Anda di halaman 1dari 18

MENJADI SEKOLAH YANG MANDIRI

Dr. Cepi Safruddin Abdul Jabar1

Mendidik bukan dengan mengajari, mendidik adalah memberi teladan. (Penulis)

A. Pendahuluan
Ungkapan di atas adalah prolog dari tulisan ini untuk menjembatani antara
tema yang diusung dalam tulisan ini dengan tema Dies Natalis UNY yang ke-49
tahun ini, yaitu pendidikan untuk pencerahan dan kemandirian. Sekolah memiliki
peran sebagai agen pencerah dan pemandiri anak-anak bangsa. Untuk efektif,
sekolah tidak boleh lupa akan filosofi pendidikan itu sendiri, bahwa mendidik
adalah upaya luhur yang dilaksanakan dengan sepenuh hati dan dijalankan atas
dasar norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dari semua sikap dan
perilaku para pendidiknya dalam menanamkan nilai-nilai dan norma terhadap
siswa. Dalam konteks pendidikan, tauladan menjadi salah satu kunci kritis dalam
upaya pendidikan yang berlandaskan norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang
berlaku secara umum.
Tauladan merupakan hal penting dalam proses pendidikan. Keteladanan
merupakan syarat utama upaya penanaman nilai dan norma yang efektif. Tanpa
keteladanan, upaya penanaman nilai dan norma pada siswa akan menjadi sia-sia.
Pendidikan nilai akan berwujud upaya pengajaran nilai, bukan penanaman nilai,
sungguh keluar dari tujuan dan filosofi pendidikan. Terkait dengan peran
pendidikan sebagai pencerah dan pemandiri bangsa, sekolah dituntut menjalankan
fungsi tersebut. Sekolah adalah lembaga pendidikan yang berfungsi mencerahkan
dan memandirikan siswa. Untuk bisa mencerahkan dan memandirikan, sudah
seharusnya sekolah harus bermetamofosis sebagai sebuah lembaga yang
tercerahkan dan mandiri. Itulah bentuk keteladanan yang penulis maksudkan.

