Chapter I PDF
Chapter I PDF
PENDAHULUAN
Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang
dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah dan di beberapa daerah
menyebutnya untut, adalah penyakit menular kronis yang disebabkan karena infeksi
cacing filaria, dimana cacing filaria ini menyerang saluran dan kelenjar getah bening
pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum. Filariasis dapat mengakibatkan
cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya.
Secara tidak langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk
ini dapat berdampak pada penurunan produktifitas kerja penderita, beban keluarga,
dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit (Depkes RI,
2005). Selama berabad-abad, banyak orang menderita karena adanya gejala klinis
akut dan kronis penyakit ini. Filariasis diidentifikasi sebagai penyebab kecacatan
menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,
1995).
pertemuan Rapid Mapping Filariasis tahun 2000, kerugian ekonomi akibat filariasis
baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-biaya yang ditanggung selama
pengobatan, besarnya adalah Rp.735.380,- per kasus per tahun atau setara dengan
akibat filariasis dalam setahun mencapai 43 trilyun rupiah jika tidak dilakukan
program pengendalian filariasis. Intervensi yang efektif dan penggunaan sumber daya
yang efisien melalui upaya yang sistematis dan strategis akan menghasilkan
Saat ini, diperkirakan hampir 1,4 miliar orang di 73 negara di seluruh dunia
terancam oleh filariasis limfatik . Larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari
120 juta orang di seluruh dunia, dimana 40 juta orang di antaranya menderita cacat
dan lumpuh karena penyakit ini. Sekitar 65% dari mereka yang terinfeksi tinggal di
regional Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis filariasis
dan salah satu di antaranya adalah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara
di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang luas, namun
memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di Indonesia, ketiga jenis cacing filaria
diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang
terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk
nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan laporan dari seluruh provinsi pada tahun 2009, tiga provinsi
dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah di Provinsi Aceh (2.359 orang), Nusa
terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang) dan Sulawesi Utara (30
dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di
Menurut laporan dari seluruh kabupaten di Indonesia, pada tahun 2009 tiga
kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1.353 kasus),
Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Tampak perbedaan jumlah kasus
yang cukup besar di Kabupaten Aceh Utara dibandingkan dengan jumlah kasus pada
pada kisaran 1-100 kasus, 5,9% kabupaten/kota tidak memiliki kasus klinis filariasis,
5,2% pada kisaran 101-200 kasus, 1,2% pada kisaran 201-700 kasus dan 0,2% pada
kisaran >700 kasus. Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, jumlah kasus kronis
filariasis yang dilaporkan sampai tahun 2009 sudah sebanyak 11.914 kasus (Depkes
RI, 2010).
endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari
hasil survei tersebut, hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis
adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (67%), 3
kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0,6%), dan 176 kabupaten/kota yang
desa Mainan Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan
telah menetapkan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional
2004-2009, Bab 28, D,5. Selain itu diterbitkan juga Surat Edaran Menteri Dalam
Massal Filariasis dalam rangka eliminasi filariasis di Indonesia, kepada gubernur dan
pengobatan massal terus meningkat dari tahun 2005 sampai tahun 2009, di mana pada
tahun 2009 mencapai 59,48%. Namun persentase cakupan ini masih jauh di bawah
target yang ditetapkan oleh WHO, dimana cakupan POMP filariasis minimal yang
harus dicapai untuk memutus rantai penularan adalah sebesar 85%. Berdasarkan
laporan tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, cakupan POMP filariasis berkisar
antara 28%-59,48%. Cakupan ini masih jauh dari cakupan yang diharapkan (Depkes
RI, 2010).
klinis filariasis yang ditangani per tahun > 90%. Bila dilihat dari persentase kasus
penanganan kasus klinis filariasis belum ada yang mencapai target. Kasus klinis
filariasis yang ditangani dari tahun 2005-2009 berkisar antara 17%-40%, sedangkan
target kasus yang ditangani per tahun adalah di atas 90% (Depkes RI, 2010).
