Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 26

Tutor: Bahrun Indawan Kasim, SKM, M.Si.


Disusun oleh: Kelompok B1
Kelas Beta 2016

Anastashya Maharani S.P (04011181621029)


Fatrina Mahadewi (04011181621050)
Iza Netiasa Haris (04011181621060)
Vezi (04011181621066)
Alda Tri Amelia (04011181621067)
Melissa Shalimar Lavinia (04011281621107)
Anisah Rizqa Syafitri (04011281621115)
Arindi Maretzka (04011281621117)
Evalina (04011281621124)
Andyra Priandhana (04011281621127)
Dibyo Wiranto (04011281621133)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul
“Laporan Tutorial Skenario A Blok 26” sebagai tugas kompetensi kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan
di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur,
hormat, dan terima kasih kepada :
1. Tuhan YME, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. Bapak Bahrun Indawan Kasim, SKM, M.Si selaku tutor kelompok B1,
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD Beta 2016.
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu
dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 20 September 2019

Kelompok B1

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
KEGIATAN DISKUSI .......................................................................................... iv
SKENARIO B BLOK 26 TAHUN 2019 ................................................................ 1
I. Klarifikasi Istilah .................................................................................. 2
II. Identifikasi Masalah ............................................................................. 3
III. Analisis Masalah .................................................................................. 4
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan ........................................................... 7
V. Sintesis ................................................................................................. 8
VI. Kerangka Konsep ............................................................................... 29
VII. Kesimpulan......................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

iii
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : Bahrun Indawan Kasim, SKM, M.Si.


Moderator : Anisah Rizqa Syafitri
Sekretaris 1 : Anastashya Maharani Sekar Putri
Sekretaris 2 : Evalina
Pelaksanaan : 16 September dan 18 September 2019
13.00 – 15.00 WIB

Peraturan selama tutorial:


 Mengangkat tangan sebelum menyampaikan pendapat.
 Menjawab dan menyampaikan pendapat apabila telah diizinkan oleh
moderator.
 Tidak langsung menyanggah pendapat orang lain.
 Menggunakan gadget hanya untuk kebutuhan tutorial.
 Meminta izin terlebih dahulu dari moderator jika hendak ke toilet.
 Diperbolehkan minum.

iv
SKENARIO A BLOK 26
TAHUN 2019

Dr. Santi telah bertugas sebagai Kepala Puskesmas “Sumber Sehat” di


kecamatan “Waras” selama 3 tahun, kecamatan waras mempunyai luas
wilayah 375 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 38.000 jiwa yang terdiri
dari 4 desa. Pada setiap desa terdapat bidan desa, 3 posyandu, 2 sd, 2 smp,
dan poskesdes. Penduduk di wilayah kerja puskesmas “Sumber Sehat” terdiri
dari 56% pria yang mayoritas bekerja sebagai petani karet. Jumlah ibu hamil
saat ini di wilayah kerja puskesmas “Sumber Sehat” sebanyak 135 orang dan
tahun yang lalu tercatat 4 ibu meninggal karena melahirkan.
Di wilayah kecamatan “Waras” terdapat pabrik pengolahan kayu,
dimana pabrik memproduksi bahan olahan kayu setiap hari sehingga
masyarakat di sekitar pabrik terpapar debu. Pernah dilakukan pemeriksaan
kadar debu oleh pemerintah setempat di lingkungan rumah dan di dalam
rumah penduduk, di dapatkan hasil pemeriksaan kadar debu PM2,5 diatas nilai
ambang batas normal sebesar 80 𝜇g/m3 per 24 jam di lingkungan rumah dan
40 𝜇g/m3 di dalam rumah penduduk.
Seminggu yang lalu, poliklinik KIA puskesmas “Sumber Sehat”
kedatangan Ny.Ani, berumur 27 tahun, untuk ANC (antenatal care)
kehamilan yang kedua, dengan usia kehamilan 32 mgg. Pada saat ANC Ny.
A terdiagnosa Herpes simplex sehingga doker santi memutuskan untuk
merujuk Ny. A ke RSUD BUGAR untuk mencegah penularan kepada anak.
Di RSUD BUGAR, Ny.A ditangani oleh dokter spesialis. Dokter spesialis
yang menangani Ny.A kebetulan sedang melakukan penelitian yang
bertujuan untuk menilai efektivitas terapi IVIG (Intravenous
immunoglobulin) dalam mencegah penularan virus kepada anak yang
dikandung. Pada saat ke puskesmas, Ny.Ani juga membawa Nina, anak
perempuannya yang berumur 3,5 tahun dengan riwayat tidak mendapatkan
ASI Eksklusif. Riwayat kelahiran Nina anak Ny.Ani berlangsung normal di
rumah, cukup bulan, dan dibantu oleh bidan. Dan karena kesibukannya,
Ny.Ani sangat jarang membawa Nina ke posyandu, pada kunjungan

1
terakhirnya di posyandu Nina dinyatakan stunting oleh petugas dinas
kesehatan.
Sebagai dokter santi , apa yang akan anda lakukan untuk meningkatkan
derajat kessehatan pada wilayah kerja puskesmas “Sumber Sehat” tersebut.