1
Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP
B. Sekolah yang Memandirikan dan Sekolah yang Mandiri
Fungsi ideal dari sebuah upaya pendididikan yang berlangsung di sekolah
salah satunya adalah memberikan bekal sikap, keterampilan, dan pengetahuan,
yang lebih dikenal dengan kompetensi, pada peserta didik untuk bekal hidupnya
di masa yang akan datang. Bekal kompetensi yang didapat di dalam upaya
pendidikan, baik formal ataupun non formal, akan digunakan seseorang dalam
melakukan semua aktivitasnya dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya.
Tanpa bekal-bekal tersebut, bisa diprediksi, seseorang akan gagal dalam
hidupnya.
Kompetensi yang diperoleh seseorang melalui pendidikan pada lembaga
formal, sekolah, merupakan syarat penting bagi seseorang yang mandiri. Dengan
kata lain, kemandirian merupakan salah satu sikap yang merupakan outcome
sebuah proses pendidikan. Tak salah bila undang-undang tentang sistem
pendidikan nasional menggarisbawahi bahwa salah satu tujuan dari pendidikan
nasional adalah menciptakan pribadi-pribadi yang mandiri. Begitu juga program
pendidikan karakter yang saat ini sedang digalakan oleh Kementrian Pendididikan
dan Kebudayaan yang salah satu karakter yang dikembangkan di sekolah adalah
kemandirian.
Dalam keseharian, istilah kemandirian (self reliance) istilah sering ditukar-
gunakan dengan istilah merdeka (freedom), otonom (autonomy), atau bebas
(independen). Mandiri bisa diterjemahkan sebagai suatu ciri atau atribut tentang
kondisi seseorang atau lembaga, atau suatu entitas lainnya, yang dengan
kemampuan memungkinkan untuk tidak tergantung atau bersinggungan dengan
pihak lain guna menjamin keberlangsungan hidup atau fungsinya.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap pendidikan pesantren yang
dilakukan oleh Uci Sanusi (2012) bisa diindentifikasi beberapa sifat dasar dari
sikap mandiri, yaitu:
1. Percaya diri
2. Amanah
3. Mampu mengendalikan diri
4. Mampu menyelesaikan masalah
5. Tanggung jawab
6. Penolong
7. Harapan tinggi
8. Kreatif dan inovatif
9. Mampu belajar mandiri
10. Bermotivasi tinggi
Di sekolah, praktik kemandirian bagi siswa memiliki banyak ragam
bentuknya. Bisa berbentuk kemandirian dalam belajar, kemandirian dalam
mengelola diri, kemandirian dalam memutuskan masalah serta memecahkannya.
Sekolah sebagai lokus penyelenggaraan pendidikan calon generasi muda,
sudah seharusnya mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki
karakteristik yang dikehendaki oleh tujuan negara seperti yang disebutkan di awal,
yaitu insan yang mandiri. Ini tentu memerlukan banyak upaya yang terencana dan
melibatkan banyak sumber daya, yang tentunya tidak akan terlepas dari peran
manajemen sekolah.
Istilah kemandirian di sekolah memiliki dua sisi. Satu sisi kemandirian
dipandang sebagai karakteristik lulusan atau hasil pendidikan yang dihasilkan dari
upaya pendidikan seperti yang dijelaskan di atas. Sisi yang lain adalah
kemandirian dipandang sebagai sifat yang melekat dari bagaimana sekolah
dijalankan. Kemandirian sebagai salah satu karakteristik lulusan atau hasil
pendidikan telah dijelaskan di atas. Sedangkan kemandirian dipandang dari sifat
yang melekat dengan sekolah adalah aspek keotonomian, bebas intervensi dari
banyak pihak, dan kepemilikian kemampuan untuk menjalankan semua tugas dan
fungsi idealnya sebagai pendidik generasi bangsa. Perlu ditegaskan, dalam
pembahasan di sini, istilah sekolah mandiri yang dibahas pada artikel ini tidak
membahas pengistilahan sekolah mandiri pada pengkategorian jenis sekolah
dalam memenuhi standar yang ada (SNP), dimana pemerintah
mengkategorikan sekolah mandiri adalah sekolah yang hampir dan telah
memenuhi SNP. Sekedar mengingatkan, pengkategorian sekolah berdasarkan
pemenuhan standar nasional pendidikan saat ini dikenal dengan kategori sekolah
standar, sekolah mandiri, sekolah standar nasional, serta sekolah RSBI (yang saat
ini kebijakannya sudah dicabut Mahkamah Konstitusi).
Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang tahu apa yang harus dilakukan
dan melakukan semua hal yang harus dilakukan tanpa harus tergantung pada
pihak lain. Namun perlu ditegaskan dalam hal ini, sekolah tidak berarti sebagai
sistem yang tertutup, terpisah dari lingkungannya, dan tidak memerlukan
keterlibatan pihak lain dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sekolah yang
mandiri adalah sekolah yang memiliki kebebasan dan kemandirian dalam
membuat keputusan yang terkait dengan semua proses atau kegiatan
penyelenggaraan pendidikan di lingkup sekolah. Sekolah yang mandiri adalah
sekolah yang mampu memecahkan permasalahannya sendiri, membuat keputusan
terkait dengan operasionalisasi pendidikan di tingkat sekolah/kelas baik yang
terkait dengan kurikulum, proses belajar mengajar, keuangan, ketenagaan yang
tidak melampaui batas kewenangannya, dan hal teknis lainnya.
Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang memiliki inisiatif untuk
memenuhi semua kebutuhan sendiri dan memecahkan permasalahannya sendiri
tanpa harus minta dibantu atau tergantung dari pada pengawas atau dinas
pendidikan setempat. Semua hal yang dilakukan demi perbaikan, peningkatan,
dan mempertahankan mutu berjalan dengan sendirinya, atas inisiatif sekolah dan
warganya. Tidak didorong atau dipaksa oleh pihak lain. Menurut OECD (2011),
praktik otonomi sekolah (kemandirian) ada bebeberapa bentuknya. Mandiri dalam
menentukan alokasi sumber daya, menentukan praktik kurikulum dan penilaian
siswa, sampai dengan menentukan buku teks, menentukan program pembelajaran
dan kontenya. Bentuk-bentuk kemandirian sekolah ada banyak bentuknya. Lebih
lanjut dalam penelitiannya di berbagai negara tentang kemandirian sekolah,
OECD mengungkapkan bahwa di Republik Czehnya, Belanda, Bulgaria, dan
Makao-China ada lebih dari 90% siswa bersekolah di sekolah yang diberi
kemandirian dalam merekrut dan memberhentikan guru. Dan lebih dari 90%
siswa tersebut sekolahnya bersama-sama dengan pemerintah daerah/pusat
bertanggung jawab dalam merumuskan dan mengalokasikan anggaran. Berbeda
dengan di Yunani, Itali, Turki dan Romania serta Tunisia, lebih dari 80% siswa
bersekolah di sekolah yang tidak memiliki kewenangan dalam merekrut dan
memberhentikan guru, kewenangan itu ada pada pemerintah daerah dan pusat. Di
Republik Czehnya, Belanda, Kerajaan Inggris, dan Makao-China, mereka
memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, tak hanya mengalokasikan
sumber daya, tetapi juga dalam membuat keputusan tentang kuriulum dan
penilaian. Di Yunani, Turki dan Yordania serta Tunisia memberikan lebih sedikit
otonomi kepada sekolah dalam membuat keputusan kurikulum, penilaian, dan
alokasi sumber daya. Di Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Hongkong sekolah
diberi keleluasaan dalam menetapkan praktik kurikulum dan penilaian. Di negara
tersebut, lebih dari 80% siswa bersekolah di sekolah yang bertanggung jawab
dalam menetapkan kebijakan penilaian siswa, memilih buku teks, dan menetapkan
program pembelajaran. Tapi walaupun begitu, sekolah di negara ini tidak diberi
banyak otonomi dalam menetapkan sumber daya. Berbeda dengan dengan
Bulgaria dan Shanghai dimana sekolah diberi otonomi yang besar dalam
mengalokasikan sumber daya, tapi tidak untuk praktik kurikulum dan penilaian.
Bagaimana dengan Indonesia? OECD menemukan bahwa negara kita
berada dalam kategori tengah. Ini terlihat Indonesia berada di kisaran indeks 0,0.
Artinya, sekolah-sekolah di indonesia tidak sepenuhnya memiliki otonomi dalam
menentukan alokasi sumber daya dan juga dalam menentukan praktik kurikulum
dan penilaian hasil belajar siswa.
.

