Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

MENGENAI ASKEP PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN MASALAH KESEHATAN

Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Ajar “ Keperawatan Anak”

Disusun Oleh : Kelompok 3

Agi Lesmana
Ajat
Eli Iryanti
Fitri
Muhamad Ramdani
Nisa Andriani
Rosad
Yusdi

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN TRANSFER


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
TA 2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan karunianya, serta salawat dan salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas makalah
Kelompok Mata Kuliah “KEPERAWATAN ANAK”.

Penulis menyadari bahwa dalan penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari berbagai pihak untuk menambah wawasan . Semoga Karya tulis ini mendatangkan manfaat
bagi panulis khususnya dan bagi rekan – rekan umumnya. Amiin.

Sukabumi, Maret 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 1

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Hiperbilirubinemia 4
2.2 Tetanus Neonatorum 10
2.3 Ruam Popok 17
2.4 Analisa Tindakan Hipotermia 18
2.5 Perawatan bayi yang terpasang fototherapi 20
2.6 Perawatan bayi dengan transfuse tukar 23

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 30


3.1 Kesimpulan 30
3.2 Saran 30

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar
kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan
dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun
terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin
memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu,
maka terjadilah awal proses fisiologik sebagai berikut :
1. Peredaran darah melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk bernafas
(pertukaran oksigen dengan karbondioksida).
2. Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan.
3. Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi oleh tubuh untuk
mempertahankan homeostasis kimia darah
4. Hati berfungsi untuk menetralisasi dan mengekresi bahan racun yang tidak diperlukan
badan
5. Sistem imunologik berfungsi untuk mencegah infeksi.
6. Sistem kardiovaskular serta endokrin bayi menyesuaikan diri dengan perubahan fungsi
organ tersebut diatas
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau
kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan
anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun
sesudah lahir.
Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa
perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini
timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang
memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya
perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan
mempunyai kesempatan hidup yang kecil.

4
Untuk mampu mewujudkan koordinasi dan standar pelayanan yang berkualitas maka
petugas kesehatan dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melaksanakan
pelayanan essensial neonatal yang dikategorikan dalam dua kelompok yaitu :
1. Pelayanan Dasar
1) Persalinan aman dan bersih
2) Mempertahankan suhu tubuh dan mencegah hiportermia.
3) Mempertahankan pernafasan spontan
4) ASI Ekslusif
5) Perawatan mat
2. Pelayanan Khusus.
1) Tatalaksana Bayi Neonatus sakit.
2) Perawatan bayi kurang bulan dan BBLR
3) Imunisasi

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana asuhan keperawatan pada bayi baru lahir dengan masalah
kesehatan ?
2. Bagaimana Perawatan bayi dalam incubator ?
3. Bagaimana perawatan bayi yang terpasang fototherapi ?
4. Bagaimana perawatan bayi dengan transfuse tukar ?

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HIPERBILIRUBINEMIA
2.1.1 Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya akumulasi bilirubin dalam darah (level
normal 5 mg/dl pada bayi normal) yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang
terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urine.
2.1.2 Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-maca vm keadaan. Penyebab
yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas
golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karena
adanya perdarahan tertutup (sefal hematoma, perdarahan subaponeoratik) atau
inkompatabilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam
terjadinya hiperbilirubinemia : keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan
gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia
adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan acidosis, hipoglikemia dan polisitemia.
2.1.3 Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar
yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan
protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan acidosis atau
dengan hipoksia/anoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan gagguan konjugasi hepar (defisiensi enszim glukoronil
transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.

6
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada
otak ini disebut kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada sususnan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi
terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia,
dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

Tabel.1 Perbandingan Tipe Unconjungatif Hyperbilirubinemia

Fisiologis jaundice Jaundice yang Jaundice Breast Hemolitik desease


berhubungan dengan milk
Breast feeding
Penyebab Fungsi hepatik Intake susu yang jelek Faktor-faktor pada Incompatibilitas
immatur ditambah berhubungan dengan susu ibu yang antigen yang
peningkatan bilirubin konsumsi kalori yang berubah, bilirubin menyebabkan
dari hemolisis RBC sedikit pada bayi menjadi bentuk hemolisis sebagian
sebelum susu ibu lemak yang mana dari RBC.
keluar direabsorbsi usus Hati tidak mampu
untuk
mengkonjugasikan
dan mengeksresikan
kelebihan bilirubin
dari hemolisis
Onset Setelah 24 jam 2 - 3 hari 4 - 5 hari Selama 24 jam
pertama (bayi pertama

