Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat karunia dan kasih-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Keperwatan Komprehensif II yang berjudul
“Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Spinal Injury” dengan tepat waktu.

Penyusunan makalah ini sebagai upaya untuk memperbaiki sebuah informasi tentang
konsep dasar asuhan keperawatan spinal injury. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
atas bantuan dan dukungan dalam penyelesaian makalah ini.

Dalam penyusunannya pasti makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami
memohon maaf jika terdapat kesalahan karena masih dalam prosespembelajaran dan selalu
terbuka untuk menerima kritik serta saran yang sifatnya membangun guna penulisan makalah
agar sempurna kedepannya. Harapan penulis dengan adanya tugas ini dapat menambah
pengetahuan dan pola pikir untuk semua yang membacanya.

Om Santih, Santih, Santih, Om

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................................2
1.3 Tujuan ............................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Spinal Injury ............................................................................................ 3
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Spinal Injury ......................................................... 9

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan .......................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medula oblongata yang menjulur ke
arah kaudal melalui foramen magnum lalu berakhir di antara vertebra lumbal pertama dan
kedua. Fungsi medula spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian
tubuh dan bergerak refleks. Cedera medula spinalis dapat diartikan sebagai suatu kerusakan
fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis. Kerusakan
medula spinalis pada daerah lumbal mengakibatkan paralisis otot-otot pada kedua anggota
gerak bawah, serta gangguan spinkter pada uretra dan rectum. Berdasarkan ada/tidaknya fungsi
yang dipertahankan di bawah lesi, cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan
inkomplet. Pembagian ini penting untuk menenetukan prognosis dan penanganan selanjutnya
(Brunner dan Suddarth, 2001).

Cedera medula spinalis paling umum terjadi pada usia usia 16 sampai 30 tahun,
sehingga termasuk salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan
kecacatan permanen pada usia produktif. Kelainan ini sering mengakibatkan penderita harus
terus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena paraplegia. Di antara kelompok
usia ini, kejadian lebih sering pada laki-laki (82%) dari pada wanita (18%). Penyebab paling
umum adalah kecelakaan kendaraan bermotor (MVCs: 39%), jatuh (22%), tindakan kekerasan
(25%), dan olahraga 7%. Sekitar 20% dari orang tua yang mengalami CMS adalah karena jatuh
(Morton, 2005).

Data epidemiologi dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian CMS
sekitar 11,5-53,4 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka ini belum termasuk data
jumlah penderita yang meninggal pada saat terjadinya cedera akut (Islam, 2006).

Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data
Research Centre) memperkirakan terdapat 10.000 kasus baru CMS setiap tahunnya di Amerika
Serikat. Insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk
(Pinzon, 2007).

Pasien yang mengalami cedera medula spinalis bone loss pada L2-L3 membutuhkan
perhatian lebih dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan mobilisasi. Pasien beresiko
mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, dan

1
hiperfleksia autonomik. Oleh karena itu, sebagai perawat sangat perlu untuk dapat membantu
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera medula spinalis lumbal dengan
cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalah dapat teratasi dan pasien
dapat terhindar dari kemungkinan masalah yang buruk.

1.2 RUMUSAN
1. Bagaimana konsep dasar spinal injury?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan spinal injury?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar spinal injury.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan spinal injury.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR SPINAL INJURY


A. Definisi
Tulang Belakang (vertebrae) adalan tulang yang memanjang dari leher sampai
ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12
buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrae
merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum
membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas
vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf,
yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf.-syaraf
tersebut (Mansjoor, Arif, et al. 2000).
Cidera tulang belakang adalah cidera rnengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakakan
olahraga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang
belakang sehingga mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsubidayat, 1997).
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang
belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang,
ligamentum longitudinalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk
kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yeng mengalirkan darah ke medula
spinalis dapat ikut terputus.
B. Etiologi
Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai
berikut:
1. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur
tersebut terjadi pda saat benturan dengan benda keras.
2. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat
mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
3. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.