Tingkat Kemandirian Sekolah PISA – OECD (2011)

Selain itu, sekolah mandiri adalah sekolah yang memiliki karakteristik


memiliki ekspektasi (harapan) yang tinggi terhadap prestasi, mutu, memiliki staf
yang berkompeten dan bermotivasi kerja tinggi. Lingkungan kerja dan iklim kerja
yang mendukung untuk semua pihak berkerja secara otonom, dan daya dukung
kepemimpinan yang tinggi terhadap kemandirian. Dukungan dari masyarakat juga
merupakan salah satu ciri dari kemandirian tersebut. Dalam laporan yang
disampaikan oleh OECD (2011), disebutkan bahwa di negara-negara yang
sekolahnya memiliki otonomi yang lebih besar dalam menentukan apa yang harus
diajarkan pada siswa, dan bagaimana mereka dinilai, para siswanya cenderung
berprestasi lebih baik. Lebih lanjut juga disebutkan bahwa di negara-negara yang
sekolahnya mandiri dalam mengalokasikan sumberdayanya ada kecenderungan
para siswanya juga berprestasi lebih baik, berbeda dengan sekolah yang tidak
memiliki otonomi. Grafik di bawah ini mengindikasikan adanya hubungan antara
prestasi siswa dengan kemandirian sekolah.

