Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Pembimbing:
PENDAHULUAN
Infeksi dapat terjadi apabila sifat microflora berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya,
dan apabila sistem kekebalan serta pertahan selular terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut
diatas. 3 Gigi dengan karies yang diikuti dengan nekrosis pulpa dan infeksi di periapikal serta
infeksi periodontal mempunyai potensi cukup besar untuk menyebarkan infeksi ke berbagai tempat
dalam rongga mulut, muka dan leher bahkan komplikasi seperti emboli dan septikemia. Penyebab
infeksi ini adalah mikroba komensal dalam mulut yang kemudian menjadi pathogen, yang
penyebarannya dipengaruhi oleh meningkatnya virulensi dan kuantitas mikroba dan menurunnya
hingga berkembang biak. Kebanyakan infeksi yang berasal dari rongga mulut bersifat campuran
(polimikrobial), umumnya terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih. Karena flora
normal di dalam rongga mulut terdiri dari kuman gram positif dan aerob serta anaerob gram negatif
maka yang paling banyak menyebabkan infeksi adalah kuman-kuman tersebut. Secara umum
biasanya diasumsikan bahwa infeksi di rongga mulut disebabkan oleh Streptococcus dan
Staphylococcus serta mikrooganisme gram negatif yang berbentuk batang dan anaerob.
Infeksi dapat bersifat akut dan kronis. Suatu kondisi akut biasanya disertai dengan
pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan malaise dan demam yang berkepanjangan.
Bentuk kronis dapat berkembang dari penyembuhan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah
atau pertahanan tubuh yang kuat. Infeksi kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam
berbagai tingkatan dan reaksi ringan dari jaringan sekitarnya, misalnya edema, kemerahan, rasa
sakit tekan, dan manifestasi sistemik episodik yaitu : demam ringan, letalergi dan lemah badan.3
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari gigi yang
berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang bermanifestasi pada region orofacial adalah
odontogenik. Infeksi odontogenik merupakan pemyakit yang paling umum sedunia dan
merupakan alasan mencari perawatan denta. Infeksi odontogenik biasanya mempunyai derajat
sedang dan dapat dirawat dengan mudah dengan pemberian antibiotik dan perawatan bedah lokal.
Abses berukuran kecil di vestibulum bukolingual ditangani dengan prosedur insisi intraoral dan
drainase, termasuk pencabutan gigi. Tetapi, beberapa infeksi odontogenik sangat serius dan
membutuhkan penanganan lebih lanjut. Bahkan setelah pemberian antibiotik dan peningkatan
kebersihan mulut, infeksi odontogenik serius dapat menimbulkan kematian. Kondisi tersebut
dapat terjadi ketika virulensi mikroba patogen meningkat dan terganggunya sistem kekebalan
Prinsip tindakan penanganan infeksi meliputi identifikasi organisme patogen yang terlibat
dengan cara smear (apus) dan kultur, tes sensitivitas, terapi antibiotik yang sesuai, pembedahan,
dan terapi pendukung. Selain itu, terdapat tindakan lain yang lebih penting dalam penanganan
infeksi berupa tindakan bedah meliputi, insisi dan drainase, pembersihan, dekortikasi, dan
sekuestrektomi (sauserisasi), serta pencabutan gigi yang menjadi sumber infeksi. Tujuan dari
tindakan ini adalah untuk menghilangkan kausa infeksi dan memberikan drainase. Prinsip
perawatan infeksi pada sistem stomatognati dengan pembedahan telah sejak lama dikenal. Bangsa
Indian menggunakan pembedahan dengan menggunakan pisau yang tajam untuk membuka abses
pada daerah wajah. Saat ini prinsip pembedahan masih sama, tetapi tekniknya telah sangat
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi odontogenik adalah salah satu diantara beberapa infeksi yang paling sering kita
jumpai pada manusia yang berasal dari gigi. Pada kebanyakan pasien infeksi ini bersifat minor
atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan drainase spontan di sepanjang jaringan
gingiva pada gigi yang mengalami gangguan.4 Infeksi ini dapat meluas dan menjadi berat bahkan
menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan adekuat. Kematian akibat infeksi pada daerah
stomatognati dapat terjadi karena sepsis atau karena tersumbatnya jalan nafas yang diakibatkan
pembengkakan pada dasar mulut yang dapat menyebabkan terangkatnya lidah serta obstruksi oleh
perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi odontogenik juga lebih sering
disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat
Kejadian tingkat keparahan, morbiditas, dan kematian akibat infeksi odontogenik menurun
secara dramatis selama 60 tahun terakhir. Ini bukan hanya disebabkan oleh penggunaan antibiotik
dan perawatan penunjang yang semakin maju untuk merawat infeksi ini, tetapi lebih karena prinsip
keselamatan jalan nafas yang diutamakan, diikuti oleh tindakan drainase yang sedini dan seagresif
mungkin. Dalam makalah ini akan dijelaskan delapan tahap dalam penatalaksanan infeksi
odontogenik. Mulai dari menentukan beratnya tingkatan infeksi, pertahanan tubuh hospes,
menentukan rencana perawatan, melakukan intervensi bedah, perbaikan keadaan umum,
pemilihan obat antibiotik, pemberian antibiotik dengan tepat dan evaluasi keadaan pasien.3
2.2 Etiologi
Rongga mulut merupakan tempat hidup bakteri aerob dan anaerob yang berjumlah lebih
dari 400 ribu spesies bakteri. Ratio antara bakteri aerob dengan anaerob berbanding 10:1 sampai
100:1. Organisme-organisme ini merupakan flora normal dalam mulut yang terdapat dalam plak
gigi, cairan sulkus ginggiva, mucus membrane, dorsum lidah, saliva dan mukosa mulut.
Kekomplekan flora rongga mulut dan gigi dapat menjelaskan etiologi spesifik dari beberapa tipe
terjadinya infeksi gigi dan infeksi dalam rongga mulut, tetapi lebih banyak disebabkan oleh adanya
gabungan antara bakteri gram positif yang aerob dan anaerob. Dalam cairan gingival, kira-kira ada
infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme
penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-
infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob, biasanya
organisme penyebabnya adalah bakteri gram positif yaitu species Streptococcus. Infeksi
odontogen banyak juga yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu
sekitar 25 %. Pada infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan
kultur. Bakteri Fusobacteria sp. biasanya ditermukan pada infeksi yang berat.6
Infeksi polimikrobial. Kebanyakan infeksi yang berasal dari rongga mulut bersifat
campuran (polimikrobial), biasanya terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih. Karena
flora normal di dalam mulut terdiri dari kuman gram positif dan aerob, serta anaerob gram negatif
maka yang menyebabkan infeksi tentu saja jenis kuman tersebut. Apabila mikroba anaerob terlibat
dalam suatu infeksi polimikrobial atau campuran, pengaruh dari organisme yang lain akan
umum biasanya diasumsikan bahwa infeksi mulut disebabkan oleh Streptococcus, dan
Staphylococcus serta mikroorganisme gram negatif yang berbentuk batang dan anaerob. Dengan
metode kultur dan teknik sampling yang lebih baik, identifikasi dari flora bakteri normal dan
infeksi akan lebih dapat dilakukan. Saat ini telah diketahui bahwa flora mulut aerob terdiri dari
kokus gram positif (Streptococcus), kokus gram negatif (Neisseria), batang gram positif
flora mulut anaerob terdiri dari kokus gram positif (Peptostreptococcus, Peptococcus), kokus gram
negatif (Veillonella), batang gram positif (Actinomyces, Clostridium, Leptotrichia) dan batang
Flora yang berubah. Flora mulut yang paling sering terlibat pada infeksi piogenik
submukosal rongga mulut adalah Streptococcus indigenus, spesies aerob terutama Bacteroides,
Fusobacterium, kokus anaerob, dan spesies Actinomyces. Saat ini Bacteroides fragilis telah
teridentifikasi dalam jumlah yang bermakna pada infeksi odontogenik yang refraktil. Organisme
yang terlibat dalam infeksi sering berada dalam keadaan turun naik secara konstan, karena
perubahan kondisi jaringan lokal, misalnya banyaknya oksigen, perubahan pH, adanya
antibiotik. Oleh karena itu, pada infeksi yang persisten diperlukan pengambilan sampel dan kultur
membuat spesimen secara hati-hati dan benar (hindari pemaparan yang terlalu lama dengan
udara/tempat kering), pengiriman ke laboratorium dengan segera, dan teknik laboratorium yang
baik.1
Tabel 2.1 Kultur Bakteri Predominan yang Berasal dari Berbagai Lokasi di Rongga Mulut.3
Tabel 2.2 Bakteri yang Berperan dalam Infeksi-Infeksi Mulut dan Odontogenik.1
Gambar 2.1 (A) Tube Kultur dalam Kemasan Tersendiri, yang Mengandung Media
untuk Transportasi; (B) Dalam Kemasan Terbuka Stik Aplikator Ditarik Sehingga Didapatkan
Sampel. Stik Aplikator Dikembalikan dan Kemudian Ditutup. Dasar dari Tube Dipijat-Pijat
supaya Sampel Masuk Kedalam Media.1
Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi smear, kultur aerob dan anaerob, serta
penentuan kepekaan terhadap antibiotik. Apabila dicurigai terdapat nanah, maka spesimen diambil
dengan aspirasi. Terlebih dahulu kulit dicuci dengan sabun antimikroba dan mukosa diulas dengan
alkohol, kemudian dilakukan aspirasi lesi dengan menggunakan jarum 18 – 20 gauge. Aspirant
dimasukkan kedalam vial transpor anaerob atau apabila bisa diantarkan dengan cepat (10 – 15
menit) dapat digunakan spuit. Jika terdapat eksudat, maka untuk mengumpulkan digunakan pak
anaerob. Apabila melakukan kultur spesimen jaringan maka cara yang dapat dilakukan adalah
seperti perlakukan untuk mengeluarkan eksudat. Lesi permukaan mukosa dikultur dengan pertama
diusap menggunakan tampon yang dibasahi saline dan dikerok dengan stik aplikator atau kuret.
informasi tanggal dan waktu pengambilan sampel, keadaan sampel, tempat pengambilan sampel,
pengobatan antibiotik terakhir atau yang sedang dijalani, dan kondisi klinis pasien akan sangat
kurangnya meliputi smear atau pewarnaan gram, kultur, serta kepekaan terhadap antibiotik dari
organisme yang dominan (flora campuran, atau keduanya). Apabila dicurigai adanya infeksi
mikrobakterial, sebaiknya diinformasikan. Smear bisa segera memberikan informasi bernilai klinis
yang sangat bermanfaat. Dengan melakukan smear ini bisa didapatkan informasi mengenai sifat
Gram-nya, morfologi dan identifikasi varietas yang dominan, juga berfungsi sebagai kontrol
kualitas untuk kultur berikutnya, apabila diperlukan. Hasil kultur dan tes sensitivitas baru
diperoleh setelah 48 – 72 jam (pemeriksaan khusus tertentu memerlukan waktu lebih lama lagi).
jamur. Virus yang paling sering ditemukan adalah herpes, tetapi virus hepatitis dan AIDS selalu
perlu dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Spesies Candida diduga merupakan
2.4 Patofisiologi
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses dentoalveolar,
tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi.1
Infeksi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah
mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi
kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi gigi dapat terjadi secara lokal atau meluas secara
cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai
apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi.
Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat
dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan
penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis
Pada infeksi sekitar foramen apikalis terjadi nekrosis disertai akumulasi leukosit yang
banyak dan sel-sel inflamasi lainnya. Sedangkan pada jaringan sekitar abses akan tampak
hiperemis dan edema. Bila masa infeksi bertambah, maka tulang sekitarnya akan tersangkut,
dimulai dengan hiperemia pembuluh darah kemudian infiltrasi leukosit dan akhirnya proses
supurasi. Penyebaran selanjutnya akan melalui kanal tulang menuju permukaan tulang dan
periosteum. Tahap berikutnya periosteum pecah dan pus akan terkumpul di suatu tempat di antara
spatia sehingga membentuk suatu rongga patologis. Pembentukan abses pada umumnya didahului
oleh periodontitis apikalis akut, namun dapat juga langsung tanpa didahului oleh periodontitis
apikalis.
Stadium
• Abses menembus periosteum, masuk tunika serosa dari tulang dan pembengkakan sudah ada
3. Stadium subkutan
Dari proses inflamasi dan destruksi jaringan dapat diketahui tahap-tahap infeksi dalam
perjalanan klinis infeksi odontogenik (tabel 2.4). Tahap inokulasi diawali dengan penyebaran awal
(mungkin oleh Streptococcus) ke dalam jaringan lunak. Tahap ini ditandai dengan pembengkakan
jaringan lunak, lengket, dan agak halus yang disertai dengan sedikit kemerahan. Selama tahap
selulitis proses inflamasi mencapai puncak dan menyebabkan pembengkakan yang berwarna
sangat merah, keras, dan amat sakit disertai functio laesa seperti trismus atau ketidakmampuan
mendorong lidah ke depan. Pada tahap ke tiga yaitu pembentukan abses banyak terjadi nekrosis.
Istilah fluktuasi sering disalah artikan untuk menggambarkan edema ringan. Fluktuasi adalah
pergerakan cairan dalam lesi yang dipalpasi secara bimanual atau bidigital menggunakan tangan
atau jari. Pergerakan cairan disebabkan oleh aliran pus di dalam kavitas abses. Tahap akhir dari
infeksi odontogenik yaitu pecahnya abses yang terjadi secara spontan atau dengan drainase
terapeutik.4
Sumber: Flyn TR. The timing of incision and drainage ; Oral and maxillofacial surgery
knowledge update 2001; III. Rosemont : American Association of Oral and Maxillofacial
Surgeons)
Tahapan infeksi dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami bagaimana infeksi
odontogenik berat yang tidak dirawat dapat menyebar ke rongga fasial kepala dan leher profunda.
Sebagai contoh, apabila infeksi odontogenik virulen yang berasal dari gigi molar rahang bawah
berkembang menjadi abses pada rongga mandibula maka mungkin dapat berlanjut menjadi tahap
inokulasi sampai selulitis pada daerah rongga retropharyngeal lateral di dekatnya. Rongga
retropharyngeal yang telah terinokulasi oleh bakteri dapat berkembang menjadi edema. Konsep
ini dapat menjelaskan mengapa kegagalan prosedur insisi dan drainase yang tidak berhasil
mengeluarkan pus masih dapat menghalangi penyebaran infeksi sehingga berhasil dalam proses
penyembuhan.4
Foramen pulpa yang sempit pada ujung akar gigi meskipun diameternya tidak cukup untuk
dilakukan drainase pulpa yang terinfeksi, tetapi dapat bertindak sebagai reservoir dari bakteri dan
dapat menyebabkan bakteri masuk ke jaringan periodontal dan tulang. Jalan masuk bakteri ini
menunjukkan masalah yang biasa terjadi apabila hanya antibiotik yang digunakan untuk merawat
fistula dari abses gigi. Sekali dilakukan drainase dapat menghentikan papulasi bakteri pada rongga
pulpa kemudian diikuti dengan perpindahan bakteri tersebut ke jaringan periapikal dari pulpa yang
tidak dirawat, jadi dapat kembali menjadi sumber infeksi. Infeksi gigi yang serius, yang meluas ke
luar soket, pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh infeksi pulpa daripada infeksi
periodontal. Apabila infeksi telah meluas melewati apeks gigi, patofisiologi proses infeksi dapat
berubah, tergantung pada jumlah dan virulensi organisme, resistensi host, dan anatomi daerah yang
terlibat.4
Bila infeksi tetap terlokalisir pada ujung akar gigi, maka infeksi tersebut dapat berkembang
menjadi infeksi periapikal kronis. Biasanya kerusakan tulang yang cukup dapat memberikan
gambaran radilolusensi yang bagus pada gambaran radiografi gigi. Proses ini menunjukkan adanya
infeksi fokal pada tulang, tetapi gambaran radiolusensi “garden variety” yang disebabkan oleh
karies gigi harus dapat dibedakan dengan osteomielitis.Apabila infeksi telah meluas ke ujung akar,
maka infeksi dapat berlanjut ke ruang medullar yang lebih dalam dan berkembang menjadi
Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada keadaan ini substansi
yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan perbaikan jaringan, proses inflamasi ini
B. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan nutrisi dan
D. Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada dinding lesi.
Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat pada daerah permukaan
infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi. Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah
infeksi. Kalor atau panas merupakan akibat aliran darah yang relatif hangat dari jaringan yang
lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau rasa
sakit, merupakan akibat rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan oleh pembengkakan atau
perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau
bradikinin pada akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau kehilangan
fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan kemampuan bernafas yang terhambat.
Kehilangan fungsi pada daerah inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari
3. Limphadenopati
Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di sekitarnya memerah
dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih
atau kurang keras tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan
di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah indikasi
terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem
pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini
Ruang (spatium) atau bidang fasial. Kepala dan leher dikelilingi oleh ruang fasial yang
biasanya dipisahkan oleh jaringan ikat longgar. Spatium (ruang) tersebut merupakan daerah yang
pertahanannya terhadap penyebaran infeksi kurang sempurna. Walaupun dalam batas tertentu
ruang ini cenderung melokalisir infeksi, tetapi ruang ini juga saling berhubungan satu sama
lainnya. barier terakhir terhadap penyebaran infeksi diluar prosesus alveolaris adalah periosteum.