3
4. Postur tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti
mengangkat benda berat.
5. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam,
dll).
6. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
7. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang (Harsono, 2000).
C. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Kerusakan meningitis; lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi
motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. Shock
spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6
minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi,
hilangnya ferfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus,
bradikardia, dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan tepat hiperrefleksi
terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defeksi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,
sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan, keadaan ini pada umumnya
terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperektensi mendadak
sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.
Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala,
kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh tulang
belakang sekonyong-konyong dihiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese
parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas
sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1 dan 2 mengakibatkan
anastesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks
anal dan refleks bulbokafernosa.

4
Gambaran Klinis:
1. Nyeri leher atau punggung
2. Spasme otot local
3. Paralysis atau parese
4. Gangguan sensoris
5. Pada level cervical: tetraplegia atau tetraparesis
6. Pada level thorakal atau lumbal: paraplegi/parese
7. Diagnosa pasti: foto

Dermatom tulang belakang

Tulang Bagian dalam Tubuh Manusia Gejala


Belakang
Manusia
1C Aliran darah ke otak, kulit kepala, Insomnia, darah tinggi, amnesia,
tulang muka, otak, saraf simpatetis pusing-pusing, lemah saraf,
kronis, empyema, hidung kelelahan, migran
2C Mata, saraf mata, telinga, saraf Mata juling, sakit telinga, tuli,
pendengaran,leher, arteri, vena, sinusitis
dahi.
3C Pipi, pangkal telinga, gigi, tulang Nyeri saraf, radang saraf, jerawat,
muka eksim
4C Hidung, bibir, mulut Flu, sakit telinga, radang
tenggorokan, amandel
5C Pita suara Pita suara bronkhitis
6C Otot leher, pundak, amandel Nyeri leher dan pundak, nyeri lengan
atas, amandel, sesak nafas, batuk
kronis
7C Kelenjar gondok, siku tangan, Demam
tulang pundak
1T Kerongkongan, siku pergelangan
tangan, jari, tenggorokan Asma, batuk, sesak nafas, tangan
2T Jantung dan arteri jantung kesemutan

3T Paru-paru, trakea, kantong paru- Sakit mata, radang paru-paru, radang


paru trakea, demam
4T Empedu Sakit kuning, herpes
5T Lever peredaran darah Demam, masalah tekanan darah,
gangguan peredaran darah, radang
sendi
6T Lambung Gangguan pencernaan
7T Pankreas, usus 12 jari Radang lambung
8T Limpa Daya penyembuhan alami berkurang

5
9T Kelenjar adrenalin, ginjal Alergi, penyakit kulit
10T Ginjal Gangguan ginjal, lelah kronis,
pengerasan arteri, radang ginjal
11T Ginjal dan ureter Jerawat, eksim, sakit kulit
12T Usus kecil, sistem peredaran limpa Rematik, perut kembung, mandul
1L Usus besar Sembelit, radang usus besar, diare
2L Usus buntu, perut, daerah paha Keram otot, sesak nafas
3L Organ reproduksi, rahim, kantong Sakit kandung kemih, nyeri haid,
kencing, lutut kaki keringat dingin waktu tidur, depresi,
keguguran, encok sendi
4L Kelenjar prostat, encok pinggul, Encok pinggul, sakit pinggang,
daerah lutut kencing tidak lancar, nyeri
punggung
5L Bagian luar kaki, nyeri daerah kaki Gangguan peredaran darah di kaki
bawah atau engkel (dingin ), bengkak pergelangan kaki,
nyeri daerah kaki
Tulang Reproduksi rahim, tulang pinggul, Penyakit kelenjar, prostat, tulang
Pinggul pantat membengkak, penyakit rahim,
Tulang Anus, tulang ekor wasir, radang anus, nyeri tulang ekor
Ekor waktu duduk
Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik pada trauma tulang servikal
dipergunakan Frakel Score.
1. Frakel Score A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss).
2. Frakel Score B: Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. Frakel Score C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat
menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. Frakel Score D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan
normal “gait”).
5. Frakel Score E: tidak terdapat gangguan neurologik.
D. Pemerikasaan Penunjang
1. Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi).
2. Computed Tomography (CT Scan):untuk mengidentifikasai lokasi dan panjangnya
patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI): untuk mengidentifikasi keadaan abnormal
serebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapat
memberikan informasi tentang perubahan kimia dalam sel, namun tidak
menyebabkan radiasi sel (Brunner dan Suddarth, 2001).
4. Foto rongent thorak: untuk mengetahui keadaan paru.