Hubungan Kemandirian dengan Kemampuan Membaca Siswa


(PISA-OECD 2011)
Gambar di atas bisa disimpulkan bahwa negara-negara yang memiliki
sekolah yang mandiri dalam mengalokasikan sumber daya lebih tinggi
kemampuan membacanya. Namun ada hal yang harus dicatat, bahwa itu terjadi
pada sistem sekolah yang akuntabel.

C. Manajemen Berbasis Sekolah: Wujud sebuah Kemandirian


Manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diterjemahkan sebagai sebuah
bentuk pendelegasian kekuasaan dan kewenangan kepada sekolah untuk membuat
keputusan dan melaksanakannya sendiri. Istilah shared decision making adalah
istilah yang identik dengan manajemen berbasis sekolah. Banyak ahli yang
menyatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada dasarnya adalah
pendistribusian kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat atau pemerintah
daerah kepada sekolah untuk membuat keputusannya sendiri. Sekolah diberi
kewenangan dan kebabasan secara partisipatif untuk menentukan semua hal yang
terkait dengan penyelenggaraan sekolah dan penyelenggaraan pendidikan tanpa
harus tergantung dengan pemerintah pusat atau daerah. Seperti dikatakan oleh
Caldwell (2005:1) MBS adalah “Decentralization of authority from the central
government to the school level”. Lebih lanjut, Malen dkk. menyatakan bahwa
MBS “Can be viewed conceptually as a formal alternation of governance
structures, as a form of decentralization that identifies the individual school as the
primary unit of improvement and relies on the distribution of decision making
authority as the primary means through which improvement might be stimulated
and sustained (Malen, et. al., 1990)
Manajemen berbasis sekolah adalah kegiatan mengkoordinasi dan
mengintegrasi serta mengalokasikan sumber daya sekolah secara mandiri oleh
sekolah dan masyarakat secara bersama-sama. Dalam konteks manajemen
berbasis sekolah, sekolah bahu membahu dengan semua stakeholder (terutama
orang tua dan masyarakat) bekerja sama dalam penyelenggaraan pendidikan.
Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Kerja sama ini
dilaksanakan atas dasar demokratisasi, dari sekolah untuk masyarakat-masyarakat
untuk sekolah. Sekolah adalah urusan setiap orang yang ada di lingkungan
sekolah. Sekolah berdiri di tengah-tengah masyarakat, hadir untuk masyarakat,
dan berjalan dengan efektif atas kerjasama dengan masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah adalah salah satu strategi manajemen sekolah
dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan melalui desentralisasi
pembuatan keputusan dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Melalui MBS, sekolah akan lebih
otonomi dalam menyelenggarakan pendidikan dan mengelola lembaganya melalui
kerjasama saling membutuhkan dengan masyarakat. Distribusi tanggung jawab
dan pembuatan keputusan di sekolah dalam konteks MBS disebarkan kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, yaitu kepala sekolah,
guru, orang tua, masyarakat, dan siswa. Masing-masing memiliki tanggung jawab
dan peran pembuatan keputusan sesuai dengan proporsinya. Mereka menjalankan
tugas mereka sesuai tugas dan fungsinya demi terselenggaranya pendidikan yang
bermutu.
Jika dirunut dari asal kejadiannya, MBS merupakan salah satu sistem
manajemen sekolah yang mendorong terjadinya proses belajar-mengajar menjadi
lebih baik. Praktik MBS memungkinkan terjadinya 3 insentif (pendorong) proses
belajar dan pembelajaran yang disarankan oleh Hanushek dan Woessmann
(Osorio, 2009:16) yaitu; 1) pilihan dan kompetisi; 2) otonomi sekolah; dan 3)
akuntabilitas sekolah. Seperti di gambarkan di bawah ini, bagaimana pilihan dan
kompetisi menjadi daya dorong peningkatan mutu proses pembelajaran di
sekolah.

