1. IRMAYANTI
2. KORNELIUS LAUPA
3. AGUM GUMELAR
4. ALVINA
ILMU PERTANAHAN
ILMU PERTANAHAN
A. PENGERTIAN ILMU PERTANAHAN
(b) tanah yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan
hukum.
◦ Dalam UU No. 51 PRP/1960 yang berhak pada tanah yang langsung dikuasai oleh negara adalah Menteri
Agraria atau pejabat yang ditunjuknya dan yang berhak atas tanah pada huruf b adalah orang atau badan
hukum yang berhak atas tanah itu.
Jenis-jenis Tanah Menurut Ilmu
Pertanahan
o Tanah Ulayat, adalah tanah masyarakat hukum adat yang
• Tanah bersama adalah sebidang tidak mengandung unsur pemilikan perorangan[10]. Hak
tanah yang digunakan atas dasar Ulayat adalah hak yang dipunyai masyarakat adat untuk
hak secara bersama secara tidak menguasai dan membuka tanah yang berada di dalam
berpisah yang diatasnya berdiri wilayah masyarakat hukum adat itu. Sikap pemerintah
rumah susun dan ditetapkan terhadap hak ulayat masyarakat adat, pemerintah
batasnya dengan persyaratan ijin mengakui adanya hak ulayat ini dalam masyarakat adat,
bangunan. bahkan dijamin pelaksanannya di dalam Undang – undang
• Tanah Negara adalah tanah yang Pokok Agraria, khususnya diatur dalam pasal 3[11] dan
dikuasai oleh Negara karena tidak pasal 5[12].Pelaksanaan hak ulayat sesuai dengan
ada pemiliknya. Pengelolaan tanah kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
Negara ini sepenuhnya berada pada persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
◦ Data Kadastral:
◦ a. Subjek: data kepemilikan tanah berupa Surat Kepemilikan Tanah (SKT);
◦ b. Objek: peta titik dasar teknik, peta dasar pendaftaran, gambar ukur,
peta bidang dan surat ukur.
Ilmu Pertanahan: Survei Kadastral
- Tujuan Survei Kadastral:
◦ a. Pajak; utk keperluan pemungutan pajak atas tanah yg adil & merata.
◦ Aspek: luas tanah dan penggunaannya, nilai tanah yg ditentukan dari luas tanah
dan penggunaannya
◦ Objek: bidang-bidang tanah menurut penggunaannya.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, fungsi dan tugas dari organisasi Badan Pertanahan
Nasional dan Direktorat Jenderal Tata Ruang digabung dalam satu lembaga kementrian yang
bernama Kementrian Agraria dan Tata Ruang.
B. Konflik
C. Perkara Pertanahan
Dapat disimpulkan dari dua pendapat tsb bahwa faktor utama penyebab adanya
kasus sengketa tanah yakni luas tanah yang tersedia terbatas, tapi di sisi lain
kebutuhan akan tanah meningkat sehingga nilai tanah lebih besar. Selain itu masalah
pengaturan, penguasaan, dan pemilikan yang pengendaliannya belum efektif.
Penyelesaian Permasalahan
- Penyelesaian Permasalahan Pertanahan
Usaha manusia utk meredakan pertikaian dlm 2. Mediasi, penghentian pertikaian atau
mencapai kestabilan dinamakan akomodasi.
Pihak-pihak yang bermasalahan kemudian penyelesaian masalah olh pihak ketiga tetapi tdk
saling menyesuaikan diri pd keadaan tsb dgn diberikan keputusan yg mengikat.
cara bekerja sama.
3. Konsiliasi, usaha utk memertemukan
◦ Bentuk-bentuk akomodasi:
keinginan pihak-pihak yg berselisih shg tercapai
◦ 1. Abitrasi, perselisihan yg langsung
persetujuan bersama.
dihentikan olh pihak ketigas yg 4. Ajudikasi, penyelesaian perkara di pengadilan.
memberikan keputusan & diterima serta
ditaati olh kedua belah pihak.
◦ 5. Eliminasi, pengunduran diri salah satu 8. Persetujuan minoritas, kemenangan kelompok
pihak yg terlibat di dlm konflik, yg mayoritas yg diterima dgn senang hati oleh
diungkapkan dgn ucapan sprt “Kami
kelompok minoritas. Dan kelompok minoritas
mengalah”, “Kami keluar” dsbg.
sama sekali tdk merasa dikalahkan & sepakat utk
◦ 6. Subjugasi, org atau pihak yg
melakukan kerja sama.
mempunyai kekuatan terbesar utk dpt
9. Kompromi, jalan tengah yg dicapai oleh pihak-
memaksa org atau pihak lain
menaatinya. pihak yg terlibat di dlm sebuah permasalahan.
