Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN REFERAT KASUS BEDAH

Penatalaksanaan Pada Kasus Fraktur Antebrachii

Pembimbing :

dr. Hariatmoko , sp.B

Disusun oleh:

Elistia Tripuspita

NIM: 112017001

KEPANITERAN KLINIK ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA LEMPUYANGWANGI


BAB I

PENDAHULUAN

Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik
maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka),
perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan
(avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf. Cedera pada tulang
menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang
dan sendi (intra-artikuler) yang sekaligus menimbulkan dislokasi sendi. Fraktur ini juga disebut
fraktur dislokasi.1,2 . Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi
struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan
muskuloskeletal yang paling sering terjadi akibat suatu trauma adalah kontusio, strain, sprain,
dislokasi dan subluksasi.

Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dalam 1.000 per tahun. Insiden
fraktur pada laki-laki adalah 11.67 dalam 1.000 per tahun, sedangkan pada perempuan 10,65
dalam 1.000 per tahun.2 Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini mungkin
disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan metodologi yang
digunakan di area penelitian.2

Fraktur adalah suatu kondisi diskontinuitas tulang. Fraktur dapat terjadi akibat
cedera, stress berulang, kelemahan abnormal dari tulang (fraktur patologis). Fraktur sendiri
dibagi menjadi dua yaitu fraktur tertutup (simple fracture) dan fraktur terbuka (compound
fracture). Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit dan
fraktur terbuka adalah fraktur yang fragmen tulangnya menembus kulit sehingga berhubungan
dengan dunia luar.1 Fraktur terjadi oleh kekerasan langsung atau tidak langsung. Yang disebut
kekerasan langsung terjadi bila tenaga traumatik diberikan langsung pada tulang di tempat
fraktur, apakah oleh suatu ledakan hebat atau oleh suatu crushing force. Compound fracture
lebih sering terjadi setelah kekerasan langsung dan bisa transversal atau kominutif. Fraktur
karenan kekerasan tidak langsung biasanya setelah trauma rotasional dan fraktur berbentuk
oblik atau spiral. 1,2 Fraktur os radius dan fraktur os ulna adalah trauma yang sering terjadi pada
bagian tungkai atas. Lokasi fraktur sering terjadi pada bagian tengah dari tulang radius dan ulna
atau pada bagian distal atau keduanya.3 proses penyembuhan fraktur terbagi menjadi dua yaitu
peyembuhan primer (langsung) dan peyembuhan sekunder (tidak langsung).3 banyak hal yang
dapat mempercepat penyembuhan maupun memperlambat penyembuhan pada fraktur.

Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi


(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi.1,2 Agar
penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada jaringan
lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah akibat trauma
tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung.3 Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau
fragmen ke posisi semula (reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian
yang sakit dapat berfungsi kembali dengan maksimal. Retaining adalah tindakan
mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi (imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan
spasme otot pada ekstremitas yang sakit sehingga terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat.
Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota gerak yang sakit agar dapat berfungsi
kembali. 1,2,4
Bab II

PEMBAHASAN

Anatomi Tulang

Tulang, seperti jaringan ikat lainnya, terdiri atas sel, serat, dan substansi dasar, namun
berbeda dari yang lain, komponen ekstraselnya mengapur menjadi substansi keras yang cocok
untuk fungsi penyokong dan pelindung kerangka.4 tulang keras merupakan kumpulan sel-sel
tulang (osteosit). Sel-sel tulang mengeluarkan matriks yang mengandung zat kapur dan fosfor
sehingga tulang menjadi keras dan tidak lentur. Tulang keras dibagi menjadi beberapa jenis
berdasarkan bentuknya yaitu tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih dan tulang dengan
bentuk tidak beraturan. Matriks tulang yang rapat dan padat akan membentuk tulang kompak
(tulang keras), misalnya tulang pipa. Matriks tulang yang tidak padat dan berongga-rongga
akan membentuk tulang kosong (tulang spons), misalnya tulang pipih dan tulang pendek.

Tulang panjang, terdapat pada lengan dan kaki. Tulang panjang bekerja seperti tuas dan
bisa digunakan untuk menggerakan tubuh. Tulang pendek, yang berbentuk seperti kotak.
Terletak pada pergelangan tangan dan kaki dan memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan
tulang panjang. Memungkinkan gerakan-gerakan terbatas. Tulang pipih, berbentuk datar pada
tengkorak. Berguna untuk memberikan wadah perlindungan bagi otak. Tulang belikat
merupakan contoh lain dari tulang pipih.5

Gambar 1.1 Os Radius Gambar 1.2 Os Ulna


Gambar 1.3 Articulatio Cubiti Gambar 1.4 Sambungan tulang lengan bawah

GAMBARAN UMUM FRAKTUR

Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total
maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur lengkap
atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta
jaringan lunak di sekitar tulang.1
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai fraktur
terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah fraktur
dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk
dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi seperti malunion, delayed union, nounion dan infeksi tulang.2
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi. Tipe I: luka kecil kurang
dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tanda-tanda trauma yang
hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal,
oblik pendek atau komunitif. Tipe II: laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat
4 kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan
jaringan. Tipe III: terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot,
kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe
lagi tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah, tipe IIIB : disertai
kerusakan dan kehilangan janingan lunak, tulang tidak dapat di tutup jaringan lunak
dan tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera. 3,4
Menurut Apley Solomon fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis
patah tulang dan berdasarkan bentuk patah tulang. Berdasarkan garis patah tulangnya:
greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok,
transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang, spiral, yaitu fraktur yang
mengelilingi tungkai/lengan tulang, obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring
membentuk sudut melintasi tulang. Berdasarkan bentuk patah tulangnya, komplet, yaitu
garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen tulang biasanya
tergeser, inkomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang, fraktur
kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain avulsi,
yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligament, communited (segmental), fraktur dimana
tulang terpecah menjadi beberapa bagian. simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit
utuh, fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari
tempat yang patah, fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada
tempatnya yang normal, fraktur komplikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan
tulang terlihat.5
Berdasarkan lokasinya fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau), diaphyseal
(shaft), maupun distal.1
Berdasarkan proses osifikasinya, tulang panjang tediri dari diafisis
(corpul/shaft) yang berasal dari pusat penulangan sekunder. Epifisis, terletak di ujung
tulang panjang. Bagian dari diafisis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut
metafisis, yaitu bagian dari korpus yang melebar. Fraktur dapat terjadi pada bagian-
bagian tersebut. 1,3

DIAGNOSIS FRAKTUR
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak
di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur dapat
ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan. 1,3,4,5
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat
cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang
dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.1,4,5
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look:
deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel (nyeri
tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian
diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi 4,5
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,
4,5
pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah
adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.4,5
Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan
pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS.
6
Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan
pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan
4,5
pemeriksaan klinis dan radiologis. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara
lain laboratorium meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-
test, dan urinalisa 1,3
Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two: dua gambaran,
anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur,
memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak
terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
4,5

KLASIFIKASI FRAKTUR
a. Fraktur Komplit – Inkomplit3
1) Fraktur komplit : Bila seluruh lingkaran tulang (tulang tubuler) atau
kedua permukaan korteks (tulang ceper) terputus
(disrupted), disebut simpel bilamana hanya terdiri
atas dua fragmen fraktur
2) Fraktur inkomplit : Biasanya terjadi pada anak-anak yang meliputi
bowing (bengkok), torus (buckling of cortex) yang
pada dasarnya korteks masih intak dan infraction
(greenstick fractures), fraktur pada satu sisi korteks

Gambar 2 Jenis-Jenis Fraktur a) bowing, b) dan c) fraktur inkomplit, torus/buckling


korteks dan greenstick, d) fraktur komplit, e) fraktur communited.

b. Bentuk Garis Patah dengan Mekanisme Trauma


1) Garis patah spiral (twisting)
2) Garis patah obliq (compression)
3) Triangle ‘butterfly’ pattern (bending)
4) Transverse pattern (tension)

Gambar 3 Bentuk-Bentuk Garis Patahan

c. Jumlah Garis Patah


1) Fraktur komunitif : Bilamana fraktur terdiri atas lebih dua garis fraktur
2) Fraktur segmental : Garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan.
Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifocal
3) Fraktur multipel : Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan tempatnya

Gambar 4 Fraktur Komunitif Gambar 5 Fraktur Segmental

d. Fraktur Terbuka – Tertutup


1) Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai luka pada kulit yang
memungkinkan adanya komunikasi antara fraktur
dengan lingkungan luar
2) Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak disertai cedera pada kulit di level
tersebut

Gambar 6 Fraktur Terbuka dan Tertutup

Berdasarkan penyebabnya fraktur dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :


1. Fraktur yang disebabkan oleh trauma berat, Trauma dapat bersifat :
- Eksternal : tertabrak, jatuh, dan sebagainya
- Internal : kontraksi otot yang kuat dan mendadak seperti pada serangan epilepsi,
tetanus, renjatan listrik, keracunan striknin
- Trauma ringan tetapi terus menerus, jenis fraktur yang mungkin terjadi sangat
bervariasi dan bergantung pada berbagai faktor, misalnya :
 Besar kuatnya trauma
 Trauma langsung atau tidak langsung
 Umur penderita
 Lokasi fraktur.
- Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada tulang yang sebelumnya telah mengalami proses patologik,
misalnya tumor tulang primer atau multipel mieloma sekunder, kista tulang,
osteomielitis dan sebagainya. Trauma ringan saja sudah dapat menimbulkan fraktur.6,8,9

Gambar 7. Fraktur patologik karena lesi displasia fibrosa pada radius proksimal

- Fraktur stress
Fraktur yang disebabkan oleh trauma ringan tetapi terus menerus, misalnya fraktur
march pada metatarsal, fraktur tibia pada penari balet, fraktur fibula pada pelari jarak
jauh, dan sebagainya.

Gambar 8.Fraktur stress pada korpus tibia memperlihatkan garis fraktur dan sklerosis disekitarnya.

Secara garis besar, fraktur dapat diklasifikasikan menjadi :


1. Fraktur komplit yaitu tulang benar-benar patah menjadi dua fragmen atau lebih. Fraktur
komplit dapat dibagi lagi menjadi:
 Fraktur transversa.
 Fraktur obliq/spiral : secara khas dapat disebabkan oleh stres rotasi.
 Fraktur impaksi : fragmen fraktur yang satu tertancap kuat bersama
menjadi satu.
 Fraktur kominutif : terdapat lebih dari dua fragmen fraktur yang
biasanya terpecah-belah.
 Fraktur intra-artikular: fraktur mengenai permukaan sendi.6,8,9

Gambar 9. Jenis-jenis fraktur komplit

2. Fraktur inkomplit yaitu patahnya tulang hanya pada satu sisi saja. Fraktur inkomplit
dapat dibagi menjadi
- Fraktur greenstick, yang khas pada anak-anak. Tulang melengkung disebabkan oleh
konsistensinya yang elastis. Periosteumnya tetap utuh. Fraktur ini biasanya mudah
diatasi dan sembuh dengan baik.6,8,9
- Fraktur kompresi, yang banyak pada orang dewasa dan khas mengenai korpus vetebra
atau kalkaneus.6,8,9

Gambar 10. Greenstick fracture pada radius distal seorang anak.

Gambar 11. Fraktur kompresi. Kompresi baji anterior korpus vetebra T12
Klasifikasi fraktur Antebrachii
Ada empat macam fraktur yang khas :
1. Fraktur Colles
Penyebab tersering akibat jatuh dalam keadaan tangan terentang dengan lengan pronasi
arah dorsofleksi, sehingga menyebabkan fraktur pada ujung bawah radius dengan
pergeseran posterior dari fragmen distal. Pada pemeriksaan radiologi yang paling umum
ditemukan adalah angulasi ke dorsal dengan hilangnya kemiringan normal (5-10 derajat)
ke arah volar pada permukaan artikular dari radius, displasia fragmen distal fraktur ke
arah dorsal, impaksi pada lokasi fraktur, displasia fragmen distal fraktur ke arah radial,
dan kemiringan fragmen distal ke arah radial. 8,10,11

Gambar 12 Fraktur colles sinistra posisi AP/Lateral. Impaksi pada sendi pergelangan tangan

2. Fraktur Smith
Fraktur ini biasanya akibat terjatuh pada punggung tangan atau pukulan keras
secara langsung pada punggung tangan. Pasien datang dengan nyeri dan bengkak pada
pergelangan tangan disertai dengan deformitas. Pada pemeriksaan radiologi sering sekali
disebut sebagai fraktur reverse colles. Proyeksi AP dan lateral direkomendasikan karena
gambarannya menyerupai fraktur colles jika hanya proyeksi AP yang diperiksa. Fraktur
transversal melalui bagian distal dari metafisis radius yang disertai dengan angulasi ke
arah volar dan pergeseran ke volar.8,10,11
Gambar 13. Peradangan lateral pergelangan tangan memperlihatkan fraktur smith

3. Fraktur Galeazzi

Fraktur ini akibat jatuh dengan tangan terlentang dan lengan bawah dalam keadaan pronasi, atau
terjadi karena pukulan langsung pada pergelangan tangan bagian dorsolateral. Gambaran
radiologisnya fraktur pada radius umumnya terjadi pada perbatasan 1/3 tengan dengan 1/3 distal.
Radius sering kali akan tampak memendek, nilai secara hati-hati sendi radioulna distal akan
adanya pelebara. Pada proyeksi lateral caput ulna biasanya akan terdorong ke dorsal. Fraktur
prosesus stylodeus ulna merupakan hal yang umum sebagai pertanda adanya disrupis sendi radio-
ulna distal. 8,10,11

Gambar 14. Fraktur Galeazzi pada radius dextra dengan dislokasi sendi radioulnar distal
4. Fraktur Montegia

Fraktur jenis ini disebabkan oleh pronasi lengan bawah yang di paksakan saat jatuh atau pukulan
secara langsung pada bagian dorsal sepertiga proksimal lengan bawah. Gambaran radiologinya
selalu curiga adanya dislokasi caput radius pada fraktur ulna yang terisolir. Periksa dengan
seksama elbow view untuk kesegarisan yang normal. Sebuah garis yang digambar sepanjang
sumbu radius harus melewati pertengahan capitallum baik pada proyeksi AP maupun lateral. Ini
dikenal sebagai radiocapitallar line. 8,9,11

Gambar 15. Fraktur oblik pada proksimal ulna dextra dengan angulasi radiohumeral

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Penggunaan x-ray sangat penting untuk melihat keadaan tulang, dapat melihat jenis patahan.

Tujuan pemeriksaan radiologis:


- Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
- Untuk konfirmasi adanya fraktur
- Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya
- Untuk menentukan teknik pengobatan
- Untuk menentukan fraktur itu baru atau tidak
- Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
- Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
- Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru

Pada penggunaan x-ray ini ada hal yang penting yang harus diperhatikan, yaitu rules of two.
Hal ini untuk mengurangi persentase kesalahan dalam menegakkan diagnosis sekecil mungkin.
A. Rules of two terdiri dari :

o Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada


anteroposterior dan lateral
o Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, di atas dan di bawah
sendi yang mengalami fraktur
o Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke dua
anggota gerak terutama pada fraktur epifisis
o Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua
daerah tulang.
o Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid,
foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto
berikutnya 10-14 hari kemudian. 15

Gambar 16. Foto AP antebrachii sinistra normal

Pola ABCs dapat digunakan untuk menganalisis foto radiologis. Berikut adalah pola
ABCs: 16

A: Alignment
 struktur tulang : menilai ukuran dan jumlah tulang
 kontur tulang : menilai permukaan dan kontinuitas garis tulang
 Kedudukan tulang antar tulang : normal tidak ada dislokasi, fraktur dan
subluksasi
B: Bone Density
 Densitas tulang : menilai densitas tulang
 Tekstur tulang: menilai struktur trabekula
 Perubahan densitas tulang : menilai ada tidaknya perubahan dalam
densitas tulang
C: Cartillage Space
 Menilai lebar celah sendi : menyempit atau melebar
 Tulang subchondral : menilai permukaannya
 Lempeng epifisis : menilai ukuran dan relativitasnya sesuai umur tulang.
S: Soft Tissue
 Otot : menilai ukuran dari gambaran jaringan lunak
 Kapsul sendi : normalnya tidak terlihat
 Periosteum : normalnya tidak terlihat, normal jika terlihat saat
penyembuhan fraktur
 Temuan lain pada jaringan lunak

Proses Penyembuhan Fraktur

Terdapat kepercayaan bahwa, agar menyatu, fraktur harus diimobilisasi. Bukan


demikian halnya dengan beberapa kekecualian, fraktur akan menyatu baik dengan di bidai
ataupun tidak. Tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur
dibiarkan tetap bergerak bebas. Kedua ujung tulang harus diistirahatkan dibandingkan yang
lain. Secara alami penyatuan fraktur dapat terjadi dengan kalus. Kalus terbentuk karena
bereaksi terhadap gerakan, bukan terhadap pembidaian.Sebagian fraktur di bidai, tidak untuk
memastikan penyatuan, tetapi tujuannya adalah: (1) untuk meringankan nyeri, (2) untuk
memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan (3) untuk memungkinkan
gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi. Proses perbaikan fraktur beragam sesuai
dengan jenis tulang yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Pada penyembuhan
fraktur terdapat 2 macam yaitu penyembuhan fraktur primer (langsung/direct) dan
penyembuhan fraktur sekunder (tidak langsung/indirect).3

1. Penyembuhan Fraktur Primer

Penyembuhan fraktur primer atau penyembuhan fraktur secara langsung, tidak sering
terjadi pada proses alami. Hal ini dikarenakan perlunya reduksi ujung fraktur yang tepat, tanpa
adanya gap formation dan fiksasi yang stabil. Biasanya penyembuhan tipe ini bisa tercapai
setelah operasi Open Reduction and Internal Fixation. Jika hal ini tercapai, maka penyembuhan
tulang secara langsung dapat terjadi dengan remodeling tulang lamellar, kanal Haversian dan
pembuluh darah.
a. Contact healing

Penyembuhan fraktur primer dapat terjadi dengan penyembuhan lewat kontak atau
penyembuhan dengan celah (gap). Penyembuhan tulang secara langsung hanya dapat tercapai
bila secara anatomi fragmen fraktur kembali dan fiksasi yang cukup diberikan untuk
mengurangi regangan antara fragmen tersebut. Kedua korteks tulang harus menyatu untuk
melanjutkan prosen penyembuhan tersebut. Jika gap antara ujung tulang kurang dari 0,01 mm
dan regangan antara fragmen kurang dari 2%, maka fraktur tersebut akan menyatu yang disebut
contact healing3. Kedua ujung kerucut yang terpotong tersebut terdiri dari osteoklas yang
melintas garis fraktur, menghasilkan rongga yang memanjang dengan kecepatan 50-100
um/hari. Rongga ini kemudian akan terisi oleh tulang yang dihasilkan oleh osteoblast yang
berada di belakang ujung kerucut. Hal ini menghasilkan penyatuan tulang secara terus menerus
dan pemulihan sistem haversian. Pemulihan sistem haversian membuat pembuluh darah dapat
membawa precursor osteoblast. Terbentuknya jembatan tulang ini kemudian di matangkan
dengan proses remodeling secara langsung pada tulang pipih yang menghasilkan penyembuhan
tulang tanpa terbentuknya kalus periosteal3.

b. Gap healing

Gap healing berbeda dari contact healing dalam penyatuan tulang dan remodeling
Haversian tidak terjadi secara bersamaan. Hal ini terjadi jika kondisi stabil dan reduksi anatomi
tercapai, meskipun kesenjangan harus kurang dari 800µm sampai 1 mm. Dalam proses ini
bagian fraktur terutama diisi oleh tulang lamelar tegak lurus terhadap sumbu panjang,
memerlukan rekonstruksi osteonal sekunder tidak seperti proses contact healing. Struktur
tulang primer kemudian secara bertahap digantikan oleh revascularisasi osteon memanjang
membawa sel osteoprogenitor yang berdiferensiasi menjadi osteoblas dan menghasilkan tulang
lamelar pada setiap permukaan gap. Tulang pipih ini, bagaimanapun, terletak tegak lurus
terhadap sumbu panjang dan secara mekanik lemah. Proses awal ini berlangsung sekitar 3 dan
8 minggu, setelah renovasi sekunder menyerupai kontak penyembuhan kaskade dengan cutting
cone berlangsung. Meskipun tidak segencar renovasi endokhondral, fase ini diperlukan untuk
sepenuhnya mengembalikan sifat anatomi dan biomekanik tulang.3

Penyembuhan Fraktur Sekunder

Penyembuhan fraktur sekunder (tidak langsung/indirect) merupakan bentuk yang


sering terjadi dalam penyembuhan fraktur, dan melibatkan penyembuhan tulang endokondral
dan intramembran. Penyembuhan ini tidak memerlukan reduksi anatomi ataupun kondisi yang
stabil tapi memerlukan pergerakan kecil dan pemberian beban. Pemberian beban ataupun tidak
menyatu sama sekali. Penyembuhan ini dapat terjadi pada pengobatan fraktur non-operatif dan
pengobatan operatif pada bagian yang fraktur seperti intermedullary nailing, external fixation,
atau internal fixation dari fraktur kominutif komplikata.

Proses penyembuhan ini terdiri dari beberapa tahap yaitu:

a. Kerusakan Jaringan dan Pembentukan Hematoma

Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang
pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau
dua millimeter.1

b. Radang dan Proliferasi Seluler

Dalam 8 jam setelah fraktur, terjadi reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah
periosteum dan di dalam saluran medularry yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh
jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu.1

c. Pembentukan Kalus

Sel yang berkembangbiak memiliki potensi krondrogenik dan osteogenik: bila


diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa
keadaan, juga kartilago. Populasi sel sekarang juga mencakup osteoklas (mungkin dihasilkan
dari pembuluh darah baru) yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal,
dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur (atau anyaman
tulang) menjadi lebih padat, gerakan pada tempat faktur semakin berkurang dan pada empat
minggu setelah cedera fraktur menyatu.1

d. Konsolidasi

Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
tulang. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang
tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin
perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal.1
e. Remodeling

Proses remodeling terjadi dengan proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamela yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi: dinding-
dinding yang tak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk. Akhirnya, dan terutama pada
anak-anak, tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.1

Gambar 17. Lima Tahap Penyembuhan Fraktur

PEMILIHAN TERAPI
Terapi fraktur diperlukan konsep ”4R” yaitu :
1. Rekognisi atau pengenalan adalah dengan melakukan berbagai diagnosa yang benar sehingga akan
membantu dalam penanganan fraktur karena perencanaanterapinya dapat dipersiapkan
lebih sempurna.
2. Reduksi atau reposisi adalah tindakan mengembalikan fragmen-fragmen fraktur
semirip mungkin dengan keadaan atau kedudukan semula atau keadaan letak normal.
3. Retensi atau fiksasi atau imobilisasi adalah tindakan mempertahankan atau menahan
fragmen fraktur tersebut selama penyembuhan.
4. Rehabilitasi adalah tindakan dengan maksud agar bagian yang menderita fraktur
tersebut dapat kembali normal. 2
Terapi Konservatif :
- Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisasi)
- Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)
- Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna, mempergunakan gips
- Reduksi tertutup dengan fraksi berlanjut dengan imobilisasi
- Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi
Tindakan Pembedahan :
- Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi perkutaneus dengan K-wire,
setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, maka reduksi
dapat dipertahankan dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada fraktur
suprakondiler humeri pada anak-anak atau pada fraktur Colles.2,17
- Reduksi terbuka dengan fiksasi interna, tindakan ini bertujuan untuk mereposisi dan
mempertahankan fragmen tulang yang patah melalui prosedur operasi dengan
pemasangan implan di dalam lapisan kulit dan otot berupa plat, Skrup,pin, dan paku.2,17
- Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna, tindakan ini dilakukan melalui proses operasi.
Perbedaannya ialah alat fiksasi/ implan dipasang dari dalam hingga keluar lapisan otot
dan kulit.
PENYEMBUHAN FRAKTUR

Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang secara
cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi.4 Imobilisasi yang sering
digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur fisiologis akan diikuti proses
penyambungan. Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase. Fase
hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di
sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat
pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter. Fase proliferasi terjadi
selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi dibawah periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus
ujung fragmen dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma
yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang
dalam daerah fraktur. Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel
yang berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik
jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago dan
osteoklas. 7 Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga
osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan
endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan. Fase konsolidasi
terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman tulang menjadi
padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang
berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk
menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah
diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan
sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal. Fase remodelling terjadi
selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh tulang yang padat,
tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus
lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti
normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun.4,5

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia


pasien, banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada
fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya.

Komplikasi Fraktur

Komplikasi dini

a. Cedera viseral

Fraktur pada badan sering disertai komplikasi cedera pada visera yang dibawahnya,
yang paling penting adalah penetrasi pada paru-paru dengan pneumotoraks yang
membahayakan jiwa setelah fraktur tulang rusuk dan ruptur kandung kemih atau uretra pada
fraktur pelvis cedera ini membutuhkan terapi darurat, sebelum fraktur ditangani.1

b. Cedera pembuluh darah

Fraktur yang paling sering disertai kerusakan pada arteri utama adalah fraktur di sekitar
lutut dan siku, dan fraktur batang humerus dan femur. Arteri dapat terputus, robek, tertekan
atau mengalami kontusi, akibat cedera awal atau sesudahnya akibat fragmen tulang yang
lancip. Meskipun penampilan luarnya normal, intima dapat terlepas dan pembuluh tersumbat
oleh trombus, atau segmen arteri mungkin mengalami spasme. Efek-efeknya bervariasi mulai
dari pengurangan aliran darah sementara sampai iskemia yang jelas, kematian jaringan dan
gangren perifer.1 Gambaran klinik: Pasien mungkin mengeluh parestesia atau baal pada jari
kaki atau jari tangan. Tungkai yang mengalami cedera dingin dan pucat, atau sedikit sianotik,
dan denyutnya lemah atau tak ada.
c. Cedera saraf

Keadaan ini terutama sering ditemukan pada fraktur humerus atau cedera di sekitar siku
atau lutut. Tanda-tanda yang memberi petunjuk harus dicari selama pemeriksaan awal. Pada
cedera tertutup – saraf jarang terputus, dan penyembuhan spontan harus ditunggu. Jika belum
terjadi penyembuhan dalam waktu yang diharapkan, saraf harus dieksplorasi. Kadang-kadang
saraf terjenak di antara fragmen-fragmen dan kadang-kadang ditemukan terpisah. Pada fraktur
terbuka, suatu lesi lengkap (neurotmesis) kemungkinan besar terjadi. Saraf dieksplorasi selama
debridemen luka dan diperbaiki. Atau sebagai prosedur sekunder 3 minggu kemudian.1

Kompresi saraf akut kadang-kadang terjadi pada fraktur atau dislokasi di sekitar
pegelangan tangan. Keluhan baal atau parestesia dalam distribusi sarafulnaris atau medianus
harus ditanggapi secara serius dan saraf dengan segera dieksplorasi dan dilakukan dekompresi.1

d. Hemartrosis

Fraktur yang melibatkan sendi dapat menyebabkan hemartrosis akut. Sendi bengkak
dan tegang dan pasien terhalang setiap kali mencoba menggerakannya. Darah harus diaspirasi
sebelum menangangi fraktur.1

e. Infeksi

Fraktur terbuka dapat terinfeksi. Fraktur tertutup hampir tidak pernah terinfeksi kecuali
bila dibuka dengan operasi. Infeksi luka pasca trauma sekarang paling sering menyebabkan
osteoitis kronis. Keadaan ini tidak mencegah penyatuan fraktur, tetapi penyatuan akan berjalan
lambat dan kesempatan mengalami fraktur ulang meningkat.1

Komplikasi Jangka Panjang

1. Penyatuan terlambat (delayed union)


- Pasokan darah tidak cukup, bila terjadi fraktur pada tulang yang tak memiliki serabut
otot, terdapat risiko penyatuan lambat. Tulang yang mudah terserang antara lain adalah
tulang yang cenderung terkena nekrosis avaskular, dan juga tibia bagian bawah
(terutama fraktur ganda).1
- Infeksi, fraktur terbuka lambat untuk menyatu, mungkin karena tidak banyak hematoma
di sekitar fraktur tempat kalus penyelubung terbentuk. Infeksi dapat menunda
penyatuan lebih jauh.1
- Pembidaian yang tidak benar, pembidaian yang tidak mencukupi, karena itu gips
standar di bawah lutut tidak cukup menahan fraktur batang tibia. Traksi yang terlalu
banyak, yang menarik tulang hingga terpisah juga dapat menyebabkan hal ini.1

2. Non-union
Bila keterlambatan penyatuan tidak diketahui, meskipun fraktur telah diterapi dengan
memadai, cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah adanya celah yang terlalu
lebar dan interposisi jaringan.
- Celah terlalu lebar,jika permukaan fraktur terpisah terlalu jauh, penyatuan sangat lama
atau mungkin tak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan oleh fraktur tembakan yang
menghancurkan banyak bagian tulang, akibat bagian tulang yang lepas dalam
kecelakaan yang menyebabkan fraktur, reaksi otot di mana otot pasien sendiri menarik
kedua fragmen hingga terpisah (fraktur patella), atau akibat terapi dengan traksi yang
berlebihan.
- Interposisi
Non-union dapat terjadi bila salah satu dari jaringan berikut ini berada di antara ujung-
ujung tulang: periosteum (misalnya selapis periosteum pada fraktur mata kaki), otot
(misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps), kartilago (misalnya fraktur
kondilus lateral humerus dapat demikian terputar sehingga permukaan sendi
kartilaginosa menghadap batangnya).1

3. Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tak memuaskan (angulasi, rotasi atau
pemendekan yang tak dapat diterima) fraktur itu dikatakan mengalami mal-union.
Penyebabnya adalah tidak tereduksinya fraktur secara cukup, kegagalan
mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan, atau kolaps yang berangsur-
angsur pada tulang yang osteoporotik atau kominutif.1
4. Nekrosis avaskular

Daerah tertentu dikenal memiliki kencederungan untuk mengalami iskemia dan


nekrosis tulang setelah cedera. Daerah-daerah itu adalah: (1) kapur femoris (setelah fraktur
pada leher femur atau dislokasi pada pinggul), (2) bagian proksimal dari skafoid (akibat fraktur
pada pinggangnya), (3) lunatum (setelah dislokasi), (4) tubuh talus (setelah fraktur pada
lehernya).1 Tepatnya, ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang, karena iskemia terjadi
selama beberapa jam pertama setelah fraktur atau dislokasi. Tetapi, efek-efek klinik dan
radiologi tidak terlihat sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian.1
Gambaran klinik: Tidak ada gejala yang berhubungan dengen nekrosis avaskular, tetapi kalau
fraktur tidak menyatu atau kalau tulang kolaps pasien dapat mengeluh nyeri.

5. Gangguan pertumbuhan

Pada anak-anak, kerusakan pada fisis dapat mengakibatkan pertumbuhan yang


abnormal atau terhambat. Fraktur melintang pada lempeng pertumbuhan tidak membawa
bencana. Fraktur menjalar di sepanjang lapisan hipertrofik dan lapisan berkapur dan tidak pada
daerah germinal maka, asalkan fraktur ini direduksi dengan tepat, jarang terdapat gangguan
pertumbuhan. Tetapi fraktur yang memisahkan bagian epifisis pasti akan melintasi bagian fisis
yang sedang tumbuh, sehingga pertumbuhan selanjutnya dapat asimetris dan ujung tulang
berangulasi secara khas; kalau seluruh fisis rusak, mungkin terjadi perlambatan atau
penghentian pertumbuhan sama sekali.1

6. Ulkus dekubitus (bed sores)

Ulkus dekubitus terjadi pada manula atau pasien yang lumpuh. Kulit, terutama di atas
sakrum dan tumit, mudah terserang. Perawatan yang cermat dan aktivitas lebih awal biasanya
dapat mencegah ulkus dekubitus. Sekali ulkus ini terjadi, terapi sukar: mungkin diperlukan
eksisi jaringan nekrotik dan pencangkokan kulit.1

7. Miositis osifikans

Osifikasi heterotropik otot kadang-kadang terjadi setelah cedera, terutama dislokasi


pada siku atau pukulan pada brakialis, deltoid atau kuadriseps. Diduga ini akibat kerusakan
otot, tetapi keadaan ini juga terjadi tanpa cedera lokal pada pasien yang tak sadar atau pasien
paraplegia.1

8. Kontraktur Volkmann

Setelah cedera arteri atau suatu sindroma kompartemen, pasien dapat mengalami
kontraktur iskemik pada otot yang terkena. Tetapi, saraf yang cedera oleh iskemia kadang-
kadang sembuh kembali, sekurang-kurangnya sebagian. Karena itu pasien memperlihatkan
deformitas dan mengalami kekakuan, tetapi rasa baal tidak selalu ditemukan. Tempat yang
sering terkena ialan lengan bawah, tangan, tungkai bawah dan kaki.1
Bab III

PENUTUP

Kesimpulan

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,tulang rawan, baik yang bersifat total
maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Gejala klasik fraktur adalah adanya
riwaayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi,
rotasi, diskrepansi, gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang,
dan gangguan neurovaskuler. Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi
(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan, dan rehabilitasi.
Penanganan ortopedi adalah proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi, imobilisasi dengan fiksasi,
reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi, reposisi dengan traksi, reposisi
diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar, reposisi secara nonoperatif diikuti dengan
pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif, reposisi secara 12 operatif dikuti dengan
fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna, dan eksisi fragmen fraktur dan
menggantinya dengan prosthesis. Pada fraktur terbuka harus diperhatikan bahaya terjadi
infeksi, baik infeksi umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan.

Prognosis
Penanganan lebih dini biasanya menghasilkan hasil yang baik. Ada fraktur fraktur
tertentu yang kurang stabil, dan klasifikasi yang tepat dapat membuat klinisi waspada terhadap
fraktur yang memiliki risiko komplikasi saat penyatuannya. Diantara fraktur komplit, fraktur
transversal cenderung tetap berada di tempat, sesudah dilakukan reduksi, tidak seperti fraktur
oblik dan spiral yang mempunyai kecenderungan untuk bergeser. Pergeseran sesudah reduksi
dapat menyebabakn penyatuan yang lambat (delayed union), penyatuan pada posisi yang salah
(malunion) atau bahkan tidak terjadinya penyatuan (nonunion). Hal yang sama, fraktur
kominutif biasanya bersifat tidak stabil dan kemungkinan untuk sembuh dalam posisi yang
kurang optimal karena reduksi fragmen fraktur sering sulit dipertahankan. Fraktur transversal
membutuhkan waktu penyembuhan lebih lama dari pada fraktur spiral untuk sembuh. Fraktur
yang terjadi pada anak-anak dan pada ekstremitas atas (dibandingkan ekstremitas bawah)
cenderung sembuh lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ellis, Harold. Clinical anatomy: Applied anatomy for students and junior doctors. 11th
edition.UK: Blackwell Publishing; 2006. p.164-7, 172.

2. Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta: Salemba


Medika. 2011. p411-55
3. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331
4. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG. 2011. p959-1083
5. Salter RB. Textbook Disorders and Injuries of The Muskuloskeletal System Third
Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 1999. p417-498
6. Nayagam S. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.
Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. London: Hodder
Education. 2010. p687-732

7. Einhorn TA, Gerstenfeld LC. Fracture Healing : Mechanisms and Interventions. 2015
jan; 11 (1):45-54

8. Aston J. N. Kapita Selekta Traumatologik dan Ortopedik. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC; 1996. p. 35.

9. Murtala, Bachtiar. Radiologi trauma dan emergensi. Edisi Kedua. Makassar: IPB; 2012.
p.57-65.

10. Karakala G. Forearm Fracture2013:[1-5 pp.] Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/1239187-overview.

11. Mettler Jr, Fred A. Skeletal system. In: Essentials of radiology. 2 nd Edition. USA:
Saunders; 2005. p.203.

12. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik: Pencitraan Diagnostik Edisi kedua. Jakarta: Divisi
Radiodiagnostik RS dr. Cipto Mangunkusumo; 2005. p. 31-46.

13. Patel. Pradip R. Lecture Notes: Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007. p. 221-3.
14. Peh. Wilfred C. Goh. Lesley A. Mengenali Pola Foto-Foto Diagnostik: Trauma

15. Gaillard F. Radiology Case: Colles Fracture 2010. Available from:


http://radiopaedia.org/cases/colles-fracture-1.

Anda mungkin juga menyukai