6
5. AGD: menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi.
E. Penatalaksanaan
Semua penderita korban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan
tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera
lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan
patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada
tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat
penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan
perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan
syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang
belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat
dicegah.
Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan
reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan
harapan dapat mangambalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat
penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam dalam waktu enam
jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak
boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah
instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan
dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.
Pengangkut penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana yang
apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut
dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang
belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati
rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi, dicurigai cedera di
daeran servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap di tengah

7
dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher pada
saat pengangkutan.
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan
fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik
dapat dilakukan. Pada umumnya terjadi paraliris usus selama dua sampai enam hari
akibat hematom retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung.
Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan
kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu
pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah
terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering. Perhatian perlu diberikan
untuk mencegah terjadinya pneumonia dan memberikan nutrisi yang optimal.
Penanggulangan cedera tulang belakang sumsum tulang belakang :
Prinsip Umum:
1. Pikirkan selalu kemungkinan adanya cederamielum.
2. Mencegah terjadinya cedera kedua.
3. Waspadaakan tanda yang menunjukkan jenis lintang.
4. Lakukan evaluasi dan rehabilitasi.

Tindakan:

1. Adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)


2. Optimalisasi faal ABC: jalan nafas, pernafasan, dan peredaran darah.
3. Penanganan kelainan yang lebih urgen.
4. Pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi.
5. Pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan).
6. Tindakan bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi).
7. Pencegahan penyulit.

Tindakan Bedah:

Jika terdapat tanda kompresi pada sumsumtulang belakang karena deformitas


fleksi, fragmen tulang, atau hematom, maka diperlukan tindakan dekompresi.
Dislokasi yang umumnya disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan
reposisi dan stabilisasi. Pembedahan darurat diperlukan bila terdapat gangguan
neurologik progresif akibat penekanan, pada luka tembus, dan pada sindrom sumsum
belakang bagian depan yang kuat.

8
Pada pasien yang tidak sadar mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi lambat
dan tekanan darah rendah, kelemahan umum pada seluruh anggota gerak, kehilangan
kontrol buang air besar atau air kecil. Penting untuk diingat bahwa trauma tulang
belakang tidak tersingkir jika pasien dapat menggerakkan dan merasakan anggota
geraknya. Jika mekanisme trauma melibatkan kekuatan yang besar, pikirkan yang
terburuk dan dirawat seperti merawat korban trauma tulang belakang.

2.2 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN SPINAL INJURY


A. Pengkajian
Tahap pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses dinamis yang
terorganisir yang meliputi tiga aktivitas dasar yaitu pertama mengumpulkan data
secara sistematis, kedua memilah dan mengatur data dan ketiga mendokumentasikan
data dalam format yang dapat dibuka kembali. Berikut ini merupakan data pengkajian
pada pasien dengan cedera medula spinalis hari pertama masuk ruang rawat inap.
Data Tanda dan Gejala
Aktivitas/istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal)
pada/ di bawah lesi.
Kelemahan umum/kelemahan otot (trauma dan adanya
kompresi saraf).
Sirkulasi Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi
atau bergerak.
Hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin
dan pucat. Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
Eliminasi Inkontinensia defekasi dan berkemih.
Retensi urin, distensi abdomen, peristaltik usus hilang,
melena, emesis berwarna seperti kopi tanah/hemetemesis
Integritas ego Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
Makanan/cairan Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus
paralitik)
Higiene Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari (bervariasi).
Neurosensori Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan/kaki. Paralisis
flaccid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi,
tergantung pada area spinal yang sakit.
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat dapat berkembang
saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembali normal
setelah syok spinal sembuh). Kehilangan tonus
otot/vasomotor.

