Anda di halaman 1dari 15

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Indonesia English ‫اﻟﻌﺮﺑﻴﺔ‬ 中文简体

AL-QU'AN DAN SAINS MODERN*

Dr. HM. Zainuddin, MA


Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 13197 views

Para ilmuwan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam merespon sains
modern: Pertama, kelompok yang menganggap bahwa sains modern bersifat universal dan
netral dan semua sains tersebut dapat diketemukan dalam al-Qur’an. Kelompok ini disebut
kelompok Bucaillian, pengikut Maurice Bucaille, seorang ahli bedah Perancis dengan bukunya
yang sangat populer, The Bible, the Quran and Science; Kedua, kelompok yang berusaha
untuk memunculkan persemakmuran sains di negara-negara Islam, karena kelompok ini
berpendapat, bahwa ketika sains berada dalam masyarakat Islam, maka fungsinya akan
termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam
(lihat Sardar, 1988:167-171). Tokop-tokoh seperti Ismail Raji Al-Farauqi, Naquib Al-Attas,
Abdussalam dan kawan-kawan bisa diklasifikasikan dalam kelompok ini, dengan konsep
Islamisasi-nya. Ketiga, kelompok yang ingin membangun paradigma baru (epistemologi)
Islam, yaitu paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku. Paradigma pengetahuan
memusatkan perhatian pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam yang menyangkut
pencarian bidang tertentu; dan paradigma perilaku menentukan batasan-batasan etika di
mana para ilmuwan dapat dengan bebas bekerja (Sardar, 1988:102). Paradigma ini berangkat
dari al-Qur’an, bukan berakhir dengan al-Qur’an sebagaiman yang diterapkan oleh Bucaillisme

(lihat, Sardar:169). Kelompok ini diwakili oleh Fazlurrahman, Ziauddin Sardar dan kawan-
kawan.

Upaya pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam memang bukan hal baru, melainkan sudah
dilakukan oleh ulama-ulama sejak dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif mereka
mengenai  ”apakah al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan atau hanya sebagai
petunjuk agama saja?” Dari sini lantas muncul dua kelompok. Kelompok pertama misalnya
seperti yang dikatakan Al-Ghazali (lihat Ihya’ Ulumuddin, jilid V : 1). Beliau mengatakan, bahwa
seluruh ilmu tercakup dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur’an adalah penjelasan
esensi-esensi, sifat–sifat dan perbuatan-Nya. al-Qur’an itu laksana lautan yang tak bertepi,
dan jika sekiranya lautan itu menjadi tinta untuk menjelaskan kata-kata Tuhanku, niscaya
lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir (lihat Al-Ghazali, 11329 H: 9, 32).

As-Suyuti memiliki pandangan yang sama dengan mengatakan, bahwa al-Qur’an itu
mengandung seluruh ilmu-ilmu klasik dan modern. Kitab Allah itu mencakup segala
sesuatunya. Tidak ada bagian atau problem dasar suatu ilmu pun yang tidak ditunjukkan di
dalam al-Qur’an (As-Suyuthi, 1979, I: 1).

Kelompok kedua, seperti yang diwakili oleh As-Syatibi mengatakan, bahwa orang-orang salih
zaman dulu (para sahabat) tidak berbicara tentang bentuk-bentuk ilmu, padahal mereka lebih
memahami al-Qur’an (lihat Az-Zahabi, 1987: 485, 489, Quraish Shihab, 1992: 41).

Ulama’ masa kini yang tidak setuju dengan adanya konsep sains dalam al-Qur’an
berpendapat, bahwa al-Qur’an itu kitab petunjuk di dunia maupun di akhirat, bukan
ensiklopedi sains. Mencocok-cocokkan al-Qur’an dengan teori-teori sains yang tidak mapan
(selalu berubah-ubah) adalah sangat mengancam eksistensi al-Qur’an itu sendiri (Ghulsyani,
1991: 141).

Perbedaan ini juga akibat pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an dalam surat An-Nahl:
89:

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang berserah diri”.

