A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau
emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan
sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit
selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
B. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000)
adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa
perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari
lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru
obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1%
penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan
awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat
fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi
saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem
pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang
makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.
Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang
disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup
drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan
tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali
merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai
akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder
karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
D. Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas.
Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat
jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat
menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi
menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan
berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan
membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam
menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan
sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara
permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli
yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan
dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap
kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli bagi
pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya
oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler
pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran
pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan
tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran
oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis
yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan
pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida
meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh,
tubuh melakukan metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan
defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia untuk
pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori.
Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi
vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan
vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area
udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda
bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal
adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat
menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering
PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering
menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada
ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik
untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial
(bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS
(emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.
F. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi nafas yang berulang,
pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan
giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun
menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida
arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat
alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk
ventilasi secara mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel kanan yang
disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai
mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi
menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh. Apabila terjadi
malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita
dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-
paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini
terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam
memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi hingga 2 liter per
menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino
yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel
kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara sehingga
pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya
merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-
paru Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama
pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru
untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya
kapasitas vital dan hipoksemia.
4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu pembentukan giant bullae.
Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena
udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara
untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi
pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu berlangsungnya
pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak
pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh
H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5
g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah
H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadap CO2.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55
mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu
perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi
normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping
obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat
klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa
inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat
inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa
obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan
steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk
membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram
dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari
penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis
yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan
medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan sebelum
terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan
perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan.
Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan
tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir
dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim
dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
H. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) adalah :
1) Gejala :
d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
2) Tanda :
a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia.
b. Sirkulasi
1) Gejala
2) Tanda :
f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh dan sianosis
perifer.
c. Integritas ego
1) Gejala :
2) Tanda :
1) Gejala :
d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronchitis).
2) Tanda :
b) Edema dependen.
c) Berkeringat.
d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan (emfisema).
e. Hygiene
1) Gejala :
a) Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehai-hari.
2) Tanda :
f. Pernafasan
1) Gejala :
a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema ,
khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan,
ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama minimal 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak
sekali (bronkhitis kronis).
d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi
produktif (emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan dalam jangka
panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk
gergaji.
2) Tanda :
a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas
bibir (emfisema).
b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi akut (bronchitis
kronis).
c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa supraklavikula,
melebarkan hidung.
d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel chest), gerakan
diafragma minimal.
e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar, lembut, atau krekels
lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama
inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan emfisema, bunyi
pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan, warna merah
(bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer
karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
g. Keamanan
1) Gejala :
a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
h. Seksualitas
1) Gejala :
a) Penurunan libido.
i. Interaksi sosial
1) Gejala :
a) Hubungan ketergantungan.
2) Tanda :
1) Gejala :
2) Rencana pemulangan :
a) Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan rumah atau
mempertahankan tugas rumah.
Engram (2000) menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
adalah :
b. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti alergen (serbuk,
debu, kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional, aktivitas fisik berlebihan, polusi udara, infekasi saluran
nafas, kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
c. Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan (Apendiks A) yang meliputi :
b) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu saat
inspirasi, nafas cuping hidung).
e) Ortopnea.
a) Asma
(1) Batuk (mungkin produktif atau non produktif) dan perasaan dada
seperti terikat.
(2) Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar tanpa
stetoskop.
b) Bronkitis
(1) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari
dan sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).
(1) Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi akibat dari hipoksemia kronis)
(2) Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan oleh udema asistemik yang terjadi
sebagai akibat dari kor pulmonal), secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue bloaters”.
d) Emfisema
(1) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter toraks anterior posterior meningkat
sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).
(1) Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis pasien ini sering digambarkan secara klinis
sebagai “pink puffers“.
(2) Jari-jari tabuh.
d. Pemeriksaan diagnostik :
1) Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi.
2) Sinar x dada menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan pada area
paru-paru.
3) Pemeriksaan fungsi pru menunjukkan peningkatan kapasitas paru-paru total (KPT) dan volume
cadangan paru (VC), penurunan kapasitas vital (KV), dan volume ekspirasi kuat (VEK).
4) Jumlah Darah Lengkap menunjukkan peningkatan hemoglobin, hematokrit, dan jumlah darah
merah (JDM).
6) Esei imunoglobin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum (Immunoglobulin E) jika asma
merupakan salah satu komponen dari penyakit tersebut.
f. Kaji berat badan dan rata-rata masukkan cairan dan diet harian.
2. Fokus Intervensi
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh
sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek
samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan
pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan mempertahankan
jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan
menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan
mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress pernafasan,
penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
sandaran tempat tidur.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat.
Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
Kolaborasi :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan perbaikan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat
kemampuan atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas.
Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
6) Palpasi fremitus.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien
atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas
secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
Kolaborasi :
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI sesuai instruksi
untuk pasien.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek
samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan
peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan
perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan. Evaluasi berat
badan dan ukuran tubuh.
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
4) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi
sering.
Kolaborasi :
1) Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah dicerna,
secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi parenteral.
2) Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau mineral atau
elektrolit sesuai indikasi.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan
pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan pemahaman
penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk
mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup
untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi :
Mandiri :
1) Awasi suhu.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan adekuat.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang
benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu, wadah
sputum.
Kolaborasi :
1) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman gram, kultur
atau sensitivitas.
Engram (2000) menambahkan intervensi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
Intervensi :
b) Sediakan interval waktu diantara kegiatan untuk memungkinkan istirahat diantara kegiatan.
c) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan peningkatan hasil gas darah arteri dan dapat
diantisipasinya tanda dan gejala dari penekanan pernafasan.
d) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanan yang mudah dikunyah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan tidur terpenuhi
dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi :
1) Jika ada pengobatan untuk paru-paru aturlah pemberian obat tersebut untuk diberikan sebelum
waktu tidur. Berikan obat anntitusif yang diprogramkan.
2) Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika diperlukan. Anjurkan
penggunaan oksigen selama tidur jika diperlukan.
3) Pertahankan ruangan bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk bunga dan pengharum ruangan.
4) Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat atau mandi biasa.
5) Bantu pasien untuk mnedapatkan posisi yang nyaman, biasanya dengan meninggikan bagian
kepala tempat tidur sekitar 30 derajat.