Gambar 2. Lokasi pengambilan percontoh pada singkapan batuan Formasi Walat di Kom-
pleks Pasir Bongkok (NO1, dan NO2) dan di Anak sungai Cicatih (NO3) secara sistematis
berdasarkan urutan batuan secara vertikal terhadap beberapa unit lapisan batuan
HASIL DAN PEMBAHASAN terdiri dari empat (4) kompleks singkapan.
Hasil Singkapan terbesar terdapat di G. Walat,
yang memanjang dengan arah barat-timur
Hasil pengamatan geologi di lapangan sejajar dengan jalan Sukabumi-Cibadak
menunjukkan bahwa lokasi sepanjang 9 km. Singkapan lain yang
pemercontohan pada kedua lokasi (G. agak terpisah berada di sebelah tenggara
Walat, dengan kode NO1 dan NO2, dan G. Walat yang juga dikenal sebagai
Anak sungai Cicatih, dengan kode NO3) Kompleks Pasir Aseupan (Gambar 1).
dapat disarikan berikut ini. Selain itu terdapat pula singkapan di dae-
rah yang dikenal dengan nama Kompleks
Stratotipe Formasi Walat di Anak sungai Pasir Bongkok yang berada di selatan G.
Cicatih, dimulai dengan endapan Walat. Pasir Bongkok dan G. Walat
lempung-pasir pantai yang tersingkap di dipisahkan oleh lembah sinklin yang
tepi pantai, sekitar 200 - 250 m di sebelah tersesarkan (Gambar 1). Daerah lain yang
timur muara Anak sungai Cicatih. Gosong penting adalah di sebelah barat Pasir
pasir di daerah ini mempunyai kemiringan Bongkok, yaitu di S. Cicareuh.
hampir tegak lurus dengan bagian atas
menghadap ke selatan, sebagaimana Dari penelitian lapangan di daerah
terlihat dari terpotongnya busur lapisan Sukabumi, singkapan pada S. Cicareuh
silang-siur pada singkapan itu. Batas merupakan anggota batuan Formasi Wa-
antara singkapan ini dengan singkapan lat yang secara stratigrafi berada di urutan
lain dari Formasi Walat di Anak sungai paling bawah dengan ketebalan singka-
Cicatih tertutup oleh endapan pantai. pan sekitar 590 m. Pada bagian terbawah
singkapan terdapat perlapisan batupasir
Di Anak sungai Cicatih, Formasi Walat dan batulempung karbonan tipis setebal
bagian bawah, umumnya terdiri dari pasir 112 m bersama dengan sisipan napal
kuarsa, sedangkan bagian atasnya terdiri berwarna abu-abu muda. Seluruh
dari perselingan antara batupasir dan singkapan Batupasir, umumnya
batulempung yang mengandung batubara. mempunyai ciri berbatas bawah tegas dan
Penyelidikan detail Zielger (1918) bagian atas relatif berangsur. Pada bagian
menemukan sembilan (9) lapisan tengah singkapan, batuannya lebih
batubara dengan ketebalan maksimal sin- bersifat konglomeratan, yang
gle seam sebesar 110 cm. Pada menunjukkan pola seperti pada endapan
penyelidikan ini ditemukan lebih dari 10 sungai teranyam (Adhiperdana, 2018;
lapisan batubara, dengan ketebalan Martodjojo, 1984). Pada bagian paling
maksimum single seam sebesar 180 cm. atas, singkapan batuan menunjukkan
Batupasirnya mempunyai ketebalan mulai perselingan batulempung berwarna coklat,
dari 3 m sampai 12 m, dengan batas abu-abu dan batupasir.
