Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa
Dalam konvensi Jenewa 1958 terdapat empat buah konvensi telah dihasilkan dari serangkaian
pertemuan di Jenewa yaitu:
a. The Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (mengenai laut
territorial dan jalur tambahan)
b. The Geneva Convention on the High Seas ( tentang Laut bebas)
c. The Geneva Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High
Seas ( tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Laut)
d. The Geneva Convention on the Continental Shelf (mengenai Landas Kontinen)
Konvensi-konvensi Hukum Laut 1958 ini merupakan hasil Konperensi Hukum Laut yang
diselenggarakan oleh PBB yang I, yang diadakan pada 24 Pebruari hingga 27 April 1958,
dihadiri oleh 86 negara. Sebagai sebuah sumber hukum, maka konvensi ini adalah bagian dari
perjanjian internasional yang mengikat bagi para pihak yang telah menyatakan tunduk
terhadapnya. Namun demikian, konvensi ini juga mengikat para pihak yang tidak turut serta
dalam perjanjian tersebut dengan catatan sebagai berikut:
a. Jika hal-hal yang diatur dalam konvensi tersebut menunjukkan bahwa itu merupakan
ketentuan tertulis dari sebuah hukum kebiasaan internasional yang dipraktekkan oleh banyak
negara
b. Jika konvensi itu merupakan dampak lanjutan yang terjadi akibat diakuinya suatu
perkembangan dalam hukum kebiasaan
Sedangkan di dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1960 dimasukkan prinsip-prinsip dalam
Deklarasi, yang isinya sebagai berikut :Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayh, dan kesatuan
ekonominya, ditarik garis-garis pngkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari
kepulauan terluar. Termasuk dasar laut dan tanah bawahnya maupun ruang udara di atasnya
dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jalur laut wilayah laut territorial
selebar 12 mil diukur dari garis-garis lurusnya. Hak lintas damai kapal asing melalui perairan
nusantara (archipelagic waters).
a. The Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone
Laut Wilayah (the Territorial Sea)
Pasal 1 dari Territorial Sea Convention 1958 dan Pasal 2 dari UNCLOS mendefinisikan laut
wilayah sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan daratan suatu negara dimana negara
memiliki kedaulatan atasnya. Dalam hukum kebiasaan internasional lebar laut wilayah hanyalah
3 mil laut namun sejak UNCLOS pengakuan negara-negara telah berubah menjadi 12 mil laut
dari garis batas pantai sebagaimana diatur menurut UNCLOS.
Dalam mengukur garis batas pantai maka Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1958 menegaskan
bahwa “ garis batas normal (normal base line) ditetapkan dari garis batas ketika pasang surut
seseuai dengan bentuk pantai yang diakui oleh negara pantai tersebut. Hal tersebut juga sesuai
dengan apa yang diatur oleh Pasal 5 UNCLOS.
Namun demikian ada beberapa tambahan yang diakui dalam UNCLOS yaitu:
1. Straight Baselines (Garis Batas Lurus)
Jika ada negara pantai yang memiliki garis batas pantai yang tidak beraturan sehingga
memunculkan lekukan-lekukan dalam dari negara pantai tersebut, dimungkinkan bagi negara
pantai untuk menarik garis batas sesuai dengan titik-titik terluar dari bentuk yang berlekuk-lekuk
tersebut dengan cara menarik garis lurus diantaranya (lihat Pasal 4 Konvensi Jenewa 1958 dan
Pasal 7 dari UNCLOS).
2. Bays/Teluk
Pasal 7 dan Pasal 10 UNCLOS menyatakan bahwa suatu bagian laut yang menjorok ke dalam
yang lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil dalam suatu negara, dapat memungkinkan negara
tersebut untuk menarik garis lurus sehingga semua perairan dalam teluk tersebut menjadi laut
wilayah dari negara pantai tersebut.
Jika ternyata bagian dari teluk tersebut merupakan wilayah dari dua atau lebih negara yang
berbeda maka harus ada pengaturan khusus dalam sebuah perjanjian diantara negara-negara yang
memiliki perbatasan pantai dengannya. Dalam kasus Case Concerning Land, Island and
Maritime Frontier Dispute (1992) Mahkamah Internasional memutuskan perlunya kewenangan
bersama atas wilayah teluk tersebut kecuali wilayah 3 mil laut sesuai dengan garis pantai negara
masing-masing.
3. Garis batas teluk tradisional (Historic Bays)
Suatu wilayah teluk yang telah diklaim menjadi milik suatu negara dan selama ini tidak pernah
ada tuntutan balik dari negara-negara lainnya dapat dianggap sebagai perairan pedalaman dari
negara yang melakukan klaim atas dasar garis batas teluk yang secara tradisional menjadi
wilayah kedaulatan mereka.
Pada laut wilayah negara memiliki kewenangan untuk menegakkan yurisdiksinya. Dalam hal ini
negara pantai berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut termasuk
dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non hayati dalam air tersebut.
Meski demikian, Pasal 14 dari Konvensi Jenewa memberikan pembatasan terhadap hak negara
pantai tersebut untuk tetap menyediakan jalur khusus bagi pelintasan kapal-kapal asing yang
akan melewati laut wilayah tersebut. Jalus tersebut sering disebut sebagai Innocent Passage atau
Jalur Lintas Damai.
Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh kapal-kapal dagang/pariwisata
asing untuk secara bebas melintasi jalur tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki
perairan pedalaman, melakukan komunikasi dengan orang/lembaga dari negara pantai dengan
syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan negara pantai.
