Disusun oleh:
Kelas/Kelompok:
A/A4
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
DAFTAR ISI
Halaman
Alpukat berasal dari Amerika Tengah, yaitu Mexico, Peru, dan Venezuela yang
telah menyebar luas ke berbagai negara hingga Asia Tenggara termasuk
Indonesia (Sadwiyanti, Djoko, Tri, 2009). Buah apukat merupakan buah yang
memiliki nilai nutrisi, kandungan lemak, dan energi buah yang tinggi. Tidak hanya
itu, buah alpukat juga kaya akan vitamin dan mineral, serta dapat dijadikan bahan
pangan dan penyedia energi. Menurut Wahyu (2009), dalam perdagangan dunia,
buah alpukat merupakan komoditas buah kelima dengan volume perdagangan
tertinggi setelah jeruk, pisang, nanas, dan mangga. Mengetahui hal tersebut,
pengembangan tanaman alpukat di Indonesia akan meningkatkan berbagai aspek
kehidupan masyarakat dan ekonomi tidak hanya dari segi kesehatan namun juga
dari segi kesejahteraan. Salah satu syarat tumbuh buah alpukat adalah lebih
cocok ditanam dengan ketinggian tempat berkisar 200-1000 mdpl sangat cocok
ditanam di daerah Wonorejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.
1.2. Tujuan
Luas lahan yang dimiliki Bapak Karno seluas 2 ha dan sebagian besar
ditanami dengan komoditas alpukat. Adapun tanaman alpukat Bapak Karno
membutuhkan lubang tanam sebesar 80 x 80 x 60 cm dengan jarak tanam minimal 10
meter dan maksimal 15 meter. Sesuai dengan pendapat Sadwiyati, et al. (2009),
bahwa tanaman alpukat dapat ditanam dengan lubang tanam 75 x 75 x 75 cm atau
bisa diperbesar tergantung dengan kondisi lahan masing-masing, serta jarak tanam
alpukat yang dianjurkan adalah sekitar 9 x 12 m. Benih alpukat yang digunakan Bapak
Karno adalah dari perbanyakan vegetatif seperti okulasi, sambung pucuk, dan
cangkok susun yang diproduksi sendiri oleh Bapak Karno. Adapun Varietas yang
digunakan untuk budidaya adalah Arjuna, Aligator, Mentega, Minthi, dan Lokal. Setiap
varietas memiliki hasil produksi yang berbeda akan tetapi memiliki perawatan yang
hamper sama. Pola tanam yang digunakan oleh Bapak Karno adalah pola
tumpangsari yaitu antara pohon alpukat dengan pisang dan tanaman palawija. Hal ini
dilakukan karena pohon alpukat memiliki tinggi hingga melebihi 5 meter dan
menjulang ke atas sehingga bagian bawah yang kosong dapat dimanfaatkan.
Tumpang sari memiliki banyak manfaat baik untuk tanaman pokok maupun tanaman
sela. Sesuai dengan pendapat Herlina (2011), bahwa tumpangsari memiliki
keuntungan yaitu dapat memanfaatkan lahan kosongdi sela-sela tanaman pokok,
penggunaan cahaya yang efisien, pengelolaan air, unsur hara yang efektif,
mengurangi kegagalan panen, dan dapat menekan pertumbuhan gulma.
Perawatan tanaman alpukat tergolong tidak terlalu sulit. Hal ini dimuali dari
pengairan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama penyakit.
Pengendalian gulma dapat ditekan dengan adanaya tanaman sela di sekitar tanaman
alpukat. Pengairan yang dilakukan Pak Karno adalah melalui tadah hujan. Akan tetapi
diawal menanam, Pak Karno tetap mengairi dengan menggunakan irigasi. Sedangkan
pemupukan yang dilakukan terdapat tiga fase, yaitu saat pra tanam, fase vegetative
(pertumbuhan), dan fase generative (pembungaan dan pembuahan). Pupuk yang
digunakan saat pra tanam terdapat 4 lapisan yaitu dengan pupuk organik, SP-36,
Mutiara, dan NPK Phonska. Pada fase vegetative menggunakan pupuk Mutiara,
Stater, Blower, dan SP-36. Sedangkan pada fase pembungaan dan pembuahan
dilakukan pemberian pupuk KCl, SP-36, dan NPK Phonska. Menurut Sadwiyati, et al.