bawah tegas, sedangkan bagian atas
berubah berangsur ke lapisan batu- Di daerah Pasir Bongkok (Gambar 1)
lempung yang mengandung bitumen (bi- terdapat singkapan batupasir yang berciri
tuminous shale). Struktur silang-siur litologi seperti bagian tengah dan atas dari
sering terdapat di bagian bawahnya yang singkapan di S. Cicareuh. Singkapan pal-
kadang-kadang konglomeratan. Ciri tubuh ing bawah berupa batupasir dengan tebal
batupasir seperti ini sangat khas untuk lapisan 5 m, berlapis silang-siur cekung, di
endapan fluviatil yang berkelok-kelok. bagian atas terdapat fragmen batubara
kemudian di atasnya ditutupi batupasir
Di lokasi G. Walat, Formasi Walat konglomeratan (6 m) dan batupasir
memperlihatkan perselingan antara berlapis tebal (±1 m). Arah umum jurus
batupasir konglomeratan yang berstruktur perlapisan batuan N190E, pada
silang-siur dengan batulempung yang beberapa tempat terdapat bioturbasi
mengandung batubara. Ketebalan batu- vertikal.
lempung yang mengandung batubara pa-
da lokasi ini mencapai 1 meter. Endapan Bagian teratas dari singkapan batuan di
batupasir konglomeratan di daerah ini daerah Pasir Bongkok terdiri dari perse-
lingan batupasir dan batulempung coklat Batulempung menyerpih berwarna hitam
dengan sisipan batubara atau lempung dan batulanau berwarna abu-abu gelap
bitumen. Tebal keseluruhan penampang atau gelap kecoklatan. Ketebalannya
di Pasir Bongkok adalah 110 m. berkisar antara 0,2-6 m, dengan rata-rata
ketebalan 0,3 m. Struktur sedimen
Singkapan terluas terdapat di G. Walat. Di tersusun atas laminasi horisontal tipis (1-3
daerah ini, umumnya terdiri dari mm) dan sangat tipis (<1 mm) tanpa fosil,
perselingan antara batupasir-konglomerat umumnya menyerpih. Batas atas dan
dan batulempung yang mengandung batas bawah lapisan menunjukkan batas
batubara. Batupasir umumnya tajam dan gradasional. Batas bagian
konglomeratan atau konglomerat pasiran, bawah berupa batubara, batugamping
pada bagian bawah sering menunjukkan mudstone dan batulanau heterolitik
struktur lapisan bersusun, sedangkan di (lapisan tipis lanau-pasir-lempung),
bagian atas terdapat lapisan silang-siur, sedangkan batas bagian atas berupa
kemudian diikuti oleh batupasir kotor dan batulempung kelabu atau batugamping
terakhir terdapat batulempung yang mudstone. Batulempung ini juga
umumnya mengandung batubara. memperlihatkan struktur biogenik seperti
Batupasir memiliki ketebalan 4 sampai 7 burrowing berbentuk spiral, dan berbentuk
m, sedangkan sisipan batubara umumnya vertikal dengan jumlah sedikit hingga
10 cm sampai 100 cm. banyak Cangkang fosil yang terkandung
umumnya berupa pecahan cangkang
Berdasarkan ciri litologi, terutama struktur (disartikulasi), serta terdapat laminasi
sedimen, komposisi butir, dan banyaknya semen kalsit dan nodul pirit atau fosfat.
sisipan batubara, maka lingkungan
pengendapan dari Formasi Walat adalah Batulempung hitam memperlihatkan
lingkungan darat (Cant, 1982; Coleman struktur yang menunjukkan bahwa litologi
dan Prior, 1982). Bagian bawahnya, ini diendapkan di bawah pengaruh
menunjukkan pengendapan fluviatil sedimen suspensi dengan energi yang
dengan tipe sungai teranyam dan berakhir rendah dalam kondisi anoxic dari
sampai kelokan sungai dan/ atau delta. lingkungan laut lepas (Bouma et al., 1982;
Cant, 1982).