7
prematur, bayi lahir
lama)
Puncak 72 jam 2 - 3 hari 10 - 15 hari Bervariasi
Durasi Berkurang setelah 5- Sampai seminggu
7 hari
Terapi Fototherapi jika Berikan ASI sesering Hentikan ASI Posnatal:
bilirubin meningkat mungkin, berikan selama 24 jam fototherapi, bila
dengan cepat suplemen kalori, untuk perlu transfusi tukar
fototherapi untuk mendeterminasi Prenatal:
kadar bilirubin 18 - 20 sebab, jika kadar Transfusi (fetus)
mg/dl bilirubin menurun Mencegah
pemberian ASI sensitisasi dari RH
dapat diulangi. negatif ibu dengan
Dapat dilakukan RhoGAM
fototherapi tanpa
menghentikan
pemberian ASI

2.1.4 Pengkajian
1. Riwayat keluarga dan kehamilan:
a.) Orang tua atau saudara dengan neonatal jaundice atau penyakit lever
b.) Prenatal care
c.) DM pada ibu
d.) Infeksi seperti toxoplasmosis, spilis, hepatitis, rubela, sitomegalovirus dan herves
yang mana ditransmisikan secara silang keplasenta selama kehamilan
e.) Penyalahgunaan obat pada orang tua.
f.) Ibu dengan Rh negatif sedangkan ayah dengan Rh positif
g.) Riwayat transfusi Rh positif pada ibu Rh negative
h.) Riwayat abortus dengan bayi Rh positif
i.) Obat-obatan selama kehamilan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria
j.) Induksi oksitosin pada saat persalinan

8
k.) Penggunaan vakum ekstraksi
l.) Penggunaan phenobarbital pada ibu 1-2 bulan sebelum persalinan
2) Status bayi saat kelahiran:
a) Prematuritas atau kecil masa kehamilan
b) APGAR score yang mengindikasikan asfiksia
c) Trauma dengan hematoma atau injuri
d) Sepsis neonatus, adanya cairan yang berbau tidak sedap
e) Hepatosplenomegali
3) Kardiovaskuler
a) Edema general atau penurunan volume darah, mengakibatkan gagal jantung pada hidro
fetalis
4) Gastrointestinal
a) Oral feeding yang buruk
b) Kehilangan berat badan sampai 5 % selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya
intake kalori
c) Hepatosplenomegali
5) Integumen
a) Jaundice selama 24 jam pertama (tipe patologis), setelah 24 jam pertama (Fisiologik
tipe) atau setelah 1 bulan dengan diberikan ASI
b) Kalor yang disebabkan oleh anemia yang terjadi karena hemolisis RBC
6) Neurologik
a) Hipotoni
b) Tremor, tidak adanya reflek moro dan reflek menghisap, reflek tendon yang minimal
c) Iritabilitas, fleksi siku, kelemahan otot, opistotonis
d) Kejang
7) Pulmonari
a) Apnu, sianosis, dyspnea setelah kejadian kern icterus
b) Aspiksia, efusi pulmonal

9
8) Data Penunjang
a) Golongan darah dan faktor Rh pada ibu dan bayi untuk menentukan resiko
incompatibilitas, Rh ayah juga diperiksa jika Rh ibu negatif (test dilakukan saat
prenatal
b) Amniosintesis dengan analisa cairan amnion, Coombs test dengan hasil negatif
mengindikasikan peningkatan titer antibodi Anti D, bilirubin level pada cairan amnion
meningkat sampai lebih dari 0,28 mg/dl sudah merupakan nilai abnormal
(mengindikasikan kebutuhan transfusi pada janin).
c) Coombs test (direct) pada darah tali pusat setelah persalinan, positif bila antibodi
terbentuk pada bayi.
d) Coombs test (indirect) pada darah tali pusat, positif bila antibodi terdapat pada darah
ibu.
e) Serial level bilirubin total, lebih atau sama dengan 0,5 mg/jam samapi 20 mg/dl
mengindikasikan resiko kernikterus dan kebutuhan transfusi tukar tergantung dari berat
badan bayi dan umur kehamilan.
f) Direct bilirubin level, meningkat jika terjadi infeksi atau gangguan hemolisis Rh
g) Hitung retikulosit, meningkat pada hemolysis
h) Hb dan HCT
i) Total protein, menentukan penurunan binding site
j) Hitung leukosit, menurun sampai dibawah 5000/mm3, mengindikasikan terjadinya
infeksi
k) Urinalsis, untuk mendeteksi glukosa dan aseton, PH dan urobilinogen, kreatinin level
2.1.5 Diagnosa Keperawatan
1) Resiko tinggi injuri berhubungan dengan produk sisa sel darah merah yang berlebihan
dan imaturitas hati
Tujuan 1: Pasien mendapatkan terapi untuk menyeimbangkan eksresi bilirubin
Tindakan:
a) Kaji adanya jaundice pada kulit, yang mana mengindikasikan peningkatan kadar
bilirubin
b) Cek kadar bilirubin dengan bilirobinometer transkutan untuk mengetahui
peningkatan atau penurunan kadar bilirubin

