghormati
hak-hak kepentingan Negara pantai yang berbatsan dengan laut bebas, dan harus pula
memperhatikan segala aspek yang berkaitan dengan pelestarian dan perlindungan laut.
d. The Geneva Convention on the Continental Shelf
Konsep landas kontinen perkenalkan oleh Amerika Serikat pada Konvensi Hukum Laut
Internasional pada tahun 1958. Pengajuan itu sebagai strategi dalam menghadapi negara-negara
kepulauan yang mengajukan konsep negara kepulauan, dan dalam usaha rangka memudahkan
kepentingan negaranya untuk mengeksplorasi sumberdaya alam non hayati (minyak dan gas
bumi) yang sangat potensial terdapat pada landas kontinen. Permasalahan yag ada, karena akibat
ketidakjelasan konsep batas landas kontinen pada UNCLOS I 1958.
Landas Kontinen Menurut Konvensi Hukum Laut 1958.
Konvensi Hukum Laut 1958 merupakan hasil Konperensi Hukum Laut yang diselenggarakan
oleh PBB yang I. Konvensi Hukum Laut 1958 ini menghasilkan 4 (empat) buah dan salah
satunya adalah Konvensi mengenai Landas Kontinen (“Convention on the Continental Shelf”).
1. Dataran Kontinen.
Telah disebutkan bahwa “continental shelf” disebut dengan istilah “dataran kontinen”. Terhadap
istilah ini akan dijelaskan pengertiannya dalam pembahasan berikut.
Dataran kontinen sebagai pengertian geologis dari “continental shelf” menunjuk pada bagian
daripada dasar laut (“seabed” dan tanah di bawahnya “subsoil”) yang merupakan suatu daerah di
bawah permukaan laut (“sub marine areas”) yang berbatasan dengan pantai. Pada umumnya
permukaan bumi atau benua pada dasar laut yang berbatasan dengan pantai tidak tiba-tiba
menjadi dalam, melainkan kedalaman itu secara melandai dan berangsur-angsur sampai batas
terjadi jurang yang curam dan inilah yang dinamakan “dataran kontinen”. Setelah melewati
dataran kontinen umumnya dasar laut mulai mendalam dan curam. Sebagaimana telah
disebutkan bahwa batas kedalam dataran kontinen tidak menunjukkan ciri yang sama pada
semua dasar laut di benua ini, oleh karena itu mengenai batas kedalaman pada dataran kontinen
mengemukakan pendapat yang berbeda, misalnya batas kedalaman 130 meter. Sedangkan
Proklamasi Truman mengatakan batas kedalam sampai 100 fathom atau kedalaman 200 meter
merupakan batas rata-rata untuk memudahkan pembatasan pengertian.
2. Landas Kontinen.
kontinen adalah “continental shelf” dalam pengertian yuridis (hukum) yang terdapat
perumusannya dalam Konvensi Hukum Laut 1958 tentang “Continental Shelf”. Istilah “landas
kontinen” yang diberikan oleh pakar Hukum Laut Mochtar Kusumaatmadja untuk membedakan
dengan pengertian “continental shelf” dalam arti geologis atau dataran kontinen. Oleh karena itu
dalam pembahasan selanjutnya tidak lagi menyebutkan “continental shelf”, tetapi digunakan
istilah “landas kontinen” (“continental shelf” dalam arti yuridis).
Secara lengkap pengertian landas kontinen dimuat dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958
tentang Landas Kontinen berbunyi sebagai berikut : “ For the purpose of these articles, the term
“continental shelf” is used as referring (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas
adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond
that limit, to where the depth of the superjacent water admits of the exploitation of the natural
resources of the said areas; (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to
the coast of islands”.
Dari rumusan pasal 1 tersebut dapat diambil kesimpulan, yang dimaksud dengan landas kontinen
pada pokoknya mencakup dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai yang
merupakan bagian terluar dari laut teritorial sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu
untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan
dengan pantai pulau-pulau.
Dari ketentuan pasal 1 tersebut, batasan atau definisi pengertian landas kontinen merupakan
suatu definisi hukum (“legal definition”) yang berbeda dengan batasan pengertian dalam arti
geologis semata-mata.
Perbedaan itu dapat dilihat dari pembatasan yang diadakan dengan tambahan kata-kata “ … but
outside the area of the territorial sea …”. Tambahan kata-kata ini merupakan pembatasan yang
logis, apabila diingat bahwa dasar laut dan tanah di bawahnya di dalam batas laut teritorial,
menurut pasal 2 Konvensi I mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan, berada di bawah
kedaulatan Negara pantai. Demikian juga perluasan pengertian pada paragraf (b) tidak termasuk
dalam pengertian “continental shelf” dalam arti geologis murni, merupakan suatu perkembangan
yang menggembirakan.