Dari pengukuran pengarahan butir kerakal
dan arah lapisan silang-siur, dapat Studi geokimia organik telah dilakukan
ditentukan arah arus dan asal-usul batuan untuk menganalisis 17 percontoh dari dua
yang kemungkinan berasal dari utara- (2) lokasi yang berbeda untuk singkapan
timur laut daerah penelitian. Penyelidikan Formasi Walat. Studi ini melibatkan
mineral berat dapat menyimpulkan bahwa pengujian TOC dan Rock Eval Pyrolysis
batupasir konglomeratan Formasi Walat dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
berasal dari batuan beku granitan dan
malihan (Clements dan Hall, 2007;
Martodjojo, 1984).
Tabel 1. Hasil analisis TOC dan Rock Eval Pyrolysis untuk percontoh batulempung
Formasi Walat yang diambil dari tiga
(3 lokasi berbeda di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
Data TOC dan Pirolisis
Hasil Rock Eval Pyrolisis untuk percontoh Berdasarkan nilai PI yang didapat dari
yang berasal dari lokasi pertama, yaitu hasil Rock Eval Pyrolysis, kesebelas
kompleks Pasir Bongkok (kode NO1 dan percontoh yang dianalisis ini memiliki nilai
NO2) menunjukkan nilai Tmaks dengan PI yang berada pada kisaran 0,11-0,21.
kisaran 439-446°C. Berdasarkan kategori Nilai PI yang ditunjukkan oleh percontoh
yang diajukan oleh (Waples, 1985), yang terdapat di daerah tersebut
percontoh batuan induk yang terdapat di mengindikasikan sudah tercapainya ting-
daerah ini termasuk ke dalam kategori kat kematangan dari material organik
matang. Sementara itu, nilai PI yang yang terkandung di dalam percontoh
ditunjukkan oleh percontoh yang diambil tersebut.
di lokasi tersebut diatas berada pada kis-
aran 0,03-0,20. Selain itu, terdapat 3 Material organik dapat diklasifikasikan
percontoh yang memiliki nilai PI di bawah berdasarkan tipe kerogennya. Tissot dan
0,1, yaitu percontoh dengan kode NO1-A, Welte (1985) mengklasifikasikan kerogen
NO1-B, NO1-C, dengan nilai PI masing- ke dalam 3 tipe, yaitu tipe I, II, dan III.
masing 0,07, 0,06, dan 0,03. Percontoh Sementara itu (Demaison et al., 1983)
yang diambil di lokasi ke-2 (kode NO3) menambahkan 1 jenis kerogen, yaitu tipe
yang berjumlah 11 buah memiliki nilai IV ke dalam klasifikasi ini. Dalam
Tmaks yang berada pada kisaran 439- mengklasifikasikan tipe kerogen,
453°. Nilai Tmaks yang berada pada kis- digunakan modifikasi dari diagram van
aran tersebut juga termasuk ke dalam Krevellen yang pertama kali digunakan
kategori matang (Waples, 1985). oleh Tissot dan Welte (1985).
Berdasarkan hasil pengeplotan pada mg HC/g batuan dengan rata-rata 0,08 mg
modifikasi diagram van Kravelen, hampir HC/g batuan. Nilai ini relatif lebih rendah
semua percontoh yang dianalisis berada dibandingkan dengan nilai S1 dari
pada posisi kerogen tipe III, dan percontoh yang berasal dari Kompleks
merupakan kerogen yang menghasilkan Pasir Bongkok dan mengindikasikan
hidrokarbon jenis gas. rendahnya hidrokarbon bebas yang
dilepaskan.
Pembahasan
Selanjutnya, nilai S2 dari analisis Rock
Suatu batuan induk dikatakan memiliki Eval Pyrolysis menurut Song et al., (2015)
potensi untuk menghasilkan hidrokarbon, menunjukkan jumlah hidrokarbon yang
apabila memiliki kandungan material digenerasikan oleh proses pemecahan
organik tinggi yang ditunjukkan dengan termal dari material organik yang tidak
nilai TOC, dan nilai potensial dalam larut atau kerogen di dalam suatu batuan.
