Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di seluruh penjuru dunia.
Bencana dapat berdampak kepada individu, keluarga dan komunitas. Bencana adalah
gangguan serius yang mengganggu fungsi komunitas atau penduduk yang
menyebabkan manusia mengalami kerugian, baik kerugian materi, ekonomi atau
kehilangan penghidupan yang mana berpengaruh terhadap kemampuan koping
manusia itu sendiri. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya
berpotensi rawan bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi,
tsunami, tanah longsor, letusan gunung berapi, banjir, angin putting beliung dan
kekeringan, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia dalam pengolahan sumber
daya dan lingkungan (contohnya kebakaran hutan, pencemaran lingkungan,
kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, dan tindakan teror bom) serta konflik
antar kelompok masyarakat (Departemen Kesehatan [DepKes], 2006).

Bencana memiliki dampak yang sangat merugikan manusia. Rusaknya sarana


dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, pelayanan
kesehatan, sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-lain) hanyalah
sebagian kecil dari dampak terjadinya bencana disamping masalah kesehatan seperti
korban luka, penyakit menular tertentu, menurunnya status gizi masyarakat, stress,
trauma dan masalah psikososial, bahkan korban jiwa. Bencana dapat pula
mengakibatkan arus pengungsian penduduk ke lokasi-lokasi yang dianggap aman.
Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan baru di wilayah yang menjadi
tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus penyakit dan masalah
gizi serta masalah kesehatan reproduksi hingga masalah penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta penurunan kualitas
kesehatan lingkungan (DepKes, 2006).

Kejadian bencana mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2012


terdapat 1.811 kejadian dan terus meningkat hingga pada tahun 2016 terdapat 1.986
kejadian bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], 2013, Gaffar,
2015 ; BNPB, 2016). Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang
menjadi 5 provinsi tertinggi kejadian bencana. Kondisi ini disebabkan karena
1
geografis Sumatera Bar at yang berada pada jalur patahan sehingga beresiko terhadap
bencana, dan Kota Padang menjadi urutan pertama daerah yang paling beresiko tinggi
(BNPB, 2014). Besarnya angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan oleh bencana
sehingga membutuhkan upaya penanggulangan. Penanggulangan bencana adalah
upaya sistematis dan terpadu untuk mengelola bencana dan mengurangi dampak
bencana, diantaranya penetapan kebijakan dalam bencana, pengelolaan resiko berupa
usaha pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat serta upaya pemulihan
berupa rehabilitasi dan rekontruksi. Penanggulangan bencana oleh perawat pada
tahap tanggap darurat meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap korban
bencana serta pemberian bantuan hidup dasar. Untuk memaksimalkan upaya
penanggulangan bencana di bidang kesehatan, pelayanan kesehatan harus
mempersiapkan tenaga kesehatan yang profesional.

Tenaga kesehatan dalam sebuah rumah sakit yang paling banyak adalah
perawat. Perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki peran sebagai responden
pertama dalam menangani korban bencana di rumah sakit. Semua perawat
mempunyai tanggung jawab dalam perencanaan dan keterlibatan dalam menangani
korban. Perawat harus mengetahui apa yang akan mereka lakukan baik ketika mereka
sedang bekerja atau tidak bekerja sewaktu bencana terjadi. Perawat harus mengetahui
bagaimana memobilisasi bantuan, mengevakuasi pasien-pasien dan mencegah
penyebaran bencana. Perawat juga harus mengenal diri mereka sendiri dan
perencanaan- perencanaan rumah sakit dalam mengatasi bencana Bencana dapat
terjadi secara tiba-tiba dan menyebabkan semua orang panik. Bencana dapat
mengakibatkan kerusakan dari kecil sampai besar. Gedung- gedung, sistem
infrastruktur dan lainnya akan mengalami kerusakan. Rusaknya fasilitas kesehatan,
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam pelayanan kesehatan disamping itu juga
terdapat banyak korban dengan berbagai jenis cedera yang membutuhkan pertolongan
segera mengatakan bahwa korban massal yang diakibatkan oleh bencana dapat
menyebabkan gangguan pada pelayanan kesehatan. Untuk mengurangi dampaknya,
maka perlu meningkatkan kepedulian terhadap bencana melalui tindak penyelamatan
dan pertolongan bencana. Tindakan tersebut bertujuan untuk memberikan tanggap
darurat yang efektif dan difokuskan pada pertolongan serta bantuan sementara untuk
membantu korban segera setelah bencana terjadi. Perawat IGD yang berperan penting
dalam tim penyelamatan saat bencana, secara terus menerus berjuang di garis depan
2
operasi penanggulangan bencana. Persiapan perencanaan penanggulangan bencana
yang baik adalah kunci dari penanggulangan bencana yang efektif. Derajat kesiapan
perawat IGD dalam menghadapi bencana secara langsung berhubungan dengan
sukses atau tidaknya keperawatan bencana yang mana berpengaruh besar terhadap
respon dan penyembuhan korban bencana di rumah sakit.

