Konseppendidikanmultikultural PDF
Konseppendidikanmultikultural PDF
I. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia,
kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang
lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta
jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda.
Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam,
Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam
kepercayaan (Diknas: 2004).
Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam
persoalan seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme,
perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai
hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit
terjadinya tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada
tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara
islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003.
Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme
menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan
berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada
siswa seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender,
kemampuan umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan
pendidikan relatif baru di dalam dunia pendidikan.
Sebelum perang dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal.
Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan
yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok atau golongan tertentu.
Dengan kata lain pendidikan multikultural meupakan gejala baru dalam pergaulan
umat manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan
pendidikan yang sama untuk semua orang. Dalam penerapan strategi dan konsep
pendidikan multikultural yang terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan
agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan
menigkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluraklis dan
demokratis. Begitu juga seorang guru tidak hanya menguasai materi secra
professional tetapi juga harus mamapu meneanamkan nilai-nbilai inti dari
pendidikan multikultural sepreti : humanisme, demokratis dan pluralisme.
Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan
di era globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang
tranformasi budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural,
bukan monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta
memebongkar praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana
yang masih kita ketahui peranginya dalam dunia pendidikan nasional kita,bahkan
hingga saat ini.
Dalam konteks ini, pendidikan multikultural merupakan pendekatan
progresif, pebendekatan ini sejalan dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan
yang termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun
2003 pasal 4 ayat 1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak
asai manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan
persamaan hak dalam pendidikan. Dalam doktrin islam,ada ajaran kita tidak boleh
membeda-beda etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan
adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan
multikultural hal ini mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam
terhadap ilmu pengetahuan,dalam islam tidak ada pembedaan dan pembatasan
diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahusn.
Wajah monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila
kita tilik dari berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi pelajaran,
hingga metode pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar
mengajar (PBM) diruang kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad
ke-20 sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh
pendekatan keseragaman (Etatisme) lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang
ketat, bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri
akan pendekatan yang semakin seragam dan demokratis terus mendesak dan perlu
di implementasikan (Tilaar:2004: 24).
Pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kombinasi
model yang ada, agar seperti yang diajukan Groski (1990), “pendidikan
multicultural dapat mencakup tiga hal jenis tranformasi yaitu, trnformasi diri,
tranformasi sekolah dan proses belajar mengajar serta tranformasi masyarakat”.
Dengan menggunakan berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta
mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan
menghargai pluralisme, demokrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi
penerus menjadi ”Generasi Multikultural” yang menghargai perbedaan, selalu
menegakan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.
II. Konsep Pendidikan Multikultural
A. Pengertian pendidikan Multikultural
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di
dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural
maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk
salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang,
menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya
membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan
menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk
membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan
dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui
penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti
keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur
dan ras. (Tilaar: 2003). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa
Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka
gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa
dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya
berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.
Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya.
Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku
asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua,
suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di
antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian
besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses
inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan
multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik,
ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam
mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan
multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai,
keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam
masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan
semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama,
berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi
bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi
berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang
mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa
pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan
keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis
kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple
intelligence).
Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang
mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran
kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari
akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas
dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah
prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan
munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku,
agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan
direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan
mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu
mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran,
dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian,
kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
(Tilaar: 2004: 67).
Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan
pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai
pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
(Ainurrafiq: 2003:24).
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan
multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter
militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak
hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang
meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu
menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat
primordialisme.(Yaqin: 2005: 56, Thoha: 2005: 134). Paradigma pendidikan
multikultural dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki
apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka
penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal
untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut
semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga
menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan
nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau
pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes
politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya.
(Jamaluddin: 2005: 67). James Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan
multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang
lain”, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya
dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori
dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction
process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah
mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik
siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial. Keempat,
prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode pengajaran mereka.
Menurut Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat
berbudaya (berperadaban)”.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan
nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik
yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan
multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati
terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari
strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah
memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar:
2005: 88).
B. Kondisi Masyarakat
Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah
bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri
dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat
yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup.
Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik
moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat
tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan,
semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal
sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
lainnya.
Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat
terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat
lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan
yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya
masyarakat industri pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah
gelombang modernisasi yang pertama.(Suyanto: 2000).
Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat
barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri
yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut
terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa.
Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun
dengan demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang
dinikmati oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahan-
perubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi
gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat
penuh resiko. (Kompas: 15 Februari 2007 ditulis oleh Suwignyo).
Menurut Ulrich Beck’ mengemukakan “Lima proses yang secara simultan
menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: “globalisasi, individualisme, revolusi
gender, pengangguran, dan resiko global karena krisis lingkungan dan krisis
moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”. (Suparlan: 2004).
Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan
yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang
dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk
kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia.
Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep
masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak
dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang
dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut
hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan
untuk membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut
demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam
masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia
didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang
dikenal didalam masyarakat tradisional.(Tholkhah: 2004: 8).
C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan
Telah kita lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat
modern, antara lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
masyarakat barat, peranan ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan
telah melepaskan masyarakat tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi dan
kekuasaan Gereja yang koserfatif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang
menyebabkan penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan
negara-negara industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan
tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negara-
negara maju dimulai pada abad ke-19 perkembangan ilmu pengetahuan pada negara-
negara tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah.(Benny:
2005:234). Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan “politik etis” yang
memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya.
Rakyat diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari
kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan
benih-benih nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan
kolonialisme itu sendiri.
Kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari
perkembangan demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi
pencerahan kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan
bersama-sama dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam
pembukaan undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama
kemerdekaan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan
bangsa antara lain berarti membangun suatu masyarakat yang berbasis ilmu
pengetahuan. (Firdaus:2005:129).
Di dalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme,
melainkan peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat
perkembangan masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga
merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelas-
kelas didalam masyarakat seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa
yang dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hak-
hak yang diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga
diri, kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan.
(Zubaedi:2005:10).
Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa arah
perkembangan masyarakat Indonesia untuk menjadikan masyarakat yang berbasis
ilmu pengetahuan ialah dengan mengedepankan pendidikan. Malahan PBB
menganggap program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam
pengembangan manusia. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang
besar bagi pengembangan manusia. Namun dapat menjadi “ pembunuh”
pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan
menghidupi masyarakat industri tersebut. (Sumartana: 2001). Di dalam konteks
inilah dipertayakan tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam
masyarakat industri masa depan.
V. Penutup
Krisis multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan
bagian dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur
yang ada dalam masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahamat Tuhan
yang dianugerahkan pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita
dapat saling mengenal dan bahu membahu dalam membangun sebuah negeri.
Namun disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya,
keragaman itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat
mengakibatkan adanya kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok
terhadap kelompok-kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak
adilan, dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi
hiangga hari ini dengan segala bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang,
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak,
pengesampingan hak-hak minoritas, pengesampingan terhadap nilai-nilai budaya
lokal,,kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari
problematika kultural yang ada.
Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan
adanya peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan
para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami
konsep dan stategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung
dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi,
humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan
para siswa sedemikian rupa, seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung
jawab agar peser ta didik mempunyai pemahaman dan keahlian terhadap mata
pelajaran yang diajarkanya, akan tetapi juga bertanggung jawab untu k menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan pluralisme.
Harapan dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas
yang tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan
psikomotorik (keterampilan), melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang
demokratis, humanis, pluralis dan adil.
Bangunan Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru
adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” yang didirikan diatas puing-
puing tatanan kehidupan orde baru yang bercorak “masyarakat majemuk ”(plural
society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan
lagi keanekaragaman suku bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada
dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia
yang multikutural yaitu, sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual dan secara kebudayaan.
Oleh karena itu gambaran secara umum tentang konsep pendidikan dan
konsep multikulturalisme di Indonesia yang diantaranya adalah:
1. Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial.
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan
bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset,
bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua
tanggung jawab besar: menyaiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi arus
budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari
berbagai budaya.
2. pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari
akar budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan
multikultural juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut
dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas
sosial dan budaya di era globalisasi.
3. sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan nasional. Daam
melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar
mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isiu pelajaran yang harus
dikuasai siswa dengan ukuran atau tinfgakatan tertentu, maka pendidikan
multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat
penting.
4. menciptakan masyarakat multikultrural. Cita-cita reformasi untukl
membangun Indonesia baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali
dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun
oleh orde baru. Inti dasri cita-cita tersebut adalah terwujudnya sebuah
masyarakat sipil yang demokratis, ditegakkanya hukum untuk supremasi
keadilan, pemerintah bebas KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman
dalam kehidupan masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga
madsyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Ainul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.