Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

OBAT-OBATAN PADA RJP

Disusun oleh :

Ranny Ayu Farisah

NPM 1102014221

Pembimbing :

dr. Cynthia, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANASTESIOLOGI


RSUD PASAR REBO
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu usaha untuk


mengembalikan fungsi pernafasan atau fungsi jantung serta menangani akibat-
akibat berhentinya fungsi tersebut. RJP terdiri atas Bantuan Hidup Dasar (BHD),
Bantuan Hidup Lanjut (BHL), dan Bantuan Hidup Jangka Panjang. RJP dilakukan
dalam 9 langkah menggunakan abjad A sampai I.

Fase I (BHD): Fase II (BHL) Fase III


C = Circulation* D = Drugs G = Gauging
A = Airway E = EKG H = Human Mentation
B = Breathing F = Fibrilation treatment I = Intensive Care

Bantuan hidup lanjut (BHL) adalah bagian dari chain of survival yang
dilaksanakan setelah bantuan hidup dasar (BHD) dikerjakan. Tujuan BHL yakni
mengupayakan agar jantung berdenyut kembali dan mencapai curah jantung yang
adekuat. 1

Obat-obatan yang digunakan dalam BHL memiliki banyak jenis. Namun,


obat-obatan yang penting untuk diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin,
amiodaron, atropine, lidokain, beta blocker kalsium, magnesium, dan natrium
bikarbonat. 1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya memiliki banyak jenis. Namun, obat-obatan yang penting untuk
diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, beta
blocker, kalsium, magnesium, dan natrium bikarbonat.1

a. Epinefrin
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera
diberikan pada pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari
dua menit. Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada
reseptor alfa dan beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer
melalui reseptor alfa adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa pemberian adrenalin dengan dosis tinggi pada penderita henti
jantung dapat memberikan perbaikan klinis (Return of Spontaneous
Circulation) dibandingkan dengan pemberian dengan dosis standar.2
Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol
dan PEA (Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel tanpa nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada
kasus asistol atau PEA diberikan sejak siklus pertama dan diulang setiap 2
siklus berakhir. Sedangkan pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel tanpa nadi, adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama gagal
(setelah defibrilasi kedua dan diulang kembali setiap 2 siklus berakhir). 3,4
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara
intravena atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis
yang digunakan pada anakanak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat
diberikan intratrakea melalui pipa endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000
diencerkan dengan 9 ml akuades steril). Pemberiannya dapat diulang
setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis
pertama.1 Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan darah adekuat,

3
adrenalin dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus kateter sentral
sesegera mungkin.2
Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap orang dewasa di luar
rumah sakit mendapatkan bahwa penggunaan epinefrin berkaitan dengan
peningkatan ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan memasuki
rumah sakit, tapi tidak berkaitan untuk pasien yang akan dipulangkan.
Penggunaan epinefrin sewaktu serangan jantung merupakan hal yang
wajar namun pemberiannya bukan sebuah keharusan karena rekomendasi
tentang pemberian epinefrin selama serangan jantung telah diturunkan
sedikit pada Kelas Rekomendasi. Pemberian adrenalin memiliki efek yang
merugikan, yaitu takiaritmia, hipertensi berat setelah tindakan resusitasi,
dan nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi.2
Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan vasopressin
tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan
pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya
tidak perlu dikombinasikan dengan vasopressin.4

b. Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal
natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta
adrenergik. Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan farmakologik
yang kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian amiodaron
setelah pemberian adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan
dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan kepada pasien
dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi. Obat ini
diberikan diantara fibrilasi ketiga dan keempat pada pasien yang tidak
merespon dengan pemberian vasopressor dan terapi defibrillator.2
Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai berikut: 300 mg bolus
untuk pemberian pertama kali dan kemudian dapat ditambah 150 mg.
Selanjutnya, pemberian amiodaron dapat dilanjutkan dengan pemberian
melalui infus dengan dosis pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam.
Pemberian amiodaron ini juga dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis

4
kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Amiodaron
memiliki efek hipotensi dan bradikardi, sehingga pemberiannya perlu
diperhatikan.4

c. Atropine
Sulfas atropine meningkatkan konduksi atrioventricular dan
automatisitas nodus sinus dengan efek vagolitik. Atropine diindikasikan
pada kasus bradikardia yang disertai dengan hipotensi, ventricular ektopi,
atau gejala yang berhubungan dengan iskemia miokardium. Atropine juga
dapat diberikan sebagai terapi pada second-degree heart block, third-
degree heart block, dan irama idioventricular lambat. Atropin sering
digunakan pada kasus henti jantung dengan elektrokardiografi (EKG)
asistol atau PEA.5
Tidak ada penelitian yang menunjukkan secara pasti penggunaan
atropine meningkatkan prognosis pada kasus henti jantung irama asistol
atau bradisistolik. Penanganan kasus asistol atau PEA yang paling efektif
adalah dengan melakukan kompresi dada, ventilasi, dan epinefrin karena
dapat meningkatkan perfusi arteri koroner dan oksigenasi miokardium.
Henti jantung dengan irama asistol memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan dengan irama lainnya. Oleh karena atropine memiliki efek
samping yang sangat sedikit, maka penggunaan atropine pada kasus henti
jantung dapat dipertimbangkan selain penggunaan epinefrin dan
oksigenasi. Namun penggunaan secara rutin pada kasus henti jantung tidak
direkomendasikan.5
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk
dewasa adalah 0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang
diberikan 3 mg. Untuk anakanak dapat diberikan dengan dosis 0.02
mg/kgBB dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1 mg (anak-
anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3- 5 menit. Dosis
pemberian atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang dewasa
adalah 1 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu

5
diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat menyebabkan irama
sinus takikardia setelah resusitasi.5

d. Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot
normal. Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia,
hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel blocker.2
Kalsium sangat diperlukan pada kasus henti jantung karena
disosiasi elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan
dengan pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti
jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung.1
Sumber lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti
jantung tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak
meningkatkan angka survival rate di rumah sakit sehingga pemberian
kalsium pada kasus henti jantung tidak direkomendasikan. Efek samping
dari pemberian kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera
miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel miokardiak dan otak serta
dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.4 Dosis yang
biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml dari 10%
kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium
glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.3

e. Lidokain
Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker yang
biasanya digunakan sebagai alternatif anti-aritmia. Pemberian lidokain
tidak dapat meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak berhubungan
dengan perbaikan klinis pasien untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit.
Dibandingkan amiodaron, efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam
pencapaian ROSC pada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel
takikardi yang tidak respon terhadap RJP, defibrilasi, dan vasopressor.4
Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut: dosis
awal diberikan 1 mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5 mg/kgBB

6
selama resusitasi. Pemberian infus lidokain untuk ROSC tidak
direkomendasikan. Efek samping dari pemberian lidokain adalah bicara
tidak jelas (slurred speech), penurunan kesadaran, kejang, hipotensi,
bradikardi, dan asistol.2
Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung
penggunaan lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun,
inisiasi atau kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah
ROSC dari serangan jantung akibat fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel. Penelitian pada pasien yang selamat dari serangan jantung
menunjukkan adanya penurunan dalam insiden fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel berulang, namun tidak menunjukkan manfaat maupun
kerugian jangka panjang.4

f. Beta Blocker
Beta blocker (atenolol, metoprolol dan propanolol) dipakai untuk
pasien pasien dengan unstable angina, infark miokard. Obat obat ini
mengurangi iskemia rekurens, reinfark nonfatal, VF postinfark. Berbeda
dengan Penghambat calcium, beta blockers bukan inotropik negatif secara
langsung.
Esmolol, berguna pula untuk terapi akut PSVT, AF, Atrial flutter,
ectopic atrial tachycardia. Dosis initial dan lanjut bila tolerans adalah:
atenolol, 5mg selama 5 menit, ulangi sekali pada 10 menit; metoprolol,
5mg sebanyak tiga kali setiap 5menit; propranolol, 0,1mg/kg dibagi dalam
tiga dosis setiap 2 -3 menit; esmolol, 0.5mg/kg dalam 1menit dilanjutkan
dengan infus mulai dari 50 mikrogram/menit dan titrasi sampai 200
mikrogram/menit. Kontraindikasi adalah heart block derajat dua atau tiga,
hipotensi dan congetsive heart failure berat. Atenolol dan metoprolol,
relatif lebih beta-1 blocker, lebih disukai daripada propranolol pada pasien
dengan jalan napas reaktif. Sebagian besar pasien dengan penyakit
obstruktif menahun, umumnya tolerans terhadap beta-blockers.

7
g. Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor
dalam regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel.
Magnesium tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien
dengan henti jantung dan juga tidak memberikan perbaikan klinis atau
neurologis sehingga pemberian magnesium tidak direkomendasikan.4
Magnesium diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia,
henti jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de pointes.3
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat
diulang 1 kali kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam.
Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah
otot dan gagal napas pada penggunaan kalsium yang berlebihan.3

8
*AHA 2015 : vasopressin tidak lagi digunakan sebagai pengganti
epinefrin karena dianggap tidak lebih baik.
Perhatikan pemberian obat-obatan:
1. Henti jantung shockable, Obat lini pertama adalah epinefrin. Jika
penggunaan epinefrin dan defibrilasi belum berhasil, maka dapat
diberikan amiodaron sebagai obat alternatif.
2. Henti jantung non-shockable, Obat yang digunakan hanya
epinefrin.
h. Cairan
Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan hidup
paska resusitasi memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah kehilangan
cairan, penggunaan kombinasi larutan yang mengandung elektrolit,
koloid, dan sel darah merah. Infus garam isotonik atau koloid yang
cepat dan masif dapat menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus
perdarahan luar atau dalam yang berat.
2. Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti jantung
dengan cairan kira-kira 10% volume darah taksiran (10 ml/kgBB)
guna mengganti volume darah relatif akibat vasodilatasi, penimbunan
di vena, dan kebocoran kapiler.
3. Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan
sekaligus memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.
4. Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi
darah optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik
koloid normal, albumin serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan
glukosa serum (100-300 mg/dl).2 Pada pasien syok hipovolemik tanpa
henti jantung, atau pada masa paska henti jantung, diperlukan
monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan tekanan vena sentral untuk
menuntun penggantian volume. Jenis cairan yang dipilih, yaitu
kristaloid (Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat
diberikan secara tunggal atau kombinasi.1

9
BAB III

KESIMPULAN

Bantuan hidup lanjut (BHL) adalah bagian dari chain of survival yang
dilaksanakan setelah bantuan hidup dasar (BHD) dikerjakan. Tujuan BHL yakni
mengupayakan agar jantung berdenyut kembali dan mencapai curah jantung yang
adekuat.

Obat-obatan yang penting untuk diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin,


amiodaron, atropine, lidokain, beta blocker, kalsium, magnesium, dan natrium
bikarbonat.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G dan Senapathi TG. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor.


Wiryana IM, Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks. 2010.
2. Morgan GE, Mikhail MS, dan Murray MJ. Clinical Anesthesiology. New
York: Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division. 2013.
3. Australian Resuscitation Council. 2016. ANZCOR Guideline 11.5 –
Medications in Adult Cardiac Arrest.
4. American Heart Association. Highlights of the 2015 American Heart
Association Guidelines Update for CPR and ECC. 2015.
5. Longnecker, D., Newman, M., Mackey, S., Sandberg, W. and Zapol, W.
2012. Anesthesiology. 2nd ed. Mc Graw Hill

11

Anda mungkin juga menyukai