Sebaliknya perluasan pengertian “continental shelf” pada paragraf (a) dengan ditambahnya kata-
kata “…or beyond that limit, to where the depth of the superjacent water admits of the
exploitation of the natural resources of the said areas”, menimbulkan masalah, karena selain
menggunakan ukuran kedalaman 200 meter juga kriteria “technical exploitability”. Menurut
pendapat Kusumaatmadja, bentuk rumusan ini menimbulkan suatu keragu-raguan apakah adanya
“conditio sine qua non” bagi ketentuan kedua yang didasarkan atas kriteria “technical
exploitability” Kalau dilihat dari sejarah terjadinya, ketentuan ini merupakan kompromi antara
negara-negara yang berpendirian bahwa “continental shelf” dalam arti Konvensi (“yuridis”)
hanya pada “continental shelf” dalam arti geologis, yaitu pada ukuran kedalaman 200 meter
(Inggeris, Libanon, Belanda dan Perancis) dan Negara-negara yang hendak memakai kriteria
“technical exploitability” (Argentina, Korea dan Panama), maka tambahan kata-kata “… or
beyond that limit” harus dianggap sebagai alternatif yang dapat menggantikan kriterium dalam
laut (hingga 200 meter) seandainya tidak terdapat dataran kontinen dalam arti geologis (Mochtar,
Hukum .., 1979, hal. 161).
Dengan kemajuan perkembangan teknik eksploitasi kekayaan laut yang sangat pesat, ternyata
interprestasi ketentuan pasal 1 tersebut diatas hanya ditekankan pada ukuran “technucal
exploitability”, sehingga menimbulkan suatu interprestasi bahwa negara pantai mempunyai
kedaulatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di daerah di bawah permukaan laut
(“submarine areas”) hingga batas yang dicapai oleh teknik pengambilan kekayaan di laut.
Terhadap interprestasi ketentuan pasal 1 ini, Mochtar memberikan pendapat sebagai berikut
(Mochtar, Bunga Rampai, hal. 114) :“ Interprestasi ketentuan pasal 1 demikian tidak dapat
diterima, karena akan terlalu menguntungkan negara pantai dengan letak geografi tertentu
terutama negara-negara berkembang dengan perkembangan teknologi yang sudah mencapai
tingkat yang tinggi. Interprestasi yang melepaskan kriterium “technical exploitability” dari azas
kedekatan (“contiguity”) yang laut yang berbatasan dengan pantainya, menyimpang dari dasar
pikiran konsep “continental shelf”.
Meskipun lembaga “continental shelf” dalam Konvensi Hukum Laut 1958 berbeda dengan
pengertian semula, sehingga melahirkan istilah “landas kontinen” dan “dataran kontinen” namun
azas kedekatan dengan kontinen (daratan yang disamakan dengan itu) seperti pulau-pulau atau
kepulauan tidak dapat dilepaskan sama sekali, kalau pengertian “continental shelf” dalam arti
hukum laut masih hendak diberi arti tersendiri. Tegasnya kekuasaan negara pantai di landas
kontinen terhenti dan lewat batas itu harus dimulai dengan pengaturan (regime) samudera dalam
(“deep ocean floor”) yang terlepas dari azas kedekatan (“qontiguity). Karena kedua rejim ini,
yaitu “continental shelf” dan “deep ocean floor” tunduk pada rejim hukum yang berlainan.
Menurut eko, dari rumusan pasal 1 tersebut, landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya yang berdekatan dengan pantai yang merupakan bagian terluar dari laut teritorial
sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam
dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai pulau-pulau. Rezim hukum
yang berlaku pada landas kontinen adalah hak-hak berdaulat ( sovereign right) negra pantai yang
berarti hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitrasi hanya dapat dilakaukan oleh negara
pantai. Hak berdaulat selain berlaku untuk kedalaman 200 meter juga berlaku untuk Negara-
negara yang karena ilmu pengetahuan dan teknologinya memungkinkan untuk melakukan
eksploitasi dan eksplorasi (tidak ditujukan untuk semua Negara, hanya Negara tertentu saja).
Dalam melaksanakan hak-hak eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen negara pantai tetap
menjamin hak negara lain dalam melakukan pelayaran dan penerbangan di perairan diatas landas
kontinen dan udara diatasnya. Dalam hal ini tanpa suatu alasan yang jelas negara pantai tidak
boleh menghalang-halangi pelayaran dan penerbangan yang dilakukan oleh kapal atau pesawat
asing tersebut. Maka untuk kepentingan pelayaran dan penerbangan ini negara asing
berkewajiban untuk mentaati peraturan-peraturan yang dibuat negara pantai tersebut.

Anda mungkin juga menyukai