Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

GRAVES’ OPHTHALMOPATHY

Oleh :
Christine Firsta Vella
K1A1 13 145

Pembimbing :
dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya , Sp. M.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
GRAVES’ OPHTHALMOPATHY

Christine Firsta Vella, Nevita Yonnia Ayu Soraya

A. Pendahuluan

Thyroid eye disease adalah penyakit inflamasi orbital yang berpotensi

mengancam penglihatan. Thyroid eye disease juga dikenal sebagai Graves’

Ophthalmopathy dinamai oleh Robert J. Graves, seorang doketr Irlandia

yang pertama kali menggambarkan tiroktosikosis pada seorang wanita yang

mengalami gondok disertai detak jantung yang cepat dan exophthalmus.

Sebagian besar pasien dengan Thyroid eye disease memiliki bukti biokimia

hipertiroidisme dengan penyebab paling umum adalah Graves Disease.

Namun Thyroid eye disease dapat terjadi pada pasien yang memiliki

hipotiroidisme atau eutiroid.1

Graves’ Ophthalmopathy adalah kondisi yang relatif jarang, dengan

kejadian 2.9 hingga 6 kasus per 100.000 populasi per tahun. Penyakit ini

terutama menyerang wanita. Sebagian besar masalah yang menyebabkan

terjadinya Graves’ Ophthalmopathy adalah karena keterlambatan dalam

memulai pengobatan.2

Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien Graves’ Ophthalmopathy

dapat bervariasi, tergantung pada stadiumnya. Awalnya pada stadium akut

atau subakut akan ditemukan tanda-tanda inflamasi, setelah itu timbul tanda

dan gejala lain yang menyertai sesuai dengan stadium yang mengenai

pasien, umumnya akan ditemukan fibrosis. Sebagian besar penderita Graves

akan mengunjungi ahli penyakit dalam karena keluhan kardiovaskuler,


sebagian lain ke ahli bedah atau ahli THT karena keluhan benjolan di leher

yang jelas, dan sebagian lagi akan mengunjungi ahli mata akibat kelainan

mata khususnya eksoftalmus.3

B. Anatomi dan Fisiologi4,5

Rongga orbita secara skematis digambarkan sebagai piramida dengan

empat dinding yang mengerucut ke posterior. Dinding medial orbita kiri dan

kanan terletak parallel dan dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita,

dinding lateral dan medialnya membentuk sudut 45 derajat, menghasilkan

sudut siku-siku antara kedua dinding lateral. Bentuk orbita dianalogikan

sebagai buah pir, dengan nervus optikus sebagai tangkainya. Diameter

lingkar anterior sedikit lebih kecil daripada diameter region di bagian dalam

tepian sehingga terbentuk bingkai pelindung yang kokoh. Bola mata orang

dewasa normal hampir bulat, diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm.

Gambar 1. Anatomi Bola Mata4


1. Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata dan permukaan anterior

sklera. Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak dan

dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian, yaitu

konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra),

konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata)

dan konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan

antara bagian posterior palpebra dan bola mata).

2. Sklera dan Episklera

Sklera merupakan pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian

luar yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan

berwarna putih serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan

duramater nervus optikus di posterior. Permukaan luar sclera anterior

dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus, episklera, yang

mengandung banyak pembuluh darah yang memperdarahi sklera. Lapisan

berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah lamina fuska,

yang membentuk lapisan luar ruang suprakoroid.

3. Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening

mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan

terdiri dari 5 lapisan. Lapisan tersebut antara lain lapisan epitel, lapisan

Bowman, stroma, membran Descement dan lapisan endotel. Batas antara


sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea juga merupakan lensa

cembung dengan kekuatan refraksi sebesar +43 dioptri.

Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,

humour aquos dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen

sebagian besar dari atmosfir. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari

cabang pertama nervus kranialis V. Transparansi kornea dipertahankan

oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas dan deturgensinya.

4. Traktus Uvealis

Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliaris dan koroid. Bagian

ini merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea

dan sklera struktur ini ikut memperharahi retina.

a. Iris

Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa

permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil.

Iris memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang. Di dalam

stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Iris mengendalikan

banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada

prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat

aktivitas parasirnpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III

dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.

b. Corpus Ciliare

Corpus ciliare, yang secara kasar berbentuk segitiga pada

potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid


ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Corpus ciliare terdiri atas zona anterior

yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang

datar, pars plana (4 mm). Processus ciliares dan epitel siliaris

pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor.

Musculus ciliaris, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal,

sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk

mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di

lembah-lembah di antara processus ciliares. Otot ini mengubah

tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai

fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh

dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal musculus ciliaris

menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar

porinya. Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus ciliare

berasal dari circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris

melalui saraf-saraf siliaris.

c. Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan

sklera. Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar,

sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid,

semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid

dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan

melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di

sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh
sklera. Ruang suprakoroid terletak di antara koroid dan sklera. Koroid

melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah

anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare. Kumpulan

pembuluh darah koroid mendarahi bagian iuar retina yang

menyokongnya.

5. Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonvenks‚ avaskular, tak berwama‚ dan

hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9

mm. Lensa tergantung pada zonula di belakang iris; zonula

menghubungkannya dengan corpus ciliare. Di sebelah anterior lensa

terdapat aqueous humor; di sebelah posteriornya, vitreus. Kapsul lensa

(lihat bawah) adalah suatu membran semipermeabel (sedikit lebih

permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memperbolehkan air dan

elektrolit masuk.

Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa

lebih keras daripada korteksnya. Seiring dengan bertambahnya asia, serat-

serat lamelar subepitel terus diproduksi sehingga lensa perlahanlahan

menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk

dari lamellae konsentris yang panjang. Lensa ditahan di tempatnya oleh

ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula (zonula Zinnii),

yang tersusun atas banyak fibril; fibril-fibril ini berasal dari permukaan

corpus ciliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa. Tidak ada serat nyeri,

pembuluh darah, atau saraf di lensa.


6. Aqueous Humor

Aqueous humor diproduksi oleh corpus ciliare. Setelah memasuki

bilik mata belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik

mata depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan.

7. Sudut Bilik Mata Depan

Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara komea perifer

dan pangkal iris. Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah garis

Schwalbe, anyaman trabekula (yang terletak di atas kanal Schlemm), dan

taji sklera (scleral spur). Garis Schwalbe menandai berakhirnya endetel

komea. Anyaman trabekula berbentuk segitiga pada potongan melintang,

dengan dasar yang mengarah ke corpus ciliare. Anyaman ini tersusun atas

lembar-lembar berlubang jaringan kolagen dan elastik, yang membentuk

suatu filter dengan pori yang semakin mengecil ketika mendekati kanal

Schlemm. Bagian dalam anyaman ini, yang menghadap ke bilik mata

depan, dikenal sebagai anyaman uvea; bagian luar‚ yang berada di dekat

kanal Schlemm, disebut anyaman komeoskleral. Serat-serat longitudinal

otot siliaris menyisip ke dalam anyaman trabekula tersebut. Taji sklera

merupakan penonjolan sklera ke arah dalam di antara corpus ciliare dan

kanal Schlemm, tempat iris dan corpus ciliare menempel. Saluran-saluran

eferen dari kanal Schlemm (sekitar 300 saluran pengumpul dan 12 vena

aqueous) berhubungan dengan sistem vena episklera.


8. Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan

semitransparan yang melapisi bagian dalam duapertiga posterior dinding

bola mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare

dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar

retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina

sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid, dan sklera.

Di sebagian besar tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah

hingga terbentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasi

retina. Namun pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitel

pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan subretina

pada ablasi retina dapat dibatasi.

9. Vitreus

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jemih dan avaskular yang

membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan

yang dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optikus. Permukaan luar

vitreus -membran hyaloid -normalnya berkontak dengan struktur-struktur

berikut: kapsul lensa posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan

epitel, retina, dan caput nervi optici. Basis vitreus mempertahankan

penempelan yang kuat seumur hidup ke lapisan epitel para plana dan

retina tepat di belakang era semta. Di awal kehidupan. vitreus melekat

kuat pada kapsul lensa clan caput nervi optici, tetapi segera berkurang di

kemudian hari. Vitreus mengandung air sekitar 99% Sisa 1% meliput: dua
komponen, kolagen clan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan

komistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuarmya mengikat

banyak air.

10. Otot-otot Ekstraokuler

a. Otot rektus medial

Otot rektus medial dipersarafi oleh divisi yang lebih rendah dari saraf

okulomotor (saraf kranial ketiga). Otot ini memiliki busur kontak skleral

terpendek (6mm) dan panjang tendon otot rektus terpendek (4 mm). Dari

semua otot-otot ekstraokular, rektus medialis posisinya paling dekat

dengan limbus dan karena itu rentan terhadap trauma selama prosedur

bedah segmen anterior. Rektus medialis juga unik, karena merupakan

satu-satunya otot rektus tanpa koneksi fasia ke otot miring yang

berdekatan. Kurangnya koneksi otot miring membuat rektus medial yang

paling sulit untuk diambil melalui pembedahan jika hilang.

b. Otot rektus lateral

Otot rektus lateral dipersarafi oleh saraf kranial keenam dan

merupakan abductormurni. Berbeda langsung dengan otot rektus medial,

rektus lateral memiliki tendon terpanjang (8 mm) dan busur kontak skleral

terpanjang (10 mm) dari otot rektus. Kontak busur panjang terjadi karena

otot rektus lateral awalnya memiliki jalan yang berbeda mengikuti

dinding lateral orbit. Kemudian, di orbit anterior, ia berputar secara nasal,

membungkus bola mata ke titik penyisipan skleralnya. Dokter bedah


sering dapat menemukan otot rektus lateral yang hilang dengan melacak

otot miring inferior kembali ke penyisipannya.

c. Otot rektus superior

Pembagian atas saraf okulomotor mempersarafi otot rektus superior.