            Dalam konteks ini saya sependapat dengan Mushthafa Al-Maraghi yang  berpendapat,
bahwa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip umum, artinya seseorang dapat menurunkan

seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin
diketahuinya dengan bantuan prinsip-prinsip tersebut. Dan kewajiban ilmuwan adalah
menjelaskan rincian-rincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakat. Adalah
penting menafsirkan makna ayat dalam sorotan sains. Tetapi juga tidak boleh berlebih-
lebihan menafsirkan fakta-fakta ilmiah dengan mencocok-cocokkan al-Qur’an. Bagaimana
pun jika makna lahiriah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiah yang telah mantap, kita
menafsirkan dengan bantuan fakta itu. (Ghulsyani, 1991: 143).

Meski demikian, sebagaimana yang dijelaskan Ghulsani (1991:144), bahwa walaupun al-
Qur’an bukanlah merupakan ensiklopedi sains, namun yang perlu diperhatikan ada pesan
penting di dalam ayat-ayat yang melibatkan fenomena, dan para ilmuwan Muslim harus
memusatkan perhatiannya pada pesan atau misi tersebut dari pada melibatkan diri pada
aspek-aspek keajaiban al-Qur’an dalam bidang sains.

Menurut Quraish Shihab (1992:41), membahas hubungan al-Qur’an dengan ilmu


pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran-kebenaran teori ilmiah,
melainkan pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan
kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. 
Menurut Shihab, mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting dari pada
menemukan teori ilmiah, karena tanpa mewujudkan iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang
menemukan teori tersebut akan mengalami nasib seperti  Galileo yang menjadi korban hasil
penemuannya (Shihab, 1992: 44).

Jadi, kembali kepada penafsiran ayat al-Qur’an atau juga Al-Hadis, sesungguhnya kita hendak
mengatakan bahwa nas-nas itu memiliki perhatian besar terhadap ilmu, bahwa agama
(Islam) itu memiliki ruh, concern terhadap ilmu dan sikap keilmuan. Dan seperti yang
disebutkan oleh Kuntowijoyo (1991:329-331), bahwa kita ini ingin membangun paradigma al-
Qur’an dalam rangka memahami realitas dengan berusaha semaksimal mungkin untuk
menempatkan preposisi-preposisi al-Qur’an tetap sebagai “unsur konstitutif” yang sangant
berpengaruh. Ini yang terpenting.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju) karena dua
hal: pertama, karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan
keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu 
pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar
mereka (Bandingkan dengan Ghallab: 121). Mengenai pergumulan dan akulturasi budaya
tersebut memang ditunjang oleh ajaran Islam itu sendiri yang inklusif, terbuka.

Dalam sejarahnya belum pernah ada agama yang  menaruh perhatian  sangat besar dan
lebih mulia terhadap ilmu kecuali Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan
agama yang lain adalah perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu
menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Oleh karena
itu ilmuwan pun mendapatka perlakuan yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan
kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan
mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur (untuk ini lihat
Abdul Halim Mahmud, 1979: 61-62).

            Dalam al-Qur’an, kata ‘ilm dan kata jadiannya disebutkan kurang lebih mencapai 800
kali. Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh al-
Qur’an al-Karim (lihat Fuad Abdul Baqi, tt.:469-481) melaporkan, bahwa kata ‘ilm (ilmu) dalam
al-Qur’an baik dalam bentuknya yang definitif (ma’rifat) maupun indefinitif (nakirah) terdapat
80 kali, sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun
(mereka menegetahui), ‘alim (sangat tahu) dan seterusnya, disebutkan beratus-ratus kali.
Kata ‘aql (akal) tidak terdapat dalam bentuk nomina, kata benda (mashdar), tetapi yang ada
adalah kata al-albab sebanyak 16 kali. Dan kata al-nuha sebanyak 2 kali. Adapun kata yang
berasal dari kata ‘aql itu sendiri berjumlah 49. Kata fiqh (paham) muncul sebanyak 2 kali, kata
hikmah (ilmu, filsafat) 20 kali, dan kata burhan (argumentasi) sebanyak 20 kali. Belum
termasuk kata-kata yang berkaitan dengan ‘ilm atau fikr seperti kata unzuru (perhatikan,
amatilah, lihatlah), yanzhurun (mereka memperhatikan, mereka mengamati dan seterusnya)
(Al-Qardhawi, 1986:1-2).