Apabila periosteum itu tertembus, maka ruang-ruang dari bidang fasial yang didekatnya akan
segera terinfeksi. Infeksi dari gigi tertentu secara konsisten menyebar ke ruang-ruang tertentu yang
berkaitan dengannya. Trismus dan disfagia dapat dikaitkan dengan keterlibatan ruang-ruang
tertentu. Pengetahuan anatomis yang berhubungan dengan ruang-ruang ini akan dapat membantu
mengidentifikasi daerah-daerah potensial yang menjadi tempat penyebaran infeksi dan membantu
dalam menentukan bagian yang akan diinsisi dan didrainase. Untuk memudahkan pemahaman,
makan ruang tersebut dikelompokkan menjadi mandibular, maksilar, lateral, faringeal, kranial, dan
servikal.1
Gambar 2.2 Ruang Mandibular Anterior merupakan Tempat yang Sering Menjadi Tempat
Perluasan Infeksi yang Berasal dari Gigi.1
dibatasi di bagian inferior oleh m. digastrikus, dan medial oleh m. hyoglossus (trigonum
submandibulare). Infeksi yang menyebar kesini biasanya infeksi yang berasal dari molar bawah.
Infeksi ruang sublingual bisa meluas dengan mudah kedalam ruang submandibular dan
parafaringeal. Ruang submental terletak di sebelah anterior diantara kedua venter anterior m.
digastrikus. Daerah ini paling sering terkena perluasan infeksi dari gigi insisivus bawah. Ruang ini
lateral ramus, sedangkan ruang pterigomandibular terletak disebelah medial ramus dan dibatasi
oleh m. pterigoideus medialis. Regio molar ketiga bawah merupakan sumber utama infeksi untuk
kedua ruang posterior tersebut. Apabila regio ini mengalami infeksi akut, maka sering diikuti
trismus. Infeksi pada ruang-ruang submasseter dan pterigomandibular bisa menyebar ke temporal
Gambar 2.3 (A) Infeksi yang Mengakibatkan Menggembungnya Ruang-Ruang Jaringan yang
Potensial, dan Manifestasi Klinisnya Berupa Pembengkakan; (B) Selulitis mengenai Ruang-
Ruang Submandibular, Submental, dan Bucinator; (C) Perluasan Servikal dari Infeksi bisa
Membahayakan Mediastinum. 1
Gambar 2.4 Ruang Mandibular Posterior dan Temporal Merupakan Lokasi yang Sering
Menjadi Tempat Penyebaran Infeksi yang Berasal dari Regio Molar Ketiga.1
Ruang maksilar anterior. Penyebaran infeksi yang timbul pada regio maksilar biasanya
melibatkan fossa canina dan regio periorbital. Fossa canina terletak profundus dari m. quadratus
labii superior dan m. levator labii superior yang lain. Hal ini merupakan perluasan infeksi yang
berasal dari gigi kaninus atas dan terkadang dari gigi-gigi premolar dan insisivus. Dalam
pengertian klinis cukup penting, karena berhubungan dengan sinus cavernosus melalui vena-vena
fasialis, angularis, ophtalmica. Perluasan pada regio periorbital bisa berasal dari semua gigi
maksilar. Regio periorbital terletak profundus dari m. orbikularis oculi dan seperti pada fossa
canina, infeksi pada regio ini bisa menyebar ke sinus cavernosus melalui vena-vena yang sama.1
Gambar 2.5 (A) Selulitis Fasial yang Akut Memperlihatkan Perluasan Kearah Periorbital,
Sehingga Harus Diperhatikan Karena Dapat Menyebar Kearah Intrakranial; (B)Selulitis
Periorbital Akut yang Merupakan Perluasan dari Infeksi Fossa Canina.1
Ruang lateral. Ruang lateral meliputi ruang businator dan ruang parotis. Infeksi pada
ruang businator bisa merupakan perluasan infeksi pada gigi premolar dan molar. Ruang ini
pterigomandibular) dengan ruang temporal, dan ruang faringeal lateral. Ruang parotid terutama
ditempati oleh glandula parotidea dan biasanya merupakan tempat perluasan infeksi yang bukan
berasal dari gigi. Apabila terjadi infeksi biasanya melibatkan glandula parotid itu sendiri
(misalnya, sialadenitis). Tetapi infeksi ruang parotid bisa menyebar ke ruang parafaringeal dan
Ruang faringeal. Ruang faringeal lateral meluas dari basis kranii sampai dengan bagian
bawah tulang hyoid. Dibatasi m. pterigoideus internus disebelah lateral dan mm. constrictor
pharyngis disebelah medial. Ruang retrofaringeal terletak posterior dari mm. constrictor pharyngis
dan anterior dari selubung karotis serta fascia paravertebralis. Infeksi spatium pharyngealis bisa
meluas ke intrakranial (mediastinal). Infeksi yang melibatkan spatium pharyngealis, ditandai
Ruang kranial. Ruang kranial lateral meliputi temporal dan infratemporal. Ruang
temporal dibagi menjadi superfisial dan profundus oleh m. temporalis. Batas terluar adalah fascia
temporalis, sedangkan batas profundus adalah dinding tulang dari fossa temporalis. Batas terluar
adalah fascia temporalis, sedangkan batas profundus adalah dinding tulang dari fossa temporalis.
Di bagian inferior, ruang temporal superfisialis dibatasi oleh arkus zygomatikus, sedangkan ruang
melibatkan ruang temporal, apabila berasal dari regio molar bawah atau atas biasanya terlebih
dahulu melintasi ruang submasseter dan pterigomandibular. Ruang infratemporal dibatasi diatas
oleh basis kranii, dilateral oleh ramus mandibula dan m. temporalis dan medial oleh mm.
pterigomandibular dan temporal profundus. Penyebaran infeksi yang paling berbahaya adalah
yang menuju sinus cavernosus melalui plexus venosus pterigoideus. Perluasan servikal. Perluasan
infeksi odontogenik ke regio servikal bisa juga terjadi. Fascia servikalis dibagi menjadi fascia
superfisialis yang merupakan kelanjutan m. platysma dan fascia profundus yang membungkus
struktur-struktur profundus pada leher. Fascia profundus bisa memberikan jalan nfeksi melalui
ruang viscera (yang membungkus glandula tiroidea, paratiroidea, trakealis, dan esofagea), dan
selubung karotis ke mediastinum. Perluasan limfatik. Sistem limfatik bisa berperan menjadi agen
pertahanan lokal maupun sistemik terhadap infeksi mikroorganisme. Limfadenitis regional bisa
menjadi petunjuk adanya infeksi yang sedang berlangsung atau yang terjadi pada masa lalu,
maupun suatu pertanda adanya infeksi yang manifestasinya belum tampak. Kadang, fibrosis pada
Infeksi yang menyangkut sistem stomatognati untuk lebih praktisnya dalam perawatan
dapat dibagi kedalam beberapa golongan, yaitu infeksi odontogenik dan infeksi non-odontogenik.
Berdasarkan beberapa penelitian selama lebih dari dua dasawarsa, infeksi pada daerah orofasial
yang berasal dari gigi masih merupakan infeksi yang paling sering dijumpai. Infeksi orofasial ini
terutama berasal dari infeksi gigi. Infeksi odontogenik sendiri berasal dari dua sumber utama,
meliputi kelainan periapikal sebagai akibat nekrosis pulpa dan infeksi jaringan periodontal sebagai
akibat infeksi saku periodontal dan infeksi perikoronal. Dari kedua sumber utama ini, kelainan
periapikal merupakan etiologi yang paling umum sebagai penyebab infeksi odontogenik. Macam
infeksi odontogenik dapat berupa infeksi dentoalveolar, infeksi periodontal, infeksi yang
menyangkut spasium, selulitis, flegmon, osteomielitis, dan infeksi yang merupakan komplikasi
lebih lanjut.2
Keadaan yang membahayakan kehidupan. Pada keadaan biasa, dokter gigi tidak terlibat
dalam penatalaksanaan kondisi-kondisi yang mengancam jiwa. Perkecualian yang terjadi adalah
pada keadaan darurat akut misalnya reaksi anafilaksis atau infark miokardial. Semua infeksi
orofasial akut mempunyai potensi yang mematikan. Ancaman ini harus selalu dipikirkan pada
waktu melakukan evaluasi dan perawatan pada pasien yang bersangkutan, khususnya pasien
keberadaan dan proses penyakit ditentukan dengan seksama dan dicatat dengan teliti. Semua
tindakan perawatan yang dilakukan pada masa lalu juga dicatat, karena catatan perawatan
Etiologi. Etiologi umum dari kebanyakan infeksi orofasial dapat berupa abses periapikal
akut sampai selulitis servikofasial bilateral (Ludwig angina), adalah patologi, trauma, atau
perawatan gigi dan jaringan pendukungnya. Riwayat alami dari infeksi odontogenik biasanya
dimulai dengan terjadinya kematian pulpa, invasi bakteri, dan perluasan proses infeksi kearah
periapikal. Terjadinya inflamasi yang terlokalisir (osteitis periapikal kronis) atau abses periapikal
akut (penghancuran jaringan dengan pembentukan eksudat purulen) tergantung dari virulensi
organisme, dan efektivitas pertahanan hospes. Kerusakan pada ligamen periodontal bisa
memberikan kemungkinan masuknya bakteri dan akhirnya terjadi abses periodontal akut. Apabila
gigi tidak erupsi sempurna, mukosa yang menutupi sebagian gigi tersebut menyebabkan
terperangkap dan terkumpulnya bakteri dan debris, sehingga menyebabkan abses perikoronal.(1)
Gambaran klinis. Suatu abses adalah infeksi akut yang terlokalisir, manifestasinya berupa
inflamasi, pembengkakan yang nyeri jika ditekan, atau kerusakan jaringan setempat. Abses
periapikal berukuran kecil dari diameter dibawah 1 cm sampai cukup besar sehingga dapat
menutupi vestibulum. Mukosa diatasnya nampak mengkilat, eritematus, tegang dan kencang.
Abses periodontal akut dapat ditandai dengan adanya pembengkakan yang besar dan pergeseran
papila interdental yang jelas atau mungkin akan menjadi abses periapikal dengan penutupan atau
kelainan vestibular. Abses perikoronal akut (perikoronitis) yang melibatkan gigi yang sedang
erupsi sebagian biasanya gigi molar ketiga bawah memperlihatkan tanda-tanda pembengkakan
yang eritematus, penonjolan dan pergeseran jaringan sekitarnya dan yang menutupinya
(operkulum). Rontgen periapikal memperlihatkan adanya kerusakan tulang sekitar gigi yang
Tanda dan gejala. Abses odontogenik akut menimbulkan gejala sakit yang kompleks,
pembengkakan, kemerahan, supurasi, gangguan pengecapan, dan bau mulut. Keluhan utama
adalah rasa sakit, dengan nyeri tekan regional ekstrim yang tidak mempan diobati dengan
analgesik serta mengganggu pada waktu makan, tidur, dan saat melakukan prosedur kebersihan
mulut. Penderitaan yang dirasakan pasien tergantung pada intensitas dan durasi rasa sakit serta
perubahan sehubungan dengan perilaku pasien. Rasa sakit yang dialami pasien sudah
mencerminkan terjadinya abses odontogenik kategori darurat yang memerlukan tindakan cepat
dan efektif untuk menghilangkan rasa sakit. Status darurat didukung pula oleh adanya bahaya
potensial dari semua infeksi orofasial yang memerlukan terapi yang cepat dan tepat untuk
menghindari penyebarannya.1
maupun sistemik. Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan
perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit, terapi antibiotik, dan
terapi pendukung. Walaupun kelihatannya pasien memerlukan intervensi lokal dengan segera,
tetapi lebih bijaksana apabila diberikan antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya bakteremia dan difusi lokal (inokulasi) sebagai akibat sekunder dari manipulasi
perawatan yang dilakukan. Pemberian penicillin oral (1 gram untuk dewasa) mencapai tingkat
terapeutik dalam 1 jam, sedangkan eritromycin (500 mg untuk dewasa) memerlukan waktu sedikit
lebih lama untuk mencapai tingkat terapeutik. Blok saraf anastetikum, walaupun mungkin sulit
dilakukan, merupakan tindakan untuk menghilangkan rasa sakit dengan efektif dan menjadikan
prosedur perawatan lokal lebih mudah juga sebagai jembatan sampai obat-obatan sistemik beraksi.
Apabila rasa sakit telah berkurang, dapat dilakukan pengukuran temperatur oral, dan apabila
Kultur. Abses periodontal dan perikoronal sering disertai pernanahan (purulensi), yang
bisa dijadikan sampel untuk kultur sebelum dilakukan tindakan lokal. Apabila abses mempunyai
dinding yang tertutup, yang merupakan ciri khas dari lesi periapikal, maka palpasi digital yang
dilakukan perlahan-lahan terhadap lesi yang teranastesi bisa memperlihatkan adanya fluktuasi
yang merupakan bukti adanya pernanahan. Daerah yang mengalami fluktuasi tersebut biasanya
diaspirasi untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan kultur. Hal tersebut dilakukan dengan
memasukkan jarum besar 18 atau 20 gauge yang dicekatkan pada spuit disposable berukuran 3 ml
atau lebih, kedalam lesi. Biasanya didapatkan suatu eksudat yang bercampur darah dengan warna
kuning atau seperti krim. Apabila tidak didapatkan bahan pernanahan maka infeksinya bersifat
difus. Bahan dari aspirasi bisa digunakan untuk smear atau kultur aerob dan anaerob.1
Inspeksi dan irigasi. Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranastesi bisa
diperiksa atau dicari dengan menggeser jaringan yang menutupinya yaitu papila interdental atau
operkulum. Pada daerah tersebut biasanya terdapat debris makanan, yang merupakan benda asing
yang dapat mendukung proses terjadinya infeksi. Irigasi dengan hati-hati dengan larutan saline
steril dalam volume yang cukup banyak bisa menyingkirkan debris dan mengubah lingkungan
yang tadinya mendukung perkembangan bakteri menjadi sebaliknya. Apabila perawatan definitif
seperti kuretase, operkulektomi, ekstraksi, dan lain-lain ditunda, maka pasien dianjurkan berkumur
Insisi dan drainase. Abses fluktuan dengan dinding yang tertutup, berupa abses
periodontal maupun periapikal, dirawat secara lokal dengan insisi dan drainase. Anastesi yang
dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu sebelum aspirasi sudah dianggap cukup untuk
melanjutkan tindakan ini. Lokasi standar untuk melakukan insisi abses adalah daerah yang paling
bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase dengan memanfaatkan pengaruh gravitasi.
Seperti pada pembuatan flap, biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah membuat insisi
yang terlalu kecil. Insisi yang agak besar mempermudah drainase dan pembukaannya bisa bertahan
lebih lama. Drain yang dipakai adalah suatu selang karet dan dipertahankan pada posisinya dengan
jahitan.1
bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Apabila menganjurkan untuk kumur dengan
larutan saline hangat, konsentrasinya 1 sendok teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan
dilakukan paling tidak setiap sesudah makan. Pasien dianjutkan untuk memperhatikan timbulnya
gejala-gejala penyebaran infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan, serta
terjadinya mendadak (tiba-tiba) maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap pasien yaitu 24 jam
setelah perawatan. Apabila infeksi nampak lebih jinak dengan durasi yang lebih lama dan tidak
disertai tanda yang membahayakan, maka kunjungan berikutnya bisa ditunda hingga 48 jam.
Perkembangan yang terjadi dipantau apakah keadaanya membaik atau memburuk. Perubahan
pembengkakan dicatat (ukuran, konsistensi, fluktuasi) apakah tempat drainase masih memadai,
dan dicatat pula bagaimana sifat pernanahannya. Temperatur diukur atau diamati dan pasien
dianjutkan untuk memperhatikan gejala baru yang mungkin timbul. Apabila kontrol dan resolusi
kondisi akut telah berjalan dengan baik, maka faktor etiologi bisa dihilangkan dengan kuretase,
ekstirpasi pulpa, operkulektomi, atau pencabutan. Apabila kondisinya tidak membaik maka
diperlukan perawatan yang bersifat segera. Apabila tidak dilakukan kultur, tindakan yang
dilakukan biasanya dengan meningkatkan dosis antibiotik dan bukan mengubah jenis
antibiotiknya. Terkadang perlu dipertimbangkan pula untuk dilakukan rujukan yaitu apabila
menjumpai infeksi orofasial akut yang membahayakan kehidupan. Penyesalan yang diakibatkan
karena konsultasi lebih awal jauh lebih sedikit dibandingkan konsultasi yang terlambat.1
Gambar 2.7 Kematian Pulpa karena Invasi Bakteri, yang Termanifestasi berupa Infeksi
Periapikal. (A) Abses Odontogenik Menyebabkan Erosi dari Lamina Bukal,
Menembus Periosteum, dan Menimbulkan Abses Bukal; (B) Insisi Dibuat pada
Daerah yang Paling Berkaitan, dan Drain Karet Dipasang kedalam Lokasi. Drain
Dicekatkan ke Mukosa dengan Jahitan; (C) Drain berfungsi sebagai Rute
Keluarnya nanah dan Mengubah Suasana Lingkungan dari Daerah yang
Terinfeksi.(1)
Penghentian terapi. Apabila infeksi dapat dikontrol dengan baik, pada kunjungan kontrol
pertama maupun kedua biasanya pertanyaan yang timbul adalah kapankah pemakaian drain
dihentikan. Terkadang drain dirasakan sebagai hal yang menguntungkan tetapi bisa pula
merugikan. Hal ini biasanya terjadi apabila drainase telah berkurang, dan merasakan bahwa drain
merupakan benda asing dan tempat terjadinya kontaminasi eksternal. Drainase biasanya dianggap
cukup memadai bila penempatan drain paling tidak 48 jam. Selain itu, terapi antibiotik yang
dilakukan diteruskan pemberiannya sampai 5-7 hari. Apabila infeksi tetap bertahan sampai waktu
3-4 hari setelah hilangnya gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit jarang dilakukan.1
Tahap awal. Beberapa infeksi jaringan lunak odontogenik dan nonodontogenik pada
mulanya melibatkan periosteum dengan membentuk abses (abses subperiosteal) atau merupakan
pengembangan dari periostitis. Regio subperiosteal, karena sifat anatomisnya yang terbatas mudah
terkena penyebaran infeksi dari tulang atau infeksi yang terjadi sebagai komplikasi setelah operasi
atau setelah mengalami trauma. Apabila periosteum sudah tertembus, maka jaringan di sekitarnya
akan segera dengan cepat terinvasi dan mungkin terjadi selulitis akut. Gejala-gejala yang timbul
yaitu rasa sakit, pembengkakan, trismus, disfagia, limfadenitis, demam, dan malaise, tergantung
pada agresivitas dari agen yang terlibat, kemampuan pertahanan tubuh hospes, dan waktu serta
efektivitas perawatan.1
Gambar 2.8 Penampakan Radiografi dari Proliferasi Periostitis pada Anak, Memperlihatkan
Invasi Lokal dari Periosteum.3
Gambar 2.9 Apabila Infeksi Subperiosteal (Fossa Canina) Terletak di Fasial, biasanya
Terbentuk Abses Akut.