Ini adalah elevator utama mata, dan tindakannya termasuk supraduksi

(primer), adduksi (sekunder), dan intorsion (tersier).

d. Otot rektus inferior

Otot rektus inferior dipersarafi oleh divisi yang lebih rendah dari saraf

oculomotor dan merupakan penekan utama mata. Tindakan otot rektus

inferior termasuk infraduksi (primer), adduksi (sekunder), dan ekstorsion

(tersier). Rektus inferior terjepit di antara oblik inferior di bawah dan

sklera di atas. Koneksi fasia antara otot rektus inferior, otot oblikus

inferior, dan retraktor kelopak mata bawah (capsulopalpebral fascia)

disebut ligamen Lockwood. Koneksi fasia ini bertanggung jawab untuk

perubahan kelopak mata yang sering terjadi setelah operasi rektus

inferior. Resesi rektus inferior mengakibatkan retraksi kelopak mata

bawah dengan pelebaran penutupan sungkup, dan reseksi menyebabkan

peningkatan kelopak dengan penyempitan kelopak mata.

e. Otot oblik superior

Tindakan utama otot miring superior adalah intorsion, tetapi juga

bertindak sebagai penekan (sekunder) dan abductor (tersier). Depresi dan

abduksi terjadi ketika bagian belakang mata ditarik ke atas dan ke arah

trochlea. Tendon ini adalah tendon terpanjang dari otot ekstraokular,


panjang 26 mm. Penyisipan tendon menyebar keluar secara luas di bawah

otot rektus superior, memanjang dari kutub temporal otot rektus superior

hingga 6,5 mm dari saraf optik. Lampiran fasia menghubungkan tendon

oblik superior ke otot rektus superior di atas dan ke sklera di bawah.

Penyisipan tendon secara fungsional dapat dibagi menjadi dua bagian

dasar: sepertiga anterior dan dua pertiga posterior. Perbedaan antara

anterior dan posterior oblik yaitu serat tendon superior lebih penting

karena seseorang dapat memanipulasi fungsi ini secara operasi untuk

memperbaiki gangguan motilitas tertentu.

f. Otot oblik inferior

Ini adalah pemeras utama mata; Namun, tindakan lain termasuk

elevasi (sekunder) dan abduksi (tersier). Ketika otot miring inferior

berkontraksi, ia menarik bagian belakang mata ke bawah dan ke arah

penyisipan di fossa lakrimal. Tindakan ini menghasilkan elevasi, abduksi,

dan ekstorsi. Struktur penting dekat insersi oblik inferior meliputi makula

dan vortex temporal inferior. Otot oblik inferior dipersarafi oleh cabang

inferior dari saraf ketiga pada titik yang hanya lateral dari otot rektus

inferior. Inervasi terjadi pada aspek posterior otot perut inferior, dan saraf

disertai oleh pembuluh darah yang membentuk bundel neurovaskular.

Bundel neurovaskular ini dikelilingi oleh kapsul jaringan kolagen yang

inelastik yang melindungi saraf oblik inferior dari kerusakan yang

disebabkan oleh peregangan.


C. Epidemiologi

Penyakit Graves adallah penyebab paling umum dari hipertiroidisme,

dengan kejadian tahunan 20 – 50 kasus per 100.000 orang. Penderita usia

30-50 tahun terbukti paling sering terkena penyakit ini, dengan kasus berat

sering dijumpai pada pasien di atas usia 50 tahun. Dari pasien yang

mengalami orbitopati tiroid sekitar 80% adalah hipertiroid secara klinis dan

20% adalah eutiroid secara klinis. Insidensi kejadian Graves’

ophthalmopathy pada populasi umum adalah 16 kasus untuk jenis kelamin

perempuan dan 3 kasus untuk jenis kelamin laki-laki per 100.000 orang per

tahun 6

D. Patogenesis7,8

Melewati dekade terakhir, penelitian invitro telah bergeser dari miosit

ektraokuler ke fibroblas orbital sebagai target primer dalam proses inflamasi

terkait dengan TED. Diakui bahwa fibroblas orbital secara fenotip berbeda

dari fibroblas yang berasal dari bagian lain di dalam tubuh. Fibroblas orbital

melalui ekpresi karakteristik reseptor permukaaan, gangliosides, dan gen

proinflamatory-berperan aktif dalam proses inflamasi ini. Tidak seperti

fibroblas dari bagian tubuh lain, fibroblast orbital mengekspresikan reseptor

CD 40, umumnya ditemukan pada limfosit B. Ketika terlibat dengan sel T

terikat CD 154, beberapa gen proinflamasi fibroblas secara teratur naik,

termasuk interleukin-6 (IL-6), IL-8, and prostaglandin E (PGE).