I. Klarifikasi Istilah
1. Posyandu : Posyandu adalah salah satu bentuk upaya kesehatan
berbasis masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari,
oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar/social dasar untuk mempercepat penurunan
angka kematian ibu dan angka kematian bayi. (DINKES,2019)
2. Puskesmas : Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi
kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan
masyarakat disamping member pelayananan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok. (Depkes RI)
3. Poskesdes : POSKESDES (Pos Kesehatan Desa) adalah upaya
kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa
dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat desa. (KEMENKES)
4. IVIG : Intravena Immunoglobulin adalah zat yang terbuat
dari antibody yang diambil dari orang sehat dan disuntikkan ke pembuluh
darah. (National Cancer Institute)
5. Pm 2,5 : Partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5
mikron (micrometer) (BMKG,2015)
6. ANC : Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan secara
berkala untuk memeriksa keadaan ibu dan janin yang diikuti dengan
upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. (Pedoman
Pelayananan Antenatal di tingkat pelayan dasar,2004)
7. Stunting : Gangguan pertumbuhan berupa perawakan pendek
yang sebagian besar disebabkan oleh masalah nutrisi. (IDAI,2016)

2
8. Herpes simplex : Infeksi virus yang disebabkan oleh virus
herpes simplex (HSV) tipe 1 atau 2 yang ditandai dengan adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah
dekat mukokutan.
9. Derajat kesehatan : Merupakan salah satu ukuran kesejahteraan dan
kualitas sumber daya manusia dimana untuk menggambarkannya
digunakan indikator kualitas utama seperti angka kematian, kesakitan,
kelahiran, status gizi, dll
10. ASI Eksklusif : Asi yang diberikan kepada bayi sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain. (Peraturan Pemerintah
Nomor.33 tahun 2012)
11. Bidan : Seorang wanita yang telah mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian
sesuai dengan persyaratan yang berlaku dan diberi izin secara sah untuk
melaksanakan praktek. (IBI,2006)
12. Poliklinik KIA : Salah satu unit pelayanan masyarakat yang
bergerak pada bidang kesehatan khususnya kesehatan ibu dan anak.

II. Identifikasi Masalah


1. Dr. Santi telah bertugas sebagai Kepala Puskesmas “Sumber Sehat” di
kecamatan “Waras” selama 3 tahun, kecamatan “Waras” mempunyai luas
wilayah 375 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 38.000 jiwa yang
terdiri dari 4 desa. Pada setiap desa terdapat bidan desa, 3 posyandu, 2 sd,
2 smp, dan poskesdes. Penduduk di wilayah kerja puskesmas “Sumber
Sehat” terdiri dari 56% pria yang mayoritas bekerja sebagai petani karet.
Jumlah ibu hamil saat ini di wilayah kerja puskesmas “Sumber Sehat”
sebanyak 135 orang dan tahun yang lalu tercatat 4 ibu meninggal karena
melahirkan.
2. Di wilayah kecamatan “Waras” terdapat pabrik pengolahan kayu, dimana
pabrik memproduksi bahan olahan kayu setiap hari sehingga masyarakat
di sekitar pabrik terpapar debu. Pernah dilakukan pemeriksaan kadar debu

3
oleh pemerintah setempat di lingkungan rumah dan di dalam rumah
penduduk, di dapatkan hasil pemeriksaan kadar debu PM2,5 diatas nilai
ambang batas normal sebesar 80 𝜇g/m3 per 24 jam di lingkungan rumah
dan 40 𝜇g/m3 di dalam rumah penduduk.
3. Seminggu yang lalu, poliklinik KIA puskesmas “Sumber Sehat”
kedatangan Ny.Ani, berumur 27 tahun, untuk ANC (antenatal care)
kehamilan yang kedua, dengan usia kehamilan 32 mgg. Pada saat ANC
Ny. A terdiagnosa Herpes simplex sehingga dokter santi memutuskan
untuk merujuk Ny. A ke RSUD BUGAR untuk mencegah penularan
kepada anak.
4. Di RSUD BUGAR, Ny.A ditangani oleh dokter spesialis. Dokter
spesialis yang menangani Ny.A kebetulan sedang melakukan penelitian
yang bertujuan untuk menilai efektivitas terapi IVIG (Intravenous
immunoglobulin) dalam mencegah penularan virus kepada anak yang
dikandung.
5. Pada saat ke puskesmas, Ny.Ani juga membawa Nina, anak
perempuannya yang berumur 3,5 tahun dengan riwayat tidak
mendapatkan ASI Eksklusif. Riwayat kelahiran Nina anak Ny.Ani
berlangsung normal di rumah, cukup bulan, dan dibantu oleh bidan. Dan
karena kesibukannya, Ny.Ani sangat jarang membawa Nina ke posyandu,
pada kunjungan terakhirnya di posyandu Nina dinyatakan stunting oleh
petugas dinas kesehatan.

III. Analisis Masalah


1. Dr. Santi telah bertugas sebagai Kepala Puskesmas “Sumber Sehat” di
kecamatan Waras selama 3 tahun, kecamatan waras mempunyai luas
wilayah 375 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 38.000 jiwa yang
terdiri dari 4 desa. Pada setiap desa terdapat bidan desa, 3 posyandu, 2 sd,
2 smp, dan poskesdes. Penduduk di wilayah kerja puskesmas “Sumber
Sehat” terdiri dari 56% pria yang mayoritas bekerja sebagai petani karet.
Jumlah ibu hamil saat ini di wilayah kerja puskesmas “Sumber Sehat”