Sekolah
Orang tua
terbaik

Pembuatan
Keputusan &
Dukungan Fiskal
Peningkatan
Akuntabilitas kinerja
kelembagaan

Gambar Pilihan dan Kompetisi sebagai Pendorong


Perbaikan Proses Pembelejaran

Bagi semua orang tua, memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-
anaknya adalah suatu hal yang wajar. Orang tua akan berupaya mencari sekolah
yang terbaik, produktif, dan dianggap mampu memberikan apa yang mereka
harapkan terhadap pendidikan anak-anak mereka. Di sisi lain, sekolah akan
senantiasa berupaya mewujudkan semua keinginan orang tua dengan cara terus
berupaya menjadi sekolah yang terbaik bagi mereka. Dengan itu, sekolah dituntut
untuk terus melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja. Manakala keinginan
sekolah sejalan dengan apa yang diharapkan orang tua, maka partisipasi keputusan
dan dukungan fiskal akan didapat oleh sekolah. Hal itu terjadi karena masyarakat
beranggapan bahwa sekolah perlu dibantu untuk berkinerja baik dan berprestasi
agar pelayanan pendidikan pada anak-anak mereka menjadi lebih baik pula.
Dengan adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan dan dukungan fiskal tadi,
sekolah dituntut untuk menjalankan praktik-praktik sekolah secara transparan dan
akuntabel terhadap masyarakat. Masyarakat akan merasa berkewajiban
mengontrol, mengawasi, serta melakukan perbaikan mengingat mereka juga
menyumbang sejumlah kapital dan terlibat dalam proses pembuatan keputusan
sekolah.
Akuntabilitas harus diwujudkan sekolah manakala partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan hadir. Partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di
sekolah bisa banyak bentuknya. Bisa dalam bentuk partisipasi kapital uang,
tenaga, ide/gagasan atau lainnya. Kontribusi tersebut tentu harus
dipertanggungjawabkan oleh sekolah terhadap masyarakat. Untuk menjamin
kepercayaan masyarakat, sekolah dituntut untuk akuntabel. Akuntabilitas
merupakan salah satu etika administrasi publik yang berkaitan dengan
pertanggung jawaban, hal yang bisa dipersalahkan atau dipertanyakan. Dalam hal
ini, tentu transparansi menjadi salah satu faktor penting dalam mewujudkan
akuntabilitas sekolah.
Sebagai dampak dari adanya keterlibatan orang tua dalam proses
pembuatan keputusan dan partisipasi fiskal pada proses MBS, maka ada beberapa
dampak yang akan dihasilkan. Pertama, besarnya dukungan dan tuntutan dari
masyarakat/orang tua untuk pelayanan pendidikan yang terbaik akan mendorong
guru-guru untuk berkinerja lebih baik. Kedua, sekolah memiliki peluang lebih
besar untuk meningkatkan kompetensinya baik langsung atau tidak langsung oleh
masyarakat mengingat dukungan finansial ataupun ide dan peluang lainnya.
Ketiga, transparansi merupakan praktik yang baik untuk kemaslahatan sekolah
dan orang tua. Transparasi timbul, seperti tadi dijelaskan, karena adanya tuntutan
dari masyarakat kepada sekolah untuk terbuka atas semua hal (kapital ataupun
partisipasi dalam pembuatan keputusan) yang telah diberikan kepada sekolah untu
terbuka dan dijelaskan pada mereka peruntukan dan prosesnya.