Selain itu, jika kita telaah kitab-kitab hadis, semuanya penuh dengan kata-kata ‘ilm tersebut.
Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih karya Al-Bukhari kita dapati 102 hadis. Dalam Shahhih Muslim
dan yang lain seperti al-Muwatha’, Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu Daud, al-Nasai, Ibn Majah
terdapat pula bab ilmu. Belum lagi kitab-kitab yang lain, misalnya Al-Faturrabbani yang
memuat sebanyak 81 hadis tentang ilmu, Majma’ az-Zawaid memuat 84 halaman, al-
Mustadrak karya An-Naisaburi memuat 44 halaman, al-Targhib wa ‘l-Tarhib karya Al-Wundziri
memuat 130 hadis sedangkan kitab Jam’ al Fawaid Min Jami’ al-Ushul wa Majma’ al-Zawaid

karya Sulaiman memuat 154 hadis tentang ilmu tersebut (Al-Qardhawi, 1986, lihat juga
Weinsink, al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits al-Nabawi, Leiden, 1962: 312-339).

Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan pentingnya


membaca, menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru:

 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq: 1-5).

Sebagaimana yang dituturkan oleh Thanthawi Jauhari (1350 H: 217), bahwa bertambahnya
kemuliaan itu adalah karena ilmu, dan Allah adalah Zat yang menyebarkan dan mengajarkan
ilmu itu dengan pena. Tidakkah  menakjubkan, bahwa Nabi adalah seorang ummi, sementara
surat pertama kali yang diturunkan menyangkut masalah “pengajaran” dan “pena”? Dan
bagaimana kemudian Nabi itu memelihara ilmu dengan menyuruh kepada para sahabat
untuk mencatat dan menyebarluaskan kepada yang lain? Bukankah perkembangan ilmu
pengetahuan begitu meluas setelah keutusan Nabi?

Sebagian ahli tafsir berpendapat, ar-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan “iqra”
dalam ayat pertama itu berarti “belajar” dan “iqra” yan kedua berarti “mengajar”. Atau yang
pertama berarti “bacalah dalam shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu”
(Binti Syathi’, 1968:20. Bandingkan  dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul Halim
Mahmud, 1979:55-56).

Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “qalam” adalah “tulisan”. Karena
tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka
tidaklah tegak persoalan agama dan dunia (Mahmud, 1979:23  lihat juga Abu Hayan, tt.: 492).

Dan tentang penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa Malaikat pun diperintahkan
untuk sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama
benda itu, jika kamu memang orang-orang yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci

Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-32).

Al-Qur’an juga menandaskan, bahwa tidaklah sama antara mereka yang mengetahui dengan
yang tidak mengetahui:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahuidengan orang-orang yang tidak


mengetaui?’. Sesungguhnya orang yang berakallah orang yang dapat menerima pelajaran”
(QS. Ak-Zumar: 9).

Dan perumpaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali
orang-orang yang berilmu” (QS. Al-Ankabut: 43).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (QS.
Al-Fathir: 28).

Dan masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang mwenyinggung masalah yang berkaitan dengan
ilmu itu. Dalam Hadis Nabi juga  disebutkan antara lain:

“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam” (HR. Ibn Majah).

 “Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali
(HR. Bukhari dan Muslim).

 “Carilah ilmu walau sampai di negeri Cina”.

Hadis di atas sanatnya dhaif tapi matannya populer (lihat catatan kaki Ihya’ Ulumuddin, 1975,
juz 1: 15).

“Kalimat hikmah (ilmu) itu bagaikan (barang) hilangnya orang Mukmin. Dimana pun orang
menemukan, maka ia lebih berhak atasnya”.

Hadis di atas sanadnya dhaif tapi maknanya shahih (Al-Qardhawi, 1989: 56).

“Wahai sekalian manusia belajarlah. Ilmu hanya diperoleh melalui belajar…(HR. Ibn Abi ‘Ashim
dan At-Thabrani).

 “Para ulama’ itu adalah pewaris para Nabi (HR. Ibn Majjah).

Dan masih banyak lagi hadis yang menyebutkan tentang hal ini. Hanya di sini ada persoalan
yang cukup menjadi perhelatan pagi para ahli (ulama’). Persoalannya adalah, “ilmu yang
manakah yang wajib dicari atau diperoleh oleh setiap Muslim itu? Apakah ada bentuk ilmu
khusus, atau ada ilmu prioritas?”.