4
sebanyak 135 orang dan tahun yang lalu tercatat 4 ibu meninggal karena
melahirkan.
a. Apa fungsi dari puskemas? Ashya, melissa
b. Apa tugas dari kepala puskesmas? Alda, vezi
c. Apa saja kegiatan (program) wajib dan tambahan puskesmas?
Tashya, iza
d. Bagaimana struktur dari puskesmas? Andyra, eva
e. Bagaimana perbandingan yang ideal untuk jumlah penduduk dengan
tenaga kerja di suatu wilayah? Dibyo, arindi
f. Bagaimana cara melakukan PTP? Eva, fatrina
g. Bagaimana target cakupan ibu persalinan yang ditolong oleh tenaga
kesehatan? Fatrina, tashya
h. Apa upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kematian ibu
yang melahirkan? Iza, ashya
i. Bagaimana hubungan mayoritas pekerjaan keluarga terhadap status
kesehatan warga? Melissa, dibyo
j. Bagaimana perbedaan fungsi dari puskesmas, poskesdes dan
posyandu? Arindi, andyra
k. Apa yang akan anda lakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan?
Vezi, alda
2. Di wilayah kecamatan “Waras” terdapat pabrik pengolahan kayu, dimana
pabrik memproduksi bahan olahan kayu setiap hari sehingga masyarakat
di sekitar pabrik terpapar debu. Pernah dilakukan pemeriksaan kadar debu
oleh pemerintah setempat di lingkungan rumah dan di dalam rumah
penduduk, di dapatkan hasil pemeriksaan kadar debu PM2,5 diatas nilai
ambang batas normal sebesar 80 𝜇g/m3 per 24 jam di lingkungan rumah
dan 40 𝜇g/m3 di dalam rumah penduduk.
a. Bagaimana interpretasi dari paragraph di atas? Eva, vezi
b. Bagaimana dampak paparan debu terhadap kesehatan masyarakat
kecamatan “Waras”? fatrina, ashya
c. Bagaimana prinsip keselamatan kerja dan kesehatan untuk pekerja
dan masyarakat sekitar? Iza, alda

5
d. Bagaimana baku mutu lingkungan udara? Melissa, tashya
e. Bagaimana upaya perbaikan lingkungan dan pecegahan dampak
kualitas udara yang buruk terhadap kesehatan masyarakat? Arindi,
andyra
3. Seminggu yang lalu, poliklinik KIA puskesmas “Sumber Sehat”
kedatangan Ny.Ani, berumur 27 tahun, untuk ANC (antenatal care)
kehamilan yang kedua, dengan usia kehamilan 32 mgg. Pada saat ANC
Ny. A terdiagnosa Herpes simplex sehingga dokter santi memutuskan
untuk merujuk ny. A ke RSUD BUGAR untuk mencegah penularan
kepada anak.
a. Bagaimana ANC yang ideal pada ibu hamil? Dibyo, ashya
b. Bagaimana upaya untuk meningkatkan kesadaran ibu hamil
mengenai ANC? Alda, tashya
c. Bagaimana cara pencegahan penularan Herpes simplex? Andyra, eva
d. Bagaimana dampak dari ANC yang tidak lengkap terhadap
kesehatan ibu hamil dan janin? Fatrina, iza
e. Bagaimana prinsip perujukan yang tepat untuk kasus? Melissa,
arindi
4. Di RSUD BUGAR, Ny.A ditangani oleh dokter spesialis. Dokter spesialis
yang menangani Ny.A kebetulan sedang melakukan penelitian yang
bertujuan untuk menilai efektivitas terapi IVIG (Intravenous
immunoglobulin) dalam mencegah penularan virus kepada anak yang
dikandung.
a. Apakah tindakan yang dilakukan dokter spesialis menurut
pandangan EBM sudah tepat? Vezi, dibyo
b. Pada penelitian ini pada fase apa dokter melakukan penelitian?
tashya, andyra
5. Pada saat ke puskesmas, Ny.Ani juga membawa Nina, anak perempuannya
yang berumur 3,5 tahun dengan riwayat tidak mendapatkan ASI Eksklusif.
Riwayat kelahiran Nina anak Ny.Ani berlangsung normal di rumah, cukup
bulan, dan dibantu oleh bidan. Dan karena kesibukannya, Ny.Ani sangat

6
jarang membawa Nina ke posyandu, pada kunjungan terakhirnya di
posyandu Nina dinyatakan stunting oleh petugas dinas kesehatan.
a. Apa dampak anak tidak mendapat ASI eksklusif? Ashya, alda
b. Bagaimana hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting? Eva, iza
c. Bagaimana hubungan kunjungan ke posyandu yang tidak rutin
dengan kejadian stunting? Fatrina, melissa
d. Bagaimana upaya untuk mengurangi dan mencegah kejadian
stunting? Arindi, vezi
e. Apa tugas dinas kesehatan provinsi terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat di daerahnya? Dibyo, andyrA

IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan


No Pokok What I What I don’t What I have How will
. Bahasan Know know to prove I learn
 Etiologi
 Penegakan
 Definisi  Patogenesis
diagnosis
 Klasifikasi  Edukasi dan
Respiratory  Pemeriksaan
1.  Manifestasi pencegahan
Distress penunjang
Klinis  Komplikasi
 Diagnosis
 Prognosis Jurnal
banding
Textbook
 Tatalaksana
Internet
Kegawatda-
 Penegakkan Ahli
2. ruratan pada  Jenis-jenis  Prosedur
diagnosis
Anak
Terapi
3. Oksigen  Definisi  Metode  Indikasi
pada Anak

7
V. Sintesis
5.1. Respiratory Distress
5.1.1. Diagnosis Banding

5.1.2. Algoritma Penegakkan Diagnosis


 PAT
 Primary Assesment
 Secondary Assesment
Evaluasi
 Tertiary
 Tindakan tepat Asessment/Diagnostic
sesuai masalah Assesment

Intervensi Identifikas
i
 Masalah Respirasi
 Masalah Sirkulasi
 Kegagalan
kardiorespirasi
 Henti jantung/napas

8
Setelah dilakukan evaluasi, identifikasi pasien dengan
mengkategorikan penyakit dan keparahannya (life threatening
condition  masalah respirasi  distres pernapasan)
5.1.3. Definisi
Distres pernapasan mengacu pada segala jenis kesulitan dalam
bernapas. Bermanifestasi sebagai (satu atau lebih) perubahan pola
pernapasan (cepat, lambat, lemah atau tidak ada), upaya pernapasan
paksa atau pernapasan tersumbat, dan chest indrawing. Distres
pernapasan didefinisikan sebagai keadaan klinis yang ditandai dengan
peningkatan frekuensi pernapasan (takipnea) dan upaya pernapasan
(peningkatan kerja pernapasan). Distres pernapasan dapat bervariasi
dari ringan hingga berat. Distres pernapasan berat sering dikaitkan
dengan gagal napas.
5.1.4. Etiologi

