Anda di halaman 1dari 13

MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING ATAU PENEMUAN

Posted by PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN on Jumat, 24 Juni 2016

A. Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan adalah teori belajar yang
didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi apabila materi pembelajaran tidak disajikan
dengan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan peserta didik itu sendiri yang mengorganisasi
sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as
the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form,
but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103).

Dasar pemikiran Bruner tersebut adalah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus
berperan aktif dalam belajar di kelas. Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery
Learning, dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir
(Dalyono, 1996:41).

Sedangkan menurut Budiningsih, (2005:43) Pengertian Model Pembelajaran Discovery


Learning atau Penemuan diartikan pula sebagai cara belajar memahami konsep, arti, dan
hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery
terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan
beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran,
prediksi, penentuan daninferi. Proses tersebut oleh Robert B. Sund (Malik, 2001:219) disebut
cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps
and principles in the mind

Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan merupakan Salah Model yang
Menuntut Siswa Aktif

Sebagai strategi belajar, Model Pembelajaran Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama
dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga
istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip
yang sebelumnya tidak diketahui.

Perbedaannya dengan discovery learning dengan inkuiri learning ialah bahwa pada discovery
masalah yang dihadapi siswa atau peserta didik adalah semacam masalah yang direkayasa oleh
guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus
mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam
masalah itu melalui proses penelitian. Sedangkan Perbedaannya dengan discovery learning
dengan Problem Solving. Pada model Problem Solving lebih memberi tekanan pada
kemampuan menyelesaikan masalah.

Prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran
yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta
didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari
informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka
ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.

Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan


kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode / model Discovery
Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah
pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa
hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan
informasisendiri.
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan
kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi.
Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang Nampak dalam Model
Pembelajaran Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih
sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding
dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara
obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).

Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa
dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1)
Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok
maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan
bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut
proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan
menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal
dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan
memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery
Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-
penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan
lebih kreatif.

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan
pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran
bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh
bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang
melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui
gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau
dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan
(komparasi).Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan
sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang


dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori
perkembangan dalam faseenactive, iconicdansymbolicadalah anak menjelaskan sesuatu melalui
perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya
dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada faseiconic ia menjelaskan
keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan
prinsip keseimbangan ini fasesymbolic(Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan guru


berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar
siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan
belajar mengajar yangteacher orientedmenjadistudent oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan
kesempatan muridnya untuk menjadi seorangproblem solver, seorang scientis, historin, atau ahli
matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir,
siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
kesimpulan-kesimpulan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri
mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa
yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery
Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yanglebih
mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).

Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah
hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver,
seorang scientist, historian, atauahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan
menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.

Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah
tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada
metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan
suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak
hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar
sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau


Penemuan adalah pembelajaran untuk menemukan konsep, makna, dan hubungan kausal melalui
pengorganisasian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik.

B. Ciri dan Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan


Tiga ciri utama belajar dengan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan yaitu:
(1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan
menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada peserta didik; (3) kegiatan untuk
menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
Karakteristik dari Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
1. Peran guru sebagai pembimbing;
2. Peserta didik belajar secara aktif sebagai seorang ilmuwan;
3. Bahan ajar disajikan dalam bentuk informasi dan peserta didik melakukan kegiatan
menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, serta membuat
kesimpulan.

C. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Discovery Learning


1. Kelebihan Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan
dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini,
seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh
karenamenguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki danberhasil.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkanakalnya dan motivasi sendiri.
f. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, Karena memperoleh
kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-
gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam
situasi diskusi.
h. Membantu siswamenghilangkanskeptisme (keragu-raguan) karena mengarah
padakebenaran yang final dan tertentuatau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajaryang
baru.
k. Mendorong siswa berpikir danbekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
n. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
o. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaanpadasiswa.
q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
r. Dapat mengembangkan bakat dankecakapan individu.