10
c) Catat waktu terjadinya jaundice untuk membedakan fisiologik jaundice (terjadi
setelah 24 jam) dengan patologik jaundice (terjadi sebelum 24 jam)
d) Kaji status bayi khususnya faktor yang dapat meningkatkan resiko kerusakan otak
akibat hiperbilirubinemia (seperti hipoksia, hipotermia, hipoglikemia dan metabolik
asidosis)
e) Memulai feeding lebih cepat utuk mengeksresikan bilirubin pada feces
Hasil yang diharapkan:
a) Bayi baru lahir memulai feeding segera setelah lahir
b) Bayi baru lahir mendapatkan paparan dari sumber cahaya
Tujuan 2: tidak terjadi komplikasi dari fototherapi
Tindakan:
a) Tutupi mata bayi baru lahir untuk menghindari iritasi kornea
b) Tempatkan bayi secara telanjang dibawah cahaya untuk memaksimalkan paparan
cahaya pada kulit
c) Ubah posisi secara teratur utnuk meningkatkan paparan pada permukaan tubuh
d) Monitor suhu tubuh untuk mendeteksi hipotermia atau hipertermia
e) Pada peningkatan BAB, bersihkan daerah perienal untuk menghindari iritasi
f) Hindarkan penggunaan minyak pada kulit untuk mencegah rasa pedih dan terbakar
g) Berikan intake fluid secara adekuat untuk menghindari rehidrasi
Hasil yang diharapkan : tidak terjadi iritasi mata, dehidrasi, instabilitas suhu dan
kerusakan kulit
Tujuan 3: Tidak adanya komplikasi dari transfusi tukar (jika terapi ini diberikan)
Tindakan:
a) Jangan berikan asupan oral sebelum prosedur (2-4 jam) untuk mencegah aspirasi
b) Cek donor darah dan tipe Rh untuk mencegah reaksi transfuse
c) Bantu dokter selama prosedur untuk mencegah infeksi
d) Catat secara akurat jumlah darah yang masuk dan keluar untuk mempertahankan
volume darah
e) Pertahankan suhu tubuh yang optimal selama prosedur untuk mencegah hipotermia
dan stress karena dingin atau hipotermia

11
f) Observasi tanda perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia, distress nafas,
perubahan tekanan darah secara dramatis, ketidakstabilan temperatur, dan rash)
g) Siapkan alat resusitasi untuk mengatasi keadaan emergensi
h) Cek umbilikal site terhadap terjadinya perdarahan atau infeksi
i) Monitor vital sign selama dan stelah transfusi untuk mendeteksi komplikasi seperti
disritmia jantung.
Hasil yang diharapkan :
a) Bayi menunjukkan tidak adanya tanda-tanda reaksi transfuse
b) Vital sign berada pada batas normal
c) Tidak terjadi infeksi atau perdarahan pada daerah terpasangnya infus
2) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan bayi dengan potensial respon
fisiologis yang merugikan
Tujuan 1 : Keluarga dapat memberikan suport emosional
Tindakan:
a) Hentikan fototherapi selama kujungan keluarga, lepaskan tutup mata bayi untuk
membantu interaksi keluarga
b) Jelaskan proses fisiologis jaundice untuk mencegah kekhawatiran keluarga dan
potensial over proteksi pada bayi
c) Yakinkan keluarga bahwa kulit akan kembali normal
d) Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya untuk memperpendek periode jaundice
e) Jelaskan kegunaan ASI untuk mengatasi jaundice dan penyakit lainnya
Hasil yang diharapkan:
Keluarga menunjukkan pengertian terhadap terapi dan prognosa
Tujuan 2: Keluarga dapat melaksanakan fototherapi dirumah
Tindakan:
a) Kaji pengertian keluarga terhadap jaundice dan terapi yang diberikan
b) Instruksikan keluarga untuk:
c) Melindungi mata
d) Merubah posisi
e) Memberikan asupan cairan yang adekuat
f) Menghindari penggunaan minyak pada kulit

12
g) Mengukur suhu aksila
h) Mengobservasi bayi: warna, bentuk makanan, jumlah makanan
i) Mengobservasi bayi terhadap tanda letargi, perubahan pola tidur, perubahan pola
eliminasi.
j) Menjelaskan perlunya test bilirubin bila diperlukan
Hasil yang diharapkan:
a) Keluarga dapat menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan fototherapi di rumah
(khususnya metode dan rasional)

