Pada abad 3-4 H mulai ada 2 model kecenderungan dalam penghayatan dan
pengalaman tasawuf. Pertama, aliran tasawuf akhlaqi (tasawuf sunni), yang penganutnya
mengklaim diri paling konsisten dalam usaha memagari tasawuf dengan Al-Qur’an dan
Sunnah serta mengkaitkan keadaan dan tingkatan rohaniyah mereka dengan keduanya.
Kedua, aliran tasawuf semi Filosofis, yang para pengikutnya cenderung pada ungkapan-
ungkapan ganjil (Syathabiyyat) serta bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan
tentang terjadinya penyatuan (hulul).
Pada periode baru dikenal dengan era tarekat, suatu sebutan untuk menunjukkan
sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan sang guru (syaikh) melalui system bai’at,
mengikuti aturan-aturan dzikir dan jalan rohaniah lainnya. Dan secara rutin mereka
mengadakan majelis spiritual di berbagai tempat yang khusu untuk itu (zawiyah, ribath,
khanaqah).
Tentang istilah neo-sufisme ini juga mengenai asal-usul, ciri pemikiran dan
gerakan tokoh-tokohnya hingga kini masih merupakan diskusi hangat. Akan tetapi, yang
patut dicatat bahwa gejala kebangkitan sufisme baru dengan visi baru yang hendak
disuguhkan untuk masyarakat kontem-porer jelas sebagai trend yang tidak dapat
dibendung. Secara lebih riil, dewasa ini banyak berkembang jenis tarekat baru yang lebih
simple, tidak tertutup dan tetap mengedepankan aktifisme. Konsep-konsep tasawuf klasik
seperti zuhud, uzlah, kasyf, selanjutnya diinterpretasi ulang. Jargon-jargon baru juga
mulai muncul seperti ‘bertasawuf tanpa tarekat’. Pada intinya apapun istilahnya: neo-
sufisme, tasawuf modern, tasawuf positif, ataupun lainnya sufisme baru tetap
menegaskan fungsinya sebagai pelopor gerakan spiritualisme Islam dalam konteks dunia-
aktual dewasa ini.
Tasawuf di Indonesia
Proses islamisasi di kawasan kepulauan Nusantara tidak bisa lepas dari pengaruh
dan peran para sufi. Memang para saudagar juga memiliki peran besar dalam membuka
jalur-jalur brbagai kota , tetapi peran kunci dalam memperkenalkan ajaran islam untuk
masyarakat luas tetaplah di tangan kaum sufi. Dari sekian banyak naskah kuno yang
berhasil ditemukan baik dalam bahasa Arab maupun melayu adalah berorientasi tasawuf.
Ajaran- ajaran tasawuf di Nusantara cepat berkembang seiring dinamika Islamisasi di
daerah lainnya.
Sufisme vs Kekuasaan
Sufisme vs Modernitas
Syari’ah secara bahasa adalah jalan yang lurus, yang tercakup di dalamnya aspek:
aqidah, ibadah, dan akhlak, atau dapat dikatakan sebagai kumpulan apa-apa yang diundang-
undangkan Allah bagi hamba-Nya, baik berupa tauhid, akhlaq, ibadah dan lainnya.
Pengertian syari’ah adalah mencakup segala perintah dan larangan yang dating dari Allah,
yang dalam pelaksanaannya seseorang tidak bertujuan untuk mendapatkan surga dan
terhindar dari neraka, melainkan untuk menjalankan perintah Allah semata.
Tujuan akhir dari para sufi adalah terbukanya hijab yang disebut dengan al-Kasyf,
yaitu penghayatan “fana’ fillah’” dan “a’rifah”. Keduanya merupakan pengalaman kejiwaan,
yang ditempuh dengan cara konsentrasi total dalam zikir pada Allah. Dalam perspektif
tasawuf cara tersebut dinamakan dengan tariqah, yang secara etimologis berarti: jalan,
metode, system, aliran, keadaan, cara dan lain-lain. Sementara dalam istilah tasawuf,
Thariqah merupakan suatu jalan khusus bagi seorang sufi (salik) kepada Allah dengan cara
meninggalkan tempat dan naik dalam maqam.
Ma’rifah dan Puncak Pengalaman dalam Tasawuf
Kritik konsep Ibn Taymiyyah terhadap ajaran tasawuf, beberapa hal mendasar
yang dapat dipegangi untuk melihat keseluruhan sikap Ibn Taymiyyah atas ajaran kaum
sufi tersebut. Pertama, Ibn Taymiyyah sesungguhnya bukanlah musuh sekaligus
penentang keras tasawuf. Ia memang melontarkan kritik tajam terhadap beberapa sufi
sperti: al-Halalaj, Ibn al-Arabi dan pendukungnya, tapi ia juga memberikan apresiasi
yang cukup tinggi terhadap sufi yang lainnya, misalnya Abd al-Qadir al-Jilani, Fudyl b.
Iyad, dan Junayd al-Bagdadi.
