Anda di halaman 1dari 120

INFEKSI ODONTOGENIK

Oleh:

Esti Sunyaruri 1604 21180001

Rahastuti 1604 21180005

Liyana 1604 21180007

Anten Siti Sundari 1604 21180009

Pembimbing:

R. Agus Nurwiadh, drg., Sp.BM (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi dapat terjadi apabila sifat microflora berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya,

dan apabila sistem kekebalan serta pertahan selular terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut

diatas. 3 Gigi dengan karies yang diikuti dengan nekrosis pulpa dan infeksi di periapikal serta

infeksi periodontal mempunyai potensi cukup besar untuk menyebarkan infeksi ke berbagai tempat

dalam rongga mulut, muka dan leher bahkan komplikasi seperti emboli dan septikemia. Penyebab

infeksi ini adalah mikroba komensal dalam mulut yang kemudian menjadi pathogen, yang

penyebarannya dipengaruhi oleh meningkatnya virulensi dan kuantitas mikroba dan menurunnya

daya tahan tubuh penderita.3

Infeksi merupakan proses masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, dan selanjutnya

mikroorganisme tersebut mengadakan penetrasi dan menghancurkan host secara perlahan-lahan,

hingga berkembang biak. Kebanyakan infeksi yang berasal dari rongga mulut bersifat campuran

(polimikrobial), umumnya terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih. Karena flora

normal di dalam rongga mulut terdiri dari kuman gram positif dan aerob serta anaerob gram negatif

maka yang paling banyak menyebabkan infeksi adalah kuman-kuman tersebut. Secara umum

biasanya diasumsikan bahwa infeksi di rongga mulut disebabkan oleh Streptococcus dan

Staphylococcus serta mikrooganisme gram negatif yang berbentuk batang dan anaerob.

Infeksi dapat bersifat akut dan kronis. Suatu kondisi akut biasanya disertai dengan

pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan malaise dan demam yang berkepanjangan.

Bentuk kronis dapat berkembang dari penyembuhan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah

atau pertahanan tubuh yang kuat. Infeksi kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam
berbagai tingkatan dan reaksi ringan dari jaringan sekitarnya, misalnya edema, kemerahan, rasa

sakit tekan, dan manifestasi sistemik episodik yaitu : demam ringan, letalergi dan lemah badan.3

Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari gigi yang

berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang bermanifestasi pada region orofacial adalah

odontogenik. Infeksi odontogenik merupakan pemyakit yang paling umum sedunia dan

merupakan alasan mencari perawatan denta. Infeksi odontogenik biasanya mempunyai derajat

sedang dan dapat dirawat dengan mudah dengan pemberian antibiotik dan perawatan bedah lokal.

Abses berukuran kecil di vestibulum bukolingual ditangani dengan prosedur insisi intraoral dan

drainase, termasuk pencabutan gigi. Tetapi, beberapa infeksi odontogenik sangat serius dan

membutuhkan penanganan lebih lanjut. Bahkan setelah pemberian antibiotik dan peningkatan

kebersihan mulut, infeksi odontogenik serius dapat menimbulkan kematian. Kondisi tersebut

dapat terjadi ketika virulensi mikroba patogen meningkat dan terganggunya sistem kekebalan

tubuh akibat suatu penyakit tertentu.2,3

Prinsip tindakan penanganan infeksi meliputi identifikasi organisme patogen yang terlibat

dengan cara smear (apus) dan kultur, tes sensitivitas, terapi antibiotik yang sesuai, pembedahan,

dan terapi pendukung. Selain itu, terdapat tindakan lain yang lebih penting dalam penanganan

infeksi berupa tindakan bedah meliputi, insisi dan drainase, pembersihan, dekortikasi, dan

sekuestrektomi (sauserisasi), serta pencabutan gigi yang menjadi sumber infeksi. Tujuan dari

tindakan ini adalah untuk menghilangkan kausa infeksi dan memberikan drainase. Prinsip

perawatan infeksi pada sistem stomatognati dengan pembedahan telah sejak lama dikenal. Bangsa

Indian menggunakan pembedahan dengan menggunakan pisau yang tajam untuk membuka abses

pada daerah wajah. Saat ini prinsip pembedahan masih sama, tetapi tekniknya telah sangat

berkembang dari waktu ke waktu.2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Infeksi Odontogenik

Infeksi odontogenik adalah salah satu diantara beberapa infeksi yang paling sering kita

jumpai pada manusia yang berasal dari gigi. Pada kebanyakan pasien infeksi ini bersifat minor

atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan drainase spontan di sepanjang jaringan

gingiva pada gigi yang mengalami gangguan.4 Infeksi ini dapat meluas dan menjadi berat bahkan

menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan adekuat. Kematian akibat infeksi pada daerah

stomatognati dapat terjadi karena sepsis atau karena tersumbatnya jalan nafas yang diakibatkan

pembengkakan pada dasar mulut yang dapat menyebabkan terangkatnya lidah serta obstruksi oleh

pembengkakan pada spasia parafaringeal.3

Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit periodontal,

perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi odontogenik juga lebih sering

disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat

menyebar secara cepat ke sisi wajah lain.

Kejadian tingkat keparahan, morbiditas, dan kematian akibat infeksi odontogenik menurun

secara dramatis selama 60 tahun terakhir. Ini bukan hanya disebabkan oleh penggunaan antibiotik

dan perawatan penunjang yang semakin maju untuk merawat infeksi ini, tetapi lebih karena prinsip

keselamatan jalan nafas yang diutamakan, diikuti oleh tindakan drainase yang sedini dan seagresif

mungkin. Dalam makalah ini akan dijelaskan delapan tahap dalam penatalaksanan infeksi

odontogenik. Mulai dari menentukan beratnya tingkatan infeksi, pertahanan tubuh hospes,
menentukan rencana perawatan, melakukan intervensi bedah, perbaikan keadaan umum,

pemilihan obat antibiotik, pemberian antibiotik dengan tepat dan evaluasi keadaan pasien.3

Gambar Penyebaran Infeksi Odontogenik

2.2 Etiologi

Rongga mulut merupakan tempat hidup bakteri aerob dan anaerob yang berjumlah lebih

dari 400 ribu spesies bakteri. Ratio antara bakteri aerob dengan anaerob berbanding 10:1 sampai

100:1. Organisme-organisme ini merupakan flora normal dalam mulut yang terdapat dalam plak

gigi, cairan sulkus ginggiva, mucus membrane, dorsum lidah, saliva dan mukosa mulut.

Kekomplekan flora rongga mulut dan gigi dapat menjelaskan etiologi spesifik dari beberapa tipe

terjadinya infeksi gigi dan infeksi dalam rongga mulut, tetapi lebih banyak disebabkan oleh adanya

gabungan antara bakteri gram positif yang aerob dan anaerob. Dalam cairan gingival, kira-kira ada

1.8 x 1011 anaerobs/gram.2,7


Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari setengah kasus

infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme

penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-

hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides

(Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan

infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob, biasanya

organisme penyebabnya adalah bakteri gram positif yaitu species Streptococcus. Infeksi

odontogen banyak juga yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu

sekitar 25 %. Pada infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan

kultur. Bakteri Fusobacteria sp. biasanya ditermukan pada infeksi yang berat.6

2.3 Mikrobiologi Infeksi Odontogenik

Infeksi polimikrobial. Kebanyakan infeksi yang berasal dari rongga mulut bersifat

campuran (polimikrobial), biasanya terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih. Karena

flora normal di dalam mulut terdiri dari kuman gram positif dan aerob, serta anaerob gram negatif

maka yang menyebabkan infeksi tentu saja jenis kuman tersebut. Apabila mikroba anaerob terlibat

dalam suatu infeksi polimikrobial atau campuran, pengaruh dari organisme yang lain akan

meningkat. Mikroba anaerob cenderung menghambat fagositosis aerob, padahal aerob

mengkonsumsi oksigen sehingga mendukung pertumbuhan mikroorganisme anaerob. Secara

umum biasanya diasumsikan bahwa infeksi mulut disebabkan oleh Streptococcus, dan

Staphylococcus serta mikroorganisme gram negatif yang berbentuk batang dan anaerob. Dengan

metode kultur dan teknik sampling yang lebih baik, identifikasi dari flora bakteri normal dan

infeksi akan lebih dapat dilakukan. Saat ini telah diketahui bahwa flora mulut aerob terdiri dari
kokus gram positif (Streptococcus), kokus gram negatif (Neisseria), batang gram positif

(Lactobacillus, Corynebacterium), dan batang gram negatif (Hemophilus, Coliformis). Sedangkan

flora mulut anaerob terdiri dari kokus gram positif (Peptostreptococcus, Peptococcus), kokus gram

negatif (Veillonella), batang gram positif (Actinomyces, Clostridium, Leptotrichia) dan batang

gram negatif (Bacteroides, Fusobacterium).1

Flora yang berubah. Flora mulut yang paling sering terlibat pada infeksi piogenik

submukosal rongga mulut adalah Streptococcus indigenus, spesies aerob terutama Bacteroides,

Fusobacterium, kokus anaerob, dan spesies Actinomyces. Saat ini Bacteroides fragilis telah

teridentifikasi dalam jumlah yang bermakna pada infeksi odontogenik yang refraktil. Organisme

yang terlibat dalam infeksi sering berada dalam keadaan turun naik secara konstan, karena

perubahan kondisi jaringan lokal, misalnya banyaknya oksigen, perubahan pH, adanya

mikroorganisme pendatang, aktivitas mekanisme pertahanan sistemik, dan pengaruh terapi

antibiotik. Oleh karena itu, pada infeksi yang persisten diperlukan pengambilan sampel dan kultur

berkali-kali, sehingga didapatkan gambaran perubahan flora yang akurat.1

Pengumpulan spesimen. Identifikasi mikroorganisme penyebab dilakukan dengan

membuat spesimen secara hati-hati dan benar (hindari pemaparan yang terlalu lama dengan

udara/tempat kering), pengiriman ke laboratorium dengan segera, dan teknik laboratorium yang

baik.1
Tabel 2.1 Kultur Bakteri Predominan yang Berasal dari Berbagai Lokasi di Rongga Mulut.3
Tabel 2.2 Bakteri yang Berperan dalam Infeksi-Infeksi Mulut dan Odontogenik.1

Gambar 2.1 (A) Tube Kultur dalam Kemasan Tersendiri, yang Mengandung Media
untuk Transportasi; (B) Dalam Kemasan Terbuka Stik Aplikator Ditarik Sehingga Didapatkan
Sampel. Stik Aplikator Dikembalikan dan Kemudian Ditutup. Dasar dari Tube Dipijat-Pijat
supaya Sampel Masuk Kedalam Media.1
Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi smear, kultur aerob dan anaerob, serta

penentuan kepekaan terhadap antibiotik. Apabila dicurigai terdapat nanah, maka spesimen diambil

dengan aspirasi. Terlebih dahulu kulit dicuci dengan sabun antimikroba dan mukosa diulas dengan

alkohol, kemudian dilakukan aspirasi lesi dengan menggunakan jarum 18 – 20 gauge. Aspirant

dimasukkan kedalam vial transpor anaerob atau apabila bisa diantarkan dengan cepat (10 – 15

menit) dapat digunakan spuit. Jika terdapat eksudat, maka untuk mengumpulkan digunakan pak

anaerob. Apabila melakukan kultur spesimen jaringan maka cara yang dapat dilakukan adalah

seperti perlakukan untuk mengeluarkan eksudat. Lesi permukaan mukosa dikultur dengan pertama

diusap menggunakan tampon yang dibasahi saline dan dikerok dengan stik aplikator atau kuret.

Spesimen dari lesi permukaan hanya dikultur secara aerob.1

Pengiriman spesimen. Pada pengiriman spesimen untuk pemeriksaan histopatologi,

informasi tanggal dan waktu pengambilan sampel, keadaan sampel, tempat pengambilan sampel,

pengobatan antibiotik terakhir atau yang sedang dijalani, dan kondisi klinis pasien akan sangat

membantu pekerjaan laboratorium. Petunjuk yang diberikan pada laboratorium sekurang-

kurangnya meliputi smear atau pewarnaan gram, kultur, serta kepekaan terhadap antibiotik dari

organisme yang dominan (flora campuran, atau keduanya). Apabila dicurigai adanya infeksi

mikrobakterial, sebaiknya diinformasikan. Smear bisa segera memberikan informasi bernilai klinis

yang sangat bermanfaat. Dengan melakukan smear ini bisa didapatkan informasi mengenai sifat

Gram-nya, morfologi dan identifikasi varietas yang dominan, juga berfungsi sebagai kontrol

kualitas untuk kultur berikutnya, apabila diperlukan. Hasil kultur dan tes sensitivitas baru

diperoleh setelah 48 – 72 jam (pemeriksaan khusus tertentu memerlukan waktu lebih lama lagi).

Tes sensitivitas memberikan informasi kualitatif mengenai kerentanan atau ketahanan

mikroorganisme terhadap antibiotik tertentu.1


Flora yang lain. Selain bakteri, rongga mulut merupakan tempat hidup virus, ragi, dan

jamur. Virus yang paling sering ditemukan adalah herpes, tetapi virus hepatitis dan AIDS selalu

perlu dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Spesies Candida diduga merupakan

penghuni tetap didalam mulut.1

Tabel 2.3 Ruang Fasial yang Potensial.1

2.4 Patofisiologi

Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses dentoalveolar,

tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi.1

Infeksi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah

mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi
kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi gigi dapat terjadi secara lokal atau meluas secara

cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai

apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi.

Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat

dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan

membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi

penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis

apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.1,2,3

Pada infeksi sekitar foramen apikalis terjadi nekrosis disertai akumulasi leukosit yang

banyak dan sel-sel inflamasi lainnya. Sedangkan pada jaringan sekitar abses akan tampak

hiperemis dan edema. Bila masa infeksi bertambah, maka tulang sekitarnya akan tersangkut,

dimulai dengan hiperemia pembuluh darah kemudian infiltrasi leukosit dan akhirnya proses

supurasi. Penyebaran selanjutnya akan melalui kanal tulang menuju permukaan tulang dan

periosteum. Tahap berikutnya periosteum pecah dan pus akan terkumpul di suatu tempat di antara

spatia sehingga membentuk suatu rongga patologis. Pembentukan abses pada umumnya didahului

oleh periodontitis apikalis akut, namun dapat juga langsung tanpa didahului oleh periodontitis

apikalis.

Stadium

1. Stadium subperiostal dan periostal

• Pembengkakan belum terlihat jelas

• Warna mukosa masih normal

• Perkusi gigi yang terlibat terasa sakit yang sangat

• Palpasi sakit dengan konsistensi keras


2. Stadium serosa

• Abses menembus periosteum, masuk tunika serosa dari tulang dan pembengkakan sudah ada

• Mukosa mengalami hiperemi dan merah

• Rasa sakit yang mendalam

• Palpasi sakit dan konsistensi keras, belum ada fluktuasi

3. Stadium subkutan

•Pembengkakan sudah sampai kebawah kulit

•Warna kulit ditepi pembengkakan merah, tapi tengahnya pucat

•Konsistensi sangat lunak seperti bisul yang mau pecah

•Turgor kencang, berkilat dan berfluktuasi tidak nyata

2.5 Tahap-Tahap Infeksi

Dari proses inflamasi dan destruksi jaringan dapat diketahui tahap-tahap infeksi dalam

perjalanan klinis infeksi odontogenik (tabel 2.4). Tahap inokulasi diawali dengan penyebaran awal

(mungkin oleh Streptococcus) ke dalam jaringan lunak. Tahap ini ditandai dengan pembengkakan

jaringan lunak, lengket, dan agak halus yang disertai dengan sedikit kemerahan. Selama tahap

selulitis proses inflamasi mencapai puncak dan menyebabkan pembengkakan yang berwarna

sangat merah, keras, dan amat sakit disertai functio laesa seperti trismus atau ketidakmampuan

mendorong lidah ke depan. Pada tahap ke tiga yaitu pembentukan abses banyak terjadi nekrosis.

Istilah fluktuasi sering disalah artikan untuk menggambarkan edema ringan. Fluktuasi adalah

pergerakan cairan dalam lesi yang dipalpasi secara bimanual atau bidigital menggunakan tangan

atau jari. Pergerakan cairan disebabkan oleh aliran pus di dalam kavitas abses. Tahap akhir dari
infeksi odontogenik yaitu pecahnya abses yang terjadi secara spontan atau dengan drainase

terapeutik.4

Tabel 2.5 Tahap-tahap infeksi

Sumber: Flyn TR. The timing of incision and drainage ; Oral and maxillofacial surgery
knowledge update 2001; III. Rosemont : American Association of Oral and Maxillofacial
Surgeons)
Tahapan infeksi dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami bagaimana infeksi

odontogenik berat yang tidak dirawat dapat menyebar ke rongga fasial kepala dan leher profunda.

Sebagai contoh, apabila infeksi odontogenik virulen yang berasal dari gigi molar rahang bawah

berkembang menjadi abses pada rongga mandibula maka mungkin dapat berlanjut menjadi tahap

inokulasi sampai selulitis pada daerah rongga retropharyngeal lateral di dekatnya. Rongga

retropharyngeal yang telah terinokulasi oleh bakteri dapat berkembang menjadi edema. Konsep

ini dapat menjelaskan mengapa kegagalan prosedur insisi dan drainase yang tidak berhasil

mengeluarkan pus masih dapat menghalangi penyebaran infeksi sehingga berhasil dalam proses

penyembuhan.4

Foramen pulpa yang sempit pada ujung akar gigi meskipun diameternya tidak cukup untuk

dilakukan drainase pulpa yang terinfeksi, tetapi dapat bertindak sebagai reservoir dari bakteri dan

dapat menyebabkan bakteri masuk ke jaringan periodontal dan tulang. Jalan masuk bakteri ini

menunjukkan masalah yang biasa terjadi apabila hanya antibiotik yang digunakan untuk merawat

fistula dari abses gigi. Sekali dilakukan drainase dapat menghentikan papulasi bakteri pada rongga

pulpa kemudian diikuti dengan perpindahan bakteri tersebut ke jaringan periapikal dari pulpa yang

tidak dirawat, jadi dapat kembali menjadi sumber infeksi. Infeksi gigi yang serius, yang meluas ke

luar soket, pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh infeksi pulpa daripada infeksi

periodontal. Apabila infeksi telah meluas melewati apeks gigi, patofisiologi proses infeksi dapat

berubah, tergantung pada jumlah dan virulensi organisme, resistensi host, dan anatomi daerah yang

terlibat.4

Bila infeksi tetap terlokalisir pada ujung akar gigi, maka infeksi tersebut dapat berkembang

menjadi infeksi periapikal kronis. Biasanya kerusakan tulang yang cukup dapat memberikan

gambaran radilolusensi yang bagus pada gambaran radiografi gigi. Proses ini menunjukkan adanya
infeksi fokal pada tulang, tetapi gambaran radiolusensi “garden variety” yang disebabkan oleh

karies gigi harus dapat dibedakan dengan osteomielitis.Apabila infeksi telah meluas ke ujung akar,

maka infeksi dapat berlanjut ke ruang medullar yang lebih dalam dan berkembang menjadi

osteomielitis yang luas.4

2.6 Tanda dan Gejala

1. Adanya respon Inflamasi

Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada keadaan ini substansi

yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan perbaikan jaringan, proses inflamasi ini

cukup kompleks dan dapat disimpulkan dalam beberapa tanda :2

A. Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan peningkatan

permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran darah pada vena.

B. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan nutrisi dan

berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.

C. Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti migrasi leukosit

polimorfonuklear dan kemudian monosit pada daerah luka.

D. Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada dinding lesi.

E. Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya

F. Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik

2. Adanya gejala infeksi

Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat pada daerah permukaan

infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi. Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah
infeksi. Kalor atau panas merupakan akibat aliran darah yang relatif hangat dari jaringan yang

lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau rasa

sakit, merupakan akibat rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan oleh pembengkakan atau

perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau

bradikinin pada akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau kehilangan

fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan kemampuan bernafas yang terhambat.

Kehilangan fungsi pada daerah inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari

pergerakan otot yang disebabkan oleh adanya rasa sakit.3

3. Limphadenopati

Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di sekitarnya memerah

dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih

atau kurang keras tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan

di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah indikasi

terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem

pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini

dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi dan drainase.

2.6 Anatomi Infeksi Odontogenik

Ruang (spatium) atau bidang fasial. Kepala dan leher dikelilingi oleh ruang fasial yang

biasanya dipisahkan oleh jaringan ikat longgar. Spatium (ruang) tersebut merupakan daerah yang

pertahanannya terhadap penyebaran infeksi kurang sempurna. Walaupun dalam batas tertentu

ruang ini cenderung melokalisir infeksi, tetapi ruang ini juga saling berhubungan satu sama
lainnya. barier terakhir terhadap penyebaran infeksi diluar prosesus alveolaris adalah periosteum.