2.2 TETANUS NEONATORUM


2.2.1 PENGERTIAN
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa
disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani.
2.2.2 ETIOLOGi.
Sering kali tempat masuk kuman sulit diketahui tetapi suasana anaerob seperti pada
luka tusuk, lukakotor, adanya benda asing dalam luka yang menyembuh , otitis media, dan
caries gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
2.2.3 PATOFISIOLOGI
Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat berubah menjadi kuman vegetatif yang
menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf
dan menyebabkan hilangnya keseimbangan tonus otot sehingga terjadi kekakuan otot baik
lokal maupun mnyeluruh. Bila toksin banyak, selain otot bergaris, otot polos dan saraf otak
juga terpengaruh.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan
air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk

13
menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1) Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular.
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
2) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada orang dewasa
sirkulasi otak mencapai 15 % dari seluruh tubuh. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh
dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi
kejang. Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat
yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme
otak meningkat.
3) PROGNOSIS
Bila periode”periode of onset” pendek penyakit dengan cepat akan berkembang
menjadi berat.
2.2.4 TANDA DAN GEJALA
1) Kekakuan otot, disusul dengan kesulitan membuka mulut (trismus).
2) Diikuti gejala risus sardonikus,kekauan otot dinding perut dan ekstremitas (fleksi pada
lengan bawah, ekstensi pada telapak kaki).
3) Pada keadaan berat, dapat terjadi kejang spontan yang makin lama makin sering dan
lama, gangguan saraf otonom seperti hiperpireksia, hiperhidrosis,kelainan irama
jantung dan akhirnya hipoksia yang berat.

14
4) Bila periode”periode of onset” pendek penyakit dengan cepat akan berkembang
menjadi berat
5) Untuk memudahkannya tingkat berat penyakit dibagi :
a) Ringan : hanya trismus dan kejang local.
b) Sedang : mulai terjadi kejang spontan yang semakin sering, trismus yang tampak
nyata, opistotonus dan kekauan otot yang menyeluruh.
2.2.5 TEST DIAGNOSTIK
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi
:
1) Darah
Glukosa Darah:Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
BUN:Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik
akibat dari pemberian obat.
3) Elektrolit:K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
a) Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
b) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
c) Skull Ray:Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
d) EEG:Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
2.2.6 KOMPLIKASI
1) Bronkopneumoni
2) Asfiksia dan sianosis.
2.2.7 PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya , penatalaksanaan tetanus bertujuan :
1) Eliminasi kuman
2) Debridement
untuk menghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang jaringan yang
rusak, membuang benda asing, merawat luka/infeksi, membersihkan liang telinga/otitis
media, caries gigi.

15
3) Antibiotika
a) penisilna prokain 50.000-100.000 ju/kg/hari IM, 1-2 hari, minimal 10 hari.
Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.
4) Netralisasi toksin
Toksin yang belum melekat di jaringan.Dapat diberikan ATS 5000-100.000 KI
5) perawatan suporatif
Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional :
a) Nutrisi dan Cairan.
b) pemberian cairan IV sesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan penderita,
seperti sering kejang, hiperpireksia dan sebagainya.
c) beri nutrisi tinggi kalori, bila perlu dengan nutrisi parenteral
d) bila sounde naso gastrik telah dapat dipasang (tanpa memperberat kejang)
pemberian makanan peroral hendaknya segera dilaksanakan.
e) Menjaga agar nafas tetap efisien
f) pembersihan jalan nafas dari lender
g) pemberian zat asam tambahan
h) bila perlu , lakukan trakeostomi (tetanus berat)
i) Mengurangi kekakuan dan mengatasi kejang
- antikonvulsan diberikan secara tetrasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan
respon klinis.
- pada penderita yang cepat memburuk (serangan makin sering dan makin lama),
pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi yaitu mulai lagi
dengan pemberian bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan.
Pengobatan rumat seperti Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB
dibagi 2 dosis pada hari pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis
pada hari berikutnya
- bila dosis maksimal telah tercapai namun kejang belum teratasi , harus
dilakukan pelumpuhan obat secara total dan dibantu denga pernafasan mekanik
(ventilator)
j) Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka.