2. Kelemahan Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan


a. Metode inimenimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa
yangkurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atauberpikiratau
mengungkapkan hubunganantara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga
pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak,
karenamembutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapandengan
siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan
mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang
mendapat perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan
yang dikemukakan oleh para siswa
f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatanuntukberpikiryang akan ditemukanoleh
siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru

D. Langkah-langkah Operasional Implementasi Model Pembelajaran Discovery


Learning atau Penemuan

Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.

Langkah Persiapan Metode Discovery Learning


1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran
4. Menentukan topik-topik yang harus dipelajarisiswapeserta didiksecara induktif (dari contoh-
contoh generalisasi)
5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan
sebagainya untuk dipelajarisiswapeserta didik
6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke
abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajarsiswapeserta didik.

Prosedur Aplikasi Metode / Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan


Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada
beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai
berikut:

1. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)


Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul
keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM
dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan
menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian
seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar
tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.

2. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)


Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan
dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk
hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan
menurut permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan
yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka
terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

3. Data Collection (Pengumpulan Data)


Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada parasiswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan
atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian anak didikdiberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai
informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara
sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa
belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang
dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan
pengetahuan yang telah dimiliki.

4. Data Processing (Pengolahan Data)


Menurut Syah (2004:244)pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu
ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya
diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu
serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).
Dataprocessing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi
sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan
mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu
mendapat pembuktian secara logis

5. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil
data processing (Syah, 2004:244).Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau
hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak,
apakah terbukti atau tidak.

6. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)


Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang
dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama,
dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka
dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa
harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan
pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman
seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-
pengalaman itu.
Berdasarkan uraian di atas, Langkah-langkah Discovery Learning secara singkat adalah
sebagai berikut:

Tahap Deskripsi
Tahap 1 Guru Menentukan tujuan pembelajaran, identifikasi karakteristik
Persiapan peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya)

Guru dapat memulai kegiatan PBM dengan menga-jukan


Tahap 2 pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya
Stimulasi/pemberian yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi
rangsangan pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi
belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta didik
dalam mengeksplorasi bahan
Tahap 3 Guru Mengidentifikasi sumber belajardan memberi kesempatan
Identifikasi masalah kepada peserta didik untuk mengiden-tifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk
hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)

Tahap 4 Guru Membantu peserta didik mengumpulan dan mengeksplorasi


Mengumpulkan data data.
Tahap 5 Guru membimbing peserta didik dalam kegiatan mengolah data
Pengolahan data dan informasi yang telah diperoleh para peserta didik baik melalui
wawancara, observasi, dan sebagainya
Tahap 6 Guru membimbing peserta didik melakukan pemeriksaan secara
Pembuktian cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang
ditetapkan dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil
Tahap 7 Guru membimbing peserta didik merumuskan prinsip dan
Menarik kesimpulan generalisasi hasil penemuannya.

D. Sistem Penilaian

Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan


menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa
penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penialainnya
berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran discovery learning dapat
menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap,
atau penilaian hasil kerja siswa, maka pelaksanaan penilaian dapat menggunakan contoh-
contoh format penilaian seperti tersebut di bawah ini.

1. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada
peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu
merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain
seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya.Ada dua bentuk
soal tes tertulis, yaitu berikut ini
a. Soal dengan memilih jawaban.
1) pilihan ganda
2) dua pilihan (benar-salah, ya-tidak)
3) menjodohkan
b. Soal dengan mensuplai-jawaban.
1) isian atau melengkapi
2) jawaban singkat
3) soal uraian

Dari berbagai alat penilaian tertulis, tes memilih jawaban benar-salah, isian singkat,
dan menjodohkan merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah,
yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Tes pilihan ganda dapat digunakan untuk
menilai kemampuan mengingat dan memahami. Pilihan ganda mempunyai kelemahan,
yaitu peserta didik tidak mengembangkan sendiri jawabannya tetapi cenderunghanya
memilih jawaban yang benar dan jika peserta didik tidak mengetahui jawaban yang
benar, maka peserta didik akan menerka.