Gambar Manfaat MBS bagi Sekolah

MBS lahir dikarenakan terjadinya ketimpangan kekuasaan dan


kewenangan yang terlalu terpusat pada pemerintah sebagai pengatur dan
pengelola pendidikan dan ada kesan keberadaan sekolah hanya sebagai pelaksana
yang tidak memiliki kewenangan/kekuasaan apapun. Ini tentu baik secara teknis
ataupun psikologis akan berpengaruh terhadap kinerja sekolah itu sendiri. Proses
pembuatan keputusan jika segalanya ditentukan oleh pusat akan menjadi lambat
mengingat rantai komando dari pemerintah pusat sampai ke sekolah amatlah
panjang. Di sisi lain, sebelum MBS dijalankan, sekolah berperan sebagai
pelaksana kebijakan pemerintah pusat, dan belum tentu apa yang telah diputuskan
oleh pemerintah pusat sesuai dengan situasi dan kondisi yang riil di sekolah.
Upaya perbaikan dan peningkatan mutu merupakan hal yang tidak bisa
ditunda. Hal tersebut membutuhkan inisiatif dari warga sekolah untuk
berpartisipasi aktif dalam melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan
di sekolah. Untuk mewujudkannya, sekolah harus otonom. MBS adalah salah satu
jawaban atas otonomi tersebut. Manajemen berbasis sekolah memberikan
keleluasaan sekolah untuk menyelenggarakan operasional sekolah secara otonom.
Osario dkk. (2009:4) mengidentifikasi beberapa aktivitas yang bisa dilakukan
secara mandiri oleh sekolah dalam konteks MBS, yaitu:
1. Alokasi anggaran;
2. Pengangkatan dan pemberhentian guru dan staf sekolah lainnya;
3. Pengembangan kurikulum;
4. Pengadaan buku dan manterial pendidikan lainnya;
5. Peningkatan infrastruktur sekolah; dan
6. Monitoring dan evaluasi kinerja guru serta hasil belajar siswa.
Jika mengacu pada pemetaan keterlibatan stakeholder sekolah dalam
konteks MBS yang dipetakan oleh Education Human Development Network
(2007), MBS sebagai wujud kemandirian sekolah dalam mengelola sekolah bisa
dikategorikan kedalam 5 kontimum kemandirian, yaitu:
Gambar Kontinum Kemandirian Sekolah
(Dimodifikasi dari Education Human Development Network, 2007:7)

Kemandirian Lemah. Tingkatan paling bawah ini memiliki indikator


masih terdesentralisasinya semua pembuatan keputusan pada pemerintah daerah,
namun sekolah belum memiliki otonomi dalam mengelola sumber dayanya.
Dalam hal ini, sekolah berperan sebagai underbow pemerintah daerah, yang
melaksanakan semua kebijakan-kebijakan pemerintah daerah melalui
dinas/instansi yang mengatur pendidikan di daerah tersebut. Sekolah tidak
memiliki hak untuk menentukan atau membuat keputusan terkait segala hal yang
terjadi di sekolah. Semua serba tersentral dari instansi vertikal di atasnya.
Kemandirian Moderat. Dalam fase ini, sekolah sudah memiliki otonomi
untuk mengelola lembaganya. Otonomi yang dimiliki sekolah hanya terbatas pada
hal-hal tertentu saja, terutama hanya pada urusan perencanaan dan pembelajaran
saja. Untuk-untuk urusan strategis lainnya, sekolah masih harus mengikuti apa
yang digariskan atau diputuskan oleh dinas/instansi vertikal di atasnya.
Kemandirian Agak Kuat. Indikasi dari kemandirian jenis ini adalah
sudah terbentuknya komite sekolah sebagai wadah partisipasi dari stakeholder
sekolah. Pada fase ini, peran komite hanya sekedar sebagai dewan penasehat
sekolah, yang setiap saat kalau diminta atau diperlukan dimintakan
pertimbangannya oleh sekolah.
Kemandirian Kuat. Kemandirian tingkat ini ditandai dengan semakin
kuatnya keberadaan komite sekolah. Selain sebagai pemberi nasehat, komite
sekolah juga berfungsi sebagai mengawasi sumber daya substansial yang ada di
sekolah.
Kemandirian Sangat Kuat. Keberadaan komite di sekolah sebagai
penasehat dan pengawas juga merupakan indikator dari sekolah yang tingkat
kemandiriannya sangat kuat. Bedanya dengan yang kemandiriannya kuat, sekolah
yang sangat kuat kemandiriannya ditandai dengan adanya keterlibatan orang tua
dalam usaha pengembangan sekolah. Orang tua atau stakeholder sekolah yang
terangkum dalam komite sekolah secara proaktif terlibat dan dilibatkan sekolah
dalam semua usaha untuk peningkatan dan pengembangan sekolah.

D. Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Sekolah Mandiri


Sosok sentral yang berperan penuh dalam menggerakan semua individu
yang terlibat dalam upaya pendidikan di sekolah, termasuk stakeholdernya, adalah
seorang pemimpin. Pemimpin adalah sosok yang mampu mengerahkan semua
energi/sumber daya organisasi untuk pencapaian tujuan. Dengan pengaruhnya,
pemimpin memiliki peluang untuk bisa mengerahkan semua orang ke arah
pencapaian tujuan. Ia mampu memodifikasi perilaku anak buah, situasi kerja, dan
tentunya konteks lembaga secara umum agar sesuai atau mendukung pencapaian
tujuan.
Jika mengacu pada ide-ide Davies dkk (2005), ada 3 (tiga) kemampuan
yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah dalam mengembangkan
kemandirian sekolah. Pertama, Berorientasi Strategis. Seorang kepala sekolah
harus mampu mengindikasi simpul-simpul kritis yang bisa mempengaruhi
kemandirian di sekolah. Ia harus mampu melihat sisi kemandirian dalam kacamata
yang labih besar dan menerawang jauh kedepan tentang kemandirian sekolah. Ia
harus mampu mengamati semua konteks sekolah secara cermat dan mengindikasi
aspek-aspek konteks sekolah secara individual. Kepala sekolah harus mampu
menciptakan program utama atau ide-ide yang mampu memicu kemandirian
setiap unit atau orang di sekolah. Kedua, Mampu menterjemahkan strategi
penyelenggaraan sekolah yang memandirikan. Semua program yang dirancang
dalam rangka mencapai visi sekolah harus diarahkan untuk memandirikan semua
orang. Menciptakan ketergantungan adalah hal yang harus dihindari kepala
sekolah dalam membuat program sekolah. Ketiga, Menyatukan individu dan unit.
Ketergantungan bisa diantisipasi dengan kebersamaan. Konsep ini mungkin agak
sedikit membingungkan dengan kebersamaan. Dalam konteks kemandirian
kelembagaan, kebersamaan artinya saling melengkapi. Dengan saling
melengkapinya kekurangan, ketergantungan sekolah terhadap pihak di luar akan
semakin dikurangi atau mungkin dihilangkan.
Adapun peran kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun
kemandirian di sekolah, penulis mengidentifikasi ada 3 peran yang harus
diembang oleh kepala sekolah; yaitu peran pembangun visi, perubah pola pikir,
dan Penggerak, Pendorong dan Pemandu Kemandirian.

1. Pembangun Visi
Sebenarnya bagi pemimpin, pengaruh hanyalah instrumen upaya
pencapaian tujuan. Hal utama yang mengarahkan ‘senjata’ pemimpin (pengaruh)
adalah visi. Visi adalah hal utama yang akan dituju oleh pemimpin untuk
lembaganya. Visi akan mengarahkan semua sumber daya, program dan aktivitas,
semangat, serta ide.
Kemandirian harus menjadi visi sekolah. Visi sekolah itu yang menjadi
acuan semua orang dalam melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini, peran
kepemimpinan adalah menjadi inisiator pembuatan visi tersebut. Sebagai bagian
dari visi pimpinan/sekolah, kemandirian sekolah akan menjadi nyawa sekolah
atau nilai dan keyakinan yang dianut oleh semua individu yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Ada hal yang patut dicatat, penetapan visi
haruslah melibatkan dan merupakan karya setiap individu yang ada di sekolah.
Semua orang harus “disadarkan” dan “dipaksa” oleh pemimpin untuk memahami
dan mencintai/menginternalisasi dalam dirinya. Dalam hal ini, pemimpin harus
mensosialisikan visi, mengkomunikasi, dan menjelaskan visi kepada semua orang
agar visi kemandirian menjadi sebuah visi yang menyebar (shared vision) di
sekolah.