IGD adalah garis depan dari respon bencana rumah sakit. IGD adalah titik
kontak pertama untuk semua pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
Perawat IGD memiliki tanggung jawab utama untuk penilaian pasien, triase, dan
pengobatan. Perawat harus mampu memberikan penanganan yang cepat, tepat dan
aman serta dapat diakses secara mudah untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan Perawat harus memiliki kompetensi untuk bisa beradaptasi dengan situasi
bencana. Kompetensi berarti tindakan nyata pada peran tertentu dan situasi tertentu.
Kompetensi dijelaskan juga sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan dan
perilaku yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana Pre Hospital Management dan Triage pada pasien kegawatdaruratan ?
2. Bagaimana Kegawatdaruratan Bencana ?
3. Bagaimana Kejadian Luar Biasa ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pre hospital management dan triage pada pasien kegawatdaruratan.
2. Untuk mengetahui kegawatdaruratan bencana.
3. Untuk memgetahui kejadian luar biasa.

BAB II
3
PEMBAHASAN

2.1 Pre Hospital Management dan Triage

1. Definisi Triage
Triage adalah proses penolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat kegawatan
kondisinya (Zimmermann dan Herr,2006). Triage juga di artikan sebagai suatu
tindakan pengelompokan penderita berdasarkan pada beratnya cedera yang
diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada airway (A), breathing (B) dan circulation
(C) dengan mempertimbangkan sarana sumber daya manusia, dan probabilitas hidup
penderita. Jadi bisa di simpulkan definisi triage adalah tindakan menolong seseorang
yang dalam kondisi gawat darurat dengan memperhatikan konsep ABC (jalan nafas,
kebersihan jalan nafas dan si `rkulasi).
2. Tujuan Triage
 Mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa.
 Memprioritaskan pasien menurut kondisi keakutannya.
 Menempatkan pasien sesuai dengan keakuatannya berdasarkan pada pengkajian
yang tepat dan akurat.
 Menggali data yang lengkap tentang keadaan pasien.
3. Prinsip Triage
 Triage harus dilakukan dengan segera dan singkat.
 Kemampuan untuk menilai dan merespons dengan cepat kemungkinan yang dapat
menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang mengancam nyawa
dalam departemen gawat darurat.
 Pengkajian harus dilakukan secara adekuat dan akurat.
 Keakuaratan dan ketepatan data merupakan kunci dalam proses pengkajian.
 Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian.
 Keselamatan dan keefektifan perawat pasien dapat direncakana jika terdapat data
dan informasi yang akurat dan adekuata.
 Intervensi yang dilakukan berdasarkan kondisi keakuatan pasien.
 Tanggung jawab yang paling utama dari proses triage yang dilakukan perawat
adalah keakuatan dalam mengkaji pasien dan memberikan perawatan sesuai
dengan prioritas pasien.
 Tercapainya kepuasan pasien.
 Penempatan pasien yang benar pada tempat yang benar saat waktu yang benar
dengan penyedia pelayananan yang benar.
4. Klasifikasi Triage
Prioritas didasarkan pada pengetahuan, data yang tersedia, dan situasi terbaru
yang ada. Huruf atau angka yang sering digunakan antara lain sebagi berikut,
 Prioritas 1 atau emergency
4
 Prioritas 2 urgent
 Prioritas 3 nonurgent
5. Banyak tipe dari klarifikasi triage yang digunakan pada pre-hospital ataupun hospital.
A. Triage Pre-Hospital
Triage pada musibah atau bencana dilakukan dengan tujuan bahwa dengan
sumber daya yang minimal dapat menyelamatkan korban sebanyak mungkin. Pada
musibah massal, jumlah korban puluhan atau mungkin ratusan, di mana penolong
sangat belum mencukupi baik sarana maupun penolongnya sehingga
dianjurkankan menggunakan teknik START. Hal pertama yang dapat lakukan pada
saat di tempat kejadian bencana adalah berusaha untuk tenang, lihat sekeliling dan
menyeluruh pada lokasi kejadian. Pengamatan visual memberikan kesan pertama
mengenai jenis musibah, perkiraan jumlah korban, dan beratnya cedera korban.
Pengamatan visual juga memberikan perkiraan mengenai jumlah dan tipe bantuan
yang diperlukan untuk mengatsi situasi yang terjadi. Laporkan secara singkat pada
cell center dengan bahasa yang jelas mengenai hasil dari pengkajian, meliputi hal-
hal sebagi berikut.
 Lokasi kejadian.
 Tipe insiden yang terjadi.
 Adanya ancaman atau bahaya yang mungkin terjadi.
 Perkiraan jumlah pasien.
 Tipe bantuan yang harus diberikan.
 Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1) Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan
memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan
yang datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit
lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang
berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan
sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi
harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah
bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana
cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan),
bagaimana kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi
selama bencana berlangsung.
2) Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan
menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat
langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke
5
fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang
salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6
menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang ireversibel. Syok
karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan diatasi, dan
kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi dan tranportasi cedera
spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang menjadi
penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :
 Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
 Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
 Menguasai teknik mengontrol perdarahan
 Menguasai teknik memasang balut-bidai
 Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
3) Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya
dan personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut
dan udara. Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih
dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa
kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan
ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi
standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.

4) Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang
kini berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai
swasta memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai
ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa.
5) Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan
secara periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.

B. Kategori Triage
 Triage dua tingkat.
Dalam system dua tingkat, pasien dikategorikan sakit atau tidak sakit. Pasien
yang sakit membutuhkan perawatan darurat dengan kondisi yang
membahayakan nyawa, tubuh, atau organ. Sementara itu, pasien yang tidak

6
sakit ialah pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda serius, bisa menunggu
jika perawatan sedikit tertunda.
 Triage tiga tingkat.
System ini banyak digunakan di Amerika Serikat. Pengategorian dapat
ditentukan berdasarkan warna (merah, kuning, hijau). Atau pemberian nomer
(kategori 1,2,3) tetapi pada dasarnya kategori tersebut merujuk pada kondisi di
bawah ini.

a) Gawat darurat

b) Darurat

c) Biasa

 Triage empat tingkat.


Penggunaan system ini dilakukan dengan menambahkan status live
threatening (ancaman nyawa) selain status gawat darurat, darurat dan biasa.
 Triage lima tingkat.
Saat ini, skala triage lima tingkat banyak digunakan di seluruh UGD rumah
sakit di Amerika Serikat. Pada skala ini ada penambahan level yaitu tingkat 1
yang berarti gawat darurat tertinggi ‘dan 5 tingkat pasien dengan kondisi yang
paling ringan.
C. Proses Triage
Ketika perawat triage menemukan kondisi yang mengancam nyawa,
pernapasan, atau sirkulasi dibawah ke ruang perawatan. Pada tindakan triage,
terdapat istilah undertriage dan uptriage. Dua konsep kunci ini sangat penting
untuk memahami proses triage. Undertriage adalah proses yang underestimating
tingkat keparahan atau cedera, misalnya: pasien prioritas 1 (segera) sebagia
prioritas 2 (tertunda) atau prioritas 3(minimal). Uptriage adalah proses
overestimating tingkat individu yang telah mengalami sakit atau cedera, misalnya
pasien prioritas 3 sebagai prioritas 2 (tertunda) atau prioritas 1 (segera). Tindakan
awal perawat triage sebagai berikut.
a) Memeriksa pasien.
b) Mendengarkan suara yang tidak umum.
c) Waspada terhadap baerbagai bau.
d) Memutuskan apakah penangananan harus segera dilakukan.
e) Memperhatikan pengontrolan infeksi dalam situasi apa pun.
f) Membersihkan tangan dengan sabun atau pembersih tangan