menghasilkan hidrokarbon yang dapat Nilai S2 dari percontoh dari Kompleks
dilihat dari hasil analisis metode Rock Pasir Bongkok menunjukkan nilai
Eval Pyrolisis (nilai S1 dan S2) (Peters bervariasi dengan kisaran 0,24-3,93 mg
dan Cassa, 1994). HC/g batuan, dan rata-rata S2 1,36 mg
HC/ gram batuan. Nilai ini menunjukkan
Nilai S1 dari suatu percontoh indikasi dari baiknya kualitas batuan induk
menunjukkan banyaknya hidrokarbon dengan jumlah hidrokarbon cukup banyak
bebas yang terdapat dalam suatu yang berpotensi untuk digenerasikan.
percontoh batuan atau jumlah material Sementara itu, percontoh yang berasal
organik yang terabsorpsi (bitumen) (Song dari anak sungai Cicatih memiliki nilai S2
et al., 2015). Percontoh yang diambil dari cenderung lebih rendah dengan rentang
Kompleks Pasir Bongkok memiliki nilai S1 0,27-0,62 mg HC/g batuan dari nilai rata-
yang berada pada kisaran 0,06 sampai rata S2 0,45 mg HC/g batuan. Nilai ini
0,14 mg HC/g batuan dengan rata-rata menunjukkan kualitas batuan induk yang
nilai S1 0,09 mg HC/g batuan. Nilai ini rendah dengan potensial generasi
menunjukkan bahwa hidrokarbon bebas hidrokarbon yang juga rendah.
yang terdapat di dalam percontoh
(bitumen) relatif sedikit. Nilai S1 dari Potensi percontoh batuan yang dianalisis
percontoh yang diambil di lokasi ke-2, juga dapat diketahui dengan
yaitu di Anak sungai Cicatih, menunjukkan mengeplotkan nilai TOC dan S2 dari
nilai yang berada pada kisaran 0,06-0,08 percontoh yang dianalisis (Gambar 3).
Gambar 3. Plot antara nilai S2 dan TOC dengan parameter kekayaan material organik
untuk mengidentifikasi potensi percontoh dalam menghasilkan hidrokarbon,
Peters dan Cassa (1994)
Berdasarkan plot antara nilai TOC dan S2, berkisar antara 50-73 mg HC/TOC
percontoh yang berasal dari Kompleks G. dengan rata-rata nilai HI 61 mg HC/TOC.
Walat dan Anak sungai Cicatih Nilai-nilai yang ditunjukkan oleh
menunjukkan potensi batuan induk dari keseluruhan percontoh yang dianalisis,
rendah sampai sedang. Sementara itu, mengarah pada tipe kerogen III yang
terdapat tiga (3) percontoh yang menghasilkan hidrokarbon jenis gas
menunjukkan kualitas batuan induk baik (Peters dan Cassa, 1994).
hingga sangat baik dari percontoh yang
berasal dari Kompleks Pasir Bongkok, Penggunaan diagram pseudo van
dengan potensial generasi hidrokarbon Kravelen (Tissot dan Welte, 1985)
rendah hingga sedang (kode NO1-A, menggunakan nilai HI dan OI sebagai
NO1-B, NO1-C). pengganti nilai H/C dan O/C yang didapat
dari analisis elemen kerogen. Pada
Potensi batuan induk juga dapat diagram ini, percontoh yang belum
dideskripsikan dengan nilai Indeks HIdro- mencapai tingkat matang akan berada
gen atau Hydrogen Index (HI), yaitu nilai jauh dari nilai 0, sementara semakin
yang menunjukkan fraksi dari TOC yang matangnya percontoh, maka nilainya akan
digenerasikan sebagai hidrokarbon semakin mendekati nilai 0 (Dembicki,
(Peters, 1986). Nilai HI percontoh dari 2009). Berdasarkan pengeplotan pada
Kompleks Pasir Bongkok memiliki nilai diagram pseudo van Kravelen (Gambar
bervariasi antara 48-107 mg HC/TOC, 4), semua percontoh berada pada posisi
dengan nilai HI rata-rata 71 mg HC/TOC. kerogen tipe III atau gas prone dengan
Sementara itu, percontoh yang diambil di posisi percontoh mendekati nilai 0 yang
lokasi anak sungai Cicatih memiliki nilai HI merupakan indikasi kematangan.