Ketika suatu kapal sedang melintasi jalur lintas damai maka negara pantai hanya memiliki
yurisdiksi terbatas baik secara perdata maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang
melintas di jalur tersebut. Pasal 19 dan Pasal 20 memberikan pengaturan akan hal itu. Sehingga
yurisdiksi yang berlaku di atas kapal adalah yurisdiksi dari negara bendera kapal dan bukan
negara pantai kecuali:
1. Dampak atau akibat dari tindak pidana tersebut sampai pada negara pantai yang bersangkutan
2. Jika kejahatan tersebut dilakukan untuk mengacaukan perdamaian dan keamanan dari negara
pantai
3. Jika ada permintaan dari kapten kapal atau konsul dan perwakilan diplomatik bendera kapal
terhadap negara pantai
4. Jika ada dugaan kuat bahwa kapal tersebut dan awak kapalnya melakukan penyelundupan
obat-obatan terlarang
Laut Territorial adalah wilayah laut yang berada pada sisi luar garis pangkal yang berada di
bawah kedaulatan Negara pantai. Dalam UU No 4 Prp Tahun 1960 Laut wilayah (laut territorial-
territorial sea) adalah lajur laut yang terletak pada sisi luar dari pada garis pangkal atau garis
dasar. Garis pangkal atau garis dasar adalah garis dari mana laut wilayah mulai diukur keluar.
Laut wilayah pada sebelah luar ini dibatasi oleh suatu garis luar (outer-limit) yang ditarik sejajar
dengan garis pangkal. Jarak antara garis pangkal (dasar) dan garis luar adalah 12 mil laut.
Dengan demikian maka yang dinamakan laut wilayah itu adalah lajur laut (mariteime belt) yang
lebarnya 12 mil laut dan dibatasi pada sebelah dalam *10564 oleh suatu garis dasar (garis
pajgkal=baseline) dan disebelah luarnya oleh garis luar (outer-limit) yang ditarik sejajar dengan
garis pangkal itu. Negara Indonesia berdaulat atas laut wilayah ini, baik mengenai lajur laut itu
sendiri yang terdiri dari air, dasar laut (seabed) dan tanah dibawahnya (subsoil), maupun udara
yang ada diatasnya. Satu-satunya pembatasan atas kedaulatan Indonesia sebagai negara pantai
adalah adanya hak lalu-lintas laut damai dalam laut wilayah bagi kapal-kapal asing. Lalu-lintas
laut damai dalam laut wilayah ini adalah suatu hak yang dijamin oleh hukum internasional.
Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan
tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam
pelaksanaannya kedaulatan atas laut territorial ini tunduk pada ketentuan hokum internasional.
Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.
Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di Laut Teritorial tidak boleh
melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian,
mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang
tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus
dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang
jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan
memaksa (force majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan
pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.
Hak Lintas Damai (Innocent passage)
Konsepsi hak lintas damai (innocent passage) bermula lahir dalam praktek negara-negara di
Eropa sesudah abad pertengahan, dan dalam perkembangannya mendapat perumusan dalam
KHL 1958. Hak lintas damai, yaitu hak semua negara untuk melintasi atau melayarkan kapalnya
melalui perairan laut teritorial suatu Negara pantau sesuai dengan ketentuan Hukum Laut
Internasional dan peraturan perundang-undangan Negara Pantai.
a. Kapal asing yang diberikan hak melintas harus berlayar secara terus menerus tanpa berhenti
kecuali dalam keadaan darurat,
b. Dilarang melakukan kegiatan bongkar muat
c. Dilarang melakukan penangkapan ikan
d. Dilarang melakukan kegiatan penelitian ilmiah
e. Dilarang melakukan kegiatan penelitian ilmiah
f. Dilarang melakukan kegiatan latihan militer
g. Dilarang melakukan kegiatan keamanan, keselamatan, kedaulatan Negara pantai
h. Kapal asing hanya boleh melintas pada alur laut yang telah ditentukan Negara pantai
Negara pantai tidak boleh menghalangi kegiatan hak lintas damai Negara-negara kapal asing
kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. Terkait dengan implementasi hak lintas damai bagi
kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan
keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas
navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan
terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan,
pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan
pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.
Pengaturan hak lintas damai secara internasional ada dalam Konvensi Hukum Laut 1958,
sedangkan secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam UU No 4 Prp
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia Pasal 3.
(1) Lalu-lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan air asing.
(2) Dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur lalu-lintas laut damai yang dimaksud pada ayat
(1).
Zona Tambahan (the Contiguous Zone)
Pasal 33 dari UNCLOS menyatakan bahwa daerah yang berbatasan langsung antara laut wilayah
dan laut lepas dapat diklaim menjadi zona tambahan bagi negara pantai untuk kepentingan-
kepentingan sebagai berikut:
1. Mencegah pelanggaran kepabeanan, bea cukai, fiskal, imigrasi atau ruang bagi karantina
barang-barang tertentu yang akan masuk negara pantai dari laut.
2. Wilayah untuk menghukum para pelaku pelanggaran dalam butir pertama tersebut
Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil diukur dari garis batas pantai waktu air laut surut.
(Lihat Pasal 33[2]) dari UNCLOS. Terhadap zona tambahan berlaku hak-hak berdaulat dan
yurisdiksi tertentu, dimana hak-haknya aldalah berkaitan dengan custom (bea cukai), untuk
bidang imigrasi, perpajakan fiscal serta karantina kesehatan lautan (sanitary).