7
2.2 Kegawatdaruratan Bencana
1) Definisi
Bencana umumnya dikategorikan sesuai dengan penyebabnya, seperti
penyabab alamiah, manusia, teknologi, ataupun konflik manusia. Berbagai definisi
bencana dapat ditemukan di berbagai referensi. World Health Organization / WHO
mendefinisikan bencana sebagai “suatu gangguan yang berdampak serius bagi fungsi
komunitas atau masyarakat yang menimbulkan kehilangan dan kerugian besar dari
segi manusia, materi, ekonomi, maupun lingkungan, dimana gangguan tersebut
melebihi kemampuan komunitas atau masyarakat untuk mengatasinya dengan
menggunakan sumber dayanya sendiri.”
Definisi WHO (2010) di atas ruang lingkupnya meliputi bencana-bencana
yang menimbulkan banyak korban dan juga bencana yang tidak menyebabkan bahaya
ataupun penyakit bagi manusia. Dalam Pelayanan Kesehatan bencana juga
didefinisikan sebagai “jumlah pasien yang ada dalam waktu tertentu, melebihi
kapasitas unit gawat darurat untuk memberikan pelayanan dan mengakibatkan
dibutuhkannya penambahan sumber daya manusia dan alat/barang dari luar unit gawat
darurat tersebut.” Definisi ini tidak mencakup bencana-bencana di mana tidak ada
pasien/korban yang selamat yang di bawa ke ruang gawat darurat. Banyak insiden,
seperti kecelakaan pesawat, tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit korban yang
selamat (penyintas). Bencana lainnya, seperti bencana teknologi, seringkali tidak
menimbulkan kerugian atau penyakit bagi manusia sama sekali. Namun dalam system
pelayanan kesehatan bencana jenis ini dapat memberikan dampak pada pasien yang
kelangsungan hidupnya bergantung pada teknologi (seperti pada pasien yang
terpasang ventilator atau mesin pompa intravena). Meskipun sebagian besar bencana
terkait teknologi, seperti pemadaman jaringan listrik masal atau gangguan system
computer, tidak secara langsung mencederai atau menimbulkan penyakit, bencana
jenis ini dapat memiliki efek tidak langsung yang cukup serius terhadap nyawa
manusia, terutama berdampak bagi pasien yang kelangsungan hidupnya bergantung
pada teknologi.
Indonesia sebagai Negara yang terletak di area lempeng tektonik dan
rangkaian gunung api yang aktif, memiliki jumlah penduduk yang banyak dan
perkembangan industi yang memakai teknologi tinggi, sangat rentan terhadap
kemungkinan yang terjadi bencana. Dalam pendekatan menghadapi
bencana,indonesia memilikin undang-undang no 24 tahun 2007 tentang

8
Penanggulangan bencana. Menurut UU no 24 tersebut bencana,dinyatakan sebagai
rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,kerusakan
lingkungan,kerugian harta benda,dan dampak psikologis. Bencana dalam UU no 24
tahun 2007 dibagi menjadi bencana alam,non alam,dan bencna sosial.
Tahapan bencana di bagi menjadi ; tahap pencegahan,tahap tanggap
darurat,dan tahap rehabilitasi rekonstruksi. Kegiatan penanganan bencana dilakukan
sesuai dengan tahapan bencana dengan titik berat pada pencegahan bencana. Tahapan
dan kegiatan penanganan bencana ,meliputi :
1. Tahap pencegahan bencana,merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menghilangkan dan atau mengurangi ancaman bencana. Kegiatan ini dalam UU
bencana di bagi dalam pencegahan dan mitigasi serta kesiap siagaan bencana.
2. Tahap tanggap darurat,merupakan kegiatan yang dilakukan dengan segera saat
bencana untuk mengurangi dampak bencara antara lain ;
evakuasi,penyelamatan,pengobatan korban bencana ,pengungsian serta pemulihan
sarana dan prasarana.
3. Tahap rehabilitasi dan rekontruksi.yaitu rehabilitasi untuk pemulihan semua aspek
pelayanan dan kondisi masyarakat serta rekonstruksi untuk pembangunan
kembali sarana prasarana agar masyarakat berfungsi kembali.

2) Keperawatan Bencana
Indonesia negara yang rentan terjadi bencana harus memiliki tenaga
kesehatan yang mampu melakukan pelayanan untuk mengurasi resiko bencana.
mengurangi risiko bencana. Perawat memiliki kemampuan dalam memberikan
pelayanan penatalaksanaan bencana disemua tahap bencana melalui kegiatan
keperawatan. Pelaksanaan program pemerintahan dan kordinasi dengan para pihak
terkait penanganan bencana. Dalam setiap tahap kegiatan penatalaksanaan
bencana ini, perawat melakukan kegiatan keperawatan bencana melalui perannya
sebagai pemberi asuhan keperawatan, educator kesiapsiagaan bencana, kordinator
dan pengembang program penanganaan bencana, serta sebagai peneliti. Kegiatan
edukasi terkait kesiapsiagaan bencana dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat antara lain berfokus tentang:

a. Pencegahan banjir, penggundulan dan kebakaran hutan

b. Peningkatan kewaspadaan dan pemahaman deteksi dini bencana


9
c. Persiapan evakuasi jika ada peringatan bencana

d. Persiapan diri dan keluarga untuk barang cadangan; air minum, makanan, dan
caramengatasi masalah kesehatan dalam kondisi bencana

e. Persiapan diri dan keluarga untuk memiliki ketahanan kembali secara optimal
setelah bencana ( ketahanan individu dan keluarga menghadapi bencana )