Gambar 4. Diagram pseudo van Krevelen untuk mendapatkan informasi mengenai
tipe material organik dan jenis hidrokarbon yang dihasilkan
Gambar 5. Plot antara nilai TOC dan S2 untuk menunjukkan kesesuaian nilai HI
hasil pengukuran dengan HI sebenarnya, Langford & Blanc-Valleron (1990)
Untuk mengetahui sifat material organik material organik dari percontoh batuan
dalam suatu sedimen, grafik antara S2 sedimen (Gambar 5).
dan TOC dapat digunakan sebagai suatu
alat analisis yang efektif (Langford dan Grafik pada Gambar 5 menunjukkan
Blanc-Valleron, 1990). Dalam proses kesesuaian nilai HI yang didapat dari hasil
analisis Rock Eval, seringkali didapati pengukuran oleh instrumen Rock Eval
adanya efek mineral matriks yang kuat, Pyrolisis dengan nilai HI terkoreksi yang
sehingga nilai HI suatu percontoh dapat didapat dari grafik. Hal ini menunjukkan
mengalami penurunan (Lüniger dan kesesuaian antara hasil pengeplotan
Schwark, 2002). Grafik ini menunjukkan untuk mengetahui jenis material organik di
nilai HI terkoreksi untuk memastikan dalam percontoh, dengan pengeplotan
pada diagram van Krevelen. Berdasarkan Waples (1985) menyatakan bahwa suatu
hasil kedua metode analisis tersebut, batuan induk dapat dikatakan matang,
material organik dari percontoh apabila hasil analisis Rock-Eval
merupakan kerogen tipe III, yang menunjukkan nilai Tmaks >435°C atau
cenderung menghasilkan gas. Sumber nilai indeks produksi sebesar 0,1. Secara
utama material organik kerogen tipe III lebih lengkap, klasifikasi tingkat
adalah tanaman tingkat tinggi yang dapat kematangan suatu percontoh dapat
terendapkan di laut dangkal hingga laut dilihat dari klasifikasi yang dilakukan oleh
dalam, atau dapat juga terendapkan pada Espitalié et al. (1977). Percontoh yang
bukan lingkungan laut (McCarthy et al., belum matang memiliki nilai Tmaks
2011). Material organik dengan kerogen <435°C, sementara Tmaks untuk
tipe III memiliki nilai HI yang lebih rendah percontoh yang berada pada posisi awal
dari kerogen tipe I maupun II, sehingga kematangan adalah 435-445°C, diikuti
cenderung menghasilkan gas (gas prone) dengan puncak kematangan pada 445-
(McCarthy et al., 2011). 450°C, kematangan akhir 450-470°C, dan
terlampau matang pada >470°C
Rentang kematangan yang ditunjukkan (Espitalié, et al., 1977). Untuk
oleh nilai Temperatur maksimum (Tmaks) mengetahui tingkat kematangan
dapat bervariasi untuk tipe material percontoh, dilakukan juga analisis dengan
organik yang berbeda (Tissot dan Welte, mengeplotkan nilai Tmaks terhadap nilai
1985). Variasi nilai Tmaks untuk kerogen HI. Hasil pengeplotan ini dapat
tipe I berada pada rentang yang cukup menunjukkan kualitas kerogen dan tingkat
pendek, sementara variasi nilai Tmaks kematangan dari percontoh yang
untuk kerogen tipe II dan III mempunyai dianalisis (Gambar 6). Tingkat
rentang lebih panjang, karena kematangan semua percontoh yang di-
kompleksitas dari material organik yang analisis berada pada tingkatan matang
meningkat (Hakimi dan Abdullah, 2013). hingga matang akhir dengan kualitas
kerogen tipe III yang menghasilkan gas.