Dari sinilah lantas setiap kelompok mengklaim pendapatnya sendiri. Para ahli kalam
mengakui belajar ilmu kalam merupakan kewajiban yang dituntut (di-fardhukan), sedang ahli
fiqh juga demikian, bahwa ilmu yang diwajibkan adalah ilmu fiqh. Dan kelompok ahli tafsir
dan juga ahli hadis mengakui kewajiban yang ditentukan adalah tafsir dan hadis. Demikian
juga ahli tasawuf dan seterusnya. Dalam hal ini Al-Ghazali menghimpun sekitar 20 pendapat
yang berbicara tentang ilmu yang difardhukan ini (lihat Al-Ghazali, 1975, I: 15, lihat pula Sunan
Ibn Majjah, I: 98).

Al-Ghazali sendiri lalu involved terhadap penggolongan ilmu tersebut, sehingga ia sangat
populer dengan pembagiannya mengenai “ilmu agama dan non agama”, ilmu yang fardhu ‘ain
dan fardhu kifayah”, “ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela” (Al-Ghazali, 1975: 28).

Sebagaimana yang dikutip oleh Mahdi Ghulsyani (1991: 43), Shadrudddin Syirazi dalam
komentarnya terhadap “wajib bagi setiap Muslim”, menuturkan:

1. Bahwa kata ilmu di sini mengandung makna yang luas dan umum (generik) yang
mencakup spektrum arti yang telah digunakan dalam sunnah Nabi. Hadis tersebut
bermksud untuk menetapkan bahwa tingkat ilmu apapun seorang Muslim harus
berjuang untuk mengembangkan lebih jauh;
2. Hadis tersebut mengisyaratkan makna bahwa seorang Muslim tidak akan pernah
akan keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu;
3. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam dirinya
sendiri; karena ilmu laksana cahaya yang selalu dibutuhkan. Ilmu dianggap tercela
karena akibat-akibat tercela yang dihasilkan.

            Banyak para ahli belakangan ini yang tidak sependapat dengan klasifikasi ilmu yang
dikhotomis yang dibuat oleh Al-Ghazali. Ghulsyani sendiri misalnya mengatakan, bahwa ilmu
yang wajib dicari oleh setiap Muslim adalah ilmu yang menyangkut posisi manusia pada hari
akhirat dan yang mengantarkan kepada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabi-
Nya, utusan-utusan-Nya, sifat-sifat-Nya, hari akhirat dan hal-hal yang menyebabkan dekat
dengan-Nya (Ghulsyani, 1991: 44).

Murthadha Muthahhari dengan benar telah menunjukkan, bahwa klafisikasi yang dikhotomis
itu bisa menyebabkan miskonsepsi, bahwa “ilmu non-agama” terpisah dari Islam dan nampak
tidak sesuai dengan keuniversalan agama Islam. Kelengkapan dan kesempurnaan Islam,
sebagai suatu agama menuntut agar setiap lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat
Islam dianggap sebagai bagian dari kelompok “ilmu agama” (Ghulsyani, 1991:44 dan lihat
juga Ahmad Anwar Anees, 1991:77, Abdul Halim Mahmud, 1979: 47).

Dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Al-Qardhawi (1989: 99-100), bahwa ilmu yang wajib
dipelajari setiap Muslim adalah ilmu yang diperlukan dan yang dituntut oleh agama dan
dunianya. Persoalan apakah jenis ilmunya, adalah hal baru yang tidak membawa segi ibadah.
Yang penting sesungguhnya adalah essensinya, label dan nama bukanlah persoalan.
Ghulsyani (1991:44-46) dapat menunjukkan, bahwa konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang generik dengan bukti al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai berikut ini:

“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. Al-Zumar: 9).

“Dia mengajarkan manusia apa yang belum ia ketahui” (QS. Al-‘Alaq: 5).

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama, kemudian mengemukakannya


kepada Malaikat dan berfirman: ‘sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu
memang orang yang benar”  (QS. Al-Baqarah:31).

Lihat juga misalnya surat Yusuf: 76, Al-Nahl: 70 dan hadis Nabi:

“Barang siapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan ke
surga”.

“Orang yang paling berharga adalah orang yang paling banyak ilmunya…..”.

