Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada

daur kehidupan manusia. UU No. IV. Tahun 1965 Pasal 1,

menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan lanjut usia setelah

mencapai umur 60 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri

untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari

orang lain (Ratnawati, 2016).

Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada

daur kehidupan manusia. Menurut UU No. 13/Tahun 1998

tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah

seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

(Rhosma, 2014). Lansia dalam bahasa inggris disebut being old

yaitu orang yang sudah tua. Lanjut usia merupakan suatu

kelompok usia yang disebut very old atau lanjut usia juga

disebut sepuh opa-oma (Indriyani, 2017).

Menua (aging) merupakan suatu proses menghilangnya

secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri atau mengganti diri dan memeprtahankan struktur dan

fungsi normalnya. Proses penuaan ditandai dengan perubahan

fisiologis yang trejadi pada beberapa organ dan sistem.

9
10

Perubahan yang terjadimenyebabkan penurunan fungsi tubuh

untuik melakukan aktivitas (Vivi dkk, 2016).

Lansia merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang

telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa dan

tua. Tida tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun

psikologis. Memasuki tua berarti mengalami kemunduran fisik

yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut yang memutih,

gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan

semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang

tidak professional. Lansia atau menjadi tua adalah suatu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Aritinawati, 2014).

Orang lanjut usia (lansia) menurut definisi World Health

Organization (WHO), adalah orang usia 60 tahun ke atas yang

terdiri dari (1) usia lanjut (elderly) 60-74 tahun, (2) usia tua

(old) 75-90 tahun, (3) usia sangat lanjut (very old) di atas

90tahun (Raharja, 2013).

Organisasi kesehatan Dunia untuk Regional Asia Selatan

dan Timur adalah usia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari ciri-ciri

fisiknya,lansia memang mempunyai karakteristik yang spesifik.

(WHO 2002 Dalam Indriyani 2017).


11

2.1.2 Batasan Umur Lanjut Usia

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia World Health

Organization (2016) :

1. Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia ( 45-59

tahun).

2. Lanjut usia (eldery) antara ( 60 – 74 tahun).

3. Lanjut usia (old) antara ( 75 dan 90 tahun).

4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun .

Menurut Depkes (2011) dalam Aspiani (2014) batasan umur

lansia adalah :

a. Pra lanjut usia kelompok usia 45-59 tahun

b. Lanjut usia antara 60-69 tahun

c. Lanjut usia beresiko kelompok usia > 70 tahun

2.1.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah

(Padila, 2013) :

2.1.3.1 Perubahan Fisik

Secara umum, menjadi tua ditandai oleh

kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala

kemunduran fisik, antara lain : kulit mulai mengendur

dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang menetap,

rambut kepala mulai memutih atau beruban, gigi mulai

lepas, penglihatan berkurang, mudah lelah dan mudah


12

jatuh, mudah terserang penyakit, nafsu makan

menurun, penciuman mulai berkurang, gerakan lambat

kurang lincah, dan pola tidur berubah.

2.1.3.2 Perubahan mental

Dibidang mental atau psikis pada lanjut usia,

perubahan dapat berupa sikap yang semakin egosentrik,

mudah curiga, bertambah pelit atau tamak bila memiliki

sesuatu, yang perlu dimengerti adalah sikap umum

yang ditemukan pada hampir setiap lanjut usia, yakni

keinginan berumur panjang, tenaganya sedapat

mungkin dihemat, mengharapkan tetap diberi peranan

dalam masyarakat, ingin tetap mempertahankan hak

dan hartanya dan ingin tetap berwibawa dan meninggal

secara terhormat dan masuk surga. Faktor yang

mempengaruhi perubahan mental yaitu perubahan fisik,

khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat

pendidikan, keturunan (hereditas), dan lingkungan.

Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang

terjadi lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari

perasaan seseorang, kekakuan mungkin karena faktor

lain, misalnya penyakit.


13

2.1.3.3 Perubahan Psikososial

Perubahan psikososial pada lansia sering diukur

dengan nilai melalui produktivitasnya dikaitkan dengan

peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pension

(purna tugas), seseorang akan mengalami kehilangan,

antar lain : kehilangan finansial (pendapatan

berkurang), kehilangan status, kehilangan teman,

kehilangan pekerjaan dan kegiatan sehingga merasa

sadar akan kematian, kekurangan ekonomi, adanya

penyakit, timbul kesepian, adanya gangguan saraf dan

panca indera, gangguan gizi, rangkaian kehilangan

kekuatan dan ketegapan fisik.

2.1.3.4 Perubahan Spiritual

Agama atau kepercayaan semakin terintegrasi

dalam kehidupan, lanjut usia semakin matur dalam

kehidupan keagamaannya hal ini terlihat dalam berpikir

sehari-hari dan pada usia 70 tahun perkembangan yang

dicapai pada tingkat ini adalah berfikir dan bertindak

dengan cara memberi contoh cara mencintai dan

keadilan.

2.1.3.5 Dampak Kemunduran

Memasuki usia tua banyak mengalami

kemunduran misalnya kemunduran fisik yang ditandai


14

kulit menjadi keriput karena berkurangnya bantalan

lemak, rambut memutih, pendengaran berkurang,

penglihatan memburuk, gigi mulai ompong, aktivitas

menjadi lambat, nafsu makan berkurang yang

menyebabkan kekurangan gizi pada lansia dan kondisi

tubuh yang lainnya juga mengalami kemunduran,

perubahan kondisi hidup dapat berdampak buruk pada

lansia. Koping terhadap kehilangan pasangan,

perpindahan tempat tinggal, isolasi sosial, dan

kehilangan kendali dapat terjadi kesulitan lansia untuk

merawat diri sendiri (Padila, 2013).

2.1.4 Masalah Kesehatan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Berbagai masalah kesehatan danpenyakit yang cenderung

terjadi pada lansia yang terkaitdengan masalah fisik, antara lain :

1) Sistem Kardiovaskuler

Katub jantung menjadi lebih tebal dan kaku, serta

elastisitas jantung dan arteri menurun. Vena menjadi sangat

berbelok-belok, dinding arteri penuh dengan timbunan

kalsium dan lemak.

2) Sistem Pernafasan

Otot-otot pernafasan menjadi kaku dan kehilangan

kekuatan, aktivitas silia menurun, elastisitas paru-paru

menurun, volum residu meningkat, alveoli melebar dan


15

jumlahnya berkurang, tekanan oksigen arteri menurun

menjadi 75 mmHg serta terjadi penurunan kemampuan batuk.

3) Sistem Integumen

Epidermis dan dermis menjadi lebih tipis, serat elastik

berkurang jumlahnya, kolagen menjadi lebih kaku, dan lemak

subkutan berkurang terutama pada bagian ekstrimitas.

4) Sistem Reproduksi

Pada wanita terjadi penipisan dinding vaginadengan

pengecilan ukuran dan hilangnya elastisitas, penurunan

sekresi vagina, atropi uterus dan ovarium, serta penurunan

tonus muskulus pubokoksigeus. Pada pria, penis dan testis

menurun ukurannya dan kadar androgen berkurang.

5) Sistem Muskuloskeletal

Penurunan progresif dan gradual masa tulang mulai

terjadi sebelum usia 40 tahun. Peruabahan yang terjadi pada

sistem muskuloskeletal antara lain :

a) Tulang menghilang density (cairan), makin rapuh, dan

osteoporosis

b) Kiposis kelainan pada tulang

c) Pinggang, lutut, dan jari-jari pergelangan terbatas

d) Discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek

(tingginya berkurang).

e) Persendian membesar dan menjadi kaku.


16

f) Tendon mengkerut dan menjadi sclerosis.

g) Atrofi serabut otot (otot-otot serabut mengecil): serabut-

serabut otot mengecil sehingga seseorang begerak

menjadi lamban, otot-otot kram, dan menjadi tremor.

h) Otot- otot polos tidak begitu berpengaruh.

Perubahan normal musculoskeletal adalah perubahan

yang terkait usia pada lansia termasuk penurunan tinggi

badan, redistribusi massa otot dan lemak subkutan,

peningkatan porositas tulang, atrofi otot, pergerakan yang

lambat, pengurangan kekuatan dan kekakuan sendi-sendi.

6) Sistem Genitourinarius

Kapasitas kandung kemih menurun dan individu lanjut

usia tidak mampu lagi mengosongkan kandung kemihnya

dengan sempurna. Pada wanita lanjut usia biasanya

mengalami penurunan tonus otot perineal yang

mengakibatkan stres inkontinensia dan urgensi. Hiperplasia

Prostat Benigna merupakan temuan yang sering pada pria

lanjut usia.

7) Sistem Gastrointestinal

Penurunan saliva, kesulitan menelan makanan,

perlambatan, pengosongan esofagus dan lambung, serta

penurunan motilitas gastrointestinal.


17

8) Sistem Saraf

Penurunan kecepatan konduksi saraf, cepat bingung saat

sakit fisik dan kehilangan orientasi lingkungan dan

penurunan sirkulasi serebral (pingsan, kehilangan

keseimbangan).

9) Sistem Indra

Pada indera penglihatan, kemampuan memusatkan pada

benda dekat berkurang, ketidakmampuan menerima cahaya,

serta penurunan kemampuan membedakan warna.

Pada indera pendengaran, kemampuan untuk mendengar

suara dengan frekuensi tinggi menurun. Sedangkan pada

indera pengecap dan pencium, terjadi penurunan kemampuan

terhadap pengecapan dan penciuman.

2.2 Konsep Osteoarthritis

2.2.1 Pengertian Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif,

dimana keseluruhan struktur sendi mengalami perubahan

patologis, osteoartritis disebabkan karena kekurangan cairan

synovial lapisan kartilago yang saling bergesekan dan mengikis

satu sama lain, menyebabkan lapisan tipis dan menimbulkan

rasa nyeri (Desty, 2016).

Osteoartitis yang ditemukan pada lanjut usia dimana lansia

merupakan manusia yang memasuki tahap akhir kehidupan yang


18

artinya segala penyakit yang bersangkutan dengan perubahan

patologis tubuh bisa dialami karena pada proses penuan ini

ditandai dengan gagalnya mempertahankan keseimbangan

terhadap kondisi stres psikologis (Khairani, 2013).

Osteoarthritis yang banyak didapatkan pada lansia yaitu

sendi lutut. Gejala dari osteoarthritis pada lutut ini adalah

kekakuan sendi, bengkak, dan nyeri yang dapat menyebabkan

kesulitan berjalan dan melakukan aktifitas lain. Osteoarthritis

pada lutut dapat menyebabkan disabilitas (American College of

Rheumatology, 2015).

Sel-sel dan matriks tulang rawan mengalami degenerasi,

disertai pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi.

Osteoartritis merupakan suatu penyakit dengan perkembangan

slow progressive, ditandai adanya perubahan metabolik,

biokimia, struktur rawan sendi serta jaringan sekitarnya,

sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi.

Kelainan utama pada osteoartritis adalah kerusakan rawan

sendi yang dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral,

pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan

pada sinovium, sehingga sendi yang bersangkutan membentuk

efusi (Setiyohadi, 2017).

Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung

sendi yaitu: Kapsula dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori


19

aferen dan tulang di dasarnya. Kapsula dan ligamen-ligamen

sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of

motion) sendi.

Cairan sendi synovial mengurangi gesekan antar kartilago

pada permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan

kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut dengan lubricin

merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai

pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi

cedera dan peradangan pada sendi. Ligamen bersama dengan

kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang

tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang

dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk

memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika

sendi bergerak (Felson, 2014).

Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah

inti dari pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika

pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup

pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi

otot tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi

dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan

(impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke

seluruh permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang

diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk


20

menyerap goncangan yang diterima (Michael, Schlüter-brust, &

Eysel, 2010).

Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago

dilumasi oleh cairan sendi sehingga mampu menghilangkan

gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak. Kekakuan

kartilago yang dapat berfungsi sebagai penyerap tumpukan yang

diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya

osteoartritis dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk

mengetahui lebih lanjut tentang kartilago. Terdapat dua jenis

makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua dan

Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi

molekul – molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen

(Mcgonagle et al, 2010).

2.2.2 Etiologi

Berdasarkan patogenesis osteoartritis dibagi menjadi dua,

yaitu osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis

primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak

diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik,

inflamasi ataupun perubahan lokal pada sendi, sedangkan

osteoartritis sekunder merupakan osteoartritis yang ditandai oleh

faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam

aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya,


21

penyakit sistemik, inflamasi. osteoartritis primer lebih banyak

ditemukan dari pada osteoartritis sekunder.

Adapun beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan

resiko terjadinya osteoartritis lutut, antara lain: (Nursarifah.R,

2011).

1. Usia

Gejala dan tanda pada radiologi osteoartritis lutut

sangat banyak dideteksi sebelum usia 40 tahun.

Bertambahnya usia, insidenosteoartritis juga semakin

meningkat. Insiden meningkat tajam pada usia sekitar 55

tahun.

2. Faktor genetik

Faktor genetik merupakann faktor penting. Anak

perempuan dengan ibu yang berisiko lebih tinggi dari pada

anak laki-laki karena osteoartritis diwariskan kepada anak

perempuan secara dominan sedangkan pada laki-laki

diwariskan secara resesif. Selain itu genetik menyumbang

terjadinya osteoartritis pada tangan sebanyak 65%,

osteoartritis panggul sebanyak 50%, osteoartritis lutut

sebanyak 45%, dan 70% osteoartritis pada cervical dan spina

lumbar.

3. Obesitas
22

Obesitas merupakan faktor penting terkait perkembangan

osteoartritis pada lutut tetapi hubungan ini lebih kuat pada

wanita. Risiko terjadinya osteoartritis dua kali lebih besar

pada orang dengan berat badan berlebih dari pada kelompok

orang dengan berat badan normal. Selain itu dilihat dari

perubahan radiologis, obesitas merupakan prediktor

ketidakmampuan yang progresif. Tetapi hubungan ini tidak

jelas pada osteoartritis panggul dan osteoartritis tangan.

4. Riwayat Bedah Lutut Atau Trauma

Trauma pada sendi merupakan faktor risiko

berkembangnya penyakit osteoartritis. Hal ini dikarenakan

kemungkinan adanya kerusakan pada mayor ligamen, tulang

pada sekitar sendi tersebut. Trauma merupakan faktor resiko

pada osteoartritis lutut karena kerusakannya bisa

menyebabkan perubahan pada meniskus, atau ketidak-

seimbangan pada anterior ligamen krusial dan ligamen

kolateral.

5. Peradangan Sendi

Penggunaan sendi dalam aktivitas berat yang

berlangsung lama menjadi faktor risiko berkembangnya

penyakit osteoartritis Pekerjaan seperti kuli angkut barang,

memanjat menyebabkan peningkatan osteoartritis lutut, hal

ini biasanya terjadi pada laki-laki. Selain itu kebiasaan yang


23

membungkuk terlalu lama seperti petani, atau tukang cuci

meningkatkan risiko terjadinya osteoartritis panggul. Altet

olahraga wanita ataupun lelaki menunjukkan faktor risiko

besar terjadinya osteoartritis lutut dan panggul.

2.2.3 Patogenesis

Osteoartritis terjadi karena degradasi pada rawan sendi,

remodelling tulang, dan inflamasi. Terdapat 4 fase penting

dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase

inflamasi, nyeri, fase degradasi.

1) Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi,

rawan sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri

dimana khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi

matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor

pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol

proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel, faktor

tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-1), growth

hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni

stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi

khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat

(DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-

1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.

2) Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang

sensitif terhadap IGF-1 sehingga meningkatnya pro-


24

inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang mempengaruhi

sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α

(TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase

dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada

osteoartritis. Produk inflamasi memiliki dampak negatif

pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan

menghasilkan kerusakan pada sendi.

3) Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan

aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik.

Proses ini menyebabkan penumpukan trombus dan

komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga

menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan.

Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti

prostaglandin dan interleukin yang dapat menghantarkan

rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya

mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan

peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri

juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan

periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla

spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat

stasis vena pada pada proses remodelling trabekula dan

subkondrial.
25

4) Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel

cairan sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang

mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag didalam cairan

sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis,

material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan

memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin

ini akan merangsang khondrosit untuk memproduksi

CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks

rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa

pengaruh yang berlawanan selama perkembangan

osteoartritis. Sitokin cenderung merangsang degradasi

komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor

pertumbuhan merangsang sintesis

2.2.4 Klasifikasi

Kellgren-Lawrence mengklasifikaskan tingkat keparahan

osteoarthritis berdasarkan gambaran radiologis yang didapat.

Gambaran radiologis yang dinilai terdiri dari penyempitan joint

space, ada atau tidaknya osteophyte, subcondral sclerosis dan

kista subkondral.

Dari penilaian tersebut, klasifikasi tingkat keparahan

osteoarthritis dikelompokan menjadi 4 grade, yaitu :

1. Grade 0 : normal

2. Grade 1 : sendi normal, terdapat sedikit osteofit


26

3. Grade 2 : osteofit pada dua tempat dengan sklerosis

subkondral, celah sendi normal, terdapat kista subkondral

4. Grade 3 : osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis

tulang, terdapat penyempitan celah sendi

5. Grade 4 : terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi,

terdapat kista subkondral dan sclerosis (Kohn, Sassoon, &

Fernando, 2016).

2.2.5 Patofisiologi

Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit

kronik, tidak meradang, dan progresif lambat, yang seakan-akan

merupakan proses penuaan, rawan sendi mengalami

kemunduran dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang

baru pada bagian tepi sendi. Osteoarthritis dapat dianggap

sebagai hasil akhir banyak proses patologi yang menyatu

menjadi suatu predisposisi penyakit yang menyeluruh (Heidari,

2011). Osteoarthritis mengenai kartiloago artikuler, tulang

subkondrium (lempeng tulang yang menyangga kartilago

artikuler) serta sinovium dan menyebabkan keadaan campuran

dari proses degenerasi, inflamasi, serta perbaikan. Proses

degeneratif dasar dalam sendi telah berkembang luas hingga

sudah berada diluar pandangan bahwa penyakit tersebut hanya

semata-mata proses “aus akibat pemakaian” yang berhubungan

dengan penuaaan. Faktor resiko bagi osteoarthritis mencakup


27

usia, jenis kelamin, predisposisi genetic, obesitas, stress

mekanik sendi, trauma sendi, kelainan sendi atau tulang yang

dialami sebelumnya, dan riwayat penyakit inflamasi, endokrin

serta metabolik. Unsur herediter osteoarthritis yang dikenal

sebagai nodal generalized osteoarthritis (yang mengenal tiga

atau lebih kelompok sendi) telah dikonfirmasikan. Tipe

osteoarthritis ini meliputi proses inflamasi primer. Faktor-faktor

mekanis seperti trauma sendi, aktivitas olahraga dan pekerjaan

juga turut terlibat (Mcgonagle et al, 2010).

Factor-faktor ini mencakup kerusakan pada ligamentum

krusiatum dan robekan menikus, aktivitas fisik yang berat dan

kebiasaan sering berlutut. Proses degenerasi ini disebabkan oleh

proses pemecahan kondrosit yang merupakan unsur penting

rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress

biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan

dipecahnya polisakarida protein yang membentuk matriks di

sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan kerusakan tulang

rawan. Sendi yang paling sering terkenal adalah sendi yang

harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan

kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal dan proksimasi.

Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan

terbatasnya gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri

yang dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau


28

kurang digunakannya sendi tersebut. Perubahan-perubahan

degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa

tertentu misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas

congenital dan penyakit peradangan sendi lainnya akan

menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik dan

ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau

adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya

mengakibatkan tulang rawan.

2.2.6 Tanda dan Gejala Klinis

Gejala utama pada osteoartritis adanya nyeri pada sendi

yang terkena terutama waktu bergerak, umumnya timbul secara

perlahan-lahan mula-mula rasa kaku kemudian timbul rasa nyeri

yang berkurang saat istirahat. Terdapat hambatan pada

pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi dan

perubahan gaya berjalan (Soeroso, 2011).

Seseorang pasien secara klinis disebut positif menderita

osteoartritis bila memenuhi minimal 3 dari 6 kriteri menurut

American College of Rheumatologi (ACR) dalam Dewi (2015),

yaitu usia > 50 tahun, kekakuan pada pagi hari < 30 menit,

krepitasi, nyeri tekan pada tulang, pembesaran tulang, pada

palpasi sekitar sendi tidak teraba hangat. Kriteria ini memiliki

sensitivitas sebesar 95%.


29

Osteoartritis dapat mengenai sendi-sendi besar maupun

kecil. Distribusi Osteoartritis dapat mengenai sendi leher, bahu,

tangan, kaki, pinggul, lutut.

1) Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada

sinovium, tekanan pada sumsum tulang, fraktur daerah

subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya

kapsul sendi, serta spasme pada otot atau ligamen. Nyeri

terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang

lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat

membuat perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan

istirahat.

2) Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan

ketika pagi hari ketika setelah duduk yang terlalu lama atau

setelah bangun pagi.

3) Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan

pada tulang sendi rawan.

4) Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada

tangan sebagai nodus Heberden (karena adanya keterlibatan

sendi Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard

(karena adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal

(PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan

penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif.


30

5) Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya

perlahan-lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada

sendi tangan atau lutut.

2.3 Konsep Nyeri

2.3.1 Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang

tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual

maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk

kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik

yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam

intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti

terbakar, tajam), durasi (transien, intermiten, persisten), dan

penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau difus)

(Mochamad, 2017).

Nyeri musculoskeletal yaitu nyeri yang berasal dari sistem

musculoskeletal, yang terdiri dari tulang, sendi dan jaringan

lunak pendukung yaitu otot, ligamen, tendo dan bursa. Sejumlah

penelitian menunjukkan penyebab nyeri yang sering terjadi pada

lansia, mulai dari yang paling sering terjadi, yaitu fibromyalgia,

gout, neuropati (diabetik, postherpetik), osteoartritis,

osteoporosis dan fraktur, serta polimialgia rematik (Handono,

2013).
31

Seseorang dengan nyeri Ostoartritis akan terjadi disfungsi

sendi dan otot sehingga akan mengalami keterbatasan gerak,

penurunan kekuatan dan keseimbangan otot. Sekitar 18%

mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam beraktifitas,

kehilangan fungsi kapasitas kerja dan penurunan kualitas hidup

(Reis et al, 2014).

2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Demir, 2012 ada beberapa faktor yang mempengaruhi

nyeri, yaitu:

1) Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam

mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan dewasa. Orang

dewasa melaporkan nyeri jika sudah patologis dan

mengalami kerusakan fungsi. Lansia cenderung memendam

nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah

hal alami yang harus dijalani.

2) Jenis kelamin

Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan

dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor

sebagai contoh tidak pantas bila seorang laki-laki mengeluh

nyeri, dan perempuan boleh mengeluh nyeri. Seorang wanita

membutuhkan lebih banyak narkotik post operative bila

dibandinkanlaki-laki.
32

3) Budaya

Budaya merupakan bagian dari keyakinan seseorang

dalam menilai sebuah nyeri. Indifidu mempelajari apa yang

diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka

termasuk dalam penatalaksanaan nyeri. Perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan nyeri harus memahami

budaya yang diyakini pasienya, hal ini dapat dijadikan

evaluasi terhadap nilai yang diharapkan pasien. Perawat yang

memahami keanekaragaman budaya dan perbedaan budaya

akan memahami lebih besar tentang nyeri dan akan mengkaji

lebih akurat termasuk respon perilaku yang ditimbulkan dari

nyeri sehingga penatalaksanaan nyeri yang diberikan lebih

efektif.

4) Perhatian

Tingkat perhatian seorang individu dapat mempengaruhi

nyeri karena perhatian dapat merubah persepsi tentang nyeri.

Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang

meningkat, sedangkan distraksi yang sesuai dapat

menurunkan nyeri sebagai contoh, guided imagery, nafas

dalam, mendengarkan musik, relaksasi.

5) Ansietas

Pemahaman bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri


33

tidak seluruhnya demikian. Penelitian tidak memperlihatkan

suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri,

juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan management

stres praoperatif menurunkan nyeri saat pasca operatif.

Namun, ansietas berhubungan dengan nyeri dan dapat

meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang

tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien

dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Cara

yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan

memberikan asuhan untuk memanagement nyeri.

6) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa

lalu, maka individu tersebut akan lebih mudah mengatasi

nyerinya. Individu yang mempunyai pengalaman yang

beragam dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit

gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding dengan

orang yang hanya mengalami sedikit nyeri.

7) Pola koping

Individu sering menemukan jalan untuk mengatasi nyeri

baik fisik maupun psikologis. Perawat harus memahami

sumber koping individu yang adaptif selama nyeri. Sumber

koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan

nafas dalam, relaksasi dan bernyanyi dapat digunakan


34

sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan

nyeri.

8) Support keluarga dansosial

Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung

kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh

dukungan dan perlindungan, individu tersebut sering

bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau

melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat

akan membuat nyeri semakin bertambah.

2.3.3 Klasifikasi Nyeri

1) Nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogenik

Nyeri yang dirasakan pada anggota gerak akibat

proses patologik pada jaringan yang dilengkapi dengan

serabut nyeri.Misalnya altralgia yaitu nyeri yang disebabkan

karena proses patologik pada persendian, mialgia

merupakan nyeri yang disebabkan proses patologis pada

otot, dan entesialgia merupakan proses patologik yang

terjadi akibat proses patologik di tendon, fasia, jaringan

miofasial dan periosteum). Proses patologis tersebut bisa

disebabkan karena adanya bakteri, proses imunologis, non-

infeksi atau perdarahan sehingga menyebabkan inflamasi

pada daerah tersebut. Nyeri bisa diungkapkan dengan ketika


35

dengan penekanan atau ketika anggota tubuh tersebut

digerakkan secara pasif atau aktif (Andarmoyo, 2013).

2) Nyeri neuromuskuloskeletal neurogenik

Nyeri yang diakibatkan iritasi langsung pada serabut

saraf sensorik perifer. Ciri khas dari nyeri neurogenik

adalah nyeri menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang

bersangkutan dan penjalaran nyeri berpangkal pada saraf

yang terkena. Serabut syaraf sensorik perifer menyusun

rasiks posterior, saraf spinal, pleksus, fasikel dan segenap

saraf perifer (Andarmoyo, 2013).

3) Nyeri radikuler

Nyeri yang berasal dari radiks posterior. Radiks

anterior dan posterior yang bergabung menjadi satu berkas

di foramen intervertebra, berkas ini dinamakan saraf spinal.

Segala bentuk yang merangsang serabut saraf sensorik dan

foramen intervertebra dapat menimbulkan nyeri radikuler,

yaitu nyeri yang terasa pada tulang belakang tertentu dan

menjalar sepanjang kawasan radiks yang bersangkutan.

Misalnya pada herpes zooster dirasakan nyeri radikular di

T5, nyeri radikular pada hernia nukleus pulposus (HNP).

Selain itu nyeri radikular yang menjalar sepanjang lengan

sering disebut dengan brakialgia, serta nyeri yang terasa

menjalar sepanjang tungkai dinamakan iskialgia


36

 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi :

1. Superficial/Kutaneus

Nyeri Superficial adalah nyeri yang

disebabkan stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri

berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri

biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam.

Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong

kecil atau laserasi (Andarmoyo, 2013).

2. Viseral DalamNyeri

viseral dalam adalah nyeri yang terjadi akibat

stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri

bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah.

Durasinya bervariasi tetapi biasanya berlangsung

lebih lama dari pada nyeri superficial. Contohnya

seperti rasa pukul (crushing) seperti angina pectoris

dan sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung

(Andarmoyo, 2013).

3. Nyeri Alih

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam

nyeri viseral karena banyak organ tidak memiliki

reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensori dari

organ yang terkena ke dalam segmen medulla

spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri


37

dirasakan, persepsi nyeri dapat terasa dibagian tubuh

yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa

dengan berbagai karakteristik. Contoh nyeri yang

terjadi pada infark miokardyang menyebabkan nyeri

alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang dapat

mengalihkan nyeri ke selangkangan (Andarmoyo,

2013).

4. Radiasi

Nyeri radiasi merupakan nyeri sensori yang

meluas dari tempat awal cedera kebagian tubuh yang

lain. Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke

bagian tubuh bawah atau kesepanjang bagian tubuh.

Nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan. Contoh

nyeri punggung bagian bawah akibat diskus

intravertebral yang ruptur disertai nyeri yang

meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik

(Andarmoyo, 2013).

 Faktor Penyebab Nyeri

1. Kurang Bergerak

Penggunaan alat teknologi seperti laptop,

smartphone, game dan lainnya. Hal ini menyebabkan

kurang aktif berkegiatan dan bergerak.


38

2. Duduk Terlalu Lama

Terlalu lama duduk dengan posisi yang salah

akan menyebabkan keregangan otot-otot dan

keregangan tulang belakang. Posisi tubuh yang salah

selama duduk membuat tekanan abnormal dari

jaringan, sehingga menyebabkan rasa sakit.

3. Terlalu Banyak Bergerak

Kurang bergerak juga dapat menyebabkan sakit

punggung, namun terlalu banyak bergerak juga bisa

menyebabkan sakit yang sama. Seperti halnya

memiliki kebiasaan nge-gym yang terlalu lama bisa

menyebabkan sakit punggung.

4. Otot & Tulang Belakang Yang Lemah

Tulang belakang yang lemah bisa terjadi

dipengaruhi oleh faktor gen, namun juga bisa

berakibat kurangnya berolahraga, orang yang

memiliki otot dan tulang belakang lemah biasanya

cepat merasakan sakit punggung.

5. Kurang Tidur

Kurang tidur juga bisa menyebabkan sakit nyeri

punggung. Kasur yang menompang punggung dan

nyaman akan memberikan waktu bagi tubuh serta

punggung untuk rileks tetapi biasanya banyak anak


39

remaja yang sering bergadang dan tidak cukup tidur

sehingga menyebabkan punggung mereka tidak

sempat beristirahat dan menjadi kaku serta sakit.

6. Stress

Stress dapat sebagai penyebab nyeri punggung.

Ketika merasa stress, tekanan pada punggung dan

pundak akan meningkat. Tekanan yang berlebihan

pada punggung akan memicu sakit punggung.

7. Postur Buruk

Postur buruk adalah salah satu penyebab terbesar

remaja mengalami sakit punggung. Postur buruk bisa

terjadi karena kebiasaan yang dilakukan oleh remaja

(Prasetyo, 2010).

2.3.4 Pengukuran Intensitas Nyeri

2.3.4.1 Alat ukur nyeri

Dalam penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan

menggunakan skala (Devi, 2017) sebagai berikut :

a. Deskriptif

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran

tingkat keparahan nyeri yang objektif. Skala

pendeskripsi verbal (verbal deskriptif scala VDS)

merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai

lima kata diskripsi yang tersusun dengan jarak yang


40

sama disepanjang garis. Pendeskripsian yang

diurutkan dari tidak terasa nyeri sampai nyeri tidak

tertahankan dengan cara ini menunjukkan ke pasien

skala tersebut dan meminta klien untuk memilih

nyeri terbaru yang dirasakan.

Keterangan :

0 : tidak merasa nyeri

1-3 : secara objektif klien dapat berkomunikasi

4-6 : secara objektif klien merasakan nyeri

7-9 : secara objektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon

terhadap tindakan

10 : klien tidak mampu mengikuti perintah

Bagan 2.1 Skala Nyeri Deskriptif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Keterangan :

0 : tidak nyeri

1-3 : nyeri ringan

4-6 : nyeri sedang

7-9 : nyeri berat terkontrol


41

10 : nyeri berat tidak terkontrol

b. Numerik

Skala penilaian numerik (numerical rating

scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat

pendeskripsi kata. Dalam hal ini klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 1-10, skala ini paling

efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri

sebelum dan sesudah intervensi terapeutik.

Bagan 2.2 Skala Nyeri Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat

c. Visual analog scale (VAS)

Skala analog visual adalah suatu garis lurus

sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri

yang terus menerus dan pendeksipsian verbal pada

setiap ujungnya, dengan cara klien diminta untuk

menunjukkan titik pada garis yang menunjukkan

letak nyeri terjadi pada sepanjang garis yang

menunjukkan letak nyeri terjadi pada sepanjang

garis tersebut. Pada ujung kiri tidak nyeri yang

sebelah kanan nyeri berat.


42

Bagan 2.3 Skala Nyeri Analogvisual

Tidak nyeri nyeri sangat berat

d. Wong-baker faces pain ranting sle

Skala ini biasanya dipakai untuk mengukur nyeri

pada anak-anak karena biasanya anak-anak tidak bisa

mengungkapkan rasa nyerinya. Skala ini dengan penilaian

dari ekspresi wajah 0 tidak merasa nyeri, ekspresi wajah 2

nyeri hanya sedikit, ekspresi wajah 3 sedikit lebih nyeri,

ekspresi wajah 4 jadi lebih nyeri, ekspresi wajah 6 sangat

nyeri.

2.3.4.2 Penatalaksanaan Nyeri

Strategi penatalaksanaan nyeri adalah suatu tindakan

untuk mengurangi nyeri (Devi, 2017). Terbagi menjadi

dua, yaitu :

a. Strategi penatalaksanaan nyeri secara farmakologi

dengan menggunakan analgesic merupakan metode

yang digunakan paling umum untuk mengatasi

nyeri. Ada 3 jenis analgesic yaitu, non narkotika dan

obat anti inflamasi non steroid (NSAID), analgesic

narkotik, atau opiate, atau obat tambahan.


43

b. Strategi penatalaksanaan nyeri non farmakologi

Penatalaksanaan nyeri non farmakologi yaitu

meliputi :

1. Bimbingan dan antisipasi

2. Terapi Latihan Range Of Motion (ROM)

2.4 Konsep Range Of Motion (ROM)

2.4.1 Pengertian

Range of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk

menyatakan batas besarnya gerakan sendi baik normal. ROM

juga digunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya

kelainan batas gerakan sendi abnormal (Bell, 2014).

Latihan rentang gerak atau Range of Motion (ROM)

adalah kemampuan maksimal seseorang dalam melakukan

gerakan. Merupakan ruang gerak atau batas-batas gerakan dari

kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot

memendek secara penuh atau tidak, atau memanjang secara

penuh atau tidak. ROM dapat mencegah terjadinya atropi otot,

meningkatkan peredaran darah keesktremitas, mengurangi

kelumpuhan vaskular, dan memberikan kenyamanan pada klien.

Perawat harus mempersiapkan, membantu, dan mengajarkan

klien untuk latihan rentang gerak yang meliputi semua sendi

(Lukman & Ningsih, 2012).


44

Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang

dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat

kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara

normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus

otot (Wiarto, 2017).

2.4.2 Klasifikasi Latihan Range Of Motion (ROM)

Suratun, dkk (2008) menyatakan latihan Range Of Motion

(ROM) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

a) Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif

Latihan ROM Aktif adalah perawat memberikan

motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan

pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak

sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan

otot serta dengan cara menggunakan otot-ototnya secara

aktif. Sendi yang digerakkan pada ROM Aktif adalah sendi

diseluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien

sendiri secara aktif.

b) Latihan Range Of Motion (ROM) Pasif

Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang

dilakukan klien dengan bantuan perawat pada setiap-setiap

gerakan. Indikasi latihan pasif adalah klien semi koma dan

tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak

mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang


45

gerak dengan mandiri, klien dengan tirah baring total atau

dengan paralisis ekstremitas total.

Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga

kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan

otot orang lain secara pasif misalnya perawat menggerakkan

dan mengangkat kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada

ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada

ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu

melaksanakannya secara mandiri.

2.4.3 Prinsip Dasar Latihan Range Of Motion (ROM)

1. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2

kali sehari.

2. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak

memelahkan pasien

3. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan

umur pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah

baring

4. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan latihan ROM

adalah ektremitas atas dan ekstremitas bawah.

5. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya

pada bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses

penyakit

6. Melakukan ROM harus sesuai waktunya.


46

2.4.4 Tujuan ROM

a) Merangsang sirkulasi darah,

b) Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan,

c) Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan,

d) Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur,

e) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot

2.3.5 Manfaat Latihan Range Of Motion (ROM)

a) Memperbaiki tonus otot

b) Meningkatkan mobilisasi

c) Memperbaiki toleransi otot untuk latihan

d) Meningkatkan massa otot

e) Mengurang kehilangan tulang

2.3.6 Indikasi Latihan Range Of Motion (ROM)

a) Stroke atau penurunan kesadaran

Seorang pesien stroke mungkin mengalami kelumpuhan

tangan, kaki dan muka, semuanya pada salah satu sisi.

Kelumpuhan tangan atau kaki pada pasien stroke akan

mempengaruhi kontraksi otot

b) Kelemahan otot

Kelemahan otot mengakibatkan otot mudah lelah

sehingga dengan dilakukan ROM kekuatan akan bertambah.


47

c) Fase rehabilitasi fisik

Pasien dengan rehabilitasi terkadang jarang melakukan

gerakan sehingga bisa juga mengakibatkan kekuatan otot

menjadi lemah.

d) Klien dengan tirah baring lama

Ekstremitas yang tidak digerakkan dalam kurung waktu

yang lama dapat mengakibatkan atrofi otot atau pengecilan

massa otot karena otot tidak pernah dipergunakan untuk

beraktifitas.

2.3.7 Kontra Indikasi Latihan Range Of Motion (ROM)

a) Trombus atau emboli dan peradangan pada pembuluh darah

Dengan adanya peradangan pada pembuluh darah, jika

otot di gerakkan akan memperparah dari peradangan tersebut,

karena pergerakan otot juga bisa menekan dari pembuluh

darah tersebut.

b) Kelainan sendi atau tulang

Jika digerakkan akan memperparah kelainan tersebut,

karena sendi yang seharusnya diistirahatkan tetapi

digerakkan.

c) Trauma baru dengan kemungkinan akan fraktur yang

tersembunyi atau luka dalam, trauma atau fraktur ini jika ada

gerakan pada tubuh mengakibatkan fraktur bertambah parah

dan menimbulkan nyeri.


48

d) Nyeri berat

Jika diberikan ROM bukan membuat seseorang

berkurang nyerinya, namun bertambah karena bagian tubuh

yang mengalami nyeri berat perlu imobilisasi.

e) Sendi kaku atau tidak dapat bergerak

Jika digerakan dengan tehnik ROM akan mengakibatkan

rasa tidak nyaman pada klien, berupa nyeri bisa

ringan,sedang ataupun berat

2.3.8 Macam – macam Gerakan Range Of Motion (ROM)

Menurut (Potter & Perry, 2005) ROM terdiri dari gerakan

persendian sebagai berikut:

a. Ekstremitas Atas

1) Fleksi, menaikan lengan dari posisi disamping tubuh

keposisi diatas kepala, rentang 180°

2) Ekstensi, mengembalikan lengan diposisi disamping

tubuh, rentang 180°.

3) Hiperektensi, menggerakan lengan kebelakang tubuh, siku

tetap lurus, rentang 45-60°.

4) Abduksi, menaikan lengan keposisi samping diatas kepala

dengan telapak tangan jauh dari kepala, rentang 180°.

5) Adduksi, menurunkan lengan kesamping dan menyilang

tubuh sejauh mungkin, rentang 320°.


49

6) Rotasi Internal, dengan siku fleksi memutar bahu dengan

menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap kedalam

dan kebelakang, rentang 90°.

7) Rotasi Eksternal, dengan siku fleksi, menggerakan lengan

sampai ibu jari dari keatas dan samping kepala, rentang

90°.

8) Sirkumduksi, menggerakan lengan dengan lingkaran

penuh, rentang 360°

b. Ekstremitas Bawah

1) Fleksi, menggerakkan tungkai kedepan dan atas, rentang

90-120°.

2) Ekstensi, menggerakan kembali kesamping tungkai yang

lain, rentang 90-120°.

3) Hiperektensi, menggerakan tungkai kebelakang tubuh,

rentang 30-50°.

4) Abduksi, meggerakan tungkai kesamping menjauhi tubuh,

rentang 30-50°.
50

5) Adduksi, menggerakan tungkai kembali keposisi media

dan melebihi jika mungkin, rentang 30-50°.

6) Rotasi internal, memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai

lain, rentang 90°.

7) Rotasi eksternal, memutar kaki dan tungkai menjauh ke

tungkai lain, rentang 90°.

8) Sirkumduksi, menggerakkan tungkai melingkar penuh,

rentatng 360°.

9) Fleksi 120-130⁰ menggerakkan lutut kearah belakang

10) Ekstensi 120-130⁰ menggerakkan lutut kembali

keposisi semula lurus


51

2.5 Kerangka Konseptual

Lansia

Masalah kesehatan yang Penurunan fungsi sistem


terjadi pada lansia: muskuloskeletal
- Tulang kehilangan density
1. Kardiovaskuler - Makin rapuh,
2. Pernafasan - Pergerakan jari-jari terbatas,
3. Integument - Persendian membesar dan
4. Reproduksi menjadi kaku,
5. Muskuloskeletal - Tendon menyusut,
6. Genitourinarius - Sclerosis dan atrofi serabut
7. Gastrointestinal otot
8. Saraf

Osteoartritis
Faktor yang mempengaruhi
nyeri :

1. Usia Nyeri
2. Jenis kelamin
3. Budaya
4. Perhatian
5. Ansietas Terapi Farmakiologi Terapi non-
6. Pengalaman farmakologi
7. Pola koping
8. Support keluarga dan
sosial Range Of Motion
(ROM)

Nyeri Berkurang Nyeri Tidak


Berkurang

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Sumber : Modifikasi Padilla (2013) Desty (2016) & Suratun, dkk (2008)
52

2.6 Hipotesis

Ho : Tidak ada pengaruh latihan range of motion(ROM) terhadap

perubahan sekala nyeri pada lansia dengan osteoartritis di wilayah

X Kota Batam.

Ha : Ada pengaruh latihan range of motion(ROM) terhadap perubahan

sekala nyeri pada lansia dengan osteoartritis di wilayah X Kota

Batam.

Anda mungkin juga menyukai