Kedua, ia tidak menentang beberapa praktik sufi yang dikembangkan banyak
tarekat, seperti berbagai pembacaan formula keagamaan yang dikemas dalam dzikir.
Tetapi yang ia tolak adalah dzikir yang hanya menyebut nama-nama Allah dalam ism-
almufrad. Menurutnya dzikir yang diajarkan oleh Rasul adalah dzikir dengan kalimat
sempurna (al-jumlat al-tammah)
Ketiga, ia tidak mengecam beberapa prilaku yang berlebihan dalam tindak
ekstatik (mabalaghah fi al-zuhd) seperti yang dikembangkan para zahid di Basrah, yang
menyebabkan mereka meninggal, pingsan, atau kondisi tidak sadar lainnya, melainkan
sekedar menganggapnya lemah (maghlub). Seandainya mereka tetap terjaga, lanjutnya,
tentu hal itu akan lebih baik, sebab Nabi saw dan para sahabatnya tidak sampai berlaku
sampai demikian.
Keempat, ia tidak mengabaikan adanya pengalaman spiritual para sufi seperti
fana’ dan penyatuan, tetapi yang ia tentang ialah jika yang demikian itu menyebabkan
pelakunya mengabaikan bahkan meninggalkan norma syar’iy.
Kelima, ia tidak menegaskan adanya perolehan pengetahuan lewat kasyf atau
ilham yang biasa diperoleh para sufi, tetapi ia tidak mengaanggapnya sebagai standar
kepastian yang tidak terbantahkan. Kepastian yang sebenarnya hanya ada pada wahyu
Allah yang diterima para Rasul. Ia juga menyalahkan mereka yang menjadikan kasyf
sebagai tujuan akhir (ultimate goal) bagi perjalanan spiritualnya dan menganggapnya
sebagai criteria kebesaran wali. Menurutnya kebesaran seseorang itu ditentukan oleh
sejauh mana ia sepenuhnya menjalankan seluruh aturan syari’ah yang dicontohkan Rasul
dan para sahabatnya. Intinya, ia ingin membawa kasyf tersebut kepada tingkat proses
intelektual yang sehat dan menolak finalitas atasnya.
Terakhir, keenam, kritik konsep Ibn Taymiyyah sepenuhnya didasarkan pada dua
hal, yaitu mengarahkan tasawuf pada pengakuan ortodoksi (puritan) dan mengalihkan
perhatian tasawuf dari hanya sekedar sebagai pola pengembangan pribadi kepada
rekonstruksi moralitas sosial masyarakat muslim. Dua hal inilah setidaknya yang
menempatkan Ibn Taymiyyah dalam barisan penganjur neo-sufisme.
Pada dasarnya cinta manusiawi yang digelar para sufi dalam karya mereka
merupakan personifikasi cinta kepada Tuhan. Dengan melakukan redifinisi cinta dalam
bentuk sastra dengan genre erotis transcendental merupakan cara yang paling sederhana
untuk dapat memahami cinta kepada Tuhan. Tuhan dalam sastra sufi dipersonifikasikan
sebagai tokoh cerita. Tuhan dipersonifikasikan sebagai figure utama. Layla adalah Tuhan,
Syrin adalah Tuhan, gadis cantik Kristen lawan main saikh San’an adalah Tuhan, Nizam
adalah tuha. Karena itu menurut kaum sufi tidaklah salah memanusiakan Tuhan dalam
bersastra.
Letak ujian yang menentukan: bukan dalam mengingkari sensualitas manusia
melainkan dalam memahami karakter lebih dalam dari energy erotis dan konsekuensinya
adalah dalam upaya yang dilakukan oleh pencari kebenaran untuk memanfaatkan
kehidupan dimuka bumi guna membuka pintu menuju yang transenden, makhluk k non-
makhluk. Berupaya bagaiman hidup di dalam kekuatan hasrat kepada makhluk dengan
tetap mendambakan non-makhluk, sama artinya dengan menjadikan hati yang mabuk
cinta sebagai pintu masuk ke Yang Maha tak Terbatas. Pengalaman cinta manusia
membuka hati sang pencinta terbuka kepada cinta yang transenden; cinta yang penuh
gairah kepada Tuhan. Cinta sejati bukanlah hasrat untuk memuaskan cinta duniawi,
namun kerinduan akan cinta purbawi.
TASAWUF DAN KEBERAGAMAAN
Bagi masyarakat Islam slah satu alternatif olahraga jiwa adalah metode tasawuf.
Mendengar kata tasawuf mungkin yang terpikirkan dalam benak kita adalah sesuatu yang
sulit dijangkau oleh pemikiran terutama pikiran orang awam, kita akan teringan
bagaimana suitnya mencapai ma’rifat, kita juga akan teringat bagaimana susahnya
menangkap dan memahamai metode para sufi dan lain sebagainya. Jika itu yang kita
pikirkan mana mungkin tasawuf dapat menjadikan jiwa kita sehat ? bukankah seharusnya
olahraga itu dilakukan dengan mudah, ringan dan menyenangkan ?
1. Shalat
2. Dzikir
3. Puasa
RESUME
“TASAWUF”