2. Perubah Pola Pikir (Mindset)


Selain membuat visi, peran kepemimpinan sekolah dalam mewujudkan
kemandirian di sekolah adalah merubah pola pikir (mindset) individu di sekolah
dan stakeholder menjadi pribadi-pribadi yang berpola pikir mandiri. Bukan
pribadi-pribadi yang selalu menengadahkan tangan atau menjulurkan tangan
untuk dibantu. Kepala sekolah harus berupaya menanamkan nilai dan keyakinan
baru akan kemandirian kepada setiap kepala orang-orang yang ada di sekolah dan
juga stakeholder sekolah. Nilai dan keyakinan kemandirian inilah yang akan
mengarahkan dan menggerakan perilaku semua orang menjadi pribadi yang
mandiri. Dalam hal ini, pengembangan guru (teacher development) merupakan
salah satu cara merubah mindset yang efektif.
Dalam membangun pola pikir yang mandiri, seorang pimpinan harus sadar
betul akan kebutuhan-kebutuhan anak buahnya. Kepala sekolah harus
memberikan bekal kompetensi serta menguatkan mental dan spritual para guru
agar mereka dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka secara efektif dan
efisien. Program pengembangan staf yang berkelanjutan (Continuing Professional
Development) merupakan perangkat yang efektif dalam merubah pola pikir guru
untuk menciptakan kemandirian pribadinya. Bentuk-bentuk pengembangan staf
tidak harus dalam bentuk program-program yang canggih seperti pelatihan-
pelatihan modern saat ini, namun hal yang sederhana dalam proses supervisi juga
merupakan langkah yang sangat efektif.
3. Penggerak, Pendorong dan Pemandu Kemandirian.
Peran kepemimpinan berikutnya adalah sebagai penggerak, pendorong,
dan pemandu. Kemandirian di sekolah perlu digerakkan, didorong, dan dipandu
arahnya. Pimpinan sekolah harus menggerakan semua sumber daya, mendorong
guru dan staf, siswa, orang tua, dan stakeholder sekolah lainnya, dan mengarahkan
semua aktivitas sekolah ke arah kemandirian.

C. Kesimpulan
Untuk memandirikan siswa, sekolah harus memberikan contoh yang nyata.
Sebelum mendidik siswa mandiri, sekolah harus terlebih dahulu mandiri. Untuk
menjadi mandiri, perlu kesadaran semua orang untuk mandiri. Salah satu bentuk
kemandirian yang muncul dalam pengelolaan sekolah adalah diterapkannya model
manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan salah satu bentuk dari
sekolah yang otonom, sekolah yang memiliki kemampuan untuk memenuhi
sendiri semua kebutuhan dan melakukan semua aktivitas penyelenggaraan dan
peningkatan mutu pendidikan secara mandiri.
Di sisi lain, peran pimpinan sekolah dalam mewujudkan kemandirian
sekolah sangat penting mengingat peran sentralnya di sekolah. Dalam
mewujudkan kemandirian, ada beberapa peran yang harus dijalankan oleh
pimpinan sekolah, yaitu sebagai inisiator visi, perubah pola pikir (mindset),
penggerak/pendorong/pemandu kemandirian,
DAFTAR PUSTAKA

Barrera-Ossario, Felipe, et.al. (2009) Decentralized Decision-Making in School.


The Theory and Evidence on School-Based Management. Wasington
D.C.: WorldBank.

Caldwell, Brian J. (2005) School Based Management. Education Policy Series.


Diterbitkan Kerjasama International Academy of Education dan
International Institute for Educational Planning Prancis: Stedi Media.

Davis, Bret., Ellison, L. and Bowring-Carr, C. (2007) School Leadership in the


21st Century. London: RoutledgeFalmer.

Education Development Human Network (2007) What is The School Based


Management?. Wasington D.C. World Bank.

Malen, B., R. T. Ogawa, and J. Kranz (1990). “What Do We Know about Site-
based Management: a Case Study of the Literature-A Call for Research.”
In Choice and Control in American Education, Vol. 2, 289–342, ed.
W.H.C

Anda mungkin juga menyukai