Apabila periosteum itu tertembus, maka ruang-ruang dari bidang fasial yang didekatnya akan

segera terinfeksi. Infeksi dari gigi tertentu secara konsisten menyebar ke ruang-ruang tertentu yang

berkaitan dengannya. Trismus dan disfagia dapat dikaitkan dengan keterlibatan ruang-ruang

tertentu. Pengetahuan anatomis yang berhubungan dengan ruang-ruang ini akan dapat membantu

mengidentifikasi daerah-daerah potensial yang menjadi tempat penyebaran infeksi dan membantu

dalam menentukan bagian yang akan diinsisi dan didrainase. Untuk memudahkan pemahaman,

makan ruang tersebut dikelompokkan menjadi mandibular, maksilar, lateral, faringeal, kranial, dan

servikal.1

Gambar 2.2 Ruang Mandibular Anterior merupakan Tempat yang Sering Menjadi Tempat
Perluasan Infeksi yang Berasal dari Gigi.1

Ruang Mandibular. Ruang-ruang mandibular anterior meliputi submandibular,

sublingual, dan submental. Submandibular terletak di inferior mandibula dan m. mylohyoideus,

dibatasi di bagian inferior oleh m. digastrikus, dan medial oleh m. hyoglossus (trigonum

submandibulare). Infeksi yang menyebar kesini biasanya infeksi yang berasal dari molar bawah.

Infeksi ruang sublingual bisa meluas dengan mudah kedalam ruang submandibular dan
parafaringeal. Ruang submental terletak di sebelah anterior diantara kedua venter anterior m.

digastrikus. Daerah ini paling sering terkena perluasan infeksi dari gigi insisivus bawah. Ruang ini

kearah posterior berhubungan dengan ruang submandibular.1

Ruang mandibular posterior. Ruang mandibular posterior meliputi submasseter, dan

pterigomandibular. Keduanya berhubungan dengan ramus. Ruang submasseter terletak disebelah

lateral ramus, sedangkan ruang pterigomandibular terletak disebelah medial ramus dan dibatasi

oleh m. pterigoideus medialis. Regio molar ketiga bawah merupakan sumber utama infeksi untuk

kedua ruang posterior tersebut. Apabila regio ini mengalami infeksi akut, maka sering diikuti

trismus. Infeksi pada ruang-ruang submasseter dan pterigomandibular bisa menyebar ke temporal

atau ruang-ruang parafaringeal.1

Gambar 2.3 (A) Infeksi yang Mengakibatkan Menggembungnya Ruang-Ruang Jaringan yang
Potensial, dan Manifestasi Klinisnya Berupa Pembengkakan; (B) Selulitis mengenai Ruang-
Ruang Submandibular, Submental, dan Bucinator; (C) Perluasan Servikal dari Infeksi bisa
Membahayakan Mediastinum. 1
Gambar 2.4 Ruang Mandibular Posterior dan Temporal Merupakan Lokasi yang Sering
Menjadi Tempat Penyebaran Infeksi yang Berasal dari Regio Molar Ketiga.1

Ruang maksilar anterior. Penyebaran infeksi yang timbul pada regio maksilar biasanya

melibatkan fossa canina dan regio periorbital. Fossa canina terletak profundus dari m. quadratus

labii superior dan m. levator labii superior yang lain. Hal ini merupakan perluasan infeksi yang

berasal dari gigi kaninus atas dan terkadang dari gigi-gigi premolar dan insisivus. Dalam

pengertian klinis cukup penting, karena berhubungan dengan sinus cavernosus melalui vena-vena

fasialis, angularis, ophtalmica. Perluasan pada regio periorbital bisa berasal dari semua gigi

maksilar. Regio periorbital terletak profundus dari m. orbikularis oculi dan seperti pada fossa

canina, infeksi pada regio ini bisa menyebar ke sinus cavernosus melalui vena-vena yang sama.1
Gambar 2.5 (A) Selulitis Fasial yang Akut Memperlihatkan Perluasan Kearah Periorbital,
Sehingga Harus Diperhatikan Karena Dapat Menyebar Kearah Intrakranial; (B)Selulitis
Periorbital Akut yang Merupakan Perluasan dari Infeksi Fossa Canina.1

Ruang lateral. Ruang lateral meliputi ruang businator dan ruang parotis. Infeksi pada

ruang businator bisa merupakan perluasan infeksi pada gigi premolar dan molar. Ruang ini

memiliki hubungan dengan ruang-ruang mandibular posterior (ruang submasseter dan

pterigomandibular) dengan ruang temporal, dan ruang faringeal lateral. Ruang parotid terutama

ditempati oleh glandula parotidea dan biasanya merupakan tempat perluasan infeksi yang bukan

berasal dari gigi. Apabila terjadi infeksi biasanya melibatkan glandula parotid itu sendiri

(misalnya, sialadenitis). Tetapi infeksi ruang parotid bisa menyebar ke ruang parafaringeal dan

ruang temporal profundus.1

Ruang faringeal. Ruang faringeal lateral meluas dari basis kranii sampai dengan bagian

bawah tulang hyoid. Dibatasi m. pterigoideus internus disebelah lateral dan mm. constrictor

pharyngis disebelah medial. Ruang retrofaringeal terletak posterior dari mm. constrictor pharyngis

dan anterior dari selubung karotis serta fascia paravertebralis. Infeksi spatium pharyngealis bisa
meluas ke intrakranial (mediastinal). Infeksi yang melibatkan spatium pharyngealis, ditandai

dengan adanya disfagia dalam berbagai tingkatan.1

Ruang kranial. Ruang kranial lateral meliputi temporal dan infratemporal. Ruang

temporal dibagi menjadi superfisial dan profundus oleh m. temporalis. Batas terluar adalah fascia

temporalis, sedangkan batas profundus adalah dinding tulang dari fossa temporalis. Batas terluar

adalah fascia temporalis, sedangkan batas profundus adalah dinding tulang dari fossa temporalis.

Di bagian inferior, ruang temporal superfisialis dibatasi oleh arkus zygomatikus, sedangkan ruang

temporal profundus berhubungan dengan ruang pterigomandibular. Infeksi odontogenik yang

melibatkan ruang temporal, apabila berasal dari regio molar bawah atau atas biasanya terlebih

dahulu melintasi ruang submasseter dan pterigomandibular. Ruang infratemporal dibatasi diatas

oleh basis kranii, dilateral oleh ramus mandibula dan m. temporalis dan medial oleh mm.

pterigoidei. Kearah inferior ruang infratemporal berhubungan dengan ruang-ruang

pterigomandibular dan temporal profundus. Penyebaran infeksi yang paling berbahaya adalah

yang menuju sinus cavernosus melalui plexus venosus pterigoideus. Perluasan servikal. Perluasan

infeksi odontogenik ke regio servikal bisa juga terjadi. Fascia servikalis dibagi menjadi fascia

superfisialis yang merupakan kelanjutan m. platysma dan fascia profundus yang membungkus

struktur-struktur profundus pada leher. Fascia profundus bisa memberikan jalan nfeksi melalui

ruang viscera (yang membungkus glandula tiroidea, paratiroidea, trakealis, dan esofagea), dan

selubung karotis ke mediastinum. Perluasan limfatik. Sistem limfatik bisa berperan menjadi agen

pertahanan lokal maupun sistemik terhadap infeksi mikroorganisme. Limfadenitis regional bisa

menjadi petunjuk adanya infeksi yang sedang berlangsung atau yang terjadi pada masa lalu,

maupun suatu pertanda adanya infeksi yang manifestasinya belum tampak. Kadang, fibrosis pada

nodus limfatikus merupakan sisa kondisi infektif yang mengalami penyembuhan.1


2.7 Macam-Macam Infeksi Odontogenik

Infeksi yang menyangkut sistem stomatognati untuk lebih praktisnya dalam perawatan

dapat dibagi kedalam beberapa golongan, yaitu infeksi odontogenik dan infeksi non-odontogenik.

Berdasarkan beberapa penelitian selama lebih dari dua dasawarsa, infeksi pada daerah orofasial

yang berasal dari gigi masih merupakan infeksi yang paling sering dijumpai. Infeksi orofasial ini

terutama berasal dari infeksi gigi. Infeksi odontogenik sendiri berasal dari dua sumber utama,

meliputi kelainan periapikal sebagai akibat nekrosis pulpa dan infeksi jaringan periodontal sebagai

akibat infeksi saku periodontal dan infeksi perikoronal. Dari kedua sumber utama ini, kelainan

periapikal merupakan etiologi yang paling umum sebagai penyebab infeksi odontogenik. Macam

infeksi odontogenik dapat berupa infeksi dentoalveolar, infeksi periodontal, infeksi yang

menyangkut spasium, selulitis, flegmon, osteomielitis, dan infeksi yang merupakan komplikasi

lebih lanjut.2

2.8 Klasifikasi Infeksi Orofasial

2.8.1 Infeksi Orofasial Akut

Keadaan yang membahayakan kehidupan. Pada keadaan biasa, dokter gigi tidak terlibat

dalam penatalaksanaan kondisi-kondisi yang mengancam jiwa. Perkecualian yang terjadi adalah

pada keadaan darurat akut misalnya reaksi anafilaksis atau infark miokardial. Semua infeksi

orofasial akut mempunyai potensi yang mematikan. Ancaman ini harus selalu dipikirkan pada

waktu melakukan evaluasi dan perawatan pada pasien yang bersangkutan, khususnya pasien

immunokompromis. Gejala-gejala subjektif dan tanda-tanda objektif yang menggambarkan status

keberadaan dan proses penyakit ditentukan dengan seksama dan dicatat dengan teliti. Semua
tindakan perawatan yang dilakukan pada masa lalu juga dicatat, karena catatan perawatan

merupakan hal yang sangat penting apabila akan dilakukan rujukan.1

2.8.1.1 Abses Odontogenik

Etiologi. Etiologi umum dari kebanyakan infeksi orofasial dapat berupa abses periapikal

akut sampai selulitis servikofasial bilateral (Ludwig angina), adalah patologi, trauma, atau

perawatan gigi dan jaringan pendukungnya. Riwayat alami dari infeksi odontogenik biasanya

dimulai dengan terjadinya kematian pulpa, invasi bakteri, dan perluasan proses infeksi kearah

periapikal. Terjadinya inflamasi yang terlokalisir (osteitis periapikal kronis) atau abses periapikal

akut (penghancuran jaringan dengan pembentukan eksudat purulen) tergantung dari virulensi

organisme, dan efektivitas pertahanan hospes. Kerusakan pada ligamen periodontal bisa

memberikan kemungkinan masuknya bakteri dan akhirnya terjadi abses periodontal akut. Apabila

gigi tidak erupsi sempurna, mukosa yang menutupi sebagian gigi tersebut menyebabkan

terperangkap dan terkumpulnya bakteri dan debris, sehingga menyebabkan abses perikoronal.(1)

Gambaran klinis. Suatu abses adalah infeksi akut yang terlokalisir, manifestasinya berupa

inflamasi, pembengkakan yang nyeri jika ditekan, atau kerusakan jaringan setempat. Abses

periapikal berukuran kecil dari diameter dibawah 1 cm sampai cukup besar sehingga dapat

menutupi vestibulum. Mukosa diatasnya nampak mengkilat, eritematus, tegang dan kencang.

Abses periodontal akut dapat ditandai dengan adanya pembengkakan yang besar dan pergeseran

papila interdental yang jelas atau mungkin akan menjadi abses periapikal dengan penutupan atau

kelainan vestibular. Abses perikoronal akut (perikoronitis) yang melibatkan gigi yang sedang

erupsi sebagian biasanya gigi molar ketiga bawah memperlihatkan tanda-tanda pembengkakan

yang eritematus, penonjolan dan pergeseran jaringan sekitarnya dan yang menutupinya
(operkulum). Rontgen periapikal memperlihatkan adanya kerusakan tulang sekitar gigi yang

terkena, yang disebabkan karena infeksi kronis yang terjadi sebelumnya.1

Tanda dan gejala. Abses odontogenik akut menimbulkan gejala sakit yang kompleks,

pembengkakan, kemerahan, supurasi, gangguan pengecapan, dan bau mulut. Keluhan utama

adalah rasa sakit, dengan nyeri tekan regional ekstrim yang tidak mempan diobati dengan

analgesik serta mengganggu pada waktu makan, tidur, dan saat melakukan prosedur kebersihan

mulut. Penderitaan yang dirasakan pasien tergantung pada intensitas dan durasi rasa sakit serta

perubahan sehubungan dengan perilaku pasien. Rasa sakit yang dialami pasien sudah

mencerminkan terjadinya abses odontogenik kategori darurat yang memerlukan tindakan cepat

dan efektif untuk menghilangkan rasa sakit. Status darurat didukung pula oleh adanya bahaya

potensial dari semua infeksi orofasial yang memerlukan terapi yang cepat dan tepat untuk

menghindari penyebarannya.1

Gambar 2.6 Abses Periapikal Akut Ditandai dengan Adanya Kehancuran/Demineralisasi

Tulang yang Terjadi Selama Fase Infeksi Kronis.1

Penatalaksanaan. Perawatan abses odontogenik akut dapat dilakukan secara lokal

maupun sistemik. Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan
perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit, terapi antibiotik, dan

terapi pendukung. Walaupun kelihatannya pasien memerlukan intervensi lokal dengan segera,

tetapi lebih bijaksana apabila diberikan antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan

terjadinya bakteremia dan difusi lokal (inokulasi) sebagai akibat sekunder dari manipulasi

perawatan yang dilakukan. Pemberian penicillin oral (1 gram untuk dewasa) mencapai tingkat

terapeutik dalam 1 jam, sedangkan eritromycin (500 mg untuk dewasa) memerlukan waktu sedikit

lebih lama untuk mencapai tingkat terapeutik. Blok saraf anastetikum, walaupun mungkin sulit

dilakukan, merupakan tindakan untuk menghilangkan rasa sakit dengan efektif dan menjadikan

prosedur perawatan lokal lebih mudah juga sebagai jembatan sampai obat-obatan sistemik beraksi.

Apabila rasa sakit telah berkurang, dapat dilakukan pengukuran temperatur oral, dan apabila

terjadi peningkatan temperatur dapat diberikan antipiretik (aspirin, acetaminophen).1

Kultur. Abses periodontal dan perikoronal sering disertai pernanahan (purulensi), yang

bisa dijadikan sampel untuk kultur sebelum dilakukan tindakan lokal. Apabila abses mempunyai

dinding yang tertutup, yang merupakan ciri khas dari lesi periapikal, maka palpasi digital yang

dilakukan perlahan-lahan terhadap lesi yang teranastesi bisa memperlihatkan adanya fluktuasi

yang merupakan bukti adanya pernanahan. Daerah yang mengalami fluktuasi tersebut biasanya

diaspirasi untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan kultur. Hal tersebut dilakukan dengan

memasukkan jarum besar 18 atau 20 gauge yang dicekatkan pada spuit disposable berukuran 3 ml

atau lebih, kedalam lesi. Biasanya didapatkan suatu eksudat yang bercampur darah dengan warna

kuning atau seperti krim. Apabila tidak didapatkan bahan pernanahan maka infeksinya bersifat

difus. Bahan dari aspirasi bisa digunakan untuk smear atau kultur aerob dan anaerob.1

Inspeksi dan irigasi. Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranastesi bisa

diperiksa atau dicari dengan menggeser jaringan yang menutupinya yaitu papila interdental atau
operkulum. Pada daerah tersebut biasanya terdapat debris makanan, yang merupakan benda asing

yang dapat mendukung proses terjadinya infeksi. Irigasi dengan hati-hati dengan larutan saline

steril dalam volume yang cukup banyak bisa menyingkirkan debris dan mengubah lingkungan

yang tadinya mendukung perkembangan bakteri menjadi sebaliknya. Apabila perawatan definitif

seperti kuretase, operkulektomi, ekstraksi, dan lain-lain ditunda, maka pasien dianjurkan berkumur

sesering mungkin sewaktu dirumah.1

Insisi dan drainase. Abses fluktuan dengan dinding yang tertutup, berupa abses

periodontal maupun periapikal, dirawat secara lokal dengan insisi dan drainase. Anastesi yang

dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu sebelum aspirasi sudah dianggap cukup untuk

melanjutkan tindakan ini. Lokasi standar untuk melakukan insisi abses adalah daerah yang paling

bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase dengan memanfaatkan pengaruh gravitasi.

Seperti pada pembuatan flap, biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah membuat insisi

yang terlalu kecil. Insisi yang agak besar mempermudah drainase dan pembukaannya bisa bertahan

lebih lama. Drain yang dipakai adalah suatu selang karet dan dipertahankan pada posisinya dengan

jahitan.1

Perawatan pendukung. Pasien diberikan resep antibiotik (penicillin atau erytromycin)

maupun obat-obatan analgesik (kombinasi narkotik/non-narkotik). Perlu ditekankan kepada pasien

bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Apabila menganjurkan untuk kumur dengan

larutan saline hangat, konsentrasinya 1 sendok teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan

dilakukan paling tidak setiap sesudah makan. Pasien dianjutkan untuk memperhatikan timbulnya

gejala-gejala penyebaran infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan, serta

trismus dan disfagia.1


Tindak lanjut. Apabila riwayat memperlihatkan adanya infeksi yang agresif yang

terjadinya mendadak (tiba-tiba) maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap pasien yaitu 24 jam

setelah perawatan. Apabila infeksi nampak lebih jinak dengan durasi yang lebih lama dan tidak

disertai tanda yang membahayakan, maka kunjungan berikutnya bisa ditunda hingga 48 jam.

Perkembangan yang terjadi dipantau apakah keadaanya membaik atau memburuk. Perubahan

pembengkakan dicatat (ukuran, konsistensi, fluktuasi) apakah tempat drainase masih memadai,

dan dicatat pula bagaimana sifat pernanahannya. Temperatur diukur atau diamati dan pasien

dianjutkan untuk memperhatikan gejala baru yang mungkin timbul. Apabila kontrol dan resolusi

kondisi akut telah berjalan dengan baik, maka faktor etiologi bisa dihilangkan dengan kuretase,

ekstirpasi pulpa, operkulektomi, atau pencabutan. Apabila kondisinya tidak membaik maka

diperlukan perawatan yang bersifat segera. Apabila tidak dilakukan kultur, tindakan yang

dilakukan biasanya dengan meningkatkan dosis antibiotik dan bukan mengubah jenis

antibiotiknya. Terkadang perlu dipertimbangkan pula untuk dilakukan rujukan yaitu apabila

menjumpai infeksi orofasial akut yang membahayakan kehidupan. Penyesalan yang diakibatkan

karena konsultasi lebih awal jauh lebih sedikit dibandingkan konsultasi yang terlambat.1
Gambar 2.7 Kematian Pulpa karena Invasi Bakteri, yang Termanifestasi berupa Infeksi
Periapikal. (A) Abses Odontogenik Menyebabkan Erosi dari Lamina Bukal,
Menembus Periosteum, dan Menimbulkan Abses Bukal; (B) Insisi Dibuat pada
Daerah yang Paling Berkaitan, dan Drain Karet Dipasang kedalam Lokasi. Drain
Dicekatkan ke Mukosa dengan Jahitan; (C) Drain berfungsi sebagai Rute
Keluarnya nanah dan Mengubah Suasana Lingkungan dari Daerah yang
Terinfeksi.(1)

Penghentian terapi. Apabila infeksi dapat dikontrol dengan baik, pada kunjungan kontrol

pertama maupun kedua biasanya pertanyaan yang timbul adalah kapankah pemakaian drain

dihentikan. Terkadang drain dirasakan sebagai hal yang menguntungkan tetapi bisa pula

merugikan. Hal ini biasanya terjadi apabila drainase telah berkurang, dan merasakan bahwa drain

merupakan benda asing dan tempat terjadinya kontaminasi eksternal. Drainase biasanya dianggap

cukup memadai bila penempatan drain paling tidak 48 jam. Selain itu, terapi antibiotik yang

dilakukan diteruskan pemberiannya sampai 5-7 hari. Apabila infeksi tetap bertahan sampai waktu

tersebut, maka pemberian antibiotik harus diteruskan. Penghentian antibiotik umumnya


didasarkan pada perkembangan klinis yang terjadi pada pasien. Terapi antibiotik yang diteruskan

3-4 hari setelah hilangnya gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit jarang dilakukan.1

2.8.1.2 Infeksi Jaringan Lunak

Tahap awal. Beberapa infeksi jaringan lunak odontogenik dan nonodontogenik pada

mulanya melibatkan periosteum dengan membentuk abses (abses subperiosteal) atau merupakan

pengembangan dari periostitis. Regio subperiosteal, karena sifat anatomisnya yang terbatas mudah

terkena penyebaran infeksi dari tulang atau infeksi yang terjadi sebagai komplikasi setelah operasi

atau setelah mengalami trauma. Apabila periosteum sudah tertembus, maka jaringan di sekitarnya

akan segera dengan cepat terinvasi dan mungkin terjadi selulitis akut. Gejala-gejala yang timbul

yaitu rasa sakit, pembengkakan, trismus, disfagia, limfadenitis, demam, dan malaise, tergantung

pada agresivitas dari agen yang terlibat, kemampuan pertahanan tubuh hospes, dan waktu serta

efektivitas perawatan.1

Gambar 2.8 Penampakan Radiografi dari Proliferasi Periostitis pada Anak, Memperlihatkan
Invasi Lokal dari Periosteum.3
Gambar 2.9 Apabila Infeksi Subperiosteal (Fossa Canina) Terletak di Fasial, biasanya
Terbentuk Abses Akut.