9
Obstruksi jalan napas Laringitis akut, laringotrakeitis,
atas difteria, aspirasi benda asing
Obstruksi jalan napas Bronkiolitis, asma
Gangguan aliran bawah
udara Kompresi mekanik Efusi pleura, pneumotoraks, tumor,
dan peningkatan lengkungan
diafragma
Trauma dinding toraks Hemopneumotoraks dan flail chest
Kegagalan ventilasi Pneumonia, edema paru, hemoragik
Gangguan alveolus paru, fibrosis paru
pertukaran gas Kegagalan difusi Pneumonia, edema paru, fibrosis
alveolar paru, emboli paru, penyakit paru
interstisial
Mekanik atau fungsi Gagal jantung kongestif, aritmia,
Masalah
yang tidak adekuat miokarditis, perikarditis, right-to-
kardiovaskuler
left shunts
Depresi pusat Gangguan kesadaran, peningkatan
pernapasan TIK, perdarahan intrakranial,
keracunan
Stimulasi pusat Asidosis, intoksikasi salisilat
Masalah sistem
pernapasan
saraf
Pemulihan Poliomyelitis paralisis akut,
neuromuskular dari Sindrom guillain-barre, keracunan
respirasi organofosfat, gigitan ular, paralisis
diafragma
Suplai oksigen ke Sepsis, anemia berat, ketinggian,
jaringan tidak cukup paparan karbonmonoksida, meth-
hemoglobinemia
Lainnya Peningkatan
kebutuhan oksigen
Kompensasi asidosis Ketoasidosis diabetikum, gagal
metabolik ginjal akut

10
Croup (Laringotrakeobronkitis Viral)
Laringotrakeobronkitis atau croup merupakan infeksi yang
paling umum terjadi pada saluran respiratori tengah. Patogen yang
paling sering mengakibatkan croup adalah adalah virus parainfluenza
(tipe 1, 2, dan 3) dan virus RSV (Respiratory Synctial Virus). Efek
inflamasi pada laringotrakea anak memiliki efek yang lebih berat
karena pengurangan ukuran diameter akibat terjadinya edema mukosa
dan inflamasi yang akan meningkatkan resistensi dan memperberat
kerja ventilasi secara bermakna. Selama inspirasi dinding subglotis
akan menutup sehingga menimbulkan obstruksi dan menghasilkan
stridor yang merupakan tanda khas croup. Croup sering terjadi pada
anak usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun, dengan puncak insidens
pada musim gugur dan awal musim dingin. Secara tipikal, croup
timbul segera setelah atau bersamaan dengan salesma. Pada umumnya
terjadi reinfeksi simtomatis, tetapi biasanya ringan.
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak
begitu tinggi selama 12−72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan
batuk ringan. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48
jam. Manifestasi klinis croup adalah batuk kasar yang dideskripsikan
seperti menggonggong (barking cough) atau suara tiupan (brassy),
suara serak, stridor inspirasi, demam ringan, dan gangguan
pernapasan yang dapat timbul secara lambat atau cepat. Stridor adalah
bunyi respiratori bernada tinggi dan kasar akibat timbulnya turbulensi
aliran udara. Umumnya timbul saat inspirasi, tetapi dapat juga bersifat
bifasik dan merupakan tanda adanya sumbatan jalan napas atas.
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan respiratori atas, seperti sesak
napas dan retraksi suprasternal, interkostal dan subkostal, dapat
ditemukan jelas pada pemeriksaan fisik. Mengi dapat timbul apabila
saluran respiratori bawah juga ikut terlibat.
Pemeriksaan radiologi anteroposterior leher kerap dapat
membantu, meskipun tak selalu. Penegakan diagnsosis adanya
penyempitan subglotis pada penyakit croup yang disebut steeple sign.

11
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dapat membantu
penegakan diagnosis. Leukositosis jarang ditemukan dan dapat
mengarah pada epiglotitis ataupun trakeitis bakterial. Berbagai
pemeriksaan cepat (polymerase chain reaction atau antigen) dapat
digunakan untuk mendeteksi virus parainfluenza dan virus RSV, serta
beberapa virus lainnya penyebab croup walaupun kurang umum,
seperti influenza dan adenovirus.
5.1.5. Epidemiologi
Distres pernapasan merupakan diagnosis primer dari 50% anak
yang dirawat di ruang perawatan intensif anak. Angka kematian
bervariasi tergantung etiologinya, namun dilaporkan mencapai
40−75%. Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang
menunjukkan bahwa 20%−35% kematian bayi dan anak balita
disebabkan oleh ISPA, terutama pneumonia. Distress pernapasan
untuk usia 0,5−5 tahun berjumlah 12,8 insiden per 100.000
orang/tahun. Perbandingan laki-laki : perempuan, 63% : 54%.
Perbedaan mortalitas keduanya tidak signifikan.
Sindrom croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan−6
tahun, dengan puncaknya pada usia 1−2 tahun. Akan tetapi, croup
dapat juga terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15
tahun.Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada
anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat
pada musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat
terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh

12
pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke
dokter.Kekambuhan sering terjadi pada usia 3−6 tahun dan berkurang
sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratori-atas.
Hampir 15% pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan
riwayat penyakit yang sama.
5.1.6. Patofisiologi
Fungsi utama sistem respirasi adalah untuk memasok oksigen
yang dibutuhkan oleh tubuh dan menghilangkan kelebihan karbon
dioksida. Distres pernapasan timbul ketika terdapat gangguan pada
proses pertukaran udara, sehingga mengakibatkan penurunan ventilasi
dan oksigenasi. Sebagian besar penyakit pernapasan pada anak-anak
disebabkan oleh adanya gangguan kerja pada paru-paru atau dinding
dada.
Penyakit obstruktif atau restriktif menyebabkan peningkatan
usaha bernafas dan peningkatan kebutuhan energi pada otot
pernapasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh, yang secara klinis
bermanifestasi sebagai distres pernapasan. Hal ini dibuktikan dengan
adanya peningkatan usaha pernapasan. Kebutuhan yang melebihi
kemampuan ini dapat mengakibatkan insufisiensi respiratori yang
dapat berujung kepada gagal napas (respiratory failure).
Respiratory Distress pada kasus ini disebabkan karena Croup.
Infeksi virus pada laring dimulai dari nasofaring dan menyebar ke
epitel laring. Peradangan difus, eritema dan edema yang terjadi pada
daerah infeksi menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta
area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien
menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran respiratori
atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti
dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Stridor inspirasi
menunjukkan adanya obstruksi pada laring. Pergerakan dinding dada
dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta
mengalami hipoksia dan hiperkapnea.

13
Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidakmampuan
tubuh untuk melakukan oksigenasi dan/atau ventilasi dengan adekuat
yang ditandai oleh ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok
oksigen yang cukup atau membuang karbon dioksida. Pada gagal
napas terjadi peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri
(PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg, tekanan parsial oksigen arteri
(PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau kedua-duanya. Hiperkarpnia dan
hipoksia mempunyai konsekuensi yang berbeda. Peningkatan PaCO2
tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila sudah
mencapai kadar ekstrim (>90 mm Hg). Diatas kadar tersebut,
hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti
napas.
Hipoksemia akut, terutama bila disertai curah jantung yang
rendah, sering berhubungan dengan hipoksia jaringan dan risiko henti
jantung. Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan
napas yang dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan
ventilasi sampai 50% akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg.
Dengan hipoventilasi, PaO2 akan turun kira-kira dengan jumlah yang
sama dengan peningkatan PaCO2. Kadang, pasien yang menunjukkan
pertanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi oksigen mendekati
normal. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru hanya bila pasien
sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang
diperlukan, biasanya karena kelelahan otot.
5.1.7. Klasifikasi
Klasifikasi Respiratory Distress Gejala
Mild Respiratory Distress Takipnea
Dispnea/ napas pendek
Moderate Respiratory Distress Takipnea
Retraksi dinding dada minimal
Napas cuping hidung
Severe Respiratory Distress Takipnea (RR >70x/menit)
Episode apnea/bradipnea/napas ireguler

14
Retraksi dinding dada bawah
Kepala mengangguk-angguk
sianosis
Respiratory Failure Gawat napas+ sianosis + gangguan pada
system syaraf pusat (gelisah, somnolen,
kejang, koma dan atau system
kardiovaskular (takikardi, bradikardi,
hipotensi, cardiac arrest)
Tanda hipoksemia
Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kategori.
1. Ringan: ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang
kadang-kadang muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien
beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi ringan dinding dada.
2. Sedang: ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor yang mudah didengar ketika pasien beristirahat/tidak
beraktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tidak ada
gawat napas (respiratory distress).
3. Berat: ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor
inspirasi yang terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-
kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan
gawat napas.
4. Gagal napas mengancam: batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar
stridor (kadang-kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat),
gangguan kesadaran, dan letargi.
5.1.8. Manifestasi Klinis
1. Peningkatan usaha bernapas
2. Napas cuping hidung
3. Takipnea/dyspnea, kulit teraba dingin dan lembab
4. Retraksi dinding dada
5. Merintih (grunting)
6. Sianosis
7. Agitasi

15
8. Pucat
5.1.9. Tata Laksana
1. Terapi oksigen
2. Croup
Penderita dengan usia lebih dari 6 bulan tanpa komplikasi
(misalnya dehidrasi) dengan skor croup ringan dan orang tua yang
kooperatif bisa berobat jalan. Pasien dengan skor menengah
hingga berat atau terdapat stridor pada keadaan tenang harus
dirawat inap untuk pemantauan dan terapi. Terapi oksigen dengan
nebulizer epinephrine dapat menghilangkan gejala hingga 2 jam.
Dosis epinephrine adalah 0,5 ml/kg/dosis (maksimum 6 ml)
larutan 1:1000 yang diencerkan dengan larutan saline normal.
Efek puncak nebulizer biasanya sekitar 10-30 menit dengan
efektivitas selama 2 jam. Karena itu bila dalam observasi selama
2 jam tidak ada perburukan kembali, pertimbangan untuk berobat
jalan baru dapat diambil. Kortikosteroid hanya dipertimbangkan
pada sumbatan sedang hingga berat. Dexamethasone 0,6
mg/kg/dosis IM dapat mencegah progresivitas croup dan
memperpendek lama penyakit. Karena itu bila diputuskan utuk
menggunakan korticosteroid, pemberiannya harus dilakukan
secepatnya. Anak dengan skor croup 7 atau lebih harus dirawat di
ICU, oksigen, nebulizer uap air, nebulizer epinephrine dan
kortikosteroid harus segera diberikan. Intubasi dilakukan bila
terdapat risiko gagal napas, ditandai dengan letargi, upaya napas
yang tidak adekuat, PaO2 < 70 mmHg dengan FiO2 1.0 dan atau
PaCO2 >60 mmHg. Bila diperlukan intubasi, gunakan
endotracheal tube dengan ukuran 1 mm lebih kecil dari ukuran
baku.
Langkah penanganan croup di ruang gawat darurat meliputi:
1) Upayakan anak tidak mengalami agitasi
2) Biarkan anak dalam “position of comfort”