Kegiatan perawat selama tahap respons bencana seringkali pelayanannya


berpusat pada pemberian asuhan terhadap pasien yang mengalami cedera fisik,
penyakit, dan respons emosional terhadap kejadian tersebut. Untuk memberikan
asuhan untuk korban bencana, perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus
memahami penatalaksanaan bencana seperti mitigasi, perencanaan, tanggap
darurat, dan pemulihan. Tidak semua kejadian bencana menyebabkan korbannya
dirawat di UGD rumah sakit setempat. Suatu bencana besar mungkin saja
berdampak terhadap infrastruktur rumah sakit ataupun lingkungan di mana rumah
sakit tersebut berada. Bencana yang tidak menimbulkan kerusakan infrastuktur
sistem komputer, gangguan jaringan listrik atau air rumah sakit, atau kerusakan
jaringan telepon rumah sakit. Bencana- bencana yang menimbulkan korban jiwa
seringkali terjadi pada bencana alam sebagai contoh: Tsunami Aceh 2004 yang
menimbulkan korban jiwa dan hilang sekitar 200.000 jiwa, gempa bumi di
Yogyakarta 2006 menimbulkan 1.029 korban jiwa dan hilang, gempa bumi
Padang tahun 2009 menimbulkan korban jiwa sekitar 1.117 orang. Bencana yang
diakibatkan oleh tangan manusia contohnya peristiwa 11 September 2001,
serangan teroris di New York dan Washington DC, pemboman di Bali 2002, dan
pemboman kereta di Madrid 2004. Bencana yang diakibatkan oleh manusia
tersebut memiliki dampak langsung terhadap sistem pelayanan kesehatan, dan
seringkali hingga menyebabkan penuhnya fasilitas- fasilitas pelayanan kesehatan
yang terdekat dengan lokasi kejadian. Prinsip dasar keperawatan umumnya sama
untuk kejadian bencana, kejadian yang menimbulkan korban masal ( mass
casualty incident/MCL), kejadian khusus, atau bahkan bencana- bencana yang
berasal dari kelalaian, faktor alam, kejadian khusus, ataupun terorisme. Waktu
tanggap yang cepat ( response time ) merupakan prinsip /faktor penting
dikarenakan banyaknya nyawa yang dapat diselamatkan lewat triase bencana dan
pembuatan keputusan cepat yang memungkinkan diberikannya penanganan
10
darurat pada pasien dengan kondisi atau cedera paling parah/kritis. Prinsip
melakukan yang terbaik terhadap sebanyak- banyaknya korban bencana, pada
kondisi sumber daya terbatas merupakan hal yang sering terjadi di keperawatan
saat mendapatkan kejadian korban masal, bencana, ataupun kejadian khusus
berskala besar. Pada tahap rehabilitasi, pemulihan individu dan keluarga dapat
dilakukan dengan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan fisik ( makanan,
minuman, perumahan) dan pemulihan kondisi kesehatan individu yang sakit,
selanjutnya dilanjutkan untuk memulihkan fisik dan psikologis agar mereka dapat
kembali kekehidupan normal sebeluum terjadinya wabah penyakit akibat sanitasi
dan lingkungan yang buruk akibat bencana. Kelompok berisiko, antara lain; anak-
anak, orang tua, orang dengan kebutuhan khusus, ibu hamil, penderita penyakit
menahan perlu mendapat pelayanan khusus agar kebutuhan spesifik mereka dapat
segera dipenuhi dengan lebih baik disaat pemulihan bencana.

3) Faktor-faktor Penyebab Bencana

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh
ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
bencana antara lain: (a) Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah
manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy
for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi
(geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards),
bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan
penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) (b) Kerentanan
(vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di
dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana (c) Kapasitas yang rendah dari
berbagai komponen di dalam masyarakat Secara geografis Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu
lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik
(volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera - Jawa – Nusa Tenggara –
Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang
sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus
rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan

11
tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara
yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat
tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).

Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat


menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah
yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering
mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan
oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik
aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600–2000 terdapat 105
kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9
persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk.,
2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi
bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai
utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara
Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah
yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600–2000, di daerah ini
telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4
oleh meletusnya gunung berapi di bawah laut.

Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu
panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin
yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi
topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fi sik maupun
kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat
menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana
hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.
Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia,
kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya
jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor
dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia.
Pada tahun 2006 saja terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember,
Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan beberapa daerah lainnya.

