Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain
abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici
(Ludwig’s angina), atau abses submandibula juga termasuk abses leher bagian
dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan
terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat
berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. 1

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi
jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis
kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk
tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per
100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. 3

Gambar 1. Anatomi Tonsil 1

Gambar 2. Cincin Waldeyer 1

2
1.1 Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: 4

 Lateral  Muskulus konstriktor faring superior


 Anterior  Muskulus palatoglosus
 Posterior  Muskulus palatofaringeus
 Superior  Palatum mole
 Inferior  Tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga


melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.5

Gambar 3. Tonsilla Palatina 6

3
1.2 Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral
atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal. 6

1.3 Vaskularisasi

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,


yaitu

1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya


arteritonsilaris dan arteri palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. 6

4
Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil 6

1.4 Aliran Getah Bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. 6

Gambar 5. Aliran limfe kepala dan leher 6

5
1.5 Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX


(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

Gambar 6. Persarafan Tonsil 6

1.6 Ruang Peritonsiler

Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil


palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah
anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.

Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot


konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan
sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.1

1.7 Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.


Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.6
Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di

6
jaringan tonsilar.7 Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.6 Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 8

2. Abses peritonsiler
2.1 Definisi
Abses peritonsillar, didefinisikan sebagai kumpulan nanah yang
terletak di antara kapsul tonsil dan otot konstriktor faring, adalah infeksi
leher dalam yang paling umum pada orang dewasa muda 9

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi


di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan
m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi
tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.2

Gambar 7. Abses Peritonsiler1

7
Gambar 8. Lokasi abses peritonsiler7

2.2 Etiologi
Abses peritonsillar secara tradisional dianggap sebagai titik akhir
dari sebuah kontinum yang dimulai sebagai tonsilitis eksudatif akut,
berkembang menjadi selulitis, dan akhirnya membentuk abses. Sebuah
ulasan baru-baru ini melibatkan kelenjar Weber sebagai peran kunci dalam
pembentukan abses peritonsillar.
20 hingga 25 kelenjar lendir terletak di ruang yang tepat di atas
dari tonsila palatina pada palatum molle dan terhubung ke permukaan
tonsila palatina melalui saluran. Kelenjar membersihkan area tonsil dan
membantu pencernaan partikel makanan terperangkap dalam crypts
tonsillar. Jika kelenjar Weber menjadi meradang, selulitis lokal dapat
berkembang. Ketika infeksi berlanjut, saluran ke permukaan amandel
menjadi semakin terhambat dari peradangan di sekitarnya. Nekrosis
jaringan dan pembentukan nanah yang dihasilkan menghasilkan tanda dan
gejala klasik abses peritonsillar. Abses ini umumnya terbentuk di area
palatum molle, tepat di atas kutub superior tonsil, di lokasi kelenjar
Weber. abses peritonsillar pada pasien yang telah menjalani tonsilektomi
lebih lanjut mendukung teori bahwa kelenjar Weber memiliki peran dalam
patogenesis. Variabel klinis lainnya termasuk penyakit periodontal yang
signifikan dan merokok. 10

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses


peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik

8
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.
Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium.
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi
antara organisme aerobik dan anaerobic.4

2.3 Patologi
Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun,
teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode
tonsilitis eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi
pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses
berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong
tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi
kontra lateral.3
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain
itu, abses peritonsil terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat
tonsilitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. Abses peritonsil
dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus
Epstein-Barr (mononucleosis).11

2.4 Gejala Klinis

9
Pasien dengan abses peritonsillar tampak sakit dan datang dengan
demam, malaise, sakit tenggorokan, disfagia, atau otalgia. Nyeri
tenggorokan lebih parah pada bagian yang sakit dan sering nyeri pada
telinga pada sisi yang sama. Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan
trismus, dengan pasien mengalami kesulitan membuka mulutnya karena
rasa sakit dari peradangan dan spasme otot masticator. Menelan juga
sangat menyakitkan, mengakibatkan pengumpulan air liur pada mulut atau
jatuhnya air liur. Pasien sering bicara dengan suara yang
teredam/mengecil (juga disebut "suara kentang panas"). Limfadenitis
serviks yang terasa lunak dapat dipalpasi pada sisi yang terkena. Inspeksi
orofaring menunjukkan pembengkakan dan eritema yang tegang pada pilar
tonsilar anterior dan langit-langit lunak di atasnya. 10
Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai
terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub
superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat
pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat
faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau
faring unilateral yang semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita
nyeri hebat. 3

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang.

1. Anamnesis

Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses


peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah
satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut
yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.

10
2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring.


Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena
ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan
pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis.
Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang
terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan
bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa
melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis
tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis
(1)
tengah. Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan,
serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.

3. Pemeriksaan Penunjang 12

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk


penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu
dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan
dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin
dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe
berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan
material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita
abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit


(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

11
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver
function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral
soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu
dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

Gambar 9. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil 13

 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan


hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada
tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang

12
asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi.

Gambar 10. CT Scan dari Abses peritonsil dextra 13

 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral


ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 %
dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai
sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan
noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan
awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih
terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.

Gambar 11. Ultrasonografi dari abses peritonsil 13

13
2.6 Diagnosis banding
I. Abses retrofaring
II. Abses parafaring
III. Abses submandibula
IV. Angina ludovici

Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit


abses leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua
penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan
membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk membedakan
abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat. 3

2.7 Terapi

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.


b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara
parenteral atau peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e) Pemberian steroid.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat


simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin
pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur
mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam
selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis
awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal

14
dengan infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh
lebih dari 4 gr/hari.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien.

Gambar 12. Insisi Abses Peritonsil 3

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia


lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi
tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase
abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah
drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. 3

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita


abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.

15
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Angka
kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara
0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,
sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. 4

Gambar 12. Tonsilektomi

Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan


Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan
(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberi antibiotik parenteral. 1

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 3

16
 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau
piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik
apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.
 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis
septik ke selubung karotis atau carotid sheath.
 Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.
 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri
supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses


peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

2.9 Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan
kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan
menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga
dapat membahayakan nyawa pasien. 12
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat
tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan
granulasi pada saat operasi.

17
BAB III

KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di


spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.
kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi
tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses peritonsil dapat terjadi pada
umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang
berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa
sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah
yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem
dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem
perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)
yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus
menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,
sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan
inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan
leher (torticolis). Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan
asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri
tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema,

18
asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Pada
stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi
pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Dhingra P.L, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose, and Throat & Head and
Neck Surgery. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2016

2. Tan AJ. 2010. Peritonsillar abscess in emergency medicine. Available


from: http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview. diakses
pada tanggal 23 Agustus 2019

3. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
4. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
5. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
6. Tomas Berl and Jeff M. Sanders. Disorders of Water Metabolism.
Elsevier. 2018

7. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw
Hill Medical Publishing Division; 2003.
8. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar,
H.N. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia; 2004.
9. Freire et al. Peritonsillar abscess: Epidemiology and relationship with
climate variations. The Journal of Laryngology and Otology. 2017.
10. Galioto N.J. Peritonsillar Abscess. American Academy of Family
Physicians. 2008.

20
11. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.

12. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
13. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at:
http://www.revolutionultrasound.com . Accessed on September 23th, 2012.

21

Anda mungkin juga menyukai