            Nabi Sulaiman memandang bahwa pengetahuan bahasa burung (binatang) sebagai
rahmat atau kemurahan Allah (lihat Q.S Al-Naml: 15-16). Dan sangat jelas bahwa Cina pada
saat itu bukan pusatnya studi ilmu agama Islam, akan tetapi lebih terkenal dengan
industrinya.


            Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus
menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar
daripada manfaatnya (ilmu sihir, forkas dan sebagainya), sebagaimana sabda Nabi: “sebaik-
baik  ilmu adalah ilmu yang bermanfaat” (Ghusyani,1991:44, dan bandingkan dengan Al-
Qardhawi, 1989: 31-32).

Bagi penulis sendiri memang persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tetapi lebih
kepada “kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut (karena ilmu sebagai instrumen, bukan
tujuan). Dan apalagi jika kita sepakat, pada dasarnya sumber ilmu itu dari Allah. Jadi
terminologi “ilmu agama” dan “ilmu umum, non agama” itu peristilahan sehari-hari dalam
pengertian sempit saja. Hanya memang, pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa
sebagai seorang Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan ibadah
mahdhah itu, misalnya ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, yang ilmu
tersebut sering disebut ilmu syar’iah/fiqh; dan ilmu tentang ketuhanan/keimanan kepada
Allah SWT, yang ilmu tersebut sering disebut sebagai ilmu tauhid/ kalam. Ilmu-ilmu inipun
sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan kritis tampak sangat berkaitan dan tak
terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini disebut “ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial
dan humaniora dan juga ilmu alam. Karena semua sistem peribadatan (al-’ibadah, worship)
didalam Islam mengandung dimensi ajaran yang tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT
sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam sebagai yang dicipta (al-makhluq).
Dan hubungan ini dalam al-Qur’an disebut sebagai hablun min Allah wa hablun min al-nas,
hubungan vertikal dan hubungan horizontal.  Di sini rukun iman dalam ajaran Islam lebih
berorientasi pada hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang rukun
Islam lebih berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia dengan manusia yang lain
ataupun alam semesta. Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat dipisahkan tak ubahnya
seperti hubungan ilmu dan amal.

Pada akhirnya semua harus bermuara pada konsep “tauhid”, kesadaran Yang Kudus. Oleh
ebab itu Al-Ghazali juga benar ketika mengatakan, bahwa ilmu muamalah (karena ia juga
membagi ilmu yang mukasyafah) yang pertama diwajibkan bagi orang mukallaf adalah ilmu
tauhid, yaitu belajar dua kalimat syahadat meskipun dengan taklid, kemudian setelah itu
belajar thaharah dan shalat (fiqh) (Al-Ghazali, 1975, I, : 25).

            Pemikir Islam abad duapuluh khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan
Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu dalam dua katageri: 
1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam
al-Qur’an dan al-Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya;
2. Ilmu yang dicari (inquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya
(teknologi) yang dapat berkembang secara kualitatif (Quraish Shihab, 1992: 62-63).

Al-Qur’an Dan Kaum Intelektual

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah sendiri, bahwa al-Qur’an diantara fungsinya  adalah
sebagai hidayah, peringatan, syifa’, dan rahmat. Fungsi al-Qur’an sebagai hidayah itu
dijelaskan di antaranya dalam surat Al-Baqarah: 2 dan185. Fungsi al-Qur’an sebagai
peringatan dijelaskan dalam surat Al-Furqan:1, Shad:87, Takwir:27 dan fungsi al-Qur’an
sebagai obat sakit jiwa (psikosis-neurosis) dan rahmat dijelaskan dalam surat al-Isra’: 82.

Pertanyaannya kemudian, kapan al-Qur’an menjadi hidayah, dan syifa’ bagi manusia? Al-
Qur’an dapat berfungsi sebagai hidayah bagi manusia setidaknya dengan tiga syarat:
Pertama, selagi al-Qur’an itu di baca. Al-Qur’an sendiri artinya bacaan, kitab yang dibaca;
kedua, selagi al-Qur’an itu dikaji, direnungkan dan dihayati maknanya; ketiga, selagi al-Qur’an
itu diamalkan isinya dan diikuti petunjukknya.

Jika ketiga hal di atas tidak dipenuhi, maka al-Qur’an tidak akan memberikan petunjuk, obat
maupun rahmat bagi manusia. Mana mungkin al Qur’an bisa memberikan hidayah kepada
manusia tanpa manusia membaca dan menghayatinya? Ibarat rambu-rambu lalu lintas,
mana mungkin pengendara kendaraan bisa aman di jalan/ tahu arah tanpa ia bisa membaca
dan memahami rambu-rambu tersebut? (dan tentunya harus mentaatinya).