tahun 2002, berbagai kendala menyebabkan pelaksanaan program ini di daerah belum
berjalan dengan baik. Kendala-kendala tersebut antara lain yaitu kurangnya dukungan
dari pemerintah daerah (pemda) setempat, alokasi dana yang sangat terbatas, sumber
daya manusia (SDM) filariasis yang belum terlatih, sarana laboratorium yang kurang
Menurut hasil penelitian Sekar Tuti dkk yang dilakukan pada tahun 2006 di
Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menunjukkan bahwa Dinas
Kesehatan Kabupaten Sikka belum mendapatkan komitmen yang serius dari pemda
dilakukan. Alokasi dana untuk program filariasis masih sangat terbatas. Kerjasama
lintas sektor sudah dibina, namun belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Belum ada tenaga kesehatan yang dilatih khusus untuk menangani kasus filariasis
Madang Suku III Kabupaten Oku Timur, menunjukkan bahwa informan kepala desa
belum mengetahui tentang penyebab dan gejala akut filariasis. Pembinaan dan
masyarakat masih belum cukup. Pelaporan yang dilakukan oleh puskesmas kepada
dinas kesehatan masih belum ada tindak lanjut yang nyata dan baru sebatas pada
pendistribusian obat dan buku-buku panduan yang diberikan oleh pihak kementerian
kesehatan. Tidak adanya anggaran khusus untuk program eliminasi filariasis serta
Penelitian yang dilakukan oleh Lasbudi P. Ambarita dkk pada tahun 2005 di
filariasis. Untuk itu kegiatan penyuluhan merupakan salah satu hal yang efektif untuk
dimekarkan dari Kabupaten Labuhanbatu pada tanggal 21 Juli tahun 2008 sesuai
yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara dengan ketinggian 0-700 meter
di atas permukaan laut dengan luas wilayah 3.116,00 km2 . Secara topografi keadaan
tanahnya berbukit dan bergelombang, terdiri dari dataran rendah, lembah, dataran
Bermula di akhir tahun 2003 diterima laporan adanya kasus kronis filariasis
survei darah jari (SDJ) pada tahun 2005 oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Utara di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Medan dan didapatkan hasil Mf rate nya
dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis karena Mf rate nya >= 1%, sehingga
sendiri dilaporkan bahwa sampai akhir tahun 2012 jumlah kasus penderita filariasis
Berikut ini disajikan data kasus filariasis yang dilaporkan oleh puskesmas
yang diterima oleh Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan dari tahun 2008 s/d 2012 :
POMP filariasis selama 2 tahun berturut–turut yaitu pada tahun 2007 dan tahun 2008.
Namun sangat disayangkan, pengobatan massal tersebut terhenti sejak tahun 2009
Pada tahun 2012 telah dilakukan advokasi kepada Bupati dan DPRD
2013 berjalan kurang efektif sebagai akibat dari biaya operasional yang sangat
minim. Peta wilayah kerja sudah tersedia, namun peta daerah endemik filariasis
laboratorium sendiri, namun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kotapinang sudah
filariasis. Akan tetapi di RSUD Kotapinang belum ada petugas yang dilatih secara
maupun dokter. Data tentang pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) masyarakat
terhadap filariasis juga belum ada, sehingga persepsi masyarakat terhadap filariasis
penyuluhan untuk penyakit menular lain seperti demam berdarah dan malaria.
Kerjasama dengan lintas sektor dan mitra terkait juga belum dibina secara
maksimal. Peran serta masyarakat dan dukungan tokoh masyarakat juga dirasakan
sangat kurang. Hal ini terlihat pada saat dilakukannya SDJ pada bulan Oktober
tahun 2012 oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit
Menular (BTKL dan PPM) Kelas I Medan di wilayah kerja Puskesmas Aek Goti
Tanjung Medan Kecamatan Kampung Rakyat. Tidak semua masyarakat ikut serta
pada SDJ tersebut, dari 500 orang masyarakat yang diundang, hanya 198 orang yang
hadir pada kegiatan SDJ tersebut. Fenomena ini menunjukkan kurangnya partisipasi
dari masyarakat setempat terhadap kegiatan SDJ tersebut. Bahkan SDJ yang
dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Medan batal dilakukan karena tidak
satu orangpun masyarakat yang telah diundang, bersedia datang untuk diperiksa
darahnya. SDJ yang dilakukan di desa Mandalasena didapatkan hasil 1 sampel positif
mengandung mikrofilaria. Hasil ini bermakna bahwa sudah ada sumber penularan
oleh WHO sebagai Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis tahun 2020 (The Global
Penyakit Filariasis sebagai salah satu kewenangan wajib pemerintah daerah sesuai
Kaki Gajah), telah ditetapkan indikator kinerja Program Eliminasi Filariasis yaitu
pengobatan massal menunjukkan microfilaria rate < 1%) dan kasus klinis yang
ditangani per tahun > 90%. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
Kaki Gajah), diharapkan pada tahun 2014 semua kabupaten/kota endemis filariasis
Filariasis.
1.2. Permasalahan
Labuhanbatu Selatan ?
menjadi dasar bagi akademisi dan peneliti lain untuk melakukan penelitian
selanjutnya.