12
Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian
rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang
selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (terutama dalam skala
besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya ini terhadap kehidupan
mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin
berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan
kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko
bencana.

Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat


terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan penerapan
teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti
kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi
manusia yang semakin tinggi.

Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor keragaman
demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai
220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat.
Keragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki
bangsa lain. Namun karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi
dengan kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang
merata dan memadai, terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang
muncul kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konfl
ik dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.

4) Ancaman Bencana di Indonesia

Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data


bencana dari BAKORNAS PB menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah
terjadi 1.429 kejadian bencana, di mana bencana hidrometeorologi merupakan
bencana yang paling sering terjadi yaitu 53,3 persen dari total kejadian bencana di
Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah
banjir (34,1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah
longsor (16 persen). Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi,
tsunami dan letusan gunung berapi) hanya 6,4 persen, bencana ini telah
13
menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar, terutama akibat gempa bumi
yang diikuti tsunami di Provinsi NAD dan Sumut tanggal 26 Desember 2004 dan
gempa bumi besar yang melanda Pulau Nias, Sumut pada tanggal 28 Maret 2005.

5) Konsep Dan Kompetensi Keperawatan Bencana

Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan bencana dapat melakukan


program- program untuk meningkatkan ketahanan masyarakat ( community
resilience ) terhadap bencana. Community resilience atau ketahanan masyarakat
dapat dijabarkan sebagai kapasitas masyarakat/sistem untuk mengatasi gangguan,
bergerak dinamis terhadap perubahan, dan memperhatikan semua fungsi penting,
struktur, identitas, dan masukan. Ketahanan masyarakat dalam menghadapi
bencana adalah kemampuan dari masyarakat/institusi untuk mengatasi gangguan
yang terjadi akibat bencana, melakukan adaptasi terhadap permasalahan dan
keterbatasan yang ada dan tetap mempertahankan fungsi social, spiritual, dan
ekonomi masyarkat/institusi tersebut. Ketahanan masyarakat terhadap bencana
juga berdampak pada semakin meningkatnya kemampuan masyarakat/institusi
dalam menghadapi bencana setiap saatnya.

Dalam meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana lebih


ditekankan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat secara luas, baik
masyarakat dalam komunitasnya maupun masyarakat dalam institusi/lembaga
seperti rumah sakit, sekolah, dan lainnya . perawat berperan menjadi katalisator
tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana. Peran perawat
bencana harus selalu dilakukan, dalam kondisi tidak terjadi bencana maka
penekanan dilakukan untuk edukasi dan pengembangan program/kebijakan yang
tepat. Ketika terjadi bencana perawat memiliki kemampuan melakukan asuhan
keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok berisiko dan masyarakat di
daerah bencana, serta melakukan kordinasi. Tahap rehabilitasi ditunjukan untuk
mampu mengembalikan/meningkatkan kualitas kesehatan.

14
Kompetensi fase Kompetensi fase Kompetensi fase Kompetensi fase
pencegahan/ mitigasi kesiapsiagaan tanggap darurat pemulihan/
rehabilitasi

Pengurangan Pembentukan kode


risiko, pencegahan etik, legal, dan Pelayanan
penyakit, dan akuntabilitas komunitas
Pemulihan
promosi kesehatan individu,
keluarga, dan
Komunikasi dan masyarakat
Pelayanan
penyebaran jangka
individu dan
informasi panjang
Pembentukan keluarga
kebijakan dan
perencanaan

Edukasi dan Pelayanan


kesiapsiagaan psikologis

Pelayanan
kelompok
rentan

Gambar 51-1 Framework kompetensi ICN

Masyarakat didaerah terkena bencana. Kompetensi perawat bencana indonesia


terlah dikembangkan berdasarkan dari kompetensi perawat bencana ICN memiliki
empat pilar :

15
1. Kemampuan melakukan tindakan pencegahan/mitigasi
2. Kemampuan kesiapsiagaan
3. Kemampuan melakukan pelayanan saat tanggap darurat dan
4. Kemampuan melakukan rehabilitasi pada individu, keluarga, dan masyarakat

Keempat pilar kompetensi ICN selanjutnya dijelaskan pada gambar 51-1


framework kompetensi ICN . Keempat pilar kompetensi ICN selanjutnya
dalamkonteks kompetensi perawat indonesia, diintegrasikan dengan spek :
1. Etika, legal dan peka budaya
2. Praktik asuhan keperawatan, dan
3. Profesionalisme yang sesuai dengan aturan indonesia