Hal ini menimbulkan kecenderungan peserta didik tidak belajar untuk memahami
pelajaran tetapi menghafalkan soal dan jawabannya. Alat penilaian ini kurang
dianjurkan pemakaiannya dalam penilaian kelas karena tidak menggambarkan
kemampuan peserta didik yang sesungguhnya.

Tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk
mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah
dipelajari, dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam
bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Alat ini dapat
menilai berbagai jenis kemampuan, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis,
dan menyimpulkan.Kelemahan alat ini antara lain cakupan materi yang ditanyakan
terbatas.

Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:


a. materi, misalnya kesesuian soal dengan indikatorpada kurikulum;
b. konstruksi, misalnya rumusan soal atau pertanyaan harus jelas dan tegas.
c. bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata/ kalimat yang
menimbulkanpenafsiran ganda.

2. PenilaianDiri
Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subyek yang ingin dinilai
diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan, status, proses dan tingkat
pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang berkaitan
dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di
kelas, berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik dapat diminta
untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar
dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk
membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu obyek sikap

Proses penilaian dalam penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau


Penemuan selain menggunakan jenis penilaian tertulis dan penilian diri, dapat juga
dilakukan melalui penilaian kinerja, penilaian produk dan penilaian sikap.
Daftar Pustaka
Dahar, RW., 1991.Teori-Teori Belajar.Jakarta: Penerbit Erlangga.

Holiwarni, B., dkk., 2008.Penerapan Metode Penemuan Terbimbing pada Mata Pelajaran Sains
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN 016 Pekanbaru Kota(Laporan
Penelitian).Pekanbaru:Lemlit UNRI

http://darussholahjember.blogspot.com/2011/05/aplikasi-metode-discovery-learning.

http://ebookbrowse.com/pengertian-model-pembelajaran-discovery-learning-menurut-para-ahli-
pdf-d368189396

http://prismabekasi.blogspot.com/2012/10/definisi-belajar-menurut-para-ahli.html

Jurnal Geliga Sains 3 (2), 8-13, 2009 Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Riau
ISSN 1978-502X.

Rizqi, 2000.Pengembangan PerangkatPembelajaran Berorientasi Pembelajaran Penemuan


Terbimbing (Guide-Discovery Learning) yang Mengintegrasikan Kegiatan Laboratorium
untuk Fisika SLTP Bahan Kajian Pengukuran. Tesis, UNESA (tidak dipublikasikan).

Syamsudini , 2012.Aplikasi Metode Discovery Learning dalam Meningkatkan Kemampuan


Memecahkan Masalah, Motivasi Belajar dan Daya Ingat Siswa.

Syah, M., 1996.Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013, Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013, Jakarta: Kemendikbud.
Contoh Penerapan Model Discovery Learning pada Pembelajaran
Angga Passakanawang Penulis Angga Passakanawang Diterbitkan 10:32 AM

Model Pembelajaran merupakan kerangka konseptual dan operasional pembelajaran yang


memiliki nama, ciri, urutan logis, pengaturan, dan budaya. Proses pembelajaran dilakukan dengan
urutan model pembelajaran yang dipilih sesuai dengan karakteristik Kompetensi Dasaryang akan
dikuasai peserta didik. Skenario pembelajaran disesuaikan dengan sintak atau langkah-langkah
model discovery learning, dengan alokasi waktu juga disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan
ruang ligkup materi dalam KD yang diajarkan. Dengan demikian, kompetensi pada KD dapat
tercapai, hasil belajar pada peserta didik akan lebih optimal.

