DAFTAR ISI
LATAR BELAKANG
Adanya kepentingan kolaborasi yang lebih dekat antarprofesi terletak pada rekognisi
negara-negara di dunia untuk mengerahkan personilnya secara lebih efisien, lebih efektif dan
lebih ekonomis dalam merespon masalah-masalah kompleks yang semakin berkembang yang
terjadi antara individual, keluarga, dan komunitas.1 IPE mendukung kolaborasi tersebut, karena
partisipasi anggotanya yang menelaah kembali hubungannya dengan profesi lain,
meningkatkan mutual saling kesepahaman, dan mengeksplorasi cara untuk mengombinasikan
ekspertise mereka ke arah pelayanan kesehatan, keamanan pasien, dan quality of care.2 Hal ini
dapat menyebabkan praktik profesional dalam kesehatan tidak hanya berhadapan dengan
tantangan untuk mengerti isu-isu kesehatan secara multidimensional, namun pula bagaimana
caranya untuk menyusunnya dalam sebuah praktik kolaborasi antarprofesi. Untuk kedepannya,
para tenaga kesehatan dianjurkan untuk mengetahui dan mengadopsi pendekatan kolaboratif
yang juga menguntungkan pasien, dalam hal ini, health care users. Konsensus
mengindikasikan bahwa interprofessional education (IPE) dibutuhkan untuk menghancurkan
batasan disiplin dan juga untuk melatih para profesional yang siap untuk berkolaborasi.3
Pendidikan antar profesi terjadi ketika pelajar/mahasiswa dari 2 atau lebih profesi
belajar bersama tentang, dari dan dengan satu sama lain untuk mencapai kolaborasi yang efektif
dan memperbaiki outcome kesehatan.2
Pada tahun 2001, CAIPE mengidentifikasi tujuh prinsip yakni untuk menjadi panduan
untuk provisi dan komisi interprofessional education (IPE) dan untuk membantu
perkembangan serta evaluasinya, diantaranya yakni :
1) Work to improve the quality of care / bekerja untuk mengembangkan kualitas pelayanan
IPL (interprofessional learning) menunjukkan realitas kompleksnya pelayanan
kesehatan.
Satu profesi atau individu yang bekerja dalam isolasi tidak memiliki expertise untuk
berespon secara adekuat dan efektif terhadap kompleksitas kebutuhan pasien yang lebih
banyak, untuk benar-benar memastikan bahwa pelayanan tersebut ialah aman dan
holistik dan memiliki high standard.
2) Fokus terhadap kebutuhan pelayanan pasien dan penyedia layanan
IPL menempatkan kebutuhan pengguna pelayanan dan penyedia layanan kesehatan di
tengah pembelajaran dan praktek interprofesi.
3) Melibatkan pasien dan penyedia layanan
Lewat partisipasi aktif dan keterlibatan dalam perencanaan, penyampaian, assessing,
dan evaluasi IPL, pengguna layanan dan penyedia layanan kesehatan dapat memastikan
bahwa pelayanan saling bertemu dengan kebutuhan.
4) Mendukung profesi yang terlibat untuk belajar dengan, dari, dan mengenai satu dengan
yang lainnya
3
Dalam gambar ini terdapat dua faktor yang memengaruhi kapasitas pembelajar (health
professionals) untuk menjadi praktisi kolaboratif yang kompeten. Bagan ini menitikberatkan
pada faktor micro (pengajaran) , meso (institusional) dan macro (sistemik). Pembelajar adalah
pada pusat dari lingkaran pertama dan terpengaruh oleh semua faktor yang memengaruhi
kemampuannya untuk mencapai kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat bekerja secara
kolaboratif dengan healthcare professional lainnya. Lingkaran yang kedua terdiri atas proses
dan faktor yang memengaruhi outcome pelayanan pada pasien dalam setting praktik
kolaboratif, yang juga dipengaruhi oleh faktor micro, meso, dan macro.3
4
Menurut Finch J , dari perspektif universitas, tantangan yang terlihat dari sistem ‘shared
learning’ dari sebelum tahapan registrasinya adalah :
Antara Februari dan Mei 2008, WHO Study Group on Interprofessional Education and
Collaborative Practice melakukan survey lingkungan internasional untuk menentukan status
terkini dari pendidikan interprofesi secara global. Terdapat 396 responden secara total yang
mewakili 42 negara dari enam regio WHO, dan data yang diambil ialah seputar praktik,
administrasi, edukasi, dan juga penelitian. Tujuan dari kerangka konsep ini ialah untuk
memberikan strategi dan ide yang dapat mendukung policy-makers untuk
7
mengimplementasikan elemen dari edukasi interprofesi dan juga praktik kolaboratif yang akan
menguntungkan masing-masing pihak.
Dari survei dan penelitian tersebut menunjukkan bahwa praktik kolaboratif ini dapat
meningkatkan akses dan koordinasi dari pelyanan kesehatan yang juga dapat melibatkan
spesialis untuk pasien dengan penyakit kronis, dan juga dari segi keamanan. Praktik kolaboratif
ini juga dapat menurunkan hal-hal seperti : total pasien, komplikasi, length of hospital stay,
tensi dan konflik antara cargiver, turnover staff, admisi rumah sakit, tingkat clinical error, dan
tingkat mortalitas. Pada situasi community mental health, praktik kolaboratif dapat
meningkatkan pasien dan kepuasan caregiver, menurunkan durasi pengobatan, menurunkan
biaya perawatan dan menurunkan insidensi bunuh diri.
KESIMPULAN
REFERENSI
1. Hoffman SJ, Frenk J. Producing and translating health system evidence for
improved global health. Journal of Interprofessional Care. 2012;
2. World Health Organization. Framework for Action on Interprofessional
Education & Collaborative Practice. Practice [Internet]. 2010;1–63. Available from:
http://www.who.int/hrh/resources/framework_action/en/
3. D’Amour D, Oandasan I. Interprofessionality as the field of interprofessional
practice and interprofessional education: An emerging concept. J Interprof Care. 2005;
4. Interprofessional Educational Collaborative, Practice IC, Values U. Core
Competencies for Interprofessional Collaborative Practice : 2016 Update.
Interprofessional Educ Collab [Internet]. 2016;10–1. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22030650
5. Finch J. Interprofessional education and teamworking: a view from the
education providers. Br Med J (Clin Res Ed). 2000;
6. Barr H, Coyle J. Introducing interprofessional education. Educating Health
Professionals: Becoming a University Teacher. 2013. 185-196 p.
7. Swanwick T, Swanwick T. Understanding Medical Education:
Evidence,Theory and Practice. Wiley-Blackwell. 2013.