16
3) Berikan nebulizer uap air, bila tidak menolong berikan
oksigen yang dilembabkan
4) Bila terdapat stridor pada keadaan tenang berikan nebulizer
epinephrine, bila terdapat perbaikan, lakukan pemantauan
selama 2 jam
5) Dexamethasone 0,6 mg/kg IM
6) Intubasi bila terdapat indikasi
7) Foto leher dengan proyeksi anterior-posterior dan lateral (soft
tissue technique) dapat menyingkirkan penyebab sumbatan
lain
8) Pada kasus yang diputuskan untuk rawat jalan, pesankan akan
tanda sumbatan jalan napas yang perlu diperhatikan. Stridor
selalu merupakan indikasi untuk membawa anak mendapat
pertolongan medis.
Perawatan penunjang:
 Hindari manipulasi yang berlebihan yang dapat
memperberat obstruksi (misalnya pemasangan infus yang
tidak perlu).
 Jika anak demam (≥ 39ºC) yang tampaknya menyebabkan
distres, berikan parasetamol.
 Pemberian ASI dan makanan cair.
 Bujuk anak untuk makan, segera setelah memungkinkan.
Pemantauan:
Keadaan anak terutama status respiratorik harus diperiksa oleh
perawat sedikitnya 3 jam sekali dan oleh dokter 1 kali sehari.
5.1.10. Komplikasi
 Gagal nafas (Respiratory failure)
Respiratory failure merupakan keadaan klinis yang lanjut
akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalammempertahankan
pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen. Gagal nafas
merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi
kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara

17
udara dan darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen
dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan
abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan
oleh penyakit paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi
paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan
oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular
dan gangguan sistem saraf pusat.
5.1.11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium rutin
tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan
hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisis. Bila
ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi oleh
PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.
Pemeriksaan radiologi anteroposterior leher kerap dapat membantu,
meskipun tidak selalu.
5.1.12. Prognosis
Respiratory distress merupakan infeksi yang dapat sembuh dengan
baik jika terapi kegawatdaruratan berupa terapi oksigen dilakukan
dengan cepat dan tepat serta etiologi juga di tata laksana sesuai dengan
jenis patogen yang menginfeksi anak.
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad functionam : bonam.

5.1.13. KIE
Edukasi Pencegahan

18
1. Memberitahukan kepada orang tua 1. Meberikan vaksin Hemophillus
dengan menjaga kondisi anak dengan Influenza (Hib), difteri dan campak pada
baik mulai dari mencukupi makan anak-anak
dan minum sehari-hari serta segera ke 2. Mengajarkan etika batuk dan bersin
dokter jika mendapati gejala penyakit pada anak
2. Menjelaskan kepada orang tua 3. Menjauhkan anak dari kontak keluarga
pasien supaya mengkonsumsi obat atau orang yang memiliki keluhan atau
yang diberikan oleh dokter hingga penyakit yang sama
tuntas dan kontrol kembali ke dokter
ketika obat habis atau terjadi
perburukan kondisi
3. Menjauhkan anak dari asap rokok
atau polutan lain, buat suasana sekitar
anak senyaman mungkin
4. Kondisikan anak agar tenang dan
jangan menangis
5. Menjauhkan anak dari anggota
keluarga atau orang yang lain dengan
gejala yang sama
6. Edukasikan kepada orang tua,
tentang warning sign sesaat sebelum
anak dipulangkan
5.1.14. SKDI
Terapi oksigen : 4A
Penilaian pengisian ulang kapiler (capillary refill) : 4A

5.2. Kegawatdaruratan pada Anak


Tabel 1. Gawat Napas pada Anak.
Sistem Penyakit

19
Saluran napas atas  Anafilaksis
 Benda asing
 Trauma
- Tumpul / trauma penetrasi
leher
- Luka bakar jalan napas
(thermal dan chemical)
 Laringospasme
 Epiglottitis
 Croup
 Massa di mediastinum
 Abses retrofaring / abses
peritonsilar
Saluran napas bawah  Asma
 Tension pneumothorax
 Emboli paru (jarang pada anak)
 Pneumonia
Kardiak  Tamponade jantung
 Acute decompensated heart failure
Sistem Saraf Pusat  Perubahan status mental
 Kelemahan neuromuskular
(multiple etiologies)
Metabolik  Ketoasidosis diabetikum
 Toxic ingestion
General Assessment
Pediatric Assessment Triangle (PAT) adalah sarana objektif yang dapat
digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit pada anak. PAT adalah
cara cepat untuk menilai stabilitas fisiologis. PAT terdiri dari appearance,
breathing, dan circulation. Pada appearance, ada dua komponen yang dinilai yaitu
indikator klinis dan status sistem neurologis dengan TICLS dan AVPU.

20
Karakteristik Penampilan
Komponen Penjelasan
Tonus Otot Menilai gerakan:
- aktif atau tidak
- lemas atau tidak
Interaktivitas Alertness: disorientasi atau tidak? apakah anah
ada respon atau interaksi dengan lingkungan
sekitar?
Consolability - Gelisah/agitasi
- Bisa ditenangkan atau tidak?
Look Apakah mata anak mengikuti gerakan Anda dan
menjaga kontak mata dengan benda-benda atau
orang, atau apakah tatapan matanya kosong?
Speech/cry Apakah suara tangisannya kuat atau lemah?
terdengar sayu atau serak?

