Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pegunungan. Gunung-
gunung di Indonesia termasuk gunung-gunung tinggi, karena banyak yang
memiliki ketinggian lebi dari 3000 mdpl. Selain itu juga di Indonesia terdapat
gunung-gunung tertinggi yang tingginya melampaui 4400 meter yang menjadi
batas salju di daerah tropika yang puncaknya selalu bersalju, salah satunya yang
terkenal adalah Puncak Jaya Wijaya di Irian Jaya dengan ketinggian 5030 mdpl
(Hadi, 2008). Daerah pegunungan di Indonesia terdiri dari tia barisan. Busur
Indonesia Selatan atau Busur Sunda yaitu barisan pegunungan sepanjang
Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, terakhir di bagian timur dan utara Laut
Banda. Busur Indonesia Timur atau Busur Irian, yaitu sepanjang Irian dan bagian
utara Maluku. Kemudian Busur Indonesia Utara, tersebar di Sulawesi dan
Kalimantan (Sungkawa, 2014). Dataran tinggi pada umumnya merupakan daerah
yang padat penduduknya, hal ini disebabkan oleh tanahnya yang subur dan udara
yang nyaman/sejuk sehingga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
Seiring dengan perkembangan penduduk dan pembangunan nasional di
segala bidang, penggunaan sumber daya alam juga akan semakin meningkat.
Namun, penggunaan sumber daya alam yang tidak bijak dapat mengakibatkan
banyak hal negatif. Kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
dampak buruk terhadap sumber daya alam antara lain kegiatan deforestasi,
industri, pertambangan, perumahan, dan kegiatan pertanian sendiri. Apabila
kegiatan tersebut dilakukan secara besar – besaran disusul dengan penggunaan
serta pengelolaan yang salah dapat berakibat penurunan kualitas lahan tersebut
sehingga daya dukung tanah bagi kehidupan di atasnya menurun atau biasa
disebut degradasi lahan.
Pada prinsipnya degradasi lahan disebabkan oleh tiga aspek yaitu fisik, kimia
dan biologi. Degradasi secara fisik di antaranya terjadi dalam bentuk pemadatan,
pergerakan, ketidakseimbangan air, terhalangnya aerasi dan drainase, dan
kerusakan struktur tanah. Degradasi kimiawi terdiri dari asidifikasi, pengurasan
dan pencucian hara, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, salinisasi,
pemasaman dan alkanisasi, serta polusi (pencemaran). Degradasi biologis
meliputi penurunan karbon organik tanah, penurunan keanekaragaman hayati
tanah dan vegetasi, serta penurunan karbon biomas. Pada kawasan
pertambangan degradasi lahan terjadi sebagai dampak penanganan dan
pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan yang digariskan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan ESDM terutama tentang penanganan dan pembuangan
limbah, serta reklamasi dan rehabilitasi pasca tambang, proses penambangan
yang tidak sesuai dengan aturan menyebabkan tingkat kerusakan atau degradasi
lahan bekas tambang menjadi semakin parah. Sehingga sangat sulit untuk
dipulihkan (Wahyunto dan Dariah, 2014). Di Indonesia, sebagian besar
pertambangan dilakukan dengan sistem penambangan terbuka. Kegiatan
pertambangan tidak hanya menyebabkan degradasi lahan berupa kerusakan

1
bentang lahan, atau rendahnya kandungan bahan organik tanah, tetapi juga
karena adanya pencemaran logam berat.
Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat produktivitas lahan
DAS bagian hulu, yang akan berakibat terhadap luas dan kualitas lahan kritis
semakin meluas. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi
dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering akan menyebabkan
degradasi lahan Misalnya lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya
sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian
tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor.
Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi
lahan yang sangat dominan. Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi
permanen (hutan) menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi
lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat
dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan
perusakan hutan (deforesterisasi) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di
kawasan daerah aliran sungai (DAS). Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak
terjadi deforesterisasi atau penebangan hutan liar baik di hutan produksi ataupun
dihutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan
(Atmojo, 2006)
Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan pertanian
dapat disebabkan karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak
proporsional. Revolusi hijau telah berhasil merubah pola pertanian secara besar,
yaitu dengan dikenalkannya penggunaan agrokimia, baik berupa pupuk kimia
maupun obat-obatan (insektisida). Memang dengan revolusi hijau tersebut,
produksi pangan meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil mengatasi
kekhawatiran akan adanya krisis pangan. Namun dampak penggunaan agrokimia
mulai dirasakan saat ini. Dampak negatif dari penggunaan agrokimia antara lain
berupa pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani,
menurunya keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan
bibit, pupuk kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam.
Penggunaan pestisida yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan berdampak
pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga
berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan
hama penyakit dan degradasi biota tanah (Atmojo, 2006).
Pengembangan sektor industri juga dapat menjadi penyebab degradasi lahan
dikarenakan adanya limbah cair, gas dan padatan yang mungkin berbahaya bagi
lingkungan. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang
dioksida (SO2), yang dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang sangat
merusak lahan. Disamping itu, limbah cair industri dapat mengandung beberapa
logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) sehingga menyebabkan degradasi lahan
akibat pencemaran. Namun degradasi lahan karena pencemaran bahan kimia
bukan hanya dari kegiatan industri dan pertambangan, tetapi juga bisa bersumber
dari aktifitas pertanian, terutama karena adanya penggunaan pestisida dan pupuk
anorganik yang berlebihan. Sebagai contoh diindikasikan adanya pencemaran Pb
dan Cd pada areal persawahan Kabupaten Karawang, Jawa Barat dan daerah
penghasil bawang merah di Brebes, Jawa tengah (Wahyunto dan Dariah, 2014).

