A. Pendahuluan
Ungkapan di atas adalah prolog dari tulisan ini untuk menjembatani antara
tema yang diusung dalam tulisan ini dengan tema Dies Natalis UNY yang ke-49
tahun ini, yaitu pendidikan untuk pencerahan dan kemandirian. Sekolah memiliki
peran sebagai agen pencerah dan pemandiri anak-anak bangsa. Untuk efektif,
sekolah tidak boleh lupa akan filosofi pendidikan itu sendiri, bahwa mendidik
adalah upaya luhur yang dilaksanakan dengan sepenuh hati dan dijalankan atas
dasar norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dari semua sikap dan
perilaku para pendidiknya dalam menanamkan nilai-nilai dan norma terhadap
siswa. Dalam konteks pendidikan, tauladan menjadi salah satu kunci kritis dalam
upaya pendidikan yang berlandaskan norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang
berlaku secara umum.
Tauladan merupakan hal penting dalam proses pendidikan. Keteladanan
merupakan syarat utama upaya penanaman nilai dan norma yang efektif. Tanpa
keteladanan, upaya penanaman nilai dan norma pada siswa akan menjadi sia-sia.
Pendidikan nilai akan berwujud upaya pengajaran nilai, bukan penanaman nilai,
sungguh keluar dari tujuan dan filosofi pendidikan. Terkait dengan peran
pendidikan sebagai pencerah dan pemandiri bangsa, sekolah dituntut menjalankan
fungsi tersebut. Sekolah adalah lembaga pendidikan yang berfungsi mencerahkan
dan memandirikan siswa. Untuk bisa mencerahkan dan memandirikan, sudah
seharusnya sekolah harus bermetamofosis sebagai sebuah lembaga yang
tercerahkan dan mandiri. Itulah bentuk keteladanan yang penulis maksudkan.
1
Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP
B. Sekolah yang Memandirikan dan Sekolah yang Mandiri
Fungsi ideal dari sebuah upaya pendididikan yang berlangsung di sekolah
salah satunya adalah memberikan bekal sikap, keterampilan, dan pengetahuan,
yang lebih dikenal dengan kompetensi, pada peserta didik untuk bekal hidupnya
di masa yang akan datang. Bekal kompetensi yang didapat di dalam upaya
pendidikan, baik formal ataupun non formal, akan digunakan seseorang dalam
melakukan semua aktivitasnya dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya.
Tanpa bekal-bekal tersebut, bisa diprediksi, seseorang akan gagal dalam
hidupnya.
Kompetensi yang diperoleh seseorang melalui pendidikan pada lembaga
formal, sekolah, merupakan syarat penting bagi seseorang yang mandiri. Dengan
kata lain, kemandirian merupakan salah satu sikap yang merupakan outcome
sebuah proses pendidikan. Tak salah bila undang-undang tentang sistem
pendidikan nasional menggarisbawahi bahwa salah satu tujuan dari pendidikan
nasional adalah menciptakan pribadi-pribadi yang mandiri. Begitu juga program
pendidikan karakter yang saat ini sedang digalakan oleh Kementrian Pendididikan
dan Kebudayaan yang salah satu karakter yang dikembangkan di sekolah adalah
kemandirian.
Dalam keseharian, istilah kemandirian (self reliance) istilah sering ditukar-
gunakan dengan istilah merdeka (freedom), otonom (autonomy), atau bebas
(independen). Mandiri bisa diterjemahkan sebagai suatu ciri atau atribut tentang
kondisi seseorang atau lembaga, atau suatu entitas lainnya, yang dengan
kemampuan memungkinkan untuk tidak tergantung atau bersinggungan dengan
pihak lain guna menjamin keberlangsungan hidup atau fungsinya.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap pendidikan pesantren yang
dilakukan oleh Uci Sanusi (2012) bisa diindentifikasi beberapa sifat dasar dari
sikap mandiri, yaitu:
1. Percaya diri
2. Amanah
3. Mampu mengendalikan diri
4. Mampu menyelesaikan masalah
5. Tanggung jawab
6. Penolong
7. Harapan tinggi
8. Kreatif dan inovatif
9. Mampu belajar mandiri
10. Bermotivasi tinggi
Di sekolah, praktik kemandirian bagi siswa memiliki banyak ragam
bentuknya. Bisa berbentuk kemandirian dalam belajar, kemandirian dalam
mengelola diri, kemandirian dalam memutuskan masalah serta memecahkannya.