Selulitis. Pada mulanya, pembengkakan yang terjadi pada selulitis terbatas apda daerah
tertentu yaitu satu atau dua ruang fasial yang tidak jelas batasnya (Gambar 2.5). Palpasi pada regio
tersebut biasanya mengungkapkan bahwa konsistensinya sangat lunak dan spongios. Pasien juga
memperlihatkan gejala demam dan malaise. Pada tahap ini akan terjadi leukositosis, dan
meningkatnya laju endap darah (ESR). Apabila pertahanan tubuh menjadi lebih efektif, makan
akan terjadi pembentukan infiltrat regional, dan konsistensi pembengkakan menjadi lebih keras,
atau bahkan seperti papan (board like). Pada saat ini terjadi purulensi dan biasanya difuse (tidak
terlokalisir). Pada tahap ini potensi untuk menyebar dengan cepat ke jaringan sekitarnya sangat
tinggi.1
meningkatkan dosis analgesik dan antibiotik. Aplikasi panas baik eksternal (kering atau basah)
atau oral dengan menggunakan larutan kumur saline hangat bisa memacu lokalisasi yaitu
membentuk pernanahan. Yang perlu dipertimbangkan secara klinis adalah kapan dan dimana
aplikasi panas tersebut diterapkan. Pernanahan diduga mengikuti aplikasi panas, misalnya
pemanasan eksternal mempercepat terjadinya mata abses pada permukaan kulit, yang
memperlihatkan bahwa sudah waktunya untuk dilakukan drainase. Aspek lain dari aplikasi panas
adalah meningkatnya pembengkakan dengan cepat. Apabila sudah terbentuk mata abses yang
ditunjukkan pula dengan adanya fluktuan/pembentukan abses, maka insisi dan drainase sudah
waktunya untuk dilakukan (Gambar 2.10). Apabila tidak dilakukan drainase pada kondisi tersebut,
maka akan terjadi drainase spontan (pembentukan fistula), yang biasanya melalui daerah yang
tidak diharapkan (Gambar 2.14). Tidak adanya pernanahan pada waktu insisi dan drainase
memperlihatkan bahwa tindakan tersebut dilakukan terlalu awal (prematur), apabila hal itu sudah
terjadi, maka cairan serous atau jaringan lunak yang didapat bisa dikultur. Selain itu, pengurangan
gas abses dan perubahan tekanan oksigen lokal pada jaringan membawa keuntungan tersendiri.1
Gambar 2.10 (A) Setelah Terjadi Fluktuasi, kadang terjadi Pitting Edema; (B) Insisi dan
Drainase dilakukan pada Daerah yang Paling Akurat Setelah dilakukan
Aspirasi untuk Pengambilan Sampel Anaerob.1
Insisi dan drainase. Insisi dan drainase yang melalui kulit biasanya dilakukan oleh
seorang spesialis bedah, sedangkan dokter gigi umum biasanya melakukan insisi melalui mulut.
Antibiotik preoperatif dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya bakteremia dan inokulasi lokal
yang lebih luas. Prinsip-prinsip drainase perkutaneus sama dengan drainase oral untuk abses yaitu
dengan memilih daerah yang beas berdasarkan pertimbangan estetik. Pertama-tama kulit
dipersiapkan dengan menggunakan surgical scrub dan kemudian daerah tersebut diusap dengan
lap/handuk. Kemudian dilakukan anastesi lokal (infiltrasi atau blok maksilar, mandibular, servikal
superfisial baik sendiri maupun kombinasi) dan pemberian sedasi, atau dapat pula dilakukan
dengan anastesi umum. Sebelum dilakukan insisi, dilakukan aspirasi eksudat untuk sampel
pemeriksaan smear dan kultur. Insisi dibuat sejajar dengan haris Langer dari lipatan kulit. Supaya
bisa mencapai kantung-kantung nanah pada ruang-ruang fasial yang jauh letaknya, maka harus
dilakukan diseksi tertutup yang dalam menggunakan hemostat dengan lengkungan yang kecil
(Gambar 2.10).1
Makna keberadaan gas. Insisi juga memungkinkan keluarnya gas busuk yang ada
didalam abses. Gas tersebut merupakan indikasi positif bahwa infeksi disebabkan oleh
dioksida yang dengan cepat terdifusi ke dalam jaringan. Suatu drain kret dimasukkan kedalam
rongga abses dan distabilisasi dengan jahitan. Kemudian pada bagian tersebut dilakukan dressing
dengan menggunakan beberapa lapis tampon ukuran 4 x 4 , yang ditempelkan pada tempatnya
dengan menggunakan plester. Apabila sudah dilakukan drainase, aplikasi panas bisa diteruskan
diganti dan bagian yang didrainase diperiksa. Akan lebih baik kalau dilakukan kultur ulang
terhadap bahan drainase, karena flora sangat cepat berubah, khususnya dengan adanya perubahan
jaringan lokal (dari anaerob menjadi aerob). Kadang, perlu dilakukan irigasi pada daerah yang
didrainase. Bahan yang digunakan untuk drainase adalah larutan saline steril, larutan antibiotik
topikal, maupun larutan kimia seperti larutan Dankins yang dimodifikasi (Sodium hypochlorite
yang diencerkan) atau hydrogen peroxide. Semakin ringan larutan irigasi yang digukanakn, akan
semakin memperkecil kemungkinan terjadinya trauma jaringan. Maksud dilakukan irigasi adalah
untuk melarutkan dan membersihkan populasi bakteri, mengeluarkan debris dan jaringan nekrotik.
mengukur temperatur rongga mulut. Sebelum memasang dressing tulang (redresing) sebaiknya
bagian tersebut dibersihkan terlebih dahulu. Apabila kondisi pasien memuaskan, terapi antibiotik
diteruskan dengan dosis yangs ama sambil menunggu hasil tes sensitivitas antimikrobial. Pada
kunjungan berikutnya, dilakukan tindakan yang sama seperti sebelumnya, dan drain dilepas
apabila drainase tidak diperlukan lagi, atau biasanya setelah 3-5 hari. Bagian yang didrainase tidak
dilakukan penjahitan karena penyembuhan biasanya berlangsung cepat dengan sedikit jaringan
parut.1
memburuknya kondisi meliputi peningkatan temperatur yang persisten, perubahan denyut nadi dan
tekanan darah, penyebaran ke daerah lainnya, trismus dan disfagia yang semakin parah dan
penanganan serius yang segera, misalnya mempertahankan jalan napas (mungkin intubasi
endotrakeal, trakeostomi), terapi antibiotik dosis tinggi secara intravena, drainase (jika belum
dilakukan atau untuk drainase tambahan), pemantauan, dan perawatan pendukung yang memadai.1
Osteitis akut. Apabila tidak terjadi dry socket, osteitis akut pada struktur tulang orofasial
tidak akan terjadi. Walaupun salah satu etiologi alveolitis adalah mikroorganisme, keberadaannya
dimanifestasi dengan adanya respon inflamasi akut dan kadang pernanahan serta kehancuran
jaringan tulang. Walaupun regio molar bawah paling sering terkena, tetapi hal ini bisa saja terjadi
pada setiap tempat dimana dilakukan pencabutan gigi. Penatalaksanaannya terdiri dari irigasi
saline normal, pemeriksaan dan pemasangan dressing yang mengandung obat-obatan. Setelah
terjadinya serangan mendadak dan diberi perawatan pendahuluan yang memadai, perkembangan
dari kebanyakan kasus alveolitis umumnya tidak berbahaya. Apabila kondisinya tidak mengalami
perubahan sampai jangka waktu tertentu, pada kasus biasa seharusnya sudah terjadi kesembuhan
(4-5 hari), maka terdapat kemungkinan sudah menjadi osteomielitis alveolar akut. Hal ini
merupakan kondisi yang sangat menyakitkan dan oleh pasien diduga sebagai dry socket yang
kambuh kembali. Pemeriksaan alveolus menunjukkan tidak adanya bekuan darah sama sekali
dengan dinding alveolar yang terbuka dan nyeri, inflamasi yang nyata pada gingiva disekitarnya
dan kadang-kadang ada sedikit pernanahan. Rontgen periapikal akan memperlihatkan adanya
demineralisasi dinding alveolar dan penutupan dini dari daerah bekas pencabutan yang dilakukan
dengan normal (Gambar 2.12). Lamina dura yang tersisa nampak tidak jelas atau kabur (seperti
termakan rayap).1
Gambar 2.12 Osteomielitis Akut yang Terjadi Setelah Pencabutan Gigi. Nampak Gambaran
Kerusakan Dini dari Struktur Anatomis. Penampakan Radiografi yang Masih Tersisa hanya
Lamina Dura (Tanda Panah).1
Perawatan. Perawatan yang sesuai untuk osteomielitis alveolar akut adalah terapi
antibiotik, dan pembersihan atau sauserisasi. Osteomielitis alveolar akut bisa terjadi dari infeksi
periapikal, periodontal, dan perikoronal, baik akut maupun kronis. Apabila suatu abses tidak
sembuh dalam jangka waktu tertentu seperti yang diharapkan, disertai dengan tanda-tanda
meningkatnya rasa sakit yang nyata, maka perlu dilakukan pemeriksaan radiografis karena
Osteomielitis akut. Osteomielitis akut merupakan suatu komplikasi yang jarang terjadi
dari suatu tindakan bedah, fraktur mandibula, maupun trauma lainnya, yang menyebabkan
kehancuran sejumlah besar tulang yang berlangsung dengan cepat (Gambar 2.13). Hilangnya
tulang tersebut nampaknya melalui proses demineralisasi atau peleburan tulang, dan bukannya
melalui pembentukan sekuester seperti pada osteomielitis kronis. Perjalanan penyakit biasanya
mendadak dan durasinya pendek, ditandai dengan pembengkakan yang besar dan drainase nanah
yang nyata. Penatalaksanaannya serupa dengan abses akut, yaitu meliputi kulturm drainasem dan
terapi antibiotik. Dengan perawatan konservatif (tetap mempertahankan periosteum), sebagian
besar tulang yang hancur akan mengalami regenerasi. Apabila perawatan, daya tahan hospes, atau
keduanya tidak memadai, maka keadaan tersebut akan berkembang menjadi subakut atau kronis.1
Sifat kronis dari suatu infeksi ditetapkan oleh virulensi mikroorganisme, pertahanan tubuh
hospes, bagian yang diserang, terapi, dan durasi. Patogen yang virulensinya tinggi cenderung
menimbulkan infeksi akut, sedangkan yang virulensinya rendah cenderung menimbulkan infeksi
yang bersifat kronis. Dengan pertahanan tubuh hospes yang efektif atau terapi yang benar, suatu
infeksi akut dapat dikurangi menjadi subakut atau kronis, dapat bertahan seperti itu, atau akhirnya
sembuh. Durasi yang lama dan sifat yang kronis hampir sinonim dan mengandung makna bahwa
keseimbangan hospes atau patogen mengalami gangguan. Indikator klinis utama pada jaringan
lunak sehubungan dengan kekronisan adalah terbentuknya jaringan granulasi dan terjadinya
fistulasi yang dapat mendrainase daerah yang mengalami infeksi kronis (Gambar 2.14).1
Gambar 2.14 Sonde Dimasukkan ke Dalam Fistula Fasial yang Berhubungan Dengan
Abses Periapikal Kronis.1
2.8.2.1 Infeksi Jaringan Lunak
Lingkungan. Infeksi kronis pada regio orofasial biasanya melibatkan jaringan periodontal
atau mukosa. Jaringan pendukung gigi dan jaringan pembatas rongga mulut terpapar lingkungan
yang serupa misalnya kehangatan dan kelembabannya merupakan tempat dari mikroorganisme
patogen, terpapar terus-menerus terhadap trauma fisik, ataupun kimia (rokok, makanan yang
pedas, dan lain-lain), keberadaan debris (plak). Walaupun epitelium secara teratur mengalami
pergantian, tetapi perubahan virulensi flora, gangguan lokal terhadap keutuhan jaringan, gangguan
pertahanan sistemik, atau kombinasi dari hal-hal diatas, dapat memungkinkan terjadinya kondisi
Gambar 2.15 (A) Kandidiasis yang Terjadi pada Pasien yang Sedang Menjalani Pengobatan
dengan Penicillin; (B) Infeksi ini juga Melibatkan Mukosa Palatum dan Bukal.1
Candida. Organisme yang sering menyebabkan terjadinya infeksi jaringan lunak adalah
golongan jamur dan yang paling sering adalah Candida. Apabila seseorang sedang menjalani terapi
maupun menderita penyakit tertentu (AIDS, diabetes), Candida yang terdapat didalam rongga
mulut memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjadi parasit. Akibatnya, terjadi stomatitis,
yang pada tingkatan subakut ditandai dengan adanya plak berwarna putih, krem, atau keabu-abuan
yang tersebar pada membran mukosa (Gambar 2.15). Bercak tersebut dikelilingi oleh cincin
eritematus (kemerahan). Apabila bercak dikupas, pada dasarnya akan terlihat daerah yang
mengalami inflamasi hebat. Meskipun demikian, bentuk kandidiasis kronis yang umumnya terjadi
pada orang dewasa ditandai dengan adanya mukosa bukal yang berwarna merah dan kering, lidah
merah, kasar, dan mengkilat, terbentuk alur-alur, retak-retak pada lidah, dan pembengkakan.
Candida biasanya juga berperan pada hiperplasia inflamatori papila, kheilitis angularis (perleche),
pengawasan diabetesnya, menurunkan dosis, menghentikan terapi steroid, atau terapi antibiotik
berspektrum luas. Salep atau suspensi larutan nistatyn (Mycostatin) cukup efektif untuk terapi
kandidiasis mulut yang terlokalisir seperti kheilitis angularis, dan hiperplasia papila. Gigi tiruan
lepasan bisa menjadi penyebab terjadinya infeksi ulang, olh karena itu harus dibersihkan dengan
baik. Kadang-kadang merendam protesa dalam larutan nistatin semalam dapat membantu
Infeksi mikotik yang lain. Infeksi mikotik yang lain yang agak serius adalah
histoplasmosis, disebabkan oleh jamur seperti ragi, Histoplasma capsulatum. Hal ini merupakan
penyakit sistemik yang mempunyai kecenderungan untuk kekambuhan, dan terutama melibatkan
granulomatus pada lobus paru-paru. Dalam bentuk kronis manifestasinya adalah demam, badan
lemah, menurunnya berat badan, hepatosplenomegali, leukopenia, dan ulserasi membran mukosa.
Lesi-lesi mulut (nodular, ulseratif, vegetatif), mungkin merupakan tanda-tanda awal penyakit ini,
dan biasanya terdapat pada lidah, bibir, pipi, mukosa, dan orofaring. Amphotericin B merupakan
obat pilihan untuk perawatan histoplasmosis. Obat ini diberikan secara intravena dengan dosis
250-500 mg untuk 2-3 minggu. Toksisitas sistemik obat ini bisa dikurangi dengan premedikasi
diabsorbsi lewat mulut dengan baik, juga dianjurkan untuk perawatan infeksi-infeksi jamur
sistemik dan memperlihatkan hasil yang sangat baik. Pertimbangan yang harus dipikirkan pada
dan anaerob, yaitu Actinomyces israelii yang memiliki beberapa karakteristik seperti jamur
sederhana, yaitu kecenderungan membentuk koloni dan filamen didalam jaringan. Organisme
yang serupa tetapi bersifat aerob yaitu Nocardia (noardiosis) menimbulkan gejala yang hampir
sama dengan actinomyces. Respons jaringan pada aktinomikosis dan noardiosis adalah
granulomatus kronis dengan pernanahan dan nekrosis. Walaupun aktinomikosis dapat terjadi pada
setiap tempat didalam tubuh, tetapi yang paling sering terserang adalah regio servikofasial,
khususnya rongga mulut. Apabila bukan sebagai komplikasi dari trauma atau tindakan bedah
biasanya bersifat tersembunyi dan dikenali pertama sebagai suatu pembengkakan persisten yang
terjadi pada regio submandibular. Selanjutnya, pembengkakan akan mengeras seperti papan, dan
kulit yang menutupinya berwarna merah tua atau ungu, dan akan terbentuk abses serta timbul
(10-12 juta unit/hari selama 7-10 hari diikuti dengan penicillin oral 3-6 bulan). Bila pasien
memiliki alergi terhadap Penicillin, maka dapat diberikan Tetracyclin dengan cara intravena
maupun oral yang serupa. Pemberian antibiotik jangka panjang ini dimaksud untuk mencegah
terjadinya kekambuhan.1
termasuk spesies organisme yang menyebabkan TBC dan Leprosi. Bakteri ini mempunyai sifat
pewarnaan khusus yaitu bila diwarnai maka tidak berubah warna (acid-fast). Ciri-ciri ini
merupakan ciri umum pada beberapa organisme termasuk Nocardia. Bakteri acid-fast yang atipikal
(AFB), terkadang terlibat pada infeksi granulomatus yang kronis dan persisten di regio
submandibular misalnya scrofula. Reaksi Purified Protein Derivative (PPD) akan positif apabila
terjadi infeksi. Perawatan scrofula dengan ekstirpasi fluktuan atau drainase nodus (Gambar 2.16).