            Oleh sebab itu, orang yang banyak bergelimang dengan maksiat adalah orang yang
tidak mendapat petunjuk al-Qur’an, yaitu orang-orang yang tidak mau dan mampu membaca
dengan benar, tidak mau menghayati maknanya dan tidak pula mengamalkannya.

            Sebagai orang terpelajar, tentu kita harus berusaha mampu membaca dengan arti
yang sesungguhnya, yaitu mampu menangkap isyarat atau makna al-Qur’an tersebut, untuk
kemudian mau mengamalkannya. Jangan sampai kita termasuk orang yang dilaknat al-
Qur’an itu sendiri sebagaimana  yang disinggung oleh Nabi:

“Banyak orang membaca al-Qur’an, tetapi justru al-Qur’an melaknatinya”. Kenapa? Karena
mereka tidak menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan hidupnya, tidak menjadikan al-Qur’an

sebagai akhlaknya. Oleh sebab itu orang yang terdidik (intelektual) amat potensial  untuk
mendekatkan diri (takwa) kepada Allah, sebab ia mau membaca dan mengkaji maknanya,
dan lebih dari itu adalah mengamalkannya. Inilah manusia ulu al-‘ilmi, ahl al-zikri  dan  ulul
albab.

            Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut informasi ilmu
pengetahuan maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak. Terkait dengan
informasi ilmu pengetatahuan, tidak sedikit dari para akademisi, baik akademisi Timur
maupun Barat yang mengakui akan kemukjizatan al-Qur’an. Dan tidak sedikit dari kalangan
mereka yang kemudian tunduk, khudhu’  wal- inqiyad,  alias menjadi muslim. Bahkan yang
tidak muslim pun bisa mendapatkan informasi ilmiah dari al-Qur’an, sebagaimana yang
dialami oleh para orientalis itu.

            Jika para orientalis yang tidak beriman dengan al-Qur’an mereka mau mempelajari
secara serius untuk memperoleh informasi ilmiah, kenapa kita tidak? Kenapa selama ini kita
banyak mengetahui informasi ilmiah justru lewat orang Barat yang sekuler, bukan dari al-
Qur’an yang milik kita sendiri yang nyata-nyata di dekat kita, di telinga kita. Suatu contoh, kita
tahu bahwa matahari berputar pada porosnya, bahwa asal muasal alam ini air,  adalah dari
ilmuwan Barat dan Filosof Yunani (Thales). Kenapa tidak dari al-Qur’an yang kita baca setiap
hari? Misalnya dalam surat Yasin dan al-Anbiya’ itu Allah berfirman:

 “Dan matahari berputar pada porosnya. Itulah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui” (QS. Yasin:38).

“Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ini  berasal dari air” (QS. Al-Anbiya’: 36).

Seorang filosof Perancis yang bernama Al-Kiss Luazon menegaskan: “al-Qur’an adalah kitab
suci, tidak ada satu pun masalah ilmiah yang terkuak di zaman modern ini yang bertentangan
dengan dasar-dasar Islam”. Dr. Reney Ginon --setelah masuk Islam kemudian berganti nama,
Abdul Wahid Yahya-- juga bercerita:

 “Setelah saya mempelajari secara serius ayat-ayat al-Qur’an dari kecil  yang terkait dengan
ilmu pengetahuan alam dan medis, saya menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dan
kompatibel dengan ilmu pengetahuan modern. Saya masuk Islam karena saya yakin bahwa
Muhammad saw. datang ke dunia ini dengan membawa kebenaran yang nyata, seribu tahun


jauh sebelum ada guru umat manusia ini”. Selanjutnya ia menegaskan: “Seandainya para
pakar dan ilmuwan dunia itu mau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an secara serius yang
terkait dengan apa yang mereka pelajari, seperti yang saya lakukan, niscaya mereka akan
menjadi muslim tanpa ragu --jika memang mereka berpikir objektif --katanya” (Abdul Muta’al,
La Nuskha fi al-Qur’an, Kairo, Maktabah al-Wahbiyyah, 1980 h. 8).