Selulitis. Pada mulanya, pembengkakan yang terjadi pada selulitis terbatas apda daerah

tertentu yaitu satu atau dua ruang fasial yang tidak jelas batasnya (Gambar 2.5). Palpasi pada regio

tersebut biasanya mengungkapkan bahwa konsistensinya sangat lunak dan spongios. Pasien juga

memperlihatkan gejala demam dan malaise. Pada tahap ini akan terjadi leukositosis, dan

meningkatnya laju endap darah (ESR). Apabila pertahanan tubuh menjadi lebih efektif, makan

akan terjadi pembentukan infiltrat regional, dan konsistensi pembengkakan menjadi lebih keras,

atau bahkan seperti papan (board like). Pada saat ini terjadi purulensi dan biasanya difuse (tidak

terlokalisir). Pada tahap ini potensi untuk menyebar dengan cepat ke jaringan sekitarnya sangat

tinggi.1

Kedaruratan. Selulitis akut memerlukan penanganan yang segera, seringkali dengan

meningkatkan dosis analgesik dan antibiotik. Aplikasi panas baik eksternal (kering atau basah)

atau oral dengan menggunakan larutan kumur saline hangat bisa memacu lokalisasi yaitu

membentuk pernanahan. Yang perlu dipertimbangkan secara klinis adalah kapan dan dimana

aplikasi panas tersebut diterapkan. Pernanahan diduga mengikuti aplikasi panas, misalnya

pemanasan eksternal mempercepat terjadinya mata abses pada permukaan kulit, yang
memperlihatkan bahwa sudah waktunya untuk dilakukan drainase. Aspek lain dari aplikasi panas

adalah meningkatnya pembengkakan dengan cepat. Apabila sudah terbentuk mata abses yang

ditunjukkan pula dengan adanya fluktuan/pembentukan abses, maka insisi dan drainase sudah

waktunya untuk dilakukan (Gambar 2.10). Apabila tidak dilakukan drainase pada kondisi tersebut,

maka akan terjadi drainase spontan (pembentukan fistula), yang biasanya melalui daerah yang

tidak diharapkan (Gambar 2.14). Tidak adanya pernanahan pada waktu insisi dan drainase

memperlihatkan bahwa tindakan tersebut dilakukan terlalu awal (prematur), apabila hal itu sudah

terjadi, maka cairan serous atau jaringan lunak yang didapat bisa dikultur. Selain itu, pengurangan

gas abses dan perubahan tekanan oksigen lokal pada jaringan membawa keuntungan tersendiri.1

Gambar 2.10 (A) Setelah Terjadi Fluktuasi, kadang terjadi Pitting Edema; (B) Insisi dan
Drainase dilakukan pada Daerah yang Paling Akurat Setelah dilakukan
Aspirasi untuk Pengambilan Sampel Anaerob.1

Insisi dan drainase. Insisi dan drainase yang melalui kulit biasanya dilakukan oleh

seorang spesialis bedah, sedangkan dokter gigi umum biasanya melakukan insisi melalui mulut.

Antibiotik preoperatif dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya bakteremia dan inokulasi lokal

yang lebih luas. Prinsip-prinsip drainase perkutaneus sama dengan drainase oral untuk abses yaitu

dengan memilih daerah yang beas berdasarkan pertimbangan estetik. Pertama-tama kulit
dipersiapkan dengan menggunakan surgical scrub dan kemudian daerah tersebut diusap dengan

lap/handuk. Kemudian dilakukan anastesi lokal (infiltrasi atau blok maksilar, mandibular, servikal

superfisial baik sendiri maupun kombinasi) dan pemberian sedasi, atau dapat pula dilakukan

dengan anastesi umum. Sebelum dilakukan insisi, dilakukan aspirasi eksudat untuk sampel

pemeriksaan smear dan kultur. Insisi dibuat sejajar dengan haris Langer dari lipatan kulit. Supaya

bisa mencapai kantung-kantung nanah pada ruang-ruang fasial yang jauh letaknya, maka harus

dilakukan diseksi tertutup yang dalam menggunakan hemostat dengan lengkungan yang kecil

(Gambar 2.10).1

Makna keberadaan gas. Insisi juga memungkinkan keluarnya gas busuk yang ada

didalam abses. Gas tersebut merupakan indikasi positif bahwa infeksi disebabkan oleh

mikroorganisme anaerob, karena mikroorganisme aerob umumnya membentuk gas karbon

dioksida yang dengan cepat terdifusi ke dalam jaringan. Suatu drain kret dimasukkan kedalam

rongga abses dan distabilisasi dengan jahitan. Kemudian pada bagian tersebut dilakukan dressing

dengan menggunakan beberapa lapis tampon ukuran 4 x 4 , yang ditempelkan pada tempatnya

dengan menggunakan plester. Apabila sudah dilakukan drainase, aplikasi panas bisa diteruskan

biasanya hanya berupa pemanasan kering (Gambar 2.11)1

Gambar 2.11 Pemasangan Dressing yang Dimodifikasi dimaksudkan untuk Mengurangi


Iritasi dari Plester Jika Drainase masih ada dan perlu Mengganti Dressing
Sampai Berkali-Kali.1
Tindak lanjut. Pada kunjungan kontrol pertama (biasanya setelah 24 jam), dressing

diganti dan bagian yang didrainase diperiksa. Akan lebih baik kalau dilakukan kultur ulang

terhadap bahan drainase, karena flora sangat cepat berubah, khususnya dengan adanya perubahan

jaringan lokal (dari anaerob menjadi aerob). Kadang, perlu dilakukan irigasi pada daerah yang

didrainase. Bahan yang digunakan untuk drainase adalah larutan saline steril, larutan antibiotik

topikal, maupun larutan kimia seperti larutan Dankins yang dimodifikasi (Sodium hypochlorite

yang diencerkan) atau hydrogen peroxide. Semakin ringan larutan irigasi yang digukanakn, akan

semakin memperkecil kemungkinan terjadinya trauma jaringan. Maksud dilakukan irigasi adalah

untuk melarutkan dan membersihkan populasi bakteri, mengeluarkan debris dan jaringan nekrotik.

Pasien dianjurkan untuk memperhatikan perubahan-perubahan subjektif yang terjadi dan

mengukur temperatur rongga mulut. Sebelum memasang dressing tulang (redresing) sebaiknya

bagian tersebut dibersihkan terlebih dahulu. Apabila kondisi pasien memuaskan, terapi antibiotik

diteruskan dengan dosis yangs ama sambil menunggu hasil tes sensitivitas antimikrobial. Pada

kunjungan berikutnya, dilakukan tindakan yang sama seperti sebelumnya, dan drain dilepas

apabila drainase tidak diperlukan lagi, atau biasanya setelah 3-5 hari. Bagian yang didrainase tidak

dilakukan penjahitan karena penyembuhan biasanya berlangsung cepat dengan sedikit jaringan

parut.1

Tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya yang menonjol sehubungan dengan

memburuknya kondisi meliputi peningkatan temperatur yang persisten, perubahan denyut nadi dan

tekanan darah, penyebaran ke daerah lainnya, trismus dan disfagia yang semakin parah dan

membahayakan gangguan pernapasan. Gejala serta tanda darurat ini memperlihatkan

memburuknya keadaan dan kemungkinan dibutuhkannya perawatan di rumah sakit dan

penanganan serius yang segera, misalnya mempertahankan jalan napas (mungkin intubasi
endotrakeal, trakeostomi), terapi antibiotik dosis tinggi secara intravena, drainase (jika belum

dilakukan atau untuk drainase tambahan), pemantauan, dan perawatan pendukung yang memadai.1

2.8.1.3 Infeksi Jaringan Keras

Osteitis akut. Apabila tidak terjadi dry socket, osteitis akut pada struktur tulang orofasial

tidak akan terjadi. Walaupun salah satu etiologi alveolitis adalah mikroorganisme, keberadaannya

dimanifestasi dengan adanya respon inflamasi akut dan kadang pernanahan serta kehancuran

jaringan tulang. Walaupun regio molar bawah paling sering terkena, tetapi hal ini bisa saja terjadi

pada setiap tempat dimana dilakukan pencabutan gigi. Penatalaksanaannya terdiri dari irigasi

saline normal, pemeriksaan dan pemasangan dressing yang mengandung obat-obatan. Setelah

terjadinya serangan mendadak dan diberi perawatan pendahuluan yang memadai, perkembangan

dari kebanyakan kasus alveolitis umumnya tidak berbahaya. Apabila kondisinya tidak mengalami

perubahan sampai jangka waktu tertentu, pada kasus biasa seharusnya sudah terjadi kesembuhan

(4-5 hari), maka terdapat kemungkinan sudah menjadi osteomielitis alveolar akut. Hal ini

merupakan kondisi yang sangat menyakitkan dan oleh pasien diduga sebagai dry socket yang

kambuh kembali. Pemeriksaan alveolus menunjukkan tidak adanya bekuan darah sama sekali

dengan dinding alveolar yang terbuka dan nyeri, inflamasi yang nyata pada gingiva disekitarnya

dan kadang-kadang ada sedikit pernanahan. Rontgen periapikal akan memperlihatkan adanya

demineralisasi dinding alveolar dan penutupan dini dari daerah bekas pencabutan yang dilakukan

dengan normal (Gambar 2.12). Lamina dura yang tersisa nampak tidak jelas atau kabur (seperti

termakan rayap).1
Gambar 2.12 Osteomielitis Akut yang Terjadi Setelah Pencabutan Gigi. Nampak Gambaran
Kerusakan Dini dari Struktur Anatomis. Penampakan Radiografi yang Masih Tersisa hanya
Lamina Dura (Tanda Panah).1

Perawatan. Perawatan yang sesuai untuk osteomielitis alveolar akut adalah terapi

antibiotik, dan pembersihan atau sauserisasi. Osteomielitis alveolar akut bisa terjadi dari infeksi

periapikal, periodontal, dan perikoronal, baik akut maupun kronis. Apabila suatu abses tidak

sembuh dalam jangka waktu tertentu seperti yang diharapkan, disertai dengan tanda-tanda

meningkatnya rasa sakit yang nyata, maka perlu dilakukan pemeriksaan radiografis karena

terdapat kemungkinan abses sudah berkembang menjadi osteomielitis akut1


Gambar 2.13 (A) Timbulnya Osteomielitis Alveolar Akut Ditandai dengan Adanya Rasa Sakit
pada Gigi yang Membuat Dilakukannya Terapi Endodontik. Perhatikan Adanya Kehancuran
Tulang Interradikular; (B) Kira-Kira 6 bulan Kemudian, Proses Infeksi yang Agresif, yang Saat
ini Menjadi Subakut (Kronis) akan Mengakibatkan Kehancuran Tulang yang Meluas. Bercak-
Bercak Radioopak disebabkan oleh Bahan-Bahan Packing yang Ditempatkan pada Saat
Sekuesterektomi atau Sauserisasi; (C) Tempat Sauserisasi Diperlihatkan Setelah Packing
Dilepas. Perhatikan Terbentuknya Jaringan Lunak yang Membatasi Daerah Tulang yang Rusak
(Tanda Panah), yang bisa Dipakai Untuk Menandai Infeksi dan Permulaan dari Regenerasi
Tulang; (D) Pemeriksaan 9 bulan Pasca-Bedah Memperlihatkan Adanya Regenerasi Tulang
(Tanda Panah).1

Osteomielitis akut. Osteomielitis akut merupakan suatu komplikasi yang jarang terjadi

dari suatu tindakan bedah, fraktur mandibula, maupun trauma lainnya, yang menyebabkan

kehancuran sejumlah besar tulang yang berlangsung dengan cepat (Gambar 2.13). Hilangnya

tulang tersebut nampaknya melalui proses demineralisasi atau peleburan tulang, dan bukannya

melalui pembentukan sekuester seperti pada osteomielitis kronis. Perjalanan penyakit biasanya

mendadak dan durasinya pendek, ditandai dengan pembengkakan yang besar dan drainase nanah

yang nyata. Penatalaksanaannya serupa dengan abses akut, yaitu meliputi kulturm drainasem dan
terapi antibiotik. Dengan perawatan konservatif (tetap mempertahankan periosteum), sebagian

besar tulang yang hancur akan mengalami regenerasi. Apabila perawatan, daya tahan hospes, atau

keduanya tidak memadai, maka keadaan tersebut akan berkembang menjadi subakut atau kronis.1

2.8.2 Infeksi Orofasial Kronis

Sifat kronis dari suatu infeksi ditetapkan oleh virulensi mikroorganisme, pertahanan tubuh

hospes, bagian yang diserang, terapi, dan durasi. Patogen yang virulensinya tinggi cenderung

menimbulkan infeksi akut, sedangkan yang virulensinya rendah cenderung menimbulkan infeksi

yang bersifat kronis. Dengan pertahanan tubuh hospes yang efektif atau terapi yang benar, suatu

infeksi akut dapat dikurangi menjadi subakut atau kronis, dapat bertahan seperti itu, atau akhirnya

sembuh. Durasi yang lama dan sifat yang kronis hampir sinonim dan mengandung makna bahwa

keseimbangan hospes atau patogen mengalami gangguan. Indikator klinis utama pada jaringan

lunak sehubungan dengan kekronisan adalah terbentuknya jaringan granulasi dan terjadinya

fistulasi yang dapat mendrainase daerah yang mengalami infeksi kronis (Gambar 2.14).1

Gambar 2.14 Sonde Dimasukkan ke Dalam Fistula Fasial yang Berhubungan Dengan
Abses Periapikal Kronis.1
2.8.2.1 Infeksi Jaringan Lunak

Lingkungan. Infeksi kronis pada regio orofasial biasanya melibatkan jaringan periodontal

atau mukosa. Jaringan pendukung gigi dan jaringan pembatas rongga mulut terpapar lingkungan

yang serupa misalnya kehangatan dan kelembabannya merupakan tempat dari mikroorganisme

patogen, terpapar terus-menerus terhadap trauma fisik, ataupun kimia (rokok, makanan yang

pedas, dan lain-lain), keberadaan debris (plak). Walaupun epitelium secara teratur mengalami

pergantian, tetapi perubahan virulensi flora, gangguan lokal terhadap keutuhan jaringan, gangguan

pertahanan sistemik, atau kombinasi dari hal-hal diatas, dapat memungkinkan terjadinya kondisi

kronis yang infeksius.1

Gambar 2.15 (A) Kandidiasis yang Terjadi pada Pasien yang Sedang Menjalani Pengobatan
dengan Penicillin; (B) Infeksi ini juga Melibatkan Mukosa Palatum dan Bukal.1

Candida. Organisme yang sering menyebabkan terjadinya infeksi jaringan lunak adalah

golongan jamur dan yang paling sering adalah Candida. Apabila seseorang sedang menjalani terapi

antibiotik, steroid, obat-obatan imunosupresif, maupun obat-obatan kemoterapeutik, terapi radiasi

maupun menderita penyakit tertentu (AIDS, diabetes), Candida yang terdapat didalam rongga

mulut memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjadi parasit. Akibatnya, terjadi stomatitis,

yang pada tingkatan subakut ditandai dengan adanya plak berwarna putih, krem, atau keabu-abuan

yang tersebar pada membran mukosa (Gambar 2.15). Bercak tersebut dikelilingi oleh cincin
eritematus (kemerahan). Apabila bercak dikupas, pada dasarnya akan terlihat daerah yang

mengalami inflamasi hebat. Meskipun demikian, bentuk kandidiasis kronis yang umumnya terjadi

pada orang dewasa ditandai dengan adanya mukosa bukal yang berwarna merah dan kering, lidah

merah, kasar, dan mengkilat, terbentuk alur-alur, retak-retak pada lidah, dan pembengkakan.

Candida biasanya juga berperan pada hiperplasia inflamatori papila, kheilitis angularis (perleche),

dan median rhomboid glossitis.1

Penatalaksanaan. Penatalaksanaanya dengan diberikan ketoconazole oral (Nizoral),

mengubah kondisi penyebab sistemik, apabila memungkinkan misalnya dengan meningkatkan

pengawasan diabetesnya, menurunkan dosis, menghentikan terapi steroid, atau terapi antibiotik

berspektrum luas. Salep atau suspensi larutan nistatyn (Mycostatin) cukup efektif untuk terapi

kandidiasis mulut yang terlokalisir seperti kheilitis angularis, dan hiperplasia papila. Gigi tiruan

lepasan bisa menjadi penyebab terjadinya infeksi ulang, olh karena itu harus dibersihkan dengan

baik. Kadang-kadang merendam protesa dalam larutan nistatin semalam dapat membantu

mengatasi kandidiasis kronis.1

Infeksi mikotik yang lain. Infeksi mikotik yang lain yang agak serius adalah

histoplasmosis, disebabkan oleh jamur seperti ragi, Histoplasma capsulatum. Hal ini merupakan

penyakit sistemik yang mempunyai kecenderungan untuk kekambuhan, dan terutama melibatkan

paru-paru. Manifestasinya pada paru-paru adalah nekrosis segmental, atau pneumonitis

granulomatus pada lobus paru-paru. Dalam bentuk kronis manifestasinya adalah demam, badan

lemah, menurunnya berat badan, hepatosplenomegali, leukopenia, dan ulserasi membran mukosa.

Lesi-lesi mulut (nodular, ulseratif, vegetatif), mungkin merupakan tanda-tanda awal penyakit ini,

dan biasanya terdapat pada lidah, bibir, pipi, mukosa, dan orofaring. Amphotericin B merupakan

obat pilihan untuk perawatan histoplasmosis. Obat ini diberikan secara intravena dengan dosis
250-500 mg untuk 2-3 minggu. Toksisitas sistemik obat ini bisa dikurangi dengan premedikasi

600 mg aspirin dan 25-50 mg diphenhydramine (Benadryl). Ketoconazole (Nizoral), yang

diabsorbsi lewat mulut dengan baik, juga dianjurkan untuk perawatan infeksi-infeksi jamur

sistemik dan memperlihatkan hasil yang sangat baik. Pertimbangan yang harus dipikirkan pada

penggunaan ketoconazole adalah sifatnya hepatotoksis.1

Aktinomikosis. Aktinomikosis disebabkan oleh bakterium berbentuk batang gram positif,

dan anaerob, yaitu Actinomyces israelii yang memiliki beberapa karakteristik seperti jamur

sederhana, yaitu kecenderungan membentuk koloni dan filamen didalam jaringan. Organisme

yang serupa tetapi bersifat aerob yaitu Nocardia (noardiosis) menimbulkan gejala yang hampir

sama dengan actinomyces. Respons jaringan pada aktinomikosis dan noardiosis adalah

granulomatus kronis dengan pernanahan dan nekrosis. Walaupun aktinomikosis dapat terjadi pada

setiap tempat didalam tubuh, tetapi yang paling sering terserang adalah regio servikofasial,

khususnya rongga mulut. Apabila bukan sebagai komplikasi dari trauma atau tindakan bedah

biasanya bersifat tersembunyi dan dikenali pertama sebagai suatu pembengkakan persisten yang

terjadi pada regio submandibular. Selanjutnya, pembengkakan akan mengeras seperti papan, dan

kulit yang menutupinya berwarna merah tua atau ungu, dan akan terbentuk abses serta timbul

drainase pada beberapa tempat.1

Gambar 2.16 Fotografi Klinis Aktinomikosis.3


Perawatan. Perawatan aktinomikosis dengan pemberian penicillin intravena dosis tinggi

(10-12 juta unit/hari selama 7-10 hari diikuti dengan penicillin oral 3-6 bulan). Bila pasien

memiliki alergi terhadap Penicillin, maka dapat diberikan Tetracyclin dengan cara intravena

maupun oral yang serupa. Pemberian antibiotik jangka panjang ini dimaksud untuk mencegah

terjadinya kekambuhan.1

Scrofula. Scrofula adalah terserangnya limfonodus servikal oleh Mycobacterium,

termasuk spesies organisme yang menyebabkan TBC dan Leprosi. Bakteri ini mempunyai sifat

pewarnaan khusus yaitu bila diwarnai maka tidak berubah warna (acid-fast). Ciri-ciri ini

merupakan ciri umum pada beberapa organisme termasuk Nocardia. Bakteri acid-fast yang atipikal

(AFB), terkadang terlibat pada infeksi granulomatus yang kronis dan persisten di regio

submandibular misalnya scrofula. Reaksi Purified Protein Derivative (PPD) akan positif apabila

terjadi infeksi. Perawatan scrofula dengan ekstirpasi fluktuan atau drainase nodus (Gambar 2.16).

Terdapat dua jenis obat yang digunakan dalam kasus ini yaitu INH (isoniazid) dan Streptomycin

yang diberikan dalam waktu yang cukup lama, juga selain itu juga dilakukan penatalaksanaan anti-

tuberkulosis.1

Gambar 2.17 (A) Abses Submandibular yang Kronis Berlangsung Selama Lebih dari
Setahun. Bahan Hasil Aspirasi Memperlihatkan adanya Bakteri acid-fast yaitu Mycobacterium
Atipical; (B) Jaringan Parut Memperlihatkan Luas Eksisi yang Diperlukan untuk Perawatan
Scrofula.1
Abses submandibular pada anak. Suatu abses submandibular idiopatik yang etiologinya

bukan berasal dari gigi dan bisa terjadi pada anak-anak (Gambar 2.17). Infeksi ini menyerang

anak-anak kecil yang berumur satu hingga delapan tahun. Organisme yang dominan adalah

Staphylococcus aureus, dan tidak ada kaitannya dengan infeksi primer dari mulut, gigi, tonsilar,

telinga, atau kulit kepala. Dari riwayat penyakitnya didapatkan bahwa penderita mengalami

penyakit febril yang mengawali terjadinya abses, kira-kira 3-6 bulan. Perawatan yang dapat

dilakukan adalah dengan insisi dan drainase, serta terapi antibiotik (Penicillin).1

Gambar 2.18 Abses Submandibular Idiopatik pada Anak-Anak, yang Tidak Memperlihatkan
Adanya Etiologi Oral atau Faringeal. Abses Terjadi Setelah Infeksi Saluran Pernapasan Bagian
Atas yang Hebat.1

Gambar 2.19 Vesikel yang Besar Memperlihatkan Adanya Herpes Labialis Kambuhan (HSV-1).1

Herpes. Herpes labialis kambuhan merupakan manifestasi yang sering timbul pada infeksi

herpes simpleks (HSV-1). Selain itu, dapat timbul prodromal rasa terbakar dan rasa sakit yang
hebat, yang kadang-kadang disertai neuralgia yang terlokalisir. Pada tahap selanjutnya,

terbentuknya vesikel yang berkelompok dan memiliki kecenderungan kambuh pada tempat yang

sama. Mungkin terjadi adenopati servikal yang menyertai keberadaan vesikel-vesikel tersebut.

Adanya herpes yang aktif merupakan kontraindikasi dilakukan tindakan bedah. Seperti telah

diterangkan terdahulu, belum ada obat efektif untuk memberantas virus. Hal ini berarti bahwa

belum mampu untuk menyembuhkan herpes mulut kambuhan (Gambar 2.18).1

2.8.2.2 Infeksi Jaringan Keras

Osteomielitis. Osteomielitis adalah inflamasi difus yang mengenai periosteum, tulang

kortikal, dan komponen-komponen tulang kanselus. Osteomielitis dikelompokkan menjadi akut

dan kronis, supuratif atau non-supuratif, sklerotik, dan berdasarkan etiologi spesifiknya

(tuberkulosis, aktinomikosis, atau radiasi). Invasi bakterial pada tulang berasal dari organisme

yang terdapat pada abses atau selulitis yang terjadi didekatnya, inokulasi melalui tindakan bedah

maupun trauma atau penyebaran hematogen. Organisme penyebab adalah Staphylococcus, dan

osteomielitis dahulu diduga merupakan furunkel pada tulang. Pemeriksaan kultur yang lebih

lengkap sering mengungkapkan adanya infeksi polibakterial dan kemungkinan terlibatnya

mikroorganisme anaerob. Pada kasus tertentu perlu dilakukan kultur beberapa kali khususnya pada

infeksi yang berlangsung sangat lama. Diantara kondisi-kondisi sistemik yang merupakan

predisposisi osteomielitis kronis adalah penyakit Paget pada tulang atau anemia sel sabit (Gambar

2.19). Pada kedua penyakit tersebut, perubahan patologis pada tulang akan mengurangi ketahanan

lokalnya, seperti berkurangnya vaskularisasi yang menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan

lokal dan nekrosis.1


Gambar 2.20 Pembentukan Sekuester (Tulang Nekrotik) yang Diperlihatkan Tanda Panah pada
Pasien yang Menderita Penyakit Paget.1

Osteomielitis kronis. Osteomielitis kronis biasanya tidak disertai rasa sakit yang hebat,

tetapi hanya perasaan tidak nyaman saja. Pembengkakan yang terjadi ukurannya bervariasi, dan

biasanya berhubungan dengan fistula dan drainase nanah. Kadang-kadang disertai demam ringan

atau malaise. Pemeriksaan radiografis pada penyakit yang sudah lama memperlihatkan adanya

sekuester (pulau-pulau tulang nekrotik dari yang ukurannya sangat kecil, 1 cm sampai yang

mengenai sebagian besar rahang) yang dikelilingi oleh daerah radiolusen dan kadang-kadang

saluran osteolitik yang saling berhubungan. Osteomielitis sklerotik baik superiosteal maupun

endosteal, menunjukkan daerah-daerah perubahan radioopak (Gambar 2.20).1

Gambar 2.21 (A) Ostetomielitis Kronis yang Persisten pada Anak Berumur 9 Tahun,
Menyebabkan Terjadinya Sekuester yang Mengenai Sebagian Besar Ramus.
Perhatikan Involucrum yang Mengalami Ekspansi (Tanda Panah);
(B) Osteomielitis Kronis pada Anak-Anak yang Manifestasinya berupa Reaksi
Subperiosteal, Misalnya Osteomielitis Garre.1
Pembedahan. Perawatan osteomielitis terdiri dari terapi antibiotik yang sesuai, yang

didasarkan pada kultur, smear, dan tes sensitivitas yang didukung dengan tindakan bedah yang

dilakukan pada waktu yang tepat serta terapi pendukung yang baik (Gambar 2.22). Penentuan

waktu untuk melakukan tindakan bedah sangatlah penting, terutama untuk sequesterektomi.

Tulang nekrotik yang terjadi selama terserang osteomielitis harus dikeluarkan secara pembedahan

karena merupakan benda asing. Apabila sequesternya kecil, pengambilan secara intra oral dan

sederhana, tetapi apabila melibatkan daerah yang luas dilaukan dengan diseksi perkutaneus yang

lebar. Ukuran dan sifat tertentu dari sequester dapat sedemikian rupa sehingga sequester harus

dipecah (seperti pada pengeluaran gigi impaksi) sehingga memudahkan pengeluaran dan

memungkinkan untuk dipertahankannya lebih banyak tulang normal disekitarnya. Sequester juga

terdapat pada kripta tulang reaktif yang dikelilingi jaringan tulang dan disebut involucra (Gambar

2.23). Jaringan lunak disekitarnya yang biasanya merupakan jaringan granulasi juga dikeluarkan.

Involucrum dibentuk kembali dengan menggunakan rongeur atau bur untuk menghilangkan tepi-

tepi yang tajam dan mengurangi volumenya (sauserisasi). Kemudian daerah tersebut diirigasi

dengan larutan antibiotik topikal (Neomycin/Bacitracyn/ Kanamycin) dan dilakukan packing

dengan pembalut kasa yang mengandung antibiotik (salep Bacitracyn). Pembalut dipertahankan

selama 3-5 hari, tergantung respons klinis atau diganti dua atau tiga kali.1
Gambar 2.22 (A) Osteomielitis Subakut/Kronis pada Pasien Fraktur Parasimpisis yang
Perawatannya Tertunda selama 5 Minggu; (B) Kerusakan pada Tulang Terlihat
Setelah Dilakukan Pembersihan dan Pemasangan Arch Bar Mandibular; (C) Setelah
Imobilisasi Selama 8 Minggu dengan Fiksasi Maksilomandibular, nampak
Regenerasi Tulang yang Nyata (Tanda Panah).1

Dekortikasi. Apabila sekuestrasi terjadi dengan lambat atau difus, atau tidak terjadi sama

sekali maka perlu dilakukan dekortikasi. Dekortikasi biasanya memerlukan pengambilan segmen

lateral/korteks bukal dari mandibula dan pembersihan. Bisa dibantu dengan injeksi fluoroscein

intravena (bahan pewarna vital) untuk menggambarkan tulang yang nekrotik. Sedangkan uji klinis

yang paling bisa diandalkan untuk tulang vital adalah perdarahan tulang. Selain pengambilan

tulang nekrotik, dekortikasi juga memaparkan daerah yang terinfeksi yang vaskularisasinya relatif
lebih sedikit sampai pada daerah jaringan lunak disekitarnya yang tervaskularisasi dengan baik.

Keberhasilan terapi antibiotik tergantung pada jenis antibiotik yang dapat mencapai daerah infeksi

dalam konsentrasi yang efektif. Tentu saja, gangguan pasokan darahg akan mengurangi

keefektifan ini, selain mengganggu daya tahan lokal alami. Setelah tindakan bedah, pasien harus

diberi makanan dan minuman yang cukup dan bergizi karena saat ini adalah sangat kritis yaitu bisa

menentukan apakah osteomielitis dipantau secara klinis, laboratoris, dan radiografis. Sering

drainase tampak terhenti atau pembengkakan hilang, tetapi hasil pemeriksaan radiografis

memperlihatkan hal sebaliknya sehubungan dengan remineralisasi atau regenerasi tulang.1

Gambar 2.23 Kasus Osteoradionekrosis Memperlihatkan Adanya Kerusakan Tulang dan


Pembentukan Sekuester yang Besar.1

Oksigen tekanan tinggi (hiperbarik). Oksigen hiperbarik sangat sesuai untuk perawatan

osteomielitis yang resisten atau membandel. Dasar pemikiran perawatan dengan menggunakan

oksigen hiperbarik ini adalah untuk meningkatkan tekanan oksigen dalam jaringn. Manfaat lainnya

adalah memperbaiki vaskularisasi dan perfusi oksigen, yang menimbulkan efek batkeriosidal atau

bakteriostatik. Selain itu, cara ini juga dapat meningkatkan aktivitas fibroblastik dan osteogenik.

Ada beberapa cara memberikan oksigen hiperbarik. Biasanya digunakan tekanan absolut 2-3

atmosfir selama 1-3 jam setiap 6-8 jam. Pemakaiannya secara keseluruhan berkisar antara 80
sampai lebih dari 130 jam. Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi penunjang dan bukan

pengganti terapoi antibiotik atau tindakan bedah untuk osteomielitis.1

Tabel 2.4 Oksigen Hiperbarik (HBO).1

Patogenesis osteoradionekrosis. Osteoradionekrosis adalah bentuk osteomielitis akut

atau kronis yang pada kebanyakan kasus sebenarnya dapat dilakukan pencegahan. Terapi radiasi

apda struktur orofasial akan mengubah suplai darah ke regio tersebut dan berkurangnya aliran

saliva. Suplai darah berkurang karena endotelium sensitif sehingga mudah terionisasi oleh radiasi,

menyebabkan proliferasi tunika intima dan fibrosis. Jaringan glandula saliva cenderungs ama

apabila mengalami radiasi. Apabila suatu dosis tumorisidal (6000 rad atau cGy) digunakan pada

perawatan orofasial, bisa menimbulkan kerusakan vaskularisasi mandibular (maksila mempunyai


suplai darah kolateral yang lebih baik) dan secara nyata mengurangi aliran saliva. Radiasi dapat

menimbulkan mukositis, sehingga pembersihan mulut hampir tidak dapat dilakukan. Kombinasi

menurunnya produksi saliva, gangguan sistem buffer saliva, dan hiegine mulut yang jelek akan

mengakibatkan timbulnya karies radiasi, biasanya timbul mula-mula pada tepi gingiva dengan

cepat menyebar kearah koronal. Apabila dilakukan pencabutan gigi akan terjadi invasi bakteri,

yang menyebabkan terjadinya infeksi serta gangguan mekanisme pertahanan tubuh dan perubahan

sifat tulang, yang akan mengakibatkan osteoradionekrosis (Gambar 2.24).1

Gambar 2.24 (A) Hilangnya Detail Arsitektural, Kerusakan Tulang yang Luas, dan Fraktur
Patologis (Tanda Panah) adalah Gambaran dari Osteoradionekrosis; (B) Perawatan dengan
Menggunakan Oksigen Hiperbarik dan Sekuesterektomi dapat Menghentikan Proses Patologis
dan Menyatukan Kembali Mandibula dari Keadaan Fraktur.1

Profilaksis osteoradionekrosis. Tindakan pencegahan tergantung pada evaluasi terhadap

gigi dan penatalaksanaan pada tahap pra-radioterapi. Semua pencabutan yang diperlukan dan

alveolektomi dilakukan terlebih dahulu, diikuti penutupan mukoperiosteum. Pelaksanaan terapi

radiasi sebaiknya ditunda 2-3 minggu setelah pencabutan gigi. Insidens karies radiasi dapat
dikurangi atau dihilangkan dengan aplikasi gel fluorid (Sodium fluoride netral 0.5%) setiap hari,

menggunakan sendok cetak perorangan. Iritasi dari geligi tiruan yang kelihatannya ringan

sekalipun tetap bisa menyebabkan terjadinya osteoradionekrosis pada pasien yang menerima terapi

radiasi. Kunci keberhasilan pada periode pasca-radiasi terletak pada mencegah trauma terhadap

struktur tulang (iritasi protesa) dan pencabutan gigi. Apabila pencabutan gigi tidak bisa dihindari,

maka harus dibantu dengan pemberian profilaksis antibiotik dan kalau perlu ditambah dengan

terapi oksigen hiperbarik. Perawatan untuk kasus osteoradionekrosis meliputi terapi antibiotik,

sekuesterektomi, reseksi mandibula subtotal, dan terapi oksigen hiperbarik. Bila alasan utama atau

tujuan perawatan pada terapi penyakit ganas adalah peningkatan kualitas hidup, maka terjadinya

osteoradionekrosis akan mengurangi arti keberhasilan perawatan.1

2.9 Penatalaksanaan Pasien dengan Infeksi Odontogenik

Semua infeksi orofasial yang serius memerlukan rawat-inap, hal ini disebabkan karena

perkembangan dari banyak infeksi dapat dipersingkt atau operasi yang dibutuhkan dapat dilakukan

dengan lebih aman dan mudah di rumah sakit.1

Perawatan Ludwig’s angina. Ludwig’s angina ditandai dengan infeksi atau selulitis

bilateral yang parah, yang mengenai regio servikal, sublingual, submandibular, disertai pergeseran

posisi lidah dan kemungkinan tersumbatnya saluran pernapasan (Gambar 2.25). Ludwig’s angina

merupakan kondisi yang sangat berbahaya dan pasien harus dirawat-inap untuk mendapatkan

terapi antibiotik intravena, prosedur bedah yang ekstensif untuk drainase, dan pemantauan yang

teratur. Keuntungan lain dari rawat inap adalah lebih mudah untuk melakukan pengambilan

radiograf, pemeriksaan laboratorium, dan berbagai tindakan konsutatif lainnya. misalnya

pemeriksaan CT bisa mengungkapkan adanya gas (emfisema pada jaringan lunak) dalam jaringan
atau kantung-kantung nanah yang tidak terdeteksi sebelumnya. Karena dekatnya letak sarana

laboratorium, maka dapat dilakukan pengiriman bahan untuk kultur (khususnya untuk

pemeriksaan terhadap bakteri anaerob) dengan cepatr misalnya, sampel jaringan dan darah.

Perhitungan sel-sel darah lengkap (CBC), hemoglobin, hematokrit, ESR, dan penentuan eletrolit

serum (hal ini sangat kritis apabila pasien menerima terapi cairan intravena) yang sering atau

dilakukan setiap hari, semuanya bisa dilakukan dengan mudah. Barangkali keuntungan utama dari

rawat inap adalah tersedianya pelayanan rujukan, terutama untuk penyakit menular, terapi

respiratorik, dan diabetik. Tempat yang paling baik untuk melakukan perawatan adalah rumah

sakit.1

Gambar 2.25 Ludwig’s Angina Merupakan Selulitis Akut yang Sangat Berbahaya dengan
Perluasan ke arah Leher dan Melibatkan Ruang Submandibular, Sublingual,
dan Submental Bilateral.1
Tabel 2.5 Penyebaran Infeksi Orofasial yang Berbahaya.1
2.9.1 Prinsip Penanganan Infeksi Odontogenik

1. Prinsip I : Penilaian berat ringannya tingkatan infeksi

Dokter gigi harus menanyakan riwayat asal rasa sakit, riwayat sakit gigi dan sakit kepala, asal,

lamanya, intensitas, termasuk trauma pada jaringan yang terinfeksi serta terapi awal yang telah

dilakukan, serta efek terapi tersebut. Ditanyakan pula riwayat rekurensi dari infeksi, riwayat

penyakit sebelumnya dengan infeksi, atau infeksi dengan respon yang tidak sesuai. Juga harus
dicatat adanya kesulitan membuka mulut, kesulitan menelan, hipersalivasi, perubahan suara, dan

kesulitan bernapas, serta bau mulut.2

Tabel 2.6 Batas Lokasi Anatomi pada Spasium di Regio Kepala dan Leher.3

Tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam menentukan tingkat keparahan

infeksi kepala dan leher adalah lokasi anatominya, tingkat progresifitas penyakit, dan gangguan

saluran napas. Dalam lima menit pertama saat dokter berinteraksi dengan pasien infeksi baik

melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, dokter harus dapat menentukan ketiganya. Spasium

anatomi pada kepala dan leher dapat menentukan tingkat berat ringannya suatu infeksi. Suatu

infeksi dinilai berat jika mengancam saluran udara atau stuktur vital seperti jantung dan

mediastinum. Biasanya pembengkakan berada di lokasi yang secara langsung menyumbat atau

menyimpangkan jalan nafas dan struktur vital. Infeksi pada lokasi anatomi yang dapat
menghambat akses ke saluran napas karena bengkak atau trismus dapat diklasifikasikan memiliki

tingkat keparahan moderat. Sedangkan infeksi yang mengenai spasia bukal, infra orbital vestibular

dan subperiosteal memiliki tingkatan keparahan ringan.3

Hal pertama yang harus dilakukan dokter gigi dalam menghadapi pasien dengan infeksi

adalah dengan memperhatikan tanda-tanda vital, meliputi temperatur, tekanan darah, nadi, dan

pernapasan. Temperatur pada pasien dengan infeksi sistemik biasanya meningkat, nadi bertambah

cepat sesuai dengan peningkatan temperatur pasien. Kecepatan nadi yang meningkat lebih dari

100 kali permenit merupakan hal yang tidak biasa pada pasien dengan infeksi. Jika didapatkan

kecepatan nadi lebih dari 100 kali permenit, pasien tersebut kemungkinan harus segera ditangani

dengan lebih agresif karena penyakitnya tersebut sudah berat.2

Dalam wawancara dengan pasien infeksi, ahli bedah dapat menilai tingkat progresifitas

penyakit dengan bertanya tentang onset pembengkakan, rasa sakit dan membandingkannya

berulang kali dengan tanda dan gejala yang ada saat ini pada pasien. Penyebab kematian utama

pada infeksi odontogenik adalah obstruksi jalan nafas. Oleh karena itu, dokter bedah harus menilai

saluran udara saat ini atau yang akan datang. Obstruksi jalan napas lengkap adalah suatu keadaan

darurat bedah. Kemudian dalam menghadapi pasien infeksi kita perlu memperhatikan tanda-tanda

vitalnya yang meliputi tekanan darah, nadi, suhu dan respirasi. Temperatur pada penderita infeksi

sistemik biasanya meningkat, nadi dapat bertambah sesuai dengan peningkatan suhu. Kecepatan

nadi yang meningkat lebih dari 100 kali permenit merupakan hal yang tidak biasa pada penderita

infeksi dan perlu untuk segera ditangani lebih agresif.3

Peningkatan tekanan darah sistolik dapat terjadi jika ada sakit yang sangat dan adanya

kecemasan. Pada keadaan syok sepsis tekanan darah dapat tujun baik sistolik maupun diastolik.

Kecepatan respirasi pada pasien harus diobservasi. Salah satu hal yang dapat terjadi pada pasien
dengan infeksi fasialis adalah obstruksi saluran napas. Sebagai akibat obstruksi faring karena

penyebaran infeksi yang menyebabkan penyumbatan faring maupun akibat terangkatnya lidah.

Pada saat memonitor pernapasan juga harus dipastikan apakah saluran napas atas bersih dan pasien

dapat bernapas tanpa kesulitan. Kecepatan pernapasan yang normal antara 14 sampai 16 kali

permenit. Pasien dengan infeksi ringan dan sedang dapat meningkat antara 18 sampai 20 kali

permenit.2

Pasien dengan tanda-tanda vital yang normal hanya dengan peningkatan suhu yang ringan

biasanya mudah untuk ditangani. Pasien dengan tanda vital yang tidak biasa dengan peningkatan

suhu, nadi, dan pernapasan harus diperhatikan dan ditangani dengan agresif.(2) Pasien dengan nilai

abnormal pada dua tanda vitalnya harus diperhatikan lebih serius dan mendapat penanganan yang

segera.3

Tindakan utama pada pasien juga meliputi inspeksi, palpasi, dan perkusi. Leher dan kepala

dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya edema. Pasien diminta untuk membuka mulut,

menelan, dan menarik napas yang dalam untuk mengetahui adanya disfungsi. Bilamana ditemukan

pembengkakan atau edema maka lakukan palpasi untuk mengetahui konsistensi apakah

keras/indurasi, lunak atau sudah ada fluktuasi yang memperlihatkan adanya pus pada jaringan yang

mengalami pembengkakan. Seringkali terlihat adanya pembengkakan, kemerahan, fiksasi dari

kulit atau mukosa pada tulang yang menutupinya dan juga penyebaran ke sinus. Dilakukan

pengukuran besarnya pembengkakan secara tiga dimensi.2

Palpasi digunakan untuk menegaskan ukuran, rasa sakit, suhu lokal, adanya fluktuasi dan

keterlibatan tulang disekitarnya dan juga kelenjar ludah. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap

kelenjar limfe regional dengan cara visual dan palpasi pembesaran, rasa sakit, kemerahan, dan
suhu, serta konsistensinya. Kelompok kelenjar limfe yang membesar biasanya membantu

menunjukkan struktur yang berkaitan.2

Tabel 2.7 Hubungan antara Spasium pada Regio Kepala dan Leher.3
Tabel 2.8 Penilaian Tingkatan Infeksi Odontogenik pada Spasium Fasial.3

Secara intra oral dilakukan pemeriksaan dan pencatatan derajat trismus dengan mengukur

jarak inter insisal. Gigi-geligi dihitung jumlahnya, karies dan jumlah tambalan, lokasi

pembengkakan dan fistula, perubahan warna, adanya kegoyangan gigi, dan daerah post ekstraksi.

Perkusi jaringan dengan menggunakan instrumen dilakukan untuk melihat hipersensitivitas gigi.

Jika gigi sumber infeksi tidak ditemukan maka dianjurkan penggunaan vitalitester untuk mencari

gigi tersebut.2 Saluran kelenjar ludah parotis dan submandibular diperhatikan apakah ada

pengeluaran pus dari daerah tersebut. Diperhatikan pula palatum, tonsil, dan orofaring apakah

terdapat perubahan jaringan dan pengeluaran pus dari daerah tersebut.2 Setelah dilakukan

pemeriksaan harus dilakukan penegakan diagnosis apakah pasien tersebut menderita suatu abses
atau selulitis. Diagnosa yang tepat dan benar akan sangat membantu didalam memberikan

perawatan yang maksimal. Berikut ini adalah perbedaan mendasar antara abses dan selulitis.2

Tabel 2.9 Perbedaan antara Selulitis dan Abses.2

2. Prinsip II : Evaluasi tingkatan dari mekanisme pertahanan tubuh pasien

Bagian dari evaluasi riwayat medis pasien adalah untuk menentukan kemampuan pasien

untuk melawan infeksi. Beberapa penyakit dan beberapa tipe obat yang digunakan mungkin

memperparah keadaan pasien yang lemah (compromised patient) seringkali terkena infeksi dan

infeksi akan menjadi berat dan lebih parah. Oleh karena itu untuk mengatasi infeksi dengan efektif

diperlukan pengamatan yang khusus terhadap pasien dengan penurunan mekanisme pertahanan

tubuh.2

Tabel 2.10 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kondisi Sistem Imun Pasien.3
Terdapat beberapa kondisi yang melemahkan pasien, yaitu:2

a. Penyakit metabolisme yang tidak terkontrol seperti diabetes, gangguan ginjal yang

menyebabkan uremia dan alkoholisme yang berat dengan manutrisi. Beberapa hal ini

dapat menyebabkan penurunan fungsi leukosit termasuk penurunan fungsi kemotaksis

maupun fagositosis untuk membunuh bakteri.

b. Penyakit yang menyebabkan penurunan pertahanan tubuh, seperti leukemia, limfoma,

dan penyakit cancer lainnya. Biasanya terjadi penurunan fungsi darah merah dan

pengurangan produksi antibodi.

c. Pasien dengan terapi pengobatan yang lama maupun kemoterapi cancer dapat

menurunkan jumlah dan sirkulasi sel darah putih sampai level yang sangat rendah,

adakalanya sampai 1000 sel permilimeter. Pada keadaan ini pasien tidak mempunyai

mekanisme pertahanan tubuh yang baik sehingga tidak mampu mengatasi inflamasi

yang terjadi. Demikian pula, pasien dengan terapi immunokompromis, pasien yang

mendapat transplantasi organ maupun penyakit autoimun. Obat-obatan yang

dikonsumsi biasanya adalah cyclosporin, kortikosteroid, dan azitromycin (imuran).

Obat-obatan tersebut dapat menyebabkan penurunan fungsi limfosit T dan B, serta

menurunkan produksi immunoglobulin.

3. Prinsip III : Menentukan rencana perawatan dan apakah pasien memerlukan perawatan

spesialis

Sebagian besar infeksi odontogenik datang ke tempat praktek dokter gigi dan dapat

ditangani dengan tindakan yang cukup tepat. Infeksi odontogenik jika ditangani dengan prosedur

bedah minor dan diberikan antibiotik yang cukup adekuat biasanya akan membaik dengan cepat.
Namun, adakalanya infeksi odontogenik tersebut dapat mengancam jiwa dan harus ditangani

dengan pengobatan dan tindakan pembedahan yang cukup agresif. Pada kondisi tersebut, maka

pasien harus dikonsultasikan ke Ahli Bedah Mulut untuk tindakan definitif, sehingga diperlukan

perawatan di Rumah Sakit maupun rawat jalan. Kriteria pasien yang harus dikonsulkan ke spesialis

adalah:2

a. Infeksi yang sangat progresif

b. Adanya kesulitan bernapas

c. Adanya kesulitan menelan

d. Infeksi yang melibatkan regio orofasial

e. Peningkatan suhu lebih dari 38oC

f. Trismus yang berat (kurang dari 10 mm)

g. Kondisi toksisitas

h. Kondisi pasien yang lemah (Compromised patient)

Tabel 2.11 Indikasi Infeksi Odontogenik yang Harus Dilakukan Perawatan di Rumah Sakit.3
Indikasi untuk perawatan khusus di rumah sakit adalah untuk pasien dengan infeksi

odontogenik yang berat. Pada beberapa pasien, infeksi odontogenik yang dialaminya dapat

mengancam jiwa dan harus ditangani dengan pengobatan dan pembedahan yang lebih cepat. Jika

tidak dilakukan dengan cepat dan adekuat dikhawatirkan akan berujung kematian dan

memperberat kondisi infeksi. Demam yang terus meningkat akan meningkatkan kebutuhan

metabolisme dan kehilangan cairan, yang berujung pada dehidrasi. Dehidrasi secara klinis terlihat

melalui kulit yang kering, bibir pecah-pecah, kehilangan turgor kulit, dan membran mukosa yang

kering. Infeksi pada spasia yang dalam dengan derajat keparahan yang sedang atau berat dapat

menghambat akses terhadap jalan napas. Oleh karena itu, maka infeksi odontogenik yang

melibatkan spasia mastikator, spasia perimandibular atau spasia yang dalam merupakan indikasi

untuk rawat inap. Berikut adalah kondisi yang merupakan indikasi untuk rawat inap, sebagai

berikut:3

a. Peningkatan suhu lebih dari 38oC

b. Dehidrasi

c. Mengancam jalan nafas atau organ vital

d. Infeksi yang sedang hingga berat yang melibatkan fascia orofasial

e. Memerlukan general anesthesia

f. Adanya kesulitan menelan

g. Trismus yang berat (kurang dari 10 mm)

h. Kondisi toksisitas

i. Kondisi pasien dengan penyakit sistemik (Compromised patient)


Tabel 2.12 Indikasi Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik yang dilakukan di Ruang Operasi.3

4. Prinsip IV : Lakukan intervensi bedah

Perawatan utama dalam infeksi odontogenik adalah melakukan intervensi bedah untuk

drainase dan eliminasi sumber penyebab infeksi. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara

sederhana seperti pembukaan atap pulpa gigi dan melakukan ekstirpasi pulpa yang nekrotik,

sampai dengan cara yang rumit seperti insisi jaringan lunak intra oral maupun ekstra oral. Tujuan

utama intervensi bedah adalah menghilangkan sumber penyebab infeksi biasanya jaringan pulpa

yang nekrotik. Tujuan lainnya adalah melakukan drainase pus dan debris yang nekrotik.2

Pada pasien dengan abses vestibular, dapat dilakukan tiga pilihan antara lain perawatan

endodontik, ekstraksi, maupun insisi dan drainase. Bila gigi hendak diselamatkan maka dilakukan

perawatan endodontik dengan cara melakukan pembukaan atap pulpa dan ekstirpasi jaringan pulpa

yang nekrotik. Apabila gigi tidak dapat dipertahankan lagi, maka harus dilakukan ekstraksi secepat

mungkin. Selain itu, dapat dilakukan insisi untuk drainase akumulasi untuk mengurangi tekanan

jaringan, dan memperbaiki vaskularisasi.2

Sebelum dilakukan insisi rongga abses, sebaiknya dilakukan pengambilan spesimen pus

untuk pembiakan bakteri dan uji sensitivitas terhadap antibiotik. Cara pengambilan bahan

pemeriksaan adalah sebagai berikut: setelah dilakukan anastesi dan tindakan aseptik dengan

betadine, lakukan penusukan dengan jarum nomor 18 pada rongga abses, dan lakukan aspirasi pus
sebanyak 1-2 ml, kemudian semprit dipegang vertikal, dan keluarkan gelembung udara yang

berada dalam semprit, selanjutnya ujung jarum ditutup dengan menggunakan karet, dan kirimkan

bahan pemeriksaan tersebut ke laboratorium mikrobiologi secepatnya.2

Setelah didapatkan bahan pemeriksaan, dilanjutkan dengan melakukan insisi dengan pisau

nomor 11 melalui mukosa dan menembus submukosa kedalam rongga abses. Sebaiknya panjang

luka insisi dibuat tidak melebihi 1 cm, setelah itu insersikan hemostat bengkok dan dilakukan

pembukaan paruhnya ke beberapa arah untuk membuka rongga pus yang belum terbuka oleh insisi,

sambil melakukan tindakan ini dilakukan penyedotan pus yang keluar dari rongga abses agar tidak

tumpah kedalam rongga mulut. Setelah semua pus keluar dari rongga abses, dipasang drain karet

untuk mempertahankan pembukaan rongga abses. Kemudian drain difiksasi dengan jaitan agar

tidak terlepas drain dibiarkan sampai drainase rongga abses berhenti, biasanya selama 2-5 hari.2

Selulitis yang terjadi pada tahap awal infeksi dapat berupa pembengkakan yang besar,

keras dengan batas tidak jelas, mungkin tidak berespon terhadap insisi dan drainase. Dalam hal ini

intervensi bedah hanya sebatas pembuangan jaringan pulpa nekrotik maupun pencabutan gigi

sebagai sumber infeksi bila memungkinkan. Haruslah diingat bahwa yang paling penting dalam

pengobatan infeksi odontogenik adalah melakukan intervensi bedah untuk menghilangkan sumber

infeksi dan melakukan drainase pus. Bila diketahui adanya pus dalam rongga abses, maka segera

lakukan drainase, bila tidak maka infeksi akan bertambah parah walaupun telah diberikan terapi

antibiotik. Bilamana terdapat keraguan apakah pus sudah terdapat dalam rongga abses, dapat

dilakukan aspirasi dengan jarum ukuran nomor 18.2

Intervensi bedah pada infeksi odontogenik yang melibatkan spasia fasial, biasanya

memerlukan insisi ekstra oral. Insisi dilakukan setelah tindakan aseptik pada kulit dan pemberian
anastesi lokal, eksplorasi yang agresif dilakukan dengan hemostat dan bila diperlukan dapat

dilakukan dibawah anastesi umum.2

Laporan kasus oleh Williams dan Guralnick, menjelaskan bahwa terdapat pengurangan

kasus kematian akibat Angina Ludwig`s dari 54% menjadi 10 %. Hal ini disebabkan karena

mereka mengubah prinsip bedah dengan mengutamakan keamanan jalan nafas terlebih dahulu

melalui prosedur intubasi atau traceostomi, baru diikuti oleh intervensi bedah sedini dan seagresif

mungkin.3

Prinsip prinsip tindakan bedah pada infeksi odontogenik akut adalah sebagai berikut:3

1. Drainase pus yang terbentuk dalam jaringan. Bila tidak melakukan evakuasi pus, dan

hanya memberikan antibiotik, maka tidak akan dapat mengurangi infeksi dengan cepat.

Drainase pus dapat dilakukan melalui :

a. Saluran akar

b. Insisi intra oral

c. Insisi ekstra oral

d. Alveolus soket gigi yang telah diekstraksi


Gambar 2.26 (A) Insisi dan Drainase pus pada Abses Sublingual. Insisi dilakukan Paralel

Terhadap Duktus Submandibular dan Nervus Lingual; (B) Insisi dan

Drainase pus pada Abses Palatal. Insisi Dilakukan Paralel Terhadap

Pembuluh Darah Palatum Mayor.3

2. Open bur gigi yang menjadi fokus infeksi saat fase awal inflamasi, untuk mengeluarkan

cairan eksudat lewat saluran akar. Dengan cara ini maka penyebaran inflamasi dapat

dihindari dan mengurangi rasa sakit yang diderita pasien. Drainase dapat pula

dilakukan lewat trepanasi tulang ketika saluran akar tidak dapat diakses.

3. Antisepsis daerah yang akan diinsisi dengan cairan antiseptik.

4. Anestesi daerah yang akan diinsisi dengan teknik anestesi blok yang dikombinasikan

dengan infiltrasi di daerah tepi inflamasi, untuk menghindari mikroba menyebar ke

daerah yang lebih dalam.

5. Rencanakan daerah insisi agar :

a. Dapat dihindari kerusakan duktus kelenjar liur, pembuluh darah besar dan saraf.
b. Dapat menghasilkan drainase yang baik. Insisi dilakukan superfisial, pada daerah

paling rendah dari akumulasi pus untuk mengurangi rasa sakit dan dapat membantu

pengeluaran pus dengan gravitasi.

c. Insisi tidak dilakukan pada daerah yang dapat mengganggu estetik, jika memungkinkan

insisi dilakukan intra oral.

Gambar 2.27 Lokasi Insisi dan Drainase pada Regio Kepala dan Leher.3

6. Insisi drainase dilakukan pada saat yang tepat, yaitu saat pus telah terbentuk pada

jaringan lunak dan flukstuasi (+), yaitu saat dipalpasi akan terasa cairan yang bergerak

dalam rongga abses. Jika insisi dilakukan prematur, biasanya hanya akan mengeluarkan

sedikit darah, tanpa pengurangan rasa sakit pasien dan edema tidak berkurang.
7. Jika lokasi pus dalam jaringan lunak tidak dapat ditentukan (saat fluktuasi (-)) insisi

drainase dilakukan pada daerah yang paling lunak saat palpasi, daerah yang lebih

merah, dan daerah paling sakit saat ditekan. Fluktuasi dapat dipercepat dengan kumur

air hangat.

8. Hindari kompres hangat ekstraoral untuk mencegah drainase spontan ekstraoral.

9. Drainase awal dilakukan menggunakan hemostat yang dimasukkan dalam lubang insisi

dengan paruh hemostat ditutup, lalu paruh di lebarkan saat hemostat berada dalam

lubang insisi dan selanjutnya lakukan eksplorasi. Sasat diseksi tumpul tersebut

dilakukan daerah sekitar insisi dipijat perlahan untuk mengeluarkan pus.

10. Tempatkan drain ke dalam lubang insisi.

Gambar 2.28 Drain yang Diletakkan Dalam Lubang yang Telah Dilakukan Insisi.3

11. Ekstraksi gigi penyebab secepatnya apabila gigi tersebut tidak dapat dipertahankan lagi

dan apabila pencabutan gigi merupakan kontra indikasi bagi pasien.

12. Berikan antibiotik ketika pembengkakan telah meluas, terutama bila terjadi demam dan

infeksi menyebar ke spasia.


Gambar 2.29 Ilustrasi yang Memperlihatkan (A) Insisi Intra Oral Abses; (B) Penggunaan
Hemostat untuk Memfasilitasi Pengeluaran Pus (Drainase); (C) Pemasangan
Drain pada Rongga Abses; (D) Stabilisasi Drain dengan Penjahitan ke
Mukosa.3

5. Prinsip V : Perbaikan Keadaan Umum dan Berikan terapi suportif

Pasien dengan infeksi odontogenik dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh karena

rasa sakit dan pembengkakan. Rasa sakit menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dengan

cukup dan kekurangan asupan nutrisi. Oleh karena itu, pasien dianjutkan untuk makan makanan

tinggi kalori dan protein, disamping pemberian vitamin dan analgesik.2

Penatalaksanaan medis pada penderita infeksi odontogenik yang berat meliputi hidrasi

yang adekuat, asupan nutrisi dan kontrol suhu tubuh. Pada beberapa kasus, keseimbangan elektrolit

dan kontrol penyakit sistemik merupakan hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan terapi

infeksi. Demam dengan suhu dibawah 39,4oC dipertimbangkan masih menguntungkan bagi tubuh

itu sendiri disebabkan kenaikan suhu tubuh yang ringan meningkatkan aktivitas fagositosis, aliran

darah ke daerah yang terinfeksi, serta meningkatkan metabolisme dan fungsi antibodi. Namun

apabila suhu melebihi 39,4oC dapat meningkatnya metabolisme dan kardiovaskular melebihi

kebutuhan biasanya. Energi yang tersimpan dapat terkuras dan kehilangan cairan semakin banyak.

Hidrasi yang adekuat merupakan metode yang paling tepat untuk penanggulangan demam.

Sensible fluid loss meningkat 250 ml per derajat peningkatan suhu saat demam. Sedangkan
Insensible fluid loss meningkat 50 – 75 ml per derajat peningkatan suhu demam. Demam juga

meningkatkan kebutuhan metabolisme hampir 5 – 8 % per derajat per hari. Oleh karena itu penting

untuk menambah intake suplemen pasien, baik dengan pemberian suplemen hingga bahkan dengan

menggunakan nutrisi enteral lewat feeding tube.3

Penatalaksanaan kontrol demam yang lain adalah penggunaan asetamenofen atau aspirin. Dapat

dilakukan juga kompres hangat atau lap badan dengan alkohol.3

6. Prinsip VI : Pilih antibiotik yang sesuai

Pemilihan antibiotik untuk pengobatan infeksi odontogenik harus dilakukan dengan

cermat, sering ditemukan konsep salah yang berpendapat bahwa semua infeksi harus diobati

dengan antiobiotika. Beberapa petunjuk penggunaan antibiotik dalam terapi infeksi odontogenik

adalah pertama tentukanlah berat atau ringannya infeksi yang telah dijelaskan. Kedua apakah

intervensi bedah dapat dilakukan atau tidak. Pada beberapa kasus, ekstraksi gigi sumber infeksi

akan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan apabila ekstraksi tidak mungkin dilakukan, maka

dapat diberikan pemberian antibiotik guna mengontrol infeksi. Ketiga adalah daya tahan tubuh

pasien, dimana pasien dengan penurunan daya tahan tubuh memerlukan antibiotik yang agresif

walaupun infeksinya ringan.2

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa antibiotik diberikan bila terdapat invasi bakteri

pada jaringan dan daya tahan tubuh pasien tidak mampu mengatasinya. Bila infeksi odontogenik

sebagian besar merupakan bakteri aerob dan anaerob (Streptococcus, Peptostreptococcus,

Prevotela, dan Fusobakteria). Secara empiris, bakteri tersebut peka terhadap golongan obat

Penicillin, Eritromycin, Clindamycin, Cefadroxil, Metronidazole (peka terhadap bakteri anaerob),

dan Tetracyclin.2
Obat pilihan utama untuk infeksi odontogenik adalah golongan Penicillin, sedangkan

pasien yang alergi terhadap Penicillin, dapat diberikan Eritromycin atau Clindamycin. Cefadroxil

diberikan bila diperlukan spektrum antibakteri yang lebih lebar dan pemberiannya hati-hati dengan

pasien yang alergi terhadap Penicillin. Pemberian Tetracyclin dalam pengobatan infeksi

odontogenik dapat dipertimbangkan, walaupun terdapat beberapa galur bakteri yang resisten.2

Jenis antibiotik yang biasa digunakan dalam penatalaksanaan perawatan infeksi tercantum dalam

tabel berikut ini:3

Tabel 2.13 Pilihan Antibiotik secara Empiris untuk Infeksi Odontogenik.3

Pilihan antibiotika tersebut dipakai sebelum ada hasil laboratorium kultur resistensi.

Pemeriksaan kultur harus dilakukan bila infeksi sudah berat dan dapat mengancam jiwa. Pasien

dengan infeksi ringan biasanya akan memberikan respon yang baik dengan pemberian penisilin

per oral. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal pengurangan rasa sakit maupun

pembengkakan selama 7 hari masa terapi antara penisilin dengan jenis antibiotic lain seperti

klindamisin, amoksisilin, amoksisilin-klavulanat maupun sefradine. Penisilin masih merupakan


antibiotik yang paling efektif untuk infeksi odontogenik tanpa komplikasi, selain itu harga murah

dan mempunyai efek samping yang minimal.3

Untuk penanganan infeksi berat, dimana pasien dirawat di rumah sakit, penisilin bukanlah

antibiotik pilihan karena tingkat kegagalan yang tinggi. Biasanya untuk keadaan tersebut dipakai

klindamisin. Resistensi terhadap penisilin dikarenakan sintesa β-laktamase. Hampir 25% strain

Prevotella dan Phorphyromonas mampu mensintesa enzim ini. Enzim ini ditemukan pula pada

bakteri jenis Fusobakterium dan Streptokokus. Streptokokus anginosus, S. konstelatus dan S.

intermedius merupakan bagian dari S. viridans yang mana merupakan grup S. milleri. Grup S.

milleri merupakan jenis bakteri yang sering ditemukan pada abses odotogenik yang mana masih

sensitive terhadap penisilin natural dan semisintetik seperti penisilin V dan amoksisilin. Namun

antibiotik penisilin + β laktamase inhibitor, seperti ampisilin + sulbaktam atau penisilin +

metronidazol merupakan obat alternative pilihan untuk infeksi odontogenik yang berat. Penisilin

dan metronidazol mampu melewati blood brain barrier. Sedangkan klindamisin tidak dapat

menembusnya. Sehingga penggunaan penisilin + metronidazol atau penisilin + sulbaktam

merupakan pilihan terbaik jika infeksi odontogenik diperkirakan dapat meluas ke rongga cranial.

Beberapa jenis sefalosporin dan sefalosforin generasi III seperti ceftadizine mampu menembus

blood brain barrier. Ceftadizine juga sangat efektif melawan steptokokus dan hampir semua bakteri

anaerob oral. Moksifloksasin mampu melawan streptokokus oral dan bakteri anaerob lain. Dapat

diabsorpsi dengan baik lewat pemberian PO maupun IV. Meski Metronidazole hanya efektif

melawan bakteri anaerob, namun dapat berhasil baik apabila pemberian obat disertai dengan terapi

bedah seperti insisi.3


7. Prinsip VII : Pemberian Antibiotik yang Tepat

Antibiotik yang efektif mampu menembus bermacam jaringan tubuh. Kadar antibiotik

dalam jaringan tubuh tergantung dari kadar antibiotik dalam serum, yang mana antibiotik harus

mampu memberikan kadar terapi di jaringan lunak, tulang, otak dan kavitas abses. Antibiotik yang

diberikan PO harus mampu bertahan melewati asam lambung, sifat kimia dari makanan dan acid

intestinal track. Setelah antibiotik diserap lambung atau mukosa usus, maka akan dimetabolisme

di hati dan sebagian akan dieksresikan lewat empedu. Sebagian antibiotik yang diekresikan akan

diserap kembali oleh usus menghasilkan enteropatik resirkulasi. Oleh karena alasan tersebut,

maka kadar antibiotik dalam serum yang diberikan PO akan lebih rendah dari kadar antibiotik yang

diberikan IV.3

Namun beberapa jenis antibiotik sama efektifnya baik diberikan secara IV maupun PO,

contohnya Moksifloksasin dan Ciprofloksasin. Oleh karena itu, antibiotik jenis ini tidak pernah

diberikan secara IV kecuali ada kontraindikasi pemberian secara PO.3

8. Prinsip VIII : Evaluasi dan monitor keadaan pasien

Setelah pasien mendapat perawatan intensif bedah dan antibiotik, lakukan evaluasi hasil

perawatan dengan mengawasi keadaan pasien. Umumnya pasien diperiksa kembali setelah 2 hari

perawatan, bilamana terapi berhasil biasanya penderita mengalami penurunan rasa sakit dan

pembengkakan yang signifikan. Perhatikan daerah yang telah dilakukan insisi dan lakukan

evaluasi apakah drain masih diperlukan atau tidak. Selain itu juga, perhatikan suhu tubuh, adanya

trismus, dan pembengkakan.2

Bilamana hasil perawatan tidak memperlihatkan perbaikan, perlu diperhatikan kembali,

apakai drainase yang dilakukan cukup memadai, apakah gigi sudah dapat dilakukan ekstraksi,
apakah insisi yang sebelumnya tidak dapat dilakukan sudah dapat dilakukan, apakah penderita

tidak mempunyai kelainan yang menurunkan daya tahan tubuh, apakah pilihan dan dosis serta cara

penggunaan antibiotik sudah selesai.2

Pasien infeksi ringan yang telah mendapat terapi disertai pencabutan gigi maupun insisi

drainase sebaiknya kontrol dalam waktu 2 hari post operative. Untuk pasien dengan infeksi berat

yang dirawat di rumah sakit diperlukan evaluasi dan penanganan luka. Setelah 2 – 3 hari post

operative biasanya akan terdapat perbaikan tanda klinis, seperti pembengkakan yang mereda,

drainase yang mengering, menurunnya kadar sel darah putih dan menurunnya malaise. Pada saat

ini uji kultur bakteri telah ada hasil, hingga terapi dapat dilanjutkan dengan tipe antibiotik yang

lebih tepat.3

Apabila tidak terdapat perbaikan tanda-tanda klinis, mungkin ada kegagalan perawatan.

Hal yang dapat menyebabkan gagalnya suatu perawatan adalah:3

Tabel 2.14 (A) Penyebab Kegagalan Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik; (B) Kriteria
untuk Mengganti Terapi Antibiotik pada Infeksi Odontogenik.3
2.9.2 Dasar-Dasar Penanganan Infeksi Odontogenik secara Umum

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas maka perawatan infeksi orofasial yang disebabkan oleh

infeksi odontogenik pertama-tama harus ditujukan pada eliminasi gejala akutnya. Dalam hal ini

penilaian stadium infeksi, pengambilan keputusan yang tepat untuk memberikan antibiotika,

melakukan insisi untuk drainase, maupun menghilangkan penyebab infeksi sangat menentukan

perkembangan infeksi selanjutnya. Pada infeksi odontogenik yang disertai keadaan gawat darurat

seperti adanya septicaemia dengan temperatur tubuh yang tinggi, dehidrasi, syok, asfiksia, perlu

ditangani secepatnya. Adapun dasar-dasar dari perawatan infeksi odontogenik meliputi:2

1. Penanganan kegawatdaruratan

Keadaan kegawatdaruratan infeksi orofasial biasanya disertai disfagia yang dapat

memperburuk keadaan pasien. Dalam kondisi tersebut tubuh tidak mendapat nutrisi

yang memadai. Pasien memerlukan rawat inap di Rumah Sakit dan memerlukan

istirahat yang cukup. Tindakan yang perlu dilakukan adalah pemberian infus dekstrose

5% dan larutan NaCl 0.9% yang berfungsi untuk mengatasi dehidrasi, syok, serta

memudahkan pemberian obat-obatan secara intravena. Awasi tanda-tanda vital seperti

tekanan darah, respirasi, serta temperatur tubuh. Lakukan pemeriksaan laboratorium

darah lengkap, meliputi pemeriksaan kadar gula darah, kultur spesimen, dan uji

kepekaan.2

2. Penanganan infeksi

Penanganan infeksi dapat dilakukan secara simultan dengan upaya-upaya

mengatasi kegawatdaruratan. Mengingat hasil kultur dan uji kepekaan belum diketahui

maka digunakan terapi empiris yang biasanya dilakukan secara tradisional yaitu

golongan Penicillin, karena obat ini efektif terhadap bakteri aerob dan anaerob yang
sering terdapat pada infeksi orofasial. Namun, dengan meningkatnya organisme

penghasil beta laktamase dan bakteri gram-negatif pada infeksi kepala dan leher, maka

diperlukan antibiotika kombinasi seperti Amoxicillin dan Asam Clavulanat. Bagi

pasien yang alergi terhadap Penicillin dapat diberikan obat alternatif seperti golongan

Clindamycin.2 Sebagai perawatan suportif dapat diberikan analgesik, sedatif, dan

vitamin. Apabila infeksi dalam 2-3 hari terdapat perbaikan, dapat disimpulkan secara

empiris bahwa antibiotika yang digunakan telah memadai. Bila tidak terdapat

perbaikan maka digunakan antibiotika hasil uji kepekaan.2

3. Perawatan jaringan infeksi

Bila terdapat fluktuasi pada jaringan infeksi maka segera lakukan evaluasi pus

dengan insisi untuk drainase. Dengan demikian, akan memperbaiki keadaan pasien

karena toksin bakteri dapat keluar.2

4. Perawatan gigi sumber infeksi

Setelah tanda-tanda inflamasi telah mengalami perbaikan, gigi yang menjadi

sumber infeksi primer segera dilakukan ekstraksi, dan bila diperlukan kuretase sampai

jaringan nekrosis pada soket bekas ekstraksi bersih.2

2.9.3 Tindakan Pembedahan pada Infeksi Odontogenik

Prinsip utama dari penanganan infeksi odontogenik adalah melakukan tindakan

pembedahan untuk drainase dan menghilangkan penyebab infeksi. Teknik pembedahan tersebut

bervariasi dimulai dari teknik yang paling sederhana dengan pembukaan kamar pulpa dan

ekstirpasi jaringan pulpa yang nekrosis sampai ke perawatan pembedahan invasif berupa insisi

pada jaringan lunak pada regio submandibula dan regio leher pada infeksi yang berat.2
Tujuan utama dari tindakan pembedahan adalah untuk menghilangkan sumber infeksi yang

biasanya berupa pulpa yang nekrosis atau saku periodontal yang dalam. Tujuan kedua adalah untuk

memberikan drainase untuk kumpulan pus dan jaringan nekrosis. Infeksi odontogenik yang sering

terlihat adalah abses vestibula dengan kemungkinan perawatan yang dapat dilakukan tiga pilihan

antara lain perawatan endodontik, ekstraksi, maupun insisi dan drainase. Bila gigi hendak

diselamatkan maka dilakukan perawatan endodontik dengan cara melakukan pembukaan atap

pulpa dan ekstirpasi jaringan pulpa yang nekrotik. Apabila gigi tidak dapat dipertahankan lagi,

maka harus dilakukan ekstraksi secepat mungkin, untuk menghilangkan sumber infeksi, serta

memberikan drainase terhadap kumpulan pus dan jaringan nekrotik.2

Teknik insisi dan drainase pada abses vestibular yang telah berfluktuasi adalah seperti gambar

dibawah ini.

Gambar 2.30 (A) Insisi pada Abses Submukosa; (B) Insisi pada Abese Palatal; (C) Insisi pada
Abses Parafaringeal; (D) Insisi pada Abses Sublingual.2

Selain itu, dapat dilakukan insisi pada abses untuk memberikan drainase sebagai

pengeluaran bakteri dari jaringan di bawahnya, mengurangi tekanan/tegangan jaringan, sehingga


memperbaiki vaskularisasi dengan meningkatkan aliran darah dan aliran zat-zat yang berguna

untuk pertahanan tubuh pada lokasi infeksi. Insisi dan drainase meliputi pemasangan drain karet

untuk mencegah tertutupnya kembali mukosa yang telah dilakukan insisi. Harus diingat bahwa

tujuan dari pembedahan adalah untuk memberikan drainase yang adekuat. Bila akan dilakukan

perawatan endodontik, jika pembukaan pada kamar pulpa tidak adekuat memberikan drainase,

maka disarankan untuk dilakukan insisi dan drainase pada mukosa.2

Gambar 2.31 (A) Infeksi pada Premolar Rahang Bawah pada Regio Bukal (Abses Vestibular);
(B) Insisi Menggunakan Pisau no. 11; (C) Diperluas dengan Menggunakan Klam Arteri
Sehingga Pus Didalamnya dapat Keluar; (D) Masukkan Drain Karet ke dalam Lubang Abses
dengan Klem Arteri; (E) Drain Dipertahankan pada Posisinya dengan Jahitan.2

Tabel 2.15 Prinsip Tindakan Insisi.2


Hal-hal yang harus diperhatikan pada tindakan insisi adalah sebagai berikut:2

1. Irigasi dengan normal saline pada daerah pembengkakan untuk menghilangkan debris

dan mengubah lingkungan yang mendukung perkembangan bakteri menjadi

sebaliknya;

2. Dilakukan insisi yang cukup besar untuk memasukkan drain sehingga pembukaannya

akan bertahan cukup lama, drain dimasukkan dan dipertahankan dengan jahitan;

3. Dilakukan penggantian drain setiap hari sampai tidak ada lagi pengeluaran pus;

4. Dilakukan perawatan pendukung dengan antibiotik dan analgesik;

5. Perlu ditekankan bahwa pasien harus makan dan minum yang cukup;

6. Bila menganjurkan berkumur maka berkumurlah dengan larutan saline hangat dengan

konsentrasi satu sendok teh garam yang dilarutkan dalam 250 ml air (1 gelas) yang

dilakukan setelah makan;

7. Pasien harus memantau adanya gejala penyebaran infeksi, berupa demam,

meningkatnya rasa sakit, trismus, dan disfagia;

8. Dilakukan pencatatan perubahan pembengkakan (ukuran, fluktuasi, konsistensi,

sampai kondisi akut menghilang);

9. Faktor etiologi dihilangkan dengan baik dengan cara kuretase, ekstirpasi pulpa,

operkulektomi, maupun pencabutan gigi;

10. Apabila kondisi tidak membaik, maka perlu dilakukan peningkatan dosis antibiotik

atau sebaiknya dilakukan konsultasi ke Ahli Bedah Mulut.


Berikut ini adalah skema berbagai insisi ekstra oral yang dilakukan untuk penanganan

abses submental, submandibular, bukal, pterigomandibular, zigomatikotemporal (infratemporal),

dan parafaringeal.2

Gambar 2.32 (A) Lokasi Insisi Untuk Drainase Abses Subkutan; (B) Lokasi Insisi pada Abses
Regio Submandibula; (C) Lokasi Insisi pada Abses Regio Submandibula yang Menyebar ke
Parafaringeal; (D) Lokasi Insisi pada Abses Submental. Tanda Panah Menunjukkan Arah dari
Separasi Arteri Klem.2

2.9.4 Penanganan Infeksi Odontogenik yang Spesifik Berdasarkan Jenis Infeksi

Berikut ini adalah cara penangan infeksi odontogenik yang spesifik berdasarkan jenis infeksinya:3

2.9.4.1 Intraalveolar Abscess

Penanganan diutamakan dalam menghilangkan rasa nyeri dan selanjutnya apabila gigi

masih dapat dipertahankan lebih baik dipertahankan. Drainase diutamakan dilakukan lewat saluran

akar. Gigi di open bor menggunakan highspeed handpiece dengan tekanan seringan mungkin.

Materi nekrotik harus dihilangkan dari kavum pulpa dan saluran akar. Jika drainase lewat saluran
akar tidak dimungkinkan, dapat dilakukan penanganan dengan cara trepanasi. Trepanasi dilakukan

apabila posisi ujung akar terlihat dari rontgen. Prosedurnyaadalah dengan menginsisi mukosa

bukal yang dekat dengan ujung akar, lalu mukosa diangkat dan setelah tulang telihat, dengan

menggunakan bur bulat dalam putaran rendah, tulang dilubangi. Selalu disertai irigasi dengan

larutan saline. Setelah drainase tercapai, mukosa dapat ditutup dan dijahit kembali tanpa memakai

drain.

Gambar 2.33 Abses Intraalveolar. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan pada Rongga Alveolar
Dibawah Akar Gigi; (B) Insisi dan Drainase Abses Intraalveolar dari Pembukaan Kavum Pulpa
dan Saluran Akar (Tanda Panah Menunjukkan Eksudat Purulen).3

Gambar 2.34 Trepanasi Regio Bukal Tulang Alveolar. (A) Ilustrasi Gambar; (B) Penampakan
Klinis.3
2.9.4.2 Subperiosteal Abscess

Penatalaksanaan abses jenis ini adalah dengan insisi drainase intraoral. Insisi dilakukan

pada mukosa dengan memperhatikan anatomi pembuluh darah besar dan saraf pada daerah

tersebut. Scalpel blade harus sampai menyentuh tulang untuk drainase yang lebih baik.

Gambar 2.35 Abses Subperiosteal pada Regio Bukal. (A) Ilustrasi yang Memperlihatkan

Akumulasi Pus Antara Tulang Dan Periosteum; (B) Penampakan Klinis Abses

Subperiosteal.3

Gambar 2.36 Insisi Abses Subperiosteal. (A) Ilustrasi Penggunaan Scalpel no. 11 untuk
Melakukan Insisi dan Drainase.3

2.9.4.3 Submucosal Abscess

Insisi dibuat superfisial, lalu masukkan hemostat ke dalam lubang insisi untuk

memperbesar jalur drainase. Tempatkan drain pada lubang insisi dan hingga lubang drainase dapat
bertahan hingga 2 hari. Insisi drainase untuk abses palatal harus lebih hati-hati untuk mencegah

terjadinya cedera arteri, vena dan saraf palatina. Oleh karena itu insisi tidak dilakukan tepat pada

daerah tersebut, tetapi lebih ke arah gingiva atau ke arah midline dengan arah insisi paralel dengan

lengkung gigi. Jalur drainase diperlebar dengan hemostat bengkok.

Gambar 2.37 Abses Submukosa pada Regio Bukal Maksila. (A) Ilustrasi yang Memperlihatkan

Akumulasi Pus pada Mukosa Bukal; (B) Penampakan Klinis Abses Submukosa

pada Regio Vestibular Fold.(3)

Gambar 2.38 Insisi dan Drainase Abses Submukosa. Insisi Dilakukan pada Jaringan yang

Fluktuasinya Maksimum untuk Memastikan Agar Seluruh Pus Terdrainase. (3)


Gambar 2.39 Penggunaan Hemostat (Arteri Klam) untuk Memperluas Rongga Abses, Sehingga

Pus Didalamnya dapat Keluar.(3)

Gambar 2.40 Drain Dipertahankan pada Posisinya dengan Jahitan.(3)

Gambar 2.41 Abses Submukosa pada Regio Palatal Maksila. (A) Ilustrasi yang Memperlihatkan

Akumulasi Pus pada Regio Palatal; (B) Penampakan Klinis Abses Submukosa pada

Regio Anterior Palatum Keras.(3)


Gambar 2.42 Insisi dan Drainase Abses Submukosa. Insisi Dilakukan pada Jaringan yang

Fluktuasinya Maksimum untuk Memastikan Agar Seluruh Pus Terdrainase.(3)

Gambar 2.43 Penggunaan Hemostat (Arteri Klam) untuk Memperluas Rongga Abses, Sehingga

Pus Didalamnya dapat Keluar; (B) Drain Dipertahankan dengan Jahitan. (3)

2.6.4.4 Subcutaneous Abscess

Setelah anestesi dilakukan, insis dilakukan hanya pada lapisaan kulit pada daerah paling rendah

dari pembengkakan. Perhatikan anatomi pembuluh darah dan saraf pada daerah yang akan diinsisi. Setelah

insisi dibuat, masukkan hemostat pada daerah akumulasi pus, dan ketika hemostat ditarik keluar,

pertahankan paruh hemostat pada posisi terbuka. Pijat dengan lembut daerah akumulasi pus hingga pus

habis. Pasang drain, dan pertahankan lubang insisi hingga 2 – 3 hari hingga pus kering.
Gambar 2.44 Abses Subkutaneus. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa Pus

pada Regio Dibawah Lapisan Kulit; (B) Penampakan Klinis Pembengkakan

Subkutaneus Regio Kanan Mandibula.(3)

Gambar 2.45 Penatalaksanaan Klinis Abses Subkutaneus. (A) Anastesi Infiltrasi pada Jaringan

yang Tidak Mengalami Pembengkakan; (B) Insisi pada Daerah yang Tidak

Mengganggu Estetik dan Sejajar Garis Wajah, pada Posisi yang Drainasenya Dibantu

Gravitasi; (C) Diperluas dengan Menggunakan Arteri Klam, dan Lakukan Penekanan
Ringan dari Regio Atas Abses untuk Membantu Mengeluarkan Pus; (D) Pemasangan

Drain; (E) Ditutup dengan Kassa Steril.(3)

2.6.4.5 Abscess of Base of Upper Lip

Insisi drainase dilakukan pada daerah mukobukofold searah paralel dengan prosesus alveolaris.

Lalu masukkan hemostat ke dalam lubang insisi hingga mencapai tulang pada daerah apeks gigi fokus

infeksi. Pasang drain dan pertahankan lubang insisi hingga pembengkakan mereda.

Gambar 2.46 Abscess of Base of Upper Lip. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya

Massa Pus pada Jaringan Dibawah Bibir Atas; (B) Penampakan Klinis

Pembengkakan Setengah Regio Bibir Atas; (C) Rontgen Periapikal dari Gigi yang

Mengalami Abses; (D) Penampakan Klinis Mukosa Bibir Atas yang Mengalami

Abscess of Base of Upper Lip.(3)


Gambar 2.47 Penatalaksanaan Klinis Abscess of Base of Upper Lip.(3)

2.6.4.6 Canine Fossa Abscess

Insisi drainase dilakukan intraoral di daerah mukobukofold sejajar dengan tulang alveolar di daerah

kaninus. Masukkan hemostat hingga daerah terdalam dari akumulasi pus dan menyentuh tulang. Palpasi

derah infraorbital dengan tekanan ringan. Pasang drain untuk mempertahankan lubang insisi.

Gambar 2.48 Canine Fossa Abscess. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya

Massa Pus pada Fossa Canina; (B) Penampakan Klinis Pembengkakan Ekstra Oral

Regio Infra Orbita dan Nasolabial Fold yang Berwarna Kemerahan.(3)


Gambar 2.49 Penatalaksanaan Klinis Canine Fossa Abscess. Insisi dan Drainase Dilakukan pada

Regio Vestibular Fold.(3)

2.6.4.7 Buccal Space Abscess

Insisi drainase untuk kasus abses spasia bukal dilakukan secara intraoral, dengan alasan:(3)

1. Hampir pada semua kasus, fluktuasi abses ke arah intraoral;

2. Menghindari cedera saraf fasial, dan sebagai alasan estetik.


Gambar 2.50 Buccal Space Abscess. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya

Massa Pus ke Regio Lateral dari Otot Buccinator; (B) Penampakan Klinis

Pembengkakan Ekstra Oral Regio Kanan Pipi.(3)

Insisi intraoral dibuat pada daerah posterior mulut dengan arah anteroposterior dan dilakukan

dengan hati-hati untuk menghindari cedera duktus parotikus. Masukan hemostat lalu eksplorasi daerah

akumulasi pus. Insisi ekstraoral dilakukan ketika akses intraoral tidak dapat menghasilkan drainase yang

baik atau ketika pus berada di dalam spasia. Insisi dibuat kurang lebih 2 cm di bawah tepi mandibula

dengan arah sejajar.(3)

2.6.4.8 Infratemporal Abscess

Insisi drainase dibuat pada intraoral, pada kedalaman mukobukofold yaitu lateral/bukal dari M3

RA dan lebih ke medial dari prosesus koronoideus. Hemostat dimasukan ke daerah akumulasi pus ke arah

superior. Insisi drainase dapat pula dilakukan ekstraoral pada kasus tertentu. Arah insisi adalah ke arah

superior dan memanjang hingga kurang lebih 3 cm. Titik awal insisi adalah pada daerah sudut yang

dibentuk dari prosesus frontalis dan prosesus temporalis dari tulang zygomaticus. Masukkan hemostat

bengkok hingga daerah akumulasi pus.

Gambar 2.51 Abses Infratemporal. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya


Massa Pus Dalam Rongga Infratemporal; (B) Penampakan Klinis

Pembengkakan Ekstra Oral Regio Zygomatic Arch dan Edema Regio Dibawah Mata

Kanan; (C) Insisi dilakukan secara Intra Oral pada Regio Vestibular Fold.(3)

2.6.4.9 Temporal Abscess

Insisi drainase dilakukan dengan arah horizontal pada daerah tepi batas rambut kurang lebih 3 cm

diatas lengkung zygomaticus. Lalu dilanjutkan hingga dua lapisan fasia temporal. Pakai hemostat bengkok

untuk memperlebar jalur drainase.(3)

2.6.4.10 Mental Abscess

Insisi drainase dapat dilakukan pada kedalaman mukobukofold jika fluktuasi abses ke arah

intraoral. Jika pus menyebar ke arah ekstraoral, insisi dilakukan pada kulit sejajar dengan tepi dagu 1 – 1,5

cm posterior. Setelah drainase komplit, pasang drain.(3)

Gambar 2.52 Abses Mental. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa Pus pada

Regio Anterior dari Simpisis Mandibula; (B) Penampakan Klinis Pembengkakan

Ekstra Oral Regio Mental.(3)

2.6.4.11 Submental Abscess


Insisi dilakukan di bawah dagu dengan arah horizontal dan sejajar dengan tepi anterior dagu.(3)

Gambar 2.53 Penatalaksanaan Abses Submental. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan

Terkumpulnya Massa Pus pada Regio Submental; (B) Abses Submental yang telah
Mature Siap untuk Dilakukan Insisi dan Drainase; (C) Infitrasi pada Jaringan

Terdekat yang Tidak Mengalami Abses; (D) Insisi yang Dilakukan dalam Arah

Horizontal dan Sejajar Garis Inferior pada Regio Mental. (3)

2.6.4.12 Sublingual Abscess

Insisi drainase dilakukan intraoral, daerah lateral dan sejajar ductus Wharton dan saraf lingual.

Untuk menentukan daerah akumulasi pus, gunakan hemostat untuk eksplorasi ke arah inferior dalam arah

anteroposterior dibawah kelenjar ludah. Pasang drain bila drainase telah tuntas.(3)

Gambar 2.54 Abses Sublingual. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Massa Pus pada Regio

Sublingual; (B) Penampakan Klinis Pembengkakan Regio Mukosa Dibawah

Dasar Mulut dengan Karakteristik Lidah yang Terangkat ke Arah yang

Berlawanan.(3)
Gambar 2.55 Penatalaksanaan Abses Sublingual.(3)

2.6.4.13 Submandibular Abscess

Insisi drainase dilakukan pada kulit kurang lebih 1 cm di bawah tepi inferior mandibula dengan

arah sejajar dengan tepi mandibula. Perhatikan anatomi pembuluh darah dan persarafan wajah yang terdapat

di daerah tersebut. Masukkan hemostat ke lubang insisi lalu eksplorasi daerah akumulasi pus. Diseksi

tumpul juga diarahkan ke daerah medial permukaan tulang mandibular karena pus bisa terdapat pada daerah

tersebut. Pasang drain setelah drainase tuntas.(3)


Gambar 2.56 Abses Submandibular. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa

Pus pada Regio Dibawah Otot Mylohyoid; (B) Penampakan Klinis yang

Memperlihatkan Pembengkakan Area Posterior Kanan Mandibula. (3)

Gambar 2.57 Penatalaksanaan Abses Submandibular.(3)

2.6.4.14 Submasseteric Abscess

Penatalaksanaannya biasanya melalui insisi drainase intraoral, dimana insisi dimulai dari prosesus

koronoideus dan berjalan sepanjang batas anterior ramus menuju mukobukofold hingga kirakira sampai

daerah M2. Insisi bisa juga dilakukan ekstraoral pada kulit, di bawah sudut mandibula. Lalu hemostat

dimasukan sampai daerah akumulasi pus hingga menyentuh tulang. Karena akses jauh dari daerah

akumulasi pus, maka drainase yang baik sulit tercapai sehingga kasus ini sering kambuh kembali.(3)
Gambar 2.58 Submasseteric Abscess. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa

Pus pada Rongga Submasseter; (B) Penampakan Klinis Submasseteric Abscess.(3)

Gambar 2.59 Ilustrasi yang Menggambarkan Perkembangan Abses Dentoalveolar ke dalam

Spasia Fasial. (1. Abses Submandibular; 2. Abses Pterigomandibular; 3. Abses

Parafaringeal; 4. Abses Retrofaringeal).(3)

2.6.4.15 Pterygomandibular Abscess

Insisi drainase dilakukan intraoral pada daerah sepanjang mesial emporal crest. Panjang insisi 1,5

cm dengan kedalaman 3 – 4 mm. Masukkan hemostat bengkok ke arah posterior dan lateral hingga

berkontak dengan permukaan medial ramus.(3)


Gambar 2.60 Penatalaksanaan Klinis Abses Pterigomandibular. (3)

2.6.4.16 Lateral Pharyngeal Abscess

Insisi drainage dilakukan ekstra oral (seperti pada insisi kasus submandibular abses) sepanjang 2

cm, dari inferior ke posterior daerah posterior dari body mandibula. Masukkan hemostat ke daerah

akumulasi pus, eksplorasi hingga permukaan medial mandibula ke daerah M3 dan jika memungkinkan

hingga belakang daerah tersebut. Drain dipasang hingga lubang insisi bertahan 2 – 3 hari. Drainase dapat

dilakukan intraoral tetapi lebih sulit dan beresiko karena tingginya resiko aspirasi terutama bila insisi

dilakukan dalam NU.(3)

2.1.4.17 Retropharyngeal Abscess

Terapi dilakukan dengan drainase melalui daerah lateral spasia retrofaringeal, dimana biasanya

infeksi dimulai. Pemberian antibiotik merupakan keharusan.(3)

2.6.4.18 Parotid Space Abscess


Insisi yang lebar dilakukan pada posterior mandibula sepanjang batas pembengkakan. Tindakan

harus dilakukan sangat hati-hati agar tidak mencederai cabang nervus fasialis. Drainase pus dicapai dengan

diseksi tumpul menggunakan hemostat yang dapat mengekspolarasi daerah akumulasi pus.

Gambar 2.61 Parotid Space Abscess. (A) Ilustrasi yang Menggambarkan Terkumpulnya Massa

Pus dalam Rongga Parotid; (B) Penampakan Klinis yang Memperlihatkan

Pembengkakan Ekstra Oral Regio Retromandibular yang Berwarna Kemerahan.(3)


Gambar 2.62 Penatalaksanaan Klinis Parotid Space Abscess..(3)

2.6.4.19 Cellulitis (Phlegmon)

Selain terapi bedah, penatalaksanaan selulitis harus disertai terapi obat. Penisilin atau ampisilin

dosis tinggi diberikan parenteral. Drainase dapat dilakukan lebih dari satu tempat untuk evakuasi eksudat.

Untuk kasus yang berat, pasien harus dirawat di Rumah Sakit.(3)

Gambar 2.63 Cellulitis yang Terjadi dengan Etiologi Infeksi pada Gigi Mandibula Posterior.

(A) Ilustrasi yang Menggambarkan Regio Pembengkakan Terinflamasi yang

Menyebar secara Difus yang Meluas dari Regio Submandibular ke Infratemporal,

dengan Akumulasi Pus pada Jaringan Dibawah Gigi yang Mengalami Infeksi;

(B) Penampakan Klinis Pembengkakan Ekstra Oral Regio Kiri, Sehingga Wajah

Menjadi Asimetri.(3)
Gambar 2.64 Penampakan Klinis Setelah 15 hari Dilakukan Post Op. Penatalaksanaan Insisi dan

Drainase.(3)

2.6.4.20 Ludwig’s Angina

Penatalaksanaannya melalui terapi bedah dan terapi obat dengan menggunakan dua macam

antibiotik. Terapi bedah harus dapat mengevakuasi semua pus. Insisi dilakukan bilateral, ekstraoral, sejajar

dan inferior dari batas mandibula di daerah molar dan premolar. Di intra oral insisi dilakukan sejajar dengan

duktus kelenjar submandibula. Eksplorasi dilakukan untuk menghubungkan spasia-spasia yang terinfeksi,

dengan menembus septum yang memisahkannya hingga drainase dapat tercapai dengan maksimal. Pasang

drain hingga lubang insisi bertahan hingga 3 hari. Apabila terdapat sumbatan jalan nafas, maka harus

dilakukan terapi bedah untuk membebaskan jalan nafas.

Gambar 2.65 Cellulitis dengan Penampakan Klinis Ludwig’s Angina. (A) Ilustrasi yang

Menggambarkan Regio Pembengkakan Terinflamasi yang Menyebar secara Difus


pada Regio Anterior dan Posterior Mandibula (5 Spasia Fasial), dengan Akumulasi

Pus pada Jaringan dibawah Gigi yang Mengalami Infeksi; (B) Penampakan Klinis

Pembengkakan Ekstra Oral Regio Submental dan Submandibular. (3)

Gambar 2.66 (A) Penampakan Klinis Intra Oral yang Memperlihatkan Pembengkakan Regio

Dasar Mulut dan Elevasi Lidah, dan Supurasi Rongga Sublingual (Rentan Terjadi

Asfiksia); (B) Insisi dan Drainase; (C) Pemasangan Drain pada Regio Insisi;

(D) Penampakan Klinis 1 Bulan Post Op. (3)

2.7 Antibiotik

Dampak Penisilin. Penisilin telah menimbulkan revolusi dalam bidang perawatan luka pada PD

II. Penelitian selanjutnya telah mengubah dan memodifikasi penisilin yang pertama kali ditemukan dan

menambahkan bermacam-macam antibiotik lain, baik yang mempunyai spektrum yang serupa atau yang

efektif terhadap organisme di luar spektrum penisilin. Perkembangan tersebut lebih memacu lagi terjadinya

revolusi perawatan infeksi, melengkapinya dengan profilaksis terhadap orang-orang tertentu yang beresiko

tinggi, dan menjadikan terapi penisilin menjadi hal yang rutin pada pembedahan, yang mana pada masa

sebelumnya merupakan hal yang cukup berbahaya dan penuh tantangan.(1)


Efek samping antibiotik. Terapi antibiotik yang dilakukan secara luas mengakibatkan

meningkatnya jumlah pasien yang alergi dan resistensi beberapa organisme terhadap obat. Dua hal tersebut

harus dipertimbangkan apabila akan melakukan terapi dengan antibiotik.

Selain itu, sebaiknya didapatkan riwayat yang lengkap sebelumnya, karena respon negatif yang

terjadi pada pengobatan sebelumnya bukan merupakan jaminan bahwa pengobatan selanjutnya aman, yaitu

tidak alergi silang pada kelompok obat tertentu yang akan diberikan. Pemberikan antibiotik terutama secara

oral bisa mereduksi flora gastrointestinal yang terlibat dalam sintesis vitamin K. Apabila seseorang

mempunyai kelainan pembekuan darah yang disebabkan karena penyakit hepar, atau terapi warfarin

(Coumadin), maka terapi antibiotik dapat menyebabkan tertundanya proses pembekuan darah atau terjadi

perdarahan spontan.(1)

Penggunaan Antibiotik. Apabila memungkinkan, sebaiknya pemilihan obat didasarkan pada hasil

smear (pewarnaan gram), kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik yang dipilih diresepkan dengan dosis yang

adekuat dan jangka waktu yang memadai. Dosis subklinis tidak efektif dan bisa menyebabkan terjadinya

resistensi pada bakteri patogen tertentu. Kombinasi antibiotik tertentu misalnya satu atau dua macam obat

biasanya digunakan di Rumah Sakit untuk infeksi-infeksi yang serius. Terapi antibiotik kombinasi yang

biasanya dilakukan adalah suatu antibiotik spektrum luas dengan obat yang termasuk dalam kelompok

aminoglikosid. Untuk merawat infeksi dengan baik biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan

perawatan bedah, suportif, dan antibiotik.(1)

Terapi Antibiotika. Antibiotik sebagai salah satu bentuk terapi pada infeksi orofasial mempunyai

manfaat yang sangat besar disamping adanya kerugian dalam penggunaan nya. Antibiotik sebagai salah

satu terapi infeksi dipandang dari dua sisi, yaitu apabila penggunaannya tepat dalam pemakaiannya maka

antibiotika akan memberikan manfaat yang sangat besar, tetapi jika salah akan memberikan sedikit manfaat

dibandingkan dengan resiko yang diterima, dan biaya yang dikeluarkan. Diperlukan pengetahuan yang
cukup mengenai pemberian antibiotik dalam menangani infeksi orofasial. Beberapa faktor yang perlu

diperhatikan dalam pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi adalah:(2)

Tabel 2.16 Evaluasi Laboratorium Terhadap Infeksi.(1)

1. Apabila infeksi tersebut dalam perkembangannya cepat, serta membentuk suatu pembengkakan atau

selulitis yang menyebar.(2)

2. Terapi antibiotik diperlukan untuk mengontrol infeksi, sehingga gigi penyebab dapat segera

diekstraksi.(2)

3. Terapi antibiotik diperlukan bila pasien mempunyai defisiensi imun karena menderita beberapa

penyakit metabolik, atau sedang menjalani kemoterapi kanker. Dalam kasus ini, infeksi yang ringan

sekalipun memerlukan terapi antibiotik.(2)

Tabel 2.17 Antibiotik Per-Oral yang Efektif Mengatasi Infeksi Odontogenik


Bila diperlukan antibiotik, maka langkah awal dalam pemilihan jenis obat dapat dilakukan secara

empiris. Sekitar lebih dari 90% bakteri penyebab infeksi orofasial adalah golongan Streptococcus aerob

dan anaerob, Peptococcus, Fusobakteria, organisme Bakteriodes, dan beberapa jenis bakteri lainnya.

antibiotik yang dapat dipilih untuk mengatasi infeksi orofasial adalah dari golongan Penicillin, Eritromycin,

Clindamycin, Cefadroxil, Metronidazole, dan Tetracyclin. Antibiotik tersebut efektif untuk bakteri

golongan Streptococcus (kecuali Metronidazole) dan bakteri anaerob yang terdapat didalam rongga mulut.

Sebagai obat pilihan utama dalam infeksi orofasial adalah golongan Penicillin. Bagi pasien yang alergi

terhadap Penicillin dapat diberikan alternatif obat pilihan yaitu Eritromycin, Clindamycin, Sefalosporin,

dan Tetracyclin. Sebagai catatan, pasien yang memiliki alergi terhadap Penicillin biasanya juga akan

memiliki alergi terhadap Sefalosporin, sedangkan golongan Tetracyclin sudah jarang dipakai karena

sebagian besar bakteri telah resisten dengan pemakaian obat ini. Selain itu, golongan Metronidazole dipakai

bila terjadinya infeksi dicurigai terdapat peran serta bakteri anaerob.(2)

Tabel 2.18 Indikasi Kultur Spesimen dari Infeksi Odontogenik.(3)


Pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitivitas. Pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitivitas

tidak efektif untuk infeksi yang sudah biasa terjadi. Walaupun demikian, kadang-kadang dalam kasus yang

serius diperlukan pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitivitas. Indikasi untuk pemeriksaan kultur dan tes

sensitivitas antibiotika adalah pada infeksi yang perkembangannya cepat, infeksi setelah dilakukannya

pembedahan, tidak memberikan respons terhadap perawatan yang dilakukan, rekurensi penyakit, pasien

yang mengalami defisiensi imun, osteomielitis, dan bila dicurigai suatu aktinomikosis.(2)

Tabel 2.19 (A) Indikasi untuk Dilakukan Pemeriksaan Kultur dan Tes Sensitivitas. (2); (B) Informasi

yang Didapat dengan Pewarnaan Gram.(1)


Tabel 2.20 Regimen Terapi Empiris Antibiotik untuk Perawatan Infeksi Odontogenik pada

Jaringan Lunak.(3)

Sebaiknya penggunaan antibiotik dalam penanganan infeksi adalah golongan antibiotik

berspektrum sempit. Bila digunakan golongan antibiotik berspektrum sempit maka hanya dapat membunuh

mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi saja. Sebagai contoh, pada pemakaian golongan obat
Penicillin dapat membunuh bakteri rongga mulut Streptococcus anaerob, dan memiliki sedikit efek pada

Stafilococcus dan hampir tidak berpengaruh pada bakteri gastrointestinal. Dengan demikian, penggunaan

obat golongan Penicillin sedikit atau tidak berpengaruh pada traktus gastrointestinal dan tidak menimbulkan

banyak bakteri yang resisten. Sebaliknya, golongan obat seperti Tetracyclin yang juga merupakan obat

antibiotika berspektrum luas dapat membunuh bukan saja bakteri rongga mulut Streptococcus anaerob,

tetapi dapat pula membunuh variasi bakteri batang gram-negatif. Jadi golongan antibiotik ini, selain

berpengaruh terhadap bakteri pada traktus gastrointestinal, dapat pula menimbulkan perubahan flora normal

dan bertambahnya bakteri yang resisten.(2)

Tabel 2.21 Antibiotik.(1)


Selain itu, gunakanlah antibiotik yang mempunyai toksisitas dan efek samping yang kecil. Sebagian

besar antibiotik mempunya variasi toksisitas, dan efek samping yang ukurannya tergantung dari

penggunaannya. Sangat penting bagi pra klinisi untuk mengetahui kemungkinan adanya toksisitas dan efek

samping dari pemakaian antibiotik yang digunakan. Sebagian besar alergi disebabkan oleh golongan

Penicillin. Hampir 2-3% dari total populasi penduduk memiliki alergi terhadap Penicillin, tetapi hampir

tidak ada efek samping atau toksisitas pada pemberian dosis normal. Hal ini juga sama dengan golongan

obat Eritromycin dan Clindamycin yang mempunyai insidensi yang rendah terhadap terjadinya toksisitas

dan efek sampingnya.(2)

Klasifikasi. Klasifikasi obat-obatan antibakterial yang paling populer adalah didasarkan pada

persamaan biokimiawinya.(1)

Tabel 2.22 Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik dengan Terapi Antibiotik (bid: 2 kali sehari;

i.m: intra muscular; i.v: intravena; qid: 4 kali sehari; qxh:setiap x jam;

tid: 3 kali sehari).(3)


2.7.1 Penisilin

Farmakologi. Penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan. Baik yang alami maupun

semisintesis mempunyai aktivitas bakteriosidal spektrum luas, dan bekerja dengan jalan mengganggu

pembentukan dan keutuhan dinding sel bakteri. Sesudah pemberian secara oral maupun perenteral, bisa

ditemukan didalam semua jaringan tubuh termasuk pula didalam cairan serebrospinal. Penisilin

diekskresikan melalui urin. Efek samping yang fatal adalah anafilaksis (1 berbanding 10.000 pasien), dan

beberapa respons alergi, misalnya dermatitis, urtikaria, demam, artralgia, edema pada laring, prostrasi.

Penisilin dapat digunakan secara perenteral misalnya dengan penisilin G, dan bisa pula secara peroral
misalnya potasium penisilin V yang relatif stabil dalam asam dan diabsorbsi dengan baik. Terdapat

beberapa jenis penisilin yang lain terutama digunakan secara intravena atau intramuskular.(1)

Penggunaan. Penisilin V tersedia dalam bentuk tablet 125 – 250 mg, dan 500 mg. dosis untuk

dewasa adalah 500 mg tiap 6 jam sesudah dosis awal 1 gram, dengan kisaran sampai dengan 2 gram empat

kali sehari. Penisilin V juga tersedia dalam bentuk suspensi untuk anak-anak dengan dosis 125 atau 250

mg/ 5 ml. Dosis biasa untuk anak-anak dibawah usia 12 tahun adalah 15-62,5 mg/kg berat badan, dibagi

menjadi 3-6 kali sehari. Bentuk cair biasanya digunakan pada pasien yang sedang menjalani fiksasi

maksilomandibular maupun pada seseorang yang karena suatu hal tidak bisa menelan tablet (disfagia).

Penisilin merupakan obat utama untuk mengobati sebagian besar penyakit infeksi odontogenik dan untuk

profilaksis pada pasien resiko tinggi terhadap infeksi, apabila tidak terdapat riwayat alergi.(1)

Penisilin yang dimodifikasi. Tiga dari pengembangan penisilin yang terbaru dapat diberikan

peroral dan mempunyai spektrum agak lebih luas terutama terhadap organisme gram negatif Proteus

mirabilis dan Hemophilus influenza. Obat tersebut adalah ampicillin, carbenicillin, amoxicillin. Penisilin

yang lain lagi efektif terhadap bakteri yang memproduksi penisilinase, misalnya nafcillin, oxacillin,

cloxacillin, dan dicloxacillin. Penisilin yang efektif terhadap Staphylococcus yang memproduksi

penisilinase hanya digunakan bila kultur terbukti terdapat organisme tersebut dalam jumlah bermakna. (1)

2.7.2 Eritromysin

Farmakologi. Eritromisin adalah antibiotik yang penting karena dapat digunakan untuk orang yang

memiliki alergi terhadap penisilin. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif yang peka terhadapnya.

Obat ini tidak efektif untuk bakteri gram negatif. Eritromisin menghambat sintesis protein pada bakteri,

bisa bersifat bakteriostatik terhadap bakteri tertentu dan bakteriosid terhadap bakteri yang lain. Eritromysin

digolongkan sebagai obat bakteriostatik yang utama karena pengaruh bakteriosidnya lambat dan hanya

terjadi pada konsentrasi tinggi. Eritromisin stearat walaupun tidak lebih baik absorbsinya dibandingkan
estolate (estolate berhubungan erat dengan terjadinya hepatitis kolestatik, yang manifestasinya berupa

mual, muntah, kejang perut, dan jaundice). Tetapi eritromisin stearat jangan diberikan pada pasien dengan

gangguan fungsi hepar, karena terkumpul didalam hepar dan dieksrkresikan dalam empedu. Jika diminum

sebelum makan, eritromisin akan diabsorbsi lebih cepat. Eritromisin mencapai dosis puncak 1-4 jam

sesudah diminum. Eritromisin yang terkumpul didalam hepar akan dieksresikan melalui feses dan

empedu.(1)

Penggunaan. Dosis dewasa yang biasa adalah 250-500 mg setiap 6 jam. Eritromisin etylsuccinate

(200 mg/5 ml) tersedia dalam bentuk cairan untuk anak-anak (30-100 mg/kg berat badan/hari, dan diberikan

3-4 kali sehari.(1)

2.7.3 Cephalosporin

Farmakologi. Cephalosphorin secara struktural dan farmakologi mirip dengan penisilin yang bisa

menjelaskan reaksi alergi silang antara kedua kelompok tersebut (kemungkinan 5-10%, tetapi bisa lebih

rendah bila diberikan secara oral). Cephalosporin, cephaloglycin, cefadroxil, cephradine bisa digunakan

secara oral dan bisa diabsorbsi dengan baik dalam saluran gastrointestinal. Setelah diabsorbsi,

cephalosphorin disebarkan secara merata pada seluruh cairan tubuh dan sebagian besar jaringan.

Cephalosphorin menyebar tidak merata pada cairan serebrospinal. Obat ini diekskresikan lewat urin dan

telah dilaporkan terjadinya keracunan ginjal karena pemakaian obat ini. Pada waktu perawatan dan

setelahnya dapat terjadi kolitis pseudomembranosis. Cephalosphorin bersifat bakterisid terhadap sebagian

besar jenis Streptococcus dan Staphylococcus tetapi tidak efektif terhadap sebagian coccus gram negatif

dan batang yang sering terlibat dalam infeksi orofasial. Cephalosphorin jangan digunakan sebagai antibiotik

utama tetapi sebaiknya dicadangkan untuk kasus-kasus dimana tes sensitivitas menunjukkan bahwa obat

tersebut adalah yang paling efektif.(1)


Penggunaan. Dosis pemakaian cephalosphorin (Keflex) adalah 1-4 mg perhari dibagi dalam

beberapa dosis (setiap 6 jam atau dua kali sehari) untuk dewasa dan 25-50 mg/kg berat badan/hari, dibagi

menjadi empat dosis untuk anak-anak (125-250 mg/ml). Bentuk kapsul biasanya diminum dengan segelas

air putih untuk menghindari iritasi esofagus.(1)

2.7.4 Lincosamide

Farmakologi. Clindamycin yang merupakan suatu derivat lincomycin dapat diabsorbsi dengan

cepat apabila diberikan secara oral, dan mencapai konsentrasi maksimum dalam darah selama ½ - 1 jam.

Clindamycin dieksresikan melalui urin dan tidak terambil dengan hemodialisis. Secara umum, penggunaan

clindamycin sangat dibatasi pada individu dengan kelainan ginjal. Clindamycin bersifat bakterisid, yaitu

dengan cara menghambat sintesis protein. Walaupun clindamycin efektif terhadap sebagian bakteri gram

positif, indikasinya terutama untuk perawatan infeksi yang disebabkan oleh coccus gram positif anaerob

dan batang gram negatif. Clindamycin kadang-kadang dihubungkan dengan terjadinya colitis

pseudomembranosis. Oleh karena itu, apabila terjadi diare pemberian obat harus dihentikan.(1)

Penggunaan. Dosis oral untuk infeksi yang serius pada orang dewasa adalah 150–300 mg tiap 6

jam, sedangkan untuk infeksi yang lebih parah dosisnya mencapai 300-450 mg tiap 6 jam. Clindamycin

tersedia dalam bentuk kapsul atau suspensi pediatri 75 mg/ 5 ml. Dosis anak-anak berkisar antara 8-16

mg/kg berat badan perhari untuk infeksi yang serius, dan 16-20 mg/ kg berat badan perhari untuk infeksi

yang lebih serius. Clindamycin dicadangkan untuk infeksi yang serius disebabkan bakteri anaerob yang

rentan terhadap obat ini, dan pada kasus dimana respon terhadap penisilin kurang baik. Indikasi lainnya

adalah pada pasien yang mengalami infeksi yang parah dan alergi terhadap penisilin.(1)

2.7.5 Metronidazole
Farmakologi. Metronidazole adalah anti-protozoa mulut (Trichomonas, Entamoeba) dan anti-

bakteri. Cara kerja bakteriosidnya dengan jalan mengganggu sintesis DNA. Obat ini dapat diabsorbsi

dengan baik bila diberikan secara oral, dan terserap dengan baik pada kebanyakan cairan dan jaringan tubuh

termasuk saliva dan cairan serebrospinal. Obat ini dieksresikan lewat ginjal. Efektif untuk bakteri anaerob.

Apabila digunakan pada kasus infeksi campuran (aerob dan anaerob), maka perlu ditambahkan antibiotik

yang sesuai untuk infeksi aerob. Kandidiasis yang sudah ada atau yang tadinya tidak diketahui mungkin

memperlihatkan gejala yang lebih menonjol selama masa terapi dengan metronidazole. Pada kondisi

penyakit hepar yang parah, dosisnya dikurangi. Efek samping yang paling sering adalah mual, disertai

dengan sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang muntah.(1)

Penggunaan. Metronidazole (flagil) digunakan untuk infeksi-infeksi anaerob yangf seriur. Dosis

deasa adalah 500 mg tiap 6 jam tidak melebihi 4 gram perhari.(1)

2.7.6 Tetracyclin

Farmakologi. Tetracyclin merupakan obat yang bersifat bakteriostatik yang bekerja dengan jalan

menghambat sintesis protein. Obat ini diabsorbsi dengan ceoat apabila diberikan secara oral dan diekskresi

lewat urin dan feses. Doxyclin hyclate (Vibramycin) karena bisa terasorbsi sempurna maka mempunyai

efek samping yang kecil terhadap saluran pencernaan bagian bawah yang biasanya menyebabkan diare

dibandingkan jenis tetracylin lainnya. Tetracyclin tidak dianjurkan sebagai obat utama untuk infeksi

orofasial yang serius. Obat ini sebaiknya digunakan apabila tes sensitivitas memperlihatkan perlunya

pemberian obat ini, maupun obat lain tidak ada, atau pasien alergi terhadap obat utama. Absorbsi tetracyclin

berkurang dengan adanya susu, antasid, dan laksatif yang mengandung magnesium. Untuk membantu

absorbsinya sebaiknya obat ini diminum 1-2 jam sebelum atau setelah makan.(1)

Penggunaan. Orang dewasa memerlukan dosis awal doxycline hyclate (vibramycin) 100 mg dua

kali sehari. Anak-anak dibawah 100 lb diberi 1-2 mg/lb/hari. Vibramycin tersedia dalam bentuk kapsul 40

mg dan suspensi yang berisi 25 atau 50 mg/5 ml. tetracyclin yang digunakan selama odontogenesis, yaitu
pertengahan kedua masa kehamilan sampai anak berumur 8 tahun, bisa menyebabkan perubahan warna

pada gigi (kuning/abu-abu/coklat).(1)

2.7.7 Aminoglycoside

Farmakologi. Obat ini sulit untuk diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal, maka harus

diberikan secara perenteral, sehingga sangat praktis bila diberikan di Rumah Sakit. Obat biasanya

dikeluarkan lewat urin. Alergenitas silang bisa terjadi antara obat yang termasuk didalam aminoglycoside.

Aminoglycoside bersifat nefrotoksik dan ototoksis, kadang-kadang menyebabkan ketulian permanen.

Beberapa institusi melakukan tes pendengaran sebelum memberikan obat ini. Kontrol adanya

nefrotoksisitas dilakukan dengan mengontrol konsentrasi obat didalam serum secara berkala, dan fungsi

ginjal dengan mengukur kadar kreatinin, kliren kreatinin, BUN (nitrogen urea dalam darah). Penggunaan

obat ini hanya terbatas pada kasus-kasus infeksi yang serius dan bila tes sensitivitas memperlihatkan

efektivitas yang tinggi. Gentamycin dan tobramycin sufate efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa,

spesies Proteuis, E. Coli, Klebsiella enterobacter-serratia, dan organisme gram negatif yang lain yang sulit

dikontrol dan sering kelihatan pada tahap akhir infeksi yang diobati dengan antibiotik spektrum luas.

Kanamycin, neomycin sulfate digunakan secara topikal atau sebagai larutan irigasi.(1)

2.7.8 Antibiotik Topikal

Beberapa obat yang relatif toksis, sulit untuk diabsorbsi apabila diberikan secara oral akan sangat

efektif dan aman apabila diberikan secara topikal dengan konsentrasi yang cukup tinggi, misalnya

bacitracyn. Obat ini tersedia dalam bentuk salep untuk aplikasi topikal. Obat-obatan topikal biasanya sering

diberikan dalam bentuk kombinasi dengan yang lain supaya spektrumnya lebih luas misalnya bacitracyn,

neomycin, gramicydine, polimyxin B, maupun kombinasi lainnya.(1)


2.7.9 Obat Anti-Infeksi Lainnya

Kandidiasis. Walaupun mayoritas infeksi orofasial mempunyai etiologi bakterial, tetapi dapat pula

melibatkan ragi, jamur, dan virus. Kandidiasis dahulu pernah dianggap sebagai salah satu penyakit yang

hampir selalu mengenai anak-anak (thrush). Perawatan standar yang dapat dilakukan terhadap terjadinya

penyakit tersebut adalah gentian violet aqueous 2% topikal. Saat ini, sudah diketahui bahwa pasien dengan

penyakit-penyakit diabetes, gangguan mekanisme kekebalan tubuh yang berkaitan dengan malignansi,

kemoterapi, terapi antibiotik dan steroid, serta penderita AIDS, rentan terhadap Candida. Walaupun

candidiasis sering terjadi pada rongga mulut, tetapi dapat pula menyebabkan esofagitis, vaginitis, maupun

manifestasi sistemik (intestinal) yang tersebar luas.(1)

Imidazole. Imidazole yang merupakan anti jamur berspektrum luas digunakan untuk merawat

infeksi mikotik yang disebabkan oleh Candida albicans, Coccidiodes immitis, dan Histoplasma

capsulatum. Miconazole nitrat (Monistat) tidak diabsorbsi secara oral. Obat tersebut tersedia didalam

bentuk krem 2% dan larutan intravenous 1%. Krem diulaskan dua kali sehari sedangkan intravenous

diberikan setiap 8 jam dengan dosis 200-1200 mg. efek samping miconazole meliputi phlebitis, pruritus,

dan mual-mual. Clotrimazole (Mycelex) tersedia dalam bentuk troches 10 mg dan diberikan lima kali

perhari, bersifat menghambat sebagian besar Candida yang terdapat pada saliva. Ketoconazole (Nizoral)

efektif apabila diberikan secara peroral. Hal ini merupakan obat pilihan untuk merawat kandidiasis

mukokutan kronis yang sering mengalami kekambuhan dan memerlukan pengobatan yang kontinu. Dosis

yang dianjurkan adalah 200 mg (1 tablet) per hari, tetapi bisa ditingkatkan sampai 40 mg/ mg perhari untuk

infeksi yang serius maupun apabila respon klinis memperlihatkan hasil yang kurang memadai.

Ketoconazole sering dihubungkan dengan terjadinya toksisitas pada hepar dan keadaan yang berbahaya

lainnya. Efek samping yang lainnya adalah mual, muntah, nyeri lambung, dan pruritus.(1)
Nystatin. Nystatin (Mycostatin), digunakan untuk merawat kandidiasis, bersifat fungisid dan

fungistatik tetapi tidak memiliki sifat anti bakterial. Bekerja dengan jalan mengikat sterol pada membran

sel jamur. Nystatin yang tidak terasorbsi dieksresikan lewat feses. Untuk kandidiasis, nystatin bisa

diberikan secara topikal dan sistemik. Nystatin tersedia dalam bentuk salep, krem, serbuk untuk aplikasi

topikal, suspensi untuk pemakaian sistemik/topikal (kumur dan telan) atau dalam bentuk tablet. Aplikasi

salep secara topikal dilakukan dua kali sehari. Untuk perawatan kandidiasis oral, suspensi dipertahankan

selama mungkin didalam mulut sebelum ditelan (anak-anak dan dewasa 400.000-600.000 unit empat kali

sehari).(1)

Amphotericin B. Kandidiasis yang tersebar (disseminated) memerlukan perawatan dengan

Amphotericin B (Fungizone). Apabila diberikan secara intravena, obat ini dapat digunakan untuk pasien

yang menderita infeksi fungi yang progresif dan fatal (Histoplasmosis, Blastomycosis,

Coccidioidiomycosis, dan Cryptococcosis), biasanya dilakukan di Rumah Sakit. Efek samping dari obat ini

potensial berbahaya, misalnya phlebitis lokal, demam, sakit kepala, mual, muntah, dan toksisitas terhadap

ginjal. Selain itu, apabila digunakan dalam bentuk krem, lotion, salep secara topikal maka akan mempunyai

toksisitas sistemik yang relatif sangat rendah. Amphotericin B digunakan secara topikal 2-4 kali sehari.(1)

Obat-obatan antiviral. Kekurangan dalam obat-obatan anti infeksi adalah tidak adanya obat

antivirus yang efektif. Acylovir (Zovirax) adalah obat anti-viral yang digunakan untuk perawatan terhadap

virus herpes. Secara in vitro ditunjukkan bahwa obat ini dapat menghambat virus herpes tipe 1 dan 2,

varicella zoster, epstein barrm dan cytomegalovirus. Bentuk salep 5% bisa digunakan untuk lesi herpes

genital tahap awal, dan terbatas pada infeksi herpes simpleks mukokutan yang tidak berbahaya pada pasien

immunokompromis. Pada pasien immunokompromis terjadi penurunan pembiakan virus dalam darah dan

sedikit penurunan durasi rasa sakit. Pada pasien yang tidak mengalami gangguan kekebalan, pemberian

salep acyclovir kurang bermanfaat. Aplikasi yang dianjurkan adalah setiap 3 jam, 6 kali sehari dalam waktu

7 hari. Acyclovir bisa juga diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami gangguan kekebalan

(Compromised patient).(1)
BAB III

KESIMPULAN

Infeksi orofasial akut menimbulkan kompleks gejala awal yaitu rasa sakit, pembengkakan,

kemerahan, pernanahan, dan gangguan pengecapan, serta bau mulut (pada abses). Apabila infeksi

tidak diobati, maka akan timbul gejala sekunder berupa meningkatnya rasa sakit dan

pembengkakan, disertai trismus, disfagia, limfadenitis, demam dan malaise (selulitis). Pengenalan

tahap-tahap proses penyakit infeksi sangat penting untuk menganalisa bahaya potensial yang akan

timbul dan efektivitas perawatan.(1)

Sebagian besar infeksi mulut adalah polimikrobial dan biasanya melibatkan bakteri aerob dan

anaerob. Untuk mengisolasi bakteri tersebut digunakan teknik smear dan kultur sehingga bisa

dilakukan tes sensitivitas untuk menentukan antibiotik yang tepat.(1)

Infeksi odontogenik pada daerah stomatognati merupakan infeksi yang sering ditemukan sehari-

hari pada praktek kedokteran gigi. Oleh karena itu, dokter gigi harus mengenal, dan melakukan

pengamatan terhadap tanda-tanda terjadinya infeksi. Ppada pasien diamati adanya reaksi inflamasi,

timbulnya gejala-gejala infeksi, adanya demam, dan adanya pembesaran kelenjar limfa

regional.(2)

Sebelum melakukan perawatan terhadap infeksi harus dilakukan anamnesa, yang lengkap

mengenai riwayat penyakit, pemeriksaan keadaan umum pasien yang meliputi tekanan darah, nadi,

pernapasan, dan temperatur. Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan lokal berupa inspeksi dan

palpasi untuk melihat ukuran, rasa sakit, suku lokal, trismus, karies, lokasi pembengkakan, ada

tidaknya fistel, dan struktur lainnya di rongga mulut. Sebaiknya dilakukan rontgen foto dan bila

memungkinkan dilakukan aspirasi untuk pemeriksaan kultur.(2)


Setelah dilakukan pengamatan dan pemeriksaan yang baik, selanjutnya ditegakkan diagnosa, dan

disimpulkan apakah pasien memerlukan perawatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi umum

atau harus dikonsulkan. Pasien dengan infeksi yang tidak terlalu berat dapat dilakukan perawatan

dengan pemberian antibiotik yang adekuat dan dilakukan tindakan insisi dan drainase, serta terapi

pendukung lainnya untuk membantu mengeliminasi bakteri penyebabnya.(2)

Pengetahuan umum yang luas tentang obat-obatan antibiotik, keefektifannya, efek sampingnya,

dan sifat farmakologisnya sangat diperlukan untuk perawatan infeksi. Sebelum memberikan obat

perlu ditinjau apakah pasien alergi atau tidak. Penicillin merupakan obat pilihan untuk hampir

sebagian besar infeksi orofasial pada pasien yang tidak memiliki alergi sebelum didapatkan data

bakteriologi yang lengkap. Efektifitas terapi antibiotik tergantung dari konsentrasi obat yang dapat

mencapai daerah yang terinfeksi.(1)

Keberhasilan perawatan infeksi orofasial dapat dicapai dengan pemakaian antibiotik yang benar,

tidnakan bedah yang sesuai (insisi dan drainase), dan terapi pendukung yang memadai.(1)

Walaupun infeksi-infeksi orofasial akut relatif jarang ditemukan, namun karena potensinya yang

sangat berbahaya sebaiknya harus berhati-hati dan penuh perhatian bila menghadapi kasus ini.(1)
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedersen, G. W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: Purwanto; dan
Basoeseno. Editor: L. Yuwono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p191-p219.

2. Karasutisna, T; M. Endang Daud; dan T. Soeparwadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Bedah
Mulut: Infeksi Odontogenik. Edisi 1. Bandung: Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran. p30-p46.

3. Fragiskos, F. D. 2007. Oral Surgery. Greece: Springer. p205-p239.

Anda mungkin juga menyukai