(2009), agar pupuk dapat efektif dan secara maksimal terserap tanaman, maka cara
pemberian pupuk harus dilakukan dengan benar. Saat pemupukan biasanya
dilakukan bersamaan dengan pendangiran atau penggemburan tanah. Pendangiran
dilakukan pada tanah di bawah tajuk dengan radius 75-100 cm dari batang tanaman.
Saat pemberian pupuk untuk tanaman muda menjelang musim kemarau atau awal
musim penghujan. Sedangkan untuk tanaman yang sudah berproduksi dilakukan
setelah panen dan menjelang pembungaan.
7
2.5 Solusi yang Direkomendasikan
Solusi yang direkomendasikan diambil dari buku Building Soils for Better
Crops. Berdasarkan sumber literatur tersebut dapat direkomendasikan agar petani
melakukan penanaman LCC (Leguminose Cover Crops). LCC dapat membantu
memperbaiki dan mempertahankan kesehatan tanah, mengurangi erosi dan
meningkatkan infiltrasi air, serta dapat menambahkan material organik, meningkatkan
populasi mikoriza, meningkatkan kandungan N tersedia pada tanah, menekan
populasi gulma, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.
8
2.6 Rancangan Kegiatan Perbaikan Habitat
Keberlanjutan daya dukung lahan dari segi kesuburan tanah terkait dengan
intensitas penanaman, kandungan bahan organik tanah, kekahatan unsur mikro,
penurunan keragaman dan populasi mikroba tanah yang akan berpengaruh
9
terhadap keberlanjutan produksi secara ekonomis, perlu diperhatikan dalam
sistem usahatani.
Pelestarian mutu sumber daya lahan pertanian pada dasarnya bersifat
spesifik lokasi yang ditentukan oleh banyak faktor, seperti kontur permukaan
tanah, jenis tanah, struktur dan tekstur tanah, curah hujan, pengelolaan bidang
tanah, dan pola tanam. Oleh karena itu, anjuran teknologi budi daya tanaman
dengan teknik konservasi sumber daya perlu diidentifikasi dan dipilih yang paling
sesuai bagi masing-masing tipe agroekologi.
Teknik pelestarian yang bersifat teknik sipil dan biologis sudah banyak
didokumentasikan. Namun aspek pengelolaan tanah dan tanaman dengan
menggunakan teknologi perbaikan habitat secara in-situ belum banyak
dimanfaatkan dalam upaya pelestarian mutu SDLP, yang meliputi hal-hal berikut:
1. Pengayaan kandungan bahan organik tanah untuk memperbesar kapasitas
penyerapan air dan mencegah erosi (Hatfield et al. 2001, Steiner et al. 2006,
Graham et al. 2007).
2. Teknik penyiapan lahan secara minimal (minimum tillage) atau teknik tanpa olah
tanah (no tillage) (Hao and Kravechenko 2007).
3. Pengelolaan hara tanaman memenuhi kebutuhan tanaman secara optimal
4. Rotasi tanaman melibatkan spesies tanaman yang memiliki perakaran dalam
dan meninggalkan residu tanaman dalam jumlah besar.
5. Pembuatan bedengan dan guludan pada barisan tanaman sejajar kontur
kemiringan lahan (Bhrane et al. 2006).
6. Penerapan teknologi budi daya secara benar dari aspek penggunaan sarana
agrokimia, pengairan, pengendalian hama penyakit, komposisi spesies
tanaman, dan pemeliharaan kesuburan tanah
10
2.6.2. Teknologi Konservasi Biodiversitas
1. Polikutur
Polikultur adalah model pertanian yang menerapkan aspek lingkungan yang
lebih baik dan melestarikan keanekaragaman hayati lokal. Keanekaragaman yang
dimaksud tidak hanya dari segi flora (tumbuhan) tetapi juga fauna yang ada. Pada
pertanaman polikultur, sumber daya tertentu untuk musuh alami (predator dan
parasitoid) telah tersedia karena adanya keragaman tanaman (Tobing, 2009).
Konservasi musuh alami baik predator maupun parasitoid sangat berkaitan erat
dengan cara pengelolaan lahan pertanian (agroekosistem) atau modifikasi faktor
lingkungan.
Selain itu sistem polikultur pada agroekosistem memiliki keragaman tanaman
yang lebih variatif. Pola tanam polikultur menambah keragaman tanaman sehingga
penutupan tajuk akan lebih besar jika dibandingkan dengan lahan monokultur. Dari
segi pengendalian hama, sistem polikultur sangat menguntungkan, karena
keragaman dan populasi musuh alami (parasitoid dan predator) relatif tinggi (Nurindah
dan Sunarto, 2008). Pada pertanaman polikultur, sumber-sumber daya tertentu untuk
musuh-musuh alami telah tersedia karena adanya keanekaragaman tanaman.
Keanekaragaman tanaman dapat menurunkan populasi serangga herbivor, semakin
tinggi keragaman ekosistem dan semakin lama keragamanini tidak diganggu oleh
manusia, semakin banyak pula interaksi internal yang dapatdikembangkan untuk
meningkatkan stabilitas serangga.
Pola tanam polikultur mampu meningkatkan keragaman vegetasi sebagai
mikrohabitat bagi arthropoda predator. Polikultur memiliki potensi menciptakan
keanekaragaman fauna dengan jaring makanan yang lebih kompleks, termasuk
menstimulasi kehadiran pengendali hayati (Rohman, 2008). Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa pola tanam polikultur memiliki kelimpahan jenis
serangga lebih tinggi dibanding pola tanam monokultur. Hal tersebut sejalan dengan
pernyataan Effendy, et al. (2013) bahwa kelimpahan individu juga dipengaruhi oleh
kompleksitas struktur habitat, luas areal habitat, dan iklim mikro di habitat tersebut.
Struktur vegetasi tumbuhan yang kompleks (polikultur) dapat mendukung kelimpahan
spesies artropoda predator dari pada struktur vegetasi tumbuhan yang sederhana.
Ditinjau dari dinamika serangga, polikultur tanaman tahunan lebih mendukung
herbivora ke tingkat lebih rendah daripada monokultur. Kecenderungan ini disebabkan
11
oleh kestabilan populasi musuh alami dengan adanya ketersediaan sumber-sumber
pakan dan mikro habitat secara terus-menerus. Kemungkinan lain adalah herbivora
tertentu lebih memilih habitat pada tanaman sejenis yang menyediakan semua
kebutuhannya secara terpusat dan kondisi fisik yang selalu sama. Manipulasi dengan
menggunakan tanaman penutup tanah (cover crops) juga berpengaruh terhadap
serangga hama dan musuh-musuh alaminya. Data memaparkan bahwa kebun buah-
buahan dengan tanaman liar dibawahnya menimbulkan kerusakan lebih rendah oleh
serangan serangga dibanding dengan kebun buah yang diusahakan bebas dari
tanaman lain (clean cultivated), karena melimpahnya jumlah dan efisiensi predator
dan parasitoid (Tobing, 2009).
12
Serangga musuh alami seringkali memerlukan tempat berlindung sementara
sebelum menemukan inang atau mangsanya. Penanaman tanamam di sekitar lahan
dapat dilakukan untuk memenuhi hal tersebut. Yang dapat berfungsi sebagai sumber
makanan bagi imago baik parasitoid maupun predator dan berlindung sementara
(refugia). Tanaman refugia merupakan salah satu tempat tinggal sementara yang apat
memenuhi kebutuhan hidup musuh alami. Tanaman refugia merupakan komponen
agroekosistem yang penting, karena secara positif dapat mempengaruhi biologi dan
dinamika musuh alami. Refugia yang ditanamn di sekitar pertanaman tidak hanya
berfungsi sebagai tempat berlindung dan pengungsian musuh alami ketika kondisi
lingkungan tidak sesuai , tetapi juga menyediakan inang alternatif dan makanan
tambahan bagi imago parasitoid seperti tepung sari dan nektar dari tumbungan
berbunga serta embun madu yang dihasilkan oleh ordo Hemiptera (Kurniawati, 2011).
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Benih alpukat yang digunakan oleh petani adalah dari perbanyakan vegetatif
seperti okulasi, sambung pucuk, dan cangkok susun yang diproduksi sendiri.
Pola tanam yang digunakan ialah pola tumpangsari yaitu antara pohon alpukat
dengan pisang dan tanaman palawija
2. Permasalahan yang dihadapi pada budidaya antara lain pada waktu
pembungaan gagal karena kekurangan nutrisi, selanjutnya yaitu erosi tanah
akibat kelerengan yang curam dan permasalahan terakhir adalah
pengendalian hama yang menyerang tanaman alpukat diantaranya ulat, lalat
buah, cabuk, dan penggerek batang.
3. Solusi aktual yang dapat diterapkan untuk permasalahan petani ialah:
-Untuk mencukupi kebutuhan nutrisi saat masa pembungaan, petani
memberikan pupuk tambahan berupa pupuk KCl, SP-36, dan PHONSKA
- Untuk mengendalikan hama, petani melakukan pendekatan mekanis
-Melakukan terasering pada lahan yang curam dan membuat biopori untuk
resapan air dan tempat aplikasi pupuk.
Solusi rekomendasi untuk permasalahan petani ialah:
- Pengaplikasian LCC (Leguminose Cover Crop)
- Penambahan material organik
4. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk perbaikan habitat antara lain:
- Polikultur
- Penanaman Tanaman Refugia
- Pengelolaan hara tanaman
- Rotasi tanaman
- Pembuatan bedengan dan guludan pada barisan tanaman sejajar kontur
kemiringan lahan
3.2 Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Bhrane, G., C.S. Wortmann, M. Mamo, H. Gebrekidan, and M. Belay. 2006. Micro-
basin tillage for grain sorghum production in semi arid area of Northern
Ethiopia. Agron. J. Vol. 98:124-126.
Effendy., Hety, U., Herlinda, S., Irsan, C., Thalib, R. 2013. Analisis Kemiripan
Komunitas Artropoda Predator Hama Padi Penghuni Permukaan Tanah
Sawah Rawa Lebak Dengan Lahan Pinggir di Sekitarnya. Jurnal Entomologi
Indonesia. 10 (2): 60-69.
Hao, X. and A.N. Kravechenko. 2007. Management practices effect on surface soil
total carbon, differences along a textural gradients. Agron. J. Vol. 99(1): 18-26.
Hatfield, J.L., T.J. Sauer, and J.H. Prueger. 2001. Managing soil to achieve greater
water use efficiency. Agron. J. 93:271-280.
Herlina. 2011. Kajian Variasi Jarak dan Waktu Tanam Jagung Manis dalam Sistem
Tumpangsari Jagung Manis (Zea mays), Padang (ID): Universitas Andalas.
Kurniawati RW. 2011. Refugia. SP Tenaga Harian Lepas (THL) Tenaga Bantu
Penyuluh Pertanian(TBPP) BP3K Srengat.
MacKay, K.T. 1989. Sustainable agricultural system: issues for farming system
research. p.105-118. Development in procedures for farming system research.
Proc. Int. Workshop. AARD. Jakarta. 411p
Nurindah dan Sunarto, D.A. 2008. Konservasi Musuh Alami Serangga Hama sebagai
Kunci Keberhasilan PHT Kapas. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan
Serat. 7 (1) : 01-11
Rohman, F. 2008. Struktur Komunitas Tumbuhan Liar dan Arthropoda sebagai
Komponen Evaluasi Agroekosistem di Kebun The Wonosari Singosari
Kabupaten Malang. Disertasi. Tidak diterbitkan. Malang: Universitas
Brawijaya.
Sadwiyati, L., D. Sudarso dan T. Budiyanti. 2009. Petunjuk Teknis Budidaya Alpukat.
Sumatera Barat : Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika.
Sadwiyanti, L. Djoko, S. Tri, B. 2009. Petunjuk Teknis Budidaya Alpukat. Balai
Penelitian Tanaman Buah Tropika.
Tobing, M. C. 2009. KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PENGELOLAAN
SERANGGA HAMA DALAM AGROEKOSISTEM. Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Wahyu, Bagus. 2009. Perbanyakan Vegetatif Tanaman Alpukat (Persea americana
Mill). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
15
16