Gambar 6. Plot antara nilai Tmaks dan HI untuk mengetahui tingkat kematangan termal dari
percontoh yang dianalisis serta jenis material organik yang terkandung di dalamnya
KESIMPULAN Knowledge of South West java. In
Indonesian Petroleum Association,
Hasil studi karakteristik batuan induk dari Second Annual Convention (pp. 105–
Formasi Walat menunjukkan kualitas yang 108).
sedang hingga baik dengan material Bouma, A. H., Berryhill, H. L., Khebel, H.
organik yang bersumber dari tanaman J., & Brenner, R. L. (1982).
tingkat tinggi (kerogen tipe III). Material Continental Shelf. In P. A. Schole &
organik yang terendapkan di Formasi D. Spearing (Eds.), Sandstone
Walat telah mencapai tingkatan matang Depositional Environments: AAPG
dengan menggenerasikan hidrokarbon Memoir 31.
jenis gas. Formasi ini mempunyai Cant, D. J. (1982). Fluvial Facies Models.
kesamaan dengan Formasi Jatibarang In P. A. Schole & D. Spearing (Eds.),
berumur Paleogen, khususnya pada Sandstone Depositional
Dalaman Babadan yang berfungsi se- Environments, AAPG Memoir 31 (p.
bagai batuan induk, sehingga secara 410).
stratigrafi setara dengan Formasi Walat di Clements, B., & Hall, R. (2007).
daerah penelitian. Dengan demikian, Cretaceous to Late Miocene
eksplorasi minyak dan gas bumi tersebut stratigraphic and tectonic evolution of
pada wilayah selatan Jawa Barat menjadi West Java. Proceedings of the
menarik, mengingat terdapatnya sumber Indonesian Petroleum Association,
batuan induk. (May), 1–18.
Coleman, J. M., & Prior, D. B. (1982).
UCAPAN TERIMA KASIH Deltaic Environments. In P. A. Schole
& D. Spearing (Eds.), Sandstone
Penulis mengucapkan terima kasih Depositional Environments: AAPG
kepada Universitas Padjadjaran sebagai Memoir 31.
institusi yang menaungi penulis atas Darman, H., & Sidi, H. (2000). An Outline
Hibah Internal Unpad yang diberikan of the Geology of Indonesia. A
dengan skema Riset Dosen Pemula Special Publication of the Indonesian
Unpad (RDPU), sehingga penelitian ini Association of Geologist (IAGI).
dapat terlaksana. Ucapan terima kasih Demaison, G., Holck, J. J., Jones, R. W.,
juga penulis sampaikan kepada Prof. Edy & Moore, G. T. (1983). PD 1(2)
Sunardi atas bimbingan kepada penulis, Predictive Sourcebed Stratighraphy:
Dr. Iyan Haryanto atas bantuan dalam A Guide to Regional Petroleum
melakukan penelitian lapangan, dan Dr. Occurence. In 11th World Petroleum
Billy G. Adhiperdana atas masukan Congress. World Petroleum
terhadap manuskrip yang dibuat. Congress.
Dembicki, H. (2009). Three common
source rock evaluation errors made
DAFTAR PUSTAKA by geologists during prospect or play
appraisals. AAPG Bulletin, 93(3),
Adhiperdana, B. G. (2018). 341–356.
Sedimentological study of a fluvial https://doi.org/10.1306/10230808076
succesion of the Eocene-Oligocene Effendi, A. C., & Hermanto, B. (1986).
Bayah Formation, West Java: Peta Geologi Lembar Bogor, Jawa
Reconstruction of paleohidrological Barat, Skala 1: 100.000. Direktorat
features of an ancient fluvial system Geologi, Departemen Pertambangan,
using empirical equations developed Bandung.
from modern fluvial systems in the Espitalié, J., Madec, M., Tissot, B. P.,
Indonesian islands. Chiba University, Mennig, J. J., & Leplat, P. (1977).
Japan. (Unpublished Doctoral Source rock characterization method
Dissertation). for petroleum exploration. Offshore
Baumann, P., De Genevraye, P., Samuel, Technology Conference, Houston,
L., Mudjito, & Sajekti, S. (1973). 439–444.