Contoh Penerapan Model Discovery Learning pada Pembelajaran IPA adalah sebagai berikut :

Topik/Tema
Kelistrikan dan Teknologi Listrik di Lingkungan

Subtopik/Tema : Konsep Listrik Statis

Kompetensi Dasar

3.5 Memahami konsep listrik statis, muatan listrik, potensial listrik, hantaran listrik, kelistrikan
pada sistem syaraf dan contohnya pada hewan-hewan yang mengandung listrik.
4.4 Melakukan percobaan untuk menyelidiki muatan listrik statis dan interaksinya, serta sifat
hantaran listrik bahan

Indikator
1. Mengidentifikasi bagian sel saraf.
2. Menjelaskan tentang prinsip kelistrikan pada saraf manusia.
3. Menyebutkan contoh-contoh hewan yang menghasilkan listrik
4. Menjelaskan prinsip kelistrikan pada beberapa hewan.
5. Membuat makalah tentang kelistrikan pada saraf manusia dan hewan-hewan yang
menghasilkan listrik.

Alokasi Waktu
1 pertemuan (2 X 40 menit)

Sintaks dan Kegiatan Pembelajaran


A. Stimulation (Stimulasi/ Pemberian rangsangan)
Pada tahap ini peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan perhatian
pada topik kelistrikan pada saraf dengan cara mengajak peserta didik untuk memukulkan
sikutnya ke meja.

B. Problem Statement (Pertanyaan/ Identifikasi masalah)


Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
masalah yang berkaitan dengan kelistrikan pada saraf sampai peserta didik dapat berpikir
dan bertanya.
1. Guru menanyakan kepada peserta didik:
 Apa yang kalian rasakan setelah memukul sikut pada meja?
2. Peserta didik diminta merumuskan pertanyaan terkait dengan percobaan ini.
Pertanyaan diarahkan terkait dengan peran saraf dalam menanggapi rangsang, seperti:
 Mengapa kita merasakan sakit ketika sikut dipukul?
 Apakah peran saraf dalam menanggapi rangsangan tersebut?
 Bagaimana kelistrikan terjadi pada sel saraf manusia?
3. Peserta didik diminta membuat hipotesis atau jawaban sementara atas pertanyaan yang
mereka rumuskan.
C. Data Collection (Pengumpulan Data)
Pada tahap ini peserta didik mengumpulkan informasi yang relevan, untuk menjawab
pertanyaan yang telah dirumuskan. Informasi ini diperoleh melalui kegiatan:
1. Membaca literatur tentang “Sel Saraf pada Manusia”,
2. Mengamati gambar sel saraf manusia, kemudian membaca tabel tentang bagian-bagian
saraf manusia dan fungsinya.
Kegiatan-kegiatan di atas dilakukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis atau jawaban
sementara yang telah dirumuskan.

D. Data Processing (Pengolahan Data)


Pada tahap ini peserta didik dalam kelompoknya berdiskusi untuk mengolah informasi yang
diperoleh dengan cara:
1. Mendiskusikan hasil pengumpulan informasi dari hasil pengamatan gambar dan bahan
bacaan literatur tentang “Sel saraf pada manusia”;
2. Memperhatikan pertanyaan - pertanyaan pada lembar kegiatan, dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan informasi yang diperoleh dari bahan
bacaan dan pengamatan gambar

E. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini peserta didik membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah
dirumuskan dengan cara:
1. Memeriksa secara cermat rumusan hipotesis;
2. Mencocokkan rumusan hipotesis tentang sel saraf pada manusia dengan informasi
yang berhasil ditemukan; apakah sesuai atau tidak.

F. Generalization (Menarik kesimpulan)


Pada tahap ini peserta didik menyimpulkan hasil pengumpulan informasi dan diskusi
misalnya dengan cara:
1. Menyimpulkan bahwa tubuh dapat merasakan rangsang dari lingkungan karena
adanya sistem saraf yang memanfaatkan prinsip kelistrikan;
2. Memberikan contoh hewan-hewan yang menghasilkan listrik.

Demikianlah contoh penerapan model pembelajaran discovery lerning pada pembelajaran.


Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning pada Pembelajaran Struktur Isi
Cerpen SMP Kelas VII
6 Agustus 2014 16:53| Diperbarui: 18 Juni 2015 04:17| 15826 | 0| 0
Oleh : Suwarsini, M.Pd
Guru Bahasa Indonesia di SMPN 1 Binakal Bondowoso

Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman


belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan sebagai suatu pendekatan yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Dalam Kurikulum 2013 terdapat tiga jenis model
pembelajaran yaitu Model Pembelajaran Berbasis Proyek ( Based Projeck Learning ), Model
Pembelajaran Berbasis Masalah ( Based Problem Learning ), dan Model Pembelajaran Berbasis
Penemuan ( Discovery Learning ). Model pembelajaran tersebut sesuai dengan pendekatan
saintifik sehingga tepat untuk dilaksanakan dalam proses pembelajaran.

Sebagai seorang guru, kita harus mampu memilih dan mendesain model pembelajaran yang tepat
bagi peserta didik. Model pembelajaran yang dipilih harus disesuaikan dengan tema dan
kompetensi dasar yang harus dimiliki peserta didik. Di samping itu juga harus memperhatikan
keadaan atau kondisi peserta didik, bahan pelajaran, serta sumber – sumber belajar yang ada agar
penggunaan model pembelajaran tersebut dapat diterapkan secara efektif dan dapat menunjang
keberhasilan belajar peserta didik. Selain itu, seorang guru harus mampu mengelola proses belajar
mengajar yaitu mampu menguasai keterampilan dasar mengajar seperti membuka dan menutup
pelajaran, menjelaskan, bertanya, dan lain – lain.

Sehubungan dengan kemampuan guru untuk memilih dan mendesain model pembelajaran yang
tepat, penulis akan memaparkan penerapan Model Pembelajaran Penemuan ( Discovery Learning
). Model pembelajaran ini diharapkan dapat diterapkan secara efektif dan menunjang keberhasilan
belajar peserta didik SMP kelas VII dalam mempelajari struktur isi cerpen.

A. Pengertian Model Pembelajaran Penemuan ( Discovery Learning ).

Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang
terjadi bila peserta didik tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya tetapi peserta
didik mengorganisasi sendiri pelajaran tersebut. Model pembelajaran ini menekankan pada
ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara aktif.
Bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir tetapi peserta didik dituntut untuk melakukan
serangkaian kegiatan mulai dari mengumpulkan informasi sampai dengan membuat kesimpulan
dari materi yang disajikan.

B. Prosedur Aplikasi Model Pembelajarn Penemuan ( Discovery Learning ).

Menurut Syah ( 2004 : 244 ) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning ada
beberapa prosedur dalam proses pembelajaran yaitu :

1. Stimulation
Pada tahap ini, peserta didik dibimbing untuk mengajukan pertanyaan, membaca
buku, dan lain – lain sehingga peserta didik merasa tertarik untuk mengadakan
eksplorasi terhaap materi pembelajaran.

2. Problem Statemen ( pertanyaan / identifikasi masalah )


Pada tahap ini pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak- banyaknya tentang materi pembelajaran.

3. Data Collection ( pengumpulan data )


Pada tahap ini pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengumpulkan informasi sebanyak – banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya
hipotesis materi yang dipelajari dengan cara membaca literatur, mengamati objek dan
lain – lain.

4. Data Processing ( pengolahan data )


Pada tahap ini semua informasi yang telah diperoleh peserta didik diolah melalui
wawancara, observasi, dan lain – lain kemudian ditafsirkan.

5. Verification ( pembuktian )
Pada tahap ini peserta didik melakukan pengamatan dengan cermat untuk
membuktikan benar tidaknya hipotesis.

6. Generalization ( menarik kesimpulan / generalisasi )


pada tahap ini peserta didik membuat kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum
dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memerhatikan
hasil verifikasi.

C. Penerapan Model Pembelajaran Penemuan ( Discovery Learning ).

1. Kompetensi Dasar:
3.1 Memahami teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi,dan
cerita pendek baik melalui lisan maupun tulisan.
4.1 Menangkap makna teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi,
eksplanasi, dan cerita pendek baik secara lisan maupun tulisan.