16
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
- Usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
2.2.8 ASUHAN KEPERAWATAN
1) PENGKAJIAN
A. Data subyektif
a) Biodata/Identitas
Biodata klien mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
b) Keluhan utama kejang
c) Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit sekarang yang menyertai. Apakah muntah, diare, truma kepala,
gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung,
DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita
pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk
pertama kali ?
Apakah ada riwayat trauma kepala, luka tusuk, lukakotor, adanya benda asing
dalam luka yang menyembuh , otitis media, dan caries gigi, menunjang
berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
e) Riwayat kesehatan keluarga.
Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang aseptik.
f) Riwayat social
Hubungan interaksi dengan keluarga dan pekrjaannya
g) Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
- Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ? Gaya hidup yang
berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan
- kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ? Pola nutrisi

17
- Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi Ditanyakan bagaimana kualitas dan
kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh klien ?
- Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ?
- Bagaimana selera makan anak ?
- Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
h) Pola Eliminasi :
BAK:ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan
bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah
disertai nyeri saat kencing.
BAB:ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya
lunak,keras,cair atau berlendir ?
i) Pola aktivitas dan latihan
j) Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam berapa ?
Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?
B) Data Obyektif
a) Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah,
nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu
tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti
sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
b) Pemeriksaan Fisik
o Kepala dan Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien
dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan
seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada
pasien.
o Muka/ Wajah.
Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan
nervus cranial ?

18
o Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan
ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
o Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi
seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan
dari telinga, berkurangnya pendengaran.
o Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas
? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
o Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynusitis? Bagaimana keadaan
lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada
caries gigi ?
o Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring,
cairan eksudat ?
o Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah
pembesaran vena jugulans ?
o Thorax
Pada insfeksi: amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale ?
Pada auskultasi,:adakah suara napas tambahan ?
o Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi
tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
o Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana
turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah pembesaran lien dan hepar ?

19
o Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
o Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang?
Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
o Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi ?
B) Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
a) Risiko cedera fisik berhubungan dengan serangan kejang berulang.
b) Risiko ketidak efektifan jalan nafas berhubungan dengan sekunder dari depresi
pernafasan
c) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan produksi sekret yang berlebihan
pada jalan nafas.
d) Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya berhubungan
dengan keterbatasan informasi.
e) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan reaksi eksotoksin

2.3 RUAM POPOK

Ruam popok adalah iritasi pada kulit bayi Ibu di daerah pantat. Ini bisa terjadi jika ia popok
basahnya telat diganti, popoknya terlalu kasar dan tidak menyerap keringat, infeksi jamur atau
bakteri atau bahkan eksema

Ruam popok merupakan masalah kulit pada daerah genital bayi yang ditandai dengan
timbulnya bercak-bercak merah dikulit, biasanya terjadi pada bayi yang memiliki kulit sensitif
dan mudah terkena iritasi. Bercak-bercak ini akan hilang dalam beberapa hari jika dibasuh
dengan air hangat, dan diolesi lotion atau cream khusus ruam popok, atau dengan melepaskan
popok beberapa waktu.

20
Ruam popok (diaper rash) adalah gangguan yang lazim ditemukan pada bayi. Gangguan
ini banyak mengenai bayi berumur kurang dari 15 bulan, terutama pada kisaran usia 8 – 10
bulan.

2.4 ANALISA TINDAKAN HIPOTERMIA


A. Tindakan kegiatan yang dilakuakan : Perawatan Bayi Inkubator .
B. Nama Px :
C. Dx Medis :
D. Persiapan, Prosedur kerja dan Rasional kerja
1. Persiapan Alat :  Inkubator  Perlak  Selimut  Termometer
2. Persiapan Pasien :  Perkenalan diri kepada ibu px  Identifikasi kepada ibu px 
Menjelaskan tujuan kepada ibu pasien.  Menjelaskan langkah dan prosedur kerja kepada
ibu px
3. Prosedur Kerja
 Cuci tangan R/ untuk menjaga kebersihan dan proteksi diri
 Pastikan bahwa semua petugas yang terlibat dalam perawatan ini mampu
menggunakan inkubator dengan benar R/ menghindariterjadinyakesalahan
 Tentukan suhu yang tepat untuk inkubator berdasarkan usia dan berat badan
bayi R/ untukmengetahuisuhubayisebelum di incubator
  menyesuaikan suhu inkubator untuk mempertahankan lingkungan suhu netral
(NTE).Inkubator memerlukan pasokan listrik yang tidak terputus. Hangatkan
inkubator sampai suhu yang diinginkan sebelum meletakkan bayi di dalamnya.
 Perhatikan lokasi inkubator di ruang bayi. Inkubator harus jauh dari jendela
yang tidak bisa ditutup rapat.
 Bersihkan kasur dan tutupi dengan lembaran seprai bersih.
 Pastikan bahwa reservoir air inkubator kosong; bakteri yang berbahaya dapat
berkembang dalam air dan menginfeksi bayi. Membiarkan reservoir kering
tidak akan mempengaruhi fungsi incubator.
 Pastikan bahwa kepala bayi tertutup dan bayi diberi baju atau tertutup
kecualijika bayi perlu telanjang atau dilepaskan bajunya sebagian untuk
pengamatan atau prosedur.