2
Permasalahan-permasalahan di atas dalam jangka panjang dapat
mengancam keberadaan sumber daya alam dimasa depan. Harus disadari bahwa
sumber daya alam bukan hanya milik beberapa golongan saja. Namun, manfaat
dari sumber daya alam tersebut harus dirasakan secara merata kepada semua
kalangan. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga sumber
daya alam tersebut salah satunya adalah teknologi konservasi sumber daya alam
yang tepat sasaran.
1.2 Dampak Degradasi Lahan
Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya adalah erosi yang
dipercepat oleh aktivitas manusia, sehingga erosi yang terjadi mengakibatkan
menurunnya kualitas sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, berkurangnya hasil
tanaman, serta hilangnya bahan organik dan unsur-unsur hara tanah karena
hanyut terbawa oleh aliran permukaan. Erosi hujan tersebut menyebabkan
hilangnya tanah lapisan atas yang relatif lebih subur dibandingkan dengan tanah
lapisan di bawahnya. Apabila terjadi hujan, tanah lapisan atas akan kehilangan
bahan organik dan unsur hara tanah dalam jumlah besar bersama-sama dengan
tanah yang tererosi dan hanyut terbawa oleh aliran permukaan. Kehilangan hara
dan bahan organik tanah yang besar juga dapat terjadi pada areal hutan yang baru
dibuka untuk pertanian, perkebunan, serta pemukiman. Selain terjadi kehilangan
bahan organik dan unsur hara tanah, erosi yang disebabkan oleh hujan dapat
menyebabkan memadatnya permukaan tanah dan menurunnya kapasitas infiltrasi
tanah, sehingga volume aliran permukaan meningkat, dan berdampak pada
meningkatnya debit sungai dan banjir. Dengan demikian kerusakan tanah
pertanian yang disebabkan oleh erosi hujan, dan mengakibatkan menurunnya
kualitas tanah dan produktivitasnya, tidak sama tergantung pada sifat-sifat tanah,
intensitas erosi, dan aktivitas manusia dalam mengelola lahannya (Asriandi dan
Pristianto, 2018).
Kerugian karena degradasi lahan yang ditimbulkan akibat erosi tanah inipun
dapat dibagi atas kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh dampak langsung di
tempat kejadian erosi maupun dampak di luar tempat kejadian erosi. Dampak
langsung yang utama adalah penurunan produktivitas tanaman yang diakibatkan
oleh kemerosotan produktivitas tanah, kehilangan unsur hara tanah, pemupukan
yang tidak efisien, karena sebagian besar pupuk terbawa aliran permukaan, dan
kehilangan lapisan tanah yang baik/subur bagi berjangkarnya akar tanaman.
Sedangkan dampak tidak langsung adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk,
kerusakan ekosistem perain, memburuknya kualitas air, terjadinya kekeringan,
serta tertimbunnya lahan-lahan pertanian (Juhadi, 2007). Erosi yang tinggi, banjir
pada musim penghujan tidak hanya menimbulkan dampak negatif pada aspek
geobiofisik sumberdaya alam dan lingkungan tetapi juga berdampak pada aspek
sosial ekonomi masyarakat. Erosi, longsor lahan dan banjir dapat menurunkan
kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Produksi pertanian, perikanan dan
penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air akan menurun.
Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemenuhan kebutuhan (ekonomi),
keadilan sosial, serta pelestarian daya dukung lingkungan/lahan. Sehingga harus
ada keselarasan antara pemenuhan kebutuhan dan pelestarian sumber daya

3
alam. Pembangunan yang dilakukan pada masa lalu belum sepenuhnya
menggunakan tiga aspek pembangunan yang berkelanjutan secara seimbang,
sehingga masih banyak keluarga yang belum sejahtera dan terjadi degradasi
lahan sehingga menggangu keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial
(Pratiwi, 2006).

4
BAB II
ANALISIS MASALAH DEGRADASI LAHAN
2.1 Praktik Budidaya Pertanian
Praktik budidaya pertanian di lahan pegunungan mempunyai posisi yang
strategis dalam pembangunan pertanian. Wilayah Indonesia memiliki banyak
kawasan perbukitan dan pegunungan dengan topo-fisiografi yang sangat
beragam. Intensitas pemanfaatan lahan pada kawasan perbukitan, khususnya
untuk sektor pertanian mengalami peningkatan seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk dan globalisasi perdagangan internasional, sehingga berakibat pada
perilaku pemanfaatan lahan yang kurang bijaksana untuk mengejar kepentingan
jangka pendek. Lebih memprihatinkan dan mengkawatirkan perilaku pemanfaatan
lahan yang tidak didasarkan pada pola prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya
lahan, dan perilaku yang demikian itu tidak saja terjadi pada kawasan budidaya
namun juga telah terjadi pada kawasan yang seharusnya dikonservasi (kawasan
lindung). Walaupun berpotensi untuk pengembangan budidaya pertanian, lahan
berlereng rentan terhadap erosi dan longsor. Bahaya longsor dan erosi akan
meningkat apabila lahan pegunungan yang semula tertutup hutan dibuka menjadi
areal pertanian tanaman semusim tanpa disertai penerapan konservasi tanah dan
air, atau dijadikan areal peristirahatan dengan segala fasilitas yang tidak ramah
lingkungan (Yasin, 2004).
Wilayah perbukitan-pegunungan dengan banyak faktor pembatas fisik lahan
masuk pada kelas kemampuan lahan tidak dapat diolah. Kenyataannya di
lapangan lahan-lahan wilayah perbukitan-pegunungan banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk usaha budidaya pertanian. Informasi yang berkaitan dengan
keterbatasan lahan sangat penting untuk pengambilan keputusan pada
pengelolaan lahan, perawatan lahan, tingkat dan jenis praktik konservasi dan
campur tangan manusia lainnya untuk pemanfaatan berkelanjutan dan perbaikan
terus-menerus. Pengelolaan lahan pertanian yang tidak tepat akan mempercepat
degradasi lahan akibat erosi dan aliran permukaan dengan intensitas yang tinggi.
Budi daya sayuran di dataran tinggi umumnya dilakukan secara intensif sepanjang
tahun tanpa menerapkan teknik konservasi tanah untuk mengendalikan erosi.
Padahal lahan sayuran terletak pada topografi bergelombang, berbukit sampai
bergunung, sehingga tanahnya mudah tererosi (Wahyunto dan Dariah, 2014).
Umumnya, petani di lahan dataran tinggi menunjukkan kondisi ekonomi yang
hampir serupa yaitu aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (seperti pasar, sumber
sarana produksi, dan lembaga keuangan) yang kurang baik, modal yang terbatas,
dan pendapatan yang relative rendah. Oleh sebab itu, teknologi yang sesuai untuk
diterapkan hendaknya mempunyai ciri menghasilkan komoditas yang mudah
dipasarkan atau tahan simpan, memerlukan modal yang relative murah dan
peralatan yang sederhana, serta mampu meningkatkan pendapatan secara nyata.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani hanya mengaplikasikan satu
atau lebih komponen teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
permodalannya. Mayoritas petani di lahan berlereng adalah petani kecil dengan
ketersediaan modal kerja yang sangat terbatas. Masyarakat yang berpendidikan
rendah dengan tingkat ketrampilan dan kemampuan manajemen yang terbatas
merupakan tipikal umum yang melekat pada diri petani. Meskipun demikian,

5
mereka adalah orang-orang yang relative mudah untuk menerima inovasi
teknologi dan bahkan mempunyai sifat-sifat khas seperti ulet, mudah
menyesuaikan diri dan haus akan ilmu pengetahuan baru. Kendati umumnya
petani berpendidikan rendah dan haus teknologi, tetapi mereka adalah orang-
orang yang realis terhadap kondisi yang sedang dihadapi. Apabila teknologi
tersebut secara nyata tidak menguntungkan, memerlukan biaya yang mahal
sehingga tidak terjangkau dan kurang praktis penerapannya, mereka akan
langsung dengan system usaha tani atau tidak sama sekali. Masuknya teknologi
baru ke pemukiman akan dapat bersinggungan dengan budaya baik secara
langsung atau tidak. Persinggungan ini akan mendukung atau menolak teknologi
baru tersebut. Indikasi penerapan teknologi di kawasan lahan dataran tinggi dapat
dilakukan melalui 3 pendekatan, yaitu teknis, ekonomi dan sosial budaya.
Pendekatan teknis ditekankan pada keberhasilan teknologi tersebut dalam
meningkatkan produktivitas tanah dan atau tanaman tanpa merusak lingkungan.
Pendekatan ekonomi menyoroti dukungan pasar, kemampuan permodalan dan
adanya peningkatan pendapatan. Pendekatan sosial budaya ditekankan pada
akseptabilitas oleh petani dan tidak bertentangan dengan budaya bertani yang
ada. Dengan demikian, keberhasilan aplikasi teknologi dalam mendukung
usahatani akan tergantung pada kesesuaian teknologi tersebut dengan kondisi
agroekologi, ekonomi dan sosial budaya.menghindarinya. Petani di lahan dataran
tinggi mempunyai budaya khas daerahnya (Simbolon, et al., 2014).
Sebagai contoh pada kasus di Kawasan hulu DAS Deli. Kondisi bio-fisik
kawasan hulu DAS Deli sebagai berikut.
a. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng Sub-Sub DAS di DAS Deli diklasifikasikan menjadi 5 kelas
yaitu kelas I (datar), kelas II (landai), kelas III (agak curam), kelas IV (curam),
dan kelas V (sangat curam), disajikan pada Tabel 1 dibawah ini:

Lahan dengan kemiringan yang cukup curam umumnya ditemui di daerah


hulu suatu DAS. Daerah hulu DAS Deli merupakan lahan dengan kemiringan
lereng yang tinggi. Pembagian kawasan hulu DAS Deli adalah kawasan lindung
dan kawasan budidaya. Untuk kawasan lindung.petani memanfaatkan sebagai
lahan budidaya tanaman tahunan, dengan demikian terjadi alih fungsi lahan.

6
Menurut van Noordwijk dan Hairiah (2006), salah satu penyebab terjadinya
penurunan kualitas sumber daya lahan adalah adanya alih fungsi lahan hutan
menjadi lahan pertanian (intensif) dengan masukan yang berlebih alih fungsi lahan
hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya beberapa kelompok
fungsional organisme tanah, karena berbuahnya jenis dan kerapatan tanaman
yang tumbuh di atasnya sehingga mengubah tingkat penutupan permukaan tanah
yang berdampak pada perubahan iklim mikro, jumlah dan jenis masukan bahan
organik, dan jenis perakaran yang tumbuh dalam tanah (Simbolon, et al., 2014).
Penyebab lainnya adalah faktor petaninya sendiri. Dimana pengetahuan dan
teknologi yang disampaikan ke petani sangat minim dan kelembagaan yang ada
di tingkat usahatani sangat lemah, sehingga memperparah terjadinya degradasi
lahan dan lingkungan. Dampak dari kejadian tersebut adalah produktivitas lahan
menurun, kualitas dan kuantitas produksi menurun, pendapatan petani rendah dan
menyebabkan petani miskin dan tidak sejahtera. Khusus untuk kawasan budidaya
yaitu kawasan usahatani, karena kondisinya berlereng dengan intensitas curah
hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya erosi. Di musim penghujan, banjir, erosi
dan longsor terjadi dimana-mana, tetapi dimusim kemarau kekeringan dan
kebakaran hutan sering meng ancam. Masalah ini menunjukkan adanya
penurunan kualitas sumber daya lahan pada lahan dataran tinggi di kawasan hulu
DAS Deli, dan hal ini berhubungan dengan terganggunya fungsi hidrologi DAS
(jumlah dan kualitas), menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan
hara dan kandungan bahan organik tanah), berkurangnya tingkat biodiversitas
flora dan fauna baik di atas tanah maupun di bawah tanah (Simbolon, et al., 2014).
b. Lahan Kritis
Kondisi lahan kritis di DAS Deli ditentukan oleh 6 parameter yaitu erosi,
kemiringan lereng, liputan lahan, kondisi batuan, produktivitas dan manajemen.
Adapun kondisi kekritisan lahan DAS Deli secara umum seperti terlihat pada tabel
2 berikut ini.

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa jumlah lahan kritis, agak kritis
dan potensial kritis cukup besar dari total luas DAS Deli yaitu sebesar 37,97
persen. Lahan marginal ini harus dikelola dengan baik agar tidak meningkat
jumlahnya sehingga dapat tetap dimanfaatkan tanpa merusak lahan pertanian.

7
Namun hal ini tidak mudah, perlu dilakukan pendekatan-pendekatan yang sesuai
dengan kondisi bio-fisik lahan dan faktor sosial dan ekonomi petani setempat. Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas pengelolaan sistem pertanian
berkelanjutan pada lahan dataran tinggi seperti kawasan DAS Deli yang paling
tepat dan efisien sebagai solusi dalam permasalahan pengelolaan lahan pertanian
pada dataran tinggi di kawasan hulu (Simbolon, et al., 2014).

Gambar 1. Peta Rerata Erosi DAS Deli

8
Berdasarkan gambar di atas, DAS Deli mengalami tingkat erosi yang cukup
parah dengan rerata tertinggi sekitar 60,9 ton/ha/tahun. Khusus untuk kawasan
budidaya yaitu kawasan usahatani, karena kondisinya berlereng dengan intensitas
curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya erosi. Di musim penghujan,
banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana, tetapi dimusim kemarau kekeringan
dan kebakaran hutan sering meng ancam. Masalah ini menunjukkan adanya
penurunan kualitas sumber daya lahan pada lahan dataran tinggi di kawasan hulu
DAS Deli, dan hal ini berhubungan dengan terganggunya fungsi hidrologi DAS
(jumlah dan kualitas), menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan
hara dan kandungan bahan organik tanah), berkurangnya tingkat biodiversitas
flora dan fauna baik di atas tanah maupun di bawah tanah (Simbolon, et al., 2014).

9
BAB III
TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR YANG TEPAT SASARAN
3.1 Implementasi Konservasi Tanah
Mengubah kebiasaan petani agar berusaha tani dengan menerapkan kaidah
konservasi tanah dan air bukan hal yang mudah, sehingga diperlukan berbagai
upaya agar petani dapat menerima dan menerapkannya. Petani menilai
pembuatan bedengan tegak lurus lereng menyebabkan drainase kurang baik,
sehingga hasil tanaman menurun. Oleh karena itu, petani membuat bedengan
searah lereng agar drainase baik dan hasil tinggi, meskipun cara ini menyebabkan
erosi menjadi sangat tinggi dan tanah cepat terdegradasi.
Pada lahan yang tidak berhutan atau lahan kritis, metode konservasi tanah
yang dipakai dapat menggunakan bangunan teknik sipil atau cara mekanis dan
teknik vegetatif. Teknik sipil dilakukan dengan pembuatan terasering, bangunan
penahan, bangunan drainase, penutupan dan lain-lain. Sedangkan teknik
vegetatif dilakukan dengan menggunakan tumbuhan atau tanaman. Pola tanam
yang digunakan dapat berbentuk penanaman dalam strip (strip cropping), pola
tanam ganda atau majemuk (multiple cropping), sistem pertanian hutan
(agroforestry), pemanfaatan sisa tanaman dan penanaman pada saluran
pembuangan. Teknik konservasi juga dapat dilakukan dengan kombinasi
bangunan teknik sipil dan cara vegetatif. Pada lahan sangat kritis yang berada di
daerah kelerengan curam, teknik sipil didahulukan sebelum penanaman
dilakukan. Beberapa teknik konservasi tanah yang dapat diterapkan dalam upaya
pemanenan air hujan dan aliran permukaan adalah pembuatan saluran
peresapan, rorak, mulsa vertikal, embung, dan sistem drainase (Wahyudi, 2014).
a. Teras tembok
Pembuatan bangunan teras tembok atau tembok penahan bertujuan untuk
menghambat aliran air dan erosi, yang dibuat dari konstruksi beton. Pada bagian
saluran dibuat untuk aliran air yang dikombinasi dengan konservasi vegetatif,
seperti penanaman rumput dan tanaman penutup tanah lain. Konstruksi ini dipilih
apabila terdapat tekanan yang cukup besar dari bagian belakang, yang berasal
dari material tanah maupun volume air yang akan datang dan menginginkan
tingkat kekokohan yang tinggi pada bagian atas bangunan, misalnya akibat batuan
yang lonsor dan lain-lain.
Persyaratan teknis konstruksi tembok penahan adalah:
a. Tinggi konstruksi sampai 3 meter dengan kemiringan mengikuti kelerengan
bukit
b. Tempat pembuangan air dibuat 1 buah per 3 m2 supaya tidak terjadi
genangan air pada bagian belakang konstruksi
c. Pada bagian belakang dinding beton diberi kerikil untuk meningkatkan
permeabilitas tanah, sehingga tidak terjadi genangan saat hujan lebat
(Wahyudi, 2014).

10
Gambar 2. Ilustrasi dan Contoh Bangunan Teras Tembok.
b. Teras batu
Teras batu atau batu penahan (stone terrace works), pada prinsipnya sama
dengan teras tembok atau tembok penahan. Pada batu penahan biaya yang
digunakan lebih sedikit, namun tingkat kekuatannya lebih rendah dibanding
tembok penahan. Pada teknik ini dapat ditambahkan dengan penanaman rumput,
bambu atau tanaman keras karena dapat membantu menjaga kestabilan
permukaan tanah (Wahyudi, 2014).

Gambar 3. Contoh Teras Batu

11
Gambar 4. Contoh Teras Batu dengan Kombinasi Vegetasi.
c. Pemasangan Kawat Bronjong (Gabion Works)
Untuk memperkuat konstruksi teras batu, dapat ditambahkan kawat bronjong
yang dapat mengikat material batu satu dengan lainnya. Penggunaan kawat
bronjong mutlak dilakukan apabila teras batu dibuat bertingkat. Persyaratan teknis
antara lain:
a. Tinggi maksimal 2 meter dengan pondasi berupa tancapan kayu yang keras.
b. Menggunakan batu yang keras (tidak mudah lapuk) dan lebih besar dari mata
kawat.
c. Susunan batu saling mengunci antara yang besar dan kecil sehingga
memperkecil rongga yang dapat mengakibatkan bergerak/turunnya pondasi.
d. Segera diikuti konservasi secara vegetatif dengan jenis yang memiliki perakaran
kuat dan dalam (Wahyudi, 2014).

Gambar 5. Penggunaan Kawat Bronjong pada Teras Batu Bertingkat.


3.2 Implementasi Konservasi Air
Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah
seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran yang tepat, sehingga tidak terjadi
banjir yang merusak pada musim hujan dan terdapat cukup air pada musim
kemarau. Konservasi air dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pemanfaatan
dua komponen hidrologi, yaitu air permukaan, dan air tanah dan (b) meningkatkan
efisiensi pemakaian air irigasi (Kurnia, et al., 2014).

12
Pengelolaan air permukaan meliputi (1) pengendalian aliran permukaan; (2)
pemanenan air; (3) meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah; (4) pengolahan tanah;
(5) penggunaan bahan penyumbat tanah dan penolak air; dan (6) melapisi saluran
air. Pengelolaan air bawah permukaan tanah dapat dilakukan dengan (1)
perbaikan drainase; (2) pengendalian perkolasi dan aliran bawah permukaan; dan
(3) perubahan struktur tanah lapisan bawah. Perbaikan drainase akan
meningkatkan efisiensi pemakaian air oleh tanaman, karena hilangnya air yang
berlebih akan memungkinkan akar tanaman berkembang lebih luas ke lapisan
tanah yang lebih dalam daripada hanya terbatas di lapisan atas yang dangkal yang
akan cepat kering jika permukaan air tanah menurun (Kurnia, et al., 2014).
a. Teknik pemanenan air
Pemanenan air adalah tindakan menampung air hujan dan aliran permukaan
untuk disalurkan ke tempat penampungan sementara dan atau tetap (permanen)
yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengairi tanaman yang diusahakan
pada saat diperlukan. Teknologi panen air selain berfungsi menyediakan sumber
air irigasi pada musim kemarau dapat pula berfungsi mengurangi banjir pada
musim hujan. Panen air hujan dan aliran permukaan ditujukan untuk (1)
menurunkan volume aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah; (2)
meningkatkan ketersediaan air tanaman terutama pada musim kemarau; dan (3)
mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya
menurun. Teknologi pemanenan air sangat bermanfaat untuk lahan yang tidak
memiliki jaringan irigasi atau sumber air bawah permukaan tanah. Selain dapat
dimanfaatkan untuk pengairan, air yang tertampung dapat juga digunakan untuk
pemeliharaan ikan, keperluan rumah tangga, dan minum ternak terutama pada
musim kemarau (Kurnia, et al., 2014).

Gambar 6. Embung sebagai Penampung Air.


b. Pengelolaan kelengasan tanah
Konservasi air dapat dikembangkan melalui pengelolaan kelengasan tanah
dengan cara meningkatkan kemampuan tanah menahan air. Kemampuan tanah
menahan air adalah identik dengan air tersedia bagi tanaman. Selain itu,
konservasi air juga dapat dikembangkan dengan jalan mengurangi laju kehilangan
air melalui evaporasi (Kurnia, et al., 2014).

13
c. Pengelolaan bahan organik
Usaha tani di lahan kering berlereng biasanya dilakukan cukup intensif,
sehingga perlu dibarengi dengan upaya pengendalian degradasi lahan melalui
penerapan teknik konservasi air (dan tanah) serta pengelolaan bahan organik. Hal
ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanah, sehingga mampu
mendukung keberlanjutan usaha tani di lahan kering. Bahan organik dalam tanah
dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air melalui pengikatan molekul-
molekul air lewat gugus-gugus fungsionalnya dan pengisian pori-pori mikro tanah
akibat agregasi yang lebih baik (Kurnia, et al., 2014).
d. Pemanfaatan air yang efisien
Upaya konservasi air tidak akan memiliki kontribusi secara signifikan dalam
peningkatan produktivitas lahan, jika pemanfaatan air yang dilakukan boros. Oleh
karena itu, upaya konservasi air harus disertai dengan pemanfaatan air secara
efisien. Pemanfaatan air secara efisien perlu dikaitkan dengan kebutuhan air
tanaman dan dinamika perubahan kelengasan tanah. Jumlah hari kering berturut-
turut selama musim tanam merupakan indikator yang berguna dalam menentukan
apakah tanaman akan mengalami cekaman air atau tidak. Jumlah air irigasi yang
diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, dinamika kelengasan
tanah dimana kemampuan tanah memegang air berperan sangat penting, serta
sarana irigasi yang tersedia. Kemampuan tanah memegang air perlu
diperhitungkan, karena pemberian air yang berlebihan hingga melebihi
kemampuan tanah memegang air, menyebabkan air akan mengalir sebagai aliran
permukaan atau masuk ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam melalui
perkolasi. Tanah yang bertekstur halus dan berstruktur remah lebih mampu
menahan air sesudah pori aerasinya kosong dari air, dan tanah liat berat
menyimpan lebih banyak air, namun sulit melepaskannya untuk tanaman (Kurnia,
et al., 2014).
Upaya konservasi air perlu diintegrasikan kedalam setiap kegiatan usaha tani,
dan untuk lebih mengefektifkannya perlu dilaksanakan secara bersama-sama
dalam suatu hamparan yang luas, misalnya skala DAS. Oleh sebab itu, sangat
diperlukan koordinasi antar-instansi terkait dan peran aktif dari masyarakat
tani.Dalam sosialisasi teknik konservasi air yang melibatkan masyarakat tani,
maka upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah (a) meningkatkan kesadaran
masyarakat tani akan pentingnya konservasi air dan pemeliharaan sumber daya
alam; (b) meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan wawasan tentang
manfaat konservasi air, baik kepada petugas lapangan, petani, serta lembaga
penunjang yang ada di daerah; (c) mengatasi masalah keterbatasan modal petani
melalui kredit usaha tani konservasi (KUK) dengan mengoptimalkan sistem
monitoring maupun evaluasi serta transparansi; (d) perlu adanya kekuatan hukum
yang mengatur hak dan kewajiban antara petani penggarap/penyakap dengan
petani pemilik lahan dalam kaitannya dengan sosialisasi konservasi air; dan e)
orientasi usaha tani berbasis agribisnis dalam menunjang keberlanjutan,
perbaikan mutu hidup dan kesejahteraan petani. Dalam implementasi teknik
konservasi air, selain pemerintah maka peran aktif dari masyarakat tani baik pria
maupun wanita, dan kelembagaan penunjang hendaknya dimulai sejak awal

14
perencanaan, pemilihan teknologi, dan penerapannya, untuk menjaga
keseimbangan serta keberlanjutan sistem usaha tani. Pilihan teknik konservasi air
disesuaikan dengan kondisi biofisik maupun kebutuhan masyarakat tani. Melalui
optimasi peran serta masyarakat, maka campur tangan pemerintah lebih
dititikberatkan pada aspek penyuluhan, pelatihan, dan sebagai fasilitator (Kurnia,
et al., 2014).
Keberlanjutan penerapan teknologi pengelolaan air tidak mungkin dapat
tercapai dengan baik tanpa partisipasi dan pemberdayaan petani. Kondisi sosial
ekonomi petani perlu dibangun secara bersama dan di negara berkembang
tantangan untuk membangun berbagai sistem sosial ekonomi dan kelembagaan
ini cukup berat. Tidak cukupnya sumber daya manusia yang terlatih dan
rendahnya tingkat manajemen merupakan kendala utama pengembangan
teknologi konservasi dan pemanfaatan air.

15
BAB IV
STRATEGI MANAJEMEN KAWASAN PEGUNUNGAN / PERBUKITAN
4.1 Tata Guna Lahan Kawasan Pegunungan
Penggunaan lahan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan lahan. Saat
ini banyak dijumpai penggunaan-penggunaan lahan yang kurang sesuai sehingga
terjadi alih fungsi lahan, misalnya adalah perubahan lahan RTH dan Hutan
Lindung pada pegunungan menjadi permukiman atau industri. Sejumlah kawasan
tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti wilayah hutan konservasi berubah
menjadi perkebunan. Sementara itu, lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan
perumahan, vila dan bangunan lainnya. Disebutkan bahwa untuk kawasan
pegunungan, tata guna lahan kawasan ini utamanya ialah daerah resapan air dan
hutan lindung. Pembangunan di kawasan puncak memang boleh dilakukan namun
harus memperhatikan peraturan yang ada (Sumedi, 2013). Berikut aturan
peruntukan lahan berdasarkan kemiringan lereng dan kondisi geologi menurut
Prahutdi, et al., 2013.

Tabel 3. Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng.

16
Tabel 4. Kaitan Kondisi Geologi dengan Tata Guna Lahan.
Pembangunan di lahan berkontur tinggi seperti pegunungan harus
memenuhi patokan:
1. Membangun hanya pada daerah yang pergerakan masa tanahnya cukup stabil
untuk mengurangi bahaya geologi dan kerugian sumber daya manusia dan
alam yang akhirnya tidak ekonomis lagi.
2. Kemiringan lereng disesuaikan dengan fungsi yang sebaiknya ditampung
seperti pada tabel 3 Kegiatan pengolahan tanah “pelandaian lereng” dengan
cara timbun gali sebaiknya dibatasi dan disarankan sebaiknya :
a. Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real
estate/perumnas pada umumnya mengingat system tersebut akan banyak
memerlukan jaringan jalan yang berarti meningkatkan jumlah pelandaian
lereng dan mengakibatkan ketidakstabilan tanah.
b. Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang
memperhitungkan kemiringan lereng.
c. Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur
lahan.
d. Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari
bahaya longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu
kestabilan tanah (Prahutdi, et al., 2013).
4.2 Kawasan Pemukiman
Kawasan permukiman harus dibangun dilahan yang sesuai dengan daya
dukung lahannya agar penggunaan lahan lebih produktif. Kawasan Permukiman
dapat dibangun meskipun di kawasan pegunungan dengan pertimbangan-
pertimbangan berikut ini.
1. Cakupan Kawasan Permukiman terdiri atas :
a. Kawasan Permukiman Perkotaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
b. Kawasan Permukiman Perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan
utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan

17
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintah, sosial dan ekonomi.
2. Karakteristik Kawasan Permukiman ialah Kawasan yang terletak pada lahan
yang bermorfologi datar-landai dengan kemiringan lahan 0-8% tanpa
rekayasa teknis, atau kemiringan 8-15% dengan rekayasa teknis.
3. Ketentuan Teknis Permukiman : Ketentuan penataan ruang Kawasan
permukiman perkotaan adalah sebagai berikut :
a. Pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada penataan
bangunan dan lingkungan yang serasi dan seimbang, yang meliputi system
drainase, air bersih, air kotor, persampahan, jalan lingkungan, tata ruang
dan perumahan.
b. Pengembangan permukiman perlu pengaturan ruang untuk fasilitas
lingkungan seperti ruang terbuka hijau, taman dan fasilitas umum lainnya.
c. Kepadatan bangunan dan koefisien dasar bangunan yang dapat
menunjang fungsi konservasi/peresapan air dan pengendalian air limpasan
permukaan.
d. Untuk pembangunan perumahan dalam skala besar diwajibkan untuk
menyediakan lahan kuburan, minimal 5% dari luas areal.
e. Perlu menyediakan lahan secara bersama (iuran) oleh para pengembang
yang membangun perumahan pada radius.
4. Ketentuan penataan ruang di kawasan permukiman pedesaan adalah sebagai
berikut :
a. Bangunan yang diperkenankan dikawasan permukiman desa hanya
bangunan usaha tani, kepadatan maks 5 rumah/Ha, dengan koefisien
dasar bangunan (KDB) maks 5%.
b. /Perlu dibatasi agar permukiman perdesaan tidak berubah menjadi
permukiman perkotaan, agar pertanian produktif tetap dapat
dipertahankan, serta konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan
dengan baik.
5. Kemiringan lereng atau topografi suatu Kawasan ikut berpengaruh terhadap
peruntukan lahan seperti system perencanaan jaringan jalan, drainase, dll.
Kawasan dengan kemiringan diatas >30% tidak boleh dibangun permukiman,
kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan penyangga.
6. Pertimbangan Geologi Keadaan geologi di suatu Kawasan mempunyai
keterkaitan dengan penggunaan lahan. Keadaan geologi yang dimaksud di
sini adalah :
a. Sifat disik tanah dan batuan.
b. Kestabilan lereng termasuk potensial longsoran, rayapan dan robohan.
c. Kehadiran sesar aktif atau yang mungkin aktif dan pusat episentrum yang
ada dengan skala magnitude dan intensitas.
d. Kontur muka air tanah atau keadaan muka air tanah dan potensial air
permukaan.
e. Ketebalan tanah atau kedalaman hingga mencapai batuan.
f. Penyebaran luas setiap daerah banjir, longsoran dan ablasan, gunung api
dengan penyebaran produk, dan batasan-batasan penyebaran banjir
gelombang pasang.

18
7. Ketinggian lahan. Sebagai contoh membangun dikawasan pegunungan
seperti Bandung Utara ketinggian yang tepat menurut Tabel 2.6 ialah
ketinggian 750-1000 m.
8. Pertimbangan Konservasi air.
9. Pertimbangan Penetapan Intensitas Pemanfaatan Ruang
10. Pertimbangan Aliran Run Off/ Air Permukaan
11. Pertimbangan Jenis Tanah (Prahutdi, et al., 2013).

19
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak dataran tinggi, sehingga
potensi daerah tersebut untuk dikembangkan sangat tinggi. Pembangunan terus
dilakukan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan
kebutuhan hidup. Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak bijak dapat
menyebabkan degradasi lahan. Degradasi lahan yang sering terjadi di Indonesia
adalah erosi dan longsor. Hal tersebut nantinya akan berdapak terhadap aspek
geo-fisik, ekonomi, sosial, serta aspek lainnya. Untuk mencegah serta mengurangi
dampak dari degradasi lahan diperlukan teknologi konservasi sumber daya lahan
yang tepat diiringi dengan strategi pengelolaan sumber daya lahan.
5.2 Saran
Perlu adanya sinergitas antara pengguna lahan dengan pemerintah dalam
menciptakan sistem pengelolaan lahan yang tepat serta mengutamakan prinsip
kelestarian.

20
DAFTAR PUSTAKA
Asriadi, A. dan Hendrik Pristianto. 2018. Ringkasan Teori Erosi dan Sedimentasi.
Program Studi Teknik Sipil. Universitas Muhammadiyah Sorong : Sorong.
Atmojo, W. S. 2006. Degradasi Lahan & Ancaman Bagi Pertanian. Solo Pos :
Solo.
Hadi, B. S. 2008. Geografi Regional Indonesia. Diktat Kuliah Jurusan Pendidikan
Geografi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Juhadi. 2007. Pola – Pola Pemanfaatan Lahan dan Degradasi Lingkungan pada
Kawasan Perbukitan. J. Geografi 4 (1) : 11 – 24.
Kurnia, U., Achmad Rachman dan Ai Dariah. 2004. Teknologi Konservasi Tanah
pada Lahan Pertanian Berlereng. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Prahutdi, B., Inti Lestari, Mashudi Ali dan Nincy Ayu L. 2013. Kebijakan dan
Strategi Penataan Ruang Kawasan Pegunungan. Makalah. Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan. Universitas Gunadharma.
Pratiwi, 2006. Rehabilitasi Lahan Kritis di Wilayah Nusa Tenggara Timur.
Makalah Utama Pada Kegiatan Sosialisasi Hasil-Hasil Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Kerjasama Balai Litbang Kehutanan Bali dan
Nusa Tenggara, Badan Litbang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur,
dan Universitas Nusa Cendana.
Simbolon, S.D., Zulkifli Nasution, Abdul Rauf dan Delvian. Sistem Pertanian
Berkelanjutan Pada Lahan Dataran Tinggi di Kawasan Hulu DAS Deli
Sumatera Utara. J. Ilmiah Ukhuwah 1 (2) 85 – 92.
Sumedi, N. 2013. Strategi Pengelolaan Ekosistem Gunung. Balai Penelitian
Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
Sungkawa, D. 2014. Geografi Regional Indonesia. Jurusan Pendidikan Geografi
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas Pendidikan
Indonesia.
Wahyudi. 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan
Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. J. Sains dan Teknologi Lingkungan 6
(2) : 71 – 85.
Wahyunto dan Ai Dariah. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju
Satu Peta. J. Sumber Daya Lahan 8 (2) : 81 – 93.
Yasin, S. 2004. Degradasi Lahan Akibat Berbagai Jenis Penggunaan Lahan di
Kabupaten Dharmasraya. J. Solum 1 (2) : 69 – 73.

21

Anda mungkin juga menyukai