Selanjutnya, terjadi kenaikan sintesisofhyaluronan and glycosamino-

glycan (GAG). Hal tersebut terjadi pada tingkat yang 100 – kali lipat lebih
besar dalam fibroblas orbital dibandingkan fibroblas di perut pasien TED

dari pasien yang sama. Kaskade kenaikan regulasi ini berdampak pada

penambahan dosis pada terapi kortikosteroid.

Peradangan otot ekstraokuler dikarakteristikan oleh infiltrasi seluler

pleomorfik. Terkait dengan peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan

imbibisi osmotik air menyebabkan otot-otot membesar terkadang sampai

delapan kali ukuran normal, dan dapat menekan saraf optik. Degenerasi

serat otot menyebabkan fibrosis, yang akan memberikan efek penarikan

pada otot yang terlibat, sehingga menghasilkan restriktif miopati dan

diplopia. Inflamasi seluler dengan infiltrasi limfosit, sel plasma, makrofag,

dan sel mast jaringan intersisial, lemak dan kelenjar lakrimal orbital terkait

dengan akumulasi glikosaminoglikan dan retensi cairan. Ini

menyebabkanpeningkatan volume isi orbital.

Fibroblas orbital memiliki kemampuan mengalami diferesiasi menjadi

adiposit. Diyakini bahwa respon tersebut, bersama dengan matriks

inflamasi, bertanggung jawab atas hipertropi lemak yang dominan pada

pasien, khususnya mereka yang lebih muda dari 40 tahun. Diperkirakan

bahwa peningkatan fibroblas orbital dapat meningkatkan adipogenesis.

Penelitian baru-baru ini juga telah mengidentifikasi sirkulasi

imunoglobulin (IgG) yang mengaktifkan reseptor insulin-like growth

factorserta menyebabkan reseptor tersebutdiekspresikan dalam jumlah yang

banyak pada permukaan sel termasuk fibroblas. Autoantibodi ini telah

ditemukan pada mayoritas pasien dan dapat berkontribusi pada patogenesis


orbital dengan merangsang fibroblas orbital untuk mengeluarkan

glikosaminiglikan, sitokin, dan kemoatraktan. Keluarnya sinyal ini juga

dapat menyebabkan peradangan pada orbital. Manipulasi untuk

menghambat jalur ini oleh agen biologis yang tersedia telah muncul sebagai

strategi mengobati pasien berat atau refrakter Graves’ ophthalmopathy.

E. Klasifikasi

American Thyroid Association (ATA) mengklasifikasikan TED menjadi

enam kelas;7

Kelas 0 : Tidak ada gejala dan tanda


Kelas 1 : Hanya terdapat tanda, tanpa ada gejala (tanda yang ditemukan
terbatas pada retraksi kelopak mata, dengan atau tanpa kelopak
mata yang tertinggal dan proptosis ringan)
Kelas 2 : Keterlibatan jaringan lunak dengan tanda (sebagaimana yang
terdapat pada Kelas-1) dan gejala pada produksi air mata,
fotophobia, pembengkakan kelopak mata atau konjungtiva
Kelas 3 : Proptosis yang cukup terlihat
Kelas 4 : Keterlibatan otot ekstraokular (pembatasan gerak dan diplopia)
Kelas 5 : Keterlibatan kornea (keratitis exposure)
Kelas 6 : Penglihatan yang berkurang akibat keterlibatan saraf penglihatan
dengan diskus yang pucat atau papil edem dan defek dari lapangan
pandang

Demi kepraktisan mendiagnosis,TED dibagi menjadi dua bagian yaituearly

(meliputi kelas 1 dan 2) dan late (kelas 3 sampai 6).


F. Manifestasi Klinis4,7,8

1. Retraksi palpebra

Retraksi palpebra merupakan tanda yang khas ditemukan pada

oftalmopati tiroid. Retraksi ini dapat melibatkan palpebra superior

maupun inferior. Namun, yang paling sering dijumpai adalah retraksi

palpebra superior – disebut dengan dalrymple sign, seringkali disertai

dengan terpaparnya sklera pada bagian temporal mata (temporal flare).

Retraksi palpebra dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral.