Sekolah sebagai lokus penyelenggaraan pendidikan calon generasi muda,
sudah seharusnya mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki
karakteristik yang dikehendaki oleh tujuan negara seperti yang disebutkan di awal,
yaitu insan yang mandiri. Ini tentu memerlukan banyak upaya yang terencana dan
melibatkan banyak sumber daya, yang tentunya tidak akan terlepas dari peran
manajemen sekolah.
Istilah kemandirian di sekolah memiliki dua sisi. Satu sisi kemandirian
dipandang sebagai karakteristik lulusan atau hasil pendidikan yang dihasilkan dari
upaya pendidikan seperti yang dijelaskan di atas. Sisi yang lain adalah
kemandirian dipandang sebagai sifat yang melekat dari bagaimana sekolah
dijalankan. Kemandirian sebagai salah satu karakteristik lulusan atau hasil
pendidikan telah dijelaskan di atas. Sedangkan kemandirian dipandang dari sifat
yang melekat dengan sekolah adalah aspek keotonomian, bebas intervensi dari
banyak pihak, dan kepemilikian kemampuan untuk menjalankan semua tugas dan
fungsi idealnya sebagai pendidik generasi bangsa. Perlu ditegaskan, dalam
pembahasan di sini, istilah sekolah mandiri yang dibahas pada artikel ini tidak
membahas pengistilahan sekolah mandiri pada pengkategorian jenis sekolah
dalam memenuhi standar yang ada (SNP), dimana pemerintah
mengkategorikan sekolah mandiri adalah sekolah yang hampir dan telah
memenuhi SNP. Sekedar mengingatkan, pengkategorian sekolah berdasarkan
pemenuhan standar nasional pendidikan saat ini dikenal dengan kategori sekolah
standar, sekolah mandiri, sekolah standar nasional, serta sekolah RSBI (yang saat
ini kebijakannya sudah dicabut Mahkamah Konstitusi).
Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang tahu apa yang harus dilakukan
dan melakukan semua hal yang harus dilakukan tanpa harus tergantung pada
pihak lain. Namun perlu ditegaskan dalam hal ini, sekolah tidak berarti sebagai
sistem yang tertutup, terpisah dari lingkungannya, dan tidak memerlukan
keterlibatan pihak lain dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sekolah yang
mandiri adalah sekolah yang memiliki kebebasan dan kemandirian dalam
membuat keputusan yang terkait dengan semua proses atau kegiatan
penyelenggaraan pendidikan di lingkup sekolah. Sekolah yang mandiri adalah
sekolah yang mampu memecahkan permasalahannya sendiri, membuat keputusan
terkait dengan operasionalisasi pendidikan di tingkat sekolah/kelas baik yang
terkait dengan kurikulum, proses belajar mengajar, keuangan, ketenagaan yang
tidak melampaui batas kewenangannya, dan hal teknis lainnya.
Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang memiliki inisiatif untuk
memenuhi semua kebutuhan sendiri dan memecahkan permasalahannya sendiri
tanpa harus minta dibantu atau tergantung dari pada pengawas atau dinas
pendidikan setempat. Semua hal yang dilakukan demi perbaikan, peningkatan,
dan mempertahankan mutu berjalan dengan sendirinya, atas inisiatif sekolah dan
warganya. Tidak didorong atau dipaksa oleh pihak lain. Menurut OECD (2011),
praktik otonomi sekolah (kemandirian) ada bebeberapa bentuknya. Mandiri dalam
menentukan alokasi sumber daya, menentukan praktik kurikulum dan penilaian
siswa, sampai dengan menentukan buku teks, menentukan program pembelajaran
dan kontenya. Bentuk-bentuk kemandirian sekolah ada banyak bentuknya. Lebih
lanjut dalam penelitiannya di berbagai negara tentang kemandirian sekolah,
OECD mengungkapkan bahwa di Republik Czehnya, Belanda, Bulgaria, dan
Makao-China ada lebih dari 90% siswa bersekolah di sekolah yang diberi
kemandirian dalam merekrut dan memberhentikan guru. Dan lebih dari 90%
siswa tersebut sekolahnya bersama-sama dengan pemerintah daerah/pusat
bertanggung jawab dalam merumuskan dan mengalokasikan anggaran. Berbeda
dengan di Yunani, Itali, Turki dan Romania serta Tunisia, lebih dari 80% siswa
bersekolah di sekolah yang tidak memiliki kewenangan dalam merekrut dan
memberhentikan guru, kewenangan itu ada pada pemerintah daerah dan pusat. Di
Republik Czehnya, Belanda, Kerajaan Inggris, dan Makao-China, mereka
memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, tak hanya mengalokasikan
sumber daya, tetapi juga dalam membuat keputusan tentang kuriulum dan
penilaian. Di Yunani, Turki dan Yordania serta Tunisia memberikan lebih sedikit
otonomi kepada sekolah dalam membuat keputusan kurikulum, penilaian, dan
alokasi sumber daya. Di Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Hongkong sekolah
diberi keleluasaan dalam menetapkan praktik kurikulum dan penilaian. Di negara
tersebut, lebih dari 80% siswa bersekolah di sekolah yang bertanggung jawab
dalam menetapkan kebijakan penilaian siswa, memilih buku teks, dan menetapkan
program pembelajaran. Tapi walaupun begitu, sekolah di negara ini tidak diberi
banyak otonomi dalam menetapkan sumber daya. Berbeda dengan dengan
Bulgaria dan Shanghai dimana sekolah diberi otonomi yang besar dalam
mengalokasikan sumber daya, tapi tidak untuk praktik kurikulum dan penilaian.
Bagaimana dengan Indonesia? OECD menemukan bahwa negara kita
berada dalam kategori tengah. Ini terlihat Indonesia berada di kisaran indeks 0,0.
Artinya, sekolah-sekolah di indonesia tidak sepenuhnya memiliki otonomi dalam
menentukan alokasi sumber daya dan juga dalam menentukan praktik kurikulum
dan penilaian hasil belajar siswa.
.
Sekolah
Orang tua
terbaik
Pembuatan
Keputusan &
Dukungan Fiskal
Peningkatan
Akuntabilitas kinerja
kelembagaan
Bagi semua orang tua, memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-
anaknya adalah suatu hal yang wajar. Orang tua akan berupaya mencari sekolah
yang terbaik, produktif, dan dianggap mampu memberikan apa yang mereka
harapkan terhadap pendidikan anak-anak mereka. Di sisi lain, sekolah akan
senantiasa berupaya mewujudkan semua keinginan orang tua dengan cara terus
berupaya menjadi sekolah yang terbaik bagi mereka. Dengan itu, sekolah dituntut
untuk terus melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja. Manakala keinginan
sekolah sejalan dengan apa yang diharapkan orang tua, maka partisipasi keputusan
dan dukungan fiskal akan didapat oleh sekolah. Hal itu terjadi karena masyarakat
beranggapan bahwa sekolah perlu dibantu untuk berkinerja baik dan berprestasi
agar pelayanan pendidikan pada anak-anak mereka menjadi lebih baik pula.
Dengan adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan dan dukungan fiskal tadi,
sekolah dituntut untuk menjalankan praktik-praktik sekolah secara transparan dan
akuntabel terhadap masyarakat. Masyarakat akan merasa berkewajiban
mengontrol, mengawasi, serta melakukan perbaikan mengingat mereka juga
menyumbang sejumlah kapital dan terlibat dalam proses pembuatan keputusan
sekolah.