Contribution to The Geological https://doi.org/10.4043/2935-ms
Hakimi, M. H., & Abdullah, W. H. (2013). implication for the deep play
Organic geochemical characteristics petroleum system of the Onshore
and oil generating potential of the Northwest Java Basin, Indonesia. In
Upper Jurassic Safer shale Jakarta International Geosciences
sediments in the Marib-Shabowah Conference and Exhibition
Basin, western Yemen. Organic Proceedings.
Geochemistry, 54, 115–124. Remington, D. H., & Pranyoto, U. (1985).
https://doi.org/10.1016/j.orggeochem. A hydrocarbon generation analysis in
2012.10.003 the N.W. Java basin using Lopatin’s
Langford, F. F., & Blanc-Valleron, M. M. method. In Indonesia Petroleum
(1990). Interprting Rock-Eval Association, Fourth Annual
Pyrolosis Data Using Graphs of Convention Proceedings.
Pyrolizable Hydrocarbons vs. Total Samuel, & Mujito. (1976). A Geological
Organic carbon. The America Guide Along the Road Between
Association of Petroleum Geologists Cibadak Pelabuhanratu (Southwest
Bulletin, 74(6), 799–804. Java).
Lüniger, G., & Schwark, L. (2002). Song, J., Littke, R., Weniger, P., Ostertag-
Characterisation of sedimentary Henning, C., & Nelskamp, S. (2015).
organic matter by bulk and molecular Shale oil potential and thermal
geochemical proxies: An example maturity of the Lower Toarcian
from oligocene maar-type Lake Posidonia Shale in NW Europe.
Enspel, Germany. Sedimentary International Journal of Coal
Geology, 148(1–2), 275–288. Geology, 150–151, 127–153.
https://doi.org/10.1016/S0037- https://doi.org/10.1016/j.coal.2015.08
0738(01)00222-6 .011
Martodjojo, S. (2003). Evolusi Cekungan Sunardi, E., & Adhiperdana, B. G. (2008).
Bogor, Jawa Barat. Bandung: ITB. An Account for the Petroleum
Martodjojo, S. (1984). Evolution of Bogor Prospectivity of the Southern
Basin, West Java. Institut Teknologi Mountain of West Java: A Geological
Bandung. Frontier in the West? In Indoesia
McCarthy, K., Rojas, K., Niemann, M., Petroleum Association, 32nd Annual
Palmowski, D., Peters, K., & Convention Proceeding.
Stankiewicz, A. (2011). Basic Sunardi, E., & Adhiperdana, B. G. (2013).
Petroleum Geochemistry for Source Sedimentologi dan Paleohidrologi
Rock Evaluation. Oilfield Review, Sedimen Fluvial Oligosen Formasi
23(2), 32–43. Walat, Sukabumi-Jawa Barat.
https://doi.org/10.1016/j.epsl.2006.01 Bionatura, 15(1), 8–13.
.027 Tissot, B. P., & Welte, D. H. (1985).
Peters, K. E. (1986). Guidelines for Petroleum Formation and
Evaluating Petroleum Source Rock Occurrence. Springer-Verlag, Berlin,
Using Programmed Pyrolysis. The Germany.
American Association of Petroleum https://doi.org/10.1029/EO066i037p0
Geologists Bulletin, 70(3), 318–329. 0643
Peters, K. E., & Cassa, M. R. (1994). Waples, D. W. (1985). Geochemistry in
Applied Source Rock Geochemistry. petroleum exploration. D. Reidel
AAPG Memoir 60, (January 1994), Publishing Company.
93–120. https://doi.org/10.1007/978-94-009-
Purnomo, E., Ryacudu, R., Sunardi, E., & 5436-6
Koesoemadinata, R. P. (2006). Zielger, V. (1918). The Movements of oil
Paleogene sedimentation of the and Gas through Rocks. Economic
jatibarang sub-basin and its Geology, 13(5), 335–348.