Terdapat dua jenis obat yang digunakan dalam kasus ini yaitu INH (isoniazid) dan Streptomycin
yang diberikan dalam waktu yang cukup lama, juga selain itu juga dilakukan penatalaksanaan anti-
tuberkulosis.1
Gambar 2.17 (A) Abses Submandibular yang Kronis Berlangsung Selama Lebih dari
Setahun. Bahan Hasil Aspirasi Memperlihatkan adanya Bakteri acid-fast yaitu Mycobacterium
Atipical; (B) Jaringan Parut Memperlihatkan Luas Eksisi yang Diperlukan untuk Perawatan
Scrofula.1
Abses submandibular pada anak. Suatu abses submandibular idiopatik yang etiologinya
bukan berasal dari gigi dan bisa terjadi pada anak-anak (Gambar 2.17). Infeksi ini menyerang
anak-anak kecil yang berumur satu hingga delapan tahun. Organisme yang dominan adalah
Staphylococcus aureus, dan tidak ada kaitannya dengan infeksi primer dari mulut, gigi, tonsilar,
telinga, atau kulit kepala. Dari riwayat penyakitnya didapatkan bahwa penderita mengalami
penyakit febril yang mengawali terjadinya abses, kira-kira 3-6 bulan. Perawatan yang dapat
dilakukan adalah dengan insisi dan drainase, serta terapi antibiotik (Penicillin).1
Gambar 2.18 Abses Submandibular Idiopatik pada Anak-Anak, yang Tidak Memperlihatkan
Adanya Etiologi Oral atau Faringeal. Abses Terjadi Setelah Infeksi Saluran Pernapasan Bagian
Atas yang Hebat.1
Gambar 2.19 Vesikel yang Besar Memperlihatkan Adanya Herpes Labialis Kambuhan (HSV-1).1
Herpes. Herpes labialis kambuhan merupakan manifestasi yang sering timbul pada infeksi
herpes simpleks (HSV-1). Selain itu, dapat timbul prodromal rasa terbakar dan rasa sakit yang
hebat, yang kadang-kadang disertai neuralgia yang terlokalisir. Pada tahap selanjutnya,
terbentuknya vesikel yang berkelompok dan memiliki kecenderungan kambuh pada tempat yang
sama. Mungkin terjadi adenopati servikal yang menyertai keberadaan vesikel-vesikel tersebut.
Adanya herpes yang aktif merupakan kontraindikasi dilakukan tindakan bedah. Seperti telah
diterangkan terdahulu, belum ada obat efektif untuk memberantas virus. Hal ini berarti bahwa
dan kronis, supuratif atau non-supuratif, sklerotik, dan berdasarkan etiologi spesifiknya
(tuberkulosis, aktinomikosis, atau radiasi). Invasi bakterial pada tulang berasal dari organisme
yang terdapat pada abses atau selulitis yang terjadi didekatnya, inokulasi melalui tindakan bedah
maupun trauma atau penyebaran hematogen. Organisme penyebab adalah Staphylococcus, dan
osteomielitis dahulu diduga merupakan furunkel pada tulang. Pemeriksaan kultur yang lebih
mikroorganisme anaerob. Pada kasus tertentu perlu dilakukan kultur beberapa kali khususnya pada
infeksi yang berlangsung sangat lama. Diantara kondisi-kondisi sistemik yang merupakan
predisposisi osteomielitis kronis adalah penyakit Paget pada tulang atau anemia sel sabit (Gambar
2.19). Pada kedua penyakit tersebut, perubahan patologis pada tulang akan mengurangi ketahanan
Osteomielitis kronis. Osteomielitis kronis biasanya tidak disertai rasa sakit yang hebat,
tetapi hanya perasaan tidak nyaman saja. Pembengkakan yang terjadi ukurannya bervariasi, dan
biasanya berhubungan dengan fistula dan drainase nanah. Kadang-kadang disertai demam ringan
atau malaise. Pemeriksaan radiografis pada penyakit yang sudah lama memperlihatkan adanya
sekuester (pulau-pulau tulang nekrotik dari yang ukurannya sangat kecil, 1 cm sampai yang
mengenai sebagian besar rahang) yang dikelilingi oleh daerah radiolusen dan kadang-kadang
saluran osteolitik yang saling berhubungan. Osteomielitis sklerotik baik superiosteal maupun
Gambar 2.21 (A) Ostetomielitis Kronis yang Persisten pada Anak Berumur 9 Tahun,
Menyebabkan Terjadinya Sekuester yang Mengenai Sebagian Besar Ramus.
Perhatikan Involucrum yang Mengalami Ekspansi (Tanda Panah);
(B) Osteomielitis Kronis pada Anak-Anak yang Manifestasinya berupa Reaksi
Subperiosteal, Misalnya Osteomielitis Garre.1
Pembedahan. Perawatan osteomielitis terdiri dari terapi antibiotik yang sesuai, yang
didasarkan pada kultur, smear, dan tes sensitivitas yang didukung dengan tindakan bedah yang
dilakukan pada waktu yang tepat serta terapi pendukung yang baik (Gambar 2.22). Penentuan
waktu untuk melakukan tindakan bedah sangatlah penting, terutama untuk sequesterektomi.
Tulang nekrotik yang terjadi selama terserang osteomielitis harus dikeluarkan secara pembedahan
karena merupakan benda asing. Apabila sequesternya kecil, pengambilan secara intra oral dan
sederhana, tetapi apabila melibatkan daerah yang luas dilaukan dengan diseksi perkutaneus yang
lebar. Ukuran dan sifat tertentu dari sequester dapat sedemikian rupa sehingga sequester harus
dipecah (seperti pada pengeluaran gigi impaksi) sehingga memudahkan pengeluaran dan
memungkinkan untuk dipertahankannya lebih banyak tulang normal disekitarnya. Sequester juga
terdapat pada kripta tulang reaktif yang dikelilingi jaringan tulang dan disebut involucra (Gambar
2.23). Jaringan lunak disekitarnya yang biasanya merupakan jaringan granulasi juga dikeluarkan.
Involucrum dibentuk kembali dengan menggunakan rongeur atau bur untuk menghilangkan tepi-
tepi yang tajam dan mengurangi volumenya (sauserisasi). Kemudian daerah tersebut diirigasi
dengan pembalut kasa yang mengandung antibiotik (salep Bacitracyn). Pembalut dipertahankan
selama 3-5 hari, tergantung respons klinis atau diganti dua atau tiga kali.1
Gambar 2.22 (A) Osteomielitis Subakut/Kronis pada Pasien Fraktur Parasimpisis yang
Perawatannya Tertunda selama 5 Minggu; (B) Kerusakan pada Tulang Terlihat
Setelah Dilakukan Pembersihan dan Pemasangan Arch Bar Mandibular; (C) Setelah
Imobilisasi Selama 8 Minggu dengan Fiksasi Maksilomandibular, nampak
Regenerasi Tulang yang Nyata (Tanda Panah).1
Dekortikasi. Apabila sekuestrasi terjadi dengan lambat atau difus, atau tidak terjadi sama
sekali maka perlu dilakukan dekortikasi. Dekortikasi biasanya memerlukan pengambilan segmen
lateral/korteks bukal dari mandibula dan pembersihan. Bisa dibantu dengan injeksi fluoroscein
intravena (bahan pewarna vital) untuk menggambarkan tulang yang nekrotik. Sedangkan uji klinis
yang paling bisa diandalkan untuk tulang vital adalah perdarahan tulang. Selain pengambilan
tulang nekrotik, dekortikasi juga memaparkan daerah yang terinfeksi yang vaskularisasinya relatif
lebih sedikit sampai pada daerah jaringan lunak disekitarnya yang tervaskularisasi dengan baik.
Keberhasilan terapi antibiotik tergantung pada jenis antibiotik yang dapat mencapai daerah infeksi
dalam konsentrasi yang efektif. Tentu saja, gangguan pasokan darahg akan mengurangi
keefektifan ini, selain mengganggu daya tahan lokal alami. Setelah tindakan bedah, pasien harus
diberi makanan dan minuman yang cukup dan bergizi karena saat ini adalah sangat kritis yaitu bisa
menentukan apakah osteomielitis dipantau secara klinis, laboratoris, dan radiografis. Sering
drainase tampak terhenti atau pembengkakan hilang, tetapi hasil pemeriksaan radiografis
Oksigen tekanan tinggi (hiperbarik). Oksigen hiperbarik sangat sesuai untuk perawatan
osteomielitis yang resisten atau membandel. Dasar pemikiran perawatan dengan menggunakan
oksigen hiperbarik ini adalah untuk meningkatkan tekanan oksigen dalam jaringn. Manfaat lainnya
adalah memperbaiki vaskularisasi dan perfusi oksigen, yang menimbulkan efek batkeriosidal atau
bakteriostatik. Selain itu, cara ini juga dapat meningkatkan aktivitas fibroblastik dan osteogenik.
Ada beberapa cara memberikan oksigen hiperbarik. Biasanya digunakan tekanan absolut 2-3
atmosfir selama 1-3 jam setiap 6-8 jam. Pemakaiannya secara keseluruhan berkisar antara 80
sampai lebih dari 130 jam. Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi penunjang dan bukan
atau kronis yang pada kebanyakan kasus sebenarnya dapat dilakukan pencegahan. Terapi radiasi
apda struktur orofasial akan mengubah suplai darah ke regio tersebut dan berkurangnya aliran
saliva. Suplai darah berkurang karena endotelium sensitif sehingga mudah terionisasi oleh radiasi,
menyebabkan proliferasi tunika intima dan fibrosis. Jaringan glandula saliva cenderungs ama
apabila mengalami radiasi. Apabila suatu dosis tumorisidal (6000 rad atau cGy) digunakan pada
menimbulkan mukositis, sehingga pembersihan mulut hampir tidak dapat dilakukan. Kombinasi
menurunnya produksi saliva, gangguan sistem buffer saliva, dan hiegine mulut yang jelek akan
mengakibatkan timbulnya karies radiasi, biasanya timbul mula-mula pada tepi gingiva dengan
cepat menyebar kearah koronal. Apabila dilakukan pencabutan gigi akan terjadi invasi bakteri,
yang menyebabkan terjadinya infeksi serta gangguan mekanisme pertahanan tubuh dan perubahan
Gambar 2.24 (A) Hilangnya Detail Arsitektural, Kerusakan Tulang yang Luas, dan Fraktur
Patologis (Tanda Panah) adalah Gambaran dari Osteoradionekrosis; (B) Perawatan dengan
Menggunakan Oksigen Hiperbarik dan Sekuesterektomi dapat Menghentikan Proses Patologis
dan Menyatukan Kembali Mandibula dari Keadaan Fraktur.1
gigi dan penatalaksanaan pada tahap pra-radioterapi. Semua pencabutan yang diperlukan dan
radiasi sebaiknya ditunda 2-3 minggu setelah pencabutan gigi. Insidens karies radiasi dapat
dikurangi atau dihilangkan dengan aplikasi gel fluorid (Sodium fluoride netral 0.5%) setiap hari,
menggunakan sendok cetak perorangan. Iritasi dari geligi tiruan yang kelihatannya ringan
sekalipun tetap bisa menyebabkan terjadinya osteoradionekrosis pada pasien yang menerima terapi
radiasi. Kunci keberhasilan pada periode pasca-radiasi terletak pada mencegah trauma terhadap
struktur tulang (iritasi protesa) dan pencabutan gigi. Apabila pencabutan gigi tidak bisa dihindari,
maka harus dibantu dengan pemberian profilaksis antibiotik dan kalau perlu ditambah dengan
terapi oksigen hiperbarik. Perawatan untuk kasus osteoradionekrosis meliputi terapi antibiotik,
sekuesterektomi, reseksi mandibula subtotal, dan terapi oksigen hiperbarik. Bila alasan utama atau
tujuan perawatan pada terapi penyakit ganas adalah peningkatan kualitas hidup, maka terjadinya
Semua infeksi orofasial yang serius memerlukan rawat-inap, hal ini disebabkan karena
perkembangan dari banyak infeksi dapat dipersingkt atau operasi yang dibutuhkan dapat dilakukan
Perawatan Ludwig’s angina. Ludwig’s angina ditandai dengan infeksi atau selulitis
bilateral yang parah, yang mengenai regio servikal, sublingual, submandibular, disertai pergeseran
posisi lidah dan kemungkinan tersumbatnya saluran pernapasan (Gambar 2.25). Ludwig’s angina
merupakan kondisi yang sangat berbahaya dan pasien harus dirawat-inap untuk mendapatkan
terapi antibiotik intravena, prosedur bedah yang ekstensif untuk drainase, dan pemantauan yang
teratur. Keuntungan lain dari rawat inap adalah lebih mudah untuk melakukan pengambilan
pemeriksaan CT bisa mengungkapkan adanya gas (emfisema pada jaringan lunak) dalam jaringan
atau kantung-kantung nanah yang tidak terdeteksi sebelumnya. Karena dekatnya letak sarana
laboratorium, maka dapat dilakukan pengiriman bahan untuk kultur (khususnya untuk
pemeriksaan terhadap bakteri anaerob) dengan cepatr misalnya, sampel jaringan dan darah.
Perhitungan sel-sel darah lengkap (CBC), hemoglobin, hematokrit, ESR, dan penentuan eletrolit
serum (hal ini sangat kritis apabila pasien menerima terapi cairan intravena) yang sering atau
dilakukan setiap hari, semuanya bisa dilakukan dengan mudah. Barangkali keuntungan utama dari
rawat inap adalah tersedianya pelayanan rujukan, terutama untuk penyakit menular, terapi
respiratorik, dan diabetik. Tempat yang paling baik untuk melakukan perawatan adalah rumah
sakit.1
Gambar 2.25 Ludwig’s Angina Merupakan Selulitis Akut yang Sangat Berbahaya dengan
Perluasan ke arah Leher dan Melibatkan Ruang Submandibular, Sublingual,
dan Submental Bilateral.1
Tabel 2.5 Penyebaran Infeksi Orofasial yang Berbahaya.1
2.9.1 Prinsip Penanganan Infeksi Odontogenik
Dokter gigi harus menanyakan riwayat asal rasa sakit, riwayat sakit gigi dan sakit kepala, asal,
lamanya, intensitas, termasuk trauma pada jaringan yang terinfeksi serta terapi awal yang telah
dilakukan, serta efek terapi tersebut. Ditanyakan pula riwayat rekurensi dari infeksi, riwayat
penyakit sebelumnya dengan infeksi, atau infeksi dengan respon yang tidak sesuai. Juga harus
dicatat adanya kesulitan membuka mulut, kesulitan menelan, hipersalivasi, perubahan suara, dan
Tabel 2.6 Batas Lokasi Anatomi pada Spasium di Regio Kepala dan Leher.3
Tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam menentukan tingkat keparahan
infeksi kepala dan leher adalah lokasi anatominya, tingkat progresifitas penyakit, dan gangguan
saluran napas. Dalam lima menit pertama saat dokter berinteraksi dengan pasien infeksi baik
melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, dokter harus dapat menentukan ketiganya. Spasium
anatomi pada kepala dan leher dapat menentukan tingkat berat ringannya suatu infeksi. Suatu
infeksi dinilai berat jika mengancam saluran udara atau stuktur vital seperti jantung dan
mediastinum. Biasanya pembengkakan berada di lokasi yang secara langsung menyumbat atau
menyimpangkan jalan nafas dan struktur vital. Infeksi pada lokasi anatomi yang dapat
menghambat akses ke saluran napas karena bengkak atau trismus dapat diklasifikasikan memiliki
tingkat keparahan moderat. Sedangkan infeksi yang mengenai spasia bukal, infra orbital vestibular
Hal pertama yang harus dilakukan dokter gigi dalam menghadapi pasien dengan infeksi
adalah dengan memperhatikan tanda-tanda vital, meliputi temperatur, tekanan darah, nadi, dan
pernapasan. Temperatur pada pasien dengan infeksi sistemik biasanya meningkat, nadi bertambah
cepat sesuai dengan peningkatan temperatur pasien. Kecepatan nadi yang meningkat lebih dari
100 kali permenit merupakan hal yang tidak biasa pada pasien dengan infeksi. Jika didapatkan
kecepatan nadi lebih dari 100 kali permenit, pasien tersebut kemungkinan harus segera ditangani
Dalam wawancara dengan pasien infeksi, ahli bedah dapat menilai tingkat progresifitas
penyakit dengan bertanya tentang onset pembengkakan, rasa sakit dan membandingkannya
berulang kali dengan tanda dan gejala yang ada saat ini pada pasien. Penyebab kematian utama
pada infeksi odontogenik adalah obstruksi jalan nafas. Oleh karena itu, dokter bedah harus menilai
saluran udara saat ini atau yang akan datang. Obstruksi jalan napas lengkap adalah suatu keadaan
darurat bedah. Kemudian dalam menghadapi pasien infeksi kita perlu memperhatikan tanda-tanda
vitalnya yang meliputi tekanan darah, nadi, suhu dan respirasi. Temperatur pada penderita infeksi
sistemik biasanya meningkat, nadi dapat bertambah sesuai dengan peningkatan suhu. Kecepatan
nadi yang meningkat lebih dari 100 kali permenit merupakan hal yang tidak biasa pada penderita
Peningkatan tekanan darah sistolik dapat terjadi jika ada sakit yang sangat dan adanya
kecemasan. Pada keadaan syok sepsis tekanan darah dapat tujun baik sistolik maupun diastolik.