Akuntabilitas harus diwujudkan sekolah manakala partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan hadir. Partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di
sekolah bisa banyak bentuknya. Bisa dalam bentuk partisipasi kapital uang,
tenaga, ide/gagasan atau lainnya. Kontribusi tersebut tentu harus
dipertanggungjawabkan oleh sekolah terhadap masyarakat. Untuk menjamin
kepercayaan masyarakat, sekolah dituntut untuk akuntabel. Akuntabilitas
merupakan salah satu etika administrasi publik yang berkaitan dengan
pertanggung jawaban, hal yang bisa dipersalahkan atau dipertanyakan. Dalam hal
ini, tentu transparansi menjadi salah satu faktor penting dalam mewujudkan
akuntabilitas sekolah.
Sebagai dampak dari adanya keterlibatan orang tua dalam proses
pembuatan keputusan dan partisipasi fiskal pada proses MBS, maka ada beberapa
dampak yang akan dihasilkan. Pertama, besarnya dukungan dan tuntutan dari
masyarakat/orang tua untuk pelayanan pendidikan yang terbaik akan mendorong
guru-guru untuk berkinerja lebih baik. Kedua, sekolah memiliki peluang lebih
besar untuk meningkatkan kompetensinya baik langsung atau tidak langsung oleh
masyarakat mengingat dukungan finansial ataupun ide dan peluang lainnya.
Ketiga, transparansi merupakan praktik yang baik untuk kemaslahatan sekolah
dan orang tua. Transparasi timbul, seperti tadi dijelaskan, karena adanya tuntutan
dari masyarakat kepada sekolah untuk terbuka atas semua hal (kapital ataupun
partisipasi dalam pembuatan keputusan) yang telah diberikan kepada sekolah untu
terbuka dan dijelaskan pada mereka peruntukan dan prosesnya.
1. Pembangun Visi
Sebenarnya bagi pemimpin, pengaruh hanyalah instrumen upaya
pencapaian tujuan. Hal utama yang mengarahkan ‘senjata’ pemimpin (pengaruh)
adalah visi. Visi adalah hal utama yang akan dituju oleh pemimpin untuk
lembaganya. Visi akan mengarahkan semua sumber daya, program dan aktivitas,
semangat, serta ide.
Kemandirian harus menjadi visi sekolah. Visi sekolah itu yang menjadi
acuan semua orang dalam melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini, peran
kepemimpinan adalah menjadi inisiator pembuatan visi tersebut. Sebagai bagian
dari visi pimpinan/sekolah, kemandirian sekolah akan menjadi nyawa sekolah
atau nilai dan keyakinan yang dianut oleh semua individu yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Ada hal yang patut dicatat, penetapan visi
haruslah melibatkan dan merupakan karya setiap individu yang ada di sekolah.
Semua orang harus “disadarkan” dan “dipaksa” oleh pemimpin untuk memahami
dan mencintai/menginternalisasi dalam dirinya. Dalam hal ini, pemimpin harus
mensosialisikan visi, mengkomunikasi, dan menjelaskan visi kepada semua orang
agar visi kemandirian menjadi sebuah visi yang menyebar (shared vision) di
sekolah.
C. Kesimpulan
Untuk memandirikan siswa, sekolah harus memberikan contoh yang nyata.
Sebelum mendidik siswa mandiri, sekolah harus terlebih dahulu mandiri. Untuk
menjadi mandiri, perlu kesadaran semua orang untuk mandiri. Salah satu bentuk
kemandirian yang muncul dalam pengelolaan sekolah adalah diterapkannya model
manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan salah satu bentuk dari
sekolah yang otonom, sekolah yang memiliki kemampuan untuk memenuhi
sendiri semua kebutuhan dan melakukan semua aktivitas penyelenggaraan dan
peningkatan mutu pendidikan secara mandiri.
Di sisi lain, peran pimpinan sekolah dalam mewujudkan kemandirian
sekolah sangat penting mengingat peran sentralnya di sekolah. Dalam
mewujudkan kemandirian, ada beberapa peran yang harus dijalankan oleh
pimpinan sekolah, yaitu sebagai inisiator visi, perubah pola pikir (mindset),
penggerak/pendorong/pemandu kemandirian,
DAFTAR PUSTAKA
Malen, B., R. T. Ogawa, and J. Kranz (1990). “What Do We Know about Site-
based Management: a Case Study of the Literature-A Call for Research.”
In Choice and Control in American Education, Vol. 2, 289–342, ed.
W.H.C