9
Kehilangan reflex/reflex asimetris termasuk tendon
dalam.Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat dari
bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal
Nyeri/kenyamanan Nyeri/nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah
trauma.
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
Pernapasan Napas pendek, sulit bernapas.
Pernapasan dangkal/labored, periode apnea, penurunan bunyi
napas, ronkhi, pucat, sianosis.
Keamanan Suhu yang berfluktuasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu
kamar).
Seksualitas Keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelumpuhan otot pernapasan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan syaraf, agen cidera.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama
yang beresiko mengalami perubahan kulit yang buruk.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
6. Harga diri rendah situasional.
7. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan pergerakan.
C. Intervensi
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Gangguan ventilasi  Respiratory status: airway Mechanical Ventilation
spontan patency management: invasive
berhubungan  Mechanical ventilation − Pastikan ventilator aktif
dengan wearing response − Pantau adanya
kelumpuhan otot  Breathing pattern, kegagalan pernafas
pernapasan. ineffective − Pantau adanya
penurunan volume
Kriteria Hasil: ekshalasi dan
 Respon alergi sistemik: peningkatan tekanan
tingkat keparahan respons inspirasi pada pasien
hipersensitivitas imun − Tentukan kebutuhan
sistemik terhadap antigen pengisapan dengan
lingkungan (eksogen) mengauskultasi suara
 Respons ventilasi ronki basah halus dan
mekanis: pertukaran ronki basah kasar di
alveolar dan perfusi jalan nafas
jaringan di dukung oleh
ventilasi mekanik

10
 Status pernafasan Oxygen Therapy
pertukaran gas: − Bersihkan mulut,
pertukaran CO2 atau O2 di hidung, dan trakea
alveolus untuk sekresi sesuai
mempertahankan − Memantau alira liter
konsentrasi gas darah oksigen
arteri dalam rentang − Amati tanda-tanda
normal oksigen diinduksi
 Status pernafasan hipoventilasi
ventilasi: pergerakan − Memantau tanda-tanda
udara keluar-masuk paru toksisitas oksigen dan
adekuat penyerapan atelektasis
 Tanda vital: tingkat suhu
tubuh, nadi, pernafasan,
tekanan darah dalam
rentang normal.
 Menerima nutrisi adekuat
sebelum, selama, dan
setelah proses penyapihan
dari ventilator
2. Nyeri akut  Pain level Pain Management
berhubungan  Pain control − Lakukan pengkajian
dengan trauma  Comfort level nyeri secara
jaringan syaraf, komprehensif termasuk
agen cidera. Kriteria Hasil: lokasi, karakteristik,
 Mampu mengontrol nyeri durasi, frekuensi,
(tahu penyebab nyeri, kualitas dan faktor
mampu menggunakan presipitasi
tehnik nonfarmakologi − Observasi reaksi
untuk mengurangi nyeri, nonverbal dari
mencari bantuan) ketidaknyamanan
 Melaporkan bahwa nyeri − Gunakan teknik
berkurang dengan komunikasi terapeutik
menggunakan manajemen untuk mengetahui
nyeri pengalaman nyeri pasien
 Mampu mengenali nyeri − Evaluasi pengalaman
(skala, intensitas, nyeri masa lampau
frekuensi, dan tanda − Kolaborasikan dengan
nyeri) dokter jika ada keluhan
 Menyatakan rasa nyaman dan tindakan nyeri tidak
setelah nyeri berkurang berhasil

Analgesic Administration
− Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
− Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi

11
− Cek riwayat alergi
− Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
3. Hambatan  Joint movement: active Exercise therapy:
mobilitas fisik  Mobility level ambulation
berhubungan  Self care: ADLs − Monitoring vitalsign
dengan  Transfer perfomance sebelum/sesudah latihan
kelumpuhan. dan lihat respon pasien
Kriteria Hasil: saat latihan
 Klien meningkat dalam − Konsultasikan dengan
aktivitas fisik terapi fisik tentang
 Mengerti tujuan dari rencana ambulasi sesuai
peningkatan mobilitas dengan kebutuhan
 Memverbalisasikan − Kaji kemampuan pasien
perasaan dalam dalam mobilisasi
meningkatkan kekuatan − Latih pasien dalam
dan kemampuan pemenuhan ADLs
berpindah secara mandiri sesuai
kemampuan
 Memperagakan
penggunaan alat
 Bantu untuk mobilisasi
(walker)
4. Resiko kerusakan  Tissue integrity: Skin and Pressure Management
integritas kulit Mucous membranes − Anjurkan pasien untuk
berhubungan  Hemodyalis akses menggunakan pakaian
dengan tirah baring yang longgar
yang lama yang Kriteria Hasil: − Hindari kerutan pada
beresiko  Integritas kulit yang baik tempat tidur
mengalami bisa dipertahankan − Monitor kulit akan
perubahan kulit (sensasi, elastisitas, adanya kemerahan
yang buruk. temperatur, hidrasi, − Oleskan lotion/baby oli
pigmentasi) pada daerah yang
 Tidak ada luka/lesi pada tertekan
kulit
 Perfusi jaringan baik Incision Site Care
− Monior proses
kesembuhan area insisi
− Monitor tanda dan gejala
infeksi pada area insisi
− Gunakan preparat
antiseptic, sesuai
program
− Bersihkan dan ganti
balutan pada intervensi
waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut)
sesuai program

12
5. Ketidakseimbangan  Nutrional status: food and Nutrition Management
nutrisi kurang dari fluid intake − Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh. Nutrional status: nutrient makanan
intake − Kolaborasi dengan ahli
 Weight control gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi
Kriteria Hasil yang dibutuhkan pasien
 Adanya peningkatan berat − Ajarkan pasien untuk
badan sesuai dengan membuat catatan
tujuan makanan harian
 Berat badan ideal sesuai − Monitor jumlah nutrisi
dengan tinggi badan dan kadungan kalori
 Mampu mengidentifikasi − Berikan informasi
kebutuhan nutrisi tentang kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi Nutrition Monitoring
 Menunjukkan − BB pasien dalam batas
peningkatan fungsi normal
pengecapan dari menelan − Monitor adanya
penurunan berat badan
 Tidak terjadi penurunan
− Monitir tipe dan jumlah
berat badan yang berarti
aktivitas yang biasa
dilakukan
− Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
6. Harga diri rendah  Body image, disiturbed Self Esteem Enhancement
situasional.  Coping, ineffective − Tunjukan rasa percaya
 Personal identity, diri terhadap kemmapuan
disturbed pasien untuk mengatasi
 Health behavior, risk situasi
 Self esteem situasional, − Ajarkan keterampilan
low perilaku yang positif
melalui bermain peran
Kriteria Hasil − Buat statement positif
 Adaptasi terhadap terhadap pasien
ketunandayaan fisik: − Kolaborasi dengan
respon adaptif klien sumber-sumber lain
terhadap tantangan (petugas dinas sosial,
fungsional penting akibat perawat spesialis klinis,
ketunandayaan fisik dan layanan keagamaan)
 Penyesuaian psikososial:
perubahan hidup: respon
psikososial adaptive
individu terhadap
perubahan bermakana
dalam hidup
 Mengungkapkan
penerimaan diri