Kecepatan respirasi pada pasien harus diobservasi. Salah satu hal yang dapat terjadi pada pasien
dengan infeksi fasialis adalah obstruksi saluran napas. Sebagai akibat obstruksi faring karena
penyebaran infeksi yang menyebabkan penyumbatan faring maupun akibat terangkatnya lidah.
Pada saat memonitor pernapasan juga harus dipastikan apakah saluran napas atas bersih dan pasien
dapat bernapas tanpa kesulitan. Kecepatan pernapasan yang normal antara 14 sampai 16 kali
permenit. Pasien dengan infeksi ringan dan sedang dapat meningkat antara 18 sampai 20 kali
permenit.2
Pasien dengan tanda-tanda vital yang normal hanya dengan peningkatan suhu yang ringan
biasanya mudah untuk ditangani. Pasien dengan tanda vital yang tidak biasa dengan peningkatan
suhu, nadi, dan pernapasan harus diperhatikan dan ditangani dengan agresif.(2) Pasien dengan nilai
abnormal pada dua tanda vitalnya harus diperhatikan lebih serius dan mendapat penanganan yang
segera.3
Tindakan utama pada pasien juga meliputi inspeksi, palpasi, dan perkusi. Leher dan kepala
dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya edema. Pasien diminta untuk membuka mulut,
menelan, dan menarik napas yang dalam untuk mengetahui adanya disfungsi. Bilamana ditemukan
pembengkakan atau edema maka lakukan palpasi untuk mengetahui konsistensi apakah
keras/indurasi, lunak atau sudah ada fluktuasi yang memperlihatkan adanya pus pada jaringan yang
kulit atau mukosa pada tulang yang menutupinya dan juga penyebaran ke sinus. Dilakukan
Palpasi digunakan untuk menegaskan ukuran, rasa sakit, suhu lokal, adanya fluktuasi dan
keterlibatan tulang disekitarnya dan juga kelenjar ludah. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap
kelenjar limfe regional dengan cara visual dan palpasi pembesaran, rasa sakit, kemerahan, dan
suhu, serta konsistensinya. Kelompok kelenjar limfe yang membesar biasanya membantu
Tabel 2.7 Hubungan antara Spasium pada Regio Kepala dan Leher.3
Tabel 2.8 Penilaian Tingkatan Infeksi Odontogenik pada Spasium Fasial.3
Secara intra oral dilakukan pemeriksaan dan pencatatan derajat trismus dengan mengukur
jarak inter insisal. Gigi-geligi dihitung jumlahnya, karies dan jumlah tambalan, lokasi
pembengkakan dan fistula, perubahan warna, adanya kegoyangan gigi, dan daerah post ekstraksi.
Perkusi jaringan dengan menggunakan instrumen dilakukan untuk melihat hipersensitivitas gigi.
Jika gigi sumber infeksi tidak ditemukan maka dianjurkan penggunaan vitalitester untuk mencari
gigi tersebut.2 Saluran kelenjar ludah parotis dan submandibular diperhatikan apakah ada
pengeluaran pus dari daerah tersebut. Diperhatikan pula palatum, tonsil, dan orofaring apakah
terdapat perubahan jaringan dan pengeluaran pus dari daerah tersebut.2 Setelah dilakukan
pemeriksaan harus dilakukan penegakan diagnosis apakah pasien tersebut menderita suatu abses
atau selulitis. Diagnosa yang tepat dan benar akan sangat membantu didalam memberikan
perawatan yang maksimal. Berikut ini adalah perbedaan mendasar antara abses dan selulitis.2
Bagian dari evaluasi riwayat medis pasien adalah untuk menentukan kemampuan pasien
untuk melawan infeksi. Beberapa penyakit dan beberapa tipe obat yang digunakan mungkin
memperparah keadaan pasien yang lemah (compromised patient) seringkali terkena infeksi dan
infeksi akan menjadi berat dan lebih parah. Oleh karena itu untuk mengatasi infeksi dengan efektif
diperlukan pengamatan yang khusus terhadap pasien dengan penurunan mekanisme pertahanan
tubuh.2
Tabel 2.10 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kondisi Sistem Imun Pasien.3
Terdapat beberapa kondisi yang melemahkan pasien, yaitu:2
a. Penyakit metabolisme yang tidak terkontrol seperti diabetes, gangguan ginjal yang
menyebabkan uremia dan alkoholisme yang berat dengan manutrisi. Beberapa hal ini
dan penyakit cancer lainnya. Biasanya terjadi penurunan fungsi darah merah dan
c. Pasien dengan terapi pengobatan yang lama maupun kemoterapi cancer dapat
menurunkan jumlah dan sirkulasi sel darah putih sampai level yang sangat rendah,
adakalanya sampai 1000 sel permilimeter. Pada keadaan ini pasien tidak mempunyai
mekanisme pertahanan tubuh yang baik sehingga tidak mampu mengatasi inflamasi
yang terjadi. Demikian pula, pasien dengan terapi immunokompromis, pasien yang
3. Prinsip III : Menentukan rencana perawatan dan apakah pasien memerlukan perawatan
spesialis
Sebagian besar infeksi odontogenik datang ke tempat praktek dokter gigi dan dapat
ditangani dengan tindakan yang cukup tepat. Infeksi odontogenik jika ditangani dengan prosedur
bedah minor dan diberikan antibiotik yang cukup adekuat biasanya akan membaik dengan cepat.
Namun, adakalanya infeksi odontogenik tersebut dapat mengancam jiwa dan harus ditangani
dengan pengobatan dan tindakan pembedahan yang cukup agresif. Pada kondisi tersebut, maka
pasien harus dikonsultasikan ke Ahli Bedah Mulut untuk tindakan definitif, sehingga diperlukan
perawatan di Rumah Sakit maupun rawat jalan. Kriteria pasien yang harus dikonsulkan ke spesialis
adalah:2
g. Kondisi toksisitas
Tabel 2.11 Indikasi Infeksi Odontogenik yang Harus Dilakukan Perawatan di Rumah Sakit.3
Indikasi untuk perawatan khusus di rumah sakit adalah untuk pasien dengan infeksi
odontogenik yang berat. Pada beberapa pasien, infeksi odontogenik yang dialaminya dapat
mengancam jiwa dan harus ditangani dengan pengobatan dan pembedahan yang lebih cepat. Jika
tidak dilakukan dengan cepat dan adekuat dikhawatirkan akan berujung kematian dan
memperberat kondisi infeksi. Demam yang terus meningkat akan meningkatkan kebutuhan
metabolisme dan kehilangan cairan, yang berujung pada dehidrasi. Dehidrasi secara klinis terlihat
melalui kulit yang kering, bibir pecah-pecah, kehilangan turgor kulit, dan membran mukosa yang
kering. Infeksi pada spasia yang dalam dengan derajat keparahan yang sedang atau berat dapat
menghambat akses terhadap jalan napas. Oleh karena itu, maka infeksi odontogenik yang
melibatkan spasia mastikator, spasia perimandibular atau spasia yang dalam merupakan indikasi
untuk rawat inap. Berikut adalah kondisi yang merupakan indikasi untuk rawat inap, sebagai
berikut:3
b. Dehidrasi
h. Kondisi toksisitas
Perawatan utama dalam infeksi odontogenik adalah melakukan intervensi bedah untuk
drainase dan eliminasi sumber penyebab infeksi. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara
sederhana seperti pembukaan atap pulpa gigi dan melakukan ekstirpasi pulpa yang nekrotik,
sampai dengan cara yang rumit seperti insisi jaringan lunak intra oral maupun ekstra oral. Tujuan
utama intervensi bedah adalah menghilangkan sumber penyebab infeksi biasanya jaringan pulpa
yang nekrotik. Tujuan lainnya adalah melakukan drainase pus dan debris yang nekrotik.2
Pada pasien dengan abses vestibular, dapat dilakukan tiga pilihan antara lain perawatan
endodontik, ekstraksi, maupun insisi dan drainase. Bila gigi hendak diselamatkan maka dilakukan
perawatan endodontik dengan cara melakukan pembukaan atap pulpa dan ekstirpasi jaringan pulpa
yang nekrotik. Apabila gigi tidak dapat dipertahankan lagi, maka harus dilakukan ekstraksi secepat
mungkin. Selain itu, dapat dilakukan insisi untuk drainase akumulasi untuk mengurangi tekanan
Sebelum dilakukan insisi rongga abses, sebaiknya dilakukan pengambilan spesimen pus
untuk pembiakan bakteri dan uji sensitivitas terhadap antibiotik. Cara pengambilan bahan
pemeriksaan adalah sebagai berikut: setelah dilakukan anastesi dan tindakan aseptik dengan
betadine, lakukan penusukan dengan jarum nomor 18 pada rongga abses, dan lakukan aspirasi pus
sebanyak 1-2 ml, kemudian semprit dipegang vertikal, dan keluarkan gelembung udara yang
berada dalam semprit, selanjutnya ujung jarum ditutup dengan menggunakan karet, dan kirimkan
Setelah didapatkan bahan pemeriksaan, dilanjutkan dengan melakukan insisi dengan pisau
nomor 11 melalui mukosa dan menembus submukosa kedalam rongga abses. Sebaiknya panjang
luka insisi dibuat tidak melebihi 1 cm, setelah itu insersikan hemostat bengkok dan dilakukan
pembukaan paruhnya ke beberapa arah untuk membuka rongga pus yang belum terbuka oleh insisi,
sambil melakukan tindakan ini dilakukan penyedotan pus yang keluar dari rongga abses agar tidak
tumpah kedalam rongga mulut. Setelah semua pus keluar dari rongga abses, dipasang drain karet
untuk mempertahankan pembukaan rongga abses. Kemudian drain difiksasi dengan jaitan agar
tidak terlepas drain dibiarkan sampai drainase rongga abses berhenti, biasanya selama 2-5 hari.2
Selulitis yang terjadi pada tahap awal infeksi dapat berupa pembengkakan yang besar,
keras dengan batas tidak jelas, mungkin tidak berespon terhadap insisi dan drainase. Dalam hal ini
intervensi bedah hanya sebatas pembuangan jaringan pulpa nekrotik maupun pencabutan gigi
sebagai sumber infeksi bila memungkinkan. Haruslah diingat bahwa yang paling penting dalam
pengobatan infeksi odontogenik adalah melakukan intervensi bedah untuk menghilangkan sumber
infeksi dan melakukan drainase pus. Bila diketahui adanya pus dalam rongga abses, maka segera
lakukan drainase, bila tidak maka infeksi akan bertambah parah walaupun telah diberikan terapi
antibiotik. Bilamana terdapat keraguan apakah pus sudah terdapat dalam rongga abses, dapat
Intervensi bedah pada infeksi odontogenik yang melibatkan spasia fasial, biasanya
memerlukan insisi ekstra oral. Insisi dilakukan setelah tindakan aseptik pada kulit dan pemberian
anastesi lokal, eksplorasi yang agresif dilakukan dengan hemostat dan bila diperlukan dapat
Laporan kasus oleh Williams dan Guralnick, menjelaskan bahwa terdapat pengurangan
kasus kematian akibat Angina Ludwig`s dari 54% menjadi 10 %. Hal ini disebabkan karena
mereka mengubah prinsip bedah dengan mengutamakan keamanan jalan nafas terlebih dahulu
melalui prosedur intubasi atau traceostomi, baru diikuti oleh intervensi bedah sedini dan seagresif
mungkin.3
Prinsip prinsip tindakan bedah pada infeksi odontogenik akut adalah sebagai berikut:3
1. Drainase pus yang terbentuk dalam jaringan. Bila tidak melakukan evakuasi pus, dan
hanya memberikan antibiotik, maka tidak akan dapat mengurangi infeksi dengan cepat.
a. Saluran akar
2. Open bur gigi yang menjadi fokus infeksi saat fase awal inflamasi, untuk mengeluarkan
cairan eksudat lewat saluran akar. Dengan cara ini maka penyebaran inflamasi dapat
dihindari dan mengurangi rasa sakit yang diderita pasien. Drainase dapat pula
dilakukan lewat trepanasi tulang ketika saluran akar tidak dapat diakses.
4. Anestesi daerah yang akan diinsisi dengan teknik anestesi blok yang dikombinasikan
a. Dapat dihindari kerusakan duktus kelenjar liur, pembuluh darah besar dan saraf.
b. Dapat menghasilkan drainase yang baik. Insisi dilakukan superfisial, pada daerah
paling rendah dari akumulasi pus untuk mengurangi rasa sakit dan dapat membantu
c. Insisi tidak dilakukan pada daerah yang dapat mengganggu estetik, jika memungkinkan
Gambar 2.27 Lokasi Insisi dan Drainase pada Regio Kepala dan Leher.3
6. Insisi drainase dilakukan pada saat yang tepat, yaitu saat pus telah terbentuk pada
jaringan lunak dan flukstuasi (+), yaitu saat dipalpasi akan terasa cairan yang bergerak
dalam rongga abses. Jika insisi dilakukan prematur, biasanya hanya akan mengeluarkan
sedikit darah, tanpa pengurangan rasa sakit pasien dan edema tidak berkurang.
7. Jika lokasi pus dalam jaringan lunak tidak dapat ditentukan (saat fluktuasi (-)) insisi
drainase dilakukan pada daerah yang paling lunak saat palpasi, daerah yang lebih
merah, dan daerah paling sakit saat ditekan. Fluktuasi dapat dipercepat dengan kumur
air hangat.
9. Drainase awal dilakukan menggunakan hemostat yang dimasukkan dalam lubang insisi
dengan paruh hemostat ditutup, lalu paruh di lebarkan saat hemostat berada dalam
lubang insisi dan selanjutnya lakukan eksplorasi. Sasat diseksi tumpul tersebut
Gambar 2.28 Drain yang Diletakkan Dalam Lubang yang Telah Dilakukan Insisi.3
11. Ekstraksi gigi penyebab secepatnya apabila gigi tersebut tidak dapat dipertahankan lagi
12. Berikan antibiotik ketika pembengkakan telah meluas, terutama bila terjadi demam dan
Pasien dengan infeksi odontogenik dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh karena
rasa sakit dan pembengkakan. Rasa sakit menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dengan
cukup dan kekurangan asupan nutrisi. Oleh karena itu, pasien dianjutkan untuk makan makanan
Penatalaksanaan medis pada penderita infeksi odontogenik yang berat meliputi hidrasi
yang adekuat, asupan nutrisi dan kontrol suhu tubuh. Pada beberapa kasus, keseimbangan elektrolit
dan kontrol penyakit sistemik merupakan hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan terapi
infeksi. Demam dengan suhu dibawah 39,4oC dipertimbangkan masih menguntungkan bagi tubuh
itu sendiri disebabkan kenaikan suhu tubuh yang ringan meningkatkan aktivitas fagositosis, aliran
darah ke daerah yang terinfeksi, serta meningkatkan metabolisme dan fungsi antibodi. Namun
apabila suhu melebihi 39,4oC dapat meningkatnya metabolisme dan kardiovaskular melebihi
kebutuhan biasanya. Energi yang tersimpan dapat terkuras dan kehilangan cairan semakin banyak.
Hidrasi yang adekuat merupakan metode yang paling tepat untuk penanggulangan demam.
Sensible fluid loss meningkat 250 ml per derajat peningkatan suhu saat demam. Sedangkan
Insensible fluid loss meningkat 50 – 75 ml per derajat peningkatan suhu demam. Demam juga
meningkatkan kebutuhan metabolisme hampir 5 – 8 % per derajat per hari. Oleh karena itu penting
untuk menambah intake suplemen pasien, baik dengan pemberian suplemen hingga bahkan dengan
Penatalaksanaan kontrol demam yang lain adalah penggunaan asetamenofen atau aspirin. Dapat
cermat, sering ditemukan konsep salah yang berpendapat bahwa semua infeksi harus diobati
dengan antiobiotika. Beberapa petunjuk penggunaan antibiotik dalam terapi infeksi odontogenik
adalah pertama tentukanlah berat atau ringannya infeksi yang telah dijelaskan. Kedua apakah
intervensi bedah dapat dilakukan atau tidak. Pada beberapa kasus, ekstraksi gigi sumber infeksi
akan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan apabila ekstraksi tidak mungkin dilakukan, maka
dapat diberikan pemberian antibiotik guna mengontrol infeksi. Ketiga adalah daya tahan tubuh
pasien, dimana pasien dengan penurunan daya tahan tubuh memerlukan antibiotik yang agresif
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa antibiotik diberikan bila terdapat invasi bakteri
pada jaringan dan daya tahan tubuh pasien tidak mampu mengatasinya. Bila infeksi odontogenik
Prevotela, dan Fusobakteria). Secara empiris, bakteri tersebut peka terhadap golongan obat
dan Tetracyclin.2
Obat pilihan utama untuk infeksi odontogenik adalah golongan Penicillin, sedangkan
pasien yang alergi terhadap Penicillin, dapat diberikan Eritromycin atau Clindamycin. Cefadroxil
diberikan bila diperlukan spektrum antibakteri yang lebih lebar dan pemberiannya hati-hati dengan
pasien yang alergi terhadap Penicillin. Pemberian Tetracyclin dalam pengobatan infeksi
odontogenik dapat dipertimbangkan, walaupun terdapat beberapa galur bakteri yang resisten.2
Jenis antibiotik yang biasa digunakan dalam penatalaksanaan perawatan infeksi tercantum dalam
Pilihan antibiotika tersebut dipakai sebelum ada hasil laboratorium kultur resistensi.
Pemeriksaan kultur harus dilakukan bila infeksi sudah berat dan dapat mengancam jiwa. Pasien
dengan infeksi ringan biasanya akan memberikan respon yang baik dengan pemberian penisilin
per oral. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal pengurangan rasa sakit maupun
pembengkakan selama 7 hari masa terapi antara penisilin dengan jenis antibiotic lain seperti
Untuk penanganan infeksi berat, dimana pasien dirawat di rumah sakit, penisilin bukanlah
antibiotik pilihan karena tingkat kegagalan yang tinggi. Biasanya untuk keadaan tersebut dipakai
klindamisin. Resistensi terhadap penisilin dikarenakan sintesa β-laktamase. Hampir 25% strain
Prevotella dan Phorphyromonas mampu mensintesa enzim ini. Enzim ini ditemukan pula pada
intermedius merupakan bagian dari S. viridans yang mana merupakan grup S. milleri. Grup S.
milleri merupakan jenis bakteri yang sering ditemukan pada abses odotogenik yang mana masih
sensitive terhadap penisilin natural dan semisintetik seperti penisilin V dan amoksisilin. Namun
metronidazol merupakan obat alternative pilihan untuk infeksi odontogenik yang berat. Penisilin
dan metronidazol mampu melewati blood brain barrier. Sedangkan klindamisin tidak dapat
merupakan pilihan terbaik jika infeksi odontogenik diperkirakan dapat meluas ke rongga cranial.
Beberapa jenis sefalosporin dan sefalosforin generasi III seperti ceftadizine mampu menembus
blood brain barrier. Ceftadizine juga sangat efektif melawan steptokokus dan hampir semua bakteri
anaerob oral. Moksifloksasin mampu melawan streptokokus oral dan bakteri anaerob lain. Dapat
diabsorpsi dengan baik lewat pemberian PO maupun IV. Meski Metronidazole hanya efektif
melawan bakteri anaerob, namun dapat berhasil baik apabila pemberian obat disertai dengan terapi
Antibiotik yang efektif mampu menembus bermacam jaringan tubuh. Kadar antibiotik
dalam jaringan tubuh tergantung dari kadar antibiotik dalam serum, yang mana antibiotik harus
mampu memberikan kadar terapi di jaringan lunak, tulang, otak dan kavitas abses. Antibiotik yang
diberikan PO harus mampu bertahan melewati asam lambung, sifat kimia dari makanan dan acid
intestinal track. Setelah antibiotik diserap lambung atau mukosa usus, maka akan dimetabolisme
di hati dan sebagian akan dieksresikan lewat empedu. Sebagian antibiotik yang diekresikan akan
diserap kembali oleh usus menghasilkan enteropatik resirkulasi. Oleh karena alasan tersebut,
maka kadar antibiotik dalam serum yang diberikan PO akan lebih rendah dari kadar antibiotik yang
diberikan IV.3
Namun beberapa jenis antibiotik sama efektifnya baik diberikan secara IV maupun PO,
contohnya Moksifloksasin dan Ciprofloksasin. Oleh karena itu, antibiotik jenis ini tidak pernah
Setelah pasien mendapat perawatan intensif bedah dan antibiotik, lakukan evaluasi hasil
perawatan dengan mengawasi keadaan pasien. Umumnya pasien diperiksa kembali setelah 2 hari
perawatan, bilamana terapi berhasil biasanya penderita mengalami penurunan rasa sakit dan
pembengkakan yang signifikan. Perhatikan daerah yang telah dilakukan insisi dan lakukan
evaluasi apakah drain masih diperlukan atau tidak. Selain itu juga, perhatikan suhu tubuh, adanya
apakai drainase yang dilakukan cukup memadai, apakah gigi sudah dapat dilakukan ekstraksi,
apakah insisi yang sebelumnya tidak dapat dilakukan sudah dapat dilakukan, apakah penderita
tidak mempunyai kelainan yang menurunkan daya tahan tubuh, apakah pilihan dan dosis serta cara
Pasien infeksi ringan yang telah mendapat terapi disertai pencabutan gigi maupun insisi
drainase sebaiknya kontrol dalam waktu 2 hari post operative. Untuk pasien dengan infeksi berat
yang dirawat di rumah sakit diperlukan evaluasi dan penanganan luka. Setelah 2 – 3 hari post
operative biasanya akan terdapat perbaikan tanda klinis, seperti pembengkakan yang mereda,
drainase yang mengering, menurunnya kadar sel darah putih dan menurunnya malaise. Pada saat
ini uji kultur bakteri telah ada hasil, hingga terapi dapat dilanjutkan dengan tipe antibiotik yang
lebih tepat.3
Apabila tidak terdapat perbaikan tanda-tanda klinis, mungkin ada kegagalan perawatan.
Tabel 2.14 (A) Penyebab Kegagalan Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik; (B) Kriteria
untuk Mengganti Terapi Antibiotik pada Infeksi Odontogenik.3
2.9.2 Dasar-Dasar Penanganan Infeksi Odontogenik secara Umum
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas maka perawatan infeksi orofasial yang disebabkan oleh
infeksi odontogenik pertama-tama harus ditujukan pada eliminasi gejala akutnya. Dalam hal ini
penilaian stadium infeksi, pengambilan keputusan yang tepat untuk memberikan antibiotika,
melakukan insisi untuk drainase, maupun menghilangkan penyebab infeksi sangat menentukan
perkembangan infeksi selanjutnya. Pada infeksi odontogenik yang disertai keadaan gawat darurat
seperti adanya septicaemia dengan temperatur tubuh yang tinggi, dehidrasi, syok, asfiksia, perlu
1. Penanganan kegawatdaruratan
memperburuk keadaan pasien. Dalam kondisi tersebut tubuh tidak mendapat nutrisi
yang memadai. Pasien memerlukan rawat inap di Rumah Sakit dan memerlukan
istirahat yang cukup. Tindakan yang perlu dilakukan adalah pemberian infus dekstrose
5% dan larutan NaCl 0.9% yang berfungsi untuk mengatasi dehidrasi, syok, serta
darah lengkap, meliputi pemeriksaan kadar gula darah, kultur spesimen, dan uji
kepekaan.2
2. Penanganan infeksi
mengatasi kegawatdaruratan. Mengingat hasil kultur dan uji kepekaan belum diketahui
maka digunakan terapi empiris yang biasanya dilakukan secara tradisional yaitu
golongan Penicillin, karena obat ini efektif terhadap bakteri aerob dan anaerob yang
sering terdapat pada infeksi orofasial. Namun, dengan meningkatnya organisme
penghasil beta laktamase dan bakteri gram-negatif pada infeksi kepala dan leher, maka
pasien yang alergi terhadap Penicillin dapat diberikan obat alternatif seperti golongan
vitamin. Apabila infeksi dalam 2-3 hari terdapat perbaikan, dapat disimpulkan secara
empiris bahwa antibiotika yang digunakan telah memadai. Bila tidak terdapat
Bila terdapat fluktuasi pada jaringan infeksi maka segera lakukan evaluasi pus
dengan insisi untuk drainase. Dengan demikian, akan memperbaiki keadaan pasien
sumber infeksi primer segera dilakukan ekstraksi, dan bila diperlukan kuretase sampai
pembedahan untuk drainase dan menghilangkan penyebab infeksi. Teknik pembedahan tersebut
bervariasi dimulai dari teknik yang paling sederhana dengan pembukaan kamar pulpa dan
ekstirpasi jaringan pulpa yang nekrosis sampai ke perawatan pembedahan invasif berupa insisi
pada jaringan lunak pada regio submandibula dan regio leher pada infeksi yang berat.2
Tujuan utama dari tindakan pembedahan adalah untuk menghilangkan sumber infeksi yang
biasanya berupa pulpa yang nekrosis atau saku periodontal yang dalam. Tujuan kedua adalah untuk
memberikan drainase untuk kumpulan pus dan jaringan nekrosis. Infeksi odontogenik yang sering
terlihat adalah abses vestibula dengan kemungkinan perawatan yang dapat dilakukan tiga pilihan
antara lain perawatan endodontik, ekstraksi, maupun insisi dan drainase. Bila gigi hendak
diselamatkan maka dilakukan perawatan endodontik dengan cara melakukan pembukaan atap
pulpa dan ekstirpasi jaringan pulpa yang nekrotik. Apabila gigi tidak dapat dipertahankan lagi,
maka harus dilakukan ekstraksi secepat mungkin, untuk menghilangkan sumber infeksi, serta
Teknik insisi dan drainase pada abses vestibular yang telah berfluktuasi adalah seperti gambar
dibawah ini.
Gambar 2.30 (A) Insisi pada Abses Submukosa; (B) Insisi pada Abese Palatal; (C) Insisi pada
Abses Parafaringeal; (D) Insisi pada Abses Sublingual.2
Selain itu, dapat dilakukan insisi pada abses untuk memberikan drainase sebagai
untuk pertahanan tubuh pada lokasi infeksi. Insisi dan drainase meliputi pemasangan drain karet
untuk mencegah tertutupnya kembali mukosa yang telah dilakukan insisi. Harus diingat bahwa
tujuan dari pembedahan adalah untuk memberikan drainase yang adekuat. Bila akan dilakukan
perawatan endodontik, jika pembukaan pada kamar pulpa tidak adekuat memberikan drainase,
Gambar 2.31 (A) Infeksi pada Premolar Rahang Bawah pada Regio Bukal (Abses Vestibular);
(B) Insisi Menggunakan Pisau no. 11; (C) Diperluas dengan Menggunakan Klam Arteri
Sehingga Pus Didalamnya dapat Keluar; (D) Masukkan Drain Karet ke dalam Lubang Abses
dengan Klem Arteri; (E) Drain Dipertahankan pada Posisinya dengan Jahitan.2
1. Irigasi dengan normal saline pada daerah pembengkakan untuk menghilangkan debris
sebaliknya;
2. Dilakukan insisi yang cukup besar untuk memasukkan drain sehingga pembukaannya
akan bertahan cukup lama, drain dimasukkan dan dipertahankan dengan jahitan;
3. Dilakukan penggantian drain setiap hari sampai tidak ada lagi pengeluaran pus;
5. Perlu ditekankan bahwa pasien harus makan dan minum yang cukup;
6. Bila menganjurkan berkumur maka berkumurlah dengan larutan saline hangat dengan
konsentrasi satu sendok teh garam yang dilarutkan dalam 250 ml air (1 gelas) yang
9. Faktor etiologi dihilangkan dengan baik dengan cara kuretase, ekstirpasi pulpa,
10. Apabila kondisi tidak membaik, maka perlu dilakukan peningkatan dosis antibiotik
dan parafaringeal.2
Gambar 2.32 (A) Lokasi Insisi Untuk Drainase Abses Subkutan; (B) Lokasi Insisi pada Abses
Regio Submandibula; (C) Lokasi Insisi pada Abses Regio Submandibula yang Menyebar ke
Parafaringeal; (D) Lokasi Insisi pada Abses Submental. Tanda Panah Menunjukkan Arah dari
Separasi Arteri Klem.2
Berikut ini adalah cara penangan infeksi odontogenik yang spesifik berdasarkan jenis infeksinya:3
Penanganan diutamakan dalam menghilangkan rasa nyeri dan selanjutnya apabila gigi
masih dapat dipertahankan lebih baik dipertahankan. Drainase diutamakan dilakukan lewat saluran
akar. Gigi di open bor menggunakan highspeed handpiece dengan tekanan seringan mungkin.
Materi nekrotik harus dihilangkan dari kavum pulpa dan saluran akar. Jika drainase lewat saluran
akar tidak dimungkinkan, dapat dilakukan penanganan dengan cara trepanasi. Trepanasi dilakukan
apabila posisi ujung akar terlihat dari rontgen. Prosedurnyaadalah dengan menginsisi mukosa
bukal yang dekat dengan ujung akar, lalu mukosa diangkat dan setelah tulang telihat, dengan
menggunakan bur bulat dalam putaran rendah, tulang dilubangi. Selalu disertai irigasi dengan
larutan saline. Setelah drainase tercapai, mukosa dapat ditutup dan dijahit kembali tanpa memakai
drain.
Gambar 2.33 Abses Intraalveolar. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan pada Rongga Alveolar
Dibawah Akar Gigi; (B) Insisi dan Drainase Abses Intraalveolar dari Pembukaan Kavum Pulpa
dan Saluran Akar (Tanda Panah Menunjukkan Eksudat Purulen).3
Gambar 2.34 Trepanasi Regio Bukal Tulang Alveolar. (A) Ilustrasi Gambar; (B) Penampakan
Klinis.3
2.9.4.2 Subperiosteal Abscess
Penatalaksanaan abses jenis ini adalah dengan insisi drainase intraoral. Insisi dilakukan
pada mukosa dengan memperhatikan anatomi pembuluh darah besar dan saraf pada daerah
tersebut. Scalpel blade harus sampai menyentuh tulang untuk drainase yang lebih baik.
Gambar 2.35 Abses Subperiosteal pada Regio Bukal. (A) Ilustrasi yang Memperlihatkan
Akumulasi Pus Antara Tulang Dan Periosteum; (B) Penampakan Klinis Abses
Subperiosteal.3
Gambar 2.36 Insisi Abses Subperiosteal. (A) Ilustrasi Penggunaan Scalpel no. 11 untuk
Melakukan Insisi dan Drainase.3
Insisi dibuat superfisial, lalu masukkan hemostat ke dalam lubang insisi untuk
memperbesar jalur drainase. Tempatkan drain pada lubang insisi dan hingga lubang drainase dapat
bertahan hingga 2 hari. Insisi drainase untuk abses palatal harus lebih hati-hati untuk mencegah
terjadinya cedera arteri, vena dan saraf palatina. Oleh karena itu insisi tidak dilakukan tepat pada
daerah tersebut, tetapi lebih ke arah gingiva atau ke arah midline dengan arah insisi paralel dengan
Gambar 2.37 Abses Submukosa pada Regio Bukal Maksila. (A) Ilustrasi yang Memperlihatkan
Akumulasi Pus pada Mukosa Bukal; (B) Penampakan Klinis Abses Submukosa
Gambar 2.38 Insisi dan Drainase Abses Submukosa. Insisi Dilakukan pada Jaringan yang
Gambar 2.41 Abses Submukosa pada Regio Palatal Maksila. (A) Ilustrasi yang Memperlihatkan
Akumulasi Pus pada Regio Palatal; (B) Penampakan Klinis Abses Submukosa pada
Gambar 2.43 Penggunaan Hemostat (Arteri Klam) untuk Memperluas Rongga Abses, Sehingga
Pus Didalamnya dapat Keluar; (B) Drain Dipertahankan dengan Jahitan. (3)
Setelah anestesi dilakukan, insis dilakukan hanya pada lapisaan kulit pada daerah paling rendah
dari pembengkakan. Perhatikan anatomi pembuluh darah dan saraf pada daerah yang akan diinsisi. Setelah
insisi dibuat, masukkan hemostat pada daerah akumulasi pus, dan ketika hemostat ditarik keluar,
pertahankan paruh hemostat pada posisi terbuka. Pijat dengan lembut daerah akumulasi pus hingga pus
habis. Pasang drain, dan pertahankan lubang insisi hingga 2 – 3 hari hingga pus kering.
Gambar 2.44 Abses Subkutaneus. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa Pus
Gambar 2.45 Penatalaksanaan Klinis Abses Subkutaneus. (A) Anastesi Infiltrasi pada Jaringan
yang Tidak Mengalami Pembengkakan; (B) Insisi pada Daerah yang Tidak
Mengganggu Estetik dan Sejajar Garis Wajah, pada Posisi yang Drainasenya Dibantu
Gravitasi; (C) Diperluas dengan Menggunakan Arteri Klam, dan Lakukan Penekanan
Ringan dari Regio Atas Abses untuk Membantu Mengeluarkan Pus; (D) Pemasangan
Insisi drainase dilakukan pada daerah mukobukofold searah paralel dengan prosesus alveolaris.
Lalu masukkan hemostat ke dalam lubang insisi hingga mencapai tulang pada daerah apeks gigi fokus
infeksi. Pasang drain dan pertahankan lubang insisi hingga pembengkakan mereda.
Gambar 2.46 Abscess of Base of Upper Lip. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya
Massa Pus pada Jaringan Dibawah Bibir Atas; (B) Penampakan Klinis
Pembengkakan Setengah Regio Bibir Atas; (C) Rontgen Periapikal dari Gigi yang
Mengalami Abses; (D) Penampakan Klinis Mukosa Bibir Atas yang Mengalami
Insisi drainase dilakukan intraoral di daerah mukobukofold sejajar dengan tulang alveolar di daerah
kaninus. Masukkan hemostat hingga daerah terdalam dari akumulasi pus dan menyentuh tulang. Palpasi
derah infraorbital dengan tekanan ringan. Pasang drain untuk mempertahankan lubang insisi.
Gambar 2.48 Canine Fossa Abscess. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya
Massa Pus pada Fossa Canina; (B) Penampakan Klinis Pembengkakan Ekstra Oral
Insisi drainase untuk kasus abses spasia bukal dilakukan secara intraoral, dengan alasan:(3)
Massa Pus ke Regio Lateral dari Otot Buccinator; (B) Penampakan Klinis
Insisi intraoral dibuat pada daerah posterior mulut dengan arah anteroposterior dan dilakukan
dengan hati-hati untuk menghindari cedera duktus parotikus. Masukan hemostat lalu eksplorasi daerah
akumulasi pus. Insisi ekstraoral dilakukan ketika akses intraoral tidak dapat menghasilkan drainase yang
baik atau ketika pus berada di dalam spasia. Insisi dibuat kurang lebih 2 cm di bawah tepi mandibula
Insisi drainase dibuat pada intraoral, pada kedalaman mukobukofold yaitu lateral/bukal dari M3
RA dan lebih ke medial dari prosesus koronoideus. Hemostat dimasukan ke daerah akumulasi pus ke arah
superior. Insisi drainase dapat pula dilakukan ekstraoral pada kasus tertentu. Arah insisi adalah ke arah
superior dan memanjang hingga kurang lebih 3 cm. Titik awal insisi adalah pada daerah sudut yang
dibentuk dari prosesus frontalis dan prosesus temporalis dari tulang zygomaticus. Masukkan hemostat
Pembengkakan Ekstra Oral Regio Zygomatic Arch dan Edema Regio Dibawah Mata
Kanan; (C) Insisi dilakukan secara Intra Oral pada Regio Vestibular Fold.(3)
Insisi drainase dilakukan dengan arah horizontal pada daerah tepi batas rambut kurang lebih 3 cm
diatas lengkung zygomaticus. Lalu dilanjutkan hingga dua lapisan fasia temporal. Pakai hemostat bengkok
Insisi drainase dapat dilakukan pada kedalaman mukobukofold jika fluktuasi abses ke arah
intraoral. Jika pus menyebar ke arah ekstraoral, insisi dilakukan pada kulit sejajar dengan tepi dagu 1 – 1,5
Gambar 2.52 Abses Mental. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa Pus pada
Terkumpulnya Massa Pus pada Regio Submental; (B) Abses Submental yang telah
Mature Siap untuk Dilakukan Insisi dan Drainase; (C) Infitrasi pada Jaringan
Terdekat yang Tidak Mengalami Abses; (D) Insisi yang Dilakukan dalam Arah
Insisi drainase dilakukan intraoral, daerah lateral dan sejajar ductus Wharton dan saraf lingual.
Untuk menentukan daerah akumulasi pus, gunakan hemostat untuk eksplorasi ke arah inferior dalam arah
anteroposterior dibawah kelenjar ludah. Pasang drain bila drainase telah tuntas.(3)
Gambar 2.54 Abses Sublingual. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Massa Pus pada Regio
Berlawanan.(3)
Gambar 2.55 Penatalaksanaan Abses Sublingual.(3)
Insisi drainase dilakukan pada kulit kurang lebih 1 cm di bawah tepi inferior mandibula dengan
arah sejajar dengan tepi mandibula. Perhatikan anatomi pembuluh darah dan persarafan wajah yang terdapat
di daerah tersebut. Masukkan hemostat ke lubang insisi lalu eksplorasi daerah akumulasi pus. Diseksi
tumpul juga diarahkan ke daerah medial permukaan tulang mandibular karena pus bisa terdapat pada daerah
Pus pada Regio Dibawah Otot Mylohyoid; (B) Penampakan Klinis yang
Penatalaksanaannya biasanya melalui insisi drainase intraoral, dimana insisi dimulai dari prosesus
koronoideus dan berjalan sepanjang batas anterior ramus menuju mukobukofold hingga kirakira sampai
daerah M2. Insisi bisa juga dilakukan ekstraoral pada kulit, di bawah sudut mandibula. Lalu hemostat
dimasukan sampai daerah akumulasi pus hingga menyentuh tulang. Karena akses jauh dari daerah
akumulasi pus, maka drainase yang baik sulit tercapai sehingga kasus ini sering kambuh kembali.(3)
Gambar 2.58 Submasseteric Abscess. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa
Insisi drainase dilakukan intraoral pada daerah sepanjang mesial emporal crest. Panjang insisi 1,5
cm dengan kedalaman 3 – 4 mm. Masukkan hemostat bengkok ke arah posterior dan lateral hingga
Insisi drainage dilakukan ekstra oral (seperti pada insisi kasus submandibular abses) sepanjang 2
cm, dari inferior ke posterior daerah posterior dari body mandibula. Masukkan hemostat ke daerah
akumulasi pus, eksplorasi hingga permukaan medial mandibula ke daerah M3 dan jika memungkinkan
hingga belakang daerah tersebut. Drain dipasang hingga lubang insisi bertahan 2 – 3 hari. Drainase dapat
dilakukan intraoral tetapi lebih sulit dan beresiko karena tingginya resiko aspirasi terutama bila insisi
Terapi dilakukan dengan drainase melalui daerah lateral spasia retrofaringeal, dimana biasanya
harus dilakukan sangat hati-hati agar tidak mencederai cabang nervus fasialis. Drainase pus dicapai dengan
diseksi tumpul menggunakan hemostat yang dapat mengekspolarasi daerah akumulasi pus.
Gambar 2.61 Parotid Space Abscess. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa
Selain terapi bedah, penatalaksanaan selulitis harus disertai terapi obat. Penisilin atau ampisilin
dosis tinggi diberikan parenteral. Drainase dapat dilakukan lebih dari satu tempat untuk evakuasi eksudat.
Gambar 2.63 Cellulitis yang Terjadi dengan Etiologi Infeksi pada Gigi Mandibula Posterior.
dengan Akumulasi Pus pada Jaringan Dibawah Gigi yang Mengalami Infeksi;
(B) Penampakan Klinis Pembengkakan Ekstra Oral Regio Kiri, Sehingga Wajah
Menjadi Asimetri.(3)
Gambar 2.64 Penampakan Klinis Setelah 15 hari Dilakukan Post Op. Penatalaksanaan Insisi dan
Drainase.(3)
Penatalaksanaannya melalui terapi bedah dan terapi obat dengan menggunakan dua macam
antibiotik. Terapi bedah harus dapat mengevakuasi semua pus. Insisi dilakukan bilateral, ekstraoral, sejajar
dan inferior dari batas mandibula di daerah molar dan premolar. Di intra oral insisi dilakukan sejajar dengan
duktus kelenjar submandibula. Eksplorasi dilakukan untuk menghubungkan spasia-spasia yang terinfeksi,
dengan menembus septum yang memisahkannya hingga drainase dapat tercapai dengan maksimal. Pasang
drain hingga lubang insisi bertahan hingga 3 hari. Apabila terdapat sumbatan jalan nafas, maka harus
Gambar 2.65 Cellulitis dengan Penampakan Klinis Ludwig’s Angina. (A) Ilustrasi yang
Pus pada Jaringan dibawah Gigi yang Mengalami Infeksi; (B) Penampakan Klinis
Gambar 2.66 (A) Penampakan Klinis Intra Oral yang Memperlihatkan Pembengkakan Regio
Dasar Mulut dan Elevasi Lidah, dan Supurasi Rongga Sublingual (Rentan Terjadi
Asfiksia); (B) Insisi dan Drainase; (C) Pemasangan Drain pada Regio Insisi;
2.7 Antibiotik
Dampak Penisilin. Penisilin telah menimbulkan revolusi dalam bidang perawatan luka pada PD
II. Penelitian selanjutnya telah mengubah dan memodifikasi penisilin yang pertama kali ditemukan dan
menambahkan bermacam-macam antibiotik lain, baik yang mempunyai spektrum yang serupa atau yang
efektif terhadap organisme di luar spektrum penisilin. Perkembangan tersebut lebih memacu lagi terjadinya
revolusi perawatan infeksi, melengkapinya dengan profilaksis terhadap orang-orang tertentu yang beresiko
tinggi, dan menjadikan terapi penisilin menjadi hal yang rutin pada pembedahan, yang mana pada masa
meningkatnya jumlah pasien yang alergi dan resistensi beberapa organisme terhadap obat. Dua hal tersebut
Selain itu, sebaiknya didapatkan riwayat yang lengkap sebelumnya, karena respon negatif yang
terjadi pada pengobatan sebelumnya bukan merupakan jaminan bahwa pengobatan selanjutnya aman, yaitu
tidak alergi silang pada kelompok obat tertentu yang akan diberikan. Pemberikan antibiotik terutama secara
oral bisa mereduksi flora gastrointestinal yang terlibat dalam sintesis vitamin K. Apabila seseorang
mempunyai kelainan pembekuan darah yang disebabkan karena penyakit hepar, atau terapi warfarin
(Coumadin), maka terapi antibiotik dapat menyebabkan tertundanya proses pembekuan darah atau terjadi
perdarahan spontan.(1)
Penggunaan Antibiotik. Apabila memungkinkan, sebaiknya pemilihan obat didasarkan pada hasil
smear (pewarnaan gram), kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik yang dipilih diresepkan dengan dosis yang
adekuat dan jangka waktu yang memadai. Dosis subklinis tidak efektif dan bisa menyebabkan terjadinya
resistensi pada bakteri patogen tertentu. Kombinasi antibiotik tertentu misalnya satu atau dua macam obat
biasanya digunakan di Rumah Sakit untuk infeksi-infeksi yang serius. Terapi antibiotik kombinasi yang
biasanya dilakukan adalah suatu antibiotik spektrum luas dengan obat yang termasuk dalam kelompok
aminoglikosid. Untuk merawat infeksi dengan baik biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan
Terapi Antibiotika. Antibiotik sebagai salah satu bentuk terapi pada infeksi orofasial mempunyai
manfaat yang sangat besar disamping adanya kerugian dalam penggunaan nya. Antibiotik sebagai salah
satu terapi infeksi dipandang dari dua sisi, yaitu apabila penggunaannya tepat dalam pemakaiannya maka
antibiotika akan memberikan manfaat yang sangat besar, tetapi jika salah akan memberikan sedikit manfaat
dibandingkan dengan resiko yang diterima, dan biaya yang dikeluarkan. Diperlukan pengetahuan yang
cukup mengenai pemberian antibiotik dalam menangani infeksi orofasial. Beberapa faktor yang perlu
1. Apabila infeksi tersebut dalam perkembangannya cepat, serta membentuk suatu pembengkakan atau
2. Terapi antibiotik diperlukan untuk mengontrol infeksi, sehingga gigi penyebab dapat segera
diekstraksi.(2)
3. Terapi antibiotik diperlukan bila pasien mempunyai defisiensi imun karena menderita beberapa
penyakit metabolik, atau sedang menjalani kemoterapi kanker. Dalam kasus ini, infeksi yang ringan
empiris. Sekitar lebih dari 90% bakteri penyebab infeksi orofasial adalah golongan Streptococcus aerob
dan anaerob, Peptococcus, Fusobakteria, organisme Bakteriodes, dan beberapa jenis bakteri lainnya.
antibiotik yang dapat dipilih untuk mengatasi infeksi orofasial adalah dari golongan Penicillin, Eritromycin,
Clindamycin, Cefadroxil, Metronidazole, dan Tetracyclin. Antibiotik tersebut efektif untuk bakteri
golongan Streptococcus (kecuali Metronidazole) dan bakteri anaerob yang terdapat didalam rongga mulut.
Sebagai obat pilihan utama dalam infeksi orofasial adalah golongan Penicillin. Bagi pasien yang alergi
terhadap Penicillin dapat diberikan alternatif obat pilihan yaitu Eritromycin, Clindamycin, Sefalosporin,
dan Tetracyclin. Sebagai catatan, pasien yang memiliki alergi terhadap Penicillin biasanya juga akan
memiliki alergi terhadap Sefalosporin, sedangkan golongan Tetracyclin sudah jarang dipakai karena
sebagian besar bakteri telah resisten dengan pemakaian obat ini. Selain itu, golongan Metronidazole dipakai
tidak efektif untuk infeksi yang sudah biasa terjadi. Walaupun demikian, kadang-kadang dalam kasus yang
serius diperlukan pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitivitas. Indikasi untuk pemeriksaan kultur dan tes
sensitivitas antibiotika adalah pada infeksi yang perkembangannya cepat, infeksi setelah dilakukannya
pembedahan, tidak memberikan respons terhadap perawatan yang dilakukan, rekurensi penyakit, pasien
yang mengalami defisiensi imun, osteomielitis, dan bila dicurigai suatu aktinomikosis.(2)
Tabel 2.19 (A) Indikasi untuk Dilakukan Pemeriksaan Kultur dan Tes Sensitivitas. (2); (B) Informasi
Jaringan Lunak.(3)
berspektrum sempit. Bila digunakan golongan antibiotik berspektrum sempit maka hanya dapat membunuh
mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi saja. Sebagai contoh, pada pemakaian golongan obat
Penicillin dapat membunuh bakteri rongga mulut Streptococcus anaerob, dan memiliki sedikit efek pada
Stafilococcus dan hampir tidak berpengaruh pada bakteri gastrointestinal. Dengan demikian, penggunaan
obat golongan Penicillin sedikit atau tidak berpengaruh pada traktus gastrointestinal dan tidak menimbulkan
banyak bakteri yang resisten. Sebaliknya, golongan obat seperti Tetracyclin yang juga merupakan obat
antibiotika berspektrum luas dapat membunuh bukan saja bakteri rongga mulut Streptococcus anaerob,
tetapi dapat pula membunuh variasi bakteri batang gram-negatif. Jadi golongan antibiotik ini, selain
berpengaruh terhadap bakteri pada traktus gastrointestinal, dapat pula menimbulkan perubahan flora normal
besar antibiotik mempunya variasi toksisitas, dan efek samping yang ukurannya tergantung dari
penggunaannya. Sangat penting bagi pra klinisi untuk mengetahui kemungkinan adanya toksisitas dan efek
samping dari pemakaian antibiotik yang digunakan. Sebagian besar alergi disebabkan oleh golongan
Penicillin. Hampir 2-3% dari total populasi penduduk memiliki alergi terhadap Penicillin, tetapi hampir
tidak ada efek samping atau toksisitas pada pemberian dosis normal. Hal ini juga sama dengan golongan
obat Eritromycin dan Clindamycin yang mempunyai insidensi yang rendah terhadap terjadinya toksisitas
Klasifikasi. Klasifikasi obat-obatan antibakterial yang paling populer adalah didasarkan pada
persamaan biokimiawinya.(1)
Tabel 2.22 Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik dengan Terapi Antibiotik (bid: 2 kali sehari;
i.m: intra muscular; i.v: intravena; qid: 4 kali sehari; qxh:setiap x jam;
Farmakologi. Penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan. Baik yang alami maupun
semisintesis mempunyai aktivitas bakteriosidal spektrum luas, dan bekerja dengan jalan mengganggu
pembentukan dan keutuhan dinding sel bakteri. Sesudah pemberian secara oral maupun perenteral, bisa
ditemukan didalam semua jaringan tubuh termasuk pula didalam cairan serebrospinal. Penisilin
diekskresikan melalui urin. Efek samping yang fatal adalah anafilaksis (1 berbanding 10.000 pasien), dan
beberapa respons alergi, misalnya dermatitis, urtikaria, demam, artralgia, edema pada laring, prostrasi.
Penisilin dapat digunakan secara perenteral misalnya dengan penisilin G, dan bisa pula secara peroral
misalnya potasium penisilin V yang relatif stabil dalam asam dan diabsorbsi dengan baik. Terdapat
beberapa jenis penisilin yang lain terutama digunakan secara intravena atau intramuskular.(1)
Penggunaan. Penisilin V tersedia dalam bentuk tablet 125 – 250 mg, dan 500 mg. dosis untuk
dewasa adalah 500 mg tiap 6 jam sesudah dosis awal 1 gram, dengan kisaran sampai dengan 2 gram empat
kali sehari. Penisilin V juga tersedia dalam bentuk suspensi untuk anak-anak dengan dosis 125 atau 250
mg/ 5 ml. Dosis biasa untuk anak-anak dibawah usia 12 tahun adalah 15-62,5 mg/kg berat badan, dibagi
menjadi 3-6 kali sehari. Bentuk cair biasanya digunakan pada pasien yang sedang menjalani fiksasi
maksilomandibular maupun pada seseorang yang karena suatu hal tidak bisa menelan tablet (disfagia).
Penisilin merupakan obat utama untuk mengobati sebagian besar penyakit infeksi odontogenik dan untuk
profilaksis pada pasien resiko tinggi terhadap infeksi, apabila tidak terdapat riwayat alergi.(1)
Penisilin yang dimodifikasi. Tiga dari pengembangan penisilin yang terbaru dapat diberikan
peroral dan mempunyai spektrum agak lebih luas terutama terhadap organisme gram negatif Proteus
mirabilis dan Hemophilus influenza. Obat tersebut adalah ampicillin, carbenicillin, amoxicillin. Penisilin
yang lain lagi efektif terhadap bakteri yang memproduksi penisilinase, misalnya nafcillin, oxacillin,
cloxacillin, dan dicloxacillin. Penisilin yang efektif terhadap Staphylococcus yang memproduksi
penisilinase hanya digunakan bila kultur terbukti terdapat organisme tersebut dalam jumlah bermakna. (1)
2.7.2 Eritromysin
Farmakologi. Eritromisin adalah antibiotik yang penting karena dapat digunakan untuk orang yang
memiliki alergi terhadap penisilin. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif yang peka terhadapnya.
Obat ini tidak efektif untuk bakteri gram negatif. Eritromisin menghambat sintesis protein pada bakteri,
bisa bersifat bakteriostatik terhadap bakteri tertentu dan bakteriosid terhadap bakteri yang lain. Eritromysin
digolongkan sebagai obat bakteriostatik yang utama karena pengaruh bakteriosidnya lambat dan hanya
terjadi pada konsentrasi tinggi. Eritromisin stearat walaupun tidak lebih baik absorbsinya dibandingkan
estolate (estolate berhubungan erat dengan terjadinya hepatitis kolestatik, yang manifestasinya berupa
mual, muntah, kejang perut, dan jaundice). Tetapi eritromisin stearat jangan diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi hepar, karena terkumpul didalam hepar dan dieksrkresikan dalam empedu. Jika diminum
sebelum makan, eritromisin akan diabsorbsi lebih cepat. Eritromisin mencapai dosis puncak 1-4 jam
sesudah diminum. Eritromisin yang terkumpul didalam hepar akan dieksresikan melalui feses dan
empedu.(1)
Penggunaan. Dosis dewasa yang biasa adalah 250-500 mg setiap 6 jam. Eritromisin etylsuccinate
(200 mg/5 ml) tersedia dalam bentuk cairan untuk anak-anak (30-100 mg/kg berat badan/hari, dan diberikan
2.7.3 Cephalosporin
Farmakologi. Cephalosphorin secara struktural dan farmakologi mirip dengan penisilin yang bisa
menjelaskan reaksi alergi silang antara kedua kelompok tersebut (kemungkinan 5-10%, tetapi bisa lebih
rendah bila diberikan secara oral). Cephalosporin, cephaloglycin, cefadroxil, cephradine bisa digunakan
secara oral dan bisa diabsorbsi dengan baik dalam saluran gastrointestinal. Setelah diabsorbsi,
cephalosphorin disebarkan secara merata pada seluruh cairan tubuh dan sebagian besar jaringan.
Cephalosphorin menyebar tidak merata pada cairan serebrospinal. Obat ini diekskresikan lewat urin dan
telah dilaporkan terjadinya keracunan ginjal karena pemakaian obat ini. Pada waktu perawatan dan
setelahnya dapat terjadi kolitis pseudomembranosis. Cephalosphorin bersifat bakterisid terhadap sebagian
besar jenis Streptococcus dan Staphylococcus tetapi tidak efektif terhadap sebagian coccus gram negatif
dan batang yang sering terlibat dalam infeksi orofasial. Cephalosphorin jangan digunakan sebagai antibiotik
utama tetapi sebaiknya dicadangkan untuk kasus-kasus dimana tes sensitivitas menunjukkan bahwa obat
beberapa dosis (setiap 6 jam atau dua kali sehari) untuk dewasa dan 25-50 mg/kg berat badan/hari, dibagi
menjadi empat dosis untuk anak-anak (125-250 mg/ml). Bentuk kapsul biasanya diminum dengan segelas
2.7.4 Lincosamide
Farmakologi. Clindamycin yang merupakan suatu derivat lincomycin dapat diabsorbsi dengan
cepat apabila diberikan secara oral, dan mencapai konsentrasi maksimum dalam darah selama ½ - 1 jam.
Clindamycin dieksresikan melalui urin dan tidak terambil dengan hemodialisis. Secara umum, penggunaan
clindamycin sangat dibatasi pada individu dengan kelainan ginjal. Clindamycin bersifat bakterisid, yaitu
dengan cara menghambat sintesis protein. Walaupun clindamycin efektif terhadap sebagian bakteri gram
positif, indikasinya terutama untuk perawatan infeksi yang disebabkan oleh coccus gram positif anaerob
dan batang gram negatif. Clindamycin kadang-kadang dihubungkan dengan terjadinya colitis
pseudomembranosis. Oleh karena itu, apabila terjadi diare pemberian obat harus dihentikan.(1)
Penggunaan. Dosis oral untuk infeksi yang serius pada orang dewasa adalah 150–300 mg tiap 6
jam, sedangkan untuk infeksi yang lebih parah dosisnya mencapai 300-450 mg tiap 6 jam. Clindamycin
tersedia dalam bentuk kapsul atau suspensi pediatri 75 mg/ 5 ml. Dosis anak-anak berkisar antara 8-16
mg/kg berat badan perhari untuk infeksi yang serius, dan 16-20 mg/ kg berat badan perhari untuk infeksi
yang lebih serius. Clindamycin dicadangkan untuk infeksi yang serius disebabkan bakteri anaerob yang
rentan terhadap obat ini, dan pada kasus dimana respon terhadap penisilin kurang baik. Indikasi lainnya
adalah pada pasien yang mengalami infeksi yang parah dan alergi terhadap penisilin.(1)
2.7.5 Metronidazole
Farmakologi. Metronidazole adalah anti-protozoa mulut (Trichomonas, Entamoeba) dan anti-
bakteri. Cara kerja bakteriosidnya dengan jalan mengganggu sintesis DNA. Obat ini dapat diabsorbsi
dengan baik bila diberikan secara oral, dan terserap dengan baik pada kebanyakan cairan dan jaringan tubuh
termasuk saliva dan cairan serebrospinal. Obat ini dieksresikan lewat ginjal. Efektif untuk bakteri anaerob.
Apabila digunakan pada kasus infeksi campuran (aerob dan anaerob), maka perlu ditambahkan antibiotik
yang sesuai untuk infeksi aerob. Kandidiasis yang sudah ada atau yang tadinya tidak diketahui mungkin
memperlihatkan gejala yang lebih menonjol selama masa terapi dengan metronidazole. Pada kondisi
penyakit hepar yang parah, dosisnya dikurangi. Efek samping yang paling sering adalah mual, disertai
Penggunaan. Metronidazole (flagil) digunakan untuk infeksi-infeksi anaerob yangf seriur. Dosis
2.7.6 Tetracyclin
Farmakologi. Tetracyclin merupakan obat yang bersifat bakteriostatik yang bekerja dengan jalan
menghambat sintesis protein. Obat ini diabsorbsi dengan ceoat apabila diberikan secara oral dan diekskresi
lewat urin dan feses. Doxyclin hyclate (Vibramycin) karena bisa terasorbsi sempurna maka mempunyai
efek samping yang kecil terhadap saluran pencernaan bagian bawah yang biasanya menyebabkan diare
dibandingkan jenis tetracylin lainnya. Tetracyclin tidak dianjurkan sebagai obat utama untuk infeksi
orofasial yang serius. Obat ini sebaiknya digunakan apabila tes sensitivitas memperlihatkan perlunya
pemberian obat ini, maupun obat lain tidak ada, atau pasien alergi terhadap obat utama. Absorbsi tetracyclin
berkurang dengan adanya susu, antasid, dan laksatif yang mengandung magnesium. Untuk membantu
absorbsinya sebaiknya obat ini diminum 1-2 jam sebelum atau setelah makan.(1)
Penggunaan. Orang dewasa memerlukan dosis awal doxycline hyclate (vibramycin) 100 mg dua
kali sehari. Anak-anak dibawah 100 lb diberi 1-2 mg/lb/hari. Vibramycin tersedia dalam bentuk kapsul 40
mg dan suspensi yang berisi 25 atau 50 mg/5 ml. tetracyclin yang digunakan selama odontogenesis, yaitu
pertengahan kedua masa kehamilan sampai anak berumur 8 tahun, bisa menyebabkan perubahan warna
2.7.7 Aminoglycoside
Farmakologi. Obat ini sulit untuk diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal, maka harus
diberikan secara perenteral, sehingga sangat praktis bila diberikan di Rumah Sakit. Obat biasanya
dikeluarkan lewat urin. Alergenitas silang bisa terjadi antara obat yang termasuk didalam aminoglycoside.
Beberapa institusi melakukan tes pendengaran sebelum memberikan obat ini. Kontrol adanya
nefrotoksisitas dilakukan dengan mengontrol konsentrasi obat didalam serum secara berkala, dan fungsi
ginjal dengan mengukur kadar kreatinin, kliren kreatinin, BUN (nitrogen urea dalam darah). Penggunaan
obat ini hanya terbatas pada kasus-kasus infeksi yang serius dan bila tes sensitivitas memperlihatkan
efektivitas yang tinggi. Gentamycin dan tobramycin sufate efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa,
spesies Proteuis, E. Coli, Klebsiella enterobacter-serratia, dan organisme gram negatif yang lain yang sulit
dikontrol dan sering kelihatan pada tahap akhir infeksi yang diobati dengan antibiotik spektrum luas.
Kanamycin, neomycin sulfate digunakan secara topikal atau sebagai larutan irigasi.(1)
Beberapa obat yang relatif toksis, sulit untuk diabsorbsi apabila diberikan secara oral akan sangat
efektif dan aman apabila diberikan secara topikal dengan konsentrasi yang cukup tinggi, misalnya
bacitracyn. Obat ini tersedia dalam bentuk salep untuk aplikasi topikal. Obat-obatan topikal biasanya sering
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan yang lain supaya spektrumnya lebih luas misalnya bacitracyn,
Kandidiasis. Walaupun mayoritas infeksi orofasial mempunyai etiologi bakterial, tetapi dapat pula
melibatkan ragi, jamur, dan virus. Kandidiasis dahulu pernah dianggap sebagai salah satu penyakit yang
hampir selalu mengenai anak-anak (thrush). Perawatan standar yang dapat dilakukan terhadap terjadinya
penyakit tersebut adalah gentian violet aqueous 2% topikal. Saat ini, sudah diketahui bahwa pasien dengan
penyakit-penyakit diabetes, gangguan mekanisme kekebalan tubuh yang berkaitan dengan malignansi,
kemoterapi, terapi antibiotik dan steroid, serta penderita AIDS, rentan terhadap Candida. Walaupun
candidiasis sering terjadi pada rongga mulut, tetapi dapat pula menyebabkan esofagitis, vaginitis, maupun
Imidazole. Imidazole yang merupakan anti jamur berspektrum luas digunakan untuk merawat
infeksi mikotik yang disebabkan oleh Candida albicans, Coccidiodes immitis, dan Histoplasma
capsulatum. Miconazole nitrat (Monistat) tidak diabsorbsi secara oral. Obat tersebut tersedia didalam
bentuk krem 2% dan larutan intravenous 1%. Krem diulaskan dua kali sehari sedangkan intravenous
diberikan setiap 8 jam dengan dosis 200-1200 mg. efek samping miconazole meliputi phlebitis, pruritus,
dan mual-mual. Clotrimazole (Mycelex) tersedia dalam bentuk troches 10 mg dan diberikan lima kali
perhari, bersifat menghambat sebagian besar Candida yang terdapat pada saliva. Ketoconazole (Nizoral)
efektif apabila diberikan secara peroral. Hal ini merupakan obat pilihan untuk merawat kandidiasis
mukokutan kronis yang sering mengalami kekambuhan dan memerlukan pengobatan yang kontinu. Dosis
yang dianjurkan adalah 200 mg (1 tablet) per hari, tetapi bisa ditingkatkan sampai 40 mg/ mg perhari untuk
infeksi yang serius maupun apabila respon klinis memperlihatkan hasil yang kurang memadai.
Ketoconazole sering dihubungkan dengan terjadinya toksisitas pada hepar dan keadaan yang berbahaya
lainnya. Efek samping yang lainnya adalah mual, muntah, nyeri lambung, dan pruritus.(1)
Nystatin. Nystatin (Mycostatin), digunakan untuk merawat kandidiasis, bersifat fungisid dan
fungistatik tetapi tidak memiliki sifat anti bakterial. Bekerja dengan jalan mengikat sterol pada membran
sel jamur. Nystatin yang tidak terasorbsi dieksresikan lewat feses. Untuk kandidiasis, nystatin bisa
diberikan secara topikal dan sistemik. Nystatin tersedia dalam bentuk salep, krem, serbuk untuk aplikasi
topikal, suspensi untuk pemakaian sistemik/topikal (kumur dan telan) atau dalam bentuk tablet. Aplikasi
salep secara topikal dilakukan dua kali sehari. Untuk perawatan kandidiasis oral, suspensi dipertahankan
selama mungkin didalam mulut sebelum ditelan (anak-anak dan dewasa 400.000-600.000 unit empat kali
sehari).(1)
Amphotericin B (Fungizone). Apabila diberikan secara intravena, obat ini dapat digunakan untuk pasien
yang menderita infeksi fungi yang progresif dan fatal (Histoplasmosis, Blastomycosis,
Coccidioidiomycosis, dan Cryptococcosis), biasanya dilakukan di Rumah Sakit. Efek samping dari obat ini
potensial berbahaya, misalnya phlebitis lokal, demam, sakit kepala, mual, muntah, dan toksisitas terhadap
ginjal. Selain itu, apabila digunakan dalam bentuk krem, lotion, salep secara topikal maka akan mempunyai
toksisitas sistemik yang relatif sangat rendah. Amphotericin B digunakan secara topikal 2-4 kali sehari.(1)
Obat-obatan antiviral. Kekurangan dalam obat-obatan anti infeksi adalah tidak adanya obat
antivirus yang efektif. Acylovir (Zovirax) adalah obat anti-viral yang digunakan untuk perawatan terhadap
virus herpes. Secara in vitro ditunjukkan bahwa obat ini dapat menghambat virus herpes tipe 1 dan 2,
varicella zoster, epstein barrm dan cytomegalovirus. Bentuk salep 5% bisa digunakan untuk lesi herpes
genital tahap awal, dan terbatas pada infeksi herpes simpleks mukokutan yang tidak berbahaya pada pasien
immunokompromis. Pada pasien immunokompromis terjadi penurunan pembiakan virus dalam darah dan
sedikit penurunan durasi rasa sakit. Pada pasien yang tidak mengalami gangguan kekebalan, pemberian
salep acyclovir kurang bermanfaat. Aplikasi yang dianjurkan adalah setiap 3 jam, 6 kali sehari dalam waktu
7 hari. Acyclovir bisa juga diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami gangguan kekebalan
(Compromised patient).(1)
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi orofasial akut menimbulkan kompleks gejala awal yaitu rasa sakit, pembengkakan,
kemerahan, pernanahan, dan gangguan pengecapan, serta bau mulut (pada abses). Apabila infeksi
tidak diobati, maka akan timbul gejala sekunder berupa meningkatnya rasa sakit dan
pembengkakan, disertai trismus, disfagia, limfadenitis, demam dan malaise (selulitis). Pengenalan
tahap-tahap proses penyakit infeksi sangat penting untuk menganalisa bahaya potensial yang akan
Sebagian besar infeksi mulut adalah polimikrobial dan biasanya melibatkan bakteri aerob dan
anaerob. Untuk mengisolasi bakteri tersebut digunakan teknik smear dan kultur sehingga bisa
Infeksi odontogenik pada daerah stomatognati merupakan infeksi yang sering ditemukan sehari-
hari pada praktek kedokteran gigi. Oleh karena itu, dokter gigi harus mengenal, dan melakukan
pengamatan terhadap tanda-tanda terjadinya infeksi. Ppada pasien diamati adanya reaksi inflamasi,
timbulnya gejala-gejala infeksi, adanya demam, dan adanya pembesaran kelenjar limfa
regional.(2)
Sebelum melakukan perawatan terhadap infeksi harus dilakukan anamnesa, yang lengkap
mengenai riwayat penyakit, pemeriksaan keadaan umum pasien yang meliputi tekanan darah, nadi,
pernapasan, dan temperatur. Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan lokal berupa inspeksi dan
palpasi untuk melihat ukuran, rasa sakit, suku lokal, trismus, karies, lokasi pembengkakan, ada
tidaknya fistel, dan struktur lainnya di rongga mulut. Sebaiknya dilakukan rontgen foto dan bila
disimpulkan apakah pasien memerlukan perawatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi umum
atau harus dikonsulkan. Pasien dengan infeksi yang tidak terlalu berat dapat dilakukan perawatan
dengan pemberian antibiotik yang adekuat dan dilakukan tindakan insisi dan drainase, serta terapi
Pengetahuan umum yang luas tentang obat-obatan antibiotik, keefektifannya, efek sampingnya,
dan sifat farmakologisnya sangat diperlukan untuk perawatan infeksi. Sebelum memberikan obat
perlu ditinjau apakah pasien alergi atau tidak. Penicillin merupakan obat pilihan untuk hampir
sebagian besar infeksi orofasial pada pasien yang tidak memiliki alergi sebelum didapatkan data
bakteriologi yang lengkap. Efektifitas terapi antibiotik tergantung dari konsentrasi obat yang dapat
Keberhasilan perawatan infeksi orofasial dapat dicapai dengan pemakaian antibiotik yang benar,
tidnakan bedah yang sesuai (insisi dan drainase), dan terapi pendukung yang memadai.(1)
Walaupun infeksi-infeksi orofasial akut relatif jarang ditemukan, namun karena potensinya yang
sangat berbahaya sebaiknya harus berhati-hati dan penuh perhatian bila menghadapi kasus ini.(1)
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedersen, G. W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: Purwanto; dan
Basoeseno. Editor: L. Yuwono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p191-p219.
2. Karasutisna, T; M. Endang Daud; dan T. Soeparwadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Bedah
Mulut: Infeksi Odontogenik. Edisi 1. Bandung: Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran. p30-p46.