◦ Seperti sengketa tanah hak ulayat masyarakat persekutuan hukum adat di Kabupaten Nabire
berawal dari tuntutan masyarakat terhadap salah satu bagian dari tanah-tanah yang telah
dilakukan pelepasan hak atas tanahnya pada tahun 1966.
Di mana bahwa di atas tanah tersebut telah dibangun Bandar Udara Nabire.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa berdasarkan Surat Keputusan bersama dari
Kepala Kampung Oyehe bersama seluruh rakyat nabire, tertanggal 6 Mei 1966 No. 001/
KPTS/5/1966 tentang penyerahan 3 (tiga) bidang tanah kepada Pemerintah dengan sukarela
tanpa menuntut ganti kerugian, disebutkan bahwa :
- Untuk kepentingan Proyek Pembangunan Nabire dalam arti luas, maka menyerahkan dengan
sukarela tanpa menuntut ganti kerugian kepada Pemerintah sejumlah 3 (tiga) bidang tanah
berturutan terletak sebagai berikut:
1. 5 (lima) kilometer lebar terhitung dari sungai Oyehe melebar ke Timur Kejurusan Napan-Weinami
dan membujur panjang kedaratan sampai dikaki Gunung Tinggi ± 150 (seratus lima puluh) kilometer.
2. 5 (lima) kilometer lebar terhitung dari sungai Nabire melebar ke Barat kejurusan Kampung
Hamuku dan membujur panjang ke daratan sampai di Kaki Gunung Tinggi ± 150 (seratus lima puluh)
kilometer.
3. Tanah-tanah yang dihimpit oleh sungai Oyehe dan Sungai Nabire ( tanah yang terletak di antara
sungai Oyehe dan Sungai Nabire), terhitung dari pantai membujur panjang kedaratan sampai di kaki
Gunung Tinggi ± 150 (seratus lima puluh) kilometer.
◦ Surat pelepasan hak atas tanah tersebut telah disepakati oleh Kepala Adat Suku Wate pada waktu
itu adalah Christian Waray bersama dengan 14 suku yang berada dibawah Suku besar Wate.
Tanah-tanah yang telah melalui proses pelepasan hak atas tanah tersebut saat ini telah menjadi
ibukota Kabupaten Nabire, dimana diatas tanah-tanah tersebut telah berdiri berbagai macam hak
atas tanah dengan sertifikat tanah sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kepastian hukum.
Lalu, harus dikurangi dengan tanah milik MAF (Mission Aviation of Fellowship) seluas 11.811 m² dan
tanah milik AMA (American Mission of Aviation) seluas 5.093 m².
Sehingga, luas Tanah Adat yang dituntut oleh masyarakat adat dan harus dibayarkan oleh Bandara
Udara Nabire sebagai bentuk kompensasi adalah seluas 571.525 m² dengan harga yang disepakati
sebesar Rp. 27.000,- (dua puluh tujuh ribu rupiah) per meter persegi atau sebesar Rp. 15.431.175.000,
- (lima belas milyar empat ratus tiga puluh satu seratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Pada saat proses pembangunan Bandar Udara Nabire yang
dimulai pada tahun 1948-1966, dimana pada saat itu *. Dari sinilah, bermula persinggungan hak
pembukaan lahan Bandara dilakukan, dengan
tanah adat/ulayat.
mempekerjakan warga masyarakat Adat, pihak pemerintah
Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Badan
Belanda tidak membayar upah para pekerja tersebut
Musyawarah Adat Suku Wate Nomor : Kep.01/
(orang tua mereka).
BMASW/IX/2005 tentang Pembentukan
Shg pihak Bandara Udara perlu membayar kepada mereka
Lembaga Kesaksian Perintis Lapangan Bandar
sebagai bentuk kompensasi atas upah yang belum
Udara Nabire yang berisi:
dibayarkan pada waktu itu.