13
 Komunikasi terbuka
7. Defisit perawatan  Activity intolerance Self-Care Assistance:
diri berhubungan  Mobility: physical Bathing/Hyygine
dengan impaired − Pertimbangkan budaya
keterbatasan  Selft care deficit hygiene dan usia pasien ketika
pergerakan.  Sensory perception, mempromosikan
auditory distrurbed perawatan diri
− menyediakan lingkungan
Kriteria Hasil yang terapeutik dengan
 Perawatan diri ostomi: memastikan hangat,
tindakan pribadi santai, pengalaman
mempertahankan ostomi pribadi, dan personal
untuk eliminasi − memantau integritas kulit
 Perawatan diri higiene − menjaga kebersihan
oral: mampu untuk ritual
merawat mulut dan gigi
secara mandiri dengan
atau tanpa alat bantu
 Mengungkapkan secara
verbal kepuasan tentang
kebersihan tubuh dan oral
hygine
D. Implementasi
Implementasi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
E. Evaluasi
1. Gangguan ventilitas spontan berhubungan dengan kelumpuhan otot pernafasan.
a. Respon alergi sistemik: tingkat keparahan respons hipersensitivitas imun
sistemik terhadap antigen lingkungan (eksogen)
b. Respons ventilasi mekanis: pertukaran alveolar dan perfusi jaringan di
dukung oleh ventilasi mekanik
c. Status pernafasan pertukaran gas: pertukaran CO2 atau O2 di alveolus untuk
mempertahankan konsentrasi gas darah arteri dalam rentang normal
d. Status pernafasan ventilasi: pergerakan udara keluar-masuk paru adekuat
e. Tanda vital: tingkat suhu tubuh, nadi, pernafasan, tekanan darah dalam
rentang normal.
f. Menerima nutrisi adekuat sebelum, selama, dan setelah proses penyapihan
dari ventilator

14
2. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan syaraf, agen cidera.
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan.
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama
yang beresiko mengalami perubahan kulit yang buruk.
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
e. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
6. Harga diri rendah situasional.
a. Adaptasi terhadap ketunandayaan fisik: respon adaptif klien terhadap
tantangan fungsional penting akibat ketunandayaan fisik
b. Penyesuaian psikososial: perubahan hidup: respon psikososial adaptive
individu terhadap perubahan bermakana dalam hidup
c. Mengungkapkan penerimaan diri
d. Komunikasi terbuka

15
7. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan pergerakan.
a. Perawatan diri ostomi: tindakan pribadi mempertahankan ostomi untuk
eliminasi
b. Perawatan diri hygiene oral: mampu untuk merawat mulut dan gigi secara
mandiri dengan atau tanpa alat bantuMengungkapkan secara verbal
kepuasan tentang kebersihan tubuh dan oral hygine

16
BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Cedera medula spinalis lumbal adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis khususnya lumbal (Brunner dan
Suddarth, 2001). Penyebab utama Cedera Medula Spinalis (CMS) lumbal adalah trauma,
dan dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra. Penatalaksanaan
farmakoterapi dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya
metilprednisolon karena dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila
diberikan dalam delapan jam pertama cedera.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu: Gangguan ventilasi spontan
berhubungan dengan kelumpuhan otot pernapasan, nyeri akut berhubungan dengan trauma
jaringan syaraf, agen cidera, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan,
resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama yang beresiko
mengalami perubahan kulit yang buruk, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, harga diri rendah situasional, dan defisit perawatan diri berhubungan dengan
keterbatasan pergerakan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC Jilid 1. Jakarta : Mediaction.
Anam, Akhyarul, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Medula Spinalis
(Lumbal). Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 2010 (diakses pada
26 Maret 2019).
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :
EGC.
Doengoes, M. E. 1999. Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC
Islam, Mohammad S. 2006. Terapi Sel Stem pada Cedera Medulla Spinalis Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/Ruamah Sakit Umum Dr. Soetomo. Surabaya: Cermin
Dunia Kedokteran No. 154, 2007 39.

18

Anda mungkin juga menyukai