Karakteristik Upaya Napas


Komponen Penjelasan

21
Bunyi jalan napas abnormal Perubahan bicara, stridor, mengi atau
grunting
Posisi abnormal Head bobbing, tripoding, sniffing
Retraksi Retraksi otot dinding dada, supraklavikula,
interkostal atau substernal
Flaring Napas cuping hidung
Karakteristik Sirkulasi Kulit
Komponen Penjelasan
Pucat Warna kulit putih karena kurangnya darah
tepi
Mottling Perubahan warna kulit yang bebercak, dengan
bercak sianosis, karena ketidakstabilan
vaskuler
Sianosis Warna kebiruan pada kulit
5.3. Terapi Oksigen pada Anak
1) Indikasi terapi oksigen
Menurut American Collage of Chest Physicians and National
Heart Lung and Blood Institute, rekomendasi pemberian terapi oksigen
adalah pada beberapa keadaan sebagai berikut :
 Cardiac-respiratory arrest
 Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 90%)
 Hipotensi
 Curah jantung rendah dan asidosis metabolic
 Distres pernapasan
2) Tujuan
Efek langsung pemberian oksigen dengan kkonsentrasi lebih dari
21% adalah peningkatan tekanan oksigen alveolar, pengurangan usaha
napas untuk mempertahankan tekanan oksigen alveolar, dan penurunan
kerja miokardium untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri. Oleh
karena itu, tujuan terapi oksigen adalah:
 Mengatasi hipoksemia

22
Bila tekanan oksigen alveolar menurun terjadi hipoksemia pada
darah arteri, keadaan hipoksemia dapat diperbaiki dengan
meningkatkan fraksi oksigen udara yang dihisap pada inspirasi.
 Menurunkan usaha napas (work of breathing)
Usaha napas yang meningkat biasanya merupakan respon terhadap
keadaan hipoksemia. Meningkatkan konsentrasi oksigen udara
inspirasi memungkinkan pertukaran gas alveolar normal untuk
mempertahankan tingkat oksigen alveolar. Hasilnya, kebutuhan
ventilasi total akan menurun sehingga usaha napas akan berkurang
tanpa mempengaruhi tingkat oksigenasi.
 Mengurangi kerja miokardium
Sistem kardiovaskular adalah mekanisme kompensasi utama
terhadap keadaan hipoksia atau hipoksemia. Pemberian oksigen
akan mengurangi atau mencegah peningkatan kebutuhan kerja
miokardium.
3) Teknik pemberian oksigen
Alat pemberian oksigen dibedakan antara sistem aliran rendah (low
flow) dan aliran tinggi (high flow). Pada sistem aliran rendah, udara
ruangan terpakai karena aliran oksigen tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan aliran udara inspirasi sementara pada sistem aliran tinggi,
aliran oksigen dan kapasitas reservoir cukup untuk memenuhi seluruh
kebutuhan aliran udara inspirasi.
a. Sistem aliran rendah
Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan. Teknik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi
tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal
pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien
yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola
pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml
dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit. Contoh sistem
aliran rendah ini adalah :
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing sistem :

23
 Kateter nasal
Suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
o Keuntungan
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan
berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai
sebagai kateter penghisap.
o Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari
45%, teknik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada
kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi
iritasi selaput lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6
L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan
mukosa hidung, kateter mudah tersumbat.
 Kanula nasal
Suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan
aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter
nasal.
o Keuntungan
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul disbanding
kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih
mudah ditolerir klien dan nyaman.
o Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%,
suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah
lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput
lendir.

 Sungkup muka sederhana

24
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8
L/mnt dengan konsentrasi O2 40 – 60%.
o Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau
kanula nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan
melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat
digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
o Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%,
dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.

 Sungkup muka dengan kantong rebreathing :


Suatu teknik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60–
80% dengan aliran 8 – 12 L/mnt
o Keuntungan
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana,
tidak mengeringkan selaput lendir
o Kerugian
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran
lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2,
kantong O2 bisa terlipat.

 Sungkup muka dengan kantong non rebreathing


Merupakan teknik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2
mencapai 99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara
inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi
o Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak
mengeringkan selaput lendir.
o Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.
b. Sistem aliran tinggi

25
Suatu teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak
dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan teknik ini dapat
menambahkan konsentrasi O2 yang lebihtepat dan teratur.
Adapun contoh teknik sistem aliran tinggi yaitu sungkup muka
dengan ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang
dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian akan
dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif,
akibatnya udaraluar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan
lebih banyak. Aliran udara pada alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan
konsentrasi 30 – 55%.
o Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk
pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap
FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi
penumpukan CO2
o Kerugian
Kerugian sistem ini pada umumnya hampir sama dengan
sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
4) Evaluasi terapi oksigen
Kecukupan dan efektivitas terapi oksigen dapat dilakukan secara
langsung dan mudah bila mengerti prinsip homeostatis kardiopulmoner.
Evaluasi dapat dilakukan dengan memperhatikan pemeriksaan fisik
sistem kardiopulmonal, penilaian analisa gas darah dan pulse oksimeter.
Penilaian kardiovaskular meliputi kesadaran, laju jantung, laju nadi
dan perfusi perifer serta tekanan darah pada anak yang lebih besar.
Kesadaran yang baik menunjukan perfusi oksigen sistem saraf pusat
yang adekuat. Laju jantung dan nadi yang mendekati normal menunjukan
oksigenasi yang cukup sementara perfusi perifer dinilai dari perabaan
kulit dan pengisisan kapiler. Kulit yang kering dan hangat serta pengisian
kapiler yang normal menunjukan oksigenasi yang baik. Sedangkan