            Itulah kehebatan al-Qur’an, memang benar ia adalah mukjizat Nabi Muhammad saw.
yang terbesar. Al-Qur’an tidak hanya sekadar informasi ilmiah, tetapi ia memiliki fungsi
petunjuk, rahmat dan obat bagi kita. Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa memberikan
syafaat di hari kiamat, Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa menjadi penerang di rumah kita
di tengah-tengah keluarga kita. Janganlah kita termasuk orang yang jauh dari al-Qur’an
sehingga ibarat rumah kosong, tanpa penghuni, sebagaimana yang ditegaskan Nabi:

____________

            *Makalah disampaikan dalam Bedah Film Membuka Tabir Keajaiban al-Qur'an dalam
Penemuan Ilmiah Modern HMJ PAI DEMA FT IKAHA Tebuireng, Jombang, 9 Juni 2004.

            ** Dosen UIN Malang.

DAFTAR PUSTAKA

            .

Abdul Baqi, Fuad., tt. Al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar Ihya at-
Turats al-‘Arabi.

Abdul Muta’al. 1980.  La Nuskha fi al-Qur’an, Kairo, Maktabah al-Wahbiyyah.

Al-‘Aini, Ahmad. tt. Umdat al-Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari, jilid II, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Faruqi, Ismail R .1984. Islamisation of Knowledge, terj. Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka.

Al-Ghazali .1329.  Jawahir al-Qur’an, Mesir: Maktabah Nahdhah.

Al-Ghazali .1975. Ihya ‘Ulum al-Din, jilid I & V, Libanon: Dar al-Ma’arif.

Al-Suyuthi,  Jalaluddin .1979.  Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qardhawi, Yusuf.  989. Al-Rasul wa 'l-Ilm, terjemahan Kamaluddin A. Marxuki, Bandung:
Rasda.

Al-Zahabi  .1976.  Al-Tafsir wa ‘l-Mufassirun, Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah.

Anees, Munawar Ahmad, 1991, “Menghidupkan Kembali Ilmu” dalam Al-Hikmah, Juranal
Studi-studi Islam, Juli-Oktober, Bandung:

Binti Syathi’, ‘Aisyah .1968.  At-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, juz III, Mesir: Dar al-Ma’arif.

Ghallab, Muhammad .tt. Al-Ma’rifah ‘Inda Mufakkir al-Muslimin, Mesir: Dar at-Ta’lif  wa at-
Tarjamah.

Ghulsyani, Mahdi .1991. The Holy Qu’an and The Science of Nature, terj. Agus Effendi,
Bandung: Mizan.

Hayan, Abu .1978.  Al-Bahr al-Muhith, juz XIII, Beirut: Dar al-Fikr.

Jauhari, Thanthawi .1350. Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, jilid VIII, Mesir: Musthafa Bab
al-Halabi.

Koentowibisono., 1985. Ilmu Filsafat dan Aktualisasinya dalam Pembangunan, Yogyakarta:


UGM

Maghniyah, Jawad .1968. At-Tafsir al-Kasyif, jilid I, Beirut: Dar al-Malayin.

Mahmud, Abdul Halim .1979. Mauqif al-Islam Min al-Fanni, wal-’ilmi wal-falsafati, Cairo: Dar
As-Sya’bi.

Majah, Ibn.  tt.  Sunan Ibn Majah, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr.

Sardar, Ziauddin .1988. Islamic Future, Malaysia: Selangor Darul Ehsan.


Weinsink. 1962. al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits al-Nabawi, Leiden,.

(Author)


Berita Terkait

UIN MALANG PACU PEJABAT ESELON III LP2M:


PERCEPATAN GURU DAN IV SIAP PENEL
BESAR DIASESMEN SEMIN

FAKULTAS FAKULTAS FA

Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Humaniora Sai


Pendidikan Agama Islam Bahasa Dan Sastra Arab
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Sastra Inggris
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Psikologi
Pendidikan Bahasa Arab Psikologi
Pendidikan Islam Anak Usia Dini Ekonomi T
Manajemen Pendidikan Islam Manajemen T
Tadris Bahasa Inggris Akuntansi
Tadris Matematika Perbankan Syari'ah Ked
Syariah
Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Hukum Bisnis Syari'ah
Hukum Tata Negara
Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

Copyright © UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2017

Anda mungkin juga menyukai