2. Eksoftalmos

Eksoftalmos (proptosis) yang disertai dengan retraksi palpebra

merupakan tanda khas yang membedakan oftalmopati tiroid dengan

penyakit yang lain. Eksoftalmos dapat diperiksa dengan palpasi

retropulsi, yaitu dengan melakukan palpasi digital bola mata di atas

kelopak mata penderita yang tertutup. Pada penderita dengan

eksoftalmos berat dapat dirasakan berkurangnya dorongan ke belakang

orbita (retropulsi) pada palpasi. Untuk hasil yang lebih objektif,

eksoftalmos dapat diukur dengan menggunakan Eksoftalmometer Hertel

atau Krahn. Hasil pengukuran dapat menunjukkan derajat eksoftalmos

mulai dari ringan, yaitu kurang dari 24 mm, hingga berat yaitu 28 mm

atau lebih.

3. Lagoftalmus

Lagoftalmus adalah kelainan pada mata berupa kelopak mata tidak dapat

menutup dengan sempurna. Lagoftalmus terjadi karena proptosis dan


retraksi kelopak mata.4 Mata yang tidak dapat tertutup dengan sempurna

dapat mengakibatkan mata bagian depan terpapar oleh udara, sedangkan

proses penggantian tears film oleh kelopak mata juga terganggu.

Akibatnya kornea mata menjadi kering dan mudah terjadi infeksi seperti

konjungtivitis dan keratitis.

4. Miopati Restrikrif

Retraksi palpebra pada oftalmopati tiroid sering pula disertai dengan

miopati restriktif, yang menyebabkan gangguan atau adanya hambatan

pada pergerakan bola mata. Miopati pada mulanya melibatkan musculus

rectus inferior, kemudian melibatkan otot-otot rectus yang lain.6 Otot-

otot yang paling sering terlibat adalah musculus rectus inferior dan

musculus rectus medialis. Pada keadaan yang lebih berat, hal ini dapat

pula menyebabkan strabismus dengan deviasi ke bawah (hipotropia)

atau deviasi ke nasal (esotropia).

5. Kelainan pada Kornea

Pada kornea dapat terjadi keratokonjungtivitis pada daerah limbus

superior, yang disebabkan oleh iritasi berulang kronis oleh trauma

mekanis dari palpebra superior. Keratokonjungtivitis limbus superior ini

dapat dijadikan tanda prognosis (prognostic marker), bahwa

kemungkinan besar penderita sudah mengalami oftalmopati yang

berat.Pada eksoftalmos berat, terjadi paparan kornea yang dapat

menyebabkan ulkus kornea.


6. Diplopia

Diplopia adalah penglihatan ganda. Diplopia selalu dimulai dari tatapan

lapang pandang atas karena infiltrasi miopati menyerang otot rektus

inferior. Namun akhirnya semua otot ekstraokuler dapat terserang

sehingga diplopia dapat terjadi di lapang pandang manapun. otot

ekstraokuler dapat membesar secara masif sehingga mempengaruhi

pergerakan bola mata yang juga dapar mengakibatkan diplopia

7. Kelainan pada Retina dan Nervus Optik

Pada oftalmopati tiroid dapat terjadi peningkatan tekanan intra okular

yang disebabkan berkurangnya aliran vena episklera. Peningkatan

tekanan intra okular ini dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada

retina, salah satunya terbentuk striae. Neuropati optik terjadi akibat

kompresi oleh otot-otot ekstraorbital yang mengalami pembesaran, atau

dapat pula terjadi karena iskemia nervus optik. Gejala yang dialami

berupa pandangan kabur, kehilangan penglihatan, diskromatopsia, atau

penurunan lapangan pandang. Neuropati kompresi tidak selalu disertai

dengan eksoftalmos, namun pada pemeriksaan retropulsi didapatkan

penurunan yang bermakna. Dapat pula dilakukan pemeriksaan

funduskopi untuk melihat adanya edema papil. Namun, karena juga

tidak selalu terlihat edema nervus optik, maka penting untuk dilakukan

pemeriksaan yang lain, seperti visus, penglihatan warna dan adanya

defek pupil aferen untuk mendeteksi adanya neuropati optik.


Gambar 2. A) menunjukkan proptosis, edema sedang,eritema, dan

retraksi kelopak, kemosis konjungtiva disertai eritema karunkula. B)

proptosis, injeksi konjungtiva ringan, kemosis dan eritema kelopak

mata.

Selain tanda-tanda yang telah dijelaskan dapat pula terlihat tanda-tanda

inflamasi di sekitar mata, seperti pembengkakan kelenjar lakrimal dan edema

palpebra. Dapat pula ditemukan kerutan pada glabella (glabellar furrows). Tanda-

tanda eponim lain yang terkait oftalmopati tiroid antara lain:

- Von Graefe sign: Kegagalan palpebra superior mengikuti pergerakan

bola mata saat pandangan diarahkan ke arah bawah

- Vigouroux sign: edema palpebra

- Stellwag sign: jarang mengedipkan mata

- Grove sign: adanya tahanan ketika menurunkan palpebra superior

yang mengalami retraksi

- Joffroy sign: tidak ada lipatan dahi pada pergerakan bola mata ke atas

- Möbius sign: konvergensi pupil lemah

- Ballet sign: adanya restriksi pada satu atau lebih otot ekstraokular.
- Gifford's sign: kelopak mata atas sulit untuk di eversi (dibalik)