26
sistem pernapasan dinilai laju napas dan ada tidaknya retraksi sela iga
dan supra sternal.
Analisa gas darah merupakan instrument penilaian terapi oksigen
yang paling tepat karena dapat memberikan informasi yang adekuat
mengenai pH, PaO2, dan PaCO2. Namun, interpretasi analisis gas darah
harus dilakukan bersamaan dengan penilaian klinik.
Pulse oxymeter merupakan alat non invasive yang paling baik
dalam memantau anak dengan insufisiensi karena dapat menunjukan
saturasi oksigen secara berkesinambungan. Pulse oximeter tidak
menunjukan status ventilasi akan tetapi menjadi indicator paling awal
gangguan respirasi dan cukup dapat dipercaya dalam terapi oksigen.
5) Potensi bahaya
 Pada kelainan jantung tertentu (hypoplastic left-heart, single
ventricle) dapat menyebabkan peningkatan tekanan oksigen alveoli
dan menggangu keseimbangan aliran darah pulmonel dan sistemik.
 Pemberian oksigen pada pasien yang mengalami keracunan paraquat
dapat menyebabkan komplikasi paru seperti fibrosis paru.
 Pemilihan functional concentration of delivery oxygen (FDO2) atau
flow oksigen yang tidak tepat dapat menyebabkan hipoksemia atau
hiperoksemia. Hiperoksemia dapat menyebabkan penurunan darah
koroner, terurtama pada daerah iskemik pada pasien sindrom
koroner akut.
 Pada pasien AMI, hiperoksemia dapat meingkatkan tekanan darah
dan tahan vascular sistemik , sehingga mengganggu distribusi
oksigen.
6) Penghentian terapi oksigen
Oksigen harus dihentikan bila oksigenasi arterial adekuat dan
pasien dapat bernapas dengan udara kamar (PaO2 > 8 kPa, SaO2 > 90%).
Pada pasien dengan risiko terjadinya hipoksia jaringan, oksigen
dihentikan bila status asam-basa dan penilaian klinis fungsi organ vital
membaik.

27
7) Kontraindikasi
 Tidak terdapat kontraindikasi yang spesifik jika terdapat indikasi
pemberian oksigen.
 Kanul oksigen dan kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien
dengan obstruksi nasal (misalnya polip nasal, choanal atresia, dan
lain-lain)
 Kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien dengan trauma
maksilofasial, pasien dengan atau dicurigai fraktur basis cranii, atau
terdapat gangguan koagulasi.
 Menurut pendapat the clinical Practice Guideline Steering
Committee, kateter nasal tidak cocok bila digunakan pada neonatus.

28
VI. Kerangka Konsep

Yudi, anak laki-laki, 2 tahun


BB 12 kg, TB 87 cm
mengalami infeksi saluran napas atas

Reaksi inflamasi
(demam tidak terlalu
tinggi, hiperemis dan
edema)

Obstruksi pada Mobilitas pita suara


laringotrakea terganggu

Turbulensi udara Kesulitan Batuk terdengar


pada bernapas kasar seperti anjing
laringotrakea menyalak dan parau
sesekali saat
menangis
Stridor
inspirasi Kompensasi tubuh :
Peningkatan usaha
napas

Napas cuping RR ↑ Retraksi suprasternal


hidung dan sela iga

Moderate Respiratory Distress

29
VII. Kesimpulan
Yudi, anak laki-laki, 2 tahun, mengalami moderate respiratory distress
ec suspek croup.

30
DAFTAR PUSTAKA

Amin Z, Afifah H, Mamudi C. Short-term Survival of Acute Respiratory Distress


Syndrome Patients at a Single Tertiary Referral Centre in Indonesia. Acta
Med Indones. 2016;48:300–6.
Azies, A.,L. 2005. Gagal Nafas Akut Pada Anak (Acute Respiratory Failure in
Children). Simposium Nasional Perinatologi & Pediatri Gawat Darurat 2005
IDAI Cabang Kalimantan Selatan, Banjarmasin: 12-13 Februari 2005. Hal.
1-17
Bakhtiar, B. 2016. Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis dan
Tatalaksana Croup Pada Anak.
(http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/download/6485/5320 diakses
12 Agustus 2019).
Bakhtiar. 2013. “Aspek Klinis Dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak”.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 13 (3). Hal 133-138.
http://jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/3286/3092
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Airlangga. 2017.
Laringotrakeitis. (online). http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/RS04_Laringotrakeitis-Q.pdf pada tanggal 13
Agustus 2019
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2014. Current Evidences in
Pediatric Emergencies Management. (https://fk.ui.ac.id/wp-
content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdf diakses 12 Agustus 2019).
Harman E, Pinsky M. “Acute Respiratory Distress Syndrome”. Medscape. 2018.
Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/article/165139-overview
pada tanggal 13 Agustus 2019
Hartawan. 2017. Terapi Oksigen
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/da84c70c82c9c92
3d7f3c518e03594f5.pdf diakses 12 Agustus 2019).
IDAI. 2008. Croup (Laringotrakeobronkitis akut): Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama. Jakarta: IDAI.

31
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2017. Tindakan
Darurat pada Gawat Napas Bayi dan Anak.
(http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/PGD02_Gawat-Napas-edit-1-Q.pdf diakses 12
Agustus 2019).
Litwin, M. S. (2011). Respiratory Distress Syndrome-Reply. Archives of Surgery,
114(3), 343. https://doi.org/10.1001/archsurg.1979.01370270113022
Oost, J., & Daya, M. (2015). Respiratory distress. In Emergency Medical Services:
Clinical Practice and Systems Oversight: Second Edition (Vol. 1).
https://doi.org/10.1002/9781118990810.ch5
Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten. (2008). WHO ; alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta:
WHO Indonesia.
Rezoagli E, Fumagalli R, Bellani G. Definition and epidemiology of acute
respiratory distress syndrome. Ann Transl Med. 2017;5:282.
Rumende, C.M. 2018. “Acute Respiratory Distress Syndrome”. (online)
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/cleopas.martin/miscellaneous/ards_pit
_2018_-_copy.pdf pada tanggal 13 Agustus 2019
Sizar O, Carr B. 2019 Croup. [updated 4 Jun 2019]. dalam: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. (online) diakses pada tanggal 13
Agustus 2019 di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431070/
World Health Organization. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit (http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-anak-
di-rumah-sakit diakses 12 Agustus 2019).
World Health Organization. 2016. Oxygen therapy for children. Geneva,
Switzerland: WHO Press, World Health Organization.
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/204584/9789241549554_e
ng.pdf?sequence=1

32

Anda mungkin juga menyukai