21
 Letakkan hanya satu bayi dalam tiap incubator.
 Tutup kap secepat mungkin setelah meletakkan bayi di dalamnya, dan
pertahankan jendela inkubator tetap tertutup setiap saat guna mempertahankan
kehangatan inkubator.
 Periksa suhu inkubator setiap jam selama delapan jam pertama, dan kemudian
setiap tiga jam.
 Ukur suhu bayi setiap jam selama delapan jam pertama, dan kemudian setiap
tiga jam.
 Suhu neonatus harus dipantau secara berkala, setiap 4 jam atau sesuai instruksi
dokter. R/ untuk mempertahankan suhu tubuh 36,5 – 37,5°C.
 Jika suhu bayi kurang dan 36,5 °C atau lebih dan 37,5 °C, sesuaikan suhu
inkubator berdasarkan suhu tersebut.
 Jika suhu bayi tetap kurang dan 36,5 °C atau lebih dan 37,5 °C meskipun
inkubator dipertahankan pada pengaturan yang direkomendasikan, atasi suhu
tubuh yang tidak normal.
 Lubang jendela inkubator sedapat mungkin harus digunakan saat melakukan
perawatan neonatus, dan tidak dengan membuka pintu inkubator yang lebih
besar.
 Berikan bayi kepada ibu segera setelah bayi tidak lagi membutuhkan perawatan
khusus dan prosedur serta terapi yang sering.
 Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia, sehingga bayi harus diberi
ASIsedikit—sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus
glukosa10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari
 Suhu Inkubator BERAT LAHIR SUHU INKUBATOR (OC) MENURUT
UMUR 35oC 34 oC 33 oC 32 oC <1500 g 1-10 hari 11hari- 3 minggu 3-5
minggu >5 minggu 1500-2000 g 1-10 hari 11 hari –4 minggu >4 minggu 2100
– 2500 g 1-2 hari 3 hari – 3 minggu >3 minggu >2500 g 1-2 hari > 2 hari
E. EvaluasiHasilKegiatan

22
2.5 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PERAWATAN BAYI
HIPERBILIRUBIN YANG TERPASANG FOTO TERAPI

A. PENGERTIAN
Memberikan perawatan kepada bayi yang terpasang foto terapi atau bayi yang
mengalami hiperbilirubin merupakan salah satu asuhan keperawatan untuk memenuhi
kebutuhan bayi yang terpasang foto terapi.
Fototerapi merupakan alat yang berupa sinar, cahaya Flourescent yang
mengandung ultraviolet dengan spectrum ideal 420 – 450 mu. Mempunyai kemampuan
menurunkan kadar bilirubin dan mengeluarkan dengan oksidasi cahaya sehingga bilirubin
pathogen berubah jadi bilirubin a-pathogen.
B. TUJUAN
 Mengurangi/menurunkan kadar bilirubin yang pathogen.
 Mencegah penumpukan bilirubin indirect dalam sel otak (mencegah Kern Ikterus)
C. INDIKASI
 Indikasi foto terapi dan transfuse ganti berdasarkan BB

KADAR BILIRUBIN (mg/dl)


BB (gr)
FOTOTERAPI TRANSFUSI GANTI

< 1000 Mulai 24 jam 1 10 – 12

1000 – 1500 7–9 12 – 15

1500 – 2000 10 – 12 15 – 18

2000 – 2500 13 – 15 18 – 20

> 2500 & bayi sakit 12 – 15 18 – 20

 Indikasi fototerapi dan transfuse ganti berdasarkan bayi cukup bulan dan atau
tanpa resiko Canadian Pediatric Society