2. Topik:Cerpen

3. Sub Topik:Struktur isi cerpen

4. TujuanPembelajaran:

a. Peserta didik dapat menentukan struktur isi cerpen : (1) judul, (2) perkenalan,
(3) memperkenalkan siapa para pelaku, apa yang dialami pelaku dan dimana
terjadinya peristiwa, (3) komplikasi, konflik muncul dan para pelaku mulai
bereaksi terhadap konflik, kemudian konflik meningkat, (4) klimaks, konflik
mencapai puncaknya, (5) penyelesaian, konflik terpecahkan dan menemukan
penyelesaiannya dan (6) amanat/pesan moral tersurat/tersirat teks cerpen setelah
diberi kesempatan mencermatinya.

b. Peserta didik dapat menjelaskan unsur kebahasaan (kata-kata sifat untuk


mendeskripsikan pelaku, penampilan fisik atau kepribadiannya, kata-kata
keterangan untuk menggambarkan latar (latar waktu,tempat, dan suasana) dan
kata kerja yang menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dialami para pelaku teks
cerita pendek setelah diberi kesempatan membaca.

5. Alokasi Waktu:1 kali pertemuan ( 2 x 40 JP).

6. Tahap Pembelajaran:
a. Stimulation (simullasi/Pemberian rangsangan).
 Peserta didik mengingat kembali tentang cerpen yang pernah dibaca.
 Peserta didik menyebutkan judul-judul cerpen yang pernah dibaca.

b. Problem statement (pertanyaan/identifikasi masalah).


 Peserta didik dengan atau tanpa bantuan guru menanya tentang struktur
isi cerpen.
 Peserta didk dengan atau tanpa bantuan guru menanya tentang hal-hal
yang berkaitan dengan ciri-ciri bahasa.

c. Data collection (pengumpulan data).


 Peserta didik mendiskusikan struktur isi teks cerpen (judul, tokoh dan
penokohan, latar, konflik, klimaks, peleraian, amanat).
 Peserta didik mendiskusikan ciri bahasa teks cerpen.
 Peserta didik menjawab atau mengajukan pertanyaan terkait dengan isi
teks cerpen (pertanyaan literal, inverensial, integrative, kritis).

d. Data processing (pengolahan data).

 Peserta didik menuliskan struktur isi cerpen(1) judul, (2) perkenalan, (3)
memperkenalkan siapa para pelaku, apa yang dialami pelaku dan dimana
terjadinya peristiwa, (3) komplikasi, konflik muncul dan para pelaku mulai
bereaksi terhadap konflik, kemudian konflik meningkat, (4) klimaks,
konflik mencapai puncaknya, (5) penyelesaian, konflik terpecahkan dan
menemukan penyelesaiannya dan (6) amanat/pesan moral tersurat/tersirat
teks cerpen setelah diberi kesempatan mencermatinya.
 Peserta didik dapat menjelaskan unsur kebahasaan (kata-kata sifat ) untuk
mendeskripsikan pelaku, penampilan fisik atau kepribadiannya, kata-kata
keterangan untuk menggambarkan latar (latar waktu,tempat, dan suasana)
dan kata kerja yang menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dialami para
pelaku teks cerita pendek setelah diberi kesempatan membaca.

e. Verification (pembuktian).
 Peserta didik mempresentasikan hasil pekerjaan tentang struktur isi
cerpen dan unsur kebahasaan.
 Peserta didik menanggapi hasil presentasi kelompok lain.

f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi).


 Peserta didik memperbaiki dan melengkapi hasil kerja kelompoknya.
 Peserta didik dengan atau tanpa bantuan guru dapatmenyimpulkan
struktur isi cerpen dan unsur kebahasaan.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran Penemuan (Discovery
Learning ) dapat diterapkan pada pembelajaran struktur isi cerpen. Model pembelajaran tersebut
diharapkan dapat menunjang keberhasilan belajar peserta didik.

Daftar Pustaka

Syah, M. 1996. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai