Anda di halaman 1dari 4

SANG PUITIS

Karya : Ilham Kelian Ramadahan


XI C

Kupercepat langkah menuju rumah. Tak ingin ku melihatnya hilang. Mungkin ini waktu
tercepat ku dari sekolah menuju rumah. Sesampainya dirumah, ku lemparkan tas ke kasur, ku
ganti baju secepat kilat, dan makan seperti yang kelaparan. Tujuanku hanya untuk mencari
sesuatu.
“ Mana dia? Rasanya tak mungkin kalau dia mampu berjalan, semalam pun aku liat ada di sini.
Tapi mana?”
Kamar yang rapih seketika ku ubah jadi kapal yang pecah. Hanya untuk mencari satu barang,
tapi rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Waktu pun tak dirisaukan, senja pun
sudah menyelimuti langit ini. Tak terasa bayangan telah condong ke samping, dan aku belum
mendapat hasil.
“Kala ! Apa yang kamu lakuakan, memangnya kamu pikir membereskan kamar itu mudah!”
Seketika hening. Saat kebingungan melanda, dirubah menjadi rasa bersalah.
“Coba ceritakan, apa maksudmu mebuat kamar ini jadi begini?” Ibu bertanya dengan nada yang
lebi rendah.
“Jadi begini.......
***
....... loh mana kertas ku? Seperti nya kertasnya tadi ada” Raut ku berubah jadi bingung, namun
dicampur dengan rasa takut dimaki oleh Ibu guru. Bimbang diaduk dengan kekhawatiran.
“ Niskala” Dengan suara lantangnya Ibu guru memanggilku. Kakiku mendadak dibalut oleh
dingin.
“ Mana tugas mu Kala? Jangan jawab kalau lupa.”
Aku bingung harus apa, seperi ini salah, kalau itu juga salah. Dan terpaksa aku harus jujur,
bahwa kertas ku lupa dibawa.
“Hah! Maksud kamu apa?! Kamu sengaja meninggalkannya begitu saja?! Kamu mau menghina
Ibu?! Kamu sengaja mau menghina Ibu sebagai pembimbing mu?! Kamu sengaja ingin
mengecawakan Ibu, apakah kamu tak ingin Ibu bangga padamu. Jelaskan Kala, Jelaskan?!!!”
“Maaf bu, aku tak bermaksud untuk meninggalkan tugasku begitu saja.”
“Yang penting nanti hari Senin kamu bawa, dan bacakan di depan kelas”
Dan aku hanya sanggup untuk menganggut. Terpaksa nanti aku harus kumpulkan mental untuk
membacanya. ............
***
......jadi begitu” ucapku setelah merincikan kejadian itu.
“Jadi dari tadi kamu hanya mencari selembar kertas, memang nya kertas yang bagaimana yang
kamu cari?”
“Aku mencari kertas yang tersurat satu puisi. Puisi tugas ku. Aku pakai kertas buram”
“Maksudmu kertas usang di atas meja itu?”
Aku mulai tau alur berikutnya, sepertinya ada kaitannya kertas itu dengan Ibu ku. Dan betul
saja....
“ Eeeeh, maaf ya Kala, Ibu tak sengaja membakarnya..”
***
Setidaknya ada satu hari untuk merangkai secarik puisi itu. Tapi kenapa satu jam di hari ini
serasa satu menit. Satu jam berlalu aku belum menggores kertas putih ini. Di otak ku tak ada
pelangi, mungkin telah kembali ke asalnya yaitu awan hitam diantari langit dan hati. Bagaimana
ini, tak ada bayangan atau gambaran. Pulpen di tanganku rasanya tak berguna, tintanya pun
masih utuh tak berkurang. Lama-lama akan ku lemparkan ke muka tembok.
Siang pun telah menyambutku, tatkala kegundahan mulai menyelubungi. Disaat makan pun aku
melamun untuk memikirkan puisi apa yang akan kubuat.
“Hei, Kala kenapa kamu melamun?” ucap Ibu ku yang mebuat aku terkejut.
Setelah aku menceritakan tentang apa yang aku alami ini Ibu ku mulai mengkerutkan dahinya.
“Bukankah kamu pandai merangkai kata-kata, seharusnya ini bukan masalh bagimu”
“Masalah nya aku tidak tau apa tema dan topik yang akan aku puisikan, dari tadi aku hanya
mencari itu” jelasku
“Kenapa kamu tak jadikan dirimu sebagai puisi? Bukannya liku hidupmu berkelok-kelok,
mungkin bagus untuk dipuisikan” ucap Ibu ku. Tanpa berfikir lama aku langsuung pergi ke
kamar.
”Habiskan dulu makananmu!”
“Nanti saja lagi bu” ujarku sambil berlari menuju kamar.
Selagi pelanginya masih ada aku langsung menoreh tinta di kertasku. Huruf demi huruf
ku terpa, kata demi kata ku ukir, kalimat demi kalimat ku rangkai, bait demi bait ku untai. Saat
sore menjelang, akhirnya aku menyelasaikan secarik puisi ini.
Sore pun telah berganti oleh kelambu malam. Rasanya bahagia telah menyelesaikan tugas ini,
walau banyak lika-liku didalamnya. Tapi aku belum mengumpulkan mental untuk membacanya.
Aku takut apa yang aku baca tak dapat sebagus yang dibayangkan. Tidurku pun tak nyenyak,
bak tidur dengan bantal, ditemani oleh guling batu, yang diselimuti oleh awan hitam pembawa
petir. Aku pun pasrah kepada Tuhan, apa yang besok terjadi adalah kehendaknya.
***
Kokokan ayam membangangunkanku, lalu disambut oleh senyum sang mentari. Pagiku
sangat cerah, semoga itu juga terjadi pada siang, sore, dan malam ku. Aku beharap pembacaan
puisi ku dapat memuaskan, dan aku dapat terpilih mewakili sekolahku di perlombaan nanti.
Suasana gaduh, rusuh, bising tercipta di dalam kelasku. Kosa kata di mana-mana,
kumpulan siswa yang membuat kecoh kelasku. Bising diatas gaduh di bawah, ini kepala seakan
pecah, meliht tingkah teman-temanku. Aku ingin suasana ini terjadi disaat aku membacakan
puisi ini. Tapi, kalau seperti ini dari awal aku susah untuk membaca puisiku apalagi untuk
berkonsentrasi. Dengan seperti ini aku munkin tidak bisa menjadi perwakilan dari sekolahku.
Bagaimana untuk mencapai puncak tertinggi kalau halnya tangga pertama sudah lubang dan
berduri. Namun di dalam hati kecilku, aku masih menunda harapan.
“Selamat pagi” ucap Bu Rika. Seketika kelas yang gaduh di ubah menjadi kelambu hening
diantar bising. Disaat itu lah ku hela nafas panjang-panjang. Walaupun nama ku belum di panggi
kedepan, rasanya tubuh ini sudah didepan, sudah merasakan bagaimna olokan teman, sudah
merasakan dinginnya telapak tangan, dan juga sudah merasakan bagaimana harapan dihapuskan.
Detak jantung tak henti berdebar, walaupun hanya di depan kelas tapi rasanya seperti
dikerumunan orang. “Niskala kedepan” Terkejut ku mendengar namaku sendiri, saat termenung
meratap diri, aku beranikan untuk kedepan. “ Ibu kira kamu sudah siap membaca puisi yang
mungkin buatan mu sendiri” Entah kenapa seperti kalimat ironi yang melayang kepadaku. Tapi,
aku hanya menganggukan kepala. Dengan tenaga dan jiwa, dengan keberanian dan ketakutan,
dengan rasa takut dan khawatir, aku membaca puisi ini. Saat ku mengakat kertas ku, semuanya
tak bersuara,seperti malam tanpa rembulan. Hela nafas, ku perpanjang untuk mengupulkan
semua rasa dalam diriku.
“ Curahanku
Niskala

Hanya dibangunkan oleh senyum sang mentari


Lalu diselimuti oleh mega-mega diantara langit

Pagiku oleh hinaan


Siangku oleh kedustaan
Soreku oleh kenircaan
Dan malamku oleh kedengkian

Liku ku dibasuh luka


Luka hati yang teriris
Dibanting dengan huru-hara
Dilumuri dengan darah dari kupu-kupu malam
Rumahku adalah jalanan
Kasurku adalah emper toko
Makanku adalah sisa makanannya
Bantalku adalah tangan tanpa tilam
Pilarku adalah kepercayaan yang telah musnah
Lampuku adalah remang-remang dari gang kegelapan

Hidup yang serba ada seperti tak punya apa-apa


Hidup bergelimbang harta tapi harus mengemis dengan ratapan
Hidupku sudah percuma
Buat apa bila aku hanya jadi penambah derita

Aku hanya ingin curahan ini didengar Tuhan


Agar aku bisa hidup tanpa kebohongan”

Nafasku ku buang, dan seketika heningnya begitu kuat. Sampai Ibu Rika berdiri dan
tepuk tangan, lalu diikuti oleh teman-temanku. Sorak sorai dan tepuk tangan ini membuat aku
yakin bahwa aku bisa melakukan apa saja tanpa harus mengharap lebih.
Saat Ibu Rika mengumumkan bahwa aku ikut di pelombaan nanti aku sangat bahagia
sekali. Dan walaupun aku sadar aku masih banyak kekurangan. Tapi pengalaman dapat menjadi
guruku. Satu per satu puisi aku jajal, satu demi satu puisi aku makan, agar aku dapat mengetahui
banyak tentang karakter puisi dan citraannya. Hari demi hari aku belajar tanpa takut kalah, aku
hanya ingin menampilkan satu hal yang berkesan untuk ku dan semua orang. Saat ke
perpustakaan aku pasti meminjam satu buku puisi lalu membaca nya di kelas. Saat orang lain
gaduh dengan kesibukannya aku pun sibuk dengan puisiku. “Lihat sang puitis sedang membaca
puisinya” Kata itu sering terlontar dari mulut teman temanku, entah ironi apa yang mereka
lakukan tapi ini menjadi pemacu bahwa aku sudah bisa disebut sang puitis. Bagaimapun juga ini
kesempatanku untuk buktikan bahwa daerahku punya potensi di dalam puisi, yang dianggap
orang daerahku ini daerah tertinggal. Aku kan buktikan pada duni bahwa ku bisa.
***
Ada rasa yang berbeda. Mungkin saat lentera redup tatkala menatap awan hitam berlalu,
menutupi cahaya gemilangnya. Dan langit kilau telah musnah menjadi gelap gulita. Lalu pelangi
milikku telah kembali ke wujud aslinya, menuju awan kelam yang berisi duka tersimpan di
dalam sanubari. Walupun in hari yang paling kutunggu, tapi kekhawatiran terasa selalu
menyelubungi. Tapi kali ini juga, aku pasrahkan segala hal kepada Tuhan.
Saat aku sampai ditempat perlombaan, aku tak nampak banyak orang lalu lalang. Tapi
rasanya seperti hanya ada aku seorang. Mungkin ini hanya perasanku saja. Saatnya aku miniti
langkah menuju ruang perlombaan. Aku harap bunga latihanku dapat menjadi buah. Peserta
yang kulihat dapat dihitung oleh jari. Harapanku dengan hanya tiga peserta ini aku dapat unggul.
Peserta pertama sangat menjiwai puisinya terlihat dari sorot mata kepada orang. Disitu
aku mulai ciut. Peserta kedua pelapalannya sangat jelas. Aku disini mulai merasakan aura
kekalahan. Tapi dengan sisa tenaga aku pasrahkan. Langkah kakiku mulai dibalut oleh
ketakutan, badanku mulai merasakan dinginnya malam, cucuran keringat mulai basah di
punduk, detak jantung seakan tak berirama. Aku hela nafas dengan panjang, aku akan ulangi
waktu saat di kelas itu.
“ Potret Indonesia
Niskala

Telah berpijak pada tanah merah


Meniti langkah di pantai-pantainya
Menggapai dengan kemustahilan
Lalu digulung oleh ombak kedustaan

Potret suatu bangsa yang berbhineka


Potret negara yang berpancasila
Potret warga yang berkesopanan
Dan potret alam yang terbentang luas
Potret bangsa yang berbhineka
Yang dicampur oleh berbagai tindakan kriminalis
Lalu di aduk oleh kedengkian
Hingga diwarnai oleh darah pembantaian

Potret negara yang berpancasila


Ditinggalkan demi kepentingan
Dihapuskan demi kesenangan
Dasar segala hal yang diacuhkan

Potret warga yang berkesopanan


Namun, diisi oleh bahasa bintang
Juga ditambah kupu-kupu malam diantara remang-remang
Ditiup oleh hasutan tak berlandasan

Dan potret alam yang terbentang luas


Tapi telah kerontang
Air menggulung tiada birama
Hewan turun demi makanan

Potret Indonesia
Dimana darah ada di sudut-sudut rumah
Dimana hukum lancip kebawah, dan tumpul ke atas
Dimana manusia tak berkesopanan
Dimana alam tak lagi bersahabat

Ini Indonesia”

Tak sadar aku memejamkan mata, lalu saat kubuka semua telah berdiri bersorak sorai.
Ini seperti keaadan waktu dulu. Saat pertama kali membaca puisi dan sangat dihargai. Aku harap
ini pun dapat dihargai.
Saat pengumuman diumumkan, aku merasakan hal yang tak biasa. Entah pirasat atau
hanya sebatas perasaan. Juara tiga telah dimumkan, sekarang hanya penetuan diantara juara satu
dan dua. Dan aku berharap aku akan menjadi juara satu untuk pertama kali.
“ Dan juara dua baca puisi adalah........... Niskala”. Seketika aku menghela nafas yang panjang.
Meratap hasil perlombaan. Dan aku gagal untuk menjadi juara pertama di dalam hidupku. Tapi
tak apa ini adalah pengalaman, pengalaman dijulukisang puitis, pengalaman membaca berbagai
buku puisi, pengalaman belajar yang sangat berkesan. Setidaknya aku masih bisa mebuktikan
kepada dunia, bahwa masih ada potensi besar di daerahku.

Anda mungkin juga menyukai