23
KADAR BILIRUBIN (mg/dl)
UMUR (jam)
TANPA RESIKO DENGAN RESIKO

24 10 8

48 15 13

> 72 > 18 > 16

 Indikasi fototerapi profilaksis


- Bayi kecil (BB < 1500 gr) yang cenderung berlanjut pada kadar bilirubin
patologis
- Bayi premature dengan memar berat
- Bayi dengan proses hemolysis sementara menunggu transfuse ganti
 Indikasi bayi dengan penyakit hemolitik
- Ketidaksesuaian rhesus
- Inkompatibilitas ABO
D. KONTRAINDIKASI
 Hiperbilirubin karena bilirubin direk (hepatitis)
 Hiperbilirubin obstruksiva (atresia biliaris)
E. PERSIAPAN
a) Persiapan Pasien
 Pastikan klien memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (minum, aktivitas,
tidur, terhindar infeksi, personal hygiene, keseimbangan suhu).
 Amati seluruh tubuh klien (warna kulit, mata, aktivitas, kotoran atau bau).
 Atur posisi sesuai prosedur yang akan dilakukan
b) Persiapan Alat
 Siapkan pemberian minum ASI/PASI
 Pemeriksaan fisik
 Alat tenun dan pakaian bayi
 Alat memandikan
 Tempat sampah
24
 Penutup mata dan testis (bahan tak tembus cahaya)
c) Persiapan Lingkungan
 Amati instalasi yang berhubungan dengan listrik
 Tidak menempatkan bayi dekat pintu atau jendela yang terbuka
 Amati lampu foto terapi, lama pemakaian dan keutuhannya
F. PELAKSANAAN
a) Perawat mencuci tangan, alat-alat didekatkan
b) Keluarga diberitahu, lampu fototerapi dimatikan.
c) Lepaskan pelindung mata, amati kotoran dan warna sclera da bersihkan dengan kapas
mata. Catat bila ada hal-hal yang tidak wajar.
d) Pastikan bayi apakah badannya kotor, bau urin atau baung air besar.
e) Bersihkan badan bayi dengan mandi lap didalam incubator kemudian keringkan dengan
handuk
f) Mengganti pakaian/alat tenun/popok basah sesudah dimandikan
g) Observasi TTV, amati seluruh tubuh bayi terutama warna kuning.
h) Lanjutkan pemberian tindakan lainnya, bila harus mendapat antibiotic melalui infus,
berikan terapi sesuai program (5 benar). Check kembali TTV. Dokumentasikan
pemberian terapi.
i) Berikan pemenuhan kebutuhan cairan melalui minum sesuai jadwal dan kebutuhan
bayi. Bila diperkirakan ada kehilangan cairan karena peningkatan suhu, berikan cairan
extra (10 – 15 ml/kgBB).
j) Posisikan kembali bayi untuk melanjutkan pemberian sinar foto terapi.
k) Pakaian bayi dilepas dalam box/incubator.
l) Menutup mata dan testis dengan bahan tidak tembus cahaya.
m) Tidurkan bayi terlentang atau tengkurap
n) Atur jarak bayi 45 – 50 cm dari lampu
o) Atur posisi bayi dalam 3 posisi (mika – miki – tengkurap) setiap 3 – 8 jam
p) Ukur suhu, HR, RR setiap 2 jam.
q) Matikan fototerapi bila memberikan minum, penutup mata dibuka, observasi mata
(kotoran), ijinkan ibu kontak dengan bayi.
r) Catat intake dan output

25
s) Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit (timbang BB 2x sehari) dan efek samping
fototerapi
t) Alat-alat rapihkan dan dibereskan
u) Periksa kadar bilirubin setiap 12-24 jam.
G. KOMPLIKASI
a) Bronze baby syndrome
b) Diare
c) Dehidrasi
d) Ruam kulit
H. EFEK SAMPING
a) Ruam dermatitis pada kulit
b) Hiperpigmentasi
c) Diare
d) Dehidrasi
I. EVALUASI
a) Tanda-tanda hipertermi
b) Tanda-tanda dehidrasi
c) Warna kuning, kebersihan tubuh, pemenuhan cairan dan reaksi klien

J. DOKUMENTASI HASIL TINDAKAN


a) Waktu dan lamanya pelaksanaan pemberian fototerapi
b) Tanda-tanda hipertermi atau gejala dehidrasi
c) Reaksi pasien

2.6 TEKNIK TRANSFUSI TUKAR

A. SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter
vena umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
B. ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri
umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
C. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada
bayi dengan polisitemia.

26
Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O
rhesus positif.

Pelaksanaan tranfusi tukar:

1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
a) Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap
b) Lampu pemanas dan alat monitor
c) Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
d) Masker, tutup kepala dan gaun steril
e) Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah
f) Set tranfusi 2 buah
g) Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath
h) Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i) Selang pembuangan
j) Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis
k) Meja tindakan
4. Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi
tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO
tercantum dalam tabel 5.

27
Tabel 5. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum7

Usia Bayi Cukup Bulan Dengan Faktor Risiko


Sehat

mg/dL mg/dL

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan 30 20


seterusnya

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa
dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai
kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.