Bukti penggarap, penggusur, pekerja
Kemudian dalam proses pembangunan Bandara Udara, dilokasi Bandar Udara Nabire pada tahun
mengakibatkan warga penggarap yaitu termasuk
1948-1966 serta saksi-saksi yang
didalamnya penebang, penggusur, pemukim yang berada
merupakan para tetua adat / orang tua
di lokasi pembangunan Bandar Udara Nabire harus keluar
yang masih ada dan hidup mengetahui
dari lokasi tersebut sehingga perlu adanya ganti kerugian
dengan pasti para penggarap, penebang,
atas hilangnya mata pencaharian sehari-hari.
penggusur dan pekerja.
Penyelesaian sengketa tanah hak ulayat di setiap wilayah atau daerah harus mengacu
pada Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat dengan mengacu UU No. 22 Tahun 1999 yang terakhir direvisi dengan UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 2 ayat (2) PMNA / KBPN No. 5 Tahun 1999 :
Mengacu pada pasal 2 ayat (2) PMNA / KBPN No. 5 Tahun 1999, eksistensi
masyarakat hukum adat di Kabupaten Nabire sudah kabur, hal ini disebabkan oleh :
1. Sistem Pemerintahan Adat sudah tidak ada lagi.
2. Susunan dan struktur masyarakat hukum adat sudah tidak jelas.
3. Batas wilayah tertentu tidak jelas.
4. Hubungan langsung antara masyarakat hukum adat dengan tanah
wilayahnya sudah tidak nyata.
* Faktor-faktor di atas adalah sbg penyebab sengketa hak tnh atas ulayat terjadi di
Nabire.
Dalam penyelesaian sengketa hak ulayat di Kabupaten Nabire, dilakukan dengan cara
musyawarah mufakat, antara masyarakat adat Suku besar Wate dan Suku Yeresiam
dengan pihak Bandara Udara Nabire, dan pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Nabire bertindak selaku mediator / penengah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan
ini.
- Penyelesaian sengketa pertanahan ini dilakukan melalui cara non litigasi atau ADR
(Alternatif Dispute Resolution), sebenarnya merupakan model penyelesaian yang cocok
dengan karakter dan cara hidup masyarakat yang bersifat kekeluargaan.
◦ Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan yang cenderung
bersifat konfrontatif, lebih memperhitungkan menang dan kalah, lebih memperhitungkan aspek
yang bersifat materealistik dan mengabaikan unsur sosial dalam masyarakat yang bersifat
kekeluargaan dan gotong royong.
Dalam musyawarah tersebut dicapai kesepakatan bahwa luas tanah
adat yang akan diberikan kompensasi adalah seluas 571.525 m²
dengan harga yang disepakati sebesar Rp. 27.000,- (dua puluh tujuh
ribu rupiah) per meter persegi atau sebesar Rp. 15.431.175.000,- (lima
belas milyar empat ratus tiga puluh satu juta seratus tujuh puluh lima
Akibatnya, masyarakat hukum adat menjadi terasing dari tanah mereka sendiri.
Oleh karenanya, perlu ada upaya revitalisasi (menghidupkan sistem hukum adat tsb
lalu dirundingkan dan diberi pengesahan olh negara trhdp UU agar dpt diperhatikan
oleh negara)
Sehingga mereka tidak tergusur dari tanah nenek-moyang mereka hanya karena
klaim negara untuk menjadikan semuanya sebagai tanah negara yang perlu diatur
menurut kehendak penguasa.
Kondisi tersebut disebabkan pula karena belum jelasnya pengaturan masyarakat hukum adat dalam
teks undang-undang, padahal kedudukan masyarakat hukum adat di Indonesia telah ada jauh
sebelum hukum positif nasional terbentuk bahkan hingga saat ini masyarakat hukum adat tersebut
masih diakui eksistensinya ditengah-tengah masyarakat bukan dalam konteks pemerintah dan
nasional.
Masalah seperti ini, bisa diselesaikan apabila pihak pemerintah dalam mengatur undang-
undang dengan masyarakat adat dipertemukan dengan cara:
1. Konsiliasi, usaha utk memertemukan keinginan pihak-pihak yg berselisih shg tercapai
persetujuan bersama.
2. Integrasi, mendiskusikan, menelaah dan memertimbangkan kembali pendapat-
pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yg memaksa semua pihak.
3. Musyawarah Mufakat, karena masyarakat adat memiliki karakter yg kekeluargaan
dan mementingkan sikap gotong royong.
Banyak permasalahan seperti ini, hanya saja kurangnya kepedulian, sikap mementingkan
hak-hak individu dan berapriori pada negara yg pd nyatanya permasalahan yg diutamakan
tdk kunjung selesai.
STUDI KASUS PERMASALAHAN
PERTANAHAN RANAH LOKAL (2)
o Kabupaten Siak yang merupakan daerah
pengembangan usaha melalui investasi dalam
berbagai bidang. Seperti adanya peluang investasi -sawit pada tahun 2009 luasnya sebesar 418.300 Ha
di bidang pertambangan, pada area industri di (Hektar), dan perkebunan karet dengan luas 14.766
Pelabuhan Tanjung Buton serta di bidang Ha, serta perkebunan kelapa 3.326 Ha, sagu 6.182
perkebunan yang berdampak positif dalam Ha, dan pinang 1.303 Ha, Kopi 370 Ha6.
perkembangan ekonomi di Kabupaten Siak. Salah
- Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan
satu daerah pengahasilan minyak yakni
penghasilan per bulannya sebanyak 257.850
Kecamatan Minas dan Kecamatan Sungai Apit. Di
ton Crude Palm Oil (CPO)7. Namun dalam
bidang perkebunan Kabupaten Siak sangat
berpotensi dalam pengembangan komoditi
pengembangan usaha perkebunan sawit ini
perkebunan, yakni kelapa sawit, karet, kelapa , menimbulkan sengketa lahan antara investor
sagu, pinang, dan kopi. Area perkebunan kelapa- selaku pemegang izin HGU (Hak Guna Usaha)
dengan masyarakat setempat.
o Kasus di Kabupaten Siak antara investor dengan masyarakat yaitu PT
Maridan Sejati Surya Plantation (MSSP) dengan masyarakat di Kecamatan
Kerinci Kanan, lahan yang menjadi sengketa seluas 2794 Ha (Hektar).
Masyarakat mengklaim bahwa itu merupakan lahan tersebut adalah lahan
mereka, sementara itu perusahan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dalam
penggunaan lahan tersebut.Terjadinya sengketa lahan Hak Guna Usaha
tersebut disebabkan masyarakat Kerinci Kanan merasa dirugikan dan tidak
mendapatkan ganti rugi atas tanah yang dimilikinya dari pihak perusahaan.
puluhan kali aksi-aksi dilakukan untuk telah membangun kebun plasma, tapi dalam hal
menyatakan tuntutan dan mereka juga telah ini Ninik Mamak menuntut perusahaan untuk
melakukan penekanan yang kesemuanya menyerahkan kebun plasma yang telah dibangun
perkebunan. Aksi tersebut pada dasarnya Bahkan mereka telah menulis surat kepada
dilakukan untuk memperjuangkan dua hal; direktur perusahaan untuk mentransfer kebun
plasma. Selain itu mereka juga mendemonstrasi
o pertama, mereka menuntut kebun plasma
Bupati Kabupaten Pasaman dan DPRD setempat
kelapa sawit kepada perusahaan-perusahaan.
untuk menyampaikan tuntutannya.
o Alasan mereka menuntut kebun plasma adalah
o Ninik Mamak beserta anggota kaumnya
bahwa tanah yang mereka berikan untuk
juga menuntut siliah jariah yang belum
pembangunan kebun kelapa sawit oleh para
dibayarkan, sedangkan perusahaan
investor adalah tanah ulayat milik mereka yang
telah mengolah tanah ulayat mereka
tidak mereka jual kepada para investor tersbut.
yang dipinjamkan kepada investor
Pembayaran yang dilakukan oleh investor kepada
karena di atas tanah tersebut terdapat
Ninik Mamak setempat adalah pembayaran untuk
tanah garapan mereka. Siliah Jariah
uang adat sebagai uang baangku mamak (uang
disini dimaksudkan sebagai
sebagai tanda pendatang diterima sebagai anak
kompensasi untuk mendapatkan hak
nagari) yang dalam hal ini itulah yang disebut
pakai atas tanah garapan mereka.
sebagai adat diisi limbago dituang.
o Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman tidak berpihak o Dalam menyelesaikan
kepada kepentingan komunitas anak nagari dan hanya
permasalahan ini, masyarakat
mementingkan kepentingannya sendiri. Ini dibuktikan dengan
Nagari Kinali telah menempuh
kenyataan bahwa Pemerintah Daerah sendiri berkeberatan
berbagai cara mulai dari
untuk mendorong perusahaan mengabulkan permintaan
penyelesaian di luar pengadilan
masyarakat Kinali terhadap perkebunan plasma kelapa sawit
dengan alasan tidak adanya perjanjian tertulis bahwa dan bahkan ada sebagian dari ninik