Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
“GLAUKOMA SEKUNDER”
Pembimbimg :
dr. Rety Sugiarti, Sp.M
Disusun oleh :
Vanya Ihda Ayesha (2014730094)
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatukan kepada Allah SWT atas berkat
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“PTERIGIUM GRADE I OD” ini
Penulis sangat menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran membangun dari
pembaca. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................................... 2
LAPORAN KASUS ................................................................................................................. 2
2.1 Identitas ............................................................................................................... 2
2.2 Anamnesis ........................................................................................................... 2
2.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................... 3
2.4 Resume ................................................................................................................ 5
2.5 Diagnosis Kerja .................................................................................................... 5
2.6 Penatalaksanaan .................................................................................................. 5
2.7 Prognosis ............................................................................................................. 6
BAB III .................................................................................................................................. 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 7
3.1 Anatomi & Fisiologi ................................................................................................. 7
3.1.1 Anatomi Konjungtiva ......................................................................................... 7
3.1.2 Fisiologi Konjungtiva ........................................................................................ 8
3.1.3 Anatomi kornea ................................................................................................. 9
3.2 Pterigium ........................................................................................................... 11
3.2.1 Diagnosis................................................................................................... 14
3.2.2 Penatalaksanaan Pterigium ....................................................................... 18
3.2.3 Komplikasi ................................................................................................ 22
3.2.4 Prognosis ................................................................................................... 23
BAB IV................................................................................................................................ 24
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara
geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis.
Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi
mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National
Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa
prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas
40 tahun adalah 16,8%.1,2,3
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Ny. I
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : IRT
Alamat : Banjar
MRS : 11 februari 2019
2.2 Anamnesis
(Autoanamnesis, 11 februari 2019)
Keluhan Utama:
Pasien mengeluh seperti ada penghalang pada mata kanan sejak 4 hari yang
lalu.
Pasien mengeluh seperti ada penghalang pada mata kanan sejak 4 hari yang
lalu. Keluhan ini disertai gatal pada mata kanan. Keluhan lain seperti
penglihatan buram, nyeri pada mata, silau, mata berair, dan mata merah
disangkal.
2
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
Riwayat kedua orang tua memakai kacamata (+)
Riwayat pterigium pada keluarga disangkal
Status Gizi :
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Status Ekonomi:
Cukup
Suhu : 36,7oC
3
Status Oftalmologikus
OD OS
PH : PH :
Segmen Anterior
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
4
Kornea Terdapat jaringan Jernih
fibrovaskular dari
konjungtiva hingga limbus
2.4 Resume
Pasien peremuan berusia 29 tahun datang ke poli mata RSUD Banjar dengan
keluhan seperti ada penghalang pada mata kanan sejak 4 hari yang lalu.
Keluhan ini disertai gatal pada mata kanan.
2.6 Penatalaksanaan
- Polidemisin ed 2x1 tetes OD
- Xytrol ed 3x1 tetes OD
5
2.7 Prognosis
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
7
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus
trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.4,5
8
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa
tersusun longgar pada bola mata.1,4,5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring. Kedua
kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata asesori
(kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal,
terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan
sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada
sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya
yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.4,5
9
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
- epitel berasal dari ektoderm permukaan.2
b. Membran Bowman
- Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
c. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma.
Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.2
d. Membrane descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.2
10
e. Endotel
- Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan.2 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2
3.2 Pterigium
11
bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga
yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium
berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.1,6
12
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
13
fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix
tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi terhadap
TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan konjungtiva
normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-α (tumor
necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9
3.2.1 Diagnosis
Anamnesis
14
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-
30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata
sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan
diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea
dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat
berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3
Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan
terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme
pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut
body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial
cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:
A. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea
di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
15
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
B. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan8
16
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
17
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G.,
Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu
Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
19
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal
dan halus dari permukaan kornea.1
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk
hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan
Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan
orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah
dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh
cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi
pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa
penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk
mengurangi toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari
radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan
ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap
penggunaannya.1
21
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol,
dan steroidselama 1 minggu.6
3.2.3 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,
dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment
22
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren
pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi
kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel
di atas pterigium.11
3.2.4 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah
24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran
amnion.11
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke poli mata RSUD Banjar dengan keluhan seperti ada
penghalang pada mata kanan sejak 4 hari yang lalu. Keluhan ini disertai gatal pada
mata kanan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jaringan fibrovaskular dari
konjungtiva hingga limbus pada mata kanan. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
maka pasien ini ddiagnosis sebagai suatu pterigium.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
25
12. Pterygium and Pingueculum available at:
http://www.baysideeyes.com.au/eye-specialists/pterygium.htm
26