Tabel 6. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah11

Berat Kadar Bilirubin


Badan (mg/dL)
(gram)

< 1000 10 – 12

1000 – 12 – 15
1500

1500 – 15 – 18
2000

2000 – 18 – 20
2500

28
Keterangan:

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 11 gr/dL
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat
dengan terapi sinar

4. Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:


a) Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
b) Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
c) Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
d) Perforasi pembuluh darah
5. Komplikasi tranfusi tukar
a) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis.
b) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
c) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
d) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
e) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
f) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
6. Perawatan pasca tranfusi tukar
a) Lanjutkan dengan terapi sinar
b) Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
7. Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:
a) Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis
dari orang tua penderita.
b) Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
c) Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres
dengan NaCl fisiologis

29
d) Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar
albumin < 2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-bilirubin di dalam darah
meningkat sebelum tranfusi tukar sehingga resiko kernikterus menurun, kecuali ada
kontra indikasi atau tranfusi tukar harus segera dilakukan
e) Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik,
Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan
darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya
serta kultur darah.
f) Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
g) Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label
darah)
8. Jumlah Darah Donor yang Dipakai
Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 mL/kgBB, 100 mL/kgBB, 150
mL/kgBB dan 200 mL/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah sebagai
berikut: 45%, 70%, 85-85% dan 90%.
9. Pemasangan Kateter Vena Umbilikalis/Abbocath
a) Bayi diletakkan dalam posisi terlentang. Fiksasi lengan dan tungkai, dijaga agar tidak
banyak bergerak (diikat longgar)
b) Pasang alat monitor yang dibutuhkan (neonatal monitoring). Suhu bayi dipertahankan
pada suhu optimal atau jika ada meja resusitasi bayi diletakkan di bawah lampu
pemanas/sorot dengan jarak 2 meter
c) Semua tindakan harus dilaksanakan secara aseptik dan antiseptik, personil yang terlibat
langsung harus memakai gaun, sarung tangan, dan masker steril
d) Bersihkan daerah sekitar tali pusat atau tempat lain yang akan dipasang abbocath
dengan cairan antiseptik, tutup dengan kain steril yang berlubang ditengahnya sehingga
tampak tali pusat/ daerah yang akan dipasangkan abbocath
e) Jika dilakukan melalui vena umbilikalis, bersihkan dengan betadine 10%, tali pusat
dipotong kurang lebih 1 cm di atas dasar/kulit abdomen dengan skalpel/pisau steril
f) Jika tali pusat kering, lunakkan dengan kompres NaCl fisiologis selama ½ - 1 jam
g) Vena umbilikalis dicari dan masukkan kateter vena sesuai ukuran bayi, diisi NaCl
fisiologis. Kateter dimasukkan sampai (1) tampak ada darah mengalir dari tubuh bayi

30
atau (2) pada posisi aman, yaitu ujung kateter sedikit di atas diafragma dan di dalam
vena cava inferior (ukuran sekitar panjang dari bahu kiri/kanan ke tali pusat kemudian
diukur ke diagram khusus ukuran kateter tali pusat). Kateter harus diisi cairan untuk
mencegah emboli udara
h) Setelah kateter vena umbilikalis terpasang dilakukan fiksasi dengan jahitan melingkari
kulit/tali pusat diameter 1,5 cm dengan benang sutra steril
i) Jika kateter gagal dipasang di vena umbilikalis, tranfusi dapat dilakukan di vena
saphena magna
j) Kateter atau abbocath dihubungkan dengan three way stopcock, bagian depan dengan
selang infus donor dan bagian belakang dengan selang infus pembuangan yang telah
dihubungkan dengan botol kosong di bawah botol tindakan
10. Pelaksanaan Tranfusi Tukar
a) Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20 mL atau tergantung berat badan bayi,
jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi
b) Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way
stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena
belum bercampur dengan darah donor
c) Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan
menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/kgBB/menit
d) Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar dalam sirkulasi
e) Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai target transfusi
tukar selesai
f) Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran observasi
transfusi tukar
g) Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap
tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan.
Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL. Bila
kadarnya di atas normal maka kalsium glukonas tidak perlu diberikan. Pemberian
larutan kalsium glukonas harus dilakukan secara perlahan-lahan karena bila terlalu
cepat dapat mengakibatkan timbulnya bradikardi/ cardiac arest. Beberapa peneliti

31
menganjurkan untuk tidak memberikan kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan
elektrokardiografi menunjukkan adanya tanda-tanda hipokalsemia
h) Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan neonatal monitoring
i) Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi
tukar
j) Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, lakukan jahitan silk purse string atau ikatan
kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika kateter dicabut jahitan yang mengelilingi
tali pusat dikencangkan

32
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Bayi baru lahirneonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini
sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan
dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka
kematian neonatus.
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya akumulasi bilirubin dalam darah (level normal 5
mg/dl pada bayi normal) yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada
kulit, mukosa, sklera dan urine.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai
gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani.
Ruam popok adalah iritasi pada kulit bayi Ibu di daerah pantat. Ini bisa terjadi jika ia popok
basahnya telat diganti, popoknya terlalu kasar dan tidak menyerap keringat, infeksi jamur atau
bakteri atau bahkan eksema

3.2 SARAN

33

Anda mungkin juga menyukai