G. Diagnosis7

Diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua dari tiga tanda berikut:

1. Sedang dalam perawatan imun karena disfungsi tiroid akibat satu atau
lebih penyakit dibawah ini:
a. Graves hipertiroidisme
b. Hashimoto tiroiditis
c. Terdapatnya antibodi tiroid tanpa keadaan distiroid yang bersamaan
(pertimbangan parsial diberikan): antibodi reseptor TSH (TSH-R),
imunoglobulin penghambat pengikatan tiroid (TBll), immuno-
globulin stimulasi tiroid (TSI), antibodi antimikrosomal.
2. Tanda-tanda khas orbital (satu atau lebih dari tanda-tanda berikut):
a. Retraksi kelopak mata unilateral atau bilateral dengan khas
kemerahan di sebelah temporal (dengan atau tanpa lagoftalmus).
b. Proptosis unilateral atau bilateral
c. Strabismus restriktif dengan pola yang khas
d. Neuropati optik kompresif
e. Edema/eritema kelopak mata flukuatif
f. Kemosis
3. Bukti radiografi (pembesaran fusiform unilateral/bilateral dari satu atau
lebih otot berikut):
a. Otot rektus inferior
b. Otot rektus medial
c. Otot rektus/levator kompleks superior
d. Otot rektus lateral
H. Pemeriksaan Penunjang4,8

1. Tes fungsi tiroid

Seperti pada penyakit hipertiroid didapatkan kadar T3 dan T4 yang


meningkat, FT4 meningkat, dan TSH menurun.
2. Pemeriksaan visual
Pada pemeriksaan visus bisa didapatkan penurunan visus sampai pada
kebutaan. Sedangkan pada pemeriksaan persepsi warna dapat pula pasien
salah mengenali warna karena terdapat gangguan pada penglihatan
warna.
3. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi perubahan pada otot ekstraokuler yang
terjadi pada kasus derajat 0 dan 1 dan dapat membantu diagnosis secara
cepat. Selain ketebalan otot, erosi dinding temporal orbita, penekanan
lemak retroorbita dan inflamasi saraf optik juga dapat terlihat pada
beberapa kasus.
4. Computed Tomography (CT) scan
Computed tomography merupakan alat pencitraan yang paling sering
digunakan untuk mengevaluasi Graves’ ophthalmopathy. Computed
tomography lebih sensitif daripada magnetic resonance imaging (MRI)
dalam mendeteksi pembesaran otot ekstraokuler. Pemeriksaan ini penting
terutama jika pada pasien direncanakan tindakan operatif untuk
dekompresi. pada pemeriksaan CT scan dapat terlihat empat tanda
kardinal dari kelainan pada orbita yaitu proptosis, penebalan otot bola
mata, penebalan saraf optik, dan prolaps septum orbita ke arah anterior
karena hipertrofi jaringan lemak dan atau penebalan otot.
Gambar 3. Potongan koronal pembesaran otot rektus medial dan rektus
inferior bilateral.

Gambar 4. Potongan sagital eksoftalmus, pembesaran otot rektus medial


dan rektus lateral bilateral.

I. Diagnosis Banding7,10

1. Selulitis orbita

Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar

intraorbita di belakang septum orbita. Kuman penyebab biasanya adalah

pneumokok, streptokok, atau stafilokok dan berjalan akut. Bila terjadi

akibat jamur dapat berjalan kronik. Masuknya kuman ini ke dalam


rongga mata dapat langsung melalui sinus paranasal, penyebaran

melalui pembuluh darah atau akibat trauma.

Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah,

kelopak mata edema, mata proptosis, tajam penglihatan menurun.

Tanda-tanda tersebut muncul pada bola mata yang sakit saja sedangkan

pada TED biasanya gejala muncul pada kedua mata. Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan leukositosis sebagai penanda infeksi sedangkan

pada TED tidak, dan pemeriksaan T3, T4 dan TSH dalam batas normal.9

2. Tumor orbita

Tumor orbita adalah tumor yang terletak di rongga orbita. Rongga

orbital dibatasi sebelah medial oleh tulang yang membentuk dinding luar

sinus ethmoid dan sfenoid. Sebelah superior oleh lantai fossa anterior,

dan sebelah lateral oleh zigoma, tulang frontal dan sayap sfenoid besar.

Sebelah inferior oleh atap sinus maksilari. Tumor orbita terdiri dari

primer dan sekunder yang merupakan penyebaran dari struktur

sekitarnya, atau metastasase.

Gejala klinis terdiri atas proptosis yang biasanya unilateral sesuai

tempat tumor menyerang. Proptosis ke depan adalah gambaran yang

sering dijumpai, berjalan bertahap dan tak nyeri dalam beberapa bulan

atau tahun (tumor jinak) atau cepat (lesi ganas). Nyeri orbital terlihat

jelas pada tumor ganas yang tumbuh cepat Pembengkakan kelopak

mungkin jelas pada pseudotumor, eksoftalmos endokrin atau fistula

karotid-kavernosa. Palpasi bisa menunjukkan massa yang menyebabkan


distorsi kelopak atau bola mata. Ketajaman penglihatan mungkin

terganggu langsung akibat terkenanya saraf optik atau retina, atau tak

langsung akibat kerusakan vaskuler. Saat dilakukan pemeriksaan CT

scan terlihat lokasi massa tumor orbita dan dapat membedakan apakah

proptosis disebabkan oleh karena pembesaran otot dan lemak seperti

pada Graves’ ophthalmopathy atau karena adanya tumor. Pemeriksaan

T3, T4 dan TSH juga pada kadar yang normal.

J. Tatalaksana10

Berdasarkan konsensus European Group on Grave’s Orbitopathy

(EUGOGO), penatalaksanaan dari TED berprinsip pada adanya pokok-

pokok utama yang harus diikuti. Hal tersebut adalah:

1. Merujuk pasien dengan TED ke pusat yang memiliki spesialis

Merujuk menjadi urgent bila terdapat gejala yang bersifat sight

threatening seperti penurunan visus, perubahan intensitas dan kualitas

warna, corneal opacity, atau edema macula.

2. Managemen masalah oleh nonspesialis


Managemen faktor risiko yang dapat mengakibatkan TED seperti
merokok, dan disfungsi tiroid. Merokok diketahui dapat menurunkan
efektivitas dari terapi, dan meningkatkan progresi TED setelah
pemberian terapi radioiodine untuk hyperthyroid.
3. Managemen masalah oleh spesialis
Didalamnya termasuk penilaian derajat keparahan dan aktivitas dari
TED , managemen oftalmopati yang mengancam penglihatan,
managemen oftalmopati grade moderate – severe.
4. Managemen oftalmopati ringan
Didalamnya termasuk tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya
progresi penyakit.
5. Keadaan khusus
Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus dipertimbangkan bila
tindakan pembedahan dilakukan.
Prinsip management dari penatalaksanaan oftalmopati yang timbul dapat disingkat
menjadi TEAR:
- T : Tobacco abstinence
- E : Euthyroidism must be achieved
- A : Artificial tears
- R : Referral to a specialist centre with experience
Penatalaksanaan terhadap oftalmopati yang timbul dapat dibagi per-gejala yang
dialami pasien:
1. Soft Tissue Involvment
Gejala yang muncul berupa epibulbar yang hiperemis sebagai tanda dari
adanya proses inflamasi, edema periorbital, dan keratokonjungtivitis
limbic superior.
a. Epibulbar hiperemis
Untuk mengatasi gejala ini dapat diberikan NSAID/SAID topikal
maupun oral.
b. Limbic keratokonjungtivitis
Lubrikan dapat diberikan untuk mencegah kornea yang terekspos
menjadi kering. Lateral tarsorrhaphy dapat dilakkan untuk
mengurangi eksposur keratopathy bila tidak berespon dengan lubrikan.
2. Retraksi kelopak bawah
Untuk retraksi kelopak ringan, tidak dibutuhkan penatalaksanaan karena
dapat membaik dengan spontan. Namun, pembedahan dapat menjadi solusi
untuk memperbaiki retraksi yang terjadi.
a. Mullerotomy
Mullerotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan
disinsersi otot Muller.
b. Reseksi retractor kelopak bawah
c. Injeksi Botox
Injeksi botox pada levator aponeurosis dan otot Muller dapat
digunakan sebagai tatalaksana sementara untuk menunggu tatalaksana
definitive.
d. Guanethidine 5% eyedrops
Guanethidine 5% eyedrops dapat digunakan untuk mengurangi retraksi
akibat overreaksi otot Muller.
3. Proptosis dan Neuropati Optik
Tatalaksana untuk proptosis dapat dibagi menjadi dua yaitu tatalaksana
medikamentosa dan pembedahan.
- Terapi medikamentosa
a. Steroid sistemik
Orbitopati fase akut menonjolkan neuropati optik kompresif
biasanya ditangani dengan kortikosteroid oral. Dosis awal
biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison. Dosis ini dipertahankan
selama 2 hingga 8 minggu sampai respon klinis dirasakan. Dosis
kemudian dikurangi sesuai dengan kemampuan pasien,
berdasarkan respon klinis dari fungsi saraf optik. Injeksi
metilprednisolon dengan dosis 500 mg dalam 200-500ml saline
isotonic dapat diberikan pada kompresi optik akut.
b. Radioterapi
Radiasi dapat diberikan sebagai addisi dari penggunaan steroid,
atau ketika steroid menjadi kontraindikasi. Secara keseluruhan
60% hinggan 70% pasien memiliki respon yang baik dengan
radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari 25% pasien.
Perbaikan diharapkan selama 6 minggu, dengan perbaikan
maksimal dalam 4 bulan.Radiasi 1500-2000 cGy dalam 10
fraksinasi diberikan dari lateral dengan angulasi posterior. Radiasi
akan merusak fibroblas orbita dan mungkin juga limfosit. Radiasi
membutuhkan beberapa minggu untuk menimbulkan efek dan
dapat menyebabkan inflamasi sementara sehingga pasien perlu
tetap diberikan steroid. Terapi radiasi yang dikombinasi dengan
steroid memberikan hasil yang lebih baik. Diabetes mellitus
merupakan kontraindikasi relatif pada karena dapat terjadi
perburukan retinopati.
c. Terapi kombinasi
Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan
prednisolon dosis rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.
- Dekompresi pembedahan
Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi
ketika terapi non invasif tidak efektif. Dekompresi bertujuan untuk
meningkatkan volume orbit dengan membuang tulang dan lemak
disekitar rongga orbital. Biasanya dekompresi dilakukan pada dinding
medial dan lateral.Apabila pembesaran dominan terjadi pada jaringan
lemak, maka dilakukan dekompresi jaringan lemak orbita.
4. Miopati Restriktif
Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan. Tujuan

pembedahan adalah untuk memperoleh pandangan binokuler dan

kemampuan stereoskopik. Pembedahan dilakukan dengan indikasi bila

diplopia menetap dengan sudut deviasi yang tidak berubah selama 6 bulan.

Penatalaksanaan oftalmopati berdasarkan derajatnya:


1. Terapi untuk derajatringan
- Observasi
- Perubahan gaya hidup: berhenti merokok, mengurangi asupan garam,
tidur dengan kepala lebih tinggi, menggunakan kacamata hitam untuk
mengurangi paparan dan keluhan fotofobia
- Mempertahankan keadaan eutiroid
- Lubrikan permukaan mata
- Selenium oral
2. Terapi untuk derajatsedang
- Siklosporin topikal dapat mengurangi iritasi pada permukaan bola
mata
- Kelopak mata diplester sewaktu tidur
- Kacamata dengan lensa prisma untuk mempertahankan fusi binokular
- Steroid oral dosis sedang
3. Terapi untuk derajat berat
- Steroid IV dosis tinggi adalah terapi utama untuk neuropati optik
distiroid
- Operasi dekompresi orbita diikuti dengan operasi strabismus dan
operasi kelopak mata
- Radioterapi periocular
4. Terapi untuk penyakit refrakter
Steroid bersamaan dengan immunomodulator (rituximab, dll).
Imunomodulator dapat memblok reseptor CD20 dari limfosil sel B
sehingga mengurangi peradangan dan proptosis.
K. Prognosis4,7

Prognosis dari Graves’ ophthalmopathy dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Usia salah satu faktor yang dapat mempengaruhi. Anak-anak dan remaja

umumnya memiliki penyakit yang ringan tanpa cacat yang bermakna

sampai batas waktu yang lama. Pada orang dewasa, manifestasinya sedang

sampai berat dan lebih sering menyebabkan perubahan struktur karena

gangguan fungsional. Diagnosis yang ditegakkan secara lebih dini diikuti

intervensi dini terhadap perkembangan proses penyakit dan mengontrol

perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas penyakit dan

mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu yang lama.


DAFTAR PUSTAKA

1. McAlinden Colm. 2014. An Overview of Thyroid Eye Disease. BioMed

Central. College of Medicine Swansea University.

2. Perros P, etc. 2009. Thyroid Eye Disease. Clinicl Review BMJ. Vol: 338.

3. American Academy Of Ophthalmology. 2015-2016. Basic and Clinical

Science Course Section 2 : Orbit, Eyelids, and Lacrimal System.

4. Khurana AK. 2016. Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New

Delhi: New Age International.

5. Riordan-Eva, Paul. 2013. Anatomi dan Embriologi Mata dalam Vaughan

&Asbury Oftalmologi Umum edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran ECG.

6. Smith T, Hegedus L. 2016. Graves’ Disease. The New England Journa of

Medicine.

7. Lubis RR. 2009. Graves’ Ophthalmopathy. Departemen Ilmu Kesehatan

Mata, FK Universitas Sumatera Utara.

8. Bahn RS. 2010. Graves’ Ophthalmopathy. National Institutes of Health

Public Access.

9. Chong KL. 2010. Thyroid Eye Disease: A Comprehensive Review.

HongKong Medical Diary.

10. Verity DH, Rose GE. 2013. Acute thyroid eye disease (TED): principles of

medical and surgical management. Eye (Lond)

Anda mungkin juga menyukai