Mitiga
si

Manajemen/pen
Pemulihan gelolaan Kesiapsiagaa
kegawatdarurata n
n

Tanggap
darurat

Gambar 51-2 Empat Fase Manajemen Kegawatdaruratan

6) Manajemen Kegawat Daruratan Krisis

Kejadian kegawatdaruratan/krisis dapat menjadi ancaman bagi seluruh


organisasipelayanan kesehatan. Sejak tahun 2008 telah mewajibkan rumah sakit
untuk memenuhi standart manajemen kegawatdaruratan terbaru, yang terpisah dan
berbeda dengan standart Lingkungan pelayanan kesehatan. Standart manajemen
kegawatdaruratan ini sesuai dengan empat fase manajemen kegawatdaruratan,
yaitu : mitigasi,kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan (lihat Gambar 51-2)

Manajemen kegawatdaruratan ini bertujuan untuk mengurangi atau


menghindari potensi kehilangan, termasuk kehilangan nyawa dan benda, dari
potensi kemungkinan bencana atau kejadian bencana sesungguhnya. Empat fase

16
manajemen kegawatdaruratan tersebut menggambarkan proses berkelanjutan
dimana suatu organisasi pelayanan kesehatan merencanakan dan mengurangi
dampak bencana, bertindak saat dan segera setelah terjadinya bencan, dan
mengambil langkah untuk pemulihan pasca terjadinya bencana. Tindakan yang
tepat pada semua tahapan siklus akan berdampak pada :

 kesiapsiagaan yang lebih baik


 peringatan yang lebih baik
 mengurangi kerentanan
 pencegahan bencana (lihat tabel 51-1)

TABEL 51-1 EMPAT FASE MANAJEMEN KEGAWAT DARURATAN BESERTA


TINDAKANYA

MITIGASI Segalah kegiatan yang bertujuan baik untuk


mencegah kegawatdaruratan atau
Dilakuakan sebelum dan sesudah kejadian
meminimalkan munculnya efek yang tidak di
kegawatdaruratan
inginkan dari kegawatdaruratan tersebut,
termasuk penetapan zona dan pembangunan
gedung yang sesui dengan kode dan aturan
serta menaati peraturan penggunaan tanah.

Tindakan: membeli asuransi banjir dan


kebakaran untuk rumah, menempatkan
kamera keamanan disekitar rumah sakit, dan
memasang jendela anti badai merupakan
contoh kegiatan mitigasi.

KESIAPSIAGAAN Semua kegiatan, program dan sistemyang ada


sebelum kegawatdaruratan terjadi dan
Dilakukan sebelum kegawatdaruratan
digunakan untuk mendukung dan
meningkatkan respon terhadap
kegawatdaruratan atau bencana. Edukasi
masyarakat, pemecahan dan pelatihan
merupakan contoh kegiatan yang dilakukan

17
dalam fase ini.

Tindakan: rencana evakuasi dan menyimpan


persediaan makanan dan air merupakan
contoth dari kesiapsiagaan.

TANGGAP DARURAT Seluruh kegiatan dan program yang bertujuan


untuk mengatasi efek lansung suatu
Dilakukan selamakegawatdaruratan
kegawatdaruratan atau bencana, ntuk
berlansung
mengurangi korban dan kerusakan, serta
pemulihan yang cepat. Koordinasi,
peringatan dan evakuasi dan pelayanan
masyarakat merupakan contoh dari tanggap
darurat.

Tindakan: mencari tempat perlindungan dari


tornado atau mematikan gas ketika gempa
bumi adalah contoh kegiatan tanggap darurat.

PEMULIHAN Segala kegiatan yang meliputi pengembalian


sistem-sistem menjadi normal. Pemulihan
Dilakukan setelah kegawatdaruratan
dilakukan untuk mengkaji tingkat kerusakan
dan mengembalian sistem pendukung vital
kehidupan menjadi standar operasional
minimal, pemulihan jangka panjang mungkin
berlangsung selama bertahun-tahun.

Tindakan: mendapat bantuan finansial untuk


membayar perbaikan atau pembersihan
puing-puing adalah kegiatan pemulihan.

Siklus manajemen bencana yang utuh meliputi pembentukan kebijakan dan


perencanaan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat mengurangi penyebab bencana
atau memitigasi efeknya terhadap menusia, benda dan infrastruktur rumah sakit dan
komunitas. Fase mitigasi dan kesiapsiagaan timbul saat pengembangan manjemen
bencana dilakuakan untuk mengantisipasi kejadian bencana. Hal-hal yang harus di
18
petimbangkan saat membuat managemen kegawatdaruratan penting dalam konstribusi
terhadap mitigasi dan persiapan sistem pelayanan kesehatan untuk menghadapi
bencana secara efektif. Empat fase manajemen kegawatdaruratan tidak terjadi secara
terpisah atau secara berurutaan. Pada banyak kesempatan, fase-fase tersebut saling
tumpang tindih dan lamanya suatu fase sangat bergantung pada derajat keparahan
suatu bencana. Mengingat pentingya keempat fae manajemen kegawatdaruratan ini,
unit ini akan membahas masing-masing fase secaa mendalam.

2.3 Kejadian Luar Biasa


1. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Selain itu, Mentri Kesehatan
RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut: “Kejadian berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat
secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”. Istilah wabah dan KLB memiliki
persamaan, yaitu peningkatan kasus yang melebihi situasi yang lazim atau normal,
namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis, gawat atau berbahaya,
melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas.
2. Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010, suatu derah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB
apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
 Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah.
 Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
 Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis
penyakitnya.
 Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per
bulan dalam tahun sebelumnya.

19
 Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
 Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
 Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB)
Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian
Luar Biasa adalah:
a) Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/ wabah
adalah herd immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd
immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh sebagian penduduk yang dapat
menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat kekebalan
individu.Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit terkena
penyakit tersebut.
b) Patogenesitas
Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan
reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
c) Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi mempengaruhi
kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut

4. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa


Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi:
 Penyelidikan epidemilogis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk
mengetahui keadaan penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut, termasuk aspek sosial dan
perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan dan pengendaian yang
efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009).
 Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan
karantina. Tujuannya adalah:

20
1) Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan
mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan.
2) Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi
mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat
menularkan penyakit (carrier).
 Pencegahan dan pengendalian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada
orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena penyakit agar
jangan sampai terjangkit penyakit.
 Pemusnahan penyebab penyakit
Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan terhadap bibit
penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung
bibit penyakit.
 Penanganan jenazah akibat wabah
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus
menurut jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada
orang lain.
 Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat
persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar
mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari
penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada orang lain.
Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta aktif dalam
menanggulangi wabah.
 Upaya penanggulangan lainnya
Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-
masing penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah.
(Menteri Kesehatan RI, 2010)

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Triage adalah proses penolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat


kegawatan kondisinya (Zimmermann dan Herr,2006). Triage juga di
artikan sebagai suatu tindakan pengelompokan penderita berdasarkan pada
beratnya cedera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada airway
(A), breathing (B) dan circulation (C) dengan mempertimbangkan sarana
sumber daya manusia, dan probabilitas hidup penderita.

Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan bencana dapat


melakukan program- program untuk meningkatkan ketahanan masyarakat
( community resilience ) terhadap bencana. Community resilience atau
ketahanan masyarakat dapat dijabarkan sebagai kapasitas
masyarakat/sistem untuk mengatasi gangguan, bergerak dinamis terhadap
perubahan, dan memperhatikan semua fungsi penting, struktur, identitas,
dan masukan.

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di
atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di
pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di
jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada
kesempatan lain akan kami jelaskan tentang daftar pustaka makalah

22
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization . (2010). Appendic Definiton of term.
Retrievedfromhttp://www.wpro.who.int/NR/rdon/4FAEFE0B-0194-40FC-A1F7-
7BA9CC96F0CD/0/44finalDefinitions2010.pdf
2. Undang Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencacana
3. Badan Nasional Pnanggulangan Bencana (2011). Panduaan Perencanann Kontijensi
Menghadapi Bencana (edisi kedua). Diunduh dari
http://www.bnpb.go.id/ViewerJS/uploads/migrations/pubs/501.pdf
4. Departemen Kesehatan RI (2007). Pedoman Tknis Penanggulangan Krisi Kesehatan
Akibat Bencana. Jakarta
5. Plough A, et al, Building Community Disaster Resilience: Prespectives From a Large
Urban Country Departemen ofPublic Health. Am J Public Health. 2013; Jully 103(7):
1190-97. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc
6. World Helath Organization and International Council of Nurses. (2009). ICN
Framework of Disaster Nursing Competencies
7. The Join Commission. (2010). 2011hospital acreditation strandart, Oak Brook, II:
Joint Commission Resources.
8. C. Long Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung.
9. Nurjannah, dkk. 2013. Manajemen Bencana. Penerbit Alfa Beta, Bandung.

23

Anda mungkin juga menyukai