Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum
menemukan kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan. 1 Tahap
usia tua akan dialami oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial. Di sisi
lain kondisi fisik dan psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda. Dimensia adalah
kumpulan gejala kronik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan
ditandai oleh hilangnya daya ingat jangka pendek (recent memory) dan gangguan
global fungsi mental termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berpikir
abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya
pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran atau situasi
stress, sehingga menimbulkan gangguan pekerjaan, aktivitas harian dan sosial.4
Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan (middle age) :
45-69 tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun. Demensia merupakan penyakit endemik di
Indonesia, banyak sekali kasus demensia sekarang ini. Prevalensi demensia
diperkirakan sekitar 15% pada penduduk berusia lebih dari 65 tahun. Saat ini
perhatian dan pengetahuan masyarakat akan demensia masih sangat kurang.
Masyarakat masih menganggap demensia sebagai bagian proses menua yang wajar.
Diagnosis demensia perlu ditegakkan secara dini dan dibedakan berdasarkan
etiologinya, usia awitan dan gambaran klinisnya. Penatalaksaan pada stadium dini,
baik secara farmakologis maupun non farmakologis dapat menyembuhkan atau
memperlambat progresivitas penyakit, sehingga penderita tetap mempunyai kualitas
hidup yang baik.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Definisi lain yaitu menurut Perdossi, demensia adalah kumpulan gejala kronik
yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya
daya ingat jangka pendek (recent memory) dan gangguan global fungsi mental
termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat
diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan
tempat, tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran atau situasi stress, sehingga
menimbulkan gangguan pekerjaan, aktivitas harian dan sosial.4

EPIDEMIOLOGI
Di dunia angka kejadian dimensia mencapai 50 juta pasien, sekian juta pasien
dibenua eropa dan 22 juta lainya dibenua Asia. Di Indonesia sendiri, umur termuda
pasien dengan dimensia adalah 56 tahun. 5% dari lansia berumur 65-70 tahun dan
45% pasien udia diatas 85 tahun menderita dimensia.19

KLASIFIKASI
Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit:8
a. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik:
Hal ini meliputi hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi,
kompleks demensia AIDS, dan sebagainya.
b. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi:
Kelompok ini meliputi korea Huntington, penyakit Schilder, dan proses
demielinasi lainnya; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak; trauma
otak; infeksi otak dan meningeal; dan sejenisnya.
c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang
mencolok:
Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick

Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia
subkortikal. Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia yang
reversibel dan irreversibel (tabel).

Tabel 1. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal9

Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal


Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi,
seolah berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea,
diskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik,
volum suara lemah
Berbahasa Abnormal, parafasia, Normal
anomia
Kognisi Abnormal (tidak mampu Tak terpelihara
memanipulasi (dilapidated)
pengetahuan)
Memori Abnormal (gangguan Pelupa (gangguan
belajar) retrieval)
Kemampuan visuo- Abnormal (gangguan Tidak cekatan
spasial konstruksi) (gangguan gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tak Abnormal (kurang
memperdulikan, tak dorongan drive)
menyadari)
Contoh Penyakit Alzheimer, Pick Progressive
Supranuclear Palsy,
Parkinson, Penyakit
Wilson, Huntington.

Tabel 2. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang irreversibel9

Primer degenerative
- Penyakit Alzheimer
- Penyakit Pick
- Penyakit Huntington
- Penyakit Parkinson
- Degenerasi olivopontocerebellar
- Progressive Supranuclear Palsy
- Degenerasi cortical-basal ganglionic
Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
- Sub-acute sclerosing panencephalitis
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy
- Penyakit Kuf
- Gangliosidoses

Tabel 3. Beberapa penyebab demensia yang dapat reversibel10

Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-


konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi
(Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik
(Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine,
Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia;
sistemik anemia berat; polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal
hepar; uremia; insufisiensi pulmonal; hypopituitarism;
disfungsi tiroid, adrenal, atau paratiroid; disfungsi
kardiak; degenerasi hepatolenticular.
Gangguan intrakranial insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis
chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess,
hematoma subdural, multiple sclerosis, normal pressure
hydrocephalus.
Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen- systemic lupus erythematosus, temporal arteritis,
vascular sarcoidosis, syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene,
trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury,
arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines,
bromide, hydrocarbons.

ETIOLOGI
Demensia Alzheimer dan demensia vaskular merupakan demensia yang paling banyak
kasusnya. Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah
penyakit Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Huntington, penyakit Parkinson,
Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan trauma kepala.4

1. Demensia Alzheimer11,12,13
Adalah gangguan degeneratif yang menyerang sel-sel otak atau neuron secara
progresif yang mengakibatkan hilangnya memori, kemampuan berpikir dan
berbahasa, serta perubahan perilaku. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit
neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang
menderita pada usia kurang 65 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok
yang menderita pada usia lebih dari 65 tahun disebut sebagai late onset. Faktor resiko
penyakit Alzheimer sampai saat ini masih belum pasti, tetapi beberapa faktor yang
diperkirakan menjadi penyebab Alzheimer adalah :
a. Usia
Bertambahnya usia memang menjadi salah satu faktor resiko penyakit
Alzheimer, namun begitu penyakit ini dapat diderita oleh semua orang pada
semua usia. 96% diderita pada yang berusia 40 tahun keatas.
b. Genetik
Individu yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita
beresiko dua kali lipat untuk terkena Alzheimer.
c. Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, maka prevalensi wanita yang menderita Alzheimer
lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan pria.
d. Pendidikan
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki faktor pelindung
dari resiko menderita Alzheimer, tetapi hanya untuk menunda onset
manifestasi klinis.

Secara makroskopik, perubahan otak pada alzheimer melibatkan kerusakan


berat pada neuron korteks dan hipokampus serta penimbunan amiloid pada pembuluh
darah intrakranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologis (struktural)
dan biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis terdiri dari dua ciri khas lesi
yang pada akhirnya berkembang menjadi degenari soma (badan) dan/atau akson dan
dendrit neuron. Dua ciri khas lesi tersebut yaitu kekusutan neurofibrilaris dan plak
senile.

Neurofibrillary Tangle merupakan suatu struktur intraseluler yang berisi serat


kusut dan sebagian besar terdiri dari protein "tau". Dalam sistem saraf pusat, protein
"tau" sebagian besar sebagai penghambat pembentuk struktural yang terikat dan
menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitoskeleton sel
neuron. Pada alzheimer ini, terjadi fosforilasi abnormal dari protein "tau" yang secara
kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak lagi dapat terikat pada
mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal dapat terpuntir masuk ke
filamen heliks ganda. Dengan kolapsnya sistem transport internal, hubungan
interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti oleh
kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak
ini yang salah satunya menyebabkan alzheimer.

Lesi khas yang kedua yaitu plak senilis, terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang
terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta
adalah fragmen protein prekursor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat
pada membran neuron yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron.
APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh enzim protease yang salah satu
fragmennya adalah A-beta, suatu fragmen yang lengket dan berkembang menjadi
gumpalan yang bisa larut. Pada alzheimer, gumpalan tersebut akhirnya tercampur
dengan bagian dari neuron dan sel-sel glia (khususnya mikroglia dan astrosit). Setelah
beberapa waktu, campuran tersebut membeku menjadi fibril-fibril yang membentuk
plak yang matang, padat, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang
utuh. Selain itu, A-beta mengganggu hubungan interselular dan menurunkan respons
pembuluh darah sehingga menyebabkan makin rentannya neuron-neuron terhadap
stressor (missal iskemia). Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan
radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon
pembuluh darah sehingga mengakibatkan rentannya neuron terhadap stressor.
Perubahan biokimia dalam sistem saraf pusat adalah temuan mikroskopis khas
lain yang ditemukan pada alzheimer. Diketahui bahwa korteks otak manusia terdiri
dari sejumlah besar akson kolinergik yang melepaskan asetilkolin yang mana
merupakan kunci neurotransmitter dalam fungsi kognitif yang kemudian pada
penderita alzheimer ini terjadi penurunan pada neurotransmitter ini berhubung akson
kolinergiknya mengalami kerusakan. Oleh karena itu salah satu obat-obatan yang
bekerja berupa inhibitor kolinesterase yang bekerja menghambat enzim tersebut agar
tidak mendegradasi asetilkolin sehingga tidak memperparah kondisi.

GAMBARAN KLINIK11,16
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,
termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan
kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi
eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial
atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus
uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya
fungsi luhur sebelumnya.
a. Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau
lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian
penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita
seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan
masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada
demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga
penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan
terhadap namanya sendiri.
b. Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan
waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit
demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana
kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi.
c. Gangguan bahasa
Penderita akan terlihat sulit untuk mencari kata yang tepat dalam
mengungkapkan isi pikirannya. Semakin parah penyakitnya, maka ucapan dan atau
tulisan penderita jadi sulit untuk dimengerti karena penderita menggunakan kalimat
dengan substitusi kata-kata yang tidak biasa digunakan. Contohnya: jika penderita
sulit menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu untuk mulut saya".
d. Apraksia
Penderita sulit mengerjakan tugas yang familiar. Penderita sering mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari yang sangat mereka ketahui,
contohnya mereka tidak mengetahui langkah-langkah untuk menyiapkan makanan,
berpakaian, atau menggunakan perabot rumah tangga.
e. Agnosia
Ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun
fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena,
meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya
dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun
sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan di
tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.
f. Gangguan fungsi eksekutif
Hal ini disebabkan karena frontal lobe penderita mengalami gangguan,
ditandai dengan: sulit menyelesaikan masalah, reasoning, pembuatan keputusan dan
penilaian. Misalnya penderita mengenakan baju tanpa mempertimbangkan cuaca,
memakai beberapa kaos di hari yang panas/ memakai pakaian yang sangat minim
ketika cuaca dingin.
g. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling
mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Pasien dengan demensia juga
mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek
perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham
paranoid biasanya bersikap curiga atau bermusuhan terhadap anggota keluarga dan
pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami
perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.
Selain itu penderita juga sering mengalami delusi paranoid dan terkadang juga
mengalami halusinasi (dengar, visual, dan haptic). Sedangkan untuk gangguan
perilaku, meliputi agitasi (aktivitas verbal maupun motorik yang berlebihan dan tidak
selaras), wandering (mondar-mandir, mencari-cari/ membututi caregiver ke mana pun
mereka pergi, berjalan mengelilingi rumah, keluyuran), dan gangguan tidur (berupa
disinhibisi, yaitu perilaku yang melanggar norma-norma sosial, yang disebabkan oleh
hilangnya fungsi pengendalian diri individu).

DIAGNOSIS4,17,18
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
neuropsikologis.
a. Anamnesis
Wawancara sebaiknya dilakukan pada penderita dan mereka yang sehari-hari
berhubungan langsung dengan penderita (pengasuh). Hal yang penting
diperhatikan adalah riwayat penurunan fungsi terutama kognitif dibandingkan
dengan sebelumnya, mendadak/progresif lambat dan adanya perubahan
perilaku dan kepribadian.

 Riwayat kesehatan/medis umum


Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis (misalnya HIV
dab sifilis), gangguan endokrin (hiper/ hipotiroid), diabetes mellitus,
neoplasma, penyakit jantung, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia,
dan aterosklerosis.
 Riwayat neurologis
Untuk mencari etiologi demensia seperti riwayat gangguan
serebrovaskuler, trauma kapitis, infeki SSP, epilepsy, tumor serebri, dan
hidrosefalus.

 Riwayat gangguan kognitif

Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang:


gangguan orientasi ruang, waktu dan tempat; gangguan berbahasa/
komunikasi (meliputi kelancaran, menyebut nama benda, maupun
gangguan komprehensi); gangguan fungsi eksekutif (meliputi
pengorganisasian, perencanaan, dan pelaksanaan suatu aktivitas),
gangguan praksis dan visuospasial. Selain itu perlu ditanyakan mengenai
aktivitas harian, di antaranya melakukan pekerjaan, mengatur keuangan,
mepersiapkan keperluan harian, melaksanakan hobi, dan mengikuti
aktivitas sosial.

 Riwayat Gangguan Perilaku dan Kepribadian

Gejala psikiatri dan perubahan perilaku sering dijumpai pada penderita


demensia. Hal ini perlu dibedakan dengan gangguan psikiatri murni,
misalnya depresi, skizofrenia, terutama tipe paranoid. Pada penderita
demensia dapat ditemukan gejala neuropsikologis berupa waham,
halusinasi, miss-identifikasi, depresi, apatis, dan cemas. Gejala perilaku
dapat berupa bepergian tanpa tujuan (wandering), agitasi, agresivitas fisik
maupun verbal, restlessness, dan disinhibisi.

 Riwayat Intoksikasi

Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida,


dan lem; alkoholisme, dan merokok. Riwayat pengobatan terutama
pemakaian kronis obat antidepresan dan antidepresan dan narkotik perlu
diketahui pula.

 Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit
serebrovaskular, gangguan psikiatri, depresi, penyakit Parkinson, Sindrom
Down dan retardasi mental.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, neurologis dan
neuropsikologis.

 Pemeriksaan fisik umum

Terdiri dari pemeriksaan medis umum sebagaimana yang dilakukan dalam


praktek klinis.

 Pemeriksaan neurologis

Adanya tekanan tinggi intra kranial, gangguan neurologis fokal, misalnya:


gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik, otonom, koordinasi,
gangguan penglihatan, pendengaran, keseimbangan, tonus otot, gerakan
abnormal/ apraksia, dan adanya refleks patologis dan primitif.

c. Pemeriksaan neuropsikologis

Meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis,


visuospasial, dan visuoperseptual. Mini Mental State Examination (MMSE)
dan Clock Drawing Test (CDT) adalah pemeriksaan penapisan yang berguna
untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan,
dan untuk menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-
30. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada penderita dengan nilai
MMSE kuurang dari 27, terutama pada golongan berpendidikan tinggi. Selain
itu pula dilakukan pemeriksaan aktivitas harian dengan pemeriksaan Activity
of Daily Living (ADL) dan Instrumental Activity of Daily Living (IADL). Hasil
pemeriksaan tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, social, dan budaya.
d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pencitraan


otak, elektroenseflografi dan pemeriksaan genetika.

 Pemeriksaaan laboratorium

Pemeriksaaan yang dianjurkan oleh American Academy of Neurology


berupa pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal,
fungsi hati, hormone tiroid, dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan
neurosifilis pada penderita dengan resiko tinggi. Pemeriksaa cairan otak
dilakukan hanya atas indikasi.

 Pemeriksaaan pencitraan otak

Pemeriksaan ini berperan dalam menunjang diagnosis, menentukan


beratnya penyakit, meupun prognosis.

Computerized Tomography (CT)- Scan atau Metabolic Resonance Imaging


(MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan structural, sedangkan Positron Emission
Tomography (PET) dan Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan
untuk mendeteksi pemeriksaan fungsional. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya:

 Gambaran normal sesuai dengan usia


 Atrofi serebri umum
 Perubahan pada pembuluh darah kecil yang tampak sebagai
leukoensefalopati
 Atrofi fokal terutama pada lobus temporal medial yang khas pada
demensia Alzheimer
 Infark serebri, perdarahan subdural, atau tumor otak

MRI dapat menunjukkan kelainan struktur hipokampus secara jelas & berguna
untuk membedakan demensia Alzhimer dengan demensia vaskular pada stadium awal.

 Pemeriksaaan EEG
EEG tidak menunjukkan kelainan yang spesifik. Pada stadium lanjut dapat
ditemukan adanya perlambatan umum dan kompleks periodik.

 Pemeriksaaan Genetika

Pemeriksaan genetika belum merupakan pemeriksaan rutin, dalam


penelitian dilakukan untuk mencari maka APOE, protein Tau, dll.

TATALAKSANA4
Penatalaksanaan farmakologis pada penderita dementia reversibel bertujuan
untuk pengobatan kausal, misalnya pada hiper/ hipotiroidi, defisiensi vitamin B12,
intoksikasi, gangguan nutrisi, infeksi dan ensefalopati metabolik.

Pada demensia Alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghentikan progresivitas


penyakit dan mempertahankan kualitas hidup. Beberapa golongan obat yang
direkomendasikan, antara lain:

a. Pengobatan simptomatis:

Pengobatan dengan golongan penghambat asetilkoloinesterase (seperti donepezil


hidroklorida, rivastigmin dan galantamin) bertujuan untuk mempertahankan jumlah
asetilkolin yang produksinya menurun. Obat golongan NMDA seperti memantin
dipasarkan di Indonesia saat ini.

b. Pengobatan dengan disease modifiying agents:

 Obat golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)


Pada proses pembentukan senile plaque dan neurofibrillary tangle dapat
diidentifikasi adanya elements of cell mediated immune response, sehingga
pemakaian OAINS dapat mengurangi proses ini.
 Antioksidan
Antioksidan berfungsi menghambat oksidasi oleh radikal bebas yang
berlebihan sehingga merusak sel neuron. Antioksidan ini terdapat pada
sayuran dan buah-buahan, vitamin E, A, dan C.
 Neurotropik
Obat golongan ini merupakan derivate neurotransmitter GABA yang
mempunyai efek fasilitasi neurotransmisi kolinergik dengan stimulasi sintesis
dan pelepasan asetilkolin.
 Obat yang bekerja pada beta amiloid protein tau, dan presenilin

Penatalaksanaan non-farmakologis ditujukan untuk keluarga, lingkungan, dan


penderita dengan tujuan:

 Menetapkan program aktivitas harian penderita


 Orientasi realitas
 Modifikasi perilaku
 Memberikan informasi dan pelatihan yang benar pada keluarga, pengasuh dan
penderita.
 Mepertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap
memiliki orientasi.

Program Harian Penderita:

 Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik untuk memacu
aktivitas fisik dan otak yang baik (brain- gym)
 Asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah dicerna,
penyajian menarik dan praktis
 Mencegah/ mengelola faktor resiko yang dapat memperberat penyakit,
misalnya: hipertensi, gangguan vascular, diabetes, dan merokok.
 Melaksanakan hobi dan aktivitas social sesuai dengan kemampuan
 Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatian, dan Asosiasi)
 Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang mendapatkan
cahaya cukup

Orientasi realitas:

 Penderita diingatkan akan waktu dan tempat


 Beri tanda khusus untuk tempat tertentu, misalnya kamar mandi
 Pemberian stimulasi melalui latihan/ permainan, misalnya permainan
monopoli, kartu, scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, dll. Hal ini
member manfaat yang baik pada predemensia (Mild Cognitive Impairment)
 Menciptakan lingkungan yang familiar , aman, dan tenang. Hindari keadaan
yang membingungkan dan menimbulkan stress. Berikan keleluasaan bergerak.
PROGNOSIS
Menurut laporan the global burden disease, disabilitas akibat dimensia lebih
tinggi dari kondisi apapun, kecuali pada pasien dengan kanker stadium terminal atau
pada pasien dengan trauma tulang belakang. Dimensia menurunkan kemampuan
pasien untuk hidup mandiri dan meskipun merupakan sebuah isu kesehatan global,
namun penyakit ini belum mendapat perhatian yang cukup dan masih belum
dimengerti dengan baik. 3
PENCEGAHAN
 Jaga agar pikiran selalu aktif. Seperti teka-teki dan permainan kata, belajar
bahasa, bermain alat music, membaca, menulis, melukis atau menggambar.
 Aktif secara fisik dan sosial. Hal ini dapat menunda mulainya demensia dan
juga mengurangi gejala.
 Kejarlah pendidikan. Para peneliti berpendapat bahwa pendidikan dapat
membantu seseorang mengembangkan jaringan sel saraf otak yang kuat yang
mengkompensasi kerusakan sel saraf yang disebabkan oleh penyakit
Alzheimer.
 Menurunkan kadar kolesterol, tekanan darah dan mengendalikan diabetes
adalah upaya untuk mengurangi faktor resiko pada demensia vaskular.
 Pola makan yang sehat. Studi menunjukan bahwa makanan yang kaya buah-
buahan, sayuran dan omega-3 asam lemak, dapat memiliki efek perlindungan
dan menurunkan resiko demensia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shirdev, E.B & Levey, D.A. 2004. Cross-Cultural Psychology, Critical


Thinking and Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc

2. Schaie K.W. & Willis, S.L. 1991. Adult Development and Aging, New York:
HarperCollins Publishers

3. WHO. Dimentia Neurological disorders: public health challenges.2017:42

4. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia.


Jakarta: PERDOSSI.

5. Assosiasi Alzheimer Indonesia. Konsensus Nasional Pengenalan dan


Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Ed 1, Asosiasi
Alzheimer Indonesia. Jakarta. 2003.
6. Alzheimer’s Disease International. World Alzheimer Report 2010 Executive
Summary. London, 2010.

7. WHO. Active Ageing:a policy framework. Genveva:WHO, 2002.

8. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia),
Edisi VII, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997: 515-533.

9. Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994: 67-69.

10. Gilroy J. Basic Neurology. Pergamon press, New York, 1992: 194-195.

11. http://www.alzfdn.org/AboutAlzheimers/definition.html (Alzheimer’s


Foundation Of America). Diakses 08 Mei 2014.

12. H, Juebin. Dementia. Merck Manual Home Health Handbook. 2008.

13. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6, ECG, Jakarta, 2006: 1134-1138.

14. Bird, Thomas D. Miller, Bruce L. 2006. Harrison’s Neurology in Clinical


Medicine: Alzheimer Disease and Other Dementias. McGrawHill.

15. Little, Ann A., Gomez-Hassan , Diana. 2010. Oxford American Handbook of
Neurology : Dementia . New York : Oxfor University Press.

16. Duus, Peter. 2005. Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi , Fisiologi , Tanda ,
Gejala . Jakarta: ECG

17. Clark, David G., Cummings, Jeffrey. The Diagnosis and Management of
Dementia. Los Angeles, ISN 148-4196.

18. Brust, J.C.M. (2008). Current Diagnosis & Treatment: Neurology. McGraw-
HillCompanies, Inc. Singapore.

19. Hartati S, Widayanti CG. Clock drawing: Asessment untuk dimensia ( Studi
deskriptif pada orang lanjut usia di kota Semarang. Jurnal Psikologi
Undip